HADIAH SASTERA “RANCAGÉ” 2009
Penyerahan Hadiah Sastera “Rancagé” 2009 adalah yang ke21 kalinya diberikan kepada
para sasterawan yang menulis dalam bahasabahasa ibu. Pertama kali pada tahun 1989,
diberikan hanya kepada sasterawan yang menulis dalam bahasa Sunda. Tetapi sejak 1994
para sasterawan yang menulis dalam bahasa Jawa juga mendapat hadiah sastera
“Rancagé”. Dan sejak 1997, para sasterawan yang menulis dalam bahasa Bali juga
mendapat hadiah “Rancagé”.
Pada tahun pertama, hadiah “Rancagé” hanya diberikan kepada sasterawan yang
menerbitkan buku unggulan. Tetapi sejak tahun kedua, hadiah untuk karya itu didampingi
oléh hadiah untuk jasa, yang diberikan kepada orang atau lembaga yang dianggap besar
jasanya dalam memelihara serta mengembangkan bahasa ibunya. Dengan demikian setiap
tahun Yayasan Kebudayaan “Rancagé” mengeluarkan 6 hadiah untuk tiga bahasa ibu,
yaitu Bali, Jawa dan Sunda. Di samping itu kadangkadang memberikan Hadiah
“Samsudi” buat pengarang yang menerbitkan buku bacaan anakanak unggulan dalam
bahasa Sunda.
Alhamdulillah dengan ridho Allah dan uluran tangan para dermawan yang
menyadari pentingnya bahasa ibu dan sasteranya dalam kehidupan bangsa, tahun ini
juga, Hadiah Sastera “Rancagé” akan disampaikan kepada para sasterawan yang menulis
dalam bahasa ibu.
Tahun yang lalu, Hadiah Sastera “Rancagé” juga diberikan kepada sasterawan
yang menerbitkan buku dalam bahasa Lampung. Ternyata seperti yang kami kuatirkan,
usaha penerbitan dalam bahasa Lampung itu tidak dapat dilaksanakan secara kontinyu.
Dalam tahun 2008, tak ada buku yang terbit dalam bahasa Lampung, sehingga untuk
Hadiah Sastera “Rancagé” 2009, hadiah untuk bahasa Lampung tidak dapat diberikan.
Kekuatiran seperti itu sebenarnya wajar, karena penerbitan buku bahasa ibu
dalam bahasa Sunda, Jawa dan Bali juga – walaupun ada saja yang terbit setiap tahun
bukanlah usaha yang menjanjikan haridepan secara bisnis. Karena itu ketika beberapa
waktu yang lalu kami diberitahu bahwa ada buku yang terbit dalam bahasa Madura, kami
tidak segera menyambutnya dengan menyediakan Hadiah Sastera “Rancagé” buat
pengarang dalam bahasa Madura. Kami kuatir terjadi lagi apa yang sudah kejadian
dengan bahasa Lampung. Di samping itu kami juga harus sadar bahwa kian
bertambahnya Hadiah “Rancagé” yang diberikan, maka beban yang kami tanggung juga
kian berat. Sampai sekarang seperti pernah kami katakan, kami masih “koréhkoréh cok”
(mengaisngais dulu mencari rémah sebelum mencotok). Alhamdulillah sampai sekarang
setiap tahun ada saja dermawan yang sadar akan pentingnya memelihara bahasa ibu yang
sebenarnya merupakan kekayaan budaya bangsa kita, sehingga Hadiah Sastera “Rancagé”
masih dapat diberikan.
Setelah selama 20 tahun pemberian Hadiah “Rancagé” selalu mendapat tempat
dalam pérs, namun tidak pernah mendapat perhatian pemerintah baik pusat maupun
daérah, pada akhir tahun 2008, Yayasan Kebudayaan “Rancagé” bersamasama dengan
beberapa seniman dan organisasi kesenian lain, mendapat “panyecep” dari Gubernur Jawa
Barat (Rp. 10 juta dipotong pajak 15%).
