Anda di halaman 1dari 5

Globalisasi dan Indonesia 2030

Abad ke-21 adalah abad milik Asia. Pada tahun 2050 separuh lebih produk nasional bruto dunia
bakal dikuasai Asia. China, menggusur Amerika Serikat, akan menjadi pemain terkuat dunia,
diikuti India di posisi ketiga. Lalu, apa peran dan di mana posisi Indonesia waktu itu?

China dan India dengan segala ekspansinya, berdasarkan sejumlah parameter saat ini dan
prediksi ke depan, sudah jelas adalah pemenang dalam medan pertarungan terbuka dunia di era
globalisasi, di mana tidak ada lagi sekat-sekat bukan saja bagi pergerakan informasi, modal,
barang, jasa, manusia, tetapi juga ideologi dan nasionalisme negara.

Globalisasi ekonomi dan globalisasi korporasi juga memunculkan barisan korporasi dan individu
pemain global baru. Lima tahun lalu, 51 dari 100 kekuatan ekonomi terbesar sudah bukan lagi
ada di tangan negara atau teritori, tetapi di tangan korporasi.

Pendapatan WalMart, jaringan perusahaan ritel AS, pada tahun 2001 sudah melampaui produk
domestik bruto (PDB) Indonesia sebagai negara. Penerimaan perusahaan minyak Royal Dutch
Shell melampaui PDB Venezuela, salah satu anggota Organisasi Negara-negara Pengekspor
Minyak (OPEC) yang berpengaruh.

Pendapatan perusahaan mobil nomor satu dunia dari AS, General Motor, kira-kira sama dengan
kombinasi PDB tiga negara: Selandia Baru, Irlandia, dan Hongaria. Perusahaan transnasional
(TNCs) terbesar dunia, General Electric, menguasai aset 647,483 miliar dollar AS atau hampir
tiga kali lipat PDB Indonesia.

Begitu besar kekuatan uang dan pengaruh yang dimiliki korporasi-korporasi ini sehingga mampu
mengendalikan pengambilan keputusan di tingkat pemerintahan dan menentukan arah
pergerakan perdagangan dan perekonomian global.

Pada awal dekade 1990-an terdapat 37.000 TNCs dengan sekitar 170.000 perusahaan afiliasi
yang tersebar di seluruh dunia. Tahun 2004 jumlah TNCs meningkat menjadi sekitar 70.000
dengan total afiliasi 690.000. Sekitar 75 persen TNCs ini berbasis di Amerika Utara, Eropa Barat,
serta Jepang, dan 99 dari 100 TNCs terbesar juga dari negara maju.

Namun, belakangan pemain kelas dunia dari negara berkembang, terutama Asia, mulai
menyembul di sana-sini. Dalam daftar 100 TNCs nonfinansial terbesar dunia (dari sisi aset) versi
World Investment Report 2005, ada nama seperti Hutchison Whampoa Limited (urutan 16) dari
Hongkong, Singtel Ltd (66) dari Singapura, Petronas (72) dari Malaysia, dan Samsung (99) dari
Korea Selatan.

Sementara dalam daftar 50 TNCs finansial terbesar dunia, ada tiga wakil dari China, yakni
Industrial & Commercial Bank of China (urutan 23), Bank of China (34), dan China Construction
Bank (39).

Lompatan besar

Menurut data United Nations Conference on Trade and Development, pada tahun 2004 China
adalah eksportir terbesar ketiga di dunia untuk barang (merchandise goods) dan kesembilan
terbesar untuk jasa komersial, dengan pangsa 9 dan 2,8 persen dari total ekspor dunia.

Volume ekspor China mencapai 325 miliar dollar AS tahun 2002 dan tahun lalu 764 miliar dollar
AS. Manufaktur menyumbang 39 persen PDB China. Output manufaktur China tahun 2003
adalah ketiga terbesar setelah AS dan Jepang. Di sektor jasa, China yang terbesar kesembilan
setelah AS, Jepang, Jerman, Inggris, Perancis, Italia, Kanada, dan Spanyol.

Sementara India peringkat ke-20 eksportir merchandise goods (1,1 persen) dan peringkat ke-22
untuk jasa komersial (1,5 persen). Produk nasional bruto (GNP) China tahun 2050 diperkirakan
175 persen dari GNP AS, sementara GNP India sudah akan menyamai AS dan menjadikannya
perekonomian terbesar ketiga dunia, mengalahkan Uni Eropa dan Jepang.

