Anda di halaman 1dari 18

TINJAUAN PUSTAKA I.HIPERTENSI PULMONAL PRIMER A.

PENDAHULUAN Hipertensi pulmonal primer (HPP) atau idiopatik adalah suatu penyakit yang jarang didapat namun progresif oleh karena peningkatan resistensi vaskular pulmonal, yang menyebabkan menurunnya fungsi ventrikel kanan oleh karena peningkatan afterload ventrikel kanan. HPP sering didapatkan pada usia muda dan usia pertengahan.(1) Kriteria diagnosis untuk hipertensi pulmonal merujuk pada National Institute of Health (NIH), bila tekanan sistolik arteri pulmonalis lebih besar dari 35 mmHg atau mean tekanan arteri pulmonalis lebih besar dari 25 mmHg pada saat istirahat atau lebih 30 mmHg pada aktivitas, dan tidak didapatkan adanya kelainan valvular pada jantung kiri, penyakit miokardium, penyakit jantung kongenital, dan tidak adanya kelainan paru, penyakit jaringan ikat atau penyakit tromboemboli kronik, sehingga HPP juga disebut sebagai unexplained pulmonary hypertension. (1) Hipertensi pulmonal adalah sebuah elevasi abnormal dari tekanan arteri pulmonalis, mungkin dapat disebabkan oleh gagal jantung kiri, penyakit parenkim atau pembuluh paru, thromboembolisme, atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut. Hipertensi pulmonal primer adalah sebuah keadaan yang tidak biasa dengan perkiraan insidens hanya 2 kasus/1 juta.(3)

B.INSIDENS HPP sering didapatkan pada usia muda dan usia pertengahan, lebih sering didapatkan pada perempuan dengan perbandingan 2:1, angka kejadian per tahun sekitar 2-3 kasus per 1 juta penduduk, dengan mean survival dari awitan penyakit sampai timbulnya gejala sekitar 23 tahun. (1) Pada hipertensi pulmonal primer perempuan lebih dominan dibanding laki-laki, dimana kebanyakan pasien mulai muncul gejalanya pada usia dekade 40 dan 60 tahun, meskipun PPH memiliki rentang usia dari lahir sampai 60 tahun.(3)

C.PATOLOGI Arteri pulmonal normal merupakan suatu struktur complaint dengan sedikit serat otot, yang memungkinkan fungsi pulmonary vascular bed sebagai sirkuit yang low pressure dan high flow. Gambaran patologi vaskular pada HPP tidak patognomonis untuk kelainan ini, karena menyerupai gambaran arteriopati pada hipertensi pulmonal dari berbagai macam sebab, kelainan vakular disini termasuk hiperplasia otot polos vakular, hiperplasia intima, dan trombosis insitu. Kelainan yang terjadi pada HPP ini, mengenai arteri-arteri pulmonalis kecil dengan diameter antara 40 sampai 100 mm dan arteriol. Evolusi vaskular pada PPH ini tergantung progresivitas penipisan arteri pulmonalis, yang secara gradual meningkatkan resistensi pulmonal yang pada akhirnya menyebabkan strain dan gagal ventrikel kanan. (1) Pada stadium awal HPP, peningkatan tekanan arteri pulmonalis menyebabkan peningkatan kerja ventrikel kanan dan terjadi trombotik arteriopati pulmonal. Karakteristik trombotik arteriopati pulmonal ini adalah trombus in situ pada muscularis arteri dari vaskular pulmonal. Pada stadium lanjut, dimana tekanan pulmonal meningkat secara terus menerus dan progresif, lesi berkembang menjadi bentuk arteriopati fleksogenik pulmonal yang ditandai dengan hipertrofi media, fibrosis laminaris intima konsentrik, yang menggantikan struktur endotelial pulmonal normal. Secara patologis HPP dapat dikelompokkan ke dalam 3 subtipe(1), yaitu: 1. Primary Arteriopati Fleksogenik (30-60% dari HPP) Secara patologis lesi fleksogenik adalah disorganisasi kapiler pulmonal. Beberapa keadaan lesi mengandung proliferasi monoklonal sel-sel endothelial. Lesi fleksiform merupakan suatu bentuk hipertensi pulmonal berat, dengan insidens 1-2 /juta penduduk dengan perbandingan pria dan perempuan 1,7:1 dan usia saat diagnostik tipe ini antara 20-50 tahun. Kelainan ini tampaknya mempunyai komponen genetik, dimana 7% kasus adalah familial.

