Anda di halaman 1dari 14

PERAN CHIEF INFORMATION OFFICER (CIO) SEBAGAI PENYELARAS BUSINESS PROCESS REENGINERING (BPR) PADA ORGANISASI

BY KANG KODAR | PUBLISHED FRIDAY, APRIL 27, 2012

PERAN CHIEFINFORMATION OFFICER (CIO) SEBAGAI PENYELARAS BUSINESS PROCESS REENGINERING(BPR) PADA ORGANISASI
1) 2)

Yusrizal , Raden Kodarisman

1) MahasiswaPasca Sarjana Program CIO MTI UGM Program Beasiswa Kerjasama Kemkominfo RIdan MTI UGM
2)

Tahun Angkatan 2011, Mahasiswa Pasca Sarjana Program CIO MTI UGM ProgramBeasiswa Kerjasama Kemkominfo RI dan MTI UGM Tahun Angkatan 2011

ABSTRAK

Pemikiran desainulang proses bisnis merupakan pilihan cerdas bagi sebahagian organisasi yangingin tetap survive dalam era persaingan global. Beragam cara dilakukan untukmendukung hal tersebut, dimulai dengan perbaikan manajemen, meningkatkankualifikasi sumber daya manusia, menciptakan produk baru, melakukan ekspansiperusahaan sampai yang paling ekstrim adalah melakukan efisiensi di segalabidang. Hal ini jelas menunjukkan kekhawatiran para petinggi organisasi dalam menghadapi era tersebut. Business Process Reengineering (BPR) merupakan salahsatu cara yang juga ditempuh dalam mengurangi kekhawatiran tersebut, yaitudenga melakukan pemikiran ulang yang fundamental dan perancangan ulang yangradikal terhadap prosesproses bisnis organisasi yang diharapkan membawaorganisasi mencapai peningkatan yang dramatis dalam kinerja bisnisnya. Selainitu peran Chief Information Officer (CIO) juga diperlukan sebagai penyelarasantara strategi bisnis dengan strategi organisasi. Melalui kapabilitas yangdimiliki dibidang kemampuan teknologi dan manajerial, CIO mampu menjembataniperubahan proses bisnis kearah yang lebih baik.

Kata Kunci : BusinessProcess Reengineering, Chief InformationOfficer, Sistem Informasi, Teknologi Informasi

A. PENDAHULUAN

Keberhasilanproses bisnis sebuah organisasi di era konvergensi saat ini sangat dipengaruhioleh cara organisasi memanage kebutuhanbisnisnya. Kebutuhan untuk memanagesebuah organisasi tidak terbatas pada persoalan yang berkaitan denganaspek-aspek managerial saja, tetapi bagaimana strategi yang unggul dalammengelola sumber daya menjadi sesuatu hal yang penting dalam mensinkronisasiantara lingkungan internal dan external organisasi. Strategi dipandang sebagaisuatu hal yang dapat mengintegrasikan dan mengkordinasikan sekumpulan komitmendan tindakan untuk menyelesaikan persoalan dan keberhasilan sebuah keunggulankompetitif. Satucara yang dilakukan untuk menciptakan keunggulan kompetitif sebuah organisasiadalah dengan melakukan Bussiness ProcessReengineering (BPR), yakni suatu pemikiran ulang yang fundamental danperancangan ulang yang radikal terhadap proses-proses bisnis organisasi yang akanmembawa organisasi mencapai peningkatan yang dramatis dalam kinerja bisnisnya(Hamer and Champy, 1993).

BPRmelibatkan perubahan dalam struktur dan proses dalam lingkungan bisnis,teknologi, sumber daya manusia dan organisasi. BPR dimulai dengan melakukanpenilaian misi organisasi, tujuan strategi dan kebutuhan pelanggan. Pertanyaaanmendasar yang sering diungkapkan terkait dengan hal tersebut adalah, apakahmisi organisasi perlu di definisikan ulang dan apakah strategi bisnis yang adaselaras dengan misi tersebut?. Dalammelakukan penilaian dasar terhadap misi dan tujuan organisasi, BPR lebihberfokus pada langkah dan prosedur yang mengatur bagaimana sumber dayadigunakan untuk menciptakan produk dan layanan yang dapat memenuhi kebutuhanpasar dan pelanggan.Reengineeringmengidentifikasi, menganalisis, mendesain ulang proses bisnis organisasi dengantujuan untuk mencapai perbaikan dramatis dalam ukuran kinerja yang kritis,seperti biaya, kualitas, pelayanan dan kecepatan. BPRmengidentifikasi bahwa biasanya sebuah organisasi melakukan pemisahan tugasfungsional ke dalam beberapa sub proses sehingga terkadang tidak ada yangbertanggung jawab terhadap kinerja keseluruhan dari seluruh proses yang ada.BPR berpendapat bahwa mengoptimalkan kinerja pada sub proses dapat menghasilkanbeberapa manfaat, tetapi tidak dapat menghasilkan manfaat dramatis jika prosesitu sendiri pada dasarnya tidak efisien dan ketinggalan zaman. Untuk alasantersebut reengineering berfokus padamendesain ulang proses secara keseluruhan untuk mencapai manfaat yangsebesar-besarnya pada organisasi. Untukmendukung proses tersebut, organisasi harus mempertimbangkan menggunakanseseorang yang memiliki kualifikasi dibidang managerial dan teknologi. Hal inisesuai dengan tujuan darireengineeringyaitu efisiensi, kualitas layanan dan kecepatan. CIO merupakan figure yang tepat dalam mengisi posisitersebut. CIO merupakan eksekutif senior yang bertanggung jawab dalammenetapkan kebijakan informasi perusahaan, standar dan kontrol manajemen atassemua sumber daya informasi. Tetapibagaimana kapabilitas dan peran yang harus dimiliki CIO dalam menyelaraskanprosesreengineering tersebut?.Strategi apa yang dapat dilakukan sehingga proses reengineering dapat berhasil, sehingga perusahaan memilikikeunggulan kompetitif dalam menghadapi persaingan global. Hal inilah yang harusdijawab oleh CIO sebagai seorang yang menduduki posisi strategis di perusahaan.

B. Permasalahan

Kondisiyang dinamis, kompleks serta penuh dengan ketidakpastian membawa perusahaan organisasi)pada posisi persimpangan antara beberapa pilihan, mulai dari restrukturisasi, Total Quality Management (TQM), Benchmarking (patok duga), Reengineering (Rancang Bangun Ulang), sampaike aliansi strategi dan beberapa penerapan konsep lainnya yang ditempuh gunamencapai sukses masa kini dan esok. Salah satu alat manajemen yang belakangan ini menjadi pilihan bagiperusahaan adalah Bussiness ProcessReengineering (BPR) atau managemen rancang bangun ulang proses bisnis.Tantangan berat dari alat yang baru ini adalah kemauan dan keyakinan untukmengadakan perubahan radikal dalam proses bisnis bagi pencapaian hasil usahayang lebih baik. Business Process Reengineering melibatkan perubahan dalam strukturdan proses dalam lingkungan bisnis. Seluruh teknologi,manusia, dan dimensi organisasi dapat berubah dalam BPR.Teknologi informasi memainkan peran utama dalam BPR karenamenyediakan otomatisasi kantor, memungkinkan bisnisuntuk dilakukan di lokasi yang berbeda,memberikan fleksibilitas dalam operasional izin, mempercepat proses layanan pelanggan dan paperless. Secara umum hal itu memungkinkan perubahan yang efisien dan efektif dalam operasionalpekerjaan. Untuk mendukung terciptanya kesuksesandalam proses reengineering diperlukanadanya sinergi dan kerjasama dihampir seluruh bahagian dari organisasi.Dibutuhkan seorang figure yang mampumenjembatani antara kebutuhan bisnis organisasi dengan kemauan individu untukmelakukan perubahan. Mengingat salah satu faktor penting dalam sebuah prosesperubahan adalah budaya organisasi dan kemauan individu didalamnya. ChiefInformation Officer (CIO) adalah figure yang paling tepat dalam pengawalan proses reengineering, karena selain memangdiciptakan memiliki keahlian dibidang teknologi juga dibekali dengan skill managerial yang mampu menciptakan hubungan yang harmonistidak hanya di level top managementtetapi juga di tingkat operasional (Synnott dan Gruber, 1981). Keberhasilan CIO dalam melakukan prosestransformasi bisnis telah dibuktikan oleh perusahaan-perusahaan besar duniabaik dilingkungan perusahaan private(swasta) maupun perusahaan public(pemerintah). CIO dipandang telah banyak memberikan sumbangsih bagikeberhasilan organisasi, dari sisi peningkatan keunggulan kompetitif,efektifitas dan efisiensi pengolahan managemen organisasi. Sejauh mana peran CIO dalammenyelaraskan BPR di lingkungan organisasi? Secara sederhana penelaahan dalamtulisan ini diharapkan memberikan gambaran tentang bagaimana strategipenyelarasan yang dilakukan oleh CIO terhadap proses reengineering padaorganisasi.

