Anda di halaman 1dari 13

ARTIKEL ILMIAH IDENTIFIKASI TELUR CACING GASTROINTESTINAL KOMODO (Varanus komodoensis) MELALUI PEMERIKSAAN FESES DI KEBUN BINATANG SURABAYA

OLEH : WIDA SEPTA KURNIAWAN 060610259

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2011

IDENTIFICATION OF THE KOMODO DRAGON (Varanus komodoensis) GASTROINTESTINAL EGG WORM THROUGH FECAL EXAMINATION AT SURABAYA ZOO Wida Septa Kurniawan1), Sri Mumpuni Sosiawati2), Bambang Poernomo S. R.3) 1) 2) Mahasiswa, Departemen Parasitologi Veteriner, 3)Departemen Anatomi Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga ABSTRACT The purpose of this research was to observed the kinds of Komodo Dragon gastrointestinal egg worm through fecal examination at Surabaya Zoo. 90 fresh fecal samples were collected from 57 Komodo Dragons with different age groups including 60 samples from less than five years, 18 samples from five to ten years, and 12 samples from more than ten years. Each fresh fecal samples weighed about 10 grams, using accidental samples technique, and collected into the plastic pots which it contain 5% formalin to avoid development of egg worm to be larvae. In the laboratory, all fecal samples were divided into the three fecal examination methods, namely native, sedimentation, and floating. Results shown 19 of 90 samples (21,11%) were positive, which it consisted of Cestoda class (Dipylidium sp., Diphyllobothrium sp., and Hymenolepis sp.) and Nematoda class (Trichuris sp., Capillaria sp., and Kalicephalus sp.). Key words: Komodo Dragon, egg worm, fecal examination, Surabaya Zoo. Menyetujui untuk dipublikasikan dalam jurnal ilmiah, Surabaya, 23 Februari 2011 Menyetujui Dosen Pembimbing I

Mahasiswa

Menyetujui Dosen Pembimbing II

(Wida Septa Kurniawan) NIM. 060610259

(Sri Mumpuni S., drh., M.Kes) NIP. 19530128 198103 2 001

(Dr. Bambang P. S. R., drh., M.S.) NIP. 19520730 197901 1 001

Menyetujui Dosen Terkait I

Menyetujui Dosen Terkait II

Menyetujui Dosen Terkait III

(Prof. Dr. Setiawan K., drh., (Dr. Kusnoto, drh., M.Si.) (Djoko Legowo, drh., M.Kes.) M.Sc.) NIP. 19631003 199702 1 NIP. 19671214 199603 1 004 NIP. 19520928 197803 1 002 001 IDENTIFIKASI TELUR CACING GASTROINTESTINAL KOMODO (Varanus komodoensis) MELALUI PEMERIKSAAN FESES DI KEBUN BINATANG SURABAYA Wida Septa Kurniawan1), Sri Mumpuni Sosiawati2), Bambang Poernomo S. R.3) 1) 2) Mahasiswa, Departemen Parasitologi Veteriner, 3)Departemen Anatomi Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menemukan jenis telur cacing saluran pencernaan Komodo melalui pemeriksaan feses di Kebun Binatang Surabaya. 90 sampel feses segar dikoleksi dari 57 ekor Komodo dengan kelompok umur yang berbeda meliputi 60 sampel dari umur kurang dari lima tahun, 18 sampel dari umur 5-10 tahun, dan 12 sampel dari umur lebih dari 10 tahun. Masing-masing sampel feses segar memiliki berat sekitar 10 gram, menggunakan teknik Accidental Sampling, yang dikoleksi ke dalam pot plastik yang berisi formalin 5% untuk menghindari perkembangan telur cacing menjadi larva cacing. Di laboratorium, semua sampel feses dibagi ke dalam tiga metode pemeriksaan feses yaitu metode natif, sedimentasi, dan apung. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa 19 dari 90 sampel dinyatakan positif (21,11%), yang terdiri dari kelas Cestoda (Dipylidium sp., Diphyllobothrium sp., and Hymenolepis sp.) dan kelas Nematoda (Trichuris sp., Capillaria sp., and Kalicephalus sp.). Kata Kunci: Komodo Dragon, telur cacing, pemeriksaan feses, Kebun Binatang Surabaya. Pendahuluan Komodo (Varanus komodoensis) adalah kadal karnivora besar endemik yang terdapat di lima pulau di wilayah Sunda Kecil di Tenggara Indonesia (Ciofi and De Boer, 2004). Komodo jumlahnya paling kecil dari beberapa karnivora di seluruh dunia. Sekitar 4.000-5.000 ekor Komodo

