Anda di halaman 1dari 7

Otoritas Jasa Keuangan BAB 1 Pendahuluan Pengertian Otoritas Jasa Keuangan adalah sebuah lembaga pengawasan jasa keuangan

seperti industri perbankan, pasar modal, reksadana, perusahaan pembiayaan, dana pensiun dan asuransi sudah harus terbentuk pada tahun 2010. Keberadaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai suatu lembaga pengawasan sektor keuangan di Indonesia yang perlu diperhatikan, karena ini harus dipersiapkan dengan baik segala hal untuk mendukung keberadaan OJK tersebut. Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan pada dasarnya memuat ketentuan tentang organisasi dan tata kelola (governance) dari lembaga yang memiliki otoritas pengaturan dan pengawasan terhadap sektor jasa keuangan. Sedangkan ketentuan mengenai jenis-jenis produk jasa keuangan, cakupan dan batas-batas kegiatan lembaga jasa keuangan, kualifikasi dan kriteria lembaga jasa keuangan, tingkat kesehatan dan pengaturan prudensial serta ketentuan tentang jasa penunjang sektor jasa keuangan dan lain sebagainya yang menyangkut transaksi jasa keuangan diatur dalam undang-undang sektoral tersendiri, yaitu Undang-Undang tentang Perbankan, Pasar Modal, Usaha Perasuransian, Dana Pensiun, dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan sektor jasa keuangan lainnya. Ada beberapa hal yang melatarbelakangi lahirnya UU ini selain pertimbangan Undang-Undang tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali dirubah, yakni :

Sistem keuangan dan seluruh kegiatan jasa keuangan yang menjalankan fungsi intermediasi bagi berbagai kegiatan produktif di dalam perekonomian nasional merupakan salah satu komponen penting dalam sistem perekonomian nasional. Terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi serta inovasi finansial telah menciptakan sistem keuangan yang sangat kompleks, dinamis, dan saling terkait antar-subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Adanya lembaga jasa keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai subsektor keuangan (konglomerasi) telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antarlembaga jasa keuangan di dalam sistem keuangan. Banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan, yang meliputi tindakan moral hazard, belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan.

Harapan penataan melalui UU No.21 Tentang Otoritas Jasa Keuangan :

Penataan dimaksud dilakukan agar dapat dicapai mekanisme koordinasi yang lebih efektif di dalam menangani permasalahan yang timbul dalam sistem keuangan sehingga dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan. Agar pengaturan dan pengawasan terhadap keseluruhan kegiatan jasa keuangan tersebut harus dilakukan secara terintegrasi

Fungsi OJK adalah: 1. 2. 3. 4. Mengawasi aturan main yang sudah dijalankan dari forum stabilitas keuangan Menjaga stabilitas sistem keuangan Melakukan pengawasan non-bank dalam struktur yang sama seperti sekarang Pengawasan bank keluar dari otoritas BI sebagai bank sentral dan dipegang oleh lembaga baru

Tujuan dalam pembentukan OJK: 1. Untuk mencapainya, BI dalam melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten, dan transparan dengan mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian. 2. Mengatasi kompleksitas keuangan global dari ancaman krisis. 3. Menciptakan satu otoritas yang lebih kuat dengan memiliki sumber daya manusia dan ahli yang mencukupi OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap: 1. Kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan; 2. Kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan 3. Kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya. Dalam menjalankan tugas pengaturan dan pengawasan, OJK mempunyai wewenang: 1. Terkait Khusus Pengawasan dan Pengaturan Lembaga Jasa Keuangan Bank yang meliputi :

Perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank; dan Kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa; Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi: likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap

simpanan, dan pencadangan bank; laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank; sistem informasi debitur; pengujian kredit (credit testing); dan standar akuntansi bank;( moneter?)

Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi: manajemen risiko; tata kelola bank; prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang; dan pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan; dan pemeriksaan bank. Menetapkan peraturan dan keputusan OJK; Menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan; Menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu; Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada Lembaga Jasa Keuangan; Menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola, memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban; dan Menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. Menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan; Mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala Eksekutif; Melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan Konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundangundangan di sektor jasa keuangan; Memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pihak tertentu; Melakukan penunjukan pengelola statuter; Menetapkan penggunaan pengelola statuter; Menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan Memberikan dan/atau mencabut: izin usaha, izin orang perseorangan, efektifnya pernyataan pendaftaran, surat tanda terdaftar, persetujuan melakukan kegiatan usaha, pengesahan, persetujuan atau penetapan pembubaran dan penetapan lain.(sektor riil?)

2. Terkait Pengaturan Lembaga Jasa Keuangan (Bank dan Non-Bank) yang meliputi : 3. Terkait Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan (Bank dan Non-Bank) yang meliputi : Menurut para pakar ekonomi:

1. Menkeu Agus Martowardojo: Pembentukan OJK diperlukan guna mengatasi kompleksitas keuangan global dari ancaman krisis. Di sisi lain, pembentukan OJK merupakan komitmen pemerintah dalam reformasi sektor keuangan di Indonesia. 2. Fuad Rahmany: menyatakan bahwa OJK akan menghilangkan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang selama ini cenderung muncul. Sebab dalam OJK, fungsi pengawasan dan pengaturan dibuat terpisah. 3. Darmin Nasution: OJK adalah untuk mencari efisiensi di sektor perbankan, pasar modal dan lembaga keuangan. Sebab, suatu perekonomian yang kuat, stabil, dan berdaya saing membutuhkan dukungan dari sektor keuangan. 4. Deputi Gubernur BI Muliaman D Hadad: terdapat empat pilar sektor keuangan global yang menjadi agenda OJK. Pertama, kerangka kebijakan yang kuat untuk menanggulangi krisis. Kedua, persiapan resolusi terhadap lembaga-lembaga keuangan yang ditengarai bisa berdampak sistemik. Ketiga, lembaga keuangan membuat surat wasiat jika terjadi kebangkrutan sewaktu-waktu dan keempat transparansi yang harus dijaga. BAB 2 Pembahasan Tentang Otoritas Jasa Keuangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merupakan sebuah lembaga baru yang dirancang untuk melakukan pengawasan secara ketat lembaga keuangan seperti perbankan, pasar modal, reksadana, perusahaan pembiayaan, dana pensiun dan asuransi. Adapun tujuan utama pendirian OJK adalah: Pertama, meningkatkan dan memelihara kepercayaan publik di bidang jasa keuangan. Kedua, menegakkan peraturan perundang-undangan di bidang jasa keuangan. Ketiga, meningkatkan pemahaman publik mengenai bidang jasa keuangan. Keempat, melindungi kepentingan konsumen jasa keuangan. Adapun sasaran akhirnya adalah agar krisis keuangan seperti yang terjadi pada tahun 1997-1998 yang lalu tidak terulang kembali. Sebagaimana diketahui bahwa krisis yang melanda di tahun 1998 telah membuat sistem keuangan Indonesia porak poranda. Sejak itu maka lahirlah kesepakatan membentuk OJK yang menurut undang-undang tersebut harus terbentuk pada tahun 2002. Meskipun OJK dibidani berdasarkan kesepakatan dan diamanatkan oleh UU, nyatanya sampai dengan 2002 draf pembentukan OJK belum ada, sampai akhirnya UU No 23/1999 tentang Bank Indonesia (BI) tersebut direvisi, menjadi UU No 24 2004 yang menyatakan tugas BI adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.

