Anda di halaman 1dari 2

Budaya berpikir kritis-Kreatif di Pendidikan Tinggi di Indonesia

Oleh : Nala Orida/090910064

Semakin hari masyarakat semakin gerah dengan keadaan polemik perpolitik di negeri ini. Masyarakat awam menjadi penonton setia yang selalu kena imbas oleh para kaum elitis pemangku jabatan, baik itu di pusat dan juga di daerah. Berbagai cara dilakukan mengatasnamankan keadilan rakyat . Gonjang-ganjing di pemerintahan sudah menjadi sarapan pagi yang harus diperdengarkan mayarakat Indonesia. Apakah kepongahan pemerintah dan ketidakpedulian masyarakat akan Negara ini menjadi kebudayaan nasional yang unik dan harus dipertahankan? Belakang ini seluruh media masa sibuk dengan pemberitaan tawuran antar pelajar sekolah menengah di ibukota. Hal itupun merembes ke daerah, mencontoh budaya tidak sononoh kaum terpelajar di Indonesia. Demonstrasi mahasiswa di berbagai daerah yang menentang kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat. Sekarang hal ini menjadi pertanyaan besar bagi seluruh masyarakat indonsia. Ada Apa dengan pendidikan Indonesia? Bagaimana telah dikemukakan oleh seorang pakar kurikulum Indonesia Prof.Dr. H.A.R. Tilaar, Msc. Ed dimana kita melihat pola berpikir kritis-kreatif sudah dimatikan semenjak pendidikan dasar pendidikan menengah sampai perguranan tinggi, Pengembangan berpikir kritis-kreatif disebabkan oleh dua virus yang telah menjadi darah daging di pendidikan indonesai. Pertama cara berpikir orang Indonesia terhadap pendidikan masih dihadapkan pada pola zaman kolonial. Pendidikan bukan diarahkan kepada proses penyadaran dan kemerdekaan berpikir, tetapi diarahkan kepada bagaimana menjadi pegawai kolonial. Tujuan pendidikan tinggi supaya mendapat diploma sebagai legitimasi memperoleh jabatan khususnya jabatan birokrasi yang akhirnya menitikberaatkan kepada pengembalian modal pendidikan. Kedua yang mematikan berpikir kritis-kreatif dalam kebudayaan kampus Indonesia yang lebih dikenal dengan world class education sejauh ini makna world class education sangat remang-remang tidak memiliki fokus yang jelas. Pendidikan ini diarahakan dengan standarisasi di negara-negara maju (barat) sebagai menifestasi kekuatan modal besar, kekuatan modal besar yang ingin menguasai pasar tenaga kerja. Akibatnya pendidikan di negara-negara berkembang lupa terhadap persoalan yang dihadapi oleh masyarakatnya sendiri.

Sekarang bagaimanakah kita mengembangkan budaya berpikir kritis-kreatif dalam kampus di Indonesia? Seorang pakar dari Dukraki University Bangkok menyatakan kritikan terhadap perkembangan pendidikan tinggi bukan saja di Thailand, tetapi di Asia timur. Ada empat empat pilar untuk merubah budaya kolonial menjadi budaya pengembangan kreatifitas dan produktifitas di kampus: 1) kurikulum pendidikan tinggi,2)minset mahasiswa,3)Proses Pembelajaran, 4) manajemen pendidikan tinggi. Kurikulum pendidikan tinggi kurikulum pendidikan tinggi hendaklah mengambarkan masyarakat yang rill, yaitu menggali kearifan budaya local. Dewasa ini kurikulum pendidikan tinggi tidak lagi diarahkan untuk menggali kearifan lokal, sehingga kita kehilangan identitas ditengah pergaulan global. Apabila pendidikan diarahkan kepada kebutuhan orang banyak, maka pendidikan tinggi diarahkan kepada kekayaan alam dan budaya Indonesia. Dari sana kita dapat melakukan inovasi-inovasi untuk meningkatkan taraf hidup rakyat bayak. Dengan ini pendidikan tinggi Indonesia bisa menciptakan berbagai alternatif untuk kemajuan rakyat Indonesia.

Minset Mahasiswa Pendidikan tinggi haruslah merubah secara total sikap para mahasiswa. Mahasiswa tidak lagi disibukkan dengan urusan birokrasi yang terus menjadi bulan-bulanan mahasiswa. Dengan demikian berbagai produk berpikir mahasiwa yang penuh tanggung jawab dapat memajukan masyarakat dan bangsa Indonesia. Dengan berpikir kritis-kreatif merubah cara pandang penyelengara pendidikan tinggi dalam membangun sumber daya manusia yang berkualitas. Proses pembelajaran Apabila pendidikan tinggi hanya bertujuan untuk menghasilakan peternakan akademis untuk meluluskan sebanyak-banyaknya lulusan dan gelar pendidikan , namun tidak produktif. Hal ini akan mememupuk sikap konsumerisme berkepanjangan untuk menikmati hasil-hasil produksi luar negeri yang merugikan bangsa kita sendiri, hal ini menenjadikan masyarakat statis, tidak maju dan masyarakat konsumtif. Kita harus keluar dari cengaraman ini, kita harus merubah proses belajar kolonial dengan mengembangkan berpikir kritis-kreatif. Sehingga demikian akan mememupuk rasa tanggung jawab mahasiswa kepada diri sendiri dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Manajemen pendidikan tinggi Manajemen pendidikan tinggi harus ditujukan kepada budaya organisasi yang sesuai dengan jiwa pengembangan kretifitas dan daya kritis mahasiswa. Selain dari itu manajemen pendidikan tinggi haruslah diorintasikan kepada riset, Riset mengenai kekayaan alam dan budaya Indonesia sehingga kekayaan yang kayaraya bisa bermanfaat bagi rakyat sendiri dan suatu ketika bisa ditranformasikan kepada masyarakat global. Apabia budaya riset , budaya akademik dimatikan dari berbagai jenis kegiatan hanya memepuk jiwa konsumerisme dan ketidakpedulian sosial. Maka suatu pendidikan tinggi harus memupuk produktifitas, haruslah memiliki manajemen yang berorintasi kepada invansi dan inovasi sebuah produk. Dalam hal ini dengan paradigma baru berpikir kritis-kreatif mengubah wajah kampus-kampus Indonesia dari peternakan akademikyang statis dan konsumtif . Menjadikan manusia yang kritis, kreatif, dan produktif akan melahirkan banyak entrepreneur-enterpreneur sehingga kekayaan alam dan budaya yang melimpah di nusantara akan terpelihara dan bermanfaat bagi rakyat banyak. Alhasil kampus-kampus Indonesia menduduki world class education karena berhasil mensejahterkan rakyat dan manusia sesara global. Sekarang saatnya kita mengevalusi diri secara nasional sebagai bangsa yang memiliki idiologi tinggi yaitu Pancasila dan UUD 1945. Sejauh mana Budaya berpikir kritis-Kreatif berperan penting dalam merubah minset Pendidikan tinggi di negeri ini!

Anda mungkin juga menyukai