diperkirakan masih hidup di alam liar, mayoritas hidup di Taman Nasional Komodo (Ciofi, 1999). Pulau Komodo populasi satwa ini sekitar 1.700 ekor Komodo, Rinca mempunyai 1.300 ekor Komodo, Gili Dasami memiliki sekitar 100 ekor Komodo dan pulau kecil Gili Motang mempunyai sekitar 100 ekor Komodo. Taman Nasional Komodo terdiri dari empat pulau dan beberapa pulau yang sangat kecil. Sekitar 2.000 ekor lebih Komodo hidup di pulau Flores yang berlokasi di timur (Ciofi, 1999). Sampai saat ini, Komodo diklasifikasikan sebagai spesies Appendix I yaitu kelompok satwa yang terancam kepunahan dan dilarang untuk diperdagangkan oleh CITES (Convention on International Trade in Endangered Species) (Auffenburg, 1981) atau hewan yang masuk Red List IUCN (International Union for Conservation of Nature) (IUCN, 1996). Upaya untuk melestarikan dan melindungi sumber kekayaan alam telah dilakukan oleh pemerintah, yaitu dengan pembuatan kawasan konservasi yang meliputi suaka marga satwa, taman nasional, cagar alam, hutan wisata, kebun binatang, kebun koleksi, kebun botani serta adanya kegiatan penangkaran dari jenis-jenis satwa yang dilindungi (Sudardjat, 1991). Kondisi yang dialami satwa di tempat penangkaran dan habitat aslinya sangat berbeda. Keadaan yang demikian ini akan menyebabkan segala pola hidup dan tingkah laku satwa akan mengalami perubahan. tubuh Akibat satwa perubahan sehingga ini maka akan mempengaruhi kondisi dapat menimbulkan

berbagai macam penyakit (Ronohardjo, 1984). Menurut Kusumamihardja (1986), timbulnya suatu penyakit dapat disebabkan oleh virus, bakteri, jamur, dan parasit. Kejadian penyakit cacing dipengaruhi oleh berbagai macam faktor yaitu kondisi lingkungan pemeliharaan, manajemen, pakan dan iklim setempat (Brown, 1979). Keseimbangan antara parasit dan inang di alam liar cenderung berbeda dengan hubungan antara parasit dan inang di dalam penangkaran. Di alam liar, parasit pada beberapa inang biasanya rendah. Tetapi dalam penangkaran, terutama pada kondisi lingkungan yang buruk, konsentrasi parasit mungkin lebih tinggi, dan sepertinya lebih berbahaya (De la Navarre, 2008). Saluran pencernaan

merupakan salah satu tempat perkembangbiakan parasit cacing. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap infeksi parasit cacing pada satwa liar di dalam penangkaran. Dalam hal ini, Komodo dijadikan obyek penelitian. Metode Penelitian Sampel berupa feses dari populasi Komodo yang dikoleksi dari enam kandang. Feses yang dikoleksi diusahakan yang masih segar. Pengambilan feses dilakukan pada pagi hari. Sampel feses berjumlah 60 sampel diambil dari kelompok Komodo yang berumur kurang dari 5 tahun, 18 sampel dari umur antara 5-10 tahun, dan 12 sampel dari umur lebih dari 10 tahun. Pengambilan didasarkan pada jadwal makan Komodo pada 1-2 hari sebelumnya. Perbedaan jadwal pengambilan sampel feses dikarenakan jadwal pemberian pakan dan jenis pakan pada Kandang I berbeda dengan kandang lain. Dalam hal ini Kandang I diberi makan tikus putih dan kandang lain diberi makan kambing. Total sampel feses seluruh kandang adalah 90 sampel. Berat sampel feses sekitar 10 gram per sampel. Teknik yang digunakan dalam pengambilan Penggunaan sampel ini menggunakan teknik Accidental Sampling. teknik

