Anda di halaman 1dari 19

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi dan Fisiologi Tulang A.

Anatomi Tulang Tulang terdiri dari sel-sel yang berada pada intra-seluler. Tulang berasal dari embrionic hyaline cartilage yang mana melalui proses osteogenesis menjadi tulang . Proses ini dilakukan oleh sel-sel yang disebut osteoblast. Proses mengerasnya tulang akibat penimbunan garam kalsium. Dalam tubuh manusia terdapat 206 tulang yang dapat diklasifikasikan dalam lima kelompok berdasarkan bentuknya, antara la in: a. Tulang panjang (Femur, Humerus) yang terdiri dari batang tebal panjang y ang disebut diafisis dan dua ujung yang disebut epifisis. Di sebelah proksimal d ari epifisis terdapat metafisis. Di antara epifisis dan metafisis terdapat daera h tulang rawan yang tumbuh, yang disebut lempeng epifisis atau lempeng pertumbuh an. Tulang panjang tumbuh karena akumulasi tulang rawan di lempeng epifisis. Tul ang rawan digantikan oleh sel-sel tulang yang dihasilkan oleh osteoblas, dan tul ang memanjang. Batang dibentuk oleh jaringan tulang yang padat. Epifisis dibentu k dari spongy bone (cancellous atau trabecular). Pada akhir tahun-tahun remaja t ulang rawan habis, lempeng epifisis berfusi, dan tulang berhenti tumbuh. Hormon pertumbuhan, estrogen, dan testosteron merangsang pertumbuhan tulang panjang. Es trogen, bersama dengan testosteron, merangsang fusilempeng epifisis. Batang suat u tulang panjang memiliki rongga yang disebut kanalis medularis. Kanalis medular is berisi sumsum tulang. b. Tulang pendek (carpals) dengan bentuk yang tidak teratur, dan inti dari cancellous (spongy) dengan suatu lapisan luar dari tulang yang padat. c. Tulang pendek datar (tengkorak) terdiri atas dua lapisan tulang padat de ngan tulang concellous sebagai lapisan luarnya. d. Tulang yang tidak beraturan (vertebrata) sama seperti dengan tulang pend ek. e. Tulang sesamoid merupakan tulang kecil, yang terletak di sekitar tulang yang berdekatan dengan persediaan dan didukung oleh tendon dan jaringan fasial, misalnya patella (kap lutut). Tulang tersusun atas sel, matriks protein dan deposit mineral. Sel-selnya terdir i atas tiga jenis dasar, yaitu; osteoblas, osteosit dan osteoklas. Osteoblas ber fungsi dalam pembentukan tulang dengan mensekresikan matriks tulang. Adapun matr iks tersusun atas 98% kolagen dan 2% subtansi dasar (glukosaminoglikan, asam pol isakarida) dan proteoglikan. Matriks merupakan kerangka dimana garam-garam miner al anorganik ditimbun. Selanjutnya, osteosit adalah sel dewasa yang terlibat dal am pemeliharaan fungsi tulang dan terletak dalam osteon (unit matriks tulang). S ementara osteoklas adalah sel multinuclear (berinti banyak) yang berperan dalam penghancuran, resorpsi dan remosdeling tulang. Osteon merupakan unik fungsional mikroskopis tulang dewasa. Di tengah osteon ter dapat kapiler. Dikelilingi kapiler tersebut merupakan matriks tulang yang dinama kan lamella. Di dalam lamella terdapat osteosit, yang memperoleh nutrisi melalui prosesus yang berlanjut ke dalam kanalikuli yang halus (menghubungkan pembuluh darah sejauh kurang dari 0,1 mili meter). Tulang diselimuti oleh membran fibrous padat yang dinamakan periosteum. Periosteum memberi nutrisi ke tulang dan memun gkinkannya tumbuh, selain sebagai tempat perlekatan tendon dan ligamen. Perioste um mengandung saraf, pembuluh darah, dan limfatik. Lapisan yang paling dekat den gan tulang mengandung osteoblast, yang merupakan sel pembentuk tulang. Endosteum adalah membran vaskuler tipis yang menutupi rongga sumsum tulang panjang dan ro ngga-rongga dalam tulang kanselus. Osteoklast, yang melarutkan tulang untuk meme lihara rongga sumsum, terletak dekat endosteum dan dalam lacuna howship (cekunga n pada permukaan tulang). Struktur tulang dewasa terdiri dari 30% bahan organik (hidup) dan 70% endapan ga ram. Bahan organik disebut matriks, dan terdiri dari lebih dari 90% serat kolage n dan kurang dari 10% proteoglikan (protein plus sakarida). Deposit garam teruta ma adalah kalsium dan fosfat, dengan sedikit natrium, kalium karbonat, dan ion m agnesium. Garam-garam menutupi matriks dan berikatan dengan serat kolagen melalu

i proteoglikan. Adanya bahan organic menyebabkan tulang memiliki kekuatan tensif (resistensi terhadap tarikan yang meregangkan). Sedangkan garam-garam menyebabk an tulang memiliki kekuatan kompresi (kemampuan menahan tekanan). Pembentukan tulang berlangsung secara terus menerus dan dapat berupa pemanjangan dan penebalan tulang. Kecepatan pembentukan tulang berubah selama hidup. Pemben tukan tulang ditentukan oleh rangsangan hormon, factor makanan, dan jumlah stres yang dibebankan pada suatu tulang, dan terjadi akibat aktivitas sel-sel pembent uk tulang yaitu osteoblas. Osteoblas dijumpai dipermukaan luar dan dalam tulang. Osteoblas berespon terhadap berbagai sinyal kimiawi untuk menghasilkan matriks tulang. Sewaktu pertama kali dibentuk, matriks tulang disebut osteoid. Dalam beb erapa hari garam-garam kalsium mulai mengendap pada osteoid dan mengeras selama beberapa minggu atau bulan berikutnya. Sebagian osteoblast tetap menjadi bagian dari osteoid, dan disebut osteosit atau sel tulang sejati. Seiring dengan terben tuknya tulang, osteosit dimatriks membentuk tonjolan tonjolan yang menghubungkan osteosit satu dengan osteosit lainnya membentuk suatu sistem saluran mikroskopi k di tulang. Kalsium adalah salah satu komponen yang berperan terhadap tulang, sebagian ion k alsium di tulang tidak mengalarni kristalisasi. Garam nonkristal ini dianggap se bagai kalsium yang dapat dipertukarkan, yaitu dapat dipindahkan dengan cepat ant ara tulang, cairan interstisium, dan darah. Sedangkan penguraian tulang disebut absorpsi, terjadi secara bersamaan dengan pembentukan tulang. Penyerapan tulang terjadi karena aktivitas sel-sel yang disebut osteoklas. Osteoklas adalah sel fa gositik multinukleus besar yang berasal dari sel-sel mirip-monosit yang terdapat di tulang. Osteoklas tampaknya mengeluarkan berbagai asam dan enzim yang mencer na tulang dan memudahkan fagositosis. Osteoklas biasanya terdapat pada hanya seb agian kecil dari potongan tulang, dan memfagosit tulang sedikit demi sedikit. Se telah selesai di suatu daerah, osteoklas menghilang dan muncul osteoblas. 0steob las mulai mengisi daerah yang kosong tersebut dengan tulang baru. Proses ini mem ungkinkan tulang tua yang telah melemah diganti dengan tulang baru yang lebih ku at. Keseimbangan antara aktivitas osteoblas dan osteoklas menyebabkan tulang terus m enerus diperbarui atau mengalami remodeling. Pada anak dan remaja, aktivitas ost eoblas melebihi aktivitas osteoklas, sehingga kerangka menjadi lebih panjang dan menebal. Aktivitas osteoblas juga melebihi aktivitas osteoklas pada tulang yang pulih dari fraktur. Pada orang dewasa muda, aktivitas osteoblas dan osteoklas b iasanya setara, sehingga jumlah total massa tulang konstan. Pada usia pertengaha n, aktivitas osteoklas melebihi aktivitas osteoblas dan kepadatan tulang mulai b erkurang. Aktivitas osteoklas juga meningkat pada tulang-tulang yang mengalami i mobilisasi. Pada usia dekade ketujuh atau kedelapan, dominansi aktivitas osteokl as dapat menyebabkan tulang menjadi rapuh sehingga mudah patah. Aktivitas osteob las dan osteoklas dikontrol oleh beberapa faktor fisik dan hormon. Faktor-faktor yang mengontrol aktivitas osteoblas dirangsang oleh olahraga dan s tres beban akibat arus listrik yang terbentuk sewaktu stres mengenai tulang. Fra ktur tulang secara drastis merangsang aktivitas osteoblas, tetapi mekanisme past inya belum jelas. Estrogen, testosteron, dan hormone perturnbuhan adalah promoto r kuat bagi aktivitas osteoblas dan pertumbuhan tulang. Pertumbuhan tulang diper cepat semasa pubertas akibat melonjaknya kadar hormon-hormon tersebut. Estrogen dan testosteron akhirnya menyebabkan tulang-tulang panjang berhenti tumbuh denga n merangsang penutupan lempeng epifisis (ujung pertumbuhan tulang). Sewaktu kada r estrogen turun pada masa menopaus, aktivitas osteoblas berkurang. Defisiensiho rmon pertumbuhan juga mengganggu pertumbuhan tulang. Vitamin D dalam jumlah kecil merangsang kalsifikasi tulang secara langsung denga n bekerja pada osteoblas dan secara tidak langsung dengan merangsang penyerapan kalsium di usus. Hal ini meningkatkan konsentrasi kalsium darah, yang mendorong kalsifikasi tulang. Namun, vitamin D dalam jumlah besar meningkatkan kadar kalsi um serum dengan meningkatkan penguraian tulang. Maka, vitamin D dalam jumlah bes ar tanpa diimbangi kalsium yang adekuat dalam makanan akan menyebabkan absorpsi tulang. Ada pun faktor-faktor yang mengontrol aktivitas osteoklas terutama dikontrol ole h hormon paratiroid. Hormon paratiroid dilepaskan oleh kelenjar paratiroid yang