C.CHIEF INFORMATION OFFICER (CIO)

1.Sejarah Perkembangan CIO Informasi mengenai bagaimanasejarah profesi Chief Information Officer (CIO) mula pertama dikenal dunia menurutElectronic Data Systems Corporation (2008) tidak diketahui (lost to history). CIO sebagai suatuprofesi dapat dipahami dari posisi tugas dan fungsi jabatan yang di embanseseorang. Diperkirakan pengangkatan CIO pertama kalinya di kenal diperusahaan-perusahaan pada tahun 1970(tidak disebut di perusahaan apa). Sebagaimana teknisi perusahaan, CIO pertamaini melaksanakan tanggungjawabnya dengan pendekatan teknis, sepertimengoptimalisasi akuisisi, integrasi dan aplikasi teknologi informasi. Belummemiliki visi, namun lambat laun posisi CIO berkembang memiliki tanggungjawabyang multidimensional. (EDS. 2008). Eksistensi CIO tercantum dalam Clinger-CohenAct (CCA) 1996 yang sebenarnya merupakan kombinasi perundangundangan Information Technology Management Reform Act(ITMRA) dan Federal Acquisition ReformAct (FARA) pada tahun 1996. Dalam CCA 1996 tersebut secara jelas disebutkan pembentukan jabatanCIO pada Departemen-Departemen, Agensi, dan Badan Nasional Pemerintah FederalAmerika Serikat. National DefenseAuthorization Act 1996, dalam Divisi E telah diatur Penyempurnaan ManajemenTeknologi Informasi pada DepartemenPertahanan, dan Departemen Energi USA. Didalamnya antara lain mengatur tentangtanggungjawab akuisisi teknologi informasi dan agensi CIO. Tanggungjawabjawab akuisisi terdiri dari pengaturantanggungjawab direktur, perencanaan anggaran dan kendali investasi, basis kinerja dan hasil. Pengaturan agensi CIOterdiri dari desain CIO, tanggungjawab umum, kewajiban dan kualifikasi CIO,definisi arsitektur teknologi informasi. Pada tahun 2002 diterbitkan E-Government Act yang didalamnya banyakmengatur tentang peran CIO. Jika CIO pada departemen sebagai agensi CIO, makadi Pemerintahan Federal USA dikenal Dewan CIOC (Chief Information Officers Council) yang diantaranya beranggotakanDirektur Deputi Management, Administrator E-Government, Administrator Informasidan Regulasi, CIO dari masing masing agensi, CIO CIA, CIO DepartemenPertahanan.

2. Peran dan Tanggung Jawab CIO

IstilahChiefInformatiion Officer (CIO) diperkenalkansebagai 'eksekutifsenior yang bertanggung jawab untukmenetapkan kebijakan informasi perusahaan, standar, dan kontrol manajemen atassemua sumber daya informasi(Synnott danGruber, 1981 hal 66). Oleh karena itu, CIO digambarkan sebagai seorang manajer,dan tidak lagi hanya ahli dalam hal teknis tetapi mampu menyelesaikan semua tanggung jawab yang berkaitan dengan teknologi informasi. CIO merupakan kombinasi antara spesialis teknisdan Manajemen. Menurut Societyof Information Technology Management (SOCITM) Learning taster sessionDevelopingthe new CIO role disebutkan bahwa CIO bertanggungjawab sebagaiagen pembawaperubahan untukmentransformasikan pemanfaatan teknologi informasi dalam organisasi. PerananCIO dewasa ini : - Memastikaninformasi dikelola dan dipelihara dengan baik sebagai sumber daya perusahan - Memastikantata kelola dan keamanan informasi tepat (jaminan keamanan informasi) - Membantubisnis dalam mengenali potensi TIK - Membangunkepercayaan diri dalam fungsi TIK - Ujungtombak transformasi bisnis - Memastikanteknologi bekerja dengan baik (untuk mempertahankan kepercayaan) - Meningkatkankapasitas TIK dalam proses perubahan.

Singkatnya,keberadaan CIO adalah untuk membawa perubahan substansial, di dukung olehkemampuan untuk mengelola dan memanfaatkan informasi secara efektif (Chris Head& Martin Ferguson, SOCITM). KewenanganCIO pada setiap perusahaan memiliki perbedaan, tetapi pada umumnya CIO memilikiperan dan tanggungjawab yang menyeluruh terhadap teknologi informasi. Fokusutama CIOadalah membentuk karakterstrategis dalam sistem perencanaan teknologi informasi pada sistem perusahaan. Tanggungjawab yangada meliputi aspek teknik dan lingkup organisasional. Perhatian utama peran CIO adalah menyesuaikankepentingan Information Technology (IT)dan Bussiness, diantaranya yaknibagaimana sistem IT dapat mendukung bisnis perusahaan, memutuskaninvestasiIT, sistem apa yangdiprioritaskan dalam akuisisi IT, sistem penilaian kualitas dan peningkatanIT,aspek keamanan, performance, reliability, integrability, dan maintainability. Dari aspek pengorganisasian personal IT, CIObertugas untuk memanajemen pengetahuan organisasi dan pengayaan pengetahuan.Juga mensinergikan IT governance, menciptakanIT strategies, panduan pengembangansistem IT, dan mengatur pembiayaan operasional (sistem operasi) IT dan belanjapersonal IT (Mathias Ekstedt 2004).