didasarkan pada letak feses Komodo yang paling dekat dengan pengambil feses (keeper kandang) tetapi bukan pada satu area kandang. Sampel feses dimasukkan ke dalam pot plastik dan diberi larutan formalin 5% untuk mengawetkan telur cacing agar tidak berkembang menjadi larva kemudian diberi label yang mencantumkan nomor kandang. Kemudian hasil yang didapat akan dikelompokkan berdasarkan nomor kandang. Pemeriksaan dilakukan secara berturut-turut dengan metode natif, sedimentasi dan apung. Metode Natif. Feses diambil secukupnya dengan menggunakan ujung gelas pengaduk yang kecil atau lidi lalu dioleskan diatas gelas obyek, setelah itu dibuat suspensi dengan menambah satu tetes air diatas gelas obyek. Kemudian ditutup dengan gelas penutup. Pemeriksaan

dilakukan dengan pengamatan mikroskop memakai pembesaran 100 kali (Subekti dkk., 2007). Metode Sedimentasi. Membuat suspensi feses dengan perbandingan satu bagian feses dengan 10 bagian air, kemudian disaring dengan saringan teh dan filtratnya ditampung dengan gelas plastik. Filtrat yang telah dibuat dimasukkan ke dalam tabung sentrifus, lalu disentrifugasi dengan kecepatan 1500 rpm selama 2-5 menit. Hasil yang diperoleh supernatan dibuang dan endapan ditambah air kemudian disentrifugasi lagi, proses ini diulang-ulang sampai supernatan jernih. Setelah jernih, supernatan dibuang tetapi disisakan sedikit, endapan diaduk lalu diambil sedikit dengan pipet Pasture, lalu diletakkan pada gelas obyek dan ditutup dengan gelas penutup. Lalu diperiksa di bawah mikroskop dengan pembesaran 100 kali (Subekti dkk., 2007). Metode Apung. Endapan hasil sentrifugasi dari metode sedimentasi ditambahkan larutan gula jenuh sampai satu cm di bawah mulut tabung sentrifuse. Kemudian diaduk sampai homogen dengan menggunakan gelas pengaduk lalu disentrifugasi dengan kecepatan 1500 rpm selama lima menit. Selanjutnya dengan menggunakan pipet Pasteur ditambahkan sedikit demi sedikit larutan gula jenuh sampai permukaan cairan cembung lalu ditutup dengan gelas penutup dan dibiarkan selama lima menit. Gelas penutup diangkat dan diletakkan pada gelas obyek lalu diperiksa dengan mikroskop menggunakan pembesaran 100 kali (Subekti dkk., 2007). Analisis Data. Hasil dinyatakan positif bila ditemukan adanya telur cacing yang terdapat dalam feses yang diperiksa. Data keseluruhan yang diperoleh akan dianalisis secara deskriptif. Hasil dan Pembahasan Berdasarkan pemeriksaan terhadap 90 sampel feses Komodo di Kebun Binatang Surabaya yang dilakukan pada bulan Agustus sampai September 2010, 19 sampel dinyatakan positif dan 71 sampel dinyatakan negatif. Hasil ini bisa dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel

Hasil Pemeriksaan Sampel Feses Terhadap Infeksi Telur Cacing Gastrointestinal Hasil Jumlah Sampel Persentase (%) Positif 19 21,11 Negatif 71 78,89 Total Sampel 90 100