2. Tromboembolik Arteriopati (45-50% dari HPP) Secara patologik subtipe ini ditandai dengan fibrosis eksentrik tunika intima dan gambaran rekanalisasi trombosis in situ ( jaringan dan septum dalam lumen arterial). Subtipe tromboembolik hipertensi pulmonal terdapat 2 bentuk: bentuk makrotromboembolik, yang biasanya didapatkan pada tipe hipertensi pulmonal sekunder dan berisi gumpalan besar di tengah lumen, dan kedua bentuk mikrotromboembolik dengan trombus di distal yang
2

menyumbat pembuluh-pembuluh darah kecil. Bentuk makro biasanya respon terhadap tromboenarterektomi. Sementara bentuk mikro berhubungan dengan trombosis in situ dan secara klinis tumpang tindih dengan arteriopati fleksogenik primer.

3. Oklusif Vena Pulmonal Bentuk yang jarang didapat, disebabkan oleh penipisan tunika intima vena pulmonal. HPP secara patologis dapat digradasikan ke dalam 6 poin berdasarkan severitas penyakit: dimulai dari hipertrofi medial (grade 1) sampai sampai dan di grade 6 nekrosis arteritis, namun tidak ada korelasi antara gradasi patologis dengan tekanan pulmonalis. Rasio ketebalan tunika media dan intima terhadap total cross sectional area dihubungkan dengan respons terhadap vasodilator, sementara artropati fleksogenik dihubungkan dengan survival time yang pendek.

Vasokonstriksi, proliferasi vaskuler,trombosis dan peradangan tampak berperan dalam perkembangan hipertensi pulmonal. Abnormalitas dalam jalur-jalur molekuler multiple dan gen-gen yang meregulasi endotel pembuluh pulmonal dan sel otot polos telah teridentifikasi. Keabnormalan tersebut termasuk penurunan ekspresi dari kekuatan voltase yang meregulasi saluran potassium, mutasi dalam tulang pada receptor morfogenetik protein 2, peningkatan ekspresi faktor jaringan, aktivasi berlebihan dari pengangkut serotonin, aktivasi faktor transkripsi dari faktor 1 alpha, dan aktivasi faktor nuklear dari sel T aktif.(3)

D. ETIOLOGI DAN PATOGENESIS Penyebab HPP belum diketahui dengan pasti. Beberapa konsep patogenesis mempertimbangkan kepekaan individu dan rangsangan pemicu sebagai faktor pemula terhadap kerusakan dan perbaikan vaskular pulmonal. Hanya sebagian kecil kelompok dengan resiko tinggi (seperti obat penekan nafsu makan dan pasien HIV-1) yang menjadi hipertensi pulmonal. Kejadian HPP dalam suatu keluarga menunjukkan kepekaan genetik. Bentuk kelainan bawaan adalah autosomal dominan dengan rasio perempuan dan pria 2:1. Meskipun melibatkan gen dalam HPP familial belum dapat diidentifikasi, kemungkinan lokasi pada tangan panjang (long arm) dari kromosom 2 . Lokasi ini mengandung 7 juta base dan suatu pendekatan telah dicoba untuk mengidentifikasi gen potensial dengan vasoaktif, proliferatif atau aktivitas trombotik, namun tidak didapatkan kandidat gen sampai saat ini(1). Stimulus yang dapat merangsang HPP adalah bahan-bahan yang dapat dicerna, seperti obat penekan nafsu makan, bahan pelarut inhaler, metamfetamin, kokain, L-tryptophan;
3

infeksi terutama HIV-1 dan penyakit inflamasi (seperti HPP yng dihubungkan dengan penyakit tiroid autoimun dan antinuclear antibody). Walaupun bentuk rangsangan berbeda, namun bentuk kerusakan dan perbaikannya sama(1). Vasokonstriksi dan hipertrofi media terjadi pada awal HPP. Keadaan ini adalah sekunder terhadap kerusakan sel endothelial, yang dapat menyebabkan berkurang produksi endothelium-derived vasodilator atau meningkatkan vasokonstriktor(1). Mediator vasoaktif sirkulasi lain juga berperan pada HPP. Kadar plasma serotonin meningkat pada pasien dengan HPP, dan tetap meningkat setelah transplantasi jantung. Obat penekan nafsu makan fenfluramin dan deksfenfluramin yang menghambat reuptake serotonin, dapat mencetuskan HPP pada individu yang peka melalui peningkatan konsentrasi platelet-derived serotonin (suatu vasokonstriktor pulmonal, yang merangsang pertumbuhan vaskular) (1). Kerusakan saluran ion pada sel-sel otot polos arteri pulmonal juga dapat menambah vasokonstriksi. Kalsium intraseluler berperan penting dalam regulator kontraksi dan proliferasi otot polos vaskular, dan kanal kalium yang menentukan konsentrasi bebas sitoplasma mungkin terganggu pada pasien dengan hipertensi pulmonal primer(1). Vasokonstriksi diikuti oleh proliferasi dan fibrosis intima, trombosis in situ, dan perubahan fleksogenik. Peningkatan ekspresi vascular endothelial growth factor (VEGF), suatu mitogen sel endothelial spesifik yang dihasilkan oleh makrofag dan otot polos, berperan dalam remodelling vaskular(1).