Hadiah Sastera “Rancagé” 2009 untuk sastera Sunda
Menjelang akhir tahun 2007, tibatiba saja kelihatan kesibukan yang tidak biasa dalam
penerbitan buku basa Sunda. Penerbit dan bukan penerbit yang selamanya tidak menaruh
perhatian terhadap penerbitan buku dalam bahasa Sunda, tibatiba saja mencari naskah
Sunda untuk diterbitkannya. Para pengarang dikejar agar segera menyiapkan naskah.
Dalam waktu singkat terbit bukubuku bacaan, terutama untuk anakanak Tetapi
penerbitan itu luar biasa, karena kebanyakan tidak dicétak dalam jumlah yang wajar untuk
disebarkan ke pasar melalui tokotoko buku. Kebanyakan yang meréka terbitkan hanyalah
sejumlah éksemplar sekedar untuk dijadikan contoh buat proyék pembelian buku bahasa
ibu yang konon jumlahnya puluhan milyar. Kalau bukunya terpilih untuk dipesan oléh
proyék barulah akan dicétak sebanyak yang diperlukan. Jadi tujuannya bukanlah
menyediakan buku bacaan dalam bahasa Sunda untuk masyarakat, melainkan untuk
mendapat bagian dari dana proyék yang disediakan oléh pemerintah. Ternyata proyék itu
konon dibatalkan, maka penerbitan buku dalam bahasa ibu Sunda pun kembali sepi.
Kalau dalam tahun 2007 terbit 32 judul buku bahasa Sunda (di luar cétak ulang),
sehingga ada 13 judul yang dipertimbangkan untuk memperoléh Hadiah Sastera
“Rancagé” 2008, maka dalam tahun 2008 hanya terbit 10 judul buku baru. Tapi tidak
semua masuk jenis buku yang dipertimbangkan untuk dinilai untuk mendapat Hadiah
“Rancagé” seperti The People’s Religion (penerbitan dwibahasa yaitu dalam bahasa
Sunda dan Inggris yang merupakan transkripsi dari da’wahda’wah Ajengan A. F. Ghazali
almarhum, disusun ku Julian Mille). Begitu juga Luang keur nu Ngarang yang disusun
oléh Hawé Setiawan dan Dadan Sutisna bagi meréka yang berminat untuk belajar
mengarang. Di samping itu ada cétak ulang, ialah Nu kaul Lagu Kaléon karya RAF,
Bayan Budiman karya M.K. Mangoendikaria, Janté Arkidam karya Ajip Rosidi dan
Album Carpon Purnama di Karanghawu karya Aan Merdéka Permana. Ada pula empat
buku karya Ajip Rosidi, tiga di antaranya berupa cerita carangan wayang Cirebon
(Dorna Ngabasmi Komunisme, Si Cépot Hayangeun Kawin dan Bagal Buntung
hayangeun Walagri) dan sebuah lagi berupa kumpulan lelucon (Seuri Leutik). Seperti
telah berkalikali dijelaskan buku cétak ulang dan karangan Ajip Rosidi tidak termasuk
yang dinilai untuk memperoléh Hadiah “Rancagé”.
Maka buku basa Sunda yang tahun ini dinilai untuk memperoléh Hadiah
“Rancagé” 2009 hanya empat judul ialah Layung kumpulan cerita péndék Aam Amilia,
Rusiah Kaopatwelas kumpulan cerita péndek Darpan, Élégi Patani kumpulan sajak Arie
Suhanda dan Serat Panineungan kumpulan sajak Étti RS.
Dalam Layung dimuat 10 cerita péndék Aam yang ditulis dalam tahun 2004—
2008. Secara umum kesepuluh cerita itu tidak mempunyai plastisitas bahasa dan
spontanitas seperti dalam ceritacerita yang ditulis Aam pada awal kariérnya sebagai
pengarang. Akhir cerita yang dimaksudkan menjadi “surprise” tidak lagi mengejutkan
karena sudah dapat ditebak dari awal.