3. Strategi Bisnis CIO

Rencanastrategik perusahaan harus mampu mengubah tingkat performance dasardalam pengalokasian sumber daya sejalan dengan perubahan fungsi bisnis dan fungsiteknologi informasi. Hal ini harus diperhatikan karena semua investasiteknologi informasi (TI) yang telahdibuat oleh perusahaan harus dapat memberikan kepastian bahwa sumber daya yang telah dikeluarkantidak akan sia-sia karena investasi TI yang telah dilakukan dapat saja tidak memberikan keuntungan yangdiharapkan bila tidak ada perubahaan perilaku ataubudaya perusahaan. Karenainvestasi TI sering kali tidak dapat memberikan kepastian bahwakeuntungan dari investasi akan diperoleh dengan cepat atau dalam jangka waktuyang pendek. Chief Information Officer (CIO) harusdapat menjembati antara investasi TI yang merupakan salah satu faktor pendukungstrategi bisnis dengan tujuan organisasi. CIO diciptakan untuk dapatmemfasilitasi revisi utama untuk proses bisnis. Tidak hanya menerapkanteknologi informasi baru tetapi CIO diharapkan dapat mengembangkan budayaperusahaan dalam melakukan proses bisnis. Seperti diakui dari beberapapenelitian yang terkait dengan CIO (Hunter, 2010) bahwa perubahan kultur budayaperusahaan lebih sulit daripada perubahan teknis. Komunikasidengan semua tingkatan pengguna sangatlah diperlukan untuk memperoleh pemahamantentang sikap umum terhadap teknologi informasi. Komunikasi ini terutamadicapai melalui tatap muka pertemuan. Dalam komunikasi ini masalahketidakpuasan dan ketidaknyamanan terhadap pemanfaatan teknologi informasi barubiasanya menjadi topik utama yang harus segera dicarikan solusinya. CIOharus memiliki keahlian yang luas agar berhasil dalam peran mereka sebagaipemimpin strategis dalam bidang teknologi informasi. Menurut Brown (1993), CIObertanggungjawab atas infrormasi dan infrastruktur TI dengan berorientasi padasumber daya manusia, komunikasi, pendidikan, standard dan kontrol terhadappenerapan teknologi baru. MenurutPolansky, Inuganti dan Wiggins (2004) terdapat 10 point penting dalam halkepemimpinan seorang CIO. Sepuluh point tersebut diyakini sebagai strategibisnis CIO dalam peran kepemimpinannya memanagestrategi bisnis dibidang teknologi informasi. sepuluh point tersebut adalah : - Strategi TI - Tata kelola TI - TI organisasidan staf - Teknologi danarsitektur - Teknologi kesadaran - Tata kelolaperusahaan - Bisnisintelijen - Transformasibisnis - Layananpelanggan - Internet dane-bisnis.

Strategi bisnis CIO tidak hanyameliputi bidang-bidang yang berkaitan dengan aspek teknologi informasi sajatetapi juga mengkombinasikan dengan aspek manajemen. CIO harus mensinergikanantara strategi dibidang TI dengan strategi di bidang manajemen.

4. CIO Dahulu dan Saat Ini

Munculnyagenerasi baru manajer, Chief InformationOfficer (CIO) seperti yang dipublikasikan oleh Bock, Carpenter, dan Davis(1986) pada majalah Business Week,menyebutkan bahwa posisi pengolahan data yang akan datang diakui sebagai CIO,sama seperti dua puluh tahun sebelumya ketika akuntan terangkat ke posisi Chief Finansial Officer (CFO). Munculnyaperan CIO menunjukkan bahwa perusahaan menganggap strategi informasi danteknologi pendukungnya merupakan hal yang penting bagi kelangsungan hiduporganisasi. ParaCIO memiliki peranan resmi dalam sebuah organisasi sejak awal 1980-an. Padawaktu itu organisasi mengalami sebuah revolusi tentang teknologi informasi(TI). Para eksekutif semakin sadar bahwa modal yang diinvestasikan dalam bentukteknologi informasi akan memberikan keunggulan kompetitif bagi perusahaan ditengah persaingan pasar global (Porter dan Millar, 1985). Sejak saat itu paraeksekutif semakin yakin bahwa TI tidak hanya sebagai pelengkap (add on) dalam bisnis, melainkan memilikiperan yang cukup strategis sama seperti peran keuangan, sumber daya manusia,operasinal dan pemasaran. Oleh karena itu organisasi sektor swasta (private) selama lebih dari 20 tahuntelah memperoleh manfaat dari eksekutif yang mengelola asset informasiorganisai yang bernama CIO. Padatahun 1998 Kom/Ferry International menerbitkan hasil survei internasionalterhadap tiga ratus empat puluh CIO yang bekerja pada perusahaan. Surveitersebut mencoba menggali tentang peran mereka dalam organisasi. Setelahdipublikasikan pada tahun yang sama (1998) dapat disimpulkan bahwa CIOmenemukan bahwa peran mereka sangat berbeda antara masa lalu yang berorientasiteknis dan masa depan yang berorientasi bisnis strategis.

Masa lalu fokus padaefisiensi penggunaan perangkat keras dan perangkat lunak, sementara masa depanditunjukkan dengan meningkatkan peran keterlibatan mereka dalam perencanaanbisnis strategis di level organisasi senior. Laporan lebih lanjut menunjukkanbahwa organisasi-organisasi yang berhasil dalam mengelola transisi dari peranini akan mendapatkan keunggulan kompetitif (competitiveadvantage). Jadi penting bahwa keduanya, antara perusahaan dan CIO harusmenyadari bahwa peran CIO harus berevolusi dari fungsi pengolahan informasimenjadi fungsi manajemen pengetahuan dan inovasi (Newbold & Azua, 2007).

D. BUSSINESS PROCESS REENGINEERING (BPR) 1. Konsep dan Perkembangan BPR

Bussiness Process Reengineering (BPR) adalahpemikiran ulang yang fundamental dan perancangan ulang yang radikal terhadap proses-proses bisnis organisasi yang membawa organisasi mencapaipeningkatan yang dramatis dalam kinerja bisnisnya (Hamer dan Champy, 1993). Reengineering bisa juga diartikansebagai inovasi proses atau perencanaan visi strategik dan strategi kompetitifbaru serta pengembangan proses bisnis baru yang mendukung visi tersebut. Menurut Herbkersman (1994) reengineering adalah perubahan secaradrastis bagaimana cara anggota organisasi menyelesaikan cara kerja mereka. Pengakuanreengineering sebagai paradigma baruadalah peran besar Hamer (1990) dalam tulisannya yang berjudul Reengineering Work: Dont AutomateObliterate yang dipublikasikan dalamHarvardBussiness Review, JuliAgustus 1990, walaupun sebenarnya prinsip-prinsip reengineeringtelah diterapkan denganbaik sebelum ini (Markus dan Robey, 1998). Dalam tulisannya tersebut Hamermemperkenalkan esensi dan prinsip-prinsip reengineeringantara lain adalah : 1. Memfokuskanpada faktor-faktor sekitar hasil (outcome) bukan pada tugas, artinya bahwa suatu perusahaan hendaknya memilikiseseorang yang melaksanakan semuatahapan dalam suatu proses. 2. Suatuperusahaan hendaknya membentuk departemen-departemen terspesialisasi untukmenangani proses yang terspesialisasi pula. 3. Mengelompokkan pemrosesan informasi ke dalamfungsi yang menghasilkan informasi. 4. Memperlakukan sumber-sumber yang terpisahseolah-olah tersentralisasi. 5. Mengkaitkanaktivitas-aktivitas paralel serta mengintegrasikan hasil-hasilnya. Halini ditujukanuntuk meningkatkanketerkaitan antar fungsi paralel sehingga unit-unit terpisah bisa melakukansatu fungsi. 6. Menghubungkan aspek-aspek keputusan untuk menyelesaikan tugas danmembangun sistem pengendalian dalamsuatu proses. 7. Memperoleh informasi sekaligus pada sumbernya.

