Anda di halaman 1dari 8

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Keluarga merupakan sebuah bentuk persekutuan hidup antara pria dan wanita yang mencari kebahagiaan hidup mereka dengan hidup sebagai suami istri. Namun ada kalanya kebahagiaan hidup tidak dapat ditemukan dalam kehidupan berumah tangga sehingga suami istri harus bercerai. Hal inilah yang menjadi salah satu keprihatinan dalam Gereja Katolik. Dalam makalah ini akan dibahas bagaimana pandangan Gereja Katolik tentang perceraian, apakah diizinkan atau tidak sepasang suami istri yang menikah secara Katolik melakukan perceraian.

2. Pembatasan Masalah
Masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah perceraian yang terjadi dalam sebuah keluarga Katolik, sepasang suami istri yang secara remi saling menerimakan sakramen perkawinan menurut tata cara Gereja Katolik, dan perkawinan yang bukan sakramen (salah satu bukan orang Gereja Katolik).

3. Tujuan Penulisan
Makalah ini ditulis dengan tujuan agar kita sebagai anggota Gereja Katolik paham tentang seluk beluk perkawinan dan permasalahan yang mungkin terjadi di dalamnya. Sehingga ketika kita sendiri yang terlibat dalam permasalahan tersebut, kita dapat menyelesaikannya dengan kepala dingin dan dapat menghindari terjadinya perceraian.

BAB II PEMBAHASAN

1. Perceraian Diawali dari Sebuah Perkawinan


Sebuah perceraian dapat terjadi jika ada sebuah perkawinan. Untuk itu, kita harus terlebih dahulu mengetahui apa itu perkawinan menurut Gereja Katolik. Perkawinan merupakan suatu status dan cara hidup yang diharapkan berlangsung seumur hidup dan bertanggung jawab untuk mempersiapkan generasi baru yang lebih baik dari generasi sebelumnya. Perkawinan dalam Gereja Katolik bukan hanya kontrak yang sifatnya sementara, ataupun perjanjian saja, oleh karena itu perkawinan katolik hendaknya dihayati sebagai sebuah sakramen. Disebut sakramen karena dalam ikatan tersebut Kristus hadir melalui suami istri sebagai pasangan. Kristus menjadi saksi ikatan tersebut, Kristus hadir secara rohani. Sakramen perkawinan bersifat permanen, yang artinya tidak hanya diterima saat upacara perkawinan saja, tetapi berlangsung terus selama mereka (suami dan istri) hidup. Sakramen perkawinan melambangkan hubungan Kristus dan Allah sendiri dengan umatnya, Allah selalu setia selamanya walau umatnya berbuat dosa. Hal ini menegaskan bahwa perkawinan Kristiani tidak terceraikan karena Allah tidak pernah meninggalkan umatnya. Perkawinan antara seorang anggota Gereja Katolik dan seorang yang bukan anggota Gereja Katolik bukanlah sebuah sakramen. Kesadaran untuk membangun keluarga masuk dalam kesadaran iman. Dari awal penciptaan dunia, Allah menciptakan manusia pertama, laki-laki (Adam) dan perempuan (Hawa), menurut citra Allah (Kej 1:26-27). Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam agar laki-laki itu mendapatkan teman penolong yang sepadan dengannya (Kej 2:20), sehingga mereka akhirnya dapat bersatu menjadi satu daging (Kej 2:24). Jadi persatuan laki-laki dan perempuan telah direncanakan oleh Allah sejak awal mula, sesuai dengan perintahnya kepada mereka, Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu. (Kej 1:28). Dari sinilah seharusnya
2

suami istri saling melengkapi dalam membangun kehidupan berumah tangga. Cinta yang mendasari terjadinya perkawinan adalah cinta yang rasional, bukan hanya karena nafsu semata namun juga cinta yang memberikan kelebihan kita untuk mengisi dan menyempurnakan kekurangan pasangan. Perkawinan dalam Gereja Katolik dianggap sah apabila kedua pihak telah memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Gereja. Yang pertama adalah dewasa, bukan hanya dewasa dalam usia, tapi juga dituntut kedewasan dalam iman dan kehidupan sosial. Untuk itu, setiap pasangan yang akan melangsungkan sakramen perkawinan wajib memenuhi syarat telah

