Anda di halaman 1dari 6

MAKALAH ASUHAN PADA BAYI BARU LAHIR

Oleh: 1. Sabariah 2. Susilowati 3. Usdah

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES) ABDI NUSANTARA JAKARTA 2012

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah kegawatan neonatus yang mungkin dihadapi di kamar bersalin dapat meliputi gangguan pada sistem napas atau kelainan sirkulasi kardiovaskular. Kedua gangguan tersebut dapat diperlihatkan gambaran klinis yang ringan seperti takikardia, bradikardia, ataupun gejala berat seperti apneu, sianosis dan henti jantung. Gangguan ini timbul tidak hanya akibat langsung hipoksia / iskemia janin, tetapi mungkin pula disebabkan kelainan kongenital yang terdapat pada bayi. Pada bayi dengan hipoksia dan iskemia, gangguan utama yang mungkin terjadi adalah asfiksia neonatus yang berakibat terjadinya perubahan homeostasis sehingga bayi memerlukan resusitasi aktif. Gangguan fungsi napas bayi dapat pula terlihat pada penderita kelainan bawaan. Atresia koana, aplasia / hipoplasia paru, hernia diafragma adalah beberapa keadaan yang dapat menimbulkan gangguan napas saat bayi di kamar bersalin. Pada keadaan tersebut paru bayi tidak dapat mengembang sempurna karena masuknya udara ke dalam paru terganggu atau karena adanya hambatan pengembangan paru itu sendiri. Beberapa obat yang diberikan pada ibu selama persalinan dapat pula menimbulkan gangguan napas segera setelah lahir. Gangguan napas tersebut terutama timbul apabila obat seperti morfin, barbiturat, reserpin, dan obat narkotik lainnya diberikan pada ibu dengan dosis yang berlebihan pada saat persalinan. Demikian pula pemberian anestesi berlebihan pada persalinan operatif dapat menimbulkan keadaan yang sama. Bayi sering terlihat sianosis saat lahir dan setelah resusitasi pernapasan tetap tampak lambat dan dangkal. Pada penderita sedemikian bantuan ventilasi sering kali dibutuhkan. Bila ada indikasi, dapat pula dilakukan ventilasi mekanik sambil menunggu berkurangnya efek obat dan timbulnya napas spontan pada bayi. Keadaan kegawatan yang disebabkan gangguan kardiovaskular terutama ditemukan berupa renjatan neonatus. Keadaan ini dapat timbul pada perdarahan selama kehamilan/persalinan (transfusi feto-fetal/feto-maternal, perdarahan

karena kelainan atau robekan plasenta). Renjatan dapat pula terlihat pada penderita anemia hemolitik yang berat seperti pada inkompabilitas darah Rh. Gambaran klinis yang terlihat pada penderita renjatan diantaranya adalah gawat napas, sianosis, pucat, dingin, hipotonia, bradikardi atau takikardia, hepatosplenomegali dan mungkin disertai kejang. Pada keadaan demikian, renjatan diperbaiki dengan pemberian cairan intravena disertai pemberian darah/plasma dengan memperhatikan kebutuhan akan elektrolit dan cairan tubuh. Oksigen diberikan sesuai dengan kebutuhan, sedangkan asidosis yang timbul sebaiknya dikoreksi dengan pemberian Natrium bikarbonat. Kalau diperlukan dapat pula diberikan dopamin untuk memperkuat fungsi jantung dan dan memperbaiki tekanan darah bayi. Selanjutnya penyebab renjatan harus segera diidentifikasi agar penatalaksanaan disesuaikan dengan penyebab tersebut. Ikterus terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah. Pada sebagian besar neonatus, ikterus akan ditemukan dalam minggu pertama kehidupannya. Dikemukakan bahwa angka kejadian ikterus terdapat pada 60% bayi cukup bulan dan 80% bayi kurang bulan. Di RSU Dr. Soetomo Surabaya ikterus patologis 9,8% (tahun 2002) dan 15,66% (tahun 2003). RSAB Harapan Kita Jakarta melakukan transfusi tukar 14 kali/bulan (tahun 2002). Di Hospital Bersalin Kualalumpur dengan tripple phototherapy tidak ada lagi kasus yang memerlukan tindakan transfusi tukar (tahun 2004), demikian pula di Vrije Universitiet Medisch Centrum Amsterdam dengan double phototherapy (tahun 2003). Ikterus ini pada sebagian penderita dapat bersifat fisiologis dan pada sebagian lagi mungkin bersifat patologis yang dapat menimbulkan gangguan yang menetap atau menyebabkan kematian. Oleh karena itu, setiap bayi dengan ikterus harus mendapatkan perhatian, terutama apabila ikterus ditemukan dalam 24 jam pertama kehidupan bayi atau bila kadar bilirubin meningkat > 5 mg/dL (> 86mol/L) dalam 24 jam. Proses hemolisis darah, infeksi berat, ikterus yang berlangsung lebih dari 1 minggu serta bilirubin direk >1 mg/dL juga merupakan keadaan yang menunjukkan kemungkinan adanya ikterus patologis. Dalam keadaan tersebut penatalaksanaan ikterus harus dilakukan sebaik-baiknya agar akibat buruk ikterus dapat dihindarkan. Walaupun pada tahun 1970-an kasus kernikterus sudah tidak ditemukan lagi di Washington, namun pada tahun 1990an ditemukan 31 kasus kernikterus (data Georgetown University Medical Centre Washington D.C. tahun 2002).

