Anda di halaman 1dari 10

PROPOSAL USULAN PENELITIAN

SELEKSI KONSENTRASI MEDIA DAN LAMANYA PEREBUSAN PADA PROSES PENGURAIAN KOKON Attacus atlas DAN PENGARUHNYA TERHADAP KUALITAS BENANG YANG DIHASILKAN

HADISTI NUR AINI G34104059

DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

LEMBAR PENGESAHAN Judul Penelitian : Seleksi Konsentrasi Media dan Lamanya Perebusan pada Proses Penguraian Kokon Attacus atlas dan Pengaruhnya terhadap Kualitas Benang yang Dihasilkan Nama NIM : Hadisti Nur Aini : G34104059

Disetujui, Pembimbing

Dr. Ir. Dedi Duryadi Solihin, DEA

PENDAHULUAN

Latar Belakang Pembudidayaan ulat sutera sudah dimulai sejak ribuan tahun yang lalu, berawal di Cina dan berkembang ke India, Asia barat dan Mediterania, namun tidak ditemukan di Amerika (Ghosh 2004). Di Indonesia kegiatan budi daya ulat sutera ini sudah berkembang sejak puluhan tahun yang lalu. Beberapa daerah di Indonesia yang mengembangkan kegiatan pesuteraan alam, yaitu Sulawesi Selatan, Sumatera Barat, Jawa Barat, dan Jawa Tengah (Noerlely 1996). Jenis ulat sutera yang banyak dikenal oleh masyarakat sampai saat ini adalah ulat sutera domestik (Bombyx morii), ulat sutera ini sudah dibudidayakan lebih dari 1000 tahun. Namun ternyata ada jenis ulat sutera lain yang masih liar tetapi memiliki kualitas benang sutera yang tidak kalah bagusnya, yaitu ulat sutera liar dan salah satu spesiesnya adalah Attacus atlas. Attacus atlas termasuk ke dalam kingdom Animalia, filum Athropoda, klas Insekta, ordo Lepidoptera, dan famili Saturniidae. Karakteristik utama dari Attacus atlas adalah ukurannya yang cukup besar, dimana rentangan sayap Attacus atlas memiliki ukuran sekitar 250 mm, oleh karena itu sering disebut kupu-kupu gajah atau si ramarama. Stadia ulat dari Attacus atlas terdiri dari enam instar berbeda dengan Bombyx mori yang hanya lima instar, instar I-III disebut ulat kecil dan instar IV-VI disebut ulat besar (caterpillar). Ulat (caterpillar) Attacus atlas berukuran 150 mm, hijau, dan memiliki penutup tubuh. Larva mudanya berwarna putih dan memakan beberapa jenis daun (polyfage), diantaranya daun teh, sirsak, alpukat, dan merica (Kalshoven 1981). Pada stadia pupa, Attacus atlas akan memebentuk kokon berwarna coklat yang bisa ditemukan di antara daun. Kokon merupakan hasil akhir dari pembudidayaan ulat sutera, oleh karena itu mutu kokon baik tekstur serat maupun warnanya sangat berpengaruh terhadap mutu benang sutera yang akan dihasilkan. Kokon dari serat sutera dibentuk oleh cairan sutera yang dihasilkan oleh sepasang kelenjar sutera (silk gland). Kedua kelenjar sutera tersebut bergabung menjadi satu di dekat kepala dan menembus ke tabung luar yang disebut Spineret yang terletak di bagian bawah mulut. Bagian belakang dari kelenjar sutera menghasilkan protein yang disebut fibroin, sedangkan bagian tengahnya menghasilkan protein seperti lem yang disebut sericin. Pada jenis-