Dalamperkembangan selanjutnya reengineeringpernah menjadi isu bisnis yang paling populer di awal era 1990-an di negaraasalnya yaitu Amerika Serikat. Apalagi dengan terpublikasinya karya MichaelHamer dan James Champy (1993) ReengineeringThe Corporation. Karya tersebut berhasil menjadi best seller sejak tahun 1994-1994 (Keidel, 1994). Mereka diakuisebagai pemrakarsa idereengineering. Namun demikian Hamer sebagaisalah satu pencetus ide tersebut sudah sejak awal memprediksi bahwa inisiatif reengineering akan mengalami kegagalansekitar 50% -70% untuk mencapai tujuannya. Riset empiris membuktikan bahwaprediksi Hamer tidak jauh menyimpang dari kenyataan, bahkan tingkat kegagalanberdasarkan beberapa kasus mencapai 84% (Martinez,1995). Praktik-praktikreengineering dalam periode 1990-1994bisa disebut sebagaireengineeringgelombang pertama (first wave reengineering) yang sebagian besar ditandai denganaplikasi prosesprosesoperasional seperti waktu (time),biaya (cost) dan kualitas. Konteksaplikasi padareengineering gelombang pertama ini relatif sempit dan bersifat microscopis sehingga dalam beberapakasus merupakan penyebab kegagalan reengineering.Khoong (1995) mengajukan metode REVISIONuntuk memperbaiki kegagalan-kegagalan dengan meninggalkan masalah-masalah microscopismenuju masalah-masalah yang lebih makro sehingga akan menghasilkan nilai-nilaiorganisasi yang jauh lebih besar. Pemikiran Khoong ini dikenal dengan metode second wave reengineering. Penerapanreengineering memang menjanjikanperubahan secara drastis pada organisasiperusahaan dan proses bisnis. Jika reengineeringberhasil maka perusahaan akan bisameningkatkan kinerja organisasi dankaryawannya (Davidson, 1993). Tetapi sebaliknya, jika upayareengineering mengalami kegagalan maka resiko yang dialami perusahaanakan timbul. Berbagai resiko yang mungkin dialami oleh perusahaan antaralain (Clemons, 1995): 1. Resikoteknis (technical risk) yaitu resiko yang terjadi karena terbatasnyakapabilitas teknologi yang digunakan organisasi dalam proses reengineering. 2. Resikofinansial (financial risk) terjadijika proyek reengineering tidakberjalan sesuai denganrencana atau jikatidak selesai tepat pada waktunya dan tidak sesuai dengan biaya yangdianggarkan.

3. Resiko politis (political risk) yaitu terjadinya resistance to change terhadap proyek-proyekreengineering. 4. Resiko fungsional (functional risk) merupakankesalahan disainer sistem dalam memahami kebutuhan organisasi dan kurangnyaketerampilan dan pengetahuan pelaksana sehingga mengakibatkan kapabilitassistem yang dirancang tidak tepat. 5. Resikoproyek (project risk) adalah resikoyang bisa terjadi jika personel pemroses data tidak memahami dan tidak familiarterhadap teknologi baru sehingga menimbulkan masalah-masalah yang kompleks.

2. Strategi BPR

Banyak telah ditulis tentangkeberhasilan dan kegagalan BussinessProcess Reengineering (BPR). Kepemimpinan, organisasi, budaya dan isumanusia telah diidentifikasi sebagai hambatan utama dalam mencapai kesuksesanBPR. Tanpa diragukan lagi, akan ada organisasi yang berhasil dan gagal dalamkegiatan ini. Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa implementasi BPR yang tidakmemperhatikan aspek-aspek sosial (manusia, budaya dan lingkungan) akan sangatberdampak terhadap keberhasilan sebuah reengineering(Rogerson, S., April 1996). Untuk itu dibutuhkan strategi , perencanaanserta visi yang tepat dalamimplementasinya. MichaelHammer dalam bukunya yang berjudul TheReengineering Revolution menyebutkan bahwa terdapat 10 pedoman dalammelakukan reengineering berdasarkanalasan potensi kegagalan. Dua yang paling signifikan adalah : - Pemahamandan pengetahuan tentang reengineeringmutlak harus diperlukan sebelum proses yang sebenarnya dilaksanakan. - Setiapupaya reengineering harusmemperhitungkan kebutuhan pribadi dari orang-orang yang terlibat di dalamnyaserta menawarkan beberapa manfaat bagi mereka. Hal ini merupakan strategi untukmeningkatkan kepekaan orang-orang yang ada di sekitar proses reengineeringtersebut. Pemikiranyang visioner, desain yang cukup hati-hati, sistem informasi yang canggih yangmendukung transformasi dari struktur organisasi tradisional menuju strukturorganisasi modern merupakan strategi bisnis dari sebuah BPR. Untuk mencapaihasil yang diharapkan dari sebuah BPR dibutuhkan langkah-langkah prinsipseperti redesign, retooling dan reorchestrating yang merupakan komponen kunci dalam proseskeberhasilan sebuah BPR dalam organisasi. Setiap langkah prinsip mewujudkantindakan dan sumber daya seperti disajikan dalam tabel dibawah ini :

Menciptakan proses bisnis barumelibatkan perubahan besar dihampir semua kehidupan orang-orang yang terlibat. Menciptakan sistem yang baru lebihbaik dari pada mempertahankan dan memperbaiki sistem lama yang dirasa kurangakomodatif. Terdapat perubahan mendasar yang terjadi dalam proses bisnisseperti dalam hal struktur, proses, manusia dan teknologi. Tabel berikut menyajikanperubahan yang terjadi dalam proses bisnis kaitannya dengan BPR. Lebihjauh, BPR mengasumsikan bahwa proses bisnis saat ini yang tidak dapatditerapkan dalam mendukung proses reengineering,disarankan untuk diganti dengan proses bisnis baru yang lebih adaptif. Seorang desainer proses bisnis harusmemisakan antara kepentingan proses bisnis masa lalu serta fokus pada prosesbisnis baru yang beroientasi pada masa depan. Didalam menerapkan teknik manajemen BPR untuk sebuah organisasi bisnis, seorangdesainer proses bisnis harus fokus pada tujuan-tujuan berikut :

- Fokus padapelanggan/pengguna jasa. Layanan pelanggan/pengguna jasayang berorientasi proses yang bertujuan untuk meningkatkan kepuasan danmengurangi keluhan.

- Kecepatan Kompresiwaktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas pada proses bisnis utama.Misalnya jika proses sebelum BPR memiliki siklus waktu rata-rata 5 jam, makasetelah BPR siklus waktu harus lebih dipersingkat menjadi setengah jam.

- Menyederhanakan Proses Kerja.

Penyederhanaantugas utama, biaya dan modal serta seluruh rantai proses yang terlibat.Organisai harus menciptakan transparansi terhadap seluruh kegiatan operasionaldengan maksud untuk melakukan efisiensi biaya operasional serta mengoptimalkanpengambilan keputusan.

- Fleksibilitas Prosesdan struktur yang adaptif terhadap segala bentuk perubahan kondisi danpersaingan. Perusahaan dapat mengembangkan mekanisme kesadaran untuk cepatmengetahui kelemahan yang dimiliki serta menyesuaikannya dengan kondisiterkini.

- Kualitas Berorientasipada penciptaan layanan-layanan unggul serta memiliki nilai bagi pelanggan.Tingkat kualitas selalu dikontrol dan dipantau oleh proses sistem sertadidukung oleh orang-orang yang memberikan pelayanan kepada pelanggan.

- Inovasi Kepemimpinanmelalui perubahan yang imajinatif serta menyediakan keunggulan daya saing bagiorganisasi.

- Produktivitas Meningkatkanefektivitas dan efisiensi secara menyeluruh terhadap proses bisnis dalam rangkamencapai tujuan yang diharapkan.

3. Metodology Project Implementasi BPR

Untukmengendalikan atau mendukung proses reengineering telah dikembangkan sebuah metodologi yangdisebut REVISION (Khoong, 1995).Metodologi ini dikembangkan berdasarkan risetekstensif, penyebaran perubahan teknologi (technology change deployment), dan mengkonsultasikanpengalaman (consulting experience). Metodologi REVISION mengarisbawahi kebutuhan organisasi perusahaan untukmeninjau (Revisit), menemukankembali (Reinvent) visi bisnismereka. Bertentangan denganmetode-metode reengineering lama yangcenderung diarahkan pada aktivitas-aktivitas bisnis mikroskopis, REVISIONadalah metode dalam second wave reengineering yang menitikberatkan padapandangan-pandangan makroskopisterhadap strategi bisnis.

Metodologitersebut diorganisir menjadi tujuh tahap utama yaitu: 1.Permulaan (initiate) 2.Pembentukan visi (envision) 3.Menganalisis (analyze) 4.Mendisain ulang (redisign) 5.Blueprint 6.Pengimplementasian (implement) 7.Memonitor (monitor)

Limatahap pertama merupakan fase penelitian (study) dalam usahamelaksanakan reengineering, sementaradua tahap terakhir adalah pendukung pelaksanaan implementasi perencanaanreenginering.Penerapan metodologi REVISIONmemberikan penekanan pada pentingnyakomunikasi antara pihak-pihak yang terlibat dalam proses reengineering (Khoong, 1995).