terletak tepat di belakang kelenjar tiroid. Pelepasan hormone paratiroid meningk at sebagai respons terhadap penurunan kadar kalsium serum. Hormon paratiroid men ingkatkan aktivitas osteoklas dan merangsang pemecahan tulang untuk membebaskan kalsium ke dalam darah. Peningkatan kalsium serum bekerja secara umpan balik neg atif untuk menurunkan pengeluaran hormon paratiroid lebih lanjut. Estrogen tampa knya mengurangi efek hormon paratiroid pada osteoklas. Efek lain hormon paratiroid adalah meningkatkan kalsium serum dengan menurunkan sekresi kalsium oleh ginjal. Hormon paratiroid meningkatkan ekskresi ion fosfat oleh ginjal sehingga menurunkan kadar fosfat darah. Pengaktifan vitamin D di gin jal bergantung pada hormon paratiroid. Sedangkan kalsitonin adalah suatu hormon yang dikeluarkan oleh kelenjar tiroid sebagai respons terhadap peningkatan kadar kalsium serum. Kalsitonin memiliki sedikit efek menghambat aktivitas dan pernbe ntukan osteoklas. Efek-efek ini meningkatkan kalsifikasi tulang sehingga menurun kan kadar kalsium serum. B. Fisiologi Fungsi tulang adalah sebagai berikut : a. Mendukung jaringan tubuh dan memberikan bentuk tubuh. b. Melindungi organ tubuh (misalnya jantung, otak, dan paru-paru) dan jarin gan lunak. c. Memberikan pergerakan (otot yang berhubungan dengan kontraksi dan perger akan). d. Membentuk sel-sel darah merah didalam sum-sum tulang belakang (hema topo iesis). e. Menyimpan garam mineral, misalnya kalsium, fosfor. 2.2 Definisi Kata osteoporosis berasal dari bahasa yunani yaitu osteo yang berarti tulang dan porous yang berarti keropos. Menurut Endang Purwoastuti (2009) penyakit osteopo rosis adalah penyakit tulang yang dapat menyebabkan berkurangnya kepadatan tulan g, yang disertai dengan penurunan kualitas jaringan tulang yang pada akhirnya da pat menimbulkan kerapuhan pada tulang. Zat kapur, kalsium adalah mineral terban yak dalam tubuh kurang lebih 98% kalsium dalam tubuh terdapat di dalam tulang. I vy Alexander & Karla A. Knight (2010), menjelaskan Osteoporosis merupakan salah s atu penyakit yang terdapat pada tulang. Osteoporosis adalah penyakit yang dapat menyebabkan penurunan massa tulang. Osteoporosis adalah penyakit di mana tulang menjadi kurang padat, kehilangan kekuatannya, dan kemungkinan besar patah. Sedangkan menurut World Health Organisation (WHO) dan ahli (seperti dikutip Ferd inan Zaviera , 2007), mengartikan Osteoporosis sebagai penyakit yang ditandai de ngan rendahnya massa tulang dan memburuknya mikrostruktural jaringan tulang, yan g menyebabkan kerapuhan tulang sehingga meningkatkan risiko terjadinya fraktur. Dimana keadaan tersebut tidak memberikan keluhan klinis, kecuali apabila telah t erjadi fraktur. Osteoporosis adalah suatu keadaan dimana terdapat pengurangan ja ringan tulang per unit volume, sehingga tidak mampu melindungi atau mencegah ter jadinya fraktur terhadap trauma minimal. Pengurangan massa tulang tersebut tidak disertai dengan adanya perubahan perbandingan antara substansi mineral dan orga nic tulang. Secara histopatologis osteoporosis ditandai oleh berkurangnya keteba lan korteks disertai dengan berkurangnya jumlah maupun ukuran trabekula tulang ( Noer, Prof.dr. H.M Sjafoellah, 1996, Buku Ajar ILMU PENYAKIT DALAM Jilid I, Jak arta : Balai Penerbit FKUI ). Osteoporosis adalah kondisi dimana terjadi peningkatan porositas dari tulang. At au dengan kata lain adalah sugresif dari masa tulang, sehingga memudahkan terjad inya patah tulang (Albright JA, 1979). Dapat disimpulkan bahwa osteoporosis adal ah penurunan massa tulang yang membuat tulang menjadi tidak padat dan rawan akan keretakan. 2.3 Epidemologi Berdasarkan penelitian dari American College of Reumatologi Communications and M arketing Committee, mengemukakan bahwa osteoporosis lebih umum terjadi pada lans ia dan orang berkulit putih. Dalam hal ini pria memiliki resiko yang sama dengan wanita. Osteoporosis juga dapat terjadi pada semua usia dan pada semua suku. Us ia diatas 50 th memiliki resiko lebih tinggi terkena osteoporosis dan fraktur. P ada kelompok usia tersebut satu dari dua wanita dan satu dari enam pria sering m

enderita fraktur terkait osteoporosis. Orang berkulit putih dan orang ASIA memil iki resiko yang lebih besar menderita osteoporosis dan fraktur berhubungan denga n osteoporosis. Orang berkulit hitam juga dapat terkena osteoporosis dan fraktur tetapi memiliki resiko lebih rendah dibandingkan dengan penduduk Asia dan orang berkulit putih. (Hans Tandra, 2009). Menurut data WHO pada tahun 2003 ada lebih dari 75 juta orang di Eropa, Amerika dan Jepang menderita osteoporosis dan penyakit tersebut mengakibatkan 2,3 juta k asus patah tulang per tahun di Eropa dan Amerika. Sementara di China tercatat se besar 7 persen dari populasi penduduk yang terserang osteoporosis (http://saksib uletin.com/ index. php? Option =comcontent&task=view&id=18&Itemid=30). Catatan d ari International Osteoporosis Foundation adalah tiap wanita mempunyai resiko fr aktur akibat osteoporosis sebesar 40 persen dalam hidupnya, dan bagi pria angka resikonya adalah 30 persen. Di Amerika Serikat, satu dari dua wanita dan satu di antara delapan pria usia di atas 50 tahun akan mengalami fraktur karena osteoporosis sepanjang hidupnya. Di Inggris, angka yang didapatkan adalah satu dari tiga wanita dan satu dari 12 pr ia. Di Australia, osteoporosis bertambah dari 15 persen pada wanita usia 60-67 t ahun menjadi 71 persen pada usia di atas 80 tahun, dan bagi pria dengan usia yan g sama, angka meningkat dari 1,6 persen menjadi 19 persen. Angka lain yang lebih mengejutkan adalah, sekitar 20 persen orang usia lanjut mengalami patah tulang akan meninggal dunia tiap tahun. Ramalan di tahun 2020 adalah setengah dari oran g berusia diatas 50 tahun di Amerika Serikat akan beresiko mengalami patah tulan g karena osteoporosis. Setelah tahun 2050, diperkirakan akan da 6,3 juta patah t ulang panggul setiap tahun diseluruh dunia, di mana lebih dari setengahnya terda pat di Asia. (Hans Tandra, 2009). Dengan perubahan gaya hidup yang dijalani oleh kebanyakan masyarakat saat ini me nyebabkan osteoporosis bukan hanya dialami wanita dan lansia. Dari hasil pemerik saan Densitas Masa Tulang (DMT) yang dilakukan PT. New Zealand milk terhadap 17 ribu penduduk perempuan dan pria di 14 kota besar di Indonesia didapat bahwa jum lah penderita osteoporosis usia produktif (25- 34 tahun) adalah sebesar 6 % deng an jumlah wanita lebih banyak dibandingkan pria. Kondisi ini diduga berasal dari semakin berkembangnya gaya hidup dan tidak sehat yang salah satunya dipengaruhi oleh era globalisasi seperti merokok, mengkonsumsi minuman beralkohol dan pola makan yang cenderung kearah makanan cepat saji serta kurangnya minat olahraga. M erokok dan mengkonsumsi alkohol yang tinggi dapat meningkatkan osteoporosis dua kali lipat. (Depkes, 2001). Saat ini di seluruh dunia terdapat 200 juta orang mempunyai massa tulang yang re ndah atau dibawah normal. Di Indonesia diperkirakan angka osteoporosis telah men capai 20 persen. Catatan di beberapa kota seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, B andung, dan Medan bahkan sudah mencapai 30 persen. (Hans Tandra, 2009). 2.4 Klasifikasi Klasifikasi osteoporosis di bagi atas tiga bagian, yaitu : a Osteoporosis primer yang dapat terjadi pada tiap kelompok umur. Osteopor osis primer ini terdiri dari dua bagian : 1 Tipe I (Post-menopausal) : Terjadi 15-20 tahun setelah menopause (53-75 tahun). 2 Tipe II : Terjadi pada pri dan wanita usia >70 tahun. b Osteoporosis sekunder Osteoporosis jenis ini dapat terjadi pada tiap kelompok umur yang disebabkan ole h keadaanmedis lainnya atau obat-obatan. c Osteoporosis idiopatik Merupakan jenis osteoporosis yang penyebabnya tidak diketahui. Hal ini terjadi p ada anak-anak dan dewasa muda yang memiliki kadar dan fungsi hormone yang normal , kadar vitamin yang normal dan tidak memiliki penyebab yang jelas dari rapuhnya tulang(Ichramsyah, 2005). 2.5 Etiologi Ada 2 penyebab utama terjadinya Osteoporosis a Pembentukan massa tulang yang kurang baik Selama masa pertumbuhan dan meningkatnya pengurangan masa tulang setelah menopus e. Massa tulang meningkat secara konstan dan mencapai puncak sampai usia 40 tahu

n, pada wanita lebih muda sekitar 30-35 tahun.Walaupun demikian tulang yang hidu p tidak pernah beristirahat dan akan selalu mengadakan remodelling dan memperbah arui cadangan mineralnya sepanjang garis beban mekanik. Faktor pengatur formasi dan resorpsi tulang dilaksanakan melalui 2 proses yang selalu berada dalam keada an seimbang dan disebut coupling. Proses coupling ini memungkinkan aktivitas for masi tulang sebanding dengan aktivitas resorpsi tulang. Proses ini berlangsung 1 2minggu pada orang muda dan 16-20 minggu pada usia menengah atau lanjut. Remodel ling rate adalah 2-10% masa skelet per tahun. Proses remodeling ini dipengaruhi beberapa faktor, yaitu faktor lokal yang menyebabkan terjadinya satu rangkaian k ejadian pada konsep Activation-Resorption-Formation (A RF). Proses ini dipengaru hi oleh protein mitogenik yangberasal dari tulang yang merangsang pre osteoblas supaya membelah menjadi osteoblas akibat adanya aktivitas resorpsi oleh osteokla s. Faktor lain yang mempengaruhi proses remodelling adalah faktor hormonal. Pros es remodelling akan ditingkatkan oleh hormon akan ditingkatkan oleh hormone para tiroid, hormon pertumbuhan dan 1,25 (OH)2 vitamin D. Sedang yang menghambat pros es remodelling adalah kalsitonin, estrogen dan glukokortikoid. Proses-proses yan g mengganggu remodelling tulang inilah yang menyebabkan osteoporosis. b Gangguan pengaturan metabolismne kalsium dan fosfat. Gangguan metabolisme dan fosfat dapat terjadi karena kurangnya asupan kalsium, s edangkan menurut RDA konsumsi kalsium untuk remaja dewasa muda 1200 mg, dewasa 8 00 mg, wanita pasca menopause 1000-1500 mg,sedangkan pada lansia tidak terbatas walaupun secara normal pada lansia dibutuhkan 300-500 mg. Oleh karena pada lansi a asupan kalsium kurang dan ekspresi kalsium yang lebih cepat dari ginjal ke uri n, menyebabkan lemahnya penyerapan kalsium. c Osteoporosis terjadi karena adanya interaksi yang menahun antara faktorg enetik dan faktor lingkungan. 1. Faktor genetik meliputi : a Usia. Semakin bertambahnya umur, fungsi organ akan semakin menurun dan peluang untuk k ehilangan tulang semakin meningkat. Sekitar 0,5 -1% pada wanita pasca menopause dan laki-laki berusia >80 tahun kehilangan massa tulang setiap tahunnya, sehingg a lebih besar untuk berisiko osteoporosis dan osteopenia. (Peck dalam Martono, 2 006) Dan dengan bertambahnya umur, sel osteoblas akan lebih cepat mati karena ad anya sel osteoklas yang menjadi lebih aktif, sehingga tulang tidak dapat diganti kan dengan baik dan mass atulang akan terus menurun (Cosman, 2009 dan Tandra, 20 09). Menurut Hartono, biasanya pada usia 60 tahun atau 70 tahun lebih rentan untuk mu nculnya penyakit ini. Karena sejak usia 35 tahun terjadi peak bone mass (puncak massa tulang), dan biasanya pada usia diatas usia 40 tahun penyerapan tulang leb ih cepat daripada pembentukkan tulang baru dan massa tulang akan semakin berkura ng 0,5 1% per tahunnya, sehingga kepadatan tulang pun semakin lama akan berkuran g dan terjadilah osteopenia kemudian akhirnya terjadi osteoporosis (Hartono, 200 0, Padang, 2004 dan Barker, 2002). Ketika sudah memasuki usia lanjut, baik perempuan maupun laki-laki akan mengalam i osteoporosis. (Nuhonni, 2000) Di Amerika Serikat, diperkirakan setengah dari p enduduk yang berumur diatas 50 tahun akan mengalami fraktur akibat osteoporosis. (Tandra, 2009) New Susan memperkirakan 1 dari 3 wanita dan 1 dari 10 laki-laki berumur 55 tahun akan berisiko terjadinya osteoporosis (New, Susan A L, 2006). H al ini dibuktikan dengan hasil penelitian Tsania yang menyatakan adanya hubungan bermakna antara umur dengan kejaian osteoporosis (Tsania, 2008). b Jenis kelamin Jenis kelamin merupakan Karakteristik biologik yang dikenali dari penampilan fis ik, yaitu laki-laki dan perempuan. Osteoporosis lebih sering terjadi pada wanita sekitar 80 % daripada laki-laki 20%. Hal ini terjadi karena laki-laki mempunyai tubuh yang besar, tulang yang lebih padat daripada wanita. Dengan kata lain wan ita memiliki massa tulang yang lebih rendah karena mengalami menopause, sehingga lebih cepat mengalami kehilangan massa tulang (Krinke, 2005). Berdasarkan data dari Perhimpunan Osteoporosis Indonesia (PEROSI) yang terdapat dalam Indonesia Wh ite Paper, prevalensi osteoporosis di Indonesia pada tahun 2007, sebesar 28,8% pa da laki-laki dan 32,3% pada wanita (www.kompas.com). Selain itu juga ternyata be

