Anda di halaman 1dari 2

Kelemahan PP Nomor 6/2005 tentang Pilkada (Hubungannya Dengan Pengawas Pilkada)

Oleh : YOS BATUBARA (Anggota Panwas Pilgubsu Kabupaten Labuhanbtu) Pembentukan Pengawas Pilkada Salah satu kekurangan yang segera terlihat dengan jelas di dalam PP ini adalah kurang lengkapnya ketentuan mengenai tata cara perekrutan anggota pengawas pilkada. Padahal, aspek pengawasan sangatlah vital dalam penyelenggaraan pilkada guna terciptanya pilkada yang berkualitas (jujur, adil, dan demokratis). Keberadaan pengawas pilkada yang terdiri atas anggota-anggota yang berkualitas, berintegritas, nonpartisan, netral, objektif, dan imparsial merupakan prasyarat mutlak guna mengefektifkan dan mengoptimalkan kinerja pengawasan dalam proses pilkada yang merupakan pengalaman baru bagi kita ini. Bagaimana mungkin menjamin pilkada berkualitas jika tidak dibarengi penyelenggaraan aspek pengawasan yang juga berkualitas? Bagaimana mungkin pengawasan atas semua tahap pilkada bisa dilaksanakan secara objektif dan imparsial apabila metode perekrutannya tidak melalui suatu proses yang memungkinkan terekrutnya para anggota pengawas yang andal dan berkualitas? Kekurangan lainnya adalah, PP ini hanya mengatur tata cara penelitian dan seleksi terhadap unsur dari tokoh masyarakat, padahal jelas-jelas dinyatakan dalam ayat sebelumnya bahwa, pengawas terdiri dari berbagai unsur yakni kepolisian, kejaksaan, perguruan tinggi, pers, dan tokoh masyarakat. Lalu bagaimana tata cara penelitian dan seleksi terhadap unsur lainnya tersebut (yakni kepolisian, kejaksaan, dan perguruan tinggi)? Apakah ketidakjelasan ini tidak akan berakibat masing-masing pihak menafsirkan sendiri sesuai kepentingannya, yang pada gilirannya berkonsekuensi pada proses perekrutan personel pengawas yang kurang andal dan kurang berkualitas. Hal tersebut tidak disinggung, baik oleh UU Nomor 32 Tahun 2004 yang merupakan payung dari PP ini, maupun oleh PP Nomor 6 tahun 2005 itu sendiri. Sehingga terjadi kevakuman aturan mengenai hal tersebut. Jika kondisi kekurang-lengkapan pengaturan tersebut tidak mampu diatasi segera dan proses perekrutan pengawas tetap dilaksanakan dengan perangkat aturan yang demikian minim, disertai lagi potensi timbulnya masalah di atas, maka harapan yang begitu besar terhadap terselenggaranya pilkada yang berkualitas mulai menjadi agak menipis. Kesalahannya memang bukan semata-mata terletak pada PP ini yang sekadar menjabarkan undang-undang. Namun, memang dari undang-undangnya sudah membawa ''kelemahan'' yang ternyata tidak dicoba ditambal atau diperbaiki melalui PP Nomor 6 tahun 2005 ini. Pengawasan dan Penegakan Hukum UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah tidak mengatur mengenai batas waktu pelaporan dan pengkajian laporan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan. Hal ini jauh berbeda misalnya dengan UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Legislatif dan UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Konsekuensinya, ketentuan mengenai pengawasan dan penegakan hukum berkaitan pilkada dalam PP ini mengacu pada ketentuan hukum yang sudah ada. Misalnya untuk tata cara penanganan kasus pidana dalam pilkada maka ketentuan yang berlaku adalah Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (Pasal 113 PP Nomor 6 Tahun 2005).

Secara umum dapat dikatakan bahwa telah terjadi ''kemunduran'', khususnya dalam hal kelengkapan substansi pengaturan. Setidaknya jika dibandingkan dengan instrumen hukum yang menjadi acuan penyelenggaraan Pemilu Legislatif dan Pilpres 2004 lalu. Sebagai contoh, baik undang-undang maupun PP yang mengatur tentang pilkada ini, tidak mengatur tentang pembatasan jangka waktu harus diselesaikannya proses penyidikan, penuntutan, ataupun pemeriksaan di pengadilan. Konsekuensinya adalah penanganan terhadap tindak pidana pemilu, misalnya dari mulainya penyidikan sampai adanya suatu putusan yang berkekuatan hukum tetap dapat memakan waktu sangat panjang (apalagi jika sampai tingkat banding dan/atau kasasi). Salah satu contoh yang bisa dijadikan pengalaman misalnya dalam Pemilu tahun 1999, ada suatu kasus yang penanganannya baru selesai setelah waktu tiga tahun. Contoh lebih kongkret, pasal 82 UU Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa pasangan calon dan atau tim kampanye yang terbukti melakukan politik uang dapat dibatalkan. Jika untuk membuktikannya saja (melalui putusan yang berkekuatan hukum tetap) perlu waktu begitu lama, sehingga akhirnya masalah tersebut akan berlarut-larut. Salah satu sebab munculnya kelemahan ini adalah karena di dalam UU 32 Tahun 2004 yang merupakan payung hukum bagi PP ini, memisahkan antara pengaturan tentang pengawasan dengan pengaturan tentang penegakan hukum, padahal dua hal ini saling terkait erat. Sementara dalam Undangundang Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD serta Undang-undang Pemilu Presiden 2004 kedua hal tersebut, karena didasarkan pada pandangan bahwa keduanya memiliki keterkaitan sangat erat, diatur secara bersamaan dan saling berhubungan (dalam Bab XIV Undang-undang Pemilu dan dalam Bab XI Undang-undang Pemilihan Presiden, dengan judul Bab: Pengawasan, Penegakan Hukum dan Pemantauan Pemilu).

Anda mungkin juga menyukai