Tahap 1:Permulaan (Initiate)

Umumnyapenerapan reengineering dipicu oleh manajemen puncak, para penasehatorganisasi, atau beberapa staf yang berkepentingan dalam organisasi tersebut.Untuk melaksanakanreengineering perlu seorang sponsor eksekutif handal yang bertugas menjalankan envisioning(pembentukan visi). Selanjutnya pada tahap ini perlupula dibentuk tim yang lebih luas yang terdiri dari tim inti (core team) dan pihak-pihak eksternal yang berfungsi sebagai peninjau.

Timinti bertanggungjawab untuk menyusun pernyataan visi organisasi, menjalankankoordinasi pada keseluruhan pelaksanaan envisi,memberikan penuntun-penuntun atau metodologi-metodologi pada kelompok-kolompokkerja, mengelola ketergantungan antar proses(interdependence inter-process)dan mengintegrasikan output-output yang dihasilkan oleh kelompok-kelompok. Ditahap ini juga dilakukan pelatihan umum (generaltraining) untukmemberikan bahasa/arah bersama (generallanguage) dan untuk menanamkan pemikiran baru ke seluruh partisipan.

Tahap 2:Pembentukan Visi (Envision)

Tahappembentukan visi (envision) merupakantahap yang paling penting dalam fase perencanaan karena hal ini menentukanlingkup bisnis yang menjadi target reengineeringdi samping penetapan tolok ukur guna menilai hasil pelaksanaan reengineering. Jika hasil studi tahappembentukan mengindikasikan bahwa organisasi siap untuk reengineering maka tim inti (core team) selanjutnyamempersiapkan merancang dan mengendalikan tahaptahap selanjutnya. Untukmenelusuri secara cermat visi bisnis, metodologi REVISION menyarankan agar organisasimelakukan langkahlangkah : 1. Medefinisikan pelanggan yang akan dilayani organisasi. 2. Mendefinisikanproduk dan jasa yang disampaikan untuk pelanggan. 3. Mendefinisikanproses yang diperlukan oleh organisasi untuk melaksanakan tahap 1 dan 2.

Berdasarkanbeberapa studi organisasi perusahaan mengalami kesulitan ketika menjalankanlangkah-langkah diatas. Menurut hasil beberapa studi organisasi yang seringmengalami kesulitan adalah organisasisektor publik dan monopoli-monopoli sektor swasta. Hal ini disebabkan olehkeberadaan perusahaan itu sendiri dan pelanggannya dijamin. Padaproses envisioning organisasi bisa mengajukan pertanyaan-pertanyaan yangmengarah pada definisi ulang yang radikal dari peran organisasi. 1. Apakahperusahaan tela h dan atau sedang melayani pelanggan yang tepat. 2. Apakahperusahaan telah dan sedang menyampaikanproduk dan jasa yang tepat, apaprioritas pelanggan. 3. Apakahperusahaan sudah menerapkan proses yang tepat, mana yang merupakan proseskunci.

Darikombinasi pelanggan, barang/ jasa yang disampaikan danproses-proses metodologiREVISIONmerekomendasikan suatu pendekatan pragmatis di mana beberapa proses kunci yangmemecahkan masalah-masalah terpenting, dari pelanggan terpenting (dipecahkandenganreengineering). Strecth target harus ditetapkan untuksetiap proses yang jauh melebihi kapabilitas saat ini. Target-target yanglonggar menantang tim reengineering untuk mendobrak cara-caralama dalam menjalankan segala sesuatu untuk menjadi sekreatif mungkin.Kebutuhan akanreengineering haruslah dipaksakan. Metodologi REVISION menganjurkan agar organisasi menyelenggarakan suatu check terhadap kesiapanperubahan sebelum terjun ke dalam pelaksanaan reengineering yang sebenarnya. Pemeriksaanpra reengineering akan memecahkanbeberapa masalah yang menonjolseperti shock budaya potensial (potential culture shock). Metodologi inimenyediakan suatu daftar pertanyaan yangdirekomendasikan untuk didiskusikan dalam pelaksanaan reengineering. Pemeriksaan kesiapan harus diselenggarakan olehsuatu pihak yang netral dan dihargai. Tahap3: Menganalisa (Analyze)

Sebuahkelompok kerja dibentuk untuk menjalankan tahap analisis dan disain ulang (redesign) setiap proses danmasalah-masalah pokok. Kelompok-kelompok kerja tersebut dikatakan ideal jikaanggota-anggotanya terdiri dari orang-orang dari berbagai bidang fungsionalyang ada. Tim inti dituntut bisamenetapkan keseimbangan optimal diantara kelompok-kelompok itu. Ketergantunganantar proses (inter-process dependencies)diharapkan bisa dikembangkan untuk menunjukkan keterkaitan antar proses dalamorganisasi. Dalamproses analisis dan redesign, metodologi REVISIONmenganjurkan suatu pendekatanterperincidi mana aktivitas-aktivitas process, sumber daya, dan masalah-masalah ownership(aktivitas-aktivitas kepemilikan) dipetakandengan menggunakan notasi-notasi yang serupa denganflowchart.Analisis yang terperinci sangat penting karena mendorong manajemensenior untuk berfikir dari masalah-masalah yang kompleks menuju masalahmasalahyang sederhana, untuk bisa memahamibagaimana pekerjaan riil dijalankan. Dengan demikian tim reengineering bisa beroperasi dengan lebih baik.

Akantetapi metodologi REVISION jugamemiliki kelemahan yaitu: 1. Analisistersebut tidak ditujukan untuk meningkatkan proses yang telah ada, tetapi hanya untukmenyingkapkan kesalahan-kesalahan yang telah dibuat, sehingga disain-disainbaru tidak akan mengulanginya. 2. Analisistersebut jangan sampai rancu dengan dengan aplikasi reengineering level makro tetapi tetap diarahkan pada usaha untukbisa memecahkan akar-akar permasalahanreengineeringproses bisnis.

Tahap4: Mendesain Ulang (Redesign)

Redesignadalah suatu cara mendisain ulang suatuproses dengan mempelajari peta proses, mempermudah untuk melihat bagian-bagian tertentu yang bisadiotomatisasikan, disederhanakan, dan lebih ditekankan (diutamakan) denganlebih banyak menggunakan sumber-sumber daya dan perhatian manajemen yang lebih besar) atau dieliminasi. Secaranormal kombinasi dari langkah-langkah ini diterapkan pada bagian-bagian yangberbeda dalam suatu proses. Alasan untuk disain ulang harus didasarkan bukan hanya pada faktor waktu dan biayatetapi juga pada nilai yang dihasilkan oleh proses-proses tersebut. Proses-proses yang tidak menghasilkan nilai harus dihilangkan. Metodologi REVISIONmemandang pemikiran-pemikiran kreatif tim reengineering adalahproses kunci redesign.Kreativitas tim diharapkan bisamenemukan strategi reengineering, teknologi-teknologi baruyang memperbaiki atau menunjang proses reengineering, penyampaian produk danjasa pada pelanggan, pelayanan pelanggan yang sebelumnya dianggap tidakmungkin.

Tahap5: Blueprint

Tahapini terletak di perbatasan antara fase studi dan fase implementasi reengineering. Rekomendasi reengineering yang dikembangkan daritahap redesign perlu ditetapkanmenjadi sebuah blueprint yang disahkanoleh manajemen. Blueprint mencakupstrategi transisi dan jadwalimplementasi untuk semua aspek rencana perubahan tersebut. Pihak-pihakyang berperan dan bertanggungjawab dalamrencana implementasi harus direkomendasikan dalam tahapblueprint untuk menjaminkontinyuitas fase-fase berikutnya.