rdasarkan penelitian Wahyuni, terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelam in dengan kejadian osteopenia, sehingga dari kejadian osteopenia akan memicu unt uk terjadinya osteoporosis (Wahyuni, 2008). Akan tetapi seharusnya, adanya perbedaan jenis kelamin dapat mempengaruhi terjad inya osteoporosis dan osteopenia. Menurut Purwoastuti, massa tulang pada wanita lebih cepat berkurang daripada laki-laki. Karena pada wanita mengalami menopause , sehingga terjadi penurunan hormone estrogen yang menyebabkan aktivitas sel ost eoblas menurun sedangkan osteoklas meningkat (Purwoastuti, 2008). c Rasa tau Suku Ras/suku menjadi salah satu faktor resiko terjadinya osteoporosis. Biasanya ras/ suku yang rentan terkena osteoporosis yaitu dari kewarganegaraan Eropa Utara, Je pang dan Cina (Asia dan Kaukasia) dibandingkan dengan kewarganegaraan Afrika-Ame rika. Hal ini dapat terjadi, karena ras dari Afrika-Amerika memiliki masa tulang lebih besar. Dengan besarnya masa tulang dan otot, maka tulang akan semakin bes ar dan tekanan akan meningkat. Dan akan memperlambat turunnya masa tulang (Lane, 2003). d Riwayat keluarga Seseorang termasuk berisiko tinggi bila orang tuanya juga menderita osteoporosis . Faktor genetik ini terutama berpengaruh pada ukuran dan densitas tulang. Wanit a yang mempunyai ibu pernah mengalami patah tulang panggul, dalam usia tua akan dua kali lebih mudah terkena patah tulang yang sama. Disamping itu keluarga juga berpengaruh dalam hal kebiasaan makan dan aktifitas fisik. Seperti halnya dengan penyakit yang lain, osteoporosis juga berhubungan dengan a danya keturunan. Jika memiliki riwayat keluarga yang menderita osteoporosis, dip erkirakan 60 80% salah satu anggota keluarga akan lebih mudah mengalami osteopor osis. Dan pada ibu yang pernah mengalami patah tulang belakang, maka anak wanita nya akan lebih mudah untuk mengalami pengurangan masa tulang lebih cepat dan leb ih berisiko mengalami osteoporosis (Mangoenprasodjo, 2005). Menurut Ardiansyah, ukuran dan densitas tulang dipengaruhi oleh adanya genetik. Selain itu, keluarga juga mempunyai pengaruh dalam melakukan aktivitas fisik dan kebiasaan makan seseorang. Sehingga dengan aktivitas fisik yang kurang, kebiasa an makan yang tidak baik dan densitas tulang yang rendah akan lebih berpeluang u ntuk terjadinya osteoporosis dan osteopenia (Ardiansyah, 2007). e Bentuk tubuh Wanita ramping dan bertulang kecil berisiko lebih besar dibandingkan wanita deng an kelebihan berat badan dan bertulang besar. 2. Faktor Lingkungan a Merokok Saat ini, di negara maju seperti Amerika, laki-laki maupun wanita sama banyak me mpunyai kebiasaan merokok. Kebiasaan merokok ini rata-rata dimulai sejak usia 18 tahun. Padahal sudah ada bukti bahwa merokok berhubungan erat dengan berbagai m acam penyakit, bahkan setiap tahunnya menimbulkan kematian sebanyak 2,5 juta. Ha l ini berasal dari zat-zat kimia yang terdapat dalam rokok. Salah satu penyakit yang dapat timbul akibat dari merokok yaitu osteoporosis (Aditama, 1997). Dengan merokok, hormon estrogen dalam tubuh akan menurun dan akan mudah kehilang an masa tulang (BMD rendah/terjadi osteoporosis), sehingga lebih besar untuk men galami fraktur tulang (Hughes, 2006). Kebiasaan merokok sejak dini pada wanita a kan lebih awal untuk mengalami menopause, sehingga kadar estrogen akan lebih cep at menurun dan lebih berisiko untuk mengalami osteoporosis (Compston, 2002). Dalam buku Hidup Sehat, Stop Rokok, mengatakan bahwa seseorang yang berhenti merok ok, setelah 1 jam pertama zat kimia seperti nikotin dan karbon monoksida akan hi lang dari tubuh. Dan setelah 5 tahun berhenti merokok, akan menurunkan setengah resiko terjadinya stroke, kanker mulut, tenggorokan dan esofagus dari pada orang yang masih memiliki kebiasaan merokok (Sugito, 2008). Adanya hubungan yang berm akna antara kebiasaan merokok dengan kejadian osteoporosis, dibuktikan oleh pene litian yang dilakukan oleh Tsania (Tsania, 2008). b Alkohol Mengkonsumsi minuman beralkohol secara berlebihan mengganggu penyerapan kalsium dan aktivitas osteoblas dalam pembentukan tulang. Mengkonsumsi alkohol secara be rlebihan, akan meningkatkan terjadinya resiko patah tulang. Hal ini disebabkan a

lkohol dapat mengurangi masa tulang, mengganggu metabolisme vitamin D dan mengha mbat penyerapan kalsium. Sehingga terjadinya osteoporosis pun lebih besar pada o rang yang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi alkohol dalam jumlah banyak daripada orang yang tidak mengkonsumsi alcohol (Nuhonni, 2000 dan Compston, 2002). c Kopi Kebiasaan mengkonsumsi kafein dalam jumlah banyak, sekitar 6 cangkir atau lebih dalam sehari, akan lebih besar untuk berisiko terkena osteoporosis (Lane, 2003). Akan tetapi, dalam buku concept and controversies, pada orang yang memiliki keb iasaan mengkonsumsi 2 gelas/hari peluang kehilangan kalsium pun akan meningkat. (Sizer dan Whitney, 2006) Karena ada penelitian yang mengatakan bahwa berkurangnya masa tul ang diakibatkan dari konsumsi kafein yang berlebihan, tetapi jika dalam jumlah y ang normal tidak akan membuat massa tulang berkurang (Lane, 2003). Menurut Devin e, asupan kafein memiliki hubungannya pengurangan BMD dan dapat meningkatkan res iko terjadinya fraktur. Biasanya kandungan kafein dalam kopi lebih banyak daripa da teh. Selama lebih dari 4 tahun orang yang sering minum teh akan kehilangan 3 4,5% densitas tulang (Devine, 2007). Dan dari hasil penelitian Hasye ternyata ad a hubungan yang bermakna antara konsumsi kafein dengan kejadian osteopenia (Hasy e, 2008). d Defisiensi vitamin dan gizi Tidak memadainya asupan kalsium, vitamin D, asam sitrat, dan fosfor (atau asupan fosfor yang berlebihan) dapat menyebabkan tulang lemah dengan berkurangnya mass a tulang. 1) Kalsium Menurut Tandra, mineral yang paling banyak terdapat dalam tubuh yaitu kalsium. K ebutuhan kalsium ini akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Karena pad a usia lebih dari 30 tahun, massa tulang akan mulai berkurang (Tandra, 2009). Te rutama pada wanita, akan mengalami menopause yang mengakibatkan kehilangan massa tulang sebesar 15% dan jika dalam waktu lama memiliki pola konsumsi kurang akan beresiko untuk terkena osteoporosis. Sehingga diperlukan asupan kalsium yang cu kup (Depkes, 2003 dan Heaney, 2005). Menurut Gopalan, sebaiknya konsumsi kalsium yang cukup sudah dimulai sejak usia remaja, karena pada masa remaja kalsium yan g diserap dapat dijadikan disimpan dalam tubuh sampai lansia, sehingga dapat men cegah timbulnya osteoporosis (Gopalan, 1994). 2) Vitamin D Penyakit yang cukup serius seperti osteoporosis dapat timbul akibat kurangnya as upan vitamin D. Karena menurut Nix, vitamin D mempunyai peranan penting dalam pe meliharaan dan pertumbuhan tulang (Nix, 2005). Biasanya pada usia lanjut, asupan vitamin D ini kurang karena kurang terpaparnya sinar matahatari. Pada usia rema ja dan dewasa tidak berisiko untuk kekurangan vitamin D, karena ada yang mengasu msikan mereka lebih banyak melakukan aktivitas diluar rumah. Tetapi, ada penelit ian yang mengatakan 32% pada usia 18 29 tahun mengalami kekurangan asupan vitami n D di Boston. Dan di Afrika, sekitar 42% wanita usia 15 49 Tahun mengalami keku rangan vitamin D dan dari penelitian tersebut berarti lebih berpeluang untuk men derita osteoporosis. Hal ini dikarenakan adanya musim dingin di Boston dan pada usia tersebut lebih banyak melakukan pekerjaan didalam ruangan, sehingga kurang terpapar sinar matahari. Adapula penelitian yang mengatakan kekurangan vitamin D dari sinar matahari mempuyai hubungan significant terhadap gangguan penyerapan vitamin D pada kulit, sehingga lebih mudah untuk berisiko terkena osteoporosis ( Holick, 2004). Menurut Hartono, jika seseorang cukup mendapatkan sinar matahari pada kulit, mak a tidak akan mengalami kekurangan asupan vitamin D. Karena sinar matahari yang m asuk kekulit akan mengaktifkan vitamin D untuk bekerja sama dengan kalsium dalam memelihara tulang, sehingga dapat memperlambat terjadinya osteoporosis. Akan te tapi semakin bertambahnya usia, kemampuan vitamin D untuk aktif dalam penyerapan dalam kulit semakin berkurang (Hartono, 2000 dan Harvey, 2009). Dan menurut Ros enberg, jika asupan vitamin tidak kuat akan kehilangan massa tulang dan dapat me ningkatkan resiko fraktur. Oleh sebab itu diperlukan asupan vitamin D dari makan an, seperti susu dan olahannya, ikan salmon, minyak ikan, sarden, telur, dll (Ro senberg, 2000).