E. KLASIFIKASI STATUS FUNGSIONAL HIPERTENSI PULMONAL Klasifikasi Status Fungsional WHO pasien Hipertensi Pulmonal Kelas 1 Pasien dengan hipertensi pulmonal, tanpa keterbatasan dalam melakukan aktivitas sehari-hari Kelas 2 Pasien dengan hipertensi pulmonal, dengan sedikit keterbatasan dalam melakukan aktivitas sehari-hari Kelas 3 Pasien dengan hipertensi pulmonal, yang bila melakukan aktivitas ringan akan merasakan sesak dan rasa lelah yang hilang bila beristirahat Kelas 4 Pasien dengan hipertensi pulmonal, yang tidak mampu melakukan aktivitas apapun (aktifitas ringan akan merasakan sesak), dengan tanda dan gejala gagal jantung kanan

F.MANIFESTASI KLINIS Hipertensi pulmonal sering tidak menunjukkan gejala yang spesifik. Gejala-gejala tersebut sering sulit dibedakan dengan HPP sekunder atau oleh karena kelainan jantung, kesulitan utama adalah gejalanya berkembang secara gradual. Gejala yang paling sering adalah dyspnoe saat aktivitas, fatigue dan sinkop, refleksi ketidakmampuan menaikkan curah jantung selama aktivitas(1). Gejala dan Tanda Hipertensi Pulmonal Gejala Dispnu saat aktivitas Fatigue Sinkop Nyeri dada angina Hemoptisis Fenomena Raynauds Tanda Distensi vena jugularis Impuls ventrikel kanan dominan Komponen katup paru menguat S3 jantung kanan Murmur trikuspid Hepatomegali Edema perifer

G.DIAGNOSIS Penegakan diagnosis dari PPH berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Gejala yang paling sering disebabkan oleh hipertensi pulmonal adalah dyspnoe. Gejala yang lain seperti cepat lelah, angina pektoris, synkope, dan edema perifer. Pada pemeriksaan fisik didapatkan peningkatan tekanan vena jugularis, penurunan pulsasi carotis, dan terabanya pulsasi RV. Pada kebanyakan pasien juga didapatkan peningkatan bunyi jantung 2, bunyi jantung 4 di sisi kanan, dan trikuspid regurgitasi.Edema dan sianosis perifer baru timbul pada stadium lanjut dari penyakit.(3) Hipertensi pulmonal primer sering timbul dengan gejala-gejala yang tidak spesifik. Gejala-gejala itu sukar untuk dipisahkan sehubungan dengan penyebab apakah dari paru atau dari jantung (primer atau sekunder), kesulitan utama adalah gejala umumnya berkembang secara gradual.

Temuan Laboratorium Foto thoraks secara umum memperlihatkan pembesaran arteri pulmonal central. Lapang paru mungkin menunjukkan kelainan lain. Elektrokardiografi cenderung menunjukkan deviasi aksis ke kanan dan hipertrofi ventrikel kanan. Ekokardiogram biasanya menunjukkan pembesaran atrium dan ventrikel kanan, penurunan ukuran rongga ventrikel kiridan trikuspid
5

regurgitasi yang dapat digunakan untuk mengukur tekanan sistolik ventrikel kanan dengan Doppler. Tes fungsi paru sangat membantu dalam menemukan penyakit yang mendasari obstruksi saluran nafas, sedangkan resolusi tinggi CT thoraks dipilih untuk menemukan penyakit paru restriktif. Hipoksemia dan keabnormalan kapasitas difusi dari karbon monoksida terjadi dalam hipertensi pulmonal dengan banyak penyebab.Sebuah scanning perfusi paru hampir selalu abnormal pada pasien hipertensi pulmonal tromboembolik. Pemeriksaan laboratorium harus mencakup pemeriksaan anti nuklear anibodi dan tes HIV. Karena tingginya frekuensi keabnormalan tiroid pada pasien hipertensi pulmonal primer, direkomendasikan untuk mengecek secara rutin level hormon TSH. (3)

Kateterisasi Jantung Kateterisasi jantung adalah pemeriksaan wajib untuk mengukur tekanan arteri pulmonalis secara akurat, cardiac output, dan filling pressure ventrikel kiri.