Rusiah Kaopatwelas memuat lima belas cerita péndék Darpan yang dibagi
menjadi dua kelompok. Yang pertama “Si Iblis” memuat 8 cerita péndek, sedangkan
kelompok kedua “Rusiah Kaopatwelas” memuat 7 cerita péndék. Semua cerita yang
dimuat dalam “Si Iblis” berlatarbelakang kehidupan orangorang di pedésaan bagian
Utara Jawa barat, sekitar Karawang, seperti ceritacerita yang dimuat dalam kumpulan
cerita péndéknya yang pertama Nu Harayang Dihargaan yang mendapat Hadiah Sastera
“Rancagé” 1999. Sedang ceritacerita yang dimuat dalam kelompok “Rusiah nu
Kaopatwelas” mengisahkan orangorang yang hidup di kota, terutama di Bandung.
Meski tidak sekuat umumnya cerita yang dimuat dalam Nu Harayang Dihargaan,
ceritacerita Darpan yang dimuat dalam “Si Iblis” terasa lebih hidup dan memuat
gambaran yang terjadi di tempattempat gersang seperti di pinggir laut Jawa. Sedang
cerita yang dmuat dalam bagian “Nu Kaopatwelas” banyak yang merupakan hasil
imajinasi yang sering terasa tidak berakar pada bumi nyata seperti “Budak nu teu balik”
dan “Kota”. Yang terasa mengganggu ialah banyaknya penggunaan kata “mun” dan
“lamun” (= kalau) yang seharusnya “yén” (= bahwa). Hal itu niscaya pengaruh dari
bahasa Indonésia yang belakangan banyak mempergunakan kata “kalau”, “apabila” atau
“bila” yang seharusnya “bahwa”. Hal itu terjadi karena banyak orang Jawa yang dalam
berbahasa Indonésia tidak tahu bahwa “yén” dalam bahasa Jawa, mempunyai arti dua
dalam bahasa Indonésia, ialah “kalau” dan bahwa”. Ketidaktahuan itu kemudian dianggap
sebagai gaya baru dalam berbahasa sehingga banyak diikuti juga oléh bukan orang Jawa
dan para penulis dalam bahasa Sunda ikutikutan latah.
Élégi Patani adalah kumpulan sajak pertama karya Arie Suhanda yang
sebelumnya sering mempergunakan nama Érry Wisnu Asuhan kalau mengumumkan
sajak atau dangdingnya dalam majalah Manglé, Langensari dll. Namun yang dimuat
dalam Élégi Patani ini semuanya sajak baru yang ditulis tahun 2003 – 2008. Témanya
jelas banyak mengeritik keadaan negara dan tingkah laku manusianya, dikemukakan
dengan bahasa yang terlalu prosais. Terasa ketika menulis sajaknya, penyair tidak terlalu
memanfaatkan bahasa puisi seperti métafora, sehingga tidak ada yang mampu mengajuk
hati sampai ke dalam.
Serat Panineungan adalah kumpulan sajak Étti RS yang kelima setelah Jamparing
(1984), Gondéwa (1987), Maung Bayangan (1994) dan Lagu Hujan Silantang (2003).
Kekuatan Étti adalah dalam pemakaian métafora yang disertai dengan purwakanti yang
seakan dipungutnya dengan mudah dan wajar. Meskipun sajaksajak yang dimuat dalam
Serat Panineungan ini tidak memperlihatkan bobot yang lebih mendalam daripada sajak
sajaknya yang terdahulu terutama yang dimuat dalam Maung Bayangan, malah banyak
yang merupakan cetusan asmara remaja, namun di antara sajaksajak catatan perjalanan
yang dibuatnya di berbagai tempat yang dia kunjungi, masih cukup banyak sajak dan
dangdingnya yang berhasil menjadi puisi yang sederhana namun bulat, seperti “Titis
Tulis”, “Hiji Sagara”, “Duriat Natrat ka Tanah Karamat”, “Leuwi”, “Surat keur Lemah
Cai”, “Cipularang II”, “Angin”, “Nyukcruk Parung ...” dan “”Diajar Ludeung”.