Identifikasi telur cacing gastrointestinal pada pemeriksaan feses Komodo dengan menggunakan metode natif, sedimentasi dan apung telah ditemukan telur cacing dari tiga genus kelas Cestoda yaitu Dipylidium sp., Diphyllobothrium sp., dan Hymenolepis sp. serta tiga genus dari kelas Nematoda antara lain Trichuris sp., Capillaria sp., dan Kalicephalus sp. dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel Jenis-Jenis Telur Cacing yang Ditemukan pada Pemeriksaan Feses Komodo Hasil Pemeriksaan Sampel Feses Masing-Masing No. Tanggal Metode Kandang Pengambila Natif Sedimentasi Apung n Feses Pos Neg Pos Neg Pos Neg 1 (26 Agu) 0 12 0 12 0 12 I 2 (2 Sep) 1 (Hym) 11 3 (Hym) 9 0 12 3 (16 Sep) 1 (Hym) 11 1 (Hym) 11 6 (Hym) 6 1 (22 Agu) 0 1 0 1 0 1 II 2 (7 Sep) 0 1 1 (Dip) 0 0 1 3 (22 Sep) 0 1 0 1 0 1 1 (22 Agu) 0 7 0 7 1 (Hym) 6 III 2 (7 Sep) 0 7 0 7 1 (Hym) 6 3 (22 Sep) 0 7 0 7 0 7 1 (22 Agu) 0 3 0 3 0 3 IV 2 (7 Sep) 0 3 0 3 0 3 3 (22 Sep) 0 3 1 (Dip) 2 1 (Dip) 2 1 (22 Agu) 0 3 0 3 0 3 V 2 (7 Sep) 0 3 0 3 0 3 3 (22 Sep) 0 3 0 3 1 (Diph) 2 1 (22 Agu) 0 4 1 (Dip) 3 0 4 2 (7 Sep) 0 4 0 4 0 4 VI 3 (22 Sep) 1 (Dip) 3 1 (Dip) 3 2 (Dip) 2 1 (Tri) 3 1 (Cap) 3 1 (Kal) 3

Keterangan : Pos : Positif; Neg : Negatif; Hym : Hymenolepis sp.; Dip : Dipylidium sp.; Diph : Diphyllobothrium sp.; Tri : Trichuris sp.; Cap : Capillaria sp.; Kal : Kalicephalus sp. Penelitian ini telah menemukan telur cacing dari tiga genus kelas Cestoda yaitu Dipylidium sp., Diphyllobothrium sp., dan Hymenolepis sp. serta tiga genus dari kelas Nematoda antara lain Trichuris sp., Capillaria sp., dan Kalicephalus sp. Menurut Kusumamihardja (1993), dalam mengidentifikasi jenis telur cacing didasarkan pada ukuran dan morfologi dari telur cacing tersebut.

Gambar telur cacing Dipylidium sp., Diphyllobothrium sp., dan Hymenolepis sp. Genus telur cacing kelas Cestoda yang ditemukan adalah Dipylidium

sp.

Identifikasi

telur

cacing ini terlihat adanya bentukan kapsul yang didalamnya terdapat beberapa telur cacing. Ukuran panjangnya 204,8 m dan lebar 158,9 m. Soulsby (1986) menyatakan bahwa telur Dipylidium sp. terletak pada

kapsul telur, masing-masing berisi sampai dengan 30 telur. Genus Cestoda yang lain adalah Diphyllobothrium sp. Telur cacing yang ditemukan berbentuk oval dengan ukuran panjang 73,4 m dan lebar 43,7 m. Telur Diphyllobothrium sp. yang ditemukan di feses pada inang berwarna coklat, operkulum dan dapat mencapai 67-71 40-51 m (Soulsby, 1986). Hymenolepis sp. juga ditemukan pada penelitian ini. Bentuknya oval agak bulat dan terlihat adanya bentukan heksakan di dalam telur. Ukuran panjang 67,1 m dan lebar 62,4 m. Bentuk telur Hymenolepis sp. oval dan berukuran 44-62 30-55 m (Soulsby, 1986). Gambar telur cacing Trichuris sp., Capillaria sp., dan Kalicephalus sp. Genus telur cacing kelas Nematoda yang ditemukan adalah Trichuris sp. Bentuknya yang oval dan kedua ujungnya terdapat sumbat transparan. Telur cacing ini memiliki ukuran panjang 69,9 m dan lebar 36,2 m. Telur cacing Trichuris sp. mempunyai kulit tebal kecoklatan dengan sumbat di kedua ujungnya dan belum bersegmen ketika dikeluarkan. Ukurannya mencapai 70-80 30-42 m (Soulsby, 1986). Genus Nematoda yang lain adalah Capillaria sp. Hampir sama dengan Trichuris sp. Telur cacing ini memiliki sumbat transparan di kedua ujungnya. Ukuran panjangnya 59,3 m dan lebar 28,2 m. Levine (1990) menyatakan bahwa telur Capillaria sp. sama dengan telur Trichuris sp. tetapi biasanya sedikit lebih kecil, umumnya telur ini tidak berembrio ketika dikeluarkan. Ukurannya 45-52 21-30 m. Kalicephalus sp. juga ditemukan pada penelitian ini. Identifikasi terlihat adanya bentukan telur oval. Ukuran panjangnya 62,6 m dan lebar 38,3 m. Telur Kalicephalus sp. berdinding tipis, ukuran sekitar 70-100 40-50 m, dan biasanya stadium larva dikeluarkan melalui feses (Fowler, 1986). Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pada metode natif di masing-masing kandang dan pengambilan feses sangat sedikit ditemukan adanya telur cacing karena ketelitian metode ini sangat rendah jadi

