Anda di halaman 1dari 3

PERNYATAAN SIKAP PERHIMPUNAN RAKYAT PEKERJA

Nomor: 429/PS/KP-PRP/e/X/12 Cabut UU Pendidikan Tinggi yang Diskrimintatif! Tolak Komersialisasi Pendidikan di Indonesia!
Salam rakyat pekerja, Kritik terhadap Undang-Undang Pendidikan Tinggi (UU PT) yang disahkan oleh DPR, belum juga usai dilakukan oleh masyarakat luas. UU Pendidikan Tinggi yang disahkan pada tanggal 13 Juli 2012 tersebut, kemudian diajukan oleh masyarakat ke Mahkamah Konstitusi untuk diuji material dan baru saja menjalani sidang pertamanya pada tanggal 18 Oktober 2012 yang lalu. Pengajuan UU PT ke meja sidang Mahkamah Konstitusi ini memang sudah dapat diprediksi sebelumnya, ketika kritik yang dilontarkan oleh berbagai kalangan terhadap UU ini tidak pernah didengarkan oleh DPR. Sejak awal, semangat pembentukan UU PT ini memang dirasa sangat tidak sesuai dengan visi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Substansi UU PT tersebut lebih banyak diwarnai untuk melepaskan peran negara dari tanggung jawabnya dalam memenuhi hak atas pendidikan bagi seluruh warga negara. Selain itu, UU PT ini juga sangat diskriminatif terhadap para pekerja yang berada di wilayah pendidikan tinggi. Substansi dari UU PT ini sendiri sebenarnya memiliki semangat yang sama dengan UU Badan Hukum Pendidikan (UU BHP), yang telah disahkan pada tanggal 17 Desember 2008 namun dibatalkan secara hukum oleh Mahmakah Konstitusi pada tanggal 31 Maret 2010, karena dianggap inkonstitusional dan membenarkan diskriminasi dalam dunia pendidikan. Namun setelah pembatalan UU BHP tersebut, Bank Dunia, pada tanggal 17 April 2010, mengeluarkan dokumen Indonesia Managing Higher Education for Relevance and Efficiency (IMHERE) yang berbunyi: A new BHP must be passed to establish the independent legal status of all education institutions in Indonesia (public and private), thereby making BHMN HEIs a legal subset of BHP. Dalam dokumen tersebut diperlihatkan, bahwa masalah pendidikan di Indonesia sebagai masalah publik yang kurang mengeluarkan uang untuk pendidikan tinggi. Hal ini berdampak pada masyarakat yang dipaksa untuk mengeluarkan uang lebih banyak untuk pendidikan tinggi kaerna dianggap sebagai barang tersier. Untuk menjalankan amanat Bank Dunia tersebut, maka rezim neoliberal bersama dengan partai-partai politik borjuasi memunculkan Rancangan UU Pendidikan Tinggi (RUU PT) yang isinya mengulang apa yang telah dibatalkan oleh MK dalam UU BHP, walaupun dalam kemasan yang berbeda. Hal ini dapat kita lihat dalam pasal 74 ayat 1 UU Pendidikan Tinggi yang mencantumkan ketentuan mengenai pembatasan minimal penerimaan mahasiswa miskin di perguruan tinggi sebesar 20%, padahal ketentuan ini telah dinyatakan