menerima sakramen penguatan (Krisma). Seorang yang hendak melakukan perkawinan menurut tata cara dan tradisi Gereja Katolik juga dituntut untuk bebas dari halangan biologis, bebas dari hubungan darah dengan pasangannya, bebas dari ikatan perkawinan karena pada dasarnya perkawinan secara Katolik adalah perkawinan yang monogami, dan yang tidak kalah penting adalah bebas secara moral dimana perkawinan dilakukan tanpa paksaan dan dengan kesadaran diri yang penuh atas kemauan diri sendiri. Setelah menikah, suami istri harus menjalankan tugas dan

kewajibannya sesuai dengan janji pernikahan yang mereka ucapkan saat saling menerimakan sakramen perkawinan. Janji pernikahan adalah inti dari sakramen perkawinan, sebab dalam janji tersebut kedua pasangan menyatakan secara bebas dan sadar untuk mau dan mampu menikah dan setia satu dengan yang lain. Janji pernikahan juga menuntut pasangan suami istri untuk bertanggung jawab atas rumah tangga mereka. Termasuk saat kemudian lahir keturunan,orang tua dituntut untuk bertanggung jawab mendidik dan membesarkan anak-anak mereka sesuai dengan iman kepercayaan Kristiani.

2. Perceraian Dalam Keluarga Katolik


Pada hakekatnya, perkawinan dalam Gereja Katolik (sakramen) tidak terceraikan, namun terkadang pada kasus-kasus tertentu sepasang suami istri memutuskan untuk mengakhiri hubungan perkawinan mereka dengan cara bercerai. Yang sering menjadi permasalahan pemicu terjadinya
3

perceraian adalah pengingkaran janji nikah, salah satu pasangan (atau bahkan keduanya) sudah tidak setia terhadap pasangannya. Terkadang kelahiran anak sering dijadikan alasan sepasang suami istri mengingkari kesetiaannya, ketidakhadiran anak membuat suami istri lupa bahwa yang menjadi prioritas utama dalam sebuah perkawinan adalah kesejahteraan suami istri. Jika suami istri dapat bersikap dewasa dalam menyelesaikan permasalahan rumah tangga mereka, perceraian dapat dihindari.

Permasalahan hendaknya dihayati sebagai sebuah berkat yang membuat keluarga semakin matang, dapat menyelesaikan masalah yang ada dengan akal sehat. Jika ada masalah, tanggung jawab bukan hanya ada pada suami tetapi juga pada istri dan bahkan anakpun harus turut serta ambil bagian dalam menyelesaikan masalah yang terjadi diantara kedua orang tuanya. Dalam Kitab Perjanjian Baru dikatakan sebuah perkawinan yang diberkati Allah tidak dapat diceraikan,Sebab itu laki-laki akan

meninggalkan ayah dan ibunyadan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia. (Mat 19:5-6). Perceraian dalam keluarga Katolik disamakan dengan perzinahan. Oleh karena itu, sebisa mungkin pasangan suami istri harus dapat memelihara keutuhan keluarganya. Jika masalah yang ada sudah tidak dapat diselesaikan secara pribadi, mereka harus

berkonsultasi dengan pembimbing rohani, dalam hal ini adalah pastor. Diharapkan setelah melakukan konsultasi dengan pastor, pengetahuan dan keimanan suami istri dapat bertambah dan akhirnya dapat menyelesaikan masalahnya tanpa harus melalui perceraian.

3. Tanggapan Gereja Katolik Tentang Perceraian


Gereja Katolik tidak memperbolehkan perceraian. Bagi Gereja Katolik, perkawinan adalah sebuah sakramen. Kasih antara suami isteri adalah tanda dan sarana kasih Kristus kepada GerejaNya. Kasih mereka bukanlah kasih manusiawi melainkan melambangkan kasih Tuhan sendiri. Sebagaimana Kristus selalu setia dan tidak pernah meninggalkan GerejaNya, demikian juga