infeksi cacing yang tergolong ringan tidak dapat ditemukan telur cacingnya. Sedangkan pada metode sedimentasi telur cacing yang ditemukan di masing-masing kandang dan pengambilan feses lebih banyak daripada metode natif. Ini dikarenakan adanya pengaruh sentrifugasi yang dapat mengendapkan feses dan telur cacing di dasar tabung sentrifus. Di masing-masing kandang dan pengambilan feses pada metode apung juga lebih banyak telur cacing yang ditemukan daripada metode natif maupun sedimentasi. Hal ini dikarenakan pengaruh sentrifugasi seperti metode sedimentasi yang mengendapkan feses di dasar tabung dan berat jenis gula jenuh lebih besar daripada berat jenis telur cacing sehingga telur cacing terapung ke permukaan tabung sentrifus. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa 19 sampel positif dan 71 sampel dinyatakan negatif. Hasil pemeriksaan ini cukup rendah tetapi tidak menutup kemungkinan akan ada infeksi cacing dalam jumlah besar. Infeksi cacing saluran pencernaan terjadi di daerah yang mempunyai curah hujan diatas 250 mm tiap tahun, sehingga di Indonesia kejadian infeksi cacing saluran pencernaan selalu ada (Jensen, 1974). Oleh karena itu, hal ini tidak boleh diabaikan. Pengambilan sampel feses pada Komodo diulang sebanyak tiga kali. Hal ini dilakukan dengan tujuan akurasi penelitian. Pengambilan ini juga dilakukan pada kondisi cuaca buruk dan tidak menentu pada bulan-bulan dilaksanakannya penelitian sehingga berpengaruh terhadap banyak tidaknya ditemukan telur cacing pada feses. Misalnya pada pengambilan pertama, feses yang diambil sudah cukup kering karena pengambilan pertama tersebut dilakukan pada bulan Agustus yang cuacanya panas. Banyaknya jenis telur cacing dimungkinkan telur cacing mencemari pakan yang dikonsumsi oleh Komodo. Dalam hal ini pakan Komodo adalah kambing untuk Komodo pada Kandang II-VI dan tikus putih untuk Komodo pada Kandang I yang kemungkinan juga memang sudah mengandung telur cacing di dalam tubuhnya sebelum diberikan pada Komodo

contohnya pseudoparasit. Hal ini sesuai dengan pendapat Mader (2006), yang menyatakan bahwa pseudoparasit adalah parasit yang ditemukan pada pasien atau pemeriksaan feses di reptil tetapi sebenarnya parasit tersebut berasal dari inang lain. Misalnya jika reptil diberi pakan tikus putih, telur cacing pseudoparasit akan teridentifikasi pada pemeriksaan feses yang merupakan parasit dari tikus putih bukan reptil. Kontaminasi telur cacing ini juga dapat meningkat pada saat pemberian pakan Komodo di kandang terbuka (II-VI) karena pakan diletakkan di tanah. Sedangkan pada kandang terali (I), pakan diletakkan di sebuah piring aluminium. Pakan tetap tercampur tanah karena pakan dibawa Komodo ke tempat lain. Menurut Malaivijitnond et al. (2006), peranan feses dalam penyebaran penyakit cacing sangat besar karena dapat langsung mengkontaminasi pakan, air, dan tanah. Perilaku hewan itu sendiri dapat mempengaruhi terjadinya infeksi cacing yang ditularkan lewat tanah. Telur cacing yang ditemukan di Kandang III dan VI pada pengambilan pertama kemungkinan karena sifat dari dua telur cacing yang mampu bertahan pada kondisi buruk sekalipun. Sedangkan ditemukannya telur cacing di Kandang I-III pada pengambilan kedua karena mungkin ada beberapa faktor penularan yang mendukung seperti adanya burung liar. Sedangkan di Kandang I, IV, V, dan VI pada pengambilan ketiga dapat ditemukan telur cacing dikarenakan mungkin periode prepaten perkembangan telur cacing sudah cukup untuk ditemukan di feses. Perlu diketahui jika pengambilan kedua dan ketiga dilakukan pada bulan September yang cuacanya tidak menentu akibat pemanasan global sehingga sudah banyak turun hujan dan diketahui bahwa musim hujan baik untuk perkembangan telur dan larva cacing sehingga lebih banyak ditemukan pada musim hujan daripada musim kemarau. Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kejadian infeksi telur cacing pada Komodo di Kebun Binatang Surabaya pada bulan Agustus sampai September 2010

