Anda di halaman 1dari 3

Budaya Persalinan Suku Amungme Dan Suku Kamoro Papua

Sebanyak 97 (47,5%) ibu melakukan persalinannya di rumah. Ibu-ibu kedua suku Papua ini melakukan persalinan di rumahnya dan ruangan yang dipakai adalah kamar mandi, dapur, dan bivak.Ruangan tersebut tidak memenuhi syarat dan tidak terjamin kebersihannya sehingga sangat memungkinkan terjadi komplikasi infeksi pada ibu dan bayi. Ibu mulai berada di dalam ruangan yang sempit dan lembab pada awal kala 2 sampai akhir kala 3 yaitu sekitar 40 menit sampai dengan dua jam. Luka-luka perdarahan yang terjadi dalam proses persalinan, sangat rentan untuk terjadinya infeksi pada ibu dan bayi. Rasa pasrah dan tidak waspada dikarenakan rendahnya tingkat pendidikan dan ekonomi, membuat mereka tetap memilih cara seperti itu. Bahkan untuk persalinan yang tak terduga, sering terjadi di atas pasir di pinggir pantai atau di atas rumput di pinggir hutan lokasi meramu dengan beratapkan pohon, beralaskan rumput,dinding semak belukar. Ibu-ibu Suku Amungme yang melakukan persalinan di rumah dibantu oleh ibu kandung, ibu mertua, tetangga, teman yang dianggap sudah berpengalaman, atau tanpa bantuan siapapun. Hal ini disebabkan budaya atau kebiasaan keluarga yang memberikan contoh sehingga tidak merasa takut lagi. Bahkan ada rasa malu bila tidak berani mengikuti cara itu, dan dapat dianggap melanggar budaya.Suku Kamoro mempunyai dukun yang sudah dikenal baik, kekeluargaan, ramah, hangat, tidak formal, dan tidak perlu memikirkan pembayaran hanya saling pengertian. Pelayanan diberikan sampai kepada hal-hal yang bersifat pribadi dan spritual termasuk perawatan bayi dan obat-obatan.Keengganan mereka ditolong oleh bidan atau petugas kesehatan lain di rumah sakit, puskesmas,klinik, karena ada perasaan malu, segan, tegang,kesan dingin/kaku, takut dimarahi karena tidak punya uang, dan bidan tidak merawat bayi. Pada penanganan proses persalinan, setelah ari-ari keluar, tali pusat dipotong dengan sebuah silet baru yang sudah disiapkan sebelumnya. Ada yang membiarkan tali pusat begitu saja tanpa diikat,dan ada juga yang menutup ujung tali pusat dengan ubi yang baru dibakar, abu panas, bedak talk, dan daun-daunan yang dipanaskan. Untuk persalinan tidak terduga, tali pusat dipotong dengan pisau yang mereka bawa atau dengan tangkai daun sagu dan diikat dengan tali akar-akar kayu. Cara ini tidak jauh berbeda dengan ibu-ibu Suku Bgu di Pantai Utara Papua yaitu memotong tali pusat bayi dengan pisau yang dibuat dari gaba-gaba (tangkai daun sagu). Pada masyarakat Maluku Utara masih ada yang memberikan kotoran (tahi) kambing yang sudah dibakar pada tali pusat yang sudah dipotong.Bahaya yang terjadi akibat tidak mengikat tali pusat adalah darah banyak keluar dari ujung tali pusat, meskipun lama-lama akan membeku dan berhenti sendiri dengan risiko terjadi ikterus pada bayi.Cara mereka mengantisipasi keluarnya darah dengan bahan-bahan yang panas/bakar cukup efektif menghentikan perdarahan tali pusat dan mencegah infeksi melalui tali pusat.