3) Fosfor Fosfor merupakan mineral kedua yang banyak berperan dalam tubuh. Kalsium dan fos for menjadi komponen dalam tulang. Akan tetapi, jika jumlah fosfor lebih besar d aripada kalsium akan menyebabkan berkurangnya masa tulang. Karena pada makanan s umber fosfor dapat meningkatkan hormon paratiroid yang dapat memicu pengeluaran kalsium melalui urine, sehingga masa tulang pun akan berkurang (Barker, 2002). W alaupun banyak penelitian tentang fosfor, akan tetapi belum ada penelitian yang menunjukan adanya hubungan yang bermakna antara fosfor dengan kejadian osteoporo sis. 4) Vitamin K Vitamin K mempunyai peranan dalam mengatur protein dalam tulang. Kekurangan vita min K akan mempengaruhi berkurangnya sintesis osteokalsin, sehingga tulang menja di kurang kuat. Dan pada beberapa studi penelitian, mengatakan bahwa seseorang y ang memiliki asupan vitamin K yang tinggi, tulang yang dimiliki pun lebih padat dan resiko terjadinya patah tulang menjadi rendah (Heaney, 2005). Belum ada pene litian yang menunjukan adanya hubungan yang bermakan antara vitamin K dengan kaj adian osteoporosis. 5) Protein Terjadinya ostoporosis juga disebabkan oleh asupan protein yang berlebih. Karena protein dapat menghasilkan asam jika diuraikan dalam tubuh. Sehingga asam terse but ditahan oleh tulang dan terjadilah pelepasan kalsium melalui urine. Ada stud i yang mengatakan adanya peningkatan asupan protein mempengaruhi kehilangan masa tulang. Dengan asupan protein sebanyak 1 gram dapat meningkatkan pengeluaran ka lsium lewat urin sebanyak 1 mg (Dawson-Hughes, 2006). Walaupun banyak penelitian tentang protein, akan tetapi belum ada penelitian yang menunjukan adanya hubung an yang bermakan antara fosfor dengan kajadian osteoporosis. e Gaya hidup Kurangnya berolahraga, meskipun tidak memiliki faktor lain apapun. Tetap hal ini dapat mempercepat terkenanya osteoporosis. Tulang memerlukan tekanan olahraga a taupun gerak tubuh agar pembentukan tulang sebanding dengan keropos tulang. f Mobilitas Aktivitas yang dilakukan setiap orang berberbeda-beda. Dengan aktivitas fisik, b erarti otot tubuh bergerak dan menghasilkan energi(Sutarina, 2008). Menurut Baec ke, aktivitas fisik dibagi menjadi 3, yaitu waktu bekerja, waktu olahraga, dan w aktu luang (Baecke, dalam Kamso, 2000). Seseorang yang jarang melakukan aktivita s fisik akan mengakibatkan turunnya massa tulang dan dengan bertambahnya usia te rutama pada usia lanjut, otot pun akan menjadi lemah, sehingga akan berpeluang u ntuk timbulnya patah tulang (Compston, 2002). Hal tersebut juga telah dibuktikan bahwa peluang terjadinya patah tulang 2 kali lebih besar pada wanita usia lanju t yang jarang melakukan aktivitas fisik (berdiri < 5 jam) daripada yang sering m elakukan aktivitas fisik (Lane, 2003). Adapun studi yang mendukung bahwa aktivitas mempunyai pengaruh terhadap massa tu lang. Studi tersebut menyatakan bahwa massa tulang dapat ditingkatkan dari aktiv itas yang dapat menahan beban. Misalnya saja pada orang yang suka melakukan olah raga tennis, tulang lengan yang digunakan akan lebih tebal dan kuat dibandingkan dengan yang tidak melakukan olahraga tenis (Ridjab, D A dan Maria, R, 2004). Pada penelitian Chandra, menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara aktiv itas olahraga dengan kejadian osteopenia (Chandra, 2008). Dengan olahraga yang d ilakukan secara teratur, maka kesehatan pun akan menjadi lebih baik. Olahraga ya ng baik untuk dilakukan, yaitu jalan, aerobik, jogging, renang, dan bersepeda. A kan tetapi jika melakukan aktivitas fisik secara berlebih justru akan mengurangi massa tulang (Nuhonni, 2000). Kurang kegiatan fisik menyebabkan sekresi Ca yang tinggi dan pembentukan tulang tidak maksimum. Namun aktifitas fisik yang terlalu berat pada usia menjelang men opause justru dapat menyebabkan penyusutan tulang. Kurang berolahraga juga dapat menghambat proses pembentukan tulang sehingga kepadatan massa tulang akan berku rang. Semakin banyak bergerak dan olah raga, maka otot akan memacu tulang untuk membentuk massa. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa akivitas fisik seperti berjalan kaki pada dasarnya memberikan pengaruh melindungi tulang dan menurunkan demineralisa

si tulang karena pertambahan umur. Hasil penelitian Recker et.al dalam Groff dan Gropper (2000), membuktikan bahwa aktifitas fisik berhubungan dengan penambahan kepadatan tulang spinal. Aktivitas fisik harus mempunyai unsur pembebanan pada tubuh atau anggota gerak dan penekanan pada aksis tulang untuk meningkatkan resp on osteogenik dari estrogen. g Pemakaian obat-obatan Mengkonsumsi obat-obatan tertentu dengan frekuensi sering, seperti kortikosteroi d, akan mempunyai peluang untuk terkena osteoporosis lebih besar. Karena mengkon sumsi obat tersebut dalam jumlah yang tinggi/sering, akan menghambat kerja pembe ntukkan tulang dan dapat menurunkan masa tulang (Putri, 2009). 2.6 Patofisiologi Didalam kehidupan, tulang akan selalu mengalami proses perbaharuan. Tulang memil iki 2 sel, yaitu osteoklas (bekerja untuk menyerap dan menghancurkan/merusak tul ang) dan osteoblas (sel yang bekerja untuk membentuk tulang) (Compston, 2002). T ulang yang sudah tua dan pernah mengalami keretakan, akan dibentuk kembali. Tula ng yang sudah rusak tersebut akan diidentifikasi oleh sel osteosit (sel osteobla s menyatu dengan matriks tulang) (Cosman, 2009). Kemudian terjadi penyerapan kem bali yang dilakukan oleh sel osteoklas dan nantinya akan menghancurkan kolagen d an mengeluarkan asam (Tandra, 2009). Dengan demikian, tulang yang sudah diserap osteoklas akan dibentuk bagian tulang yang baru yang dilakukan oleh osteoblas ya ng berasal dari sel prekursor di sumsum tulang belakang setelah sel osteoklas hi lang (Cosman, 2009). Menurut Ganong, ternyata endokrin mengendalikan proses remodeling tersebut. Dan hormon yang mempengaruhi yaitu hormon paratiroid (resorpsi tulang menjadi lebih cepat) dan estrogen (resorpsi tulang akan menjadi lama). Sedangkan pada osteopor osis, terjadi gangguan pada osteoklas, sehingga timbul ketidakseimbangan antara kerja osteoklas dengan osteoblas. Aktivitas sel osteoclas lebih besar daripada o steoblas. Dan secara menyeluruh massa tulang pun akan menurun, yang akhirnya ter jadilah pengeroposan tulang pada penderita osteoporosis (Ganong, 2008). Proses remodelling diawali dengan pengaktifan osteoklast oleh sitokin tertentu. Sitokin yang berasal dari monosit-monosit dan yang berasal sel-sel osteoblast (s el induk) itu sendiri sangat berperan pada aktivitas osteoklas. Estrogen mengura ngi aktivitas osteoklas, sedangkan bila kekurangan estrogen meningkatkan aktivit as osteoklas. Enzim proteolitik, seperti kolagen membantu osteoklas dalam proses pembentukkan tulang. Pada tahap resorpsi, osteoklas bekerja mengkikis permukaan daerah tulang yang pe rlu diganti. Proses resorpsi ini ditandai dengan pelepasan berbagai metabolit ya ng sebagian dapat dipergunakan sebagai pertanda (marker) untuk menasah tingkat p roses dinamisasi tulang. Pada proses pembentukkan osteoblast mulai bekerja. Sel yang berasal dari sel mesenhim ini menyusun diri pada daerah permukaan berongga dan membentuk matriks baru (osteosid) yang kelak akan mengalami proses mineralis asi melalui pembentukkan kalsium hidroksiapetit dan jaringan matrik kolagen. Dalam proses pembentukan tulang, hal yang sangat penting adalah koordinasi yang baik antara osteoklas, osteoblas, dan sel-sel endotel. Selama sistem ini berada dalam keseimbangan, pembentukkan dan penghancuran tulang akan selalu seimbang. P ada usia reproduksi, di mana fungsi ovarium masih baik, terdapat keseimbangan an tara proses pembentukkan tulang (osteoblas) dan proses laju pergantian tulang (o steoklas) sehingga tidak timbul pengeroposan tulang. Namun, ketika memasuki usia klimakterium, keseimbangan antara osteoklas dan osteobals mulai mengalami gangg uan, fungsi osteoblas mulai menurun dan pembentukkan tulang baru pun berkurang, sedangkan osteoklas menjadi hiperaktif dan dengan sendirinya penggantian tulang berlangsung sangat cepat (high turnover). Aktivitas osteoklas ditandai dengan terjadinya pengeluaran hidroksiprolin dan pi ridinolincrosslink melalui kencing, serta asam fosfat dalam plasma. Hormon parat iroid dan 1,25 (OH)2 vitamin D3 mengaktifkan osteoklas sedangkan kalsitonin dan estradiol menghambat kerja osteoklas. Resopsi tulang menyebabkan mobilisasi kals ium dan hal ini menyebabkan berkurangnya sekresi hormon paratiroid akibatnya pem bentukkan 1,25 (OH)2 vitamin D3 serta resorpsi kalsium oleh usus berkurang. Terjadinya osteoporosis secara seluler disebabkan oleh karena jumlah dan aktivit as sel osteoklas melebihi dari jumlah dan aktivitas sel osteoblas (sel pembentuk