diskriminatif dalam amar putusan MK mengenai pembatalan UU BHP. Ketentuan ini sangat rentan akan menjadi dalih bagi perguruan tinggi untuk lepas tangan setelah memenuhi kuota mahasiswa kurang mampu tersebut. UU Pendidikan Tinggi ini juga akan semakin mempersulit akses pendidikan bagi masyarakat, karena tingginya biaya pendidikan. Semangat komersialisasi pendidikan ini termaktub dalam pasal 73 tentang penerimaan mahasiswa baru yang memungkinkan bentuk penerimaan mahasiswa baru selain ketentuan nasional. Bentuk penerimaan mahasiswa baru selain ketentuan nasional ini akan tetap melanggengkan lahan komersialisasi pendidikan di mana secara tidak langsung perguruan tinggi akan menyeleksi mahasiswa secara ekonomi dan dijadikan lahan untuk meraup keuntungan bagi perguruan tinggi dari calon mahasiswanya. Tanpa adanya UU Pendidikan Tinggi ini saja, privatisasi dan komersialisasi pendidikan sudah berjalan di Indonesia. Menurut data BPS pada tahun 2010, angka partisipasi kasar pendidikan tinggi di Indonesia sebesar 16,35 dan angka partisipasi murni perguruan tinggi adalah 11,01. Sementara pada tahun 2011, jumlah mahasiswa Indonesia baru mencapai 4,8 juta orang. Bila dihitung terhadap populasi penduduk berusian 19-24 tahun, maka angka partisipasi kasarnya baru sekitar 18,4%. Hal ini merupakan bukti dari berbagai masalah yang dihadapi rakyat pekerja akibat privatisasi dan komersialisasi pendidikan, seperti mahalnya biaya sekolah/kuliah, kesejahteraan tenaga/pekerja kependidikan, kurikulum pendidikan, mahalnya jalur masuk kuliah, dan lain sebagainya. UU Pendidikan Tinggi ini juga akan berdampak pada para pekerja kependidikan yang akan mengalami diskriminasi. UU Pendidikan Tinggi ini akan melegalkan praktik-praktik multi-sistem kepegawaian yang merugikan pekerja, yang sebenarnya sudah berlangsung secara ilegal sejak zaman BHMN. Seharusnya, kalau sebuah perguruan tinggi sudah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN), maka semua pekerja pada perguruan tinggi akan dirubah statusnya sesuai dengan UU Ketenagakerjaan, baik pekerja yang sudah PNS maupun pekerja non-PNS. Namun yang terjadi sejak beberapa perguruan tinggi menjadi BHMN pada tahun 2000 adalah tumpang tindihnya status kepegawaian yang dialami pekerja kependidikan. Sebagian besar perguruan tinggi yang menjadi BHMN pada tahun 2000, masih saja mengangkat PNS. Hal ini berakibat hingga saat ini ada berbagai status pekerja yang dialami oleh pekerja kependidikan, seperti pekerja perguruan tinggi, PNS, dan pekerja yang tidak memiliki status apapun atau pekerja non-status. Status pekerja ini pada akhirnya menyebabkan diskriminasi pada karir intelektual pekerja kependidikan, seperti syarat dosen tetap non-PNS untuk menjadi profesor adalah sudah bekerja selama 10 tahun, namun syarat ini tidak berlaku bagi yang sudah berstatus PNS. Pasal-pasal ketenagakerjaan yang diatur dalam pasal 69-71 dalam UU Pendidikan Tinggi ini juga tidak merujuk kepada UU Ketenagakerjaan, namun merujuk kepada UU Sistem Pendidikan Nasional. Hal ini akan berdampak pada tidak adanya UU yang mengatur penyelesaian masalah ketenagakerjaan di perguruan tinggi. Jika ada perselisihan, maka mekanisme penyelesaiannya akan diserahkan kepada mekanisme perguruan tinggi. Hal ini akan menyebabkan perguruan tinggi memiliki hak prerogatif untuk mengatur atau tidak mengatur konflik ketenagakerjaan di perguruan tinggi. Konsep ini sebenarnya menjadi salah

satu ciri khas dari Labor Market Flexibility yang diinginkan oleh para pemilik modal untuk mengontrol secara penuh para buruh/pekerjanya. Artinya, para pekerja di dunia kependidikan pun akan sangat rentan untuk mendapatkan hak-hak normatifnya. Berbagai permasalahan di atas semakin memperlihatkan bagaimana rezim neoliberal memandang dunia pendidikan di Indonesia. Visi pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi omong kosong ketika rezim neoliberal memperlakukan dunia pendidikan seperti halnya barang dagangan belaka, serta hanya untuk meraup keuntungan dari rakyat pekerja yang ingin memasuki dunia pendidikan tinggi. Rezim neoliberal di manapun memang tidak pernah menganggap dunia pendidikan sebagai upaya untuk mencerdaskan bangsa. Rezim neoliberal hanya melihat dunia pendidikan merupakan sebuah alat untuk mempersiapkan tenaga-tenaga kerja yang siap untuk terjun dan berkontribusi dalam dunia industri yang menguntungkan bagi pemilik modal. Maka dari itu, kami dari Perhimpunan Rakyat Pekerja menyatakan sikap:
1. Mendesak Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mencabut Undang-Undang RI nomor

12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang inkonstitusional dan diskrimintatif; 2. Seluruh elemen gerakan rakyat di Indonesia harus menyiapkan ketentuan-ketentuan yang mengatur dunia pendidikan agar mampu memenuhi visi pendidikan yang dapat mencerdaskan kehidupan bangsa, pendidikan yang murah atau bahkan gratis, ilmiah dan bervisi kerakyatan; 3. Bangun kekuatan politik alternatif dari seluruh elemen gerakan rakyat untuk menumbangkan rezim neoliberal dan menghancurkan sistem neoliberalisme di Indonesia; 4. Kapitalisme-neoliberal terbukti telah gagal untuk mensejahterakan rakyat, dan hanya dengan SOSIALISME lah maka rakyat akan sejahtera.

Jakarta, 29 Oktober 2012 Komite Pusat - Perhimpunan Rakyat Pekerja (KP-PRP) Ketua Nasional ttd. (Anwar Ma'ruf) Sekretaris Jenderal ttd (Rendro Prayogo)

Contact Persons: Anwar Ma'ruf Ketua Nasional (0812 1059 0010)

Anda mungkin juga menyukai