sebanyak 19 sampel (21,11%) dari 90 sampel yang diperiksa dan telur cacing saluran pencernaan yang ditemukan pada feses Komodo di Kebun Binatang Surabaya ada enam genus yaitu Dipylidium sp., Diphyllobothrium sp., dan Hymenolepis sp. yang termasuk dalam kelas Cestoda serta Trichuris sp., Capillaria sp., dan Kalicephalus sp. yang termasuk dalam kelas Nematoda. Daftar Pustaka Auffenburg W. 1981. The Behavioral Ecology of The Komodo Monitor. University Presses of Florida. Gainesville. 336. Brown, H. W. 1979. Dasar Parasitologi Klinis. Edisi Ketiga. P. T. Gramedia Jakarta. 209-213. Ciofi, C. 1999. The Komodo Dragon. Sci Am. 8491. Ciofi, C., and M. E. De Boer. 2004. Distribution and Conservation of The Komodo Monitor (Varanus komodoensis). Herpetological Journal 14, 99, 107. De la Navarre, B. J. S. 2008. Identification & Treatment of Common Parasites of Reptiles & Amphibians. Animal House of Chicago, Complete Veterinary Care Chicago. USA [13 Desember 2010]. Fowler, M. E. 1986. Zoo & Wild Animal Medicine. Second Edition. W. B. Saunders Company. Philadelphia. 118-124, 162, 168-177. IUCN. 1996. IUCN Red List of Threatened Animals. IUCN. Gland, Switzerland and Cambridge. Jensen, R. 1974. Disease of Sheep. Lea and Febiger. Colorado University. Lea and Febiger. Philadelphia. 87-90. Kusumamihardja, S. 1986. Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit Cacing. Poultry Indonesia 75. 25-26. Kusumamihardja, S. 1993. Parasit dan Parasitosis Pada Hewan Ternak dan Hewan Piaraan di Indonesia. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor. Levine, N. D. 1990. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 141, 145, 240, 285.

Mader, D. R. 2006. Reptile Medicine and Surgery. Saunders Elsevier. Philadelphia. 345, 357, 1165-1168. Malaivijitnond, S. N. Chaiyabutr, N. Urasopon, and Y. Hamada. 2006. Intestinal Nematoda Parasite of Long-tailed Macaques (Macaca fascicularis) Inhabiting Some Tourist Attraction Site In Thailand. Primates Research Unit. 32. 73-78. Ronohardjo, P. 1984. Domestikasi Satwa Liar Ditinjau dari Segi Penyakit. Proc. Seminar Satwa Liar. Puslitbang Peternakan Bogor. Soeparmo, R. 1981. Pengelolaan Satwa di Kebun Binatang. Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam. Direktorat Jenderal Kehutanan. 1-2. Soulsby, E. J. L. 1986. Helminths, Anthropods and Protozoa Of Domesticated Animals. Bailliere Tindall. London. 92, 128, 158, 167, 172, 302, 329, 337. Subekti, S., S. Koesdarto, S. Mumpuni, H. Puspitawati, dan Kusnoto. 2007. Penuntun Praktikum Teknik Laboratorium Seksion Ilmu Penyakit Helminth Veteriner. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. Surabaya. Sudardjat, S. 1991. Epidemiologi Penyakit Hewan. Jilid I. Direktorat Bina Kesehatan Hewan. Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian.

Anda mungkin juga menyukai