tulang). Keadaan ini mengakikatkan penurunan massa tulang. Ada beberapa teori y ang menyebabkan deferensiasi sel osteoklas meningkat dan meningkatkan aktivitasn ya yaitu: defisiensi estrogen, faktor sitokin, dan pembebanan. 1. Defisiensi Estrogen Dalam keadaan normal estrogen dalam sirkulasi mencapai sel osteoblas, dan berakt ivitas melalui reseptor yang terdapat di dalam sitosol sel tersebut, mengakibatk an menurunnya sekresi sitokin seperti: Interleukin-1 (IL-1), Interleukin-6 (IL-6 ) dan Tumor Necrosis Factor-Alpha (TNF-a), merupakan sitokin yang berfungsi dala m penyerapan tulang. Di lain pihak estrogen meningkatkan sekresi Transforming Gr owth Factor b (TGF-b), yang merupakan satu-satunya factor pertumbuhan(growth fac tor) yang merupakan mediator untuk menarik sel osteoblas ke tempat lubang tulang yang telah diserap oleh sel osteoklas. Sel osteoblas merupakan sel target utama dari estrogen, untuk melepaskan beberapa faktor pertumbuhan dan sitokin seperti tersebut diatas, sekalipun secara tidak langsung maupun secara langsung juga be rpengaruh pada sel osteoklas. Estrogen merupakan hormon seks steroid memegang peran yang sangat pentin g dalam metabolisme tulang, mempengaruhi aktivitas sel osteoblas maupun osteokla s, termasuk menjaga keseimbangan kerja dari kedua sel tersebut melalui pengatura n produksi faktor parakrin-parakrin utamanya oleh sel osteoblas. Seperti dikemuk akan diatas bahwasanya sel osteoblas memiliki reseptor estrogen alpha dan betha (ERa dan ERb) di dalam sitosol. Dalam diferensiasinya sel osteoblas mengekspresi kan reseptor betha (ERb) 10 kali lipat dari reseptor estrogen alpha (ERa). Didalam percobaan binatang defisiensi estrogen menyebabkan terjadinya os teoklastogenesis dan terjadi kehilangan tulang. Akan tetapi dengan pemberian est rogen terjadi pembentukan tulang kembali, dan didapatkan penurunan produksi dari IL-1, IL-6, dan TNF-a, begitu juga selanjutnya akan terjadi penurunan produksi M-CSF dan RANK-Ligand (RANK-L). Di sisi lain estrogen akan merangsang ekspresi d ari osteoprotegerin (OPG) dan TGF-b (Transforming Growth Factor-b) pada sel oste oblas dan sel stroma, yang lebih lanjut akan menghambat penyerapan tulang dan me ningkatkan apoptosis dari sel osteoklas. Induksi fungsi suatu sel oleh berbagai faktor yang sangat kompleks serta regulas inya yang berbeda-beda masih sedikit diketahui sampai saat ini. Suatu sitokin, l igand, maupun hormon yang dapat menghambat atau merangsang fungsi suatu sel berg antung pada berbagai hal, di antaranya adalah tingkat aktivasi sel tersebut, sin yal yang memicu, dan waktu (timing), seperti misalnya pada sel makrofag. Hal yan g sama terjadi juga pada sel stroma osteoblastik dan osteoblas. Jadi tingkat akt ivasi dari sel stroma osteoblastik bergantung pada kontak antara reseptor dan li gand. Estrogen merupakan salah satu yang berfungsi menstimulasi ekspresi gene da n produksi protein pada sel osteoblastik manusia, seperti misalnya produksi OPG, RANK-L, dan IL-6.14 Besar kecilnya protein yang diproduksi bergantung pada akti vasi sel stroma osteoblastik. Efek biologis dari estrogen diperantarai oleh reseptor yang dimiliki ole h sel osteoblastik diantaranya: estrogen receptor-related receptor a (ERRa), res eptor estrogen a, b (ERa, ERb). Sub tipe reseptor inilah yang melakukan pengatur an homeostasis tulang dan berperan akan terjadinya osteoporosis. Dalam sebuah st udi didapatkan bahwa kemampuan estrogen mengatur produksi sitokin sangat bervari asi dari masing-masing organ maupun masing-masing spesies, begitu juga terhadap produksi dari IL-6. Dikatakan produksi dari IL-6 pada osteoblas manusia (human o steoblast) dan stromal sel sumsum tulang manusia (human bone marrow stromal cell s), terbukti diinduksi oleh IL-1 dan TNFa, tidak secara langsung oleh steroid ov arium. Dengan demikian dimungkinkan pada sel stroma osteoblastik dan sel osteoblas terj adi perbedaan tingkat aktivasi sel, sehingga akan terjadi perbedaan produksi dar i protein yang dihasilkannya seperti misalnya: IL-6, RANK-L, dan OPG, dengan sua tu stimulasi yang sama. Dalam percobaan binatang, defisiensi estrogen akan menye babkan terjadinya osteoklastogenesis yang meningkat dan berlanjut dengan kehilan gan tulang. Hal ini dapat dicegah dengan pemberian estrogen. Dengan defisiensi e strogen ini akan terjadi meningkatnya produksi dari IL-1, IL-6, dan TNF-a yang l ebih lanjut akan diproduksi M-CSF dan RANK-L. Selanjutnya RANK-L menginduksi akt ivitas JNK1 dan osteoclastogenic activator protein-1, faktor transkripsi c-Fos d

an c-Jun. Estrogen juga merangsang ekpresi dari OPG dan TGF-boleh sel osteoblas dan sel stroma, yang selanjutnya berfungsi menghambat penyerapan tulang dan memp ercepat / merangsang apoptosis sel osteoklas. Jadi estrogen mempunyai efek terhadap sel osteoklas, bisa memberikan pengaruh se cara langsung maupun tidak langsung. Secara tidak langsung estrogen mempengaruhi proses deferensiasi, aktivasi, maupun apoptosi dari osteoklas. Dalam deferensia si dan aktivasinya estrogen menekan ekspresi RANK-L, MCSF dari sel stroma osteob las, dan mencegah terjadinya ikatan kompleks antara RANK-L dan RANK, dengan memp roduksi reseptor OPG, yang berkompetisi dengan RANK. Begitu juga secara tidak la ngsung estrogen menghambat produksi sitokin-sitokin yang merangsang diferensiasi osteoklas seperti: IL-6, IL-1, TNF-a, IL-11 dan IL-7. Terhadap apoptosis sel os teoklas, secara tidak langsung estrogen merangsang osteoblas untuk memproduksi T GF-b, yang selanjutnya TGF-b ini menginduksi sel osteoklas untuk lebih cepat men galami apoptosis. Sedangkan efek langsung dari estrogen terhadap osteoklas adalah melalui reseptor estrogen pada sel osteoklas, yaitu menekan aktivasi c-Jun, sehingga mencegah te rjadinya diferensiasi sel prekursor osteoklas dan menekan aktivasi sel osteoklas dewasa. 2. Efek Sitokin Pada stadium awal dari proses hematopoisis dan osteoklastogenesis, melalui suatu jalur yang memerlukan suatu mediator berupa sitokin dan faktor koloni-stimulato r. Diantara group sitokin yang menstimulasi osteoklastogenesis antara lain adala h: IL-1, IL-3, IL-6, Leukemia Inhibitory Factor (LIF), Oncostatin M (OSM), Cilia ry Neurotropic Factor (CNTF), Tumor Necrosis Factor (TNF), Granulocyte Macrophag e-Colony Stimulating Factor (GM-CSF), dan Macrophage-Colony Stimulating Factor ( M-CSF). Sedangkan IL-4, IL-10, IL-18, dan interferon-g, merupakan sitokin yang m enghambat osteoklastogenesis. Interleukin-6 merupakan salah satu yang perlu mend apatkan perhatian, oleh karena meningkatnya IL-6 terbukti memegang peranan akan terjadinya beberapa penyakit, antaranya berpengaruh pada remodeling tulang dan t erjadinya penyerapan tulang berlebihan baik lokal maupun sistemik. Sebetulnya ta hun 1998 telah dikemukakan adanya hubungan antara sitokin, estrogen, dan osteopo rosis pascamenopause. Dikatakan terjadi peningkatan kadar dan aktivitas sitokin proinflamasi (IL-1, IL -6, TNF-a) secara spontan apabila fungsi ovarium menurun, misalnya pada masa men opause. Bagaimana mekanisme secara pasti hubungan penurunan estrogen dengan peni ngkatan sitokin ini belum diketahui secara jelas. Tetapi ini diduga erat hubunga nnya dengan interaksi dari reseptor estrogen (ER = Estrogen Receptor) dengan fak tor transkripsi, modulasi dari aktivitas nitrik-oksid (NO), efek antioksidan, ak si plasma membran, dan perubahan dalam fungsi sel imun. Maka pada studi klinis d an eksperimental ditemukan ada hubungannya antara penurunan massa tulang dengan peningkatan sitokin proinflamasi ini. Kemudian ditemukan lagi bahwa, terjadinya diferensiasi turunan sel monosit menja di sel osteoklas dewasa/matang dirangsang oleh: tumor necrosis factorrelated fac tor yang disebut: RANK-L atau dengan nama lain: OPGL atau ODF (Osteoclast Difere ntiation Factors). Bahkan dikatakan bahwa RANK-L memegang peran yang sangat esen sial dalam pembentukan sel osteoklas dan lebih lanjut akan menyebabkan penyerapa n tulang. Melalui studi genetic dan biokemis RANK-L mengatur diferensiasi osteok las, dengan mengaktifkan reseptor RANK, melalui peran dari faktor transkripsi: c -Jun. Sebuah studi dengan menggunakan tikus mendapatkan bahwa estrogen (E2) menyebabka n menurunnya osteoklastogenesis, akibat menurunnya respons prekursor osteoklas t erhadap RANK-L; yang lebih lanjut akan menurunkan aktivasi dari ensim Jun N-term inal kinase 1 (JNK1), yang selanjutnya akan mengakibatkan menurunnya produksi fa ktor transkripsi osteoklastogenik c-Fos dan c-Jun. Dan molekul yang dapat diblok ade aktivitasnya oleh OPGdisebut: OPGligand atau ODF atau yang kemudian lebih di kenal dengan RANK-Ligand, berperan sangat penting sebagai kunci mediator dalam o steklastogenesis. RANK-L dan osteoprotegerin merupakan suatu parakrin yang menga tur metabolisme tulang dan fungsi vaskuler. RANK-L merupakan suatu mediator yang meningkatkan penyerapan tulang pada wanita pascamenopause. Malahan terakhir dib uktikan bahwa RANK-L merupakan salah satu faktor risiko secara biomolekuler akan