Ketika China membuka diri pada dunia dua dekade lalu, orang hanya membayangkan potensi
China sebagai pasar raksasa dengan lebih dari semiliar konsumen sehingga sangat menarik bagi
perusahaan ritel dan manufaktur dunia. Belakangan, China bukan hanya menarik dan
berkembang sebagai pasar, tetapi juga sebagai basis produksi berbagai produk manufaktur untuk
memasok pasar global. China awal abad ke-21 ini seperti Inggris abad ke-19 lalu.

China tidak berhenti hanya sampai di sini. Jika pada awal 1990-an hanya dipandang sebagai
lokasi menarik untuk basis produksi produk padat karya sederhana, dewasa ini China
membuktikan juga kompetitif dalam berbagai industri berteknologi maju. Masuknya China dalam
keanggotaan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) semakin melapangkan jalan bagi negeri
Tirai Bambu ini untuk menjadi kekuatan yang semakin sulit ditandingi di pasar global.

Di sektor padat karya, seperti tekstil dan pakaian jadi, diakhirinya rezim kuota di negara-negara
maju membuat ekspor China membanjiri pasar dunia dan membuat banyak industri tekstil dan
pakaian jadi di sejumlah negara berkembang pesaing harus tutup. Pangsa ekspor pakaian dari
China diperkirakan akan melonjak dari sekitar 17 persen dari total ekspor dunia saat ini menjadi
45 persen pada paruh kedua dekade ini.

Hal serupa terjadi pada produk-produk berteknologi tinggi. Bagaimana China menginvasi dan
membanjiri pasar global dengan produk-produknya, dengan menggusur negara-negara pesaing,
bisa dilihat dari data WTO berikut.

Pangsa China di pasar elektronik AS meningkat dari 9,5 persen (tahun 1992) menjadi 21,8
persen (1999). Sementara pada saat yang sama, pangsa Singapura turun dari 21,8 persen
menjadi 13,4 persen. Kontribusi China terhadap produksi personal computer dunia naik dari 4
persen (1996) menjadi 21 persen (2000), sementara kontribusi ASEAN secara keseluruhan pada
kurun waktu yang sama menciut dari 17 persen menjadi 6 persen.

Pangsa China terhadap total produksi hard disk dunia juga naik dari 1 persen (1996) menjadi 6
persen (2000), sementara pangsa ASEAN turun dari 83 persen menjadi 77 persen. Pangsa
China untuk produksi keyboard naik dari 18 persen (1996) menjadi 38 persen (2000), sementara
pangsa ASEAN tergerus dari 57 persen menjadi 42 persen.

Semua gambaran itu jelas memperlihatkan China terus naik kelas, membuat lompatan besar dari
waktu ke waktu, dan pada saat yang sama terus memperluas diversifikasi produk dan pasarnya.
Gerakan sapu bersih China di berbagai macam industri—mulai dari yang berintensitas teknologi
sangat sederhana hingga intensitas teknologi dan nilai tambah sangat tinggi—ini semakin
mempertegas posisi China sebagai the world’s factory memasuki abad ke-21.

Sementara pada saat yang sama, negara-negara tetangganya justru mengalami hollowing out di
industri manufaktur berteknologi tinggi dengan cepat. Di industri berintensitas teknologi rendah
yang cenderung padat karya, China menekan negara-negara seperti Vietnam dan Indonesia
yang basis industrinya masih sempit, yakni teknologi yang tidak terlalu complicated dan bernilai
tambah rendah.

Sementara di industri yang berintensitas teknologi tinggi, China semakin menjadi ancaman tidak
saja bagi negara seperti Taiwan dan Korsel, tetapi juga AS dan Jepang. China tidak hanya
membanjiri dunia dengan garmen, sepatu, dan mainan, tetapi juga produk-produk komputer,
kamera, televisi, dan sebagainya.

China memasok 50 persen lebih produksi kamera dunia, 30 persen penyejuk udara (air
conditioners/AC), 30 persen televisi, 25 persen mesin cuci, 20 persen lemari pendingin, dan
masih banyak lagi.
Inovasi

Bagaimana China bisa melakukan itu semua? Ada beberapa faktor. Pertama, perusahaan-
perusahaan teknologi asing, menurut Deloitte Research, sekarang ini berebut masuk untuk
investasi di China, antara lain agar bisa memanfaatkan akses ke pasar China yang sangat besar
dan bertumbuh dengan cepat. Kedua, perusahaan-perusahaan lokal yang menarik modal dari
investor China di luar negeri (terutama Taiwan) juga semakin terampil memproduksi barang-
barang berteknologi tinggi.