jenis ulat sutera yang kokonnya berwarna, di bagian tengah ini pula biasanya zat warna dibentuk bersama-sama sericin (Samsijah & Andadari 1992). Setelah cairan sutera diubah menjadi jelly di kelenjar bagian depan, bahan sutera tersebut akan dialirkan ke Spineret dan ulat secara berangsur-angsur terlapis dan terikat hingga menjadi struktur kokon yang kuat dan terbuat dari utas sutera yang tidak putus dan kokoh yang panjangnya mencapai 1.6 km (Ghosh 2004). Komposisi kokon sutera secara umum terdiri atas dua protein hewan yang meliputi fibroin (C15H26N5O6) 70-80% dan serisin (C15H23N5O8) 20-30%. Fibroin merupakan inti dari tiap lembar serat, yaitu bagian dalam dari serat sutera yang tidak larut dalam air panas (Samsijah & Andadari 1992). Secara kimia serat sutera (fibroin) adalah polipeptida, dibangun dari empat asam amino utama, yaitu glycine (38-41%), alanin (30-33%), serin (12-16%), dan tyrosin (11-12%) (Ghosh 2004). Sedangkan serisin merupakan perekat yang menempelkan lembaran-lembaran serat menjadi satu, yaitu zat yang menyususn lapisan luar dari serat sutera (Samsijah & Andadari 1992). Unsur kokon yang lainnya adalah materi lilin, karbohidrat, pigmen dan materi anorganik (Ghosh 2004). Kokon Attacus atlas berbeda dengan kokon Bombyx morii, kokon Attacus atlas berwarna coklat keemasan, bentuknya tidak bulat (tidak teratur), dapat menghasilkan benang yang lebih panjang, dan benang suteranya jauh lebih tidak mudah kusut dari sutera alam biasa. Hal lain yang istimewa pada kokon Attacus atlas, yaitu ketika ngengat sudah waktunya untuk keluar dari kokon, dia hanya akan melubangi/merusak dinding serisin tanpa merusak utas panjang filamen fibroin sutera pembentuk kokon (Ghosh 2004). Oleh karena itu kokon ulat sutera liar tidak perlu dikeringkan dahulu untuk membunuh pupa sebelum kokon sutera diproses lebih lanjut, karena walaupun pupa tetap hidup dan akan bertransformasi menjadi ngengat tidak akan berpengaruh banyak terhadap kokon. Selain itu baru-baru ini diketahui bahwa bagian terluar (sericin) dari kokon ulat sutera liar Attacus atlas yang tidak dimanfaatkan sebagai bahan sutera mempunyai sifat anti mikrobia atau berpotensi menghambat proliferasi bakteri dan jamur (Faatih 2003). Karakteristik kokon Attacus atlas yang berbeda dari kokon Bombyx mori menyebabkan kokon Attacus atlas tidak bisa terurai dengan proses perebusan yang biasa digunakan pada proses penguraian Bombyx mori. Kokon Bombyx mori bisa terurai

dengan hanya merebusnya di dalam air sabun, sedangkan kokon Attacus atlas tidak. Hal ini mungkin disebabkan oleh tidak bisa larutnya sericin (gum) yang terkandung pada kokon Attacus atlas, padahal biasanya sericin (gum) pada kokon sutera bisa larut dalam air panas. Oleh karena itu dibutuhkan perlakuan khusus dan penambahan zat kimia tertentu untuk menguraikan kokon Attacus atlas.

Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mencari konsentrasi kimia dan waktu (lamanya) perebusan yang tepat untuk menguraikan kokon Attacus atlas dan melihat pengaruhnya terhadap kualitas benang yang dihasilkan.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian ini akan dilaksanakan mulai bulan Maret 2008 sampai dengan Juli 2008 di Laboratorium Biologi Molekuler Pusat Studi Antar Universitas (PAU) IPB.

Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan adalah kokon Attacus atlas yang kosong (ngengatnya sudah keluar), air, dan bahan-bahan kimia, seperti: NaOH dalam beberapa macam konsentrasi (1,2,3,4 gram/lt), sabun netral 20 gram, dan teepol 2 cc/lt. Alat-alat yang digunakan antara lain: alat-alat yang biasa tersedia di laboratorium, alat pintal, timbangan digital, meteran, penangas air, dan lain-lain.

Metode Penelitian Seleksi kokon Kokon dikumpulkan dan diseleksi, syarat-syarat kokon yang baik yaitu: tidak cacat, bersih, bagian dalamnya (pupa) tidak hancur, kulit kokonnya keras, dan mudah dipintal (Samsijah & Andadari 1992). Jumlah kokon yang digunakan adalah 75 buah kokon. Penguraian kokon Dalam penelitian ini digunakan dua faktor, yaitu konsentrasi NaOH dan lamanya perebusan, sehingga digunakan rancangan faktorial dalam rancangan acak lengkap. Konsentrasi NaOH yang digunakan ada empat, yaitu 1 gram/lt, 2 gram/lt, 3 gram/lt, dan 4 gram/lt, serta 1 kontrol (tanpa NaOH). Sedangkan untuk lamanya perebusan dalam larutan NaOH, sabun, dan teepol digunakan tiga tingkatan waktu, yaitu 1 jam, 2 jam, dan 3 jam. Percobaan ini dilakukan dengan lima kali ulangan, sehingga total perlakuan adalah 75 perlakuan. Ilustrasi: NaOH 1 gram/lt = N1 NaOH 2 gram/lt = N2 NaOH 3 gram/lt = N3 NaOH 4 gram/lt = N4 Lama perebusan 1 jam = T1 2 jam = T2 3 jam = T3

