SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF RSUD PROF. Dr. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO 2010
HALAMAN PENGESAHAN
Presentasi kasus dengan judul : Penatalaksanaan Anestesi Umum pada Operasi OS KATARAK Disusun untuk memenuhi sebagian syarat kegiatan kepaniteraan klinik di Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.
SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF RSUD PROF. Dr. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO 2010
BAB I PENDAHULUAN A. KATARAK Katarak berasal dari Yunani Katarrhakies, Inggris Cataract dan Latin Cataracta yang berarti air terjun. Katarak adalah setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan Cairan) lensa, denaturasi protein lensa terjadi akibat keduanya.
Katarak dapat ditemukan dalam keadaan tanpa adanya kelainan mata atau sistemik (katarak senile, juvenile, herediter) atau kelainan congenital mata. Katarak disebabkan oleh berbagai faktor seperti 1 Usia Fisik (trauma, penyinaran, sinar ultraviolet). Kimia Penyakit predisposisi mis: DM Genetik dan gangguan perkembangan Infeksi virus dimasa pertumbuhan janin Kadar kalsium darah yang rendah Pemakaian kortikosteroid jangka panjang
B. KLASIFIKASI Klasifikasi katarak berdasarkan usia : 2 1. Katarak kongenital, katarak yang sudah terlihat pada usia di bawah 1 tahun katarak kongenital merupakan penyebab kebutaan pada bayi yang cukup berarti terutama akibat penanganan yang kurang tepat. Hampir 50% dari katarak kongenital adalah sporadik dan tidak diketahui penyebabnya. Pada katarak kongenital prognosisnya kurang memuaskan karena bergantung pada bentuk katarak dan mungkin pada mata tersebut telah terjadi ambliopia.
2. Katarak juvenile, katarak yang terjadi sesudah usia 1 tahun Katarak yang lembek dan terdapat pada orang muda. Katarak juvenile biasanya merupakan kelanjutan dari katarak congenital. 3. Katarak senil, katarak setelah usia 50 tahun C. PEMERIKSAAN PADA KATARAK Pada pemeriksaan awal katarak adalah melakukan anamnesis yang baik dan akurat. Anamnesis harus mancakup perkiraan ketajaman penglihatan sebelum dan segera sesudah cedera. Harus dicatat apakah gangguan penglihatan bersifat progresif lambat atau mendadak. Sedangkan untuk pemeriksaan fisik, dimulai dengan pengukuran dan pencatatan ketajaman penglihatan. Apabila gangguan penglihatannya parah, maka periksa proyeksi cahaya, diskriminasi dua titik, dan adanya defek pupil aferen. Periksa motilitas mata dan sensasi kulit periorbita., dan lakukan palpasi untuk mencari defek pada bagian tepi tulang orbita. Pada pemeriksaan bedside, adanya enoftalmos dapat ditentukan dengan melihat profil kornea dari atas alis. Apabila tidak tersedia slit-lamp di ruang darurat, maka senter dapat digunakan. Funduskopi pada kedua mata bila mungkin, tonometer selain daripad pemeriksaan prabedah yang diperlukan lainnya seperti adanya infeksi pada kelopak mata, konjungtiva, karena dapat penyulit yang berat berupa panoftalmitis pascabedah dan fisik umum. D. GEJALA 1. Gejala utama yang dijumpai adalah penglihatan berkabut dan penglihatan yang semakin kabur. 2. Pada gejala awal dapat terjadi penglihatan jauh kabur sedangkan penglihatan dekat sedikit membaik dibandingkan sebelumnya (second sight). 3. Bila kualitas lensa memburuk atau terjadi kelelahan maka second sight ini akan menghilang. 4. Gejala lain yang dijumpai pada katarak senilis adalah penigkatan rasa silau (glare). 5. Pada lensa mata penderita katarak akan tampak bayangan putih. terang untuk membaca. 7. Sering berganti kacamata 6. Pandangan ganda, rabun senja dan terkadang membutuhkan cahaya yang lebih