Direkomendasikan untuk pasien dengan hipertensi pulmonal untuk menjalani tes dengan obat vasodilator pulmonal short acting untuk menentukan reaktivitas vasodilator pulmonal. Nitrit oxid inhalasi, adenosin intravena, dan eprostrenol intravena memeliki efek yang sebanding dalam menurunkan tekanan arteri pulmonalis akut.(3)

*Algoritme for the workup of patient with unexplained pulmonary hypertension (Terlampir)

TATALAKSANA Medika Mentosa(3): Ca Channel Blocker Pasien yang respon terhadap vasodilator short acting saat dilakukan kateterisasi jantung (penurunan mean pulmonary arterial pressure 10 mmHg dan final mean pressure < 40 mmHg) sebaiknya diterapi dengan ca channel blocker. Biasanya pasien ini membutuhkan dosis tinggi ( seperti nifedipine, 240 mg/d, atau amlodipin 20 mg/d). Bagaimanapun juga pasien yang respon terhadap Ca channel blocker dalam jangka waktu panjang hanya <20%. Obat ini tidak efektif untuk pasien yang tidak vasoreaktif. Endothelin Antagonist Receptor Antagonis receptor endothelin bosentan dan ambrisentan adalah pengobatan yang diterima untuk hipertensi pulmonal. Dosis terapi

dengan bosentan adalah 62,5 mg untuk 1 bulan pertama dan setelahnya ditingkatkan 125 mg. Ambrisentan diberikan 5 mg sekali sehari dan kemudian dapat ditingkatkan 10 mg sekali sehari. Karena tingginya frekuensi keabnormalan fungsi hati pada penggunaan obat ini, khususnya pada peningkatan transaminase, direkomendasikan untuk memonitor fungsi hati selama pemakaian obat ini. Phospodiesterase inhibitors 5- Sildenafil dan tadalafil, merupakan Phospodiesterase 5-inhibitors, diterima sebagai pengobatan hipertensi pulmonal. Phospodiesterase 5-inhibitors bertanggung jawab dalam hidrolisis siklik GMP di otot polos pembuluh pulmonal, arteri mediator melalui dan nitrit oxide

menurunkan

tekanan

pulmonalis

menghambat

pertumbuhan pembuluh pulmonal. Dosis efektif untuk sildenafil adalah adalah 20-80 mg. Sedangkan dosis efektif untuk tadalafil adalah 40 mg/hari. Efek samping yang paling sering adalah sakit kepala. Prostacyclins Iloprost, sebuah prostasiklin analog, adalah obat inhalasi untuk hipertensi pulmonal yang diterima. Terapi dapat diberikan 2,5-5 ug per terapi inhalasi melalui nebulizer. Efek samping yang paling sering adalah batuk dan flushing. Karena half life yang pendek disarankan pemberiannya tiap 2 jam. Epoprostenol,diterima sebagai pengobatan IV kronik pada

hipertensi pulmonal. Efek samping berupa flushing, jaw pain, dan diare, namun kebanyakan masih dapat ditoleransi oleh pasien. Treprostinil, sebuah analog dari epoprostenol, diterima sebagai pengobatan hipertensi pulmonal dan dapat diberikan secara intravena, sub kutan, dan via inhalasi. Nyeri lokal pada lokasi infus pada pemberian sub kutan membuat banyak pasien memilih mengganti dengan terapi lain. Dosis optimal unutk obat-obat ini belum diketahui, namun dosis dari epoprosterenol sekitar 25-40 ng/kg/min, dan untuk teprostinil sekitar 75-150 ng/kg/menit.

Non medika mentosa: Transplantasi paru Transplan paru dipertimbangkan untuk pasien yang sedang dalam pengobatan prostasiklin IV tetap bermanifes pada gagal jantung kanan.

II.GAGAL JANTUNG KANAN A.DEFINISI Gagal jantung adalah keadaan (kelainan) patofisiologis berupa sindroma klinik, diakibatkan oleh ketidakmampuan jantung untuk memenuhi cardiac output (CO) yang cukup untuk melayani kebutuhan jaringan tubuh akan O2 dan nutrisi lain meskipun tekanan pengisian (filling pressure atau volume diastolik) telah meningkat. Gagal jantung kanan biasanya sekunder akibat gagal jantung kiri yang kronik. Tetapi gagal jantung kanan dapat berdiri sendiri. penyebab lain dari gagal jantung kanan adalah stenosis mitral berat disertai hipertensi pulmonal, stenosis pulmonal, kor pulmonal kronik, hipertensi pulmonal primer, regurgitasi tricuspid, stenosis tricuspid.(2)

