k
KRITIK TERHADAP GAGASAN TITIKTEMU ANTAR AGAMA
Oleh: Adnin Armas. MA
Abstrak
Sekalipun dogma, hukum, moral, ritual agama adalah berbeda, namun nun jauh di
kedalaman masingmasing agama, ada ‘a common ground’. Inilah Agama Abadi (Religio
Perennis), menurut Frithjof Schuon. Tulisan di bawah ini akan membahas pemikiran
Frithjof Schuon tentang titiktemu agamaagama. Latar belakang munculnya agama abadi,
biografi Schuon, landasan epistemologi dan ontologi dari pemikirannya, akan dipaparkan.
Agama Abadi
Istilah religio perennis (Agama Abadi) digunakan pertama kali oleh Frithjof Schuon.
Ia menggunakannya di dalam karya Regards sur les mondes anciens (Cahaya tentang
DuniaDunia Kuno). Bagaimanapun, konsep di dalam istilah itu sendiri bukanlah baru.
Sebelumnya, Ananda Kentish Coomaraswamy (m. 1947) dan René Guénon (m. 1951),
sudah menamakan dengan istilah yang lain, namun maksudnya sama. Coomaraswamy
menggunakan istilah Philosophia Perennis (Filsafat Abadi) dan Guénon (m. 1951),
menggunakan istilah Primordial Tradition (Tradisi Primordial). Sebenarnya, gagasan
Schuon tentang Agama Abadi mengelaborasi gagasan atau ide Coomaraswamy dan
Guénon.
Secara terminologis, istilah filsafat abadi digunakan untuk pertama kalinya di Barat
oleh Agustinus Steuchus dalam karyanya Mengenai Filsafat Abadi (De perenni philosophia),
diterbitkan tahun 1540. Karya ini diperkenalkan oleh Leibniz di dalam suratnya yang ditulis
tahun 1715. Bagaimanapun, gagasan mengenai Filsafat Abadi tenggelam di dalam
peradaban Barat. Ini disebabkan filsafat yang dominan adalah filsafat keduniawian. Filsafat
tersebut dibangun berdasarkan pandangan hidup sekularliberalultraliberal. Hasilnya,
muncul berbagai macam aliran pemikiran seperti empirisisme, rasionalisme, humanisme,
eksistensialisme, materialisme, marxisme, kapitalisme, liberalisme, skeptisisme, relatifisme
1
KRITIK TERHADAP GAGASAN TITIKTEMU ANTAR AGAMA ınsısts
dan agnotisme. Nilainilai yang ada pada Tradisi dan agamaagama terpinggirkan atau
bahkan dibongkar.
Pada awal abad 20, Coomaraswamy (m. 1947) dan Guénon (m.1951)
menghidupkan kembali nilainilai, hikmah, kebenaran abadi yang ada pada Tradisi dan
agama. Inilah filsafat abadi (philosophia perennis). Istilah lain yang sinonim dengannya
adalah hikmah abadi (sophia perennis, alhikmah alkhalidah, sanatana dharma), agama
abadi (religio perennis), agama hikmah (religio cordis, aldin alhanif), dan sains sakral
(scientia sacra). Semua istilah ini memiliki maksud yang sama, yaitu menolak pandangan
hidup filsafat modern yang relatifistik, positivistik dan rasionalistik.
Guénon, yang selanjutnya memeluk Islam pada tahun 1912 (nama Islamnya Abdul
2
ınsısts KRITIK TERHADAP GAGASAN TITIKTEMU ANTAR AGAMA
Wahid Yahya), berpendapat bahwa ilmu yang utama sebenarnya adalah ilmu tentang
spiritual. Ilmu yang lain harus dicapai juga, namun ia hanya akan bermakna dan
bermanfaat jika dikaitkan dengan ilmu spiritual. Menurut Guénon, substansi dari ilmu
spiritual bersumber dari supranatural dan transendent. Ilmu tersebut adalah universal.
Oleh sebab itu, ilmu tersebut tidak dibatasi oleh suatu kelompok agama tertentu. Ia adalah
milik bersama semua Tradisi Primordial (Primordial Tradition). Perbedaan teknis yang
terjadi merupakan jalan dan cara yang berbeda untuk merealisasikan Kebenaran.