Karena itu yang terpilih sebagai karya yang mendapat Hadah Sastera “Rancagé”
2009 untuk karya dalam bahasa Sunda adalah
Serat Panineungan
Kumpulan sajak Étti RS.
(terbitan Kiblat Buku Utama, Bandung)
Dengan demikian Étti RS yang untuk kedua kalinya menerima Hadiah Sastera
“Rancagé” (yang pertama tahun 1995 untuk kumpulan sajaknya Maung Bayangan),
berhak menerima Hadiah Sastera “Rancagé” 2009 berupa piagam dan uang (Rp 5 juta).
Sedang yang terpilih untuk mendapat Hadiah Sastera “Rancagé” 2009 untuk jasa
karena besar jasanya dalam memelihara dan mengembangkan bahasa Sunda terutama
melalui lagulagu karawitan ciptaannya, adalah
Nano S.
(lahir di Garut, 4 April 1944)
Nano S. tamatan Konsérvatori Karawitan Sunda dan Akadémi Senitari (ASTI),
mengajar di SMKI Bandung, aktif dalam bidang karawitan Sunda tradisional, baik
sebagai pencipta lagu, pelaksana pertunjukan, maupun pimpinan grup, dll. Dia telah
mencipta ratusan lagu karawitan, banyak di antaranya kemudian dijadikan lagu pop
Sunda yang sangat populér karena digemari bukan hanya oléh orang Sunda seperti
“Kalangkang”. Tapi dia pun menciptakan karyakarya daria seperti “Sang Kuriang” dan
“Warna”. Satusatunya seniman Sunda (Indonésia?) yang masuk dalam “World Music
Library” yang diproduksi oléh Seven Seas dengan pruduser Hoshikawa Kyoji, album CD
nya berjudul “Nano S., the Great Master of Sunda Music” (1994). Lagulagu ciptaannya
juga diproduksi di Amérika Serikat bersama dengan pencipta lagu dari negerinegeri lain
seperti India, Nubia, Mongol, Jepang dll. (1995). Kepopuléran lagulagunya yang liriknya
ditulis dalam bahasa Sunda, ikut memelihara dan menyebarkan bahasa Sunda di kalangan
generasi muda. Nano sendiri banyak menulis sajak, cerita péndék dan artikel dalam
bahasa Sunda. Ceritacerita péndéknya diterbitkan dengan judul Nu Baralik Manggung
(2003). Dalam bidang keahliannya Nano menulis Haleuang Tandang (1976) dan
Pengetahuan Karawitan Sunda (1983). Nano sering diundang ke luar negeri baik untuk
memimpin pertunjukan kesenian Sunda maupun sebagai artist in residence. Nano
mendapat Anugerah Akadémi Jakarta (2004).
Kepada Nano S. akan dihaturkan Hadiah Sastera “Rancagé” 2009 untuk bidang
jasa dalam sastera Sunda berupa piagam dan uang (Rp. 5 juta).
Hadiah Sastera “Rancagé” 2009 untuk sastera Jawa
Dibandingkan dengan tahun 2007, dalam tahun 2008 jauh lebih sedikit karya sastera Jawa
yang terbit, yaitu hanya 4 judul, yaitu Lintang Biru: Antologi Geguritan Béngkél Sastra
Jawa 2008; Dongané Maling, karya Yohanes Siyamta, kumpulan karya berupa guritan,
cerkak, obrolan dan pengalaman penulisnya; Singkar, roman karya Siti Aminah dan Trah
roman karya Atas S. Danusubroto.
Lintang Biru memuat guritan karya 24 orang siswa SMP Kabupatén Bantul
sebagai hasil Béngkél Sastra Jawa yang diselenggarakan oléh Balai Bahasa Yogyakarta.
