Anda di halaman 1dari 5

Budaya Banyuwangi Kebo-keboan dan Gandrung

Sejarah Banyuwangi tidak lepas dari sejarah Kerajaan Blambangan. Pada pertengahan abad ke-17, Banyuwangi merupakan bagian dari Kerajaan Blambangan yang dipimpin oleh Pangeran Tawang Alun. Kabupaten Banyuwangi selain menjadi perlintasan dari Jawa ke Bali, juga merupakan daerah pertemuan berbagai jenis kebudayaan dari berbagai wilayah. Budaya masyarakat Banyuwangi diwarnai oleh budaya Jawa, Bali, Madura, Melayu, Eropa dan budaya lokal yang saling isi mengisi dan akhirnya menjadi tipikal yang tidak ditemui di wilayah manapun di Pulau Jawa. Banyuwangi merupakan sebuah kabupaten letaknya paling timur pulau jawa tepatnya provinsi Jawa Timur dan terluas di jawa timur. Selain sebagai penghubung antar jawa dengan bali,kabupaten ini juga memiliki banyak tradisi budaya dari leluhur yang sangat menarik untuk diusut asal usulnya. Sampai saat ini budaya-budaya tersebut masih diyakini oleh sebagian besar masyarakat banyuwangi. Karena masayarakat percaya akan budaya yang diwariskan oleh leluhur mereka. Biasanya masyarakat Banyuwangi meyakini warisan leluhur mereka dengan melakuakan berbagai ritual yang menghubungkan mereka kepada sang pencipta. Mulai dari berbagai makanan yang menjadi ciri khas banyuwangi ikut menguatkan dan memertahankan budaya banyuwangi. Sampai saat ini masih banyak masyarakat banyuwangi yang menjujung tinggi akan budaya-budaya yang mereka anut. Topografi Banyuwangi yang unik didukung oleh kekuatan karakter masyarakat multikultur yang jumlahnya sekitar 1,5 juta jiwa dan tersebar diwilayah seluas 5.782,50 km2. Ada tiga elemen masyarakat yang secara dominan membentuk stereotype karakter Banyuwangi yaitu Jawa Mataraman, Madura Pandalungan (Tapal Kuda ) dan Osing. Ada berbagai macam budaya dan seni yang sampai saat ini masih menjadi budaya khas banyuwangi. Ada beberapa budaya dan seni banyuwangi yaitu,

gandrung,kebo-keboan,janger,petik laut, dan lainnya. Dari berbagai budaya seni tersebut ada berbagai tujuan seperti untuk puji syukur kepada Sang

pencipta,permohonan hujan, dan sebagainya. Biasanya budaya seni ini menjadi objek wisata bagi para turis domestic maupun luar negri. Pemerintah banyuwangi harus selalu waspada agar budaya tersebut tidak di klaim oleh Negara lain. Salah satu budaya banyuwangi yang menarik untuk dibahas adalah tradisi kebo-keboan. Budaya kebo-keboan ini berada di kecamatan Singojuruh tepatnya di desa Alas Malang. Biasanya kebo-keboan ini dilakukan pada tanggal 1 muharram atau suro sebagai ungkapan rasa syukur kepada sang pencipta. Dipilihnya bulan Sura itu sendiri, pertimbangannya bahwa Sura, menurut kepercayaan sebagian masyarakat Jawa, adalah bulan keramat, sakral dan penuh dengan kejadian yang diluar kekuasaan akal sehat karena kehendak-Nya. Munculnya ritual kebo-keboan di Alasmalang berawal terjadinya musibah brindeng atau pagebluk ( wabah penyakit) yang berkepanjangan. Yakni jenis penyakit yang menakutkan dan sulit di temukan obatnya, karena bagi yang terkena pagi maka sorenya akan mati, jika malam kena paginya akan mati begitulah seterusnya. Kala itu, seluruh warga diserang penyakit. Hama juga menyerang tanaman. Banyak warga kelaparan dan mati akibat penyakit misterius. Dalam kondisi genting itu, sesepuh desa yang bernama Mbah Karti melakukan meditasi di bukit. Selama meditasi, tokoh yang disegani ini mendapatkan wangsit. Isinya, warga disuruh menggelar ritual kebo-keboan dan mengagungkan Dewi Sri atau yang dipercainya sebagai simbol kemakmuran. Keajaiban muncul ketika warga menggelar ritual kebo-keboan. Warga yang sakit mendadak sembuh. Hama yang menyerang tanaman padi sirna. Sejak itu, ritual kebo-keboan dilestarikan. Mereka takut terkena musibah jika tidak melaksanakannya. Dalam ritual tersebut, puluhan warga laki-laki didandani menyerupai kerbau(kebo) lengkap dengan tanduk dan lonceng di lehernya, kemudian mereka diarak keliling kampung sebagai ritual sakral untuk meminta berkah keselamatan dan wujud bersih desa. Ritual kebo-keboan sebagai ungkapan rasa syukur masyarakat desa setempat atas hasil panen yang melimpah sekaligus sebagai upacara bersih desa,