Perbedaan tersebut sahsah saja karena setiap agama memiliki kontribusinya yang unik
untuk memahami Realitas Akhir. Pengalaman spiritual Rene Guénon (m.1951) di dalam
gerakan teosofi dan Freemason sangat mewarnai pemikiran Schuon, yang menyimpulkan
bahwa semua agama memiliki kebenaran dan bersatu pada pada level Kebenaran.
Biografi Ringkas
Schuon lahir di Basel, Swiss pada 18 Juni 1907. Ayahnya, keturunan Jerman,
ibunya dari ras Alsatia. Waktu Schuon kecil, Ia tinggal dan sekolah di Basel. Setelah
ayahnya meninggal, ibu membawa Schuon dan saudaranya kembali ke rumah keluarganya
di Mulhouse, Perancis. Selanjutnya, Ia menjadi penduduk dan warga Negara Perancis.
Pindahnya Schuon ke Mulhouse menyebabkannya sejak dini sudah menguasai dua bahasa;
Jerman dan Perancis. Di Mulhouse, berbagai karya klasik dari Timur seperti Upanishad,
BhagavadGita dan Seribu Satu Malam sudah menarik perhatiannya. Selain itu, gagasan
Plato dan Rene Guenon ikut memberi dampak yang sangat mendalam dalam pemikiran
Schuon.
Setelah menjalani wajib militer di tentara Perancis selama setahun setengah,
Schuon pergi ke Paris. Disana, selain bekerja sebagai seorang desainer tekstil, Ia juga
mulai belajar bahasa Arab di sebuah mesjid.
Pada tahun 1932, untuk pertamakalinya Ia berkunjung ke Aljazair. Kunjungan
tersebut membawa kesan yang mendalam kepada dirinya. Ia mulai tertarik dengan
sufisme. Ia menjadi murid kepada seorang tokoh sufi disana yaitu Shaykh alAlawi (1869
1934). Tiga tahun setelah itu, Ia berkunjung lagi untuk kedua kalinya ke Afrika Utara,
Aljazair dan Moroko. Pada tahun 1938, dalam perjalanannya ke India, Ia singgah di Kairo.
Disana, Ia akhirnya bertemu dengan Guenon, setelah sebelumnya berkorespondensi
selama kurang lebih 20 tahun.
3
KRITIK TERHADAP GAGASAN TITIKTEMU ANTAR AGAMA ınsısts
Pada tahun 1939, ketika baru tiba di India, perang Dunia Kedua meletus. Ini
menyebabkannya harus kembali ke Perancis untuk menyertai tentara Perancis. Setelah
beberapa bulan, tentara Jerman menangkap dan memenjarakannya. Ketika Ia mengetahui
rencana tentara Jerman untuk merekrutnya sebagai tentara Jerman karena ras ibunya
adalah Alsatia, Ia mencari suaka politik di Swiss. Ia mendapat status warga Negara
Swiss.dan menetap disana selama 40 tahun.
Pada tahun 1949, saat itu usianya 42 tahun, Schuon melangsungkan
perkawinannya di Lausanne. Istrinya keturunan SwissJerman dan seorang pelukis. Schuon
banyak menulis berbagai karyanya di Lausanne. Pada tahun 1959 dan empat tahun setelah
itu, Schuon dan istrinya berkunjung ke Amerika Barat atas undangan temantemannya dari
suku Indian Sioux dan Crow. Dengan ditemani suku Indian tersebut, Schuon beserta
istrinya, mengunjungi berbagai suku Indian yang lain sekaligus tempat dan tradisi “suci”
mereka. Bukan hanya, itu, Schuon dan istrinya diangkat menjadi keluarga, James Red
Cloud dari suku Sioux, pada tahun 1959. Beberapa tahun kemudian, Schuon dan istrinya
diangkat menjadi keluarga kepada suku Crow. Schuon melukis dan merefleksikan
pengamatannya terhadap sukusuku Indian tersebut di dalam bukunya berjudul The
Feather Sun: Plains Indians in Art and Philosophy (1990).
Pada tahun 1980, Schuon dan istrinya beremigrasi ke Amerika Serikat. Ia menetap
di Indiana dan tetap aktif menulis sampai akhir hayatnya. Ia meninggal di Bloomington
pada tahun 1998.