terjadinya osteoporosis pada wanita pascamenopause defisiensi estrogen. RANK-L yang merupakan salah satu famili dari TNF disebut juga: OPG-L, TNF-Relete d Activation Induced Cytokine (TRANCE), ODF dan memiliki reseptor RANK yang meru pakan kunci pengaturan remodeling tulang dan sangat esensial dalam perkembangan dan aktivasi dari osteoklas. Terjadinya diferensiasi sel osteoklas dari hemopoit ik progenitor bergantung pada reseptor yang terdapat pada membran sel osteoklas yang disebut RANK yang terbukti bahwa pengaturan transkripsinya oleh NFkappaB. S edangkan sel stroma osteoblastik mengekspresikan pada permukaannya RANK-L. Selan jutnya RANK-L berikatan dengan RANK pada permukaan sel osteoklas progenitor untu k merangsang diferensiasi sel tersebut. Selain itu sel stroma osteoblas juga men sekresi suatu substansi yang larut dan mengambang, yang berfungsi sebagai resept or dan dapat juga mengikat RANK-L yang disebut OPG. OPG dapat beraksi sangat pot en sebagai penghambat pembentukan osteoklas dengan cara berikatan dengan RANK-L, sehingga mencegah interaksi antara RANK-L dengan RANK pada progenitor osteoklas . Ketiganya yaitu RANK-L, RANK, dan OPG merupakan molekul esensial yang merupakan protein superfamili dari TNF-TNFR. RANK dan RANK-L merupakan protein yang menyer upai molekul sitokin yang berikatan pada membran (membrane-bound cytokine-like m olecules). Sedangkan OPG yang sangat poten sebagai penghambat proses osteoklasto genesis dan penyerapan tulang baik in vitro maupun in vivo, melalui kemampuannya sebagai reseptor umpan (decoy receptor) yang dapat berikatan dengan RANK-L, seh ingga dihambat terjadinya interaksi antara RANKL dan RANK. Dalam implikasinya RANK-L merangsang terjadinya fusi dari sel prekursor yang mon onukler menjadi sel multinukler, kemudian memacu untuk berdiferensiasi menjadi s el osteoklas dewasa, perlengketannya pada permukaan tulang, dan aktivitasnya men yerap tulang, dan bahkan lebih lanjut mempertahankan kehidupan osteoklas dengan cara memperlambat terjadinya apoptosis. RANK-L diekspresi paling banyak oleh ost eoblas dan sel lapisan mesenchim. Selain itu diekspresi juga oleh sel periosteal , kondrosit, sel endotelial, dan juga oleh sel T aktif. 3. Pembebanan Tulang merupakan jaringan dinamik yang secara konstan melakukan remodeling akiba t respon mekanik dan perubahan hormonal. Remodeling tulang terjadi dalam suatu u nit yang dikenal dengan bone remodeling unit, yang merupakan keseimbangan dinami k antara penyerapan tulang oleh osteoklas dan pembentukan tulang oleh osteoblas. Remodeling ini dimulai dari perubahan permukaan tulang yang pasif (quiescent) m enjadi perubahan permukaan tulang yang mengalami resorpsi. Disini sebetulnya sel osteosit memegang peranan penting dalam menginisiasi remodeling tulang dengan m engirimkan sinyal local kepada sel osteoblas maupun sel osteoklas di permukaan t ulang melalui sistem kanalikuler. Osteosit adalah sel osteoblas yang terkubur dalam lakuna dan termineralisasi dal am matriks tulang dengan morfologi stellate, dengan tonjolan dendritic yang meru pakan penonjolan plasma membran dan berfungsi sebagai sistem syaraf. Sel osteosi t jumlahnya 10 kali dari jumlah sel osteoblas. Osteosit melalui penonjolan plasm a membran (panjang 5 30 mm) dalam kanalikuli dapat berkomunikasi dengan osteobla s. Selanjutnya osteoblas berkomunikasi dengan sel dalam sumsum tulang dengan mem proyeksikan selnya ke sel endotil di sinusoid, dengan demikian lokasi strategis osteosit menjadikan sel ini sebagai kandidat sel mekanosensori untuk deteksi keb utuhan tulang, menambah atau mengurangi massa tulang selama adaptasi fungsi skel etal. Osteosit juga mempunyai kemampuan deteksi perubahan aliran cairan intersti sial dalam kanalikuli yang dihasilkan akibat pembebanan mekanik dan deteksi peru bahan kadar hormon, oleh karena itu gangguan pada jaringan osteosit meningkatkan fragilitas tulang. Pembebanan mekanik pada tulang (skletal load) menimbulkan stres mekanik dan stra in atau resultant tissue deformation yang menimbulkan efek pada jaringan tulang yaitu membentukan tulang pada permukaan periosteal sehingga memperkuat tulang da n menurunkan bone turnover yang mengurangi penyerapan tulang. Dengan demikian pe mbebanan mekanik dapat memperbaiki ukuran, bentuk, dan kekuatan jaringan tulang dengan memperbaiki densitas jaringan tulang dan arsitektur tulang. Tulang melaku kan adaptasi mekanik yaitu proses seluler yang memerlukan sistem biologis yang d apat mengindera pembebanan mekanik. Informasi pembebanan ini harus dikomunikasik

an ke sel efektor yang akan membuat tulang baru dan merusak tulang yang tua. Patogenesis Osteoporosis primer, setelah menopause maka resorpsi tulang akan men ingkat, terutama pada dekade awal setelah menopause, sehingga insidens fraktur, terutama fraktur vertebra dan radius distal meningkat. Estrogen juga berperan me nurunkan produksi berbagai sitokin oleh bone marrow stromal cells dan sel-sel mo nonuklear, seperti IL-1, IL-6 dan TNF- yang berperan meningkatkan kerja osteoklas , dengan demikian penurunan kadar estrogen akibat menopause akan meningkatkan pr oduksi berbagai sitokin tersebut sehingga aktivitas osteoklas meningkat. Untuk mengatasi keseimbangan negatif kalsium akibat menopause, maka kadar PTH ak an meningkat pada wanita menopause, sehingga osteoporosis akan semakin berat. Pa da menopause, kadangkala didapatkan peningkatan kadar kalsium serum, dan hal ini disebabkan oleh menurunnya volume plasma, meningkatnya kadar albumin dan bikarb onat, sehingga meningkatkan kadar kalsium yang terikat albumin dan juga kadar ka lsium dalam bentuk garam kompleks. Peningkatan bikarbonat pada menopause terjadi akibat penurunan rangsang respirasi, sehingga terjadi relatif asidosis respirat orik. Patogenesis Osteoporosis Sekunder, selama hidupnya seorang wanita akan kehilanga n tulang spinalnya sebesar 42% dan kehilangan tulang femurnya sebesar 58%. Pada dekade ke-8 dan 9 kehidupannya, terjadi ketidakseimbangan remodeling tulang, dim ana resorpsi tulang meningkat, sedangkan formasi tulang tidak berubah atau menur un. Hal ini akan menyebabkan kehilangan massa tulang, perubahan mikroarsitektur tulang dan peningkatan resiko fraktur. Defisiensi kalsium dan vitamin D juga sering didapatkan pada orang tua. Hal ini disebabkan oleh asupan kalsium dan vitamin D yang kurang, anoreksia, malabsorpsi dan paparan sinar matahari yang rendah. Defisiensi vitamin K juga akan menyebab kan osteoporosis karena akan meningkatkan karboksilasi protein tulang misalnya o steokalsin. Penurunan kadar estradiol dibawah 40 pMol/L pada laki-laki akan meny ebabkan osteoporosis, karena laki-laki tidak pernah mengalami menopause (penurun an kadar estrogen yang mendadak), maka kehilangan massa tulang yang besar sepert i pada wanita tidak pernah terjadi. Dengan bertambahnya usia, kadar testosteron pada laki-laki akan menurun sedangkan kadar Sex Hormone Binding Globulin (SHBG) akan meningkat. Peningkatan SHBG akan meningkatkan pengikatan estrogen dan testo steron membentuk kompleks yang inaktif. Faktor lain yang juga ikut berperan terhadap kehilangan massa tulang pada orang tua adalah faktor genetik dan lingkungan (merokok, alkohol, obat-obatan, imobili sasi lama). Resiko fraktur yang juga harus diperhatikan adalah resiko terjatuh y ang lebih tinggi pada orang tua dibandingkan orang yang lebih muda. Hal ini berh ubungan dengan penurunan kekuatan otot, gangguan keseimbangan dan stabilitas pos tural, gangguan penglihatan, lantai yang licin atau tidak rata, dll 2.7 Manifestasi Klinik Osteoporosis merupakan penyakit tersembunyi, maksudnya penyakit ini muncul terk adang tanpa gejala dan terdeteksi. Penyakit ini seringkali baru diketahui ketika timbul gejala nyeri karena patah tulang anggota gerak hanya karena penyebab ya ng sepele, seperti jatuh. Biasanya, bagian yang sering patah adalah tulang pangk al paha, tulang belakang, dan pergelangan tangan. Sebenarnya, ada tanda-tanda ya ng perlu dicurigai bahwa hal itu merupakan ganguan karena osteoporosis, yaitu pe gal, linu, dan nyeri tulang, khususnya didaerah tulang pangkal paha, tulang bela kang dan pergelangan tangan, dan tumit. Osteoporosis juga menyebabkan tubuh cend erung bungkuk (Kasdu, 2002, hlm 46). Kepadatan tulang berkurang secara perlahan (terutama pada penderita osteoporosis senilis), sehingga pada awalnya osteoporosis tidak menimbulkan gejala. Beberapa penderita tidak memiliki gejala.Jika kepadatan tulang sangat berkurang sehingga tulang menjadi kolaps atau hancur, maka akan timbul nyeri tulang dan kelainan b entuk. Kolaps tulang belakang menyebabkan nyeri punggung menahun.Tulang belakang yang rapuh bisa mengalami kolaps secara spontan atau karena cedera ringan. Bias anya nyeri timbul secara tiba-tiba dan dirasakan di daerah tertentu dari punggun g, yang akan bertambah nyeri jika penderita berdiri atau berjalan. Jika disentuh , daerah tersebut akan terasa sakit, tetapi biasanya rasa sakit ini akan menghil ang secara bertahap setelah beberapa minggu atau beberapa bulan. Jika beberapa t ulang belakang hancur, maka akan terbentuk kelengkungan yang abnormal dari tulan

g belakang (punuk Dowager), yang menyebabkan ketegangan otot dan sakit. Tulang lainnya bisa patah, yang seringkali disebabkan oleh tekanan yang ringan a tau karena jatuh. Salah satu patah tulang yang paling serius adalah patah tulang panggul. Yang juga sering terjadi adalah patah tulang lengan (radius) di daerah persambungannya dengan pergelangan tangan, yang disebut fraktur Colles. Selain itu, pada penderita osteoporosis, patah tulang cenderung menyembuh secara perlah an. Osteoporosis dapat berjalan lambat selama beberapa dekade, hal ini disebabkan ka rena osteoporosis tidak menyebabkan gejala fraktur tulang. Beberapa fraktur oste oporosis dapat terdeteksi hingga beberapa tahun kemudian. Tanda klinis utama dar i osteoporosis adalah fraktur pada vertebra, pergelangan tangan, pinggul, humeru s, dan tibia. Gejala yang paling lazim dari fraktur korpus vertebra adalah nyeri pada punggung dan deformitas pada tulang belakang. Nyeri biasanya terjadi akiba t kolaps vertebra terutama pada daerah dorsal atau lumbal. Secara khas awalnya a kut dan sering menyebar kesekitar pinggang hingga kedalam perut. Nyeri dapat men ingkat walaupun dengan sedikit gerakan misalnya berbalik ditempat tidur. Istirah at ditempat tidaur dapat meringankan nyeri untuk sementara, tetapi akan berulang dengan jangka waktu yang bervariasi. Serangan nyeri akut juga dapat disertai ol eh distensi perut dan ileus 2.8 Pemeriksaan Diagnostik Beberapa teknik yang dapat digunakan untuk mengukur kepadatan mineral tulang ada lah sebagai berikut : a Dual-Energy X-ray Absorptiometry (DEXA), menggunakan dua sinarX berbeda, dapat digunakan untuk mengukur kepadatan tulang belakang dan pangkal paha. Sejum lah sinar-X dipancarkan pada bagian tulang dan jaringan lunak yang dibandingkan dengan bagian yang lain. Tulang yang mempunyai kepadatan tulang tertinggi hanya mengizinkan sedikit sinar-x yang melewatinya. DEXA merupakan metode yang paling akurat untuk mengukur kepadatan mineral tulang. DEXA dapat mengukur sampai 2% mi neral tulang yang hilang tiap tahun. Penggunaan alat ini sangat cepat dan hanya menggunakan radiasi dengan dosis yang rendah tetapi lebih mahal dibandingkan den gan metode ultrasounds. Satuan : gr/cm2. b Peripheral Dual-Energy X-ray Absorptiometry (P-DEXA), merupakan hasil mo difikasi dari DEXA. Alat ini mengukur kepadatan tulang anggota badan seperti per gelangan tangan, tetapi tidak dapat mengukur kepadatan tulang yang berisiko pata h tulang seperti tulang belakang atau pangkal paha. Jika kepadatan tulang belaka ng dan pangkal paha sudah diukur maka pengukuran dengan P-DEXA tidak diperlukan. Mesin P-DEXA mudah dibawa, menggunakan radiasi sinar-X dengan dosis yang sangat kecil dan hasilnya lebih cepat dan konvensional dibandingkan DEXA. Satuan :gr/c m2. c Dual Photon Absorptiometry (DPA), menggunakan zat radioaktif untuk mengh asilkan radiasi. Dapat mengukur kepadatan mineral tulang belakang dan pangkal pa ha, juga menggunakan radiasi sinar dengan dosis yang sangat rendah tetapi memerl ukan waktu yang cukup lama. Satuan : gr/cm2. d Ultrasounds, pada umumnya digunakan untuk tes pendahuluan. Jika hasilnya mengindikasikan kepadatan mineral tulang rendah maka dianjurkan untuk tes mengg unakan DEXA. Ultrasounds menggunakan gelombang suara untuk mengukur kepadatan mi neral tulang, biasanya pada telapak kaki. Sebagian mesin melewatkan gelombang su ara melalui udara dan sebagian lagi melalui air. Ultrasounds dalam penggunaannya cepat, mudah dan tidak menggunakan radiasi seperti sinar-X. Salah satu kelemaha n ultrasounds adalah tidak dapat menunjukkan kepadatan mineral tulang yang beris iko patah tulang karena osteoporosis. Penggunaan ultrasounds juga lebih terbatas dibadingkan DEXA. Satuan : gr/cm2. e Quantitative Computed Tomography (QCT), adalah suatu model dari CT-scan yang dapat mengukur kepadatan tulang belakang. Salah satu model dari QCT disebut peripheral QCT (pQCT) yang dapat mengukur kepadatan tulang anggota badan sepert i pergelangan tangan. Pada umumnya pengukuran dengan QCT jarang dianjurkan karen a sangat mahal, menggunakan radiasi dengan dosis tinggi dan kurang akurat diband ingkan dengan DEXA, P-DEXA atau DPA. Satuan : gr/cm2. Hasil pengukuran kepadatan tulang dapat disajikan dalam beberapa bentuk, yaitu : a T-Score