agar seluruh warga diberi keselamatan. Ritual tersebut muncul sejak abad ke-18 di Kabupaten Banyuwangi, dan tradisi kebo-keboan dilestarikan di dua tempat yakni di Desa Alasmalang, Kecamatan Singojuruh, dan Desa Aliyan, Kecamatan Rogojampi. Warga desa tidak berani meinggalkan ritual itu. Apabila tradisi kebo-keboan tidak dilaksanakan, maka tanaman warga akan diserang berbagai penyakit dan beberapa musibah lainnya. Sebelum ritual tersebut dimulai, masyarakat desa terlebih dahulu menanam berbagai macam palawija dan hasil bumi lainnya di tengah jalan kampong. warga menggunakan kerbau dalam tradisi itu karena mayoritas masyarakat desa setempat berprofesi sebagai petani dan kerbau dinilai sanga tmembantu masyarakat pada saat bercocok tanam seperti membajak sawah. Kemudian puluhan warga yang didandani seperti kerbau menggelar prosesi membajak sawah dan menabur benih padi dan masyarakat memperebutkan benih yang diseba karena dipercaya bisa menghasilkan panen yang melimpah. Para kerbau manusia seperti kesurupan dan mengejar siapapun yang mencoba mengambil bibit padi yang ditanam, namun warga justru berebut untuk mendapatkan bibit padi itu karena dipercaya bisa digunakan sebagai tolak bala dan keberuntungan. Tidak ada pantangan yang berarti dalam hal digelarnya ritual Kebo-keboan dilingkungannya. Hanya saja, dulu-dulu pernah dicekal oleh Rezim Orde Baru, saat pecahnya pemberontakan PKI, sehingga tidak dilaksanakan ritual. akibatnya banyak warga yang kesurupan, walau jika dikaitkan di era kekinian itu merupakan sugesti namun itu kenyataannya. Ritual Kebo-keboan di Dusun Krajan, Desa Alasmalang, diselenggarakan secara bertahap. Tahapan-tahapan itu antara lain, pertama, dilakukan selamatan terlebih dahulu di Petaunan, kedua, tahapan ider bumi atau arak-arakan dimulai dari simpang empat Dusun Krajan, selanjutnya mengelilingi Dusun Krajan dan tahapan ketiga, ritual Kebo-keboan dilaksanakan di daerah persawahan Dusun Krajan. Pemimpin dalam ritual Kebo-keboan tersebut bergantung pada kegiatan atau tahap yang dilakukan. Pada tahap selamatan di Petaunan, bertindak sebagai pemimpin upacara adalah Kepala Dusun Krajan. Sedangkan, yang bertindak sebagai pimpinan

ritual saat mengadakan ider bumi dan Kebo-keboan adalah seorang pawang yang dianggap ahli dalam memanggil roh-roh para leluhur. Sekali lagi alasan dilaksanakan ritual kebo-keboan yaitu untu ucap syukur kepada sang pencipta agar hasil tani mereka menjadi baik. Masih ada beberapa ritual lagi yang menjadi khas banyuwangi dan sangat terkenal,bahkan ada beberapa Negara yang mengenal gandrung. Gandrung ini merupakan suatau budaya seni yang menjadi anadalan dari banyuwangi. Gandrung ini berupa tarian yang yang ditujukan khusus,biasanya digunakan sebagai sambutan namun tarian ini juga digunakan untuk mewujudkan rasa syukur pada Sang pencipta. Gandrung Banyuwangi berasal dari kata Gandrung, yang berarti tergila-gila atau cinta habis-habisan. Tarian ini masih satu genre dengan tarian seperti Ketuk Tilu di Jawa Barat, Tayub di Jawa Tengah dan Jawa Timur bagian barat, Lengger di Cilacap dan Banyumas dan Joged Bumbung di Bali, yakni melibatkan seorang wanita penari professional yang menari bersama-sama tamu (terutama pria) dengan iringan musik atau gamelan. Gandrung pertama kalinya ditarikan oleh para lelaki yang didandani seperti perempuan dan menurut laporan Scholte (1927) instrumen utama yang mengiringi tarian gandrung lanang ini adalah kendang. Namun demikian, gandrung laki-laki ini lambat laun lenyap dari Banyuwangi sekitar tahun 1890-an, yang dimungkinkan karena ajaran Islam melarang segala bentuk travesty atau berdandan seperti perempuan. Namun, tari gandrung laki-laki baru benar-benar lenyap pada tahun 1914, setelah kematian penari terakhirnya, yakni Marsan. Sedangkan Gandrung wanita pertama yang dikenal dalam sejarah adalah gandrung Semi, seorang anak kecil yang waktu itu masih berusia sepuluh tahun pada tahun 1895. Dan setelah itu tarian gandrung berkembang untuk memperingati berbagai acara. Pertunjukan Gandrung yang asli terbagi atas tiga bagian, yakni Jejer, Maju atau Ngibing dan Seblang Subuh. Dilihat dari berbagai buudaya yang ada, dapat kita katakana bahwa banyuwangi masih kental akan budaya dari leluhur. Hal ini karena banyuwangi sendiri tidak bisa lepas dari budaya tersebut. Selain kebo-keboan dan gandrung,masih

banyak lagi budaya yang belum di kenal oleh masyarakat luar. Pemerintah banyuwangi sendiri sudah berupaya untuk melindungi dan melestarikan agar budaya tersebut tidak lenyap di era modern. Seperti tari gandrung, kini tari gandrung diajarkan mulai usia dini. Hala ini bertujuan agar gandrung yang merupakan cirri khas banyuwangi tidak punah. Banyak hal yang perlu diperhatikan untuk melestarikan budaya banyuwangi, seperti ikut serta peran masyarakat dan pemerintah. Sampai saat ini,budaya banyuwangi masih tetep ada karena peran masyarakat dan pemerinth, meski di era modern ini telah banyak budaya baru yang meremehkan budaya lama. Apabila pemerintah dan masyarakat tidak ikut peran maka budaya kita akan mudah hilang.

Anda mungkin juga menyukai