Frithjof Schuon dikenal juga sebagai Isa Nuruddin Ahmad alShadhili alDarquwi al
Alawi alMaryami. Ia adalah seorang tokoh terkemuka dalam filsafat abadi dan metafisika
tradisional. Pemikirannya dipuji dan dipuja, diamini dan diikuti oleh para intelektual
bertaraf internasional.dan lintas agama. Ini karena karyanya yang mencapai 20 buku lebih,
menegaskan kembali prinsipprinsip metafisika tradisional, mengeksplorasi dimensidimensi
esoteris agama, menembus bentukbentuk mitologis dan agama serta mengkritik
modernitas. Schuon mengangkat perbedaan antara dimensidimensi tradisi agama
eksoteris dan esoteris sekaligus menyingkap titik temu metafisik antar semua agama
agama ortodoks. Ia mengungkap Satusatunya Realitas Akhir, Yang Mutlak, Yang Tidak
Terbatas dan Maha Sempurna. Ia menyeru supaya manusia dekat kepadaNya.
4
ınsısts KRITIK TERHADAP GAGASAN TITIKTEMU ANTAR AGAMA
yang ada di dalam karyakarya Schuon, pastinya seorang figur yang paling hebat dari
aliran ini di dalam bidang agama. (Nowhere is the combination of those qualities more
clearly observable than in the works of Schuon, who is certainly the greatest figure of this
school in the field of religion). Schuon adalah otoritas yang paling tinggi, lanjut S.H. Nasr,
dalam metafisika tradisional dan filsafat abadi saat ini. (the foremost authority on
traditional metaphysics and the perennial philosophy today).
Pujian seperti S. H. Nasr kepada guru spiritualnya, Schuon, juga diungkapkan oleh
yang lain. T. S. Eliot, seorang sastrawan terkemuka menulis: “Saya tidak menemukan lagi
karya yang lebih mengesankan tentang kajian perbandingan agama Timur dan Barat.
Huston Smith, seorang professor dalam bidang perbandingan agama mengatakan: “Dia
memberi makan jiwa saya, yang tidak bisa dilakukan oleh penulis lain yang masih hidup.
Dia legenda hidup. Suri teladan zaman. Saya tahu tidak ada pemikir lain yang masih hidup
mampu menandinginya”.
Epistemologi Schuon
Menurut Schuon, secara psikologis, ego manusia terkait dengan badan (body), otak
(brain) dan hati (heart). Jika badan diasosiasikan dengan eksistensi fisik, otak dengan
fikiran (mind), maka hati (heart) dengan Intelek. Jika dikaitkan dengan realitas, maka
Intelek dapat diasosiasikan dengan Esensi Tuhan (Yang Satu) dan langit (alam yang
menjadi model dasar) sedangkan fikiran dan badan meliputi dunia fisik, terrestrial. Intelek
sangat penting karena otak dan badan di bawah kendali, dan berasal dari Intelek.
Intelek adalah pusat manusia (the centre of human being), yang bersemayam di
dalam hati. Kualifikasi intelektual harus didampingi dengan kualifikasi moral. Jika tidak,
maka secara spiritual, Intelek tidak akan berfungsi. Hubungan antara ‘intelektualitas’ dan
‘spiritualitas’ adalah bagaikan hubungan antara pusat dan pinggiran. Intelektualitas
menjadi spiritualitas ketika manusia sepenuhnya, bukan Intelektualitasnya saja, hidup di
dalam kebenaran.
Intelek lebih tinggi dari rasio karena jika rasio itu menyimpulkan sesuatu
5
KRITIK TERHADAP GAGASAN TITIKTEMU ANTAR AGAMA ınsısts
berdasarkan kepada data, maka mental berfungsi karena eksistensi intelek. Rasio hanyalah
media untuk menunjukkan jalan kepada orang buta, bukan untuk melihat. Sedangkan
Intelek, dengan bantuan rasio, terungkap dengan sendirinya secara pasti. Selain itu,
Intelek dapat menggunakan rasio untuk mendukung aktualisasinya.
Di dunia fisik, Intelek terbagi menjadi fikiran (mind) dan badan (body). Namun,
hanya di dunia fisik Intelek terbagi. Di alam langit yang menjadi model dasar, atau di
dalam Ide Plato, fikiran dan badan merupakan makna yang tidak dibedakan: Fikiran adalah
eksistensi dan eksistensi adalah fikiran.