Kejang merupakan gangguan neurologis yang lazim pada kelompok umur pediatri dan terjadi dengan frekuensi 4-6 kasus/1000 anak. Kejang ini merupakan penyebab yang paling sering untuk rujukan pada praktek neurologi anak. Adanya gangguan kejang tidak merupakan diagnosis, tetapi gejala suatu gangguan sistem saraf sentral (SSS) yang memerlukan pengamatan menyeluruh dan rencana manajemen. Penyakit ini juga menjadi salah satu masalah sistem saraf pusat yang banyak terdapat pada neonatus. Kejadiannya meliputi 0,5% dari semua neonatus baik cukup bulan maupun kurang bulan. Kejang pada periode bayi (neonatus) merupakan keadaan darurat medis, karena kejang dapat mengakibatkan hipoksia otak yang cukup berbahaya bagi kelangsungan hidup bayi atau dapat mengakibatkan sekuele di kemudian hari,. Kejang halus/subtle seizure adalah jenis yang paling umum kejang yang terjadi dalam periode neonatal. Jenis lain termasuk serangan klonic, tonik dan myoklonic. Serangan myoklonic membawa prognosis terburuk dari segi jangka panjang hasil perkembangan saraf. Ensefalopati iskemik hipoksik adalah penyebab paling umum neonatal kejang. Angka kejadian kejang pada neonatus terjadi lebih tinggi pada bayi kurang bulan (3,9%) pada bayi dengan usia kehamilan < 30 minggu. Di Amerika Serikat, angka kejadian kejang pada neonatus belum jelas terdeteksi, diperkirakan sekitar 80-120 per 100.000 neonatus per tahun. Perbandingannya antara 1-5:1000 angka kelahiran. Menurut SDKI 2002-2003 angka kematian pada neonatus di Indonesia menduduki angka 57% dari angka kematian bayi (AKB) sedangkan kematian neonatus yang diakibatkan oleh kejang sekitar 10%. Neonatus menghadapi risiko khusus terserang kejang karena penyakit metabolik, toksik, struktural, dan infeksi lebih mungkin menjadi nampak selama waktu ini daripada pada periode kehidupan lain kapanpun. Kejang neonatus tidak sama dengan kejang pada anak atau orang dewasa karena konvulsi tonik klonik cenderung tidak terjadi selama umur bulan pertama. Di dalam tubuh ibunya, suhu tubuh fetus selalu terjaga, begitu lahir maka hubungan dengan ibunya sudah terputus dan neonatus harus mempertahankan suhu tubuhnya sendiri melalui aktifitas metabolismenya.Perubahan kondisi terjadi pada neonatus yang baru lahir. Di dalam tubuh ibunya, suhu tubuh fetus selalu terjaga, begitu lahir maka hubungan dengan ibunya sudah terputus dan neonatus harus mempertahankan suhu tubuhnya sendiri melalui aktifitas metabolismenya. Semakin kecil tubuh neonatus, semakin sedikit cadangan lemaknya. Semakin kecil tubuh neonatus juga semakin tinggi rasio permukaan tubuh dengan