antara suami isteri yang telah dibaptis tidak bisa saling memisahkan diri (Ef 5:22-23). Dalam Kitab Hukum Kanonik Gereja Katolik dipakai dua istilah penting ratum dan consummatum. Ratum adalah perkawinan sah antara orang-orang yang dibaptis. Perkawinan sah berarti tidak memiliki halanganhalangan perkawinan menurut hukum Gereja katolik. Baptisan tidak hanya untuk baptisan dalam Gereja Katolik saja tetapi juga bagi orang kristen dari Gereja lain. Consummatum adalah perkawinan jika suami isteri telah melakukan hubungan badan. Jika telah melewati tahap consummatum maka perkawinan sudah tidak dapat terceraikan lagi, kecuali oleh maut. Gereja Katolik tidak mengenal perceraian, namun ada kasus-kasus khusus dimana dapat dilakukan pembatalan pernikahan. Pembatalan perkawinan dapat dilakukan oleh Gereja jika terbukti perkawinan tersebut tidak sah. Yang memiliki wewenang untuk menyatakan batalnya sebuah perkawinan adalah Uskup atau Pengadilan Gereja. 1. Perkawinan sakramen antara suami istri anggota gereja Katolik namun tidak disusul dengan hubungan seksual, dapat diceraikan oleh Paus. 2. Perkawinan sakramen antara suami istri anggota gereja Katolik namun belum disusul dengan hubungan seksual, dapat diceraikan oleh Paus. 3. Perkawinan sah antara orang Kristen dan seorang bukan Kristen, dapat diceraikan oleh Paus. 4. Perkawinan antara dua orang bukan Kristen dapat diceraikan atas izin Uskup, yakni bila salah satu menjadi Kristen lalu menikah dengan orang lain (Kristen). Pada umumnya permohonan pembatalan nikah diajukan karena alasan "keterpaksaan dan takut" atau "tiada kesepakatan". Kadang ada perkawinan yang dilangsungkan karena ada unsur keterpaksaan, misalnya sudah hamil terlebih dahulu sehingga mau tidak mau harus menikah atau takut ancaman pihak lain, sehingga tidak ada alternatif lain kecuali menikah. Perkawinan semacam ini dapat dibatalkan oleh pengadilan Gereja. Pengadilan Gereja juga dapat membatalkan perkawinan yang dilangsungkan tanpa kesepakatan. Karena suatu alasan, mempelai pura-pura
5

melangsungkan kesepakatan, pura-pura menikah dan pura-pura menjadi suami istri. Menurut Kitab Hukum Kanonik, pembatalan pernikahan dapat dilakukan jika salah satu pihak membahayakan hidup pasangan dan keluarganya. Jika salah satu pihak menyebabkan bahaya besar bagi jiwa atau badan pihak lainnya atau anaknya, atau membuat hidup bersama terlalu berat, maka ia memberi alasan kepada pihak lain untuk berpisah dengan keputusan uskup, dan juga atas kewenangannya sendiri, kalau berbahaya jika ditund (Kanon 1153). Misalnya pada kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga. Gereja katolik mengajarkan bahwa perkawinan yang ratum dan consummatum bersifat tidak terceraikan. Pemutusan pernikahan hanya berlaku untuk perkawinan non consummatum. Pembatalan perkawinan hanya dapat dilakukan untuk perkawinan yang sejak semula memiliki halangan. Untuk kasus perzinahan dan kekerasan dalam rumah tangga, Gereja memberi kesempatan kepada pihak tak bersalah untuk berpisah sementara sampai pihak bersalah bertobat, mengubah diri dan mau hidup bersama lagi.

BAB III PENUTUP

1. Kesimpulan
Dari penulisan makalah ini, dapat kita simpulkan bahwa Gereja Katolik tidak mengijinkan atau bahkan menyarankan perceraian demi menyelesaian permasalahan yang terjadi dalam sebuah keluarga. Tapi, ada kasus-kasus tertentu yang melegalisasi sebuah perpisahan dengan cara pembatalan pernikahan melalui pengadilan Gereja.

2. Saran
Bagi kaum muda yang nantinya akan membina kehidupan berumah tangga, sebaiknya kenali dulu dengan sebaik mungkin calon pasangan hidup anda nanti. Proses perkenalan yang lamapun tidak menjamin pilihan anda adalah yang terbaik bagi anda dan keluarga nantinya. Dan bagi para suami istri yang sudah menikah, cintai pasangan anda seperti anda mencintai diri anda sendiri. Setiap permasalahan yang timbul dalam perkawinan adalah berkah untuk saling mendewasakan iman.

DAFTAR PUSTAKA
Alkitab Dosen Kuliah Agama Kristen Katolik. Manusia Religius, Buku Kuliah Agama Kristen Gereja Katolik. Universitas Tarumanegara : Jakarta. Endah, M.M. 2008. Diktat Pendidikan Agama Katolik Untuk Kelas XII. SMA Gonzaga: Jakarta. http://katolisitas.org/2008/08/14/ http://www.ekaristi.org/kat/

Anda mungkin juga menyukai