Tidak statis di industri padat karya yang mengandalkan upah buruh murah, China kini mulai lebih
selektif menggiring investasi ke industri yang menghasilkan high end products dan padat modal.
Ini antara lain untuk mengurangi ketergantungan pada tenaga kerja murah yang mulai berkurang
ketersediaannya.

Ketiga, perguruan-perguruan tinggi di China mampu mencetak barisan insinyur baru dalam
jumlah besar setiap tahunnya, dengan upah yang tentu relatif murah dibandingkan jika menyewa
insinyur asing. Setiap tahun, negara ini menghasilkan 2 juta-2,5 juta sarjana, dengan 60
persennya dari jurusan teknologi (insinyur). Sebagai perbandingan, di Indonesia lulusan jurusan
teknologi hanya 18 persen, AS 25 persen, dan India 50 persen.

Untuk mendukung pertumbuhan industri teknologi tinggi padat modal yang menghasilkan high
end products, pemerintahan China juga sangat agresif mendorong berbagai kegiatan penelitian
dan pengembangan (R&D), sejalan dengan ambisinya menjadi The Fastest Growing Innovation
Centre of the World, dengan tahapan, strategi, dan implementasi yang sangat jelas untuk sampai
ke sana.

Hampir di setiap ibu kota provinsi ada R&D centre-nya. Positioning strategy ini mengindikasikan
China mulai masuk babak kedua dalam pembangunan ekonominya.

Ketiga, negara ini relatif memiliki infrastruktur yang sangat bagus untuk mengangkut komponen
dan barang dari luar dan juga di seluruh penjuru negeri. China, dengan 1,3 miliar penduduk,
memiliki 88.775 kilometer jalan arteri dan 100.000 kilometer jalan tol, atau rasio panjang jalan per
sejuta penduduk 1.384 kilometer.

Sebagai perbandingan, Indonesia dengan 220 juta penduduk baru memiliki jalan arteri 26.000
kilometer dan jalan tol 620 kilometer (121 kilometer per sejuta penduduk). Itu pun sebagian besar
dalam kondisi rusak. Pelabuhan-pelabuhan di China sudah mampu melayani seperlima volume
kontainer dunia dan negara ini terus membangun jalan-jalan tol dan pelabuhan-pelabuhan baru.

Keempat, kebijakan pemerintah yang sangat mendukung, termasuk perizinan investasi,


perpajakan, dan kepabeanan. Kelima, pembangunan zona-zona ekonomi khusus (20 zona)
sebagai mesin pertumbuhan ekonomi sehingga perkembangan ekonomi bisa lebih terfokus dan
pembangunan infrastruktur juga lebih efisien.

Hasilnya, tahun 2004 China berhasil menarik investasi langsung asing 60,6 miliar dollar AS dan
500 perusahaan terbesar dunia hampir seluruhnya melakukan investasi di sana. Bagaimana
kompetitifnya China bisa dilihat di tabel. Di sini kelihatan China sudah memperhitungkan segala
aspek untuk bisa bersaing dan merebut abad ke-21 dalam genggamannya.

Hal serupa terjadi pada India yang mengalami pertumbuhan pesat sejak program liberalisasi
dengan membongkar ”License raj" pada era Menteri Keuangan Manmohan Singh tahun 1991.
India kini sudah masuk tahap kedua strategi pembangunan ekonomi dengan menggunakan
teknologi informasi (IT) sebagai basis pembangunan ekonominya.

Hampir seluruh pemain bisnis IT dunia sudah membuka usahanya di India, terutama di
Bangalore. Tahun 2006, pendapatan dari IT India mencapai 36 miliar dollar AS. Malaysia,
Thailand, dan Filipina juga beranjak ke produk-produk yang memiliki tingkat teknologi lebih
kompleks dan bernilai tambah tinggi. Singapura dan Korsel mengarah ke teknologi informasi dan
perancangan produk.