B.ETIOLOGI Gagal jantung adalah komplikasi tersering dari segala jenis penyakit jantung kongenital maupun didapat. Mekanisme fisiologis yang menyebabkan gagal jantung meliputi keadaankeadaan yang meningkatkan beban awal, beban akhir atau menurunkan kontraktilitas miokardium. Keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal meliputi regurgitasi aorta, dan cacat septum ventrikel. Dan beban akhir meningkat pada keadaan-keadaan seperti stenosis aorta dan hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada infark miokardium dan kardiomiopati. (2) Selain ketiga mekanisme fisiologis yang menyebabkan gagal jantung, terdapat faktorfaktor fisiologis lain yang dapat menyebabkan jantung gagal bekerja sebagai pompa. Keadaan-keadaan seperti stenosis katup atrioventrikuluaris, perikarditis restriktif dan tamponade jantung mengakibatkan gagal jantung melalui beberapa efek seperti gangguan pada pengisian ventrikel dan ejeksi ventrikel. (2)

I. Myocardial damage (kerusakan otot jantung) a. Miokarditis b. Kardiomiopati (kardiomiopati dilatasi) c. Penyakit jantung koroner

II. Beban ventrikel yang bertambah o Kelebihan beban tekanan (pressure overload) - Hipertensi sistemik - Koarktasio aorta - Stenosis aorta - Stenosis pulmonal - Hipertensi pulmonal pada PPOK atau hipertensi pulmonal primer o Kelebihan beban volume (volume overload) - Regurgitasi mitral - Regurgitasi aorta - Ventricular septal defect (VSD) - Atrial septal defect (ASD) - Patent ductus arteriousus (PDA)

III. Restriksi dan Obstruksi pengisian ventrikel o Stenosis mitral o Stenosis tricuspid o Tamponade jantung o Kardiomiopati restriktif o Perikarditis konstriktif

C.GEJALA DAN TANDA Manifestasi klinis gagal jantung harus dipertimbangkan relative terhadap derajat latihan fisik yang menyebabkan timbulnya gejala. Berdasarkan keluhan terdapat klasifikasi fungsional dari New York Heart Association (NHYA) biasanya digunakan untuk hubungan antara awitan gejala dan derajat latihan fisik(2):

NYHA Kelas I

Penderita dengan kelainan jantung tanpa pembatasan

aktivitas fisik.

Aktivitas fisik sehari-hari tidak menyebabkan kelelahan, palpitasi, dispnea atau angina.

NYHA Kelas II

Penderia dengan kelainan jantung yang berakibat pembatasan ringan aktivitas fisik. Merasa enak dengan istirahat. Aktivitas sehari-hari menyebabkan kelelahan, palpitasi, dispnea atau angina.

NYHA Kelas III

Penderia dengan kelainan jantung yang berakibat pembatasan berat aktivitas fisik. Merasa enak dengan istirahat. Aktivitas yang kurang dari aktivitas seharihari menimbulkan kelelahan, palpitasi, dispnea atau angina.

NYHA Kelas IV

Penderita dengan kelainan jantung dengan akibat tidak mampu melakukan aktivitas fisik apapun. Keluhan timbul meskipun saat istrihat.

D.PATOFISIOLOGI Gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung sebagai pompa untuk memenuhi kebutuhan jaringan sehingga terjadi penurunan curah jantung (CO). Keadaan ini menimbulkan beberapa mekanisme kompensasi dengan tujuan mempertahankan fungsi jantung menghadapi beban hemodinamik yang bertambah, baik volume maupun pressure overload. Kelainan intrinsik pada kontraktilitas miokardium pada gagal jantung akibat penyakit jantung iskemik, menganggu kemampuan pengosongan ventrikel yang efektif. Kontraktilitas ventrikel kiri yang menurun akan mengurangi volume sekuncup dan meningkatkan volume residu ventrikel. Dengan meningkatnya volume akhir diastolic ventrikel (EDV) terjadi peningkatan tekanan akhir diastolic ventrikel kiri (LVEDP). Derajat peningkatan tekanan bergantung pada kelenturan ventrikel. Dengan meningkatnya LVEDP, akan terjadi peningkatan tekanan atrium kiri (LAP) karena atrium dan ventrikel berhubungan langsung selama diastole. Peningkatan LAP diteruskan ke belakang ke dalam pembuluh darah paruparu, meningkatakan tekanan kapiler dan vena paru-paru. Apabila tekanan hidrostatik

anyaman kapiler paru-paru melebihi tekanan onkotik pembuluh darah, akan terjadi transudasi cairan ke dalam intertisial. Jika kecepatan transudasi cairan melebihi kecepatan drainase limfatik, akan terjadi edema intertisial. Peningkatan tekanan lebih lanjut dapat mengakibatkan cairan merembes ke dalam alveoli dan terjadilah edema paru. Sebagai respon kompensatorik terhadap gagal jantung, ada tiga mekanisme primer yaitu meningkatnya aktivitas adrenergic simpatis, meningkatnya beban awal akibat aktivitas sistem
10

renin-angiontensin-aldosteron, dan hipertrofi ventrikel. Ketiga respon kompensatorik ini mencerminkan usaha untuk mempertahankan curah jantung.