Dongané Maling campuran karya fiksi dengan obrolan dan catatan pengalaman, sukar
dianggap sebagai karya sastera yang utuh. Karena itu Lintang Biru dan Dongané Maling
disisihkan dari penilaian untuk mendapat Hadiah Sastera ”Rancagé” 2009.
Maka yang dinilai untuk mendapat Hadiah Sastera “Rancagé” 2009 adalah dua
buah roman Singkar dan Trah. Singkar (nama désa tapi tidak diberitahukan secara
langsung) ditulis dengan bahasa anak muda, seakan ditujukan hanya untuk bacaan anak
muda. Roman yang panjangnya hanya 134 halaman itu dibagi menjadi 24 bab dan hampir
dalam setiap bab muncul tokohtokoh antagonis, kebanyakan dalam adegan flash back,
sehingga terjadi digrési dan menjadi tidak logis. Sebenarnya cukup menarik cerita
tentang gadis yang dipaksa ibunya untuk menikah dengan jejaka yang tidak dicintainya,
yang ternyata sama dengan pengalaman ibunya sendiri ketika gadis yang juga dipaksa
oléh ibunya untuk menikah dengan lelaki yang tidak dicintainya. Tetapi penyelesaian
akhir cerita dengan peristiwa gempa di Bantul (Singkar ternyata berada di wilayah
Bantul), terasa terlalu mudah dan terlalu mendadak.
Trah mengisahkan seorang gadis cantik bernama Tilarsih yang tertipu oléh Atun,
gérmo yang membawanya ke Jakarta dengan janji akan memperkenalkannya dengan bos
rekaman sehingga Tilarsih akan menjadi penyanyi terkenal. Ternyata Atun membawanya
ke bordil, sehingga Tilarsih terjerumus menjadi perempuan penghibur. Tilarsih akhirnya
ditemukan oléh kekasihnya, Bagus, yang berasal dari désanya juga yang sengaja
mencarinya di Jakarta. Setelah bertemu Tilarsih berjanji akan kembali ke jalan yang
benar dan Bagus akan menikahinya. Namun ketika Tilarsih kembali ke désanya, sudah
berédar cerita tentang pekerjaannya yang hina di Jakarta, sehingga menimbulkan berbagai
kesulitan dan godaan baginya. Namun dengan teguh hati Tilarsih menunggu kekasihnya
kembali dan berhasil mengembalikan wibawanya sebagai wanita baikbaik. Bagus
ternyata keturunan keluarga yang pernah menjatuhkan kehidupan orang tua Tilarsih.
Tilarsih ternyata keturunan priyayi (éyangnya demang), yang jatuh melarat karena ulah
jahat kakék Bagus dengan menjerumuskannya menjadi penjudi sehingga kekayaannya
amblas dijual kepada kakék Bagus.
Trah mempunyai kekuatan pada aspék kultur karena tidak saja menggambarkan
kelas masyarakat bangsawan dengan rapi, tetapi juga menggambarkan watak nrima,
hormat kepada orang tua, sabar dan andhap asor yang ditekankan sebagai sikap luhur.
Tatakrama berkomunikasi antar manusia terpelihara dengan baik.
Dengan demikian yang terpilih sebagai karya sastera Jawa terbitan tahun 2008
yang menerima Hadiah Sastera “Rancagé” 2009 untuk karya, adalah
Trah
karya Atas S. Danusubroto
(terbitan Penerbit Narasi, Yogyakarta)
Maka Atas S. Danusubroto sebagai pengarangnya berhak untuk menerima Hadiah
Sastera “Rancagé” 2009, berupa piagam dan uang (Rp. 5 juta).