T-score hasil pengukuran kepadatan tulang dibandingkan dengan nilai rata-rata ke padatan tulang sehat pada umur 30 tahun. Nilai kepadatan mineral tulang selanjut nya dilaporkan sebagai standar deviasi dari mean kelompok yang direferensikan. 1) Nilai negatif (-) mengindikasikan bahwa tulang mempunyai kepadatan yang lebih kecil dibandingkan dengan rata-rata kepadatan tulang sehat pada usia 30 ta hun. 2) Nilai positif (+) mengindikasikan bahwa tulang mempunyai kepadatan miner al lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata kepadatan tulang sehat pada usia 3 0 tahun. b Z-Score Nilai kepadatan tulang yang diperoleh dibandingkan dengan hasil yang lain dari k elompok orang yang mempunyai umur, jenis kelamin dan ras yang sama. Nilai Z-scor e hasil pengukuran kepadatan tulang diberikan dalam standar deviasi (SD) dari ni lai rata-rata kelompoknya. Nilai kepadatan mineral tulang selanjutnya dilaporkan sebagai standar deviasi dari mean kelompok yang direferensikan. 1) Nilai negatif (-) mengindikasikan bahwa tulang mempunyai kepadatan yang lebih kecil dibandingkan dengan rata-rata kepadatan tulang yang lain dalam kelom poknya. 2) Nilai positif (+) mengindikasikan bahwa tulang mempunyai kepadatan miner al lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata kepadatan tulang yang lain dalam k elompoknya. Z-score direkomendasikan bagi pria dan wanita yang berusia muda sert a anak-anak. 2.9 Penatalaksanaan Secara teoritis osteoporosis dapat diobati dengan cara menghambat kerja osteokla s dan atau meningkatkan kerja osteoblas. Akan tetapi saat ini obat-obat yang ber edar pada umumnya bersifat anti resorpsi. Yang termasuk obat antiresorpsi misaln ya: estrogen, kalsitonin, bisfosfonat. Sedangkan Kalsium dan Vitamin D tidak mem punyai efek antiresorpsi maupun stimulator tulang, tetapi diperlukan untuk optim alisasi meneralisasi osteoid setelah proses pembentukan tulang oleh sel osteobla s. a Estrogen Mekanisme estrogen sebagai antiresorpsi, mempengaruhi aktivitas sel osteoblas ma upun sel osteoklas, telah dibicarakan diatas. Pemberian terapi estrogen dalam pe ncegahan dan pengobatan osteoporosis dikenal sebagai Terapi Sulih Hormon (TSH). Estrogen sangat baik diabsorbsi melalui kulit, mukosa vagina, dan saluran cerna. Efek samping estrogen meliputi nyeri payudara (mastalgia), retensi cairan, peni ngkatan berat badan, tromboembolisme, dan pada pemakaian jangka panjang dapat me ningkatkan risiko kanker payudara. Kontraindikasi absolute penggunaan estrogen a dalah: kanker payudara, kanker endometrium, hiperplasi endometrium, perdarahan u terus disfungsional, hipertensi, penyakit tromboembolik, karsinoma ovarium, dan penyakit hait yang berat. Beberapa preparat estrogen yang dapat dipakai dengan dosis untuk anti resorpsi, adalah estrogen terkonyugasi 0,625 mg/hari, 17-estradiol oral 1 2mg/ hari, 17-es tradiol perkutan 1,5 mg/hari, dan 17-estradiol subkutan 25 50 mg setiap 6 bulan. Kombinasi estrogen dengan progesteron akan menurunkan risiko kanker endometrium dan harus diberikan pada setiap wanita yang mendapatkan TSH, kecuali yang telah menjalani histerektomi. Saat ini pemakaian fitoestrogen (isoflavon) sebagai sup lemen mulai digalakkan pemakaiannya sebagai TSH. Beberapa penelitian menyatakan memberikan hasil yang baik untuk keluhan defisiensi estrogen, atau mencegah oste oporosis. Fitoestrogen terdapat banyak dalam kacang kedelai, daun semanggi. Ada golongan preparat yang mempunyai efek seperti estrogen yaitu golongan Raloks ifen yang disebut juga Selective Estrogen Receptor Modulators (SERM). Golongan i ni bekerja pada reseptor estrogen-b sehingga tidak menyebabkan perdarahan dan ke jadian keganasan payudara. Mekanisme kerja Raloksifen terhadap tulang diduga mel ibatkan TGF yang dihasilkan oleh osteoblas yang berfungsi menghambat diferensias i sel osteoklas. b Bisfosfonat Bisfosfonat merupakan obat yang digunakan untuk pengobatan osteoporosis. Bifosfo nat merupakan analog pirofosfat yang terdiri dari 2 asam fosfonat yang diikat sa tu sama lain oleh atom karbon. Bisfosfonat dapat mengurangi resorpsi tulang oleh

sel osteoklas dengan cara berikatan dengan permukaan tulang dan menghambat kerj a osteoklas dengan cara mengurangi produksi proton dan enzim lisosomal di bawah osteoklas. Pemberian bisfosfonat secara oral akan diabsorpsi di usus halus dan absorpsinya sangat buruk (kurang dari 55 dari dosis yang diminum). Absorpsi juga akan terham bat bila diberikan bersama-sama dengan kalsium, kation divalen lainnya, dan berb agai minuman lain kecuali air. Idealnya diminum pada pagi hari dalam keadaan per ut kosong. Setelah itu penderita tidak diperkenankan makan apapun minimal selama 30 menit, dan selama itu penderita harus dalam posisi tegak, tidak boleh berbar ing. Sekitar 20% - 50% bisfosfonat yang diabsorpsi, akan melekat pada permukaan tulang setelah 12 - 24 jam. Setelah berikatan dengan tulang dan beraksi terhadap osteoklas, bisfosfonat akan tetap berada di dalam tulang selama berbulan-bulan bahkan bertahuntahun, tetapi tidak aktif lagi. Bisfosfonat yang tidak melekat pa da tulang, tidak akan mengalami metabolism di dalam tubuh dan akan diekresikan d alam bentuk utuh melalui ginjal, sehingga harus hati-hati pemberiannya pada pend erita gagal ginjal. Generasi Bisfosfonat adalah sebagai berikut: Generasi I: a Etidronat b Klodronat Generasi II: a Tiludronat b Pamidronat c Alendronat Generasi III: a Risedronat b Ibandronat c Zoledronat c Latihan Pembebanan (Olahraga) Olahraga merupakan bagian yang sangat penting pada pencegahan maupun pengobatan osteoporosis. Program olahraga bagi penderita osteoporosis sangat berbeda dengan olahraga untuk pencegahan osteoporosis. Gerakan-gerakan tertentu yang dapat men ingkatkan risiko patah tulang harus dihindari. Jenis olahraga yang baik adalah d engan pembebanan dan ditambah latihanlatihan kekuatan otot yang disesuaikan deng an usia dan keadaan individu masing-masing. Dosis olahraga harus tepat karena terlalu ringan kurang bermanfaat, sedangkan terlalu berat pada wani ta dapat menimbulkan gangguan pola haid yang justru akan menurunkan densitas tul ang. Jadi olahraga sebagai bagian dari pola hidup sehat dapat menghambat kehilan gan mineral tulang, membantu mempertahankan postur tubuh dan meningkatkan kebuga ran secara umum untuk mengurangi risiko jatuh. d Monoklonal antibody RANK-ligand Seperti diketahu terjadinya osteoporosis akibat dari jumlah dan aktivitas sel os teoklas menyerap tulang. Dalam hal ini secara biomolekuler RANK-L sangat berpera n. RANK-L akan bereaksi dengan reseptor RANK pada osteoklas dan membentuk RANKRANKL kompleks, yang lebih lanjut akan mengakibatkan meningkatnya deferensiasi d an aktivitas osteoklas. Untuk mencegah terjadinya reaksi tersebut digunakanlah m onoklonal antibodi (MAbs) dari RANK-L yang dikenal dengan: denosumab. Besarnya d osis yang digunakan adalah 60 mg dalam 3 atau 6 bulan. 2.10 Komplikasi Osteopororosis merupakan penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh adanya penu runan densitas massa tulang dan perburukan dari mikrosarsitektur tulang sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah patah. Osteoporosis didefinisikan oleh World Hea lth Organization (WHO) sebagai suatu keadaan dimana BMD (Bone Mineral Density) s eseorang berada di bawah mean peak bone mass (rata-rata massa tulang puncak) seb anyak 2,5 standar deviasi atau lebih diukur menggunakan DXA (Dual Energy X-ray A bsorptiometry). Menurut Kevin Christian (2010), terdapat beberapa komplikasi dar i penyakit ini yaitu : 1. Fraktur 2. Kifosis 3. Loss of height