Tahap6: Implementasi (Implement)

Demi keberhasilan implementasi, dukungan metodologis terhadap aspek-aspek perubahan teknologi, perubahanteknologi, perubahan SDM (human change) dan perubahan-perubahan aspekyang lain sangat penting. Sebagai contoh, sebagian reengineering sering dipakai untuk memperkenalkan sistem-sistemkomputer baru yang canggih sehinggapelaksanaan.Reengineering harus menyertakan studi-studi kelayakan yang teliti untukperubahan teknologi. Untuk tujuan ini metodologi REVISION dikombinasikan dengan suatu metodologi penelitian studi kelayakan yang telah dikembangkan sebelumnya.

Taha7: Memonitor (Monitoring)

Setelahperubahan-perubahan diimplementasi, adalah penting bagi organisasi untukmenetapkan indikatorindikator kinerjabaru yang nantinya bisa mengukur keefektifan perencanaanreengineering,untuk memberikan umpan balik atas perubahan dan mengidentifikasi kebutuhankebutuhan reengineering di masa yang akan datang. Sinyal untuk siklus reengineering di masa yang akan datang terjadi jikaindikator-indikator kinerja organisasi menunjukkan bahwa organisasitersebut menemui suatu hambatan,sementara lingkungan eksternal terusberubah dengan kecepatan melebihi yang dapat diiringi oleh efisiensi maksimumdari tim-tim kerja. Metodologi REVISIONmenekankan bahwa organisasi harus secara cepat menginstitusionalisasikan suatuprogram peningkatan kontinyu setelah reengineeringmembawanya ke suatu ruang lingkup dan gaya (style) operasi yang baru, karenalingkungan eksternal tidak pernah berhenti berubah, bahkan saat organisasi sedang melaksanakan reengineering. Sepertiyang dikemukakan sebelumnya, bahwa REVISIONmerupakan suatu metodologi untuk mendukung keberhasilan reengineeringproses bisnis. Namun demikianterlaksananya tujuan dan sasaran REVISIONdengan tepat

tidak bisa terlepas dari faktor-faktor kunci penopangkeberhasilannya. Penulis meyakini bahwa kiat yang paling mendasar untukkeberhasilanREVISION adalah komitmenmanajemen. Meskipun semua perencanaan dan pelaksanaan metodologi ini telahdipersiapkan dengan baik, tanpa adanya komitmen yang kuat dari pelaku manajemenniscaya reenginering proses bisnis akan menemui kegagalan. Namun begitu,semua anggota organisasi dituntut pula memberikan perhatian khusus terhadap REVISION, dengan kata lain kiatkeberhasilan yang kedua adalah keterlibatan seluruh karyawan untukberperan serta dalam menangani masalah reengineering. Selanjutnya REVISIONjuga menuntut ketekunan, keuletan dan kesabaran yang berkaitan dengan proses reenginering, karena besarnya perubahan-perubahan dalamorganisasi yang menyangkut proses bisnis dan operasinya.

4. HambatanImplementasi BPR

Padabagian sebelumnya telah dikemukakan bahwa banyak perusahaan mengalami kegagalansetelah melakukan reengineering. Terdapat empat faktor utama penyebab kegagalanreengineering antara lain: 1. Menolak untuk berubah (resistance to change) (Roger,dkk., 1994; Cooper dan Markus, 1995). 2. Kurangnya komitmen manajemen (lackof management commitment) (Hall, dkk., 1993; Martinez, 1995; Cooper danMarkus, 1995). 3. Sistem informasi yang kurang memadai (Martinez,1995). 4. Kurangnyakeluasan (breatdh) dan kedalaman (depth) analisis terhadap faktor-faktorkritisreengineering (Martinez, 1995).

Menolak untuk berubah (resistance to change)

Resistenceto change merupakan masalah utama reengineering yang bisa terjadi karenareengineering tidak hanya terkait dengan teknologi tetapi juga berpengaruhperilaku, nilai-nilai, dan budaya organisasi terlebih jika dilakukan rightsizing (Reger, 1994). Di sampingitu resistanceto change juga dipicu oleh tidakadanya visi, dan lingkungan operasi, dan lingkungan bisnis radikal. Reengineering tidak cukup hanya semata-mata mengubah proses tetapi yang lebihpenting adalah mengubah manajemen,memberdayakan SDM, memupuk kreativitas serta human skill, sehingga mereka tidakmenolak untuk berubah dan memiliki komitmen terhadap organisasi. Untukmewujudkan semua ini perusahaan dituntut untuk memberikan pendekatan tentang konsep dan teknik reengineering, mengkomunikasikan visi dan misi, mengartikulasikansituasi kompetitif perusahaan serta menanamkan pemahaman yang mendalam tentang budaya, nilai-nilai organisasi, danmasalah-masalah organisasional. Tanpa pengetahuan dan pemahaman orang yangterlibat maka reengineering tidak akan memberikan manfaat jamgkapanjang. Grover,dkk. (1995) memiliki argumen bahwa terjadinya resistance to change perlu diidentifikasi penyebab utamanya, apakahdisebabkan oleh SDM, sistem, atau interaksinya berbagai pihak, sehingga bisadilakukan tindakan-tindakan yang tepat.Sedangkan Hall (1993) memberikan saran untuk mengatasi resistance to change dengan komunikasi secara terbuka denganmengintensifkan interaksi dan kerjasama antara pihak manajemen dan pihakkaryawan. Komunikasi yang baikakanmembangun komitmen, memberikan pemahaman tentang perlunya reengineering dan meningkatkan kinerjaperusahaan secara berkesinambungan.

Kurangnyakomitmen manajemen (lack of managementcommitment)

Komitmenmanajemen sangat diperlukan dalam melakukan reengineering.Reengineering akan menghadapi kemungkinan kegagalan yang sangat besar tanpa adanya komitmen penuh pucuk pimpinan dalam arti mereka harusmemahami bagaimana peran pimpinan dalam suatu organisasi yang sedang mengalamiperubahan radikal dan membangun konsensus semua jenjang hirarki (Hall, dkk.,1993). Agar manajemen memiliki komitmen terhadap keberhasilan proyek reengineeringmaka eksekutif senior pun,seharusnya terlibat secara aktif dalam jajaran manajemen serta memberikankesempatan untuk menempatkan orang-orang terbaiknya menjadi anggota tim proyek.Hal ini perlu dilakukan karena fenomena menunjukkan bahwa seringkali perusahaandalam melakukan reengineeringmenyerahkan sepenuhnya kepada konsultan. Hall,dkk. (1993), dengan berdasar pada penelitian proyek reengineering di seratus perusahaan, menyimpulkan bahwa kesuksesan reengineering menuntut komitmenjajaran manajemen untuk menginvestasikanwaktunya sekitar 20% sampai 50% pada tahap pelaksanaan. Hal ini bisa dilakukandengan mengadakan pertemuan rutin untuk memberikan informasi mengenaiperkembangan reengineering dan me-review secarakomperhensif mengenai hal-hal

yang berkaitan dengan kebutuhan pelanggan,kondisi ekonomi, kecenderungan pasar. Di samping itu juga mengevaluasi tingkatefisiensi (cara kerja yang lebih cepat dengan tingkat biaya yang lebihrendah),keefektifan (melakukan pekerjaandengan lebih baik dan kemampuan menghasilkankualitas kerja yang lebih tinggi) dantranformasi (perubahan cara mendasar pada cara kerja orang-orang maupun departemen maupun perubahan sifat bisnis itu sendiri) baik padamasing-masing jenjang fungsional, maupunpada organisasi secara keseluruhan.