Sedang yang terpilih untuk mendapat Hadiah Sastera “Rancagé” 2009 untuk jasa
karena besar jasanya dalam memelihara dan mengembangkan bahasa Jawa adalah
Sunarko Budiman
(lahir di Tulungagung, 21 Januari 1960)
Sebagai tamatan SPG dia menjadi guru SD dan sebagai guru SDN dia sempat
memperoléh penghargaan Guru Teladan (1989) dan menjadi Guru Berpréstasi (2006)
Kabupatén Tulungagung. Sementara itu dia pun melanjutkan pelajaran sehingga pada
akhirnya tamat S2 Magister Kebijakan Pendidikan di Universitas Muhammadiyah,
Malang. Dia menaruh perhatian besar terhadap bahasa dan sastera Jawa, bukan saja
sebagai penulis melainkan sebagai pengelola Sanggar Sastra Jawa Triwida yang didirikan
oléh Tamsir AS (almarhum). Sanggar ini berjasa mendorong kelahiran para penulis sastra
Jawa di daérah Tulungagung, Trenggalék dan Blitar. Sejak 1998 dia dipercaya sebagai
Ketua Sanggar Sastra Triwida. Dia pernah menjadi Pemimpin Redaksi majalah Prasasti
(1993—1997), majalah Supranatarulal Pamor Jagad Gaib (2002—2005) dan majalah
Gayatri (sejak 2007). Dia juga menjadi wartawan majalah Panyebar Semangat, Jaya
Baya dan Damar Jati. Karyanya berupa artikel, réportasi, cerkak dan guritan. Dia banyak
menggunakan nama samaran, al. Narko Rasodrun, Datiek Yuminarko, Ki Narkosabda,
Narkoba, dll. Dia juga menyusun buku pelajaran bahasa Jawa dan menjabat sebagai Ketua
Litbang Kelompok Penulis Buku Pendidikan Dasar Jawa Timur (sejak 1991). Dia juga
aktif dalam berbagai séminar dan kongrés bahasa dan sastera Jawa.
Kepada Sunarko Budiman akan dihaturkan Hadiah Sastera “Rancagé” 2009 untuk
bidang jasa dalam sastera Jawa berupa piagam dan uang (Rp. 5 juta).
Hadiah Sastera “Rancagé” 2009 untuk sastera Bali
Perkembangan sastera Bali tahun 2008 sangat menggembirakan, baik secara kualitas
maupun secara kuantitas. Buku yang terbit tahun 2008, ada sembilan judul (tahun 2007
hanya lima judul), yaitu 3 judul kumpulan puisi, 2 judul roman, 2 judul drama dan 2 judul
kumpulan cerita péndék dengan téma beragam dan penggunaan bahasa yang kian kréatif.
Ada tiga pengarang wanita yang menerbitkan buku dalam bahasa Bali modéren,
hal yang tak pernah ada sebelumnya. Sejak kemunculan sastera Bali modéren tahun 1910,
belum pernah ada pengarang wanita yang menerbitkan buku. Ketiga pengarang itu adalah
Anak Agung Sagung Mas Ruscitadéwi (l. 1965) dengan kumpulan cerita péndék Luh
Jalir (Perempuan Nakal), I Gusti Ayu Putu Mahindu Déwi Purbarini (l. 1977) dengan
kumpulan puisi Taji (Taji) dan Ni Kadék Widiasih (l. 1984) dengan kumpulan puisi Gurit
Pangawit (Syair Pemula). Ketiganya berpendidikan universitas dan menuls juga dalam
bahasa Indonésia.
Karya meréka memberikan pérspéktif baru dalam perkembangan téma sastera
Bali modéren. Masalah kesetaraan génder dan pengalaman hidup manusia dari pérspéktif
perempuan mulai muncul. Sayangnya kemampuan ketiganya dalam menggarap téma dan
mengembangkan éstétika belum mantap.
Bukubuku lain adalah karya I Nyoman Manda (dua drama Nembang Girang di
Bukit Gersang dan Saput Poléng, dua buah novelét yaitu Ngabih Kasih ring Pesisi Lebih
dan Sawangsawang Gamang), kumpulan cerita péndék Merta Matemahan Wisia karya
Madé Suarsa, dan kumpulan puisi Somah karya Nyoman Tusthi Éddy.