Disebabkan berasal dari alam langit yang menjadi model dasar (Archetype), maka
Intelek menjadi transenden dalam hubungannya dengan eksistensi duniawi. Dalam
tingkatan wujud (being), Intelek terpresentasikan di dalam 3 aspek fundamental; Intelek
ketuhanan (divine intellect), Intelek kosmos (cosmic intellect) dan Intelek manusia (human
intellect). Intelek ketuhanan adalah cahaya murni (pure light). Artinya ia adalah ilmu
Tuhan (divine knowledge) sebagaimana adanya. Intelek kosmos berhubungan dengan
Tuhan. Refleksi dari ilmu Tuhan berada di dalam Intelek kosmos. Manusia menyerap
“cahaya” melalui Intelek kosmos. Intelek manusia adalah sebuah cermin yang
memantulkan tingkatantingkatan cahaya ketuhanan dan kosmos di dalam kaitannya
dengan jiwa individu manusia yang berada di dunia terrestrial. Ketika menjadi Intelek
kosmos dan Intelek manusia, ia menjadi terbatas karena dunia kosmos dan manusia
adalah diciptakan. Pada masa yang sama, “cahaya” atau ilmu Tuhan muncul pada semua
level. Konsekwensinya, intelek manusia pun ikut serta dalam sesuatu yang tidak diciptakan
dan tidak terbatas. Bagaimanapun, aspek dari Intelek yang diciptakan hanyalah aksidental,
sementara aspeknya yang substansial tidak terbatas. Pada tingkatan kosmos dan manusia,
intelek memiliki identitas yang inheren dengan intelek ketuhanan. Aspek ketuhanan inilah
yang mendefinisikan Intelek, bukan aspek yang terbatas. Di dalam aspek yang tidak
diciptakan, Intelek adalah Intelek Tuhan
Menurut Schuon, Intelek manusia adalah ambigu. Pada satu sisi ia bersifat
ketuhanan. Pada sisi yang lain ia bersifat manusiawi. Intelek manusia inheren di dalam
Intelek ketuhanan. Dalam kehidupan duniawi (mundane existence), secara ontologis, hati
merupakan pusat kehidupan. Ini menunjukkan secara potensi manusia adalah inkarnasi
dari ilmu Tuhan karena manusia dapat melangkah keluar dari eksistensi yang diciptakan ini
melalui intelek yang tidak diciptakan (uncreated intellect). Intelek manusia
menggabungkan eksistensi fikiran dan badan yang terpisah, kepada sebuah kesatuan
wujud murni (pure being) yaitu Tuhan.
6
ınsısts KRITIK TERHADAP GAGASAN TITIKTEMU ANTAR AGAMA
Manusia memahami kebenaran melalui intuisi. Sebagai sebuah daya, Intelek adalah
dasar bagi intuisi. Intuisi intelek membedakan antara yang ril dan ilusi, antara wujud yang
wajib dan wujud yang mungkin. Implikasinya, ada realitas transenden diluar dunia bentuk.
Jadi, dengan Intelek, manusia mengetahui bahwa Realitas dapat dibagi menjadi
dua, Absolut dan relatif, Ril dan ilusi, Yang Harus dan mungkin, yang esoteris dan
eksoteris. Menurut Schuon, agamaagama bertemu pada level yang esoteris, bukan
eksoteris, sebagaimana akan dipaparkan lebih lanjut.
Namun, perlu kiranya dikemukakan bahwa gagasan Schuon tentang Intelek terlalu
berlebihan. Dalam pemikiran Schuon, Intelek, pada akhirnya bisa independent dari wahyu.
Artinya, Intelek lebih tinggi dari wahyu. Pendapat seperti ini tidaklah tepat. Sekalipun
Intelek mungkin bisa mengetahui bahwa Tuhan itu ada, namun itu saja tidak cukup.
Mengakui eksistensiNya tidak cukup tanpa diikuti dengan menuruti PerintahNya. Iblispun
mengakui eksistensiNya, namun tidak mengakui perintahNya. PerintahNya diketahui
bukan melalui intelek, namun melalui wahyu yang diturunkanNya.
Eksoterisme
Menurut Schuon, pandangan eksoteris, bukan saja benar dan sah bahkan juga
keharusan mutlak bagi keselamatan (salvation) individu. Bagaimanapun, kebenaran
eksoteris adalah relatif. Inti dari eksoteris adalah ‘kepercayaan’ kepada “huruf”,sebuah
dogma esklusifistik (formalistik)dan kepatuhan terhadap hukum ritual dan moral. Selain
itu, eksoterisme tidak pernah akan melampaui individu. Eksoterisme bukan muncul dari
esoterisme, namun muncul dari Tuhan.