Menghisap asap kayu bakar yang dilakukan ibu selama proses persalinan sangat berpotensi menyebabkan sesak nafas dan infeksi saluran pernafasan pada ibu dan bayi. Namun karena sudah menjadi keyakinan dapat memberi kekuatan bagi si ibu dan bayi maka secara psikologis mungkin bermanfaat memberi semangat pada ibu untuk mengerahkan seluruh kekuatan dan kemampuannya dalam proses pengeluaran bayi.Kematian ibu bersalin banyak terjadi pada kelompok miskin, tidak berpendidikan, di tempat terpencil, tidak memiliki kendali untuk memperjuangkan kehidupannya sendiri, sehingga kematiannya terabaikan, dan tidak mendapat perhatian selayaknya dari berbagai pihak. Beberapa daerah lain di Indonesia juga masih mempunyai kepercayaan bahwa ibu yang meninggal dalam persalinan dapat meninggalkan sesuatu yang mengerikan bagi orang-orang yang masih hidup misalnya menjadi kuntilanak seperti di Bali.Di Papua penduduk mempercayai roh ibu yang meninggal dapat menunggui pohon-pohon yang ada di sekitar rumah keluarganya, kalau roh itu marah karena ada tradisi yang dilanggar maka sewaktuwaktu dapat mencelakai orang lain atau keluarganya sendiri.Perilaku masyarakat yang sudah berakar dari tradisi atau budaya bukanlah hal yang mudah dan akan memakan waktu yang lama untuk merubahnya. Kebudayaan merupakan suatu keseluruhan yang meliputi pengetahuan, sikap, perilaku, kepercayaan, seni, kesusilaan, hukum,adat-istiadat, tradisi, kemampuan dan kebiasaanlainnya yang dipelajari, dimiliki, diwarisi oleh manusia sebagai anggota masyarakat.Budaya merupakan jati diri dari sebuah bangsa dan budaya juga merupakan alasan kuat untuk beradaptasi dalam meraih kesuksesan.Namun jika budaya bersifat absolut maka nilainya sebagai pembimbing akan merosot dan menghalangi kemajuan. Ahli waris kebudayaan dituntut keberaniannya mengadakan perubahan bila sudah tidak sesuai lagi. Dari uraian tentang perilaku penanganan proses persalinan, diidentifikasi beberapa tema budaya yang menjadi akar perilaku.Tema budaya pertama, penduduk menganggap bahwa persalinan adalah peristiwa alami, urusan perempuan dan tidak perlu dibesar-besarkan. Lakilaki tidak perlu ikut campur memikirkan atau membantu persalinan istrinya karena itu sudah kodrat perempuan. Darah dan kotoran persalinan dapat menimbulkan penyakit yang mengerikan bagi laki-laki dan anak-anak, karena itu harus dijauhkan atau disembunyikan. Kepercayaan ini memojokkan posisi perempuan dan sangat merugikan kesehatannya. Tema budaya kedua, penduduk menganggap tabu perempuan membuka aurat/paha di depan orang yang belum dikenal baik itu laki-laki maupun perempuan. Kepercayaan ini makin memperkuat ibu-ibu untuk tidak berani meminta melakukan persalinan di rumah sakit, klinik, puskesmas meskipun jaraknya dekat dan tidak membayar. Ibu khawatir disalahartikan mau melanggar tradisi, mau memanjakan diri makan tidur sementara di rumah tidak ada yang mengurus makanan bagi keluarga.Tema budaya ketiga, penduduk meyakini bahwa asap kayu bakar membawa kekuatan bagi orang yang sakit atau lemah termasuk ibu yang sedang melahirkan. Suami dapat membantu dalam proses persalinan istrinya dengan menghidupkan dan menjaga kayu bakar apinya selalu hidup tidak jauh dari tempat persalinan sehingga asapnya bertiup mengarah ke tempat ibu dan bayi.Keyakinan ini secara fisik merugikan kesehatan ibu dan bayi terjadi sesak nafas dan infeksi saluran pernafasan.Tema budaya keempat, ibu-ibu Suku Kamoro mengangap dukun sebagai pewaris oto (pengobat) ditentukan oleh roh leluhur.Dukun dianggap tokoh masyarakat dan tidak pernah dituntut atas perbuatannya walaupun ibu dan bayi meninggal ditangannya. Bahkan ibu meninggal yang dianggap salah karena perilaku yang melanggar tradisi semasa hamil. Kepercayaan mutlak terhadap dukun

dapat menimbulkan kerugian bagi kesehatan ibu, tetapi dukun juga dapat dijadikan potensi bila dukun tersebut ditingkatkan pengetahuan dan keterampilannya dalam memelihara kesehatan ibu.

Gambar 1. Latar belakang tema budaya dalam penanganan persalinan

Anda mungkin juga menyukai