Setelah lebih dari tiga tahun akhirnya sidang paripurna DPR pada tanggal 19 Desember 2003 menyelesaikan amandemen Undang-Undang Bank Indonesia. Usulan amendemen ini semula diajukan semasa pemerintahan Presiden Gus Dur. Undang-undang hasil amendemen ini disebut oleh Menteri Keuangan Boediono sebagai undang-undang bank sentral modern. Salah satu masalah krusial yang memperlambat proses amendemen ini adalah menentukan siapa yang berwenang mengawasi industri perbankan. Terjadi tarik ulur yang alot antara Bank Indonesia dan pemerintah yang dalam kaitan ini diwakili oleh Departemen Keuangan. Kompromi yang dicapai akhirnya menetapkan bahwa OJK akan dibentuk paling lambat tahun 2010. Sebelum diamandemen bunyi ketentuannya adalah Lembaga Pengawas Jasa Keuangan/LPJK (yang kemudian menjadi OJK) paling lambat sudah harus dibentuk pada akhir Desember 2002. Secara historis, ide pembentukan OJK sebenarnya adalah hasil kompromi untuk menghindari jalan buntu pembahasan undang-undang tentang Bank Indonesia oleh DPR. Pada awal pemerintahan Presiden Habibie, pemerintah mengajukan RUU tentang Bank Indonesia yang memberikan independensi kepada bank sentral. RUU ini disamping memberikan independensi tetapi juga mengeluarkan fungsi pengawasan perbankan dari Bank Indonesia. Ide pemisahan fungsi pengawasan dari bank sentral ini datang dari Helmut Schlesinger, mantan Gubernur Bundesbank (bank sentral Jerman) yang pada waktu penyusunan RUU (kemudian menjadi Undang-Undang No. 23 Tahun 1999) bertindak sebagai konsultan. Mengambil pola bank sentral Jerman yang tidak mengawasi bank. BAB 3 PENUTUP Kesimpulan

Agar pembentukan Otoritas Jasa Keuangan disertai dengan kajian-kajian akademis untuk lebih mematangkan konsep dan format lembaga itu sehingga keberadaan OJK benar-benar bermanfaat bagi pembangunan struktur kelembagaan perekonomian nasional. Otoritas Jasa Keuangan merupakan lembaga yang bertugas mengawasi dan menjaga stabilitas keuangan yang pada masa-masa sekarang ini sangat rawan dan beresiko tinggi. Otoritas Jasa Keuangan harus di bangun dengan adanya komunikasi dan koordinasi yang efektif antar lembaga yang terkait. Diharapkannya dalam pembentukan Otoritas Jasa Keuangan bisa menghindari jalan buntu dari undang-undang tentang Bank Indonesia oleh DPR

INVESTOR DAILY--Setelah menghabiskan empat masa sidang, pembahasan Rancangan Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan (RUU OJK) akhirnya mencapai tahap final. Panitia Khusus DPR dan pemerintah telah menyepakati beberapa hal krusial yang sebelumnya mengganjal, antara lain mekanisme pembentukan panitia seleksi dan dewan komisioner. Kini, RUU OJK itu tinggal menunggu ketok palu pada sidang paripurna DPR, Kamis (27/10). Kita berharap kesepakatan pemerintah dan DPR untuk membentuk OJK merupakan keputusan yang tepat. Kehadiran OJK bisa mewujudkan system keuangan nasional yang baik, sehat, teratur, dan berdaya saing tinggi. UU OJK juga harus mampu memberikan perlindungan konsumen, termasuk menyangkut penegakan hukum. OJK harus mampu membuktikan bahwa lembaga ini mampu mengawasi semua institusi keuangan seperti pasar modal, dana pensiun, pegadaian, asuransi, perbankan, dan jasa keuangan lainnya. Sebagai lembaga pengawas, independensi OJK memang sangat penting. Meski begitu, kehadiran OJK tidak bisa dilepaskan dari otoritas moneter dan otoritas fiskal. Sebagai otoritas moneter, Bank Indonesia membutuhkan akses data perbankan yang cepat dan tepat. Oleh karena itu, UU OJK harus secara jelas mengatur kewenangan BI untuk menggunakan informasi data OJK. Bagi bank sentral, kewenangan ini sangat penting untuk mengambil keputusan yang cepat dan tepat terhadap keadaan perbankan nasional.(moneter?) Pemerintah dan DPR tentu sudah memikirkan arti pentingnya koordinasi dengan otoritas fiskal dan otoritas moneter. Tanpa adanya koordinasi, OJK bisa salah dalam membuat kebijakan. OJK harus mampu menjawab perkembangan sistem keuangan global yang kian kompleks. Jangan sampai independensi itu justru menciptakan birokrasi baru dan menciptakan ketidakpastian pasar keuangan. Lembaga pengawas keuangan ini harus bisa memberikan kepastian dan kejelasan tanggung jawab. Hal ini sangat penting untuk stabilitas finansial dan kepercayaan masyarakat. OJK Indonesia harus belajar dari kegagalan lembaga sejenis di Negara lain. Jangan sampai RUU OJK yang telah menyita waktu dan dana tidak sedikit berakhir sia-sia. Inggris dan Korea bisa menjadi contoh yang baik dalam hal ini. Kedua negara itu merasakan betapa kehadiran OJK yang independent terbukti tidak efektif. Semangat dan latar belakang pembentukan OJK di Indonesia dan Korea adalah sama, yakni