7
KRITIK TERHADAP GAGASAN TITIKTEMU ANTAR AGAMA ınsısts
Menurut Schuon, Islam misalnya, lebih baik dari Hindu karena memuat bentuk terakhir dari
Sanatana Dharma. Schuon mengatakan.: “…Sama halnya, bahwa Agama Hindu adalah
form yang paling tua yang masih hidup mengimplikasikan bahwa agama tersebut memiliki
superioritas tertentu atau sentralitas dibanding dengan bentuk yang terakhir (Islam)”.
Ini jelas pendapat yang salah, karena risalah Islam yang dibawa oleh Nabi
Muhammad saw mampu eksis dan menjalankan fungsinya tanpa agama lain. Justru
kehadiran Islam adalah untuk meluruskan dan menyempurnakan agamaagama para nabi
sebelumnya yang telah berubah. Islam adalah sempurna (alMaidah: 3). Rasulullah saw
adalah nabi yang diutus Allah untuk seluruh manusia (alAraf: 158). Jadi, Islam adalah
agama yang universal, karenanya kebenaran yang ada di dalam alQuran tidak terbatas
untuk orangorang Muslim saja.
AlQur’an telah menyatakan secara tegas bahwa selain Islam, agama lain tidak
akan diterima di sisi Allah. Ajaran agama lain dalam perjalanan sejarah telah menyimpang
dari ajaran yang sebenarnya. Eksoteris agama lain bukan lagi bersumber dari Tuhan,
namun telah termanusiawikan. Jadi, eksoteris agama lain tidak otentik lagi.
Esoterisme
Esoteris adalah aspek metafisis dan dimensi internal agama. Tanpa esoterisme,
agama akan teredusir menjadi sekedar aspekaspek eksternal dan dogmatisformalistik.
Esoterisme dan eksoterisme saling melengkapi. Esoteris bagaikan “hati” dan eksoteris
bagaikan ‘badan’agama. Menurut Schuon, titiktemu agama bukan berada pada level
eksoteris. Sekalipun agama hidup di dalam dunia bentuk (a world of forms), namun ia
bersumber dari Esensi yang Tak Berbentuk (the formless Essence). Agama memiliki
dimensi esoteris yang berada di atas dimensi eksoteris. Titik temu antar agama hanya ada
pada level esoteris.
8
ınsısts KRITIK TERHADAP GAGASAN TITIKTEMU ANTAR AGAMA
esoteris akan menolak ego manusia dan mengganti ego tersebut menjadi ego yang
diwarnai dengan nilainilai ketuhanan. Esoterisme menembus simbolsimbol eksoterisme.
Sekalipun terkait secara inheren kepada eksoterisme, esoterisme independen dari aspek
eksternal, bentuk, formal agama. Independensi tersebut karena esensi dari esoterisme
adalah kebenaran total. Kebenaran yang tidak terbatas dan tidak teredusir kepada
eksoterisme, yang memiliki keterbatasan.
Dalam pandangan Schuon, esoterisme dalam Islam adalah tasauf karena esensi
dan hakikat tasauf adalah wahdatul wujud. Bagaimanapun, esensi dan hakikat sufi
tersebut jarang sekali dipahami secara mendalam oleh kaum Muslimin.Menurut Schuon,
para sufi mengekspresikan pandangan metafisika yang benar, indah dan baik.
Pandangan Schuon bahwa titiktemu agama berada pada level esoteris yang selalu
tetap ada – dibangun di atas metafisikanya, yang di bawah ini akan dieksplorasi.
Metafisika Schuon
Dalam pandangan Schuon, metafisika bukan sekedar ilmu yang mempelajari di luar
fisika, sebagaimana definisi yang biasanya dikemukakan di dalam filsafat. Menurut Schuon,
metafisika adalah ilmu tentang Realitas Terakhir (science of Ultimate Reality).
Metafisika Schuon berdasarkan kepada dualitas: Absolut dan Relatif. Absolut selalu
mengimplikasikan yang relatif, dan Absolut diketahui melalui yang relatif. Yang Absolut itu
adalah Atma. Atma adalah Esensi Tuhan, yaitu, Tuhan di dalam Dirinya. (God in Himself)
Atma adalah diluar apapun. Tabiat dari Atma (Diri) adalah berkomunikasi sendiri. Dari
komunikasi ini muncul Manifestasi, atau Maya. Manifestasi tersebut berupa Esensi (the
Essence), Personal God, Kata (Logos) dan alam (universe).