Aktivasi Sistem Renin-Angiontensin-Aldosteron (RAA) Akibat CO yang menurun pada gagal jantung akan terjadi peningkatan sekresi renin yang merangsang angiontensin II. Aktivitas sistem RAA untuk mempertahankan cairan, keseimbangan elektrolit dan tekanan darah cukup. Aktivasi sistem RAA dimaksudkan untuk mempertahankan cairan, keseimbangan atau balans elektrolit dan tekanan darah cukup. Mekanisme pasti yang menyebabkan aktivasi sistem RAA pada gagal jantung masih belum jelas. Namun, diperkirakan terdapat sejumlah faktor seperti rangsangan simpatis adrenergik pada reseptor beta di dalam apparatus jukstaglomerulus, respon reseptor macula densa terhadap perubahan pelepasan natrium ke tubulus distal (penurunan natrium merangsang pelepasan renin), respon baroresptor terhadap perubahan volume dan tekanan dalam sirkulasi (mekanisme baroreseptor pada aferen arteriola. Penurunan tekanan dalam arteriole akan merangsang terbentuknya dan keluarnya renin dari JGA).

Peningkatan Aktivitas Adrenergik Simpatis Menurunnya volume sekuncup pada gagal jantung akan merangsang respon simpatis kompensatorik. Meningkatnya aktivitas adrenergic simpatis akan merangsang pengeluaran katekolamin dari saraf-saraf adrenergik jantung dan medula adrenal. Denyut jantung dan kekuatan kontraksi akan meningkat untuk menambah curah jantung. Selain itu juga terjadi
11

vasokonstriksi arteri perifer untuk menstabilkan tekanan arteri dan redistribusi volume darah dengan mengurangi aliran darah ke organ-organ yang metabolismenya rendah (misal kulit dan ginjal) untuk mempertahankan perfusi ke jantung dan otak. Venokonstriksi akan meningkatkan aliran balik vena ke sisi kanan jantung, untuk selanjutnya menambah kekuatan kontraksi. Kadar katekolamin dalam darah akan meningkat pada gagal jantung, terutama saat latihan. Jantung akan semakin bergantung dengan katekolamin yang beredar dalam darah untuk mempertahankan kerja ventrikel. Namun pada akhirnya respon miokardium terhadap rangsangan simpatis akan menurun, katekolamin akan berkurang pengaruhnya terhadap kerja ventrikel. Pada permulaan gagal jantung (ringan) aktivitas sistem adrenergic dapat mempertahankan CO dengan cara kontraktilitas yang meningkat dan kenaikan denyut jantung. Pada gagal jantung lebih berat terjadi vasokonstriksi akibat sistem simpatis dan pengaruh angiotensin II dengan maksud mempertahankan tekanan darah dan redistribusi CO. Pada gagal jantung yang makin berat (NYHA kelas IV) terjadi peningkatan afterload yang berlebihan akibat vasokonstriksi dengan akibat penurunan curah jantung.

Hipertrofi Ventrikel Respon kompensatorik terakhir pada gagal jantung adalah hipertrofi miokardium atau bertambah tebal dinding. Hipertrofi meningkatakan jumlah sarkomer dalam sel-sel miokardium, sarkomer dapat bertambah secara parallel atau serial bergantung pada jenis beban hemodinamik yang mengakibatkan gagal jantung. Sebagai contoh, suatu beban tekanan
12

yang ditimbulkan stenosis aorta akan disertai dengan meningkatnya ketebalan dinding tanpa penambahan ukuran ruang dalam. Respon miokardium terhadap beban volume seperti pada regurgitasi aorta, ditandai dengan dilatasi dan bertambahnya ketebalan dinding. Kombinasi ini diduga terjadi akibat bertambahnya jumlah sarkomer yang tersusun secara serial. Kedua pola hipertrofi ini disebut hipertrofi konsentris akibat beban tekanan dan eksentris akibat beban volume. Apapun susunan pasti sarkomernya, hipertrofi miokardium akan meningkatkan kekuatan kontraksi miokardium(2).