setelah krisis moneter 1997. Saat itu, pembentukan OJK dianggap merupakan resep untuk menjaga kestabilan finansial. Faktanya, OJK independen tidak berjalan lancar. Hal itu tercermin pada krisis keuangan 2008. Kegagalan OJK di Korea terletak pada masalah koordinasi. Demi kebijakan makro yang prudent, Parlemen Korea akhirnya memberikan mandat kepada Bank of Korea untuk melakukan pemeriksaan kepada bank tanpa perlu persetujuan OJK Korea (FSS). Masalah koordinasi juga menjadi penyebab utama kegagalan OJK di Inggris. Sebagai lembaga baru, OJK Indonesia harus bisa menghilangkan penyebab kegagalan lembaga sejenis di kedua negara itu. Pengalihan pengawasan pasar modal dan lembaga keuangan paling lambat 31 Desember 2012. Untuk pengawasan perbankan, paling lambat 31 Desember 2013, OJK akan mengambil alih pengawasan yang sebelumnya dilakukan Bank Indonesia. Setelah pengawasan beralih ke OJK, BI hanya akan mengurusi kebijakan moneter dan sistem pembayaran. Kewenangan regulasi perbankan seperti pemberian izin pendirian bank dan kesehatan bank, berpindah ke OJK. BI tetap memiliki hak untuk inspeksi mendadak terhadap bankbank yang berpotensi sistemik. Saat muncul krisis, kita berharap pembentukan Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) mampu menjalankan fungsinya dengan benar. Terlebih lagi, FKSSK tidak memerlukan persetujuan parlemen untuk menentukan krisis dan mengambil tindakan. Efektivitas peran OJK tergantung kekompakan antarelemen di OJK, terutama yang terkait tugas Bank Indonesia. Kita berharap FKSSK berperan aktif agar OJK berjalan efektif. Setelah pembahasan RUU OJK berakhir, masyarakat dan pelaku usaha kini menantikan realisasi pembentukan lembaganya. Proses seleksi dewan komisioner merupakan tahapan paling krusial. Seperti halnya saat pembahasan RUU OJK, proses seleksi dan pemilihan pejabat OJK kemungkinan bakal alot. Proses seleksi ini akan melibatkan banyak pihak, termasuk BI, menkeu, presiden, dan DPR. Dalam proses ini, tarik menarik kepentingan sangat mungkin terjadi. Kita berharap, pemerintah dan DPR hendaknya mengedepankan independensi, koordinasi, proaktif, dan integritas.

Anda mungkin juga menyukai