massanya. Temperatur rektal biasanya lebih rendah 1-2 oF atau 0,556- 1,112 oC di banding suhu inti tubuhnya. Suhu membran timpani sangat akurat karena telinga tengah mempunyai sumber vaskular yang sama sebagaimana vaskular yang menuju hipotalamus. Suhu permukaan kulit meningkat atau turun sejalan dengan perubahan suhu lingkungan. Sedangkan suhu inti tubuh diatur oleh hipotalamus. Namun pada pediatrik, pengaturan tersebut masih belum matang dan belum efisien. Oleh sebab itu pada pediatrik ada lapisan yang penting yang dapat membantu untuk mempertahankan suhu tubuhnya serta mencegah kehilangan panas tubuh yaitu rambut, kulit dan lapisan lemak bawah kulit. Ketiga lapisan tersebut dapat berfungsi dengan baik dan efisien atau tidak bergantung pada ketebalannya. Sayangnya sebagian besar pediatrik tidak mempunyai lapisan yang tebal pada ketiga unsur tersebut. Semakin kecil tubuh neonatus, semakin sedikit cadangan lemaknya. Semakin kecil tubuh neonatus juga semakin tinggi rasio permukaan tubuh dengan massanya. Temperatur rektal biasanya lebih rendah 1-2 oF atau 0,556- 1,112 oC di banding suhu inti tubuhnya. Suhu membran timpani sangat akurat karena telinga tengah mempunyai sumber vascular yang sama sebagaimana vaskular yang menuju hipotalamus. Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi baru lahir yang berat badan lahirnya pada saat kelahiran kurang dari 2500 gram. dulu bayi baru lahir yang berat badannya kurang atau sama dengan 2500 gram (2500 gram) disebut bayi prematur. Tetapi ternyata morbiditas dan mortalitas neonatus tidak hanya bergantung pada berat badannya, tetapi juga pada maturitas bayi itu. Angka bayi berat lahir rendah (BBLR) masih cukup tinggi, terutama di negara dengan sosio ekonomi rendah. Data statistik menunjukkan sekitar 90 kasus BBLR terjadi di negara berkembang. Di negara berkembang, angka kematian BBLR mencapai 35 kali lebih tinggi dibandingkan bayi dengan berat lahir di atas 2500 gram. Sejak tahun 1981, frekuensi BBLR telah naik, terutama karena adanya kenaikan jumlah kelahiran preterm. Sekitar 30% bayi BBLR di Amerika Serikat mengalami dismaturitas, dan dilahirkan sesudah 37 minggu. Di negara-negara yang sedang berkembang sekitar 70% bayi BBLR tergolong dismaturitas. Di Negara maju, angka kejadian kelahiran bayi prematur adalah sekitar 6-7%. Di Negara sedang berkembang, angka kelahiran ini lebih kurang tiga kali lipat. Di Indonesia, kejadian bayi prematur belum dapat dikemukakan, tetapi angka kejadian BBLR di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo pada tahun 1986 adalah 24%. Angka

kematian perinatal di rumah sakit pada tahun yang sama adalah 70%, dan 73% dari seluruh kematian disebabkan oleh BBLR. Tetanus neonatorum merupakan suatu istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan terjadinya penyakit tetanus pada neonatus (bayi berusia 3-28 hari). Tetanus neonatorum merupakan suatu penyakit yang berbahaya dan memilki tingkat morbiditas yang tinggi. Data WHO tahun 2005 menunjukan Tetanus neonatorum merupakan penyebab dari 14 % kematian neonatus di dunia. Clostridium tetani merupakan bakteri yang menyebabkan terjadinya penyakit tetanus, di mana pada bayi baru lahir infeksi terutama terjadi melalui luka saat pemotongan tali pusat atau akibat proses partus yang kurang steril. Proses partus dan penanganan tali pusat yang kurang steril memungkinkan adanya infeksi bakteri sehingga membahayakan baik bagi si bayi maupun ibu melahirkan. Hal inilah yang menyebabkan 90% kasus tetanus neonatorum terjadi di negara negara yang kurang dan masih berkembang, di mana standar kesehatan masih sangat rendah dan fasilitas kesehatan yang layak tidak tersedia atau terbatas. Pencegahan penyakit ini sebenarnya sangat mudah dan menjadi fokus utama WHO, yaitu dengan pemberian vaksin pada ibu sebelum atau selama masa kehamilan; proses partus serta penanganan paska melahirkan yang steril. WHO telah mencanangkan program eliminasi tetanus maternal dan tetanus neonatorum sejak tahun 1989. Program ini telah berhasil dilaksanakan oleh negara-negara maju dan sebagian negara berkembang sehingga tetanus neonatorum sangat jarang ditemukan di negara-negara tersebut.

Anda mungkin juga menyukai