Esensi (the Essence) adalah Absolut murni. Istilah lain adalah “BeyondBeing”. Dia
adalah Tuhan yang dipersepsikan oleh esoteris. Dia adalah Tuhan yang dipersepsikan oleh
lintas agama. Dia memiliki 3 sifat: kemutlakan (absoluteness), ketidakterbatasan
(infinitude) dan kebaikan seutuhnya (perfect goodness). Esensi sebagai kemutlakan
9
KRITIK TERHADAP GAGASAN TITIKTEMU ANTAR AGAMA ınsısts
bermakna bahwa hanya Ia satusatunya dan total diriNya (it is solely Itself and totally
itself). Esensi sebagai ketidakterbatasan bermakna bahwa Ia mencakup segala sesuatu
dan tidak dibatasi oleh apapun. Yang Mutlak dan Yang Tidak Terbatas tidak dapat difahami
tanpa satu dengan yang lain. Kedua sifat tersebut saling berhubungan secara intrinsik.
Esensi adalah Maha Baik (the Sovereign Good), yang merupakan substansi mendasar dari
Yang Mutlak dan Yang Tidak Terbatas. Bagaimanapun dalam Esensi, tidak ada perbedaan
antara Yang Mutlak, Yang Tidak Terbatas dan Maha Baik. Masingmasing tetap ril di dalam
watak yang intrinsik.Esensi terkait dengan Tuhan sebagai Person (Personal God) dan
Logos.
Personal God adalah Tuhan Pencipta dan Pembuat Hukum. Personal God adalah
prototype dari manifestasi Esensi. Konsekuensinya, Personal God adalah relatif kepada
Esensi tetapi absolut kepada dunia yang Ia ciptakan. Langit merupakan proyeksi dari
Esensi di dalam manifestasi kosmos. Tuhan sebagai Person adalah Tuhan yang
dipersepsikan oleh eksoterist. Dia dipersepsikan secara eksklusif oleh sebuah agama.
Tuhan sebagai Person merupakan model dari Manifestasi Esensi. Tuhan sebagai Person
memuat dan menjadikan ‘archetypes’ dalam fenomena. Bukan seperti Esensi, Tuhan
sebagai Person “ada” dalam kaitannya dengan dunia fenomena (the world of phenomena).
Logos atau Avatara adalah pusat dari keteraturan langit dan manifestasi dari Esensi
di atas bumi. Logos adalah ‘manusia yang sejati dan Tuhan yang sejati’sekaligus. Alam
fisik adalah manifestasi di dalam dirinya sendiri. Dunia sebagai ‘horizontal’ bertentangan
dengan ‘vertikal’, yang menunjukkan tidak adanya hubungan langsung dengan Esensi.
Dunia diciptakan dengan Kata (Logos), creatio per verbum (penciptaan melalui Kata). Kata
(Logos) adalah aspek imanen Tuhan sebagai Person, yang menciptakan alam. Logos
mempresentasikan dirinya secara objektif dan subjektif. Secara objektif, Logos adalah
“image ketuhanan” yang transendent di dalam kaitannya dengan manusia biasa. Secara
subjektif, Logos adalah Intelek dan karena itu immanent. Jadi, Logos bagaikan pintu
kepada diri Tuhan, Subjek Tuhan yang immanent di dalam substansi manusia yang abadi.
Jadi, Logos adalah kepanjangan dari Person. Logos adalah Person seperti Khrisna, Jesus
dan lainlain.
Tampaknya via Logos, Schuon ingin menjustifikasi bahwa ada kesesuaian antara
Yesus sebagai Logos Tuhan (Kalimatullah) dan AlQuran sebagai Kalam Allah.