Pragmatisme

Bagaimana dengan Indonesia? Prinsip globalisasi adalah adanya pembagian kerja untuk
mencapai efisiensi. Sinyalemen bahwa Indonesia dengan tenaga kerja melimpah dan upah buruh
murah hanya kebagian industri ”peluh” (sweatshop) seperti pakaian jadi dan alas kaki dalam
rantai kegiatan produksi global, terbukti sebagian besar benar.

China, India, dan Malaysia juga memulai dengan sweatshop, tetapi kemudian mampu meng-
upgrade industrinya dengan cepat. Hal ini yang tidak terjadi di Indonesia. Kebijakan Indonesia
menghadapi globalisasi sendiri selama ini lebih didasarkan pada sikap pragmatisme.

Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Hadi Soesastro
(Globalization: Challenge for Indonesia) mengatakan, kebijakan pemerintah menghadapi
globalisasi tidak didasarkan pada pertimbangan ideologis, tetapi lebih pada penilaian obyektif apa
yang bisa dicapai negara-negara Asia Timur lain.

Apalagi, saat itu di antara negara-negara di kawasan Asia sendiri ada persaingan, berlomba
untuk meliberalisasikan perekonomiannya agar lebih menarik bagi investasi global. Momentum
ini didorong lagi oleh munculnya berbagai kesepakatan kerja sama ekonomi regional seperti
AFTA dan APEC.

Pemerintah meyakini melalui liberalisasi pasar, industri dan perusahaan-perusahaan di Indonesia


akan bisa menjadi kompetitif secara internasional. Sejak pertengahan tahun 1980-an, Indonesia
sudah mulai meliberalisasikan dan menderegulasikan rezim perdagangan dan investasinya.

Selama periode 1986-1990, tidak kurang dari 20 paket kebijakan liberalisasi perdagangan dan
investasi diluncurkan. Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia Timur yang memulai
program liberalisasi ekonomi dengan liberalisasi rezim devisa.

Namun, dalam banyak kasus, paket kebijakan yang ditempuh pemerintah untuk mendorong
sektor swasta waktu itu cenderung reaktif dan tak koheren serta diskriminatif karena sering kali
tidak menyertakan kelompok atau sektor tertentu dari program deregulasi. Jadi, tidak mendorong
terjadinya persaingan yang sehat.

Pengusaha tumbuh dan menggurita bukan karena ia efisien dan kompetitif, tetapi karena ia
berhasil menguasai aset dan sumber daya ekonomi, akibat adanya privelese atau KKN dengan
penguasa.

Kini Indonesia terkesan semakin gamang menghadapi globalisasi, terutama di tengah tekanan
sentimen nasionalisme di dalam negeri. Di pihak pemerintah sendiri, karena menganggap sudah
sukses melaksanakan tahap pertama liberalisasi (first-order adjustment) ekonomi, pemerintah
cenderung menganggap sepele tantangan yang menunggu di depan mata.

Ini tercermin dari sikap taken for granted dan cenderung berpikir pendek. Padahal, tantangan
akan semakin berat dan kompleks sejalan dengan semakin dalamnya integrasi internasional.
Belum jelas bagaimana perekonomian dan bangsa ini menghadapi kompetisi lebih besar yang
tidak bisa lagi dibendung.

Jika China yang the world’s factory dan India yang kini menjadi surga outsourcing IT dunia
berebut menjadi pusat inovasi dunia, manufacture hub, atau mimpi-mimpi lain, Indonesia sampai
saat ini belum berani mencanangkan menjadi apa pun atau mengambil peran apa pun di masa
depan. Jika Indonesia sendiri tak mampu memberdayakan dan menolong dirinya serta
membiarkan diri tergilas arus globalisasi, selamanya bangsa ini hanya akan menjadi tukang jahit
dan buruh.
Menurut seorang panelis, yang dibutuhkan Indonesia sekarang ini adalah visioning, repositioning
strategy, dan leadership. Tanpa itu semua, kita tidak akan pernah beranjak dari transformasi yang
terus berputar-putar. Dengan visi jelas, tahapan-tahapan yang juga jelas, dan komitmen semua
pihak serta kepemimpinan yang kuat untuk mencapai itu, tahun 2030 bukan tidak mungkin
Indonesia juga bisa bangkit kembali menjadi bangsa yang lebih bermartabat dan berdaya
sebagai pemenang dalam globalisasi.

Oleh: Sri Hartati Samhadi


sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0605/20/sorotan/2658725.htm

Anda mungkin juga menyukai