Karyakarya Nyoman Manda yang pernah mendapat Hadiah “Rancage” 3 kali
(satu untuk jasa), selalu memperlihatkan gaya bertutur yang lancar dan mudah
dimengerti. Kisahkisahnya selalu dikemas dengan percintaan yang digunakannya untuk
menyampaikan pesanpesan moral. Drama Saput Poléng (Sarung Poléng) mengisahkan
perang penaklukan kerajaan Bali oléh pasukan Gajah Mada dari Majapahit yang diisi
dengan kisah cinta Gajah Mada dengan seorang puteri Bali. Novelét Ngabih Kasih ring
Pesisi Lebih (Kasih Bersemi di Pantai Lebih) berkisah tentang percintaan remaja siswa
SMA diselingi dengan pesanpesan adat, tradisi dan agama agar menjadi bekal untuk
menghadapi masa depan. Karyakarya Nyoman Manda sangat tepat untuk menanamkan
kegemaran anakanak muda Bali terhadap sastera dalam bahasa ibunya, karena bahasanya
mudah dicerna, alur ceritanya tidak begitu kompléks, sehingga anakanak remaja tidak
menghadapi kesulitan membaca dan menikmatinya.
Dalam kumpulan cerita péndék Merta Matemahan Wisia (Kabaikan
Mengakibatkan Kematian), Madé Suarsa menggarap berbagai téma seperti masalah
ketimpangan sosial (kasta), kemiskinan, matérialisme, dan hukum karma. Kemampuan
membangun gaya bahasa yang penuh irama, merupakan salah satu ciri utama cerita karya
Madé Suarsa. Hanya saja konséntrasi yang begitu besar yang diberikan terhadap gaya
bahasa, perulangan dan permainan kata yang agak berlebihan, membuat penggarapan
struktur cerita terabaikan.
Kumpulan puisi Somah (Suami/Isteri) karya Nyoman Tusthi Éddy tampil memikat
karena keterpaduan yang kuat antara téma, pengucapan dan gaya bahasa. Téma yang
diangkat sangat beragam, mulai dari hubungan suami isteri, toko serba ada, korupsi, uang,
jam, kulinér, taksi dan pesisir Bali dalam kontéks perkembangan pariwisata. Hampir
separo berupa sajak péndék, hanya terdiri dari satu bait, mengambil bentuk syair dan
pantun. Dengan puisi péndék itu Nyoman Tusthi Éddy mampu membentangkan gagasan
yang cukup luas, memikat dan menyentuh serta utuh.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka yang akan diberi Hadiah Sastera
“Rancagé” 2009 untuk karya dalam bahasa Bali adalah
Somah
Kumpulan sajak I Nyoman Tusthi Éddy
(terbitan Sanggar Buratwangi)
Maka I Nyoman Tusthi Éddy sebagai penyairnya berhak untuk menerima Hadiah
Sastera “Rancagé” 2009, berupa piagam dan uang (Rp. 5 juta).
Sedangkan yang terpilih untuk diberi Hadiah Sastera “Rancagé” 2009 untuk jasa
dalam bahasa dan sastera Bali adalah
I Nengah Tinggen
(lahir di Buléléng tahun 1931)
Pada tahun 1961, Nengah Tingen terpilih sebagai sékertaris Panitia Penyelenggara
Bukubuku Pelajaran bahasa Bali bersama 11 orang utusan daérah dari seluruh Bali.
Tahun 1971, ia menyusun buku pedoman pemakaian aksara Bali. Sejak itu dia menulis
berbagai buku tentang Bali, sebagian besar dalam bahasa Bali. Dia telah menerbitkan
lebih dari 40 judul buku termasuk tentang éjaan bahasa Bali, buku kidung dan gaguritan
dan bukubuku cerita. Karyanya banyak digunakan sebagai penunjang pelajaran bahasa
dan sastera Bali di sekolahsekolah. Di antaranya berjudul Satuasatua Bali (Ceritacerita
Bali) yang memuat dongéngdongéng yang dikenal dalam masyarakat Bali terbit dalam
15 jilid, Sor Singgih Bahasa Bali (Gaya bahasa halus dan biasa dalam bahasa Bali),
Dasardasar Pelajaran Kakawin dan Diktat Bahasa Bali
Dia bekerja sebagai guru bahasa dan sastera Bali di SPGN Singaraja dan menjadi
dosén luar biasa di STKIP Agama Hindu Singaraja. Dia juga mengisi siaran bahasa Bali
di RRI Stasiun Singaraja, aktif dalam berbagai séminar serta selalu mendorong
masyarakat agar mencintai bahasa dan sastera Bali. Dia pernah menerima anugerah seni
budaya Dharma Kusuma dari pemerintah Provinsi Bali.