Sistem informasiyang kurang memadai

Martinez(1995) mengemukakan bahwa sebagian besar perusahaan yang gagal dalam proyekreengineering disebabkan oleh adanyasistem informasi yang kurang memadai dan tidak menempatkan sistem informasisebagai mitra kerja yang benar (true partner). Tanpa kemitraan yangbersifat membangun (constructive partner),kepemimpinan teknologi, dan fokus pada pengelolaan sistem informasi yang baikmaka reengineering lebih banyakmenemui kegagalan. Berdasarstudi empiris yang dilakukan oleh Moad (1993) terhadap CEO menunjukkan bahwakegagalan reengineering disebabkanoleh kurangnya dukungan manajemen dansistem informasi yang memadai. Selanjutnya Martinez (1995) berpendapat bahwapada sebagian besar perusahaan, sistem informasi dituntut memiliki kemampuanuntuk mengidentifikasi disain dan mengimplementasikan teknologi yang dapatditerapkan (applicable) danmanajemen solusi yang berbasis teknologi. Pendapat inididukung pula oleh Davenport dan Stoddart (1994), bahwa sistem informasi berperan penting dalam mengeliminasi faktor-faktor penghambat keberhasilanreengineering. Kedudukansystem informasi dalam proyek reengineering bisa berperan sebagai mitra kerja (partnership) atau sebagai pendukung (support).

Kurangnyakeluasan (breatdh) dan kedalaman (depth) analisis terhadap faktor-faktorkritisreengineering

Kurangnyakeluasan dan kedangkalan dalam mengidentifikasi faktor-faktor kritisreengineering menyebabkan kegagalan dalam proyek reengineering. Yang dimaksudkeluasan di sini meliputi aktivitas-aktivitas yang perlu dilakukan manajeruntuk mengidentifikasi aktivitas-aktivitas yang akan dan sedang didisainkembali untuk menciptakan nilai dalam unit bisnis dan organisasi secarakeseluruhan. Sedangkan kedalaman menyangkut identifikasi seberapa besarunsur-unsur peran, tanggung jawab, pengukuran dan insentif, strukturorganisasi, teknologi informasi, nilai-nilai bersama (shared value), dan skill keberhasilanreengineering.

E. Strategi CIODalam Menyelaraskan Bussiness Process Reengineering (BPR)

Tidakdapat dipungkiri bahwa kehadiran profesi baru Chief Information Officer (CIO) pada sebuah organisasi memilikiperanan penting yang tidak hanya sebagai perencana strategis di bidangteknologi informasi dan komunikasi, tetapi memiliki peranan potensial dalammembangun dan menciptakan keselarasan antara kepentingan bisnis dengankepentingan individu yang terlibat di dalamnya. Dalam beberapa kasus perananCIO diciptakan untuk memfasilitasi revisi utama dalam proses bisnis. Reengineering merupakan alternativedalam melakukan revisi utama proses bisnis dan CIO merupakan kunci sukseskeberhasilan tersebut yang didukung oleh pemanfaatan tools yang tepat, yakni teknologi infomasi. CIO harus mampumenciptakan strategi bisnis baru dalam upaya melakukan perubahan manajemen,bisnis proses dan kepuasan pelanggan. Dalammengawal proses reengineering, CIOharus menciptakan visi bersama dengan paraTopManagemen Team (TMT) dalam organisasi. Visi tersebut adalah kunci untukmenyelaraskan strategi sistem informasi organisasi dengan strategi bisnis.Dalam artikel yang ditulis oleh David Preston dan Elena Karahana (2009) yangberjudul How To Develop A Shared Vision:The Key To IS Strategic Alignment, digambarkan bagaimana visi bersama inidibuat melalui 6 mekanismevisioninguntuk menyokong visi bersama CIO-TMT untuk penyelarasan strategi bisnis.

Enam Mekanisme Visioning

1. SharedBusiness Language

Istilah-istilahataupun pemakaian bahasa yang digunakan oleh CIO untuk berkomunikasi denganTMT sangat penting untuk membuat visibersama. CIO yang menyampaikan isu-isudalam istilah bisnis, kerangka diskusi,nilai-nilai IT dari sudut pandang bisnis, dan juga menghindari pembahasanhal-hal teknis lebih disukai untuk membangun pandangan strategis mengenai IT.

2. VisioningNetwork Hierarchy Hubunganstruktural organisasi dan sosial dapat memudahkan CIO dan TMT untuk membangunvisi bersama dan hubungan ini membangun kepercayaan diri seorang CIO dalamorganisasi.

3. CIOEducational Leadership Permasalahanyang biasa dihadapi oleh CIO adalah adanya kesalahpahaman TMT mengenaikapabilitas IT. Sebagian TMT tidak mengetahui bagaimana IT dapat mendukung proses bisnisdan sebagian lainnya menaruh harapan berlebihan terhadap kapabilitas IT. Dalampenelitian ditemukan bahwa CIOmemberikan arahan kepada TMT mengenai IT, mengaturekspektasi dari TMT terhadap IT, dan memberikan pandangan realistismengenai kapabilitas IT terhadap TMT. Ketiga cara tersebut terbukti berhasildalam membuat visi IT bersama.

4. CIO-TMTCommonalities Kesamaanketertarikan antara CIO dan TMT akan memfasilitasi pembuatan bahasa bersamaantara CIO dan TMT.

5. CIOStrategic Knowledge Pengetahuan strategis CIO mengenaibisnis dan IT dapat membantu pembuatan visi bersama CIO-TMT. CIO yang lebihbanya memiliki pengetahuan tentang hal tersebut akan memberikan kontribusi yangsangat berharga untuk mempertajam visi berssama tersebut.

6. CIORelational Capital Banyakeksekutif bisnis memiliki keterbatasan pengetahuan mengenai IT. Oleh karenaitu, eksekutif bisnis memerlukan CIO yang dapat dipercaya dalam memberikansaran-saran mengenai IT. Kepercayaan terhadap CIO sangat berpera dalam hubunganantara CIO dan TMT.

Selainmenciptakan visi bersama dengan TMT, penyelarasan strategi sistem informasidengan strategi bisnis dapat dilakukan dengan menggunakan Strategic Alignment Model (SAM). Handersen dan Venkatraman dalampapernya yang berjudul StrategicAlignment : Leveraging Information Technology for Transforming Organizationmengatakan bahwa dalam menciptakan strategi IT dibutuhkan penyesuaian antaradomain external dan internal organisasi. Domain eksternal adalah arena bisnisdimana perusahaan bersaing dan berkaitan dengan keputusan seperti penawaranproduk, keunikan strategi yang dimiliki yang membedakan perusahaan denganpesaingnya serta bentuk kemitraan bisnis dan aliansi. Sedangkan Domain internalmeliputi struktur administrative (fungsi atau divisi atau matrik organisasi),spesifikasi design dan redesignproses bisnis kritis(pengiriman produk, pengembangan produk, layanan pelanggan, kualitas total)serta akuisisi dan pengembangan keterampilan sumber daya manusia yangdiperlukan untuk mencapai kompetensi yang dibutuhkan organisasi.

StrategicAlignment Model (SAM) Strategic Alignment Model (SAM) atauyang biasa disebut sebagai Model Keselarasan Strategi mengidentifikasikan duajenis integrasi antara bisnis dan IT domain. Pertama, disebut sebagaiSrategic Integration yang menghubungkanantara strategi bisnis dengan strategi IT yang mencerminkan komponen eksternal.Lebih spesifik hal ini menawarkan kemampuan fungsi IT dalam mendukung strategibisnis. Jenis kedua, disebut sebagai operationalintegration, berkaitan dengan domain internal, yaitu hubungan antara infrastrukturorganisasi dan proses serta infrastruktur sistem informasi dan proses. Jenisini menyoroti secara kritis keterkaitan internal antara kebutuhan organisasidan harapan serta kapasitas dalam penyampaian fungsi sistem informasi. SAMjuga disebut sebagai pengenal hubungan multivariat, atau lebih tepatnyahubungan lintas domain. Terdapat 4 hubungan perspektif lintas domain yang termasuk kedalam modelkeselarasan strategi (SAM), dua diantaranya terkait strategi bisnis (Strategy Excecution dan Technology Transformation) dan dualainnya tekait dengan strategi TI (CompetitivePotential dan Service Level)(Handerson dan Venkatraman, 1999).