Bagaimanapun, justifikasi tersebut tidaklah tepat. Nabi Isa as. Adalah seorang rasul
sebagaimana para rasul lainnya. Konsep bahwa Nabi Isa as adalah Tuhan, misalnya,
bukanlah bersumber dari ajaran Nabi Isa as. Namun dari Muktamar Nicea yang
10
ınsısts KRITIK TERHADAP GAGASAN TITIKTEMU ANTAR AGAMA
memutuskan melalui voting pada tahun 325 M. Jadi, Nabi Isa as dijadikan Tuhan oleh para
pengikutnya yang menyimpang dari ajaran yang sebenarnya. Allah menegaskan bahwa
siapa yang menganggap bahwa Nabi Isa as adalah Tuhan termasuk golongan orangorang
kafir. Allah SWT telah berfirman yang artinya sebagai berikut: “Sesungguhnya telah
kafirlah orangorang yang berkata sesungguhnya Allah ialah alMasih putera Maryam”.
(5:72). Selain itu, Allah SWT juga berfirman yang artinya: “Sesungguhnya kafirlah orang
orang yang mengatakan bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga, padahal sekalikali
tidak ada Tuhan selain Tuhan Yang Esa.” (5: 73). Jadi, anggapan Schuon bahwa baik Nabi
Isa as dan alQur’an sebagai Kalam (Logos) Allah adalah sangat tidak tepat. Perbandingan
tersebut adalah salah karena Nabi Isa as hanyalah seorang rasul, sedangakan alQur’an
adalah KalamNya.
Aspek pasif dari Logos adalah alam sebagaimana adanya, yang merupakan
fenomena yang termanifestasikan dari Esensi. Manifestasi tersebut berupa kategori
kategori eksistensi. Akhirnya, manusia berada dalam tempat yang unik dalam skema
realitas. Tabiat manusia di dalam alam yang universal dan vertikal adalah berhubungan
langsung dengan Esensi. Pemikiran Schuon tentang titiktemu agamaagama pada level
esoteris tidaklah tepat. Ini disebabkan pada tingkatan esoteris pun terdapat perbedaan
mendasar antara Islam dengan agamaagama lain.
Dalam level esoteris seperti itu, agamaagama lain memahami Tuhan dalam
istilah Schuon Esensi bukan ilah. Iblis juga memahami Tuhan sebagai Esensi, bukan
sebagai ilah. Jadi, mengetahui Tuhan sebagai Esensi tidak berarti mengetahuiNya sebagai
ilah. MemahamiNya sebagai Esensi akan salah, jika tidak diikuti dengan memahamiNya
sebagai ilah, yakni tidak menyekutukanNya dan tunduk kepadaNya dengan cara, metode,
jalan dan bentuk yang dipersetujui olehNya seperti yang ditunjukkan oleh para rasul yg
telah di utusNya. Jika hanya mengakuiNya namun mengingkari cara, metode, jalan dan
bentuk yang dipersetujuiNya, maka seseorang itu akan disebut kafir karena ia tidak
benarbenar berserah diri kepadaNya. Iblis yang mempercayai Tuhan yang satu,
mengakuiNya sebagai pencipta alam semesta, masih juga di sebut kafir disebabkan
pengingkaran kepada perintahNya. Jadi, memahami dan mengakui Tuhan harus dengan
mengikuti perintah, bentuk cara, jalanNya. Selain itu, hanya dengan melalui perintah,
bentuk cara, jalanNya maka Kebenaran akan diketahui.
Kesimpulan
11
KRITIK TERHADAP GAGASAN TITIKTEMU ANTAR AGAMA ınsısts
Selain itu, titiktemu antar agama juga tidak terjadi pada level esoteris karena
masingmasing agama memiliki konsep Tuhan yang ekslusif atau berbeda satu sama lain.
Pemikiran Schuon mengenai titiktemu agamaagama adalah pengalamannya tentang
agamaagama. Namun, pengalaman itu bukanlah agama itu sendiri karena pengalaman
seperti itu tidak dapat diturunkan kepada masyarakat dan seluruh manusia, namun hanya
diraih oleh elit tertentu. Jadi, kesatuan transendent (transcendent unity) seperti itu tidak
dapat disebut sebagai ‘agama’, namun hanya merupakan pengalaman keagamaan
(religious experience).
Oleh sebab itu, gagasan Schuon tentang titik temu agamaagama pada level
esoteris adalah ‘utopia’. Level tersebut ‘melampaui’ tingkatan pengalaman keagamaan
masyarakat umum. Ini jelas bukan maksud agama yang diturunkan untuk ummat. Agama
Islam adalah bukan untuk elit tertentu, namun untuk ummat. Bahkan bukan saja untuk
ummat Islam, namun untuk seluruh umat manusia.
12