E.MANIFESTASI KLINIS Gejala klinis yang umum terjadi: Keluhan dominan pada gagal jantung kanan adalah akibat kongesti vena sistemik, berbeda dengan gagal jantung kiri dimana keluhan akibat kongesti vena pulmonal. Fatigue akibat CO yang menurun Edema. Edema pada pergelangan kaki apabila penderita masih berjalan ke sana kemari. Edema pada sacral bila penderita dalam posisi baring. Hepatomegali kongestif. Hepatomegali peregangan kapsula hepatic penyebab rasa sakit pada kuadran kanan atas seperti kolesistitis. Anoreksia. Bendungan hepar dan kenaikan tekanan vena menyebabkan anoreksia, kembung, dan keluhan non spesifik lain. Tanda Klinis Gagal Jantung Kanan: Ditemukan penyebab atau penyakit yang mendasari gagal jantung kanan, misalnya stenosis mitral. RVH dapat ditemukan berdasarkan adanya kuat angkat pada parasternal kiri bawah pada palpasi. Terdengar S3 atau S4 gallop yang berasal dari RV akibat gagal jantung kanan. Murmur, dilatasi ventrikel kanan disertai regurgitasi pulmonal dan regurgitasi ventrikel. Terdapat tanda-tanda penyakit paru kronik sebagai penyebab gagal jantung kanan, terdengar ronki, wheezing kronik, ekspirasi yang memanjang, tanda-tanda bronchitis kronik. JVP yang meningkat Refluks hepatojugular

13

Tekanan vena akan meningkat apabila kuadran kanan atas abdomen ditekan, venous return meningkat, tekanan atrium kanan meningkat, dapat dilihat pada permukaan darah dalam v.jugalaris yang meningkat. Pitting edema pada tungkai bawah atau pergelangan kaki dan sacral Asites, selain terdapat pada gagal jantung kanan, juga terdapat pada perikarditis konstriktif dan tamponade jantung. Hidrotoraks (efusi pleura dan pericardial) Biasanya didapatkan pada CHF. Lebih sering terdapat pada gagal jantung biventricular daripada gagal jantung kiri saja, lebih sering terjadi pada kavum pleura kanan daripada kiri. Cairan juga mungkin terdapat pada kavum perikard. EKG : o RVH : menunjukan hipertensi pulmonal pada stenosis mitral o RAD (right axis deviation) : terdapat pada RVH o Gelombang P : gelombang P runcing dan tinggi menunjukan RAH pada PPOK dan atau kor pulmonal kronik.

F.DIAGNOSIS Riwayat penyakit yang lengkap dan pemeriksaan fisik merupakan langkah pertama pada evaluasi abnormalitas struktural atau penyebab dari perkembangan gagal jantung. Meskipun riwayat dan pemeriksaan fisik dapat menjadi tanda yang penting tentang abnormalitas jantung. Identifikasi dari abnormalitas struktural yang memicu untuk gagal jantung umumnya membutuhkan pencitraan invasif maupun non-invasif dari struktur jantung(2). EKG Gambaran EKG pada penderita gagal jantung kongestif tergantung pada penyakit dasar. Akan tetapi pada gagal jantung kongestif akut, karena selalu terjadi iskemik dan gangguan fungsi konduksi ventrikel maka hampir semua EKG dapat ditemukan gambaran takikardia, left-bundle-branch-block dan perubahan segmen ST dan gelombang T. FOTO TORAKS Pada foto toraks, sering ditemukan pembesaran jantung, dan tanda-tanda bendungan paru. Kardiomegali biasanya adanya peningkatan dari cardiothoracic ratio (CTR) lebih dari 50% pada gambaran posteroanterior. Apabila telah terjadi edema paru, dapat ditemukan gambaran kabut di daerah perihiller, penebalan interlobar fissure (kerleys line). Sedangkan pada kasus yang berat dapat ditemukan efusi pleura.

14

LABORATORIUM Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk gagal jantung

kongestif.Kelainan hasil pemeriksaan laboratorium tergantung dari penyakit dasar dan komplikasi yang terjadi. Terjadi perubahan-perubahan khas pada kimia darah, misalnya perubahan cairan dan elektrolit dalam serum. Yang khas adalah adanya hiponatremia, kadar kalium dapat normal atau menurun akibat terapi diuretic. Hiperkalemia dapat terjadi pada tahap lanjut dari gagal jantung karena gangguan ginjal. Ketika adanya kongesti hati, serum transminase dan bilirubin dapat menjadi meningkat dan adanya jaundice. Jika hepatomegali kongestif kronik, sirosis jantung dapat terjadi dan menyebabkan hipoalbunemia, hipoglikemia dan peningkatan waktu protrombin. EKOKARDIOGRAFI Ekokardiografi dua-dimensi dengan Doppler adalah rekomendasi tinggi untuk semua pasien dengan gagal jantung. Pemeriksaan ini membantu penilaian dari ukuran ventrikel kiri, massa dan fungsi. Karena tidak biasanya pasien memiliki lebih dari satu abnormalitas jantung yang mempengaruhi perkembangan dari gagal jantung, echocardiography memberikan nilai tambahan dengan penilaian kuantitatif dari dimensi, geometry, ketebalan dan pergerakan dari ventrikel kanan dan kiri. Serta penilaian kualitatif dari atria, pericardium, struktup katup dan vaskular.