1. Strategyexecution Perspektif inimenitikberatkan pada pemikiran bahwa strategi bisnis telah diartikulasi dan di drivekeduanya oleh pilihan desain organisasi dan desaininfrastrukur sitem informasi. perspektif ini mungkin yang paling umum dipakaisecara luas dan mudah dipahami karena tampilan hierarki manajemen strategisyang bersifat klasik. Dengan demikian tidak mengherankan jika terdapat beberapaperbedaan metodologi analisis untk menciptakan perspektif operasional ini :faktor keberhasilan kritis, perencanaan bisnis sistem, dan pemodelanperusahaan. Hal ini perlu untuk diidentifikasi secara spesifik oleh manajemenutnuk menjadikan perspektif ini sukses.

2. Technology Transformation Keselarasanperspektif ini melibatkan penilaian implementasi dari strategi bisnis yangdipilih melaui strategi IT yang tepat dan mengartikulasi kebutuhaninfrastruktur sistem informasi dan proses. Berbeda dengan logika strategy execution, perspektif ini tidakdibatasi oleh desain organisasi yang ada tetapi berusaha untuk mengidentifikasikompetensi IT terbaik melaui posisi yang tepat di pasar, serta mengidentifikasiartisektur sitem informasi internal yang tepat.

3. Competitive Potential Keselarasanperspektif ini berkaitan dengan eksploitasi untuk memunculkan kemampuan TIterhadap dampak produk baru dan layanan (ruang lingkup bisnis). Pengaruhatribut kunci dari strategi (perbedaan kompetensi) dan mengembangkan bentukhubungan baru (tata kelola bisnis). Perspektif ini memungkinkan adaptasistrategi bisnis dari kemunculan kapasitas TI. Dimulai dengan tiga dimensistrategi IT, perspektif ini berusaha untuk mengidentifikasi sekumpulan strategiterbaik dari beberapa pilihan strategi bisnis dan kumpulan keputusan yangsesuai dan berkaitan dengan proses dan infrastruktur oganisasi.

4. ServiceLevel Keselarasanperpektif ini adalah bagaimana fokus membangun sistem informasi organisasi denganjasa layanan kelas dunia. Hal ini membutuhkan pemahaman tentang kesesuaianantara dimensi eksternal strategi informasi dengan desain internalinfrastruktur sistem informasi dan proses. Strategi ini cocok untuk menciptakankapasitas TI untuk memenuhi kebutuhan sistem informasi pelanggan. Dalamperspektif ini sering dipandang sebagai kebutuhan untuk memastikan efektivitaspemanfaatan IT. Sistem informasi organisasi harus mengerahkan sumber daya dan meresponsetiap tuntutan yang berkembang dengan cepat dari populasi pengguna akhir.

F. PENUTUP

Perubahanmenjadi kebutuhan setiap organisasi dewasa ini seiring dengan meningkatnyapersaingan. organisasi harus mampu menciptakan strategi yang unik yang memilikikeunggulan kompetitif dari organisasi pesaingnya. Pertimbangan investasipunmuncul tidak terbatas pada usaha mengembangkan organisasi menjadi lebih besar.Organisasi mulai melirik strategi investasi baru yang dianggap mampu memberikankeunikan dari proses bisnis mereka. Teknologi informasipun menjadi alternatifpilihan tersebut. Keberadaan teknologi informasi padasebuah organisasi ternayata tidak dapat menunjukkan keunggulannya apabila tidakdibarengi dengan adanya perubahan total pada proses bisnis organisasi. Setiapbagian dari organisas harus menyadari bahwasanya perubahan proses bisnis adalahlangkah yang harus dilakukan jika ingin memenangkan persaingan. MelaluiBusinessProcess Reengineering (BPR)dan pemanfaatan teknologi informasi sebagai tools pendukung, organisasiberkeyakinan telah memiliki keunggulan kompetitif yang diharapkan dapatmemenangkan setiap bentuk persaingan bisnis. Tetapi hal ini tidaklah semudahyang dipikirkan. Banyak organisai yang berhasil dalam reengineering dan memperoleh competitiveadvantage, tetapi banyak pula organisasi yang mengalami kegagalan dalamproses reengineering tersebut.Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa terdapat 4 faktor utama penyebabkegagalan dalam melakukanreengineeringyaitu menolak untuk berubah, kurangnya komitmen manajemen, sistem informasiyang kurang memadai dan kurangnya keleluasaan (breatdh) dan kedalaman (depth)analisis terhadap faktor-faktor kritis reengineering. Untuk mengeleminir keempat faktor utamapenyebab kegagalan tersebut dibutuhkanlah seorangfigure yang mampu menjembatani antara kepentingan bisnis dengankepentingan organisasi. CIO memiliki kompetensi yang tepat karena selainmemiliki kemampuan dalam pengetahuan teknologi, juga memiliki kemampuan dalamhal manajerial. Kombinasi antara kemampuan yang dimiliki akan menghantarkanorganisasi mencapai puncak keberhasilan reengineering.

CIO harus menyelaraskan antaraperubahan proses bisnis dengan budaya organisasi. Dengan menjalin komunikasiyang baik dengan Top Management Team(TMT) serta mengimplementasikanStrategicAlignment Model (SAM), CIO akan mampu menciptakan keunggulan kompetitifbaru yang diharapkan akan mampu membawa perubahan besar pada struktur dantujuan organisasi.

DAFTARPUSTAKA

Almazan, RS. & Gil-Garcia,JR. 2011. The Role of the CIO in a LocalGovernment IT Strategy: The Case of Merida, Yucatan, Mexico. Electronic Journal E-Government. Volume 9. Issue 1.p.1-14.

Ellitan, L. 1999. Reengineering Proses Bisnis : TinjauanKonseptual dan Metodologi. Jurnal Management dan Kewirausahaan, Vol 1,No.1, September, P. 12-21.

Hamer, M. &Champy, J., 1993. Reengineering TheCorporation, John Wiley & Sons.

Hendersen, JC. & Venkatraman,N. 1999. Strategic Aligment: LeveragingInformation Technology for Transforming Organization. IBM System Journal,Vol. 32 , No. 1.

Hunter, G. 2010. The Chief Information Officer: A Review ofThe Role, University of Lethbridge, Lethbridge, Alberta, Canada. Journal ofInformation, Information Technology, and Organization. Vol. 5.

Lawry, R. & Waddell, D. 2008.CIOs in the Public Sector: Their Roles,Responsibilities and Future. International Review of Business ResearchPapers, March. Vol. 4., No.2, p. 163-175.

Prabawa, EI, 2008. Urgensi Penciptaan Chief Information Officer(CIO) Pemerintah Dalam Mendukung Implementasi EGovernment Indonesia. CIOMTI UGM : Seminar NasionalBest PracticesUntu Keberhasilan E-Government di Indonesia, April.

Preston, D., Karahana, E. 2009. How To Develop A Shared Vision: The Key ToIS Strategic Alignment. Journal MIS Quartely Executive.

Simon Rogerson. 1996. Business Process Reengineering. ETHicolin the IMIS Journal, Volume 6 No.2 April.

Wacker, Jeff. 2008. TheFuture, Multidimensional CIO, USA. : EDS. Electronic Data SystemCoorporation.

Ward, J. & Peppard, J. 2002. Strategic Planning for Information System,UK: Cranfield School of Management, Cranfield, Bedfordshire, Third Edition.

Zigiaris, S. 2000. Business Process Reengineering (BPR).INNOREGIO : dissemination of innovationand knowledge management techniques.

Anda mungkin juga menyukai