Sumber : http://medicalimages.allrefer.com/large/osteoporosis-2.jpg 1. Fraktur Fraktur atau patah tulang adalah suatu kondisi medis dimana terjadi kerusakan at au terputusnya kontinuitas jaringan baik tulang maupun tulang rawan yang biasany a disertai oleh cedera di jaringan sekitarnya. Pada orang dengan penyakit osteop orosis, orang tersebut akan lebih mudah mengalami fraktur patologik disebabkan o leh telah menurunnya densitas massa tulang dan rapuhnya mikroarsitektur tulang. Fraktur osteoporotik akan menigkat seiring dengan meningkatnya usia. Insidens fr aktur pergelangan tangan meningkat pada secara bermakna setelah usia 50-an, frak tur vertebra setelah usia 60-an, dan fraktur panggul setelah usia 70-an. Pada p erempuan, risiko fraktur 2 kali lebih besar dibandingkan laki-laki pada usia yan g sama dan lokasi fraktur tertentu. Karena angka harapan hidup perempuan lebih b esar dari laki-laki, maka prevalensi fraktur osteoporotik pada perempuan akan me njadi jauh lebih tinggi dari laki-laki. Densitas massa tulang juga berhubungan d engan risiko terjadinya fraktur osteoporotik. Setiap penurunan densitas massa tu lang sebesar 1 standar deviasi berhubungan dengan peningkatan risiko fraktur seb esar 1,5-3,0. Namun pengukuran densitas tulang juga harus memperhatikan usia dar i pasiennya karena tidak ada manfaatnya jika kita tidak memperhatikan pula hal t ersebut. Seorang wanita yang berumur 80 tahun dengan T-score -1 akan memiliki ri siko fraktur yang lebih tinggi dari seorang wanita berusia 50 tahun dengan T-sco re yang sama. a Fraktur kompresi vertebra Fraktur yang terjadi karena kompresi (ketika dua tulang menumbuk dengan tulang k etiga yang berada diantara kedua tulang tersebut). Contoh : Tulang vertebrata de ngan tulang vertebrata lainnya Sumber : http://www.eorthopod.com/sites/default/files/images/thoracic_compressio n_fx_intro01.jpg b Fraktur kolum femur Fraktur kolum femur sering terjadi pada usia di atas 60 tahun dan lebih sering t erjadi pada wanita yang disebabkan oleh kerapuhan tulang akibat kombinasi proses penuaan dan osteoporosis pasca menopause. Klasifikasi fraktur kolum femur: 1) Fraktur intrakapsuler Fraktur ini dapat disebabkan oleh trauma langsung (direct) dimana biasanya pende rita terjatuh dengan posisi miring sehingga daerah trochanter mayor langsung ter bentur dengan benda keras seperti jalanan ataupun lantai dan trauma tidak langsu ng (indirect) yang disebabkan gerakan eksorotasi yang mendadak dari tungkai bawa h karena kepala femur terikat kuat dengan ligament di dalam acetabulum oleh liga ment iliofemoral dan kapsul sendi sehingga mengakibatkan fraktur di daerah kolum femur. Pembagian klasifikasi fraktur kolum femur dilakukan berdasarkan: 1) Lokasi anatomi : a Fraktur subkapital b Fraktur trans-servikal c Fraktur basis kolum femur 2) Arah garis patah : a Tipe 1 (sudut 30) b Tipe 2 (sudut 50) c Tipe 3 (sudut 70) 3) Dislokasi atau tidak dari fragmennya (dibagi menurut Garden) : a Garden 1 : incomplete b Garden 2 : Fraktur kolum femur tanpa dislokasi c Garden 3 : Fraktur kolum femur dengan dislokasi sebagian d Garden 4 : Fraktur kolum femur dan dislokasi total Sumber : http://medicalimages.allrefer.com/large/hip-fracture.jpg c Fraktur ekstrakapsuler 1) Fraktur Intertrochanter Femur Merupakan fraktur antara trochanter mayor dan trochanter minor femur. Fraktur in

i termasuk fraktur ekstrakapsuler. Banyak terjadi pada orangtua terutama pada wa nita di atas usia 60 tahun. Biasanya terjadi trauma yang ringan, daerah paha ter bentur lantai. Hal ini dapat terjadi karena pada wanita tua, tulang sudah mengal ami osteoporosis post menopause. Pada orang dewasa dapat terjadi fraktur ini dis ebabkan oleh trauma dengan kecepatan tinggi (tabrakan motor). Penderita biasanya datang dengan keluhan tidak dapat berjalan setelah jatuh disertai rasa nyeri he bat. Penderita terlentang di tempat tidur dengan tungkai bawah eksorotasi dan te rdapat pemendekan sampai tiga sentimeter disertai nyeri pada setiap pergerakan. Pada bagian luar pangkal paha terlihat kebiruan akibat hematoma subkutan. Pada f oto Rontgen terlihat patah daerah trochanter dengan leher femur dalam posisi var us yang bisa mencapai 90o. Sumber : http://www.beliefnet.com/healthandhealing/images/si55551698_ma.jpg 2. Kifosis Kifosis adalah salah satu bentuk kelainan tulang punggung, di mana punggung yang seharusnya berbentuk kurva dan simetris antara kiri dan kanan ternyata melengku ng ke depan melebihi batas normal. Kelainan ini di masyarakat awam sering disebu t sebagai Bungkuk. Kifosis dapat disebabkan oleh beberapa sebab berupa hasil dari penyakit degeneratif (seperti radang sendi ), masalah perkembangan, osteoporosis dengan fraktur kompresi dari vertebra , dan/atau trauma. Selain itu kifosis ju ga dapat dipengaruhi oleh kelainan otot, cacat lahir bawaan, kekurangan vitamin D dan kalsium, serta diperparah dengan posisi duduk yang salah. Sumber : http://img34.imageshack.us/img34/6482/kyphosis.jpg Kifosis ringan mungkin belum disadari karena nyaris tak menimbulkan keluhan kecu ali rasa lelah, punggung nyeri, serta kaku yang awalnya dianggap wajar akibat ke giatan harian. Sakit leher dan punggung adalah gejala yang paling sering terjadi . Pada Kifosis yang berat akan terjadi sesak napas karena paru-paru tidak dapat mengembang sempurna. Pada kasus yang sangat parah bahkan dapat menyebabkan kemat ian. Seringkali justru orang lain yang sudah lama tidak bertemu yang menyadari a danya kifosis (kebungkukan) ini. Sumber : http://www.smsspineclinic.com/images/dses/kyphosis.jpg Kifosis dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis yaitu : a Kifosis Postural (Postural Kyphosis) Kifosis jenis ini merupakan kifosis yang paling sering dan umum terjadi. Kifosis ini dapat terjadi baik pada orang tua maupun muda. Pada orang tua, kelainan ini sering disebut hyperkyphosis atau Dowagers hump sedagkan pada orang muda, kelainan ini sering disebut bungkuk udang. Kifosis jenis ini jarang menimbulkan nyeri dan tidak menimbulkan gangguan pada saat dewasa. Kelainan ini bersifat reversibel da n dapat diperbaiki dengan memperbaiki ketidakseimbangan otot. Sekitar sepertiga dari kasus kifosis postural yang sangat berat memiliki fraktur vertebral. b Kifosis Scheuermanns (Scheuermanns Kyphosis) Kifosis jenis ini dapat menyebabkan rasa sakit dan buruk secara kosmetik. Kifosi s ini banyak diemukan pada remaja dan menunjukkan deformitas yang lebih buruk da ri kifosis postural. Puncak atau apex dari kurvanya terletak di vertebrae toraka l dan bersifat kaku, Pada kifosis postural, vertebraenya tampak normal namun pad a kifosis Scheuermanns bentuknya tampak iregular. Gejala umum yang sering terjadi adalah cepat lelah karena dibutuhkan kerja otot yang intens untuk berdiri atau duduk dengan baik. c Kifosis Kongenital (Congenital Kyphosis) Kifosis ini dapat terjadi pada janin dimana kolumna spinalnya tidak berkembang d engan baik pada rahim ibu. Vertebraenya mungkin mengalami malformasi atau berfus i bersama dan menyebabkan kifosis yang progresif seiring dengan perkembangan ana k. Pengobatan dengan bedah sangat disarankan pada usia-usia yang awal dan dapat membantu menjaga kurva kelengkungan yang normal. Kifosis kongenital juga dapat m uncul tiba-tiba pada remaja terutama pada anak-anak yang menderita cerebral pals y atau kelainan neurologi. d Kifosis Nutrisi (Nutritional Kyphosis)

Kifosis ini disebabkan oleh defisiensi nutrisi terutama pada masa anak-anak sepe rti defisiensi vitamin D (menyebabkan rickets) yang mana akan menyebabkan tulang menjadi lebih lembut dan rapuh serta menghasilkan lengkungan pada spinal dan tu ngkai akibat berat badan anak. Sumber : http://www.seattlechildrens.org/uploadedImages/Seattle_Childrens/cmsass ets/Images/kyphosis_large.jpg 3. Loss Of Height Reduksi pada tinggi badan orang-orang usia yang sudah lanjut merupakan hal yang biasa terjadi. Hal ini disebabkan oleh degenerasi dari diskus intervertebralis d ari spinal, degenerasi osteoarthritis tulang kartilago pada paha, dan deformasi dari vertebrae spinal. Sebuah studi di Ohio State University Medical Center menu njukkan bahwa kehilangan 2 inchi atau lebih tinggi badan pada orang dewasa dapat menjadi sebuah penanda yang kuat terjadinya osteoporosis di panggul. Hasil dar i studi tersebut menunjukkan bahwa kehilangan tinggi badan sebanyak 2-3 inchi me ningkatkan risiko atau kemungkinan lebih dari 4 kali lipat para wanita memiliki osteoporosis di panggul (diverifikasi dengan bone density testing).

Anda mungkin juga menyukai

  • Bab 2
    Bab 2
    Dokumen1 halaman
    Bab 2
    Hafiz Ingin Berubah
    Belum ada peringkat
  • Mioma Uteri PDF
    Mioma Uteri PDF
    Dokumen16 halaman
    Mioma Uteri PDF
    Adhani K
    Belum ada peringkat
  • Sung Sang
    Sung Sang
    Dokumen24 halaman
    Sung Sang
    Hafiz Ingin Berubah
    Belum ada peringkat
  • Sung Sang
    Sung Sang
    Dokumen24 halaman
    Sung Sang
    Hafiz Ingin Berubah
    Belum ada peringkat
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen2 halaman
    Bab 1
    Hafiz Ingin Berubah
    Belum ada peringkat
  • SAP Ayu
    SAP Ayu
    Dokumen4 halaman
    SAP Ayu
    Hafiz Ingin Berubah
    Belum ada peringkat
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen7 halaman
    Bab 1
    Hafiz Ingin Berubah
    Belum ada peringkat
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen2 halaman
    Bab 1
    Hafiz Ingin Berubah
    Belum ada peringkat
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen2 halaman
    Bab 1
    Hafiz Ingin Berubah
    Belum ada peringkat
  • Pemba Has An
    Pemba Has An
    Dokumen14 halaman
    Pemba Has An
    Hafiz Ingin Berubah
    Belum ada peringkat
  • Halaman Pengesahan
    Halaman Pengesahan
    Dokumen3 halaman
    Halaman Pengesahan
    Hafiz Ingin Berubah
    Belum ada peringkat
  • Gna (Lp&amp Askep)
    Gna (Lp&amp Askep)
    Dokumen30 halaman
    Gna (Lp&amp Askep)
    Hafiz Ingin Berubah
    Belum ada peringkat
  • Makalah Hafiz
    Makalah Hafiz
    Dokumen35 halaman
    Makalah Hafiz
    Hafiz Ingin Berubah
    Belum ada peringkat
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen7 halaman
    Bab 1
    Hafiz Ingin Berubah
    Belum ada peringkat
  • Untitled
    Untitled
    Dokumen27 halaman
    Untitled
    Hafiz Ingin Berubah
    Belum ada peringkat
  • Makalah Hafiz
    Makalah Hafiz
    Dokumen37 halaman
    Makalah Hafiz
    Hafiz Ingin Berubah
    Belum ada peringkat
  • Untitled
    Untitled
    Dokumen9 halaman
    Untitled
    Hafiz Ingin Berubah
    Belum ada peringkat
  • Untitled
    Untitled
    Dokumen27 halaman
    Untitled
    Hafiz Ingin Berubah
    Belum ada peringkat