G.PENATALAKSANAAN Usaha pertama dalam penanggulangan gagal jantung kongestif ialah mengatasi sindrom gagal jantung. Kemudian mengobati factor presipitasi seperti aritmia, anemia, tiroksikosis, stress, infeksi, infeksi, dan lain-lain, dan memperbaiki penyakit penyebab serta mencegah komplikasi seperti trombo-emboli. Pengobatan nonfarmakologik seperti : memperbaiki oksigenasi jaringan, membatasi kegiatan fisik sesuai beratnya keluhan, dan diet rendah garam, cukup kalori dan protein. Kesemuanya ini memegang peranan penting dalam penanggulangan gagal jantung kongestif kronis. Berdasarkan patofisiologis yang telah diuraikan di atas, konsep terapi farmakologis saat ini ditujukan terutama pada : 1. Menurunkan afterload dengan ACE-inhibitor, atau antagonis kalsium. 2. Meningkatkan kontraktilitas jantung melalui pemberian digitalis atau ibopamin. 3. Menurunkan preload melalui pemberian nitrat atau diuretik. Diuretik juga dipakai sebagai obat untuk mengatasi retensi cairan badan.
15

ACE inhibitor Efek dari ACE inhibitor : 1. Dilatasi arteriol 2. Mengurangi aktivitas simpatis dan produksi noradrenalin 3. Penurunan aldosteron 4. Anti hipertrofi dan anti remodeling pada miokard Angiotensin II receptor blocker Pada penderita dengan intoleran dengan ACE-inh dapat digunakan sebagai pengganti dengan akibat blockade pada RAS. Digoksin Mekanisme kerja digoksin: menambah kontraktilitas miokard baik baik kecepatan pada gagal jantung maupun pada jantung normal, efek elektrofisiologi dan vasokonstriksi. Simpatomimetikamin 1. Dopamin Merupakan precursor dari norepinefrin alamiah. Dopamine dapat meningkatkan SVR sedangkan CO mungkin tidak bertambah meskipun terdapat efek inotropik. Oleh karena itu penderita dengan prefer vascular disease harus diwaspadai kemungkinan pada pemberian dopamine. 2. Dobutamin Suatu katekolamin sintetik. Bekerja terhadap reseptor beta-1, beta-2, dan alfa. Menurunkan perifer vascular resistensi, CO dapat meningkat pada gagal jantung berat mungkin / diharapkan tidak menyebabkan penurunan atrial. 3. Ibopamin Merupakan agonis dopamine, diberikan secara oral, mempunyai efek baik terhadap neurohumoral dan memperbaiki hemodinamik. Diuretika Salah satu cara menanggulangi gagal jantung adalah mengurangi resisten garam dan air yaitu dengan diet rendah lemak dan pemberian diuretika. Sebaiknya dengan pemberian diuretika yang berlebihan dapat menyebabkan CO menurun, hipotensi ortostatik, kemunduran fungsi ginjal.

16

LAMPIRAN

Algoritme for the workup of patient with unexplained pulmonary hypertension


Echocardiogram

Dilated Right Ventricle

Left Heart Disease Valvular heart disease

Pulmonary Function Test

Congenital Abnormality

Cardia Catheterization Obstructive Pattern Normal or restrictive pattern Valvular heart disease High Resolution chest CT Congenital Abnormality

Cold

Interstitial Lung Disease

Normal or enlarged pulmonary arteries

Pulmonary Thromboembolism

Lab test: *CBC*ANA*HIV*TSH*LFTs

Measure exercise capacity

Cardiac Catheterization *Vasodilator Testing

17

DAFTAR PUSTAKA

1. Diah M., Ghanie A. Hipertensi Pulmonal Primer. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit. Jilid 3.Edisi 4.FKUI: Jakarta 2007.Hlm:1682-87. 2. Panggabean MM. Gagal Jantung. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit. Jilid 3.Edisi 4. FKUI: Jakarta 2007.Hlm:1503-14. 3. Rich S. Pulmonary Hypertension. Dalam Harrisons Principle of Internal Medicine. Volume 2. Edisi 18. McGrawHill: 2012. Hlm: 2076-82.

18

Anda mungkin juga menyukai