Maka kepada I Nengah Tinggen akan dihaturkan Hadiah Sastera “Rancagé” 2009
untuk jasa dalam bahasa dan sastera Bali berupa piagam dan uang (Rp. 5 juta).
Hadiah “Samsudi” 2009 untuk buku bacaan anakanak dalam bahasa Sunda
Tahun yang lalu, Hadiah “Samsudi” diberikan kepada pengarang buku Catetan Poéan
Réré, yaitu Ai Koraliati. Ternyata pemberian hadiah itu menimbulkan héboh karena buku
Catetan Poéan Réré belum terbit sebagai buku, tidak terdapat di tokotoko buku. Buku
yang disampaikan kepada Yayasan “Rancagé” oléh pengarangnya adalah contoh yang
dibuat penerbit dalam jumlah terbatas untuk Panitia Proyék Pembelian buku. Pada tahun
2007 mémang adan rencana pemerintah untuk membeli bukubuku bahasa Sunda dalam
jumlah yang besar. Dana yang disediakan konon sampai Rp. 80 milyar. Karena itu para
penerbit dan bukan penerbit berlombalomba hendak menerbitkan buku bacaan bahasa
Sunda terutama buku bacaan anakanak. Tetapi ternyata pembelian besarbesaran itu tidak
jadi dilaksanakan, dan dengan demikian banyak contoh buku yang sudah dibuat tidak jadi
diterbitkan. Penerbitpenerbit yang membuat contoh buku demikian tidak bermaksud
menyediakan bacaan dalam bahasa ibu, melainkan hanya mau turut mengambil bagian
dalam “pembagian kué” melalui permainan patpatgulipat dengan panitianya.
Menjelang akhir tahun 2008, Yayasan Rancagé menerima sejumlah judul buku
dari seorang pengarang. Bukubuku itu menurut titimangsanya adalah terbitan tahun
2007, tetapi setelah dipantau ternyata tidak pernah berédar di tokotoko buku. Dengan
demikian jelas bahwa bukubuku itu adalah sekedar contoh untuk “proyék” seperti buku
Catetan Poéan Réré. Dengan demikian bukubuku itu disisihkan dari penilaian untuk
memperoléh Hadiah “Samsudi” 2009. Perlu kami jelaskan bahwa Yayasan “Rancagé”
hanya menilai bukubuku yang dijual di tokotoko buku baik untuk Hadiah “Rancagé”
maupun untuk Hadiah “Samsudi”.
Dalam tahun 2008 ada sejumlah buku bacaan anakanak bahasa Sunda yang
terbit, tetapi kebanyakan merupakan cétak ulang. Buku baru yang kami anggap cukup
baik untuk diberi Hadiah “Samsudi” adalah
Sasakala Bojongemas
Karya Aan Merdéka Permana
(wedalan Ujung Galuh, Bandung)
Kepada Aan Permana Merdéka akan dihaturkan Hadiah “Samsudi” 2009 berupa
piagam dan uang (Rp. 2.500.000).
Upacara penyerahan Hadiah Sastera “Rancagé’ dan Hadiah “Samsudi” 2009 akan
dilaksanakan dalam suatu upacara khusus yang akan diselenggarakan di Jakarta. Tempat
dan waktunya akan ditetapkan kemudian.
Pabélan, 31 Januari, 2009
Yayasan Kebudayaan “Rancagé”
Ajip Rosidi
Ketua Déwan Pembina