E. PENATALAKSANAAN KATARAK Pengobatan untuk katarak adalah pembedahan. Pembedahan dilakukan jika penderita tidak dapat melihat dengan baik dengan bantuan kaca mata untuk melakukan kegitannya sehari-hari. Beberapa penderita mungkin merasa penglihatannya lebih baik hanya dengan mengganti kaca matanya, menggunakan kaca mata bifokus yang lebih kuat atau menggunakan lensa pembesar. Jika katarak tidak mengganggu biasanya tidak perlu dilakukan pembedahan. Indikasi operasi : Indikasi sosial: jika pasien mengeluh adanya gangguan penglihatan dalam melakukan rutinitas pekerjaan Indikasi medis: bila ada komplikasi seperti glaucoma Indikasi optik: jika dari hasil pemeriksaan visus dengan hitung jari dari jarak 3m didapatkan hasil visus 3/60 Beberapa pembedahan katarak yang dikenal adalah : 2 Menekan lensa sehingga jatuh kedalam badan kaca Penggunaan midriatika Jarum penusuk dari emas Aspirasi memakai sendok Daviel Phacoemulsification
Salah satu tindakan pembedahan katarak adalah Ektrasi katarak, adalah cara pembedahan dengan mengangkat lensa yang katarak. Ektraksi katarak terdapat dua cara yaitu : 1. Ekstraksi katarak ekstra kapsular (EKEK) Tindakan pembedahan pada lensa katarak dimana dilakukan pengeluaran isi lensa dengan memecah atau merobek kapsul lensa anterior sehingga masa lensa dan korteks lensa dapat keluar melalui robekan tersebut. 2. Ektraksi katark intrakapsular (EKIK) Pembedahan dengan mengeluarkan seluruh lensa bersam kapsul. Ekstraksi katarak intrakapsular tidak boleh dilakukan pada pasien berusia kurang dari 40 tahun yang masih mempunyai ligament hialoide kapsular. Persiapan bedah katarak: Biasanya pembedahan dipersiapkan untuk mengeluarkan bagian lensa yang keruh dan dimasukkan lensa buatan yang jernih permanent.
Pra bedah diperlukan pemeriksaan kesehatan tubuh umum untuk menentukan apakah ada kelainan yang menjadi halangan untuk dilakukan pembedahan. Pemeriksaaan ini akan memberikan informasi rencana pembedahan selanjutnya. Pemeriksaan tersebut termasuk hal-hal seperti: Gula darah Darah Lengkap, masa perdarahan, masa pembekuan
Tekanan darah Elektrokardiografi Riwayat alergi obat Tekanan bola mata Uji Anel Sebelum dilakukan operasi harus diketahui fungsi retina, khususnya makula, diperiksa dengan alat retinometri Jika akan melakukan penanaman lensa maka lensa diukur kekuatannya ( dioptri ) dengan alat biometri Keratometri mengukur kelengkungan kornea untuk bersama ultrasonografi dapat menentukan kekuatan lensa yang akan ditanam F. ANESTESI PADA PEMBEDAHAN MATA Anestesi untuk bedah mata memberikan tantangan dan persyaratan anestetik yang unik. Pasien-pasien yang mengalami bedah mata biasanya sudah cukup tua (degenerasi makular merupakan penyebab utama kebutaan pada orang-orang >65 tahun) dan menunjukkan penyakit-penyakit medis yang menyertai. Kalaupun penderita bedah mata bukan orang tua, biasanya terjadi karena kelainan kongenital, infeksi, ataupun trauma. Anestesi pada pembedahan mata terlihat seperti hal yang sepele, akan tetapi sebenarnya banyak hal yang harus diperhatikan pada anestesi pada pembedahan mata. Pemberian injeksi intravena succinylcholine (SCh) secara sementara meningkatkan IOP sekitar 8 mm Hg dan kembali kepada nilai awal setelah 5 hingga 7 menit. Dan juga pemberian etomidat dapat menimbulkan myocolonus apabila bola mata terbuka. Sedangkan hal yang ditakutkan pada pembedahan mata adalah refleks okulokardiak. Oculo Cardiac Reflex (OCR) merupakan respon reflex TrigeminalVagal dengan manifestasi seperti aritmia jantung (spt bradikardi, ventrikular ectopy
sampai sinus arrest atau ventrikel fibrilasi) & hypotensi yg disebabkan traksi otot extra ocular atau tekanan/manipulasi pd bola mata. 10
Jalur Reflex Afferent : Long & short Ciliary Nerve Ciliary Ganglion lewat opthalmic devision N.Trigeminus menuju ke Gasserian Ganglion trigeminal sensory nucleus in the floor of fourthventricle Nucleus N.Vagus (mid brain) 10 Efferent : Lewat N.Vagus SA Node10 Pemantauan elektrokardiogram cukup bermanfaat untuk pengenalan dini refleks ini. Atropin