Konsentrasi NaOH Lamanya Perebusan TI T2 T3 T4

N1

N2

N3

N4

NITI NIT2 NIT3 NIT4

N2TI N2T2 N2T3 N2T4

N3T1 N3T2 N3T3 N3T4

N4T1 N4T2 N4T3 N4T4

Pencucian benang Setelah kokon terurai menjadi benang, benang dicuci dengan 3 tahap pencucian, yaitu: pencucian dengan air panas, pencucian dengan air hangat, dan pencucian dengan air dingin. Parameter yang Diamati 1. Daya pisah antara fibroin dan sericin: hal ini terlihat dari tingkat terurainya kokon, apakah serat sutera masih saling menempel atau bisa terpisah sempurna. 2. Uji kualitas benang: 1. Pemintalan benang : benang dipintal dengan alat pintal untuk melihat tingkat kelenturan (daya gulung) dari serat benang dengan mengamati seberapa sering benang tersebut putus saat dipintal. Daya gulung adalah sifat kokon yang menyatakan mudah tidaknya kokon dipintal (Budisantoso 1992). 2. Pengukuran panjang serat benang : panjang serat adalah ukuran panjang serat yang terurai dari gulungan sebutir kokon dan ukurannya dinyatakan dalam meter (Norati 1996). 3. Penimbangan berat serat benang : berat serat adalah berat dari serat yang sudah dipintal dari sebutir kokon (Norati 1996). 4. Ketebalan serat sutera : dinyatakan dalam satuan denier. 3. Tingkat kehalusan serat benang: diamati secara mikroskopis dan difoto dengan fotomikroskop. Analisis data hasil Daya gulung = (Budisantoso 1993) Jumlah kokon yang dipintal Jumlah kokon yang dapat dipintal x 100%

Daya gulung = (Norati 1996) Rendemen hitung = (Budisantoso 1993) Panjang serat (m) = (Budisantoso 1993) Ketebalan serat =

1 1 + banyaknya putus waktu dipintal

x 100%

bobot benang (g) bobot kokon yang dipintal (g)

x 100%

Panjang benang x jumlah rata-rata kokon per benang(?) Jumlah kokon yang dipintal

Penentuan media penguraian yang tepat berdasarkan kualitas benang yang dihasilkan

DAFTAR PUSTAKA

Atmosoedarjo S et al. 2000. Sutera Alam Indonesia Yogyakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya. Budisantoso Harry. 1992. Pengaruh suhu air pada bak reeling terhadap daya gulung, rendemen, dan kebersihan benang sutera. Jurnal penelitian kehutanan VI:1820. _______________ . 1993. Pengaruh sistem perebusan kokon terhadap panjang serat, rendemen, dan daya gulung. Jurnal penelitian kehutanan VII:23-26. Faatih Mukhlissul. 2003. Aktivitas anti-mikrobia kokon Attacus atlas, L. [terhubung berkala]. http://eprints.ums.ac.id/508/1/4._MUHLISUL_FAATIH.pdf. html [1 Februari 2008]. Ghosh Premamoy. 2004. Fibre Science and Technology. New Delhi: Tata McGraw-Hill Publishing Company Limited. Indri Noerlely. 1996. Mutu kokon dan mutu serat hasil pemeliharaan ulat sutera (Bombyx mori Linn) secara alami [laporan praktik lapangan]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Kalshoven LGE. 1981. The Pest of Crops in Indonesia. Laan PA van der, penerjemah. Jakarta : PT Ichtiar Baru-Van Hoeve. Terjemahan dari: De Plagen van de Cultuurgewassen in Indonesie. Norati. 1996. Pengaruh pemberian dua jenis daun murbei (M. cathayana dan M. alba var. kanva-2) sebagai pakan ulat sutera (Bombyx mori L.) terhadap aspek bioekologi dan mutu kokon yang dihasilkan [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. RF Chapman. 1971. The Insects, Structure and Function. Ed ke-2. New York: Am elsevler Publishing comp, Inc. Samsijah dan Lincah Andadari. 1992. Teknik Pengolohan Kokon dan Benang Sutera. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan-Departemen Kehutanan.

LAMPIRAN

RENCANA PENELITIAN
Rencana Kegiatan Studi Pustaka Kolokium Seleksi kokon Penguraian kokon Pencucian benang Uji kualitas benang Analisis data hasil Seminar Hasil Waktu
Pebruari Maret April Mei Juni Juli Agustus September

No 1 2 3 4 5 6 7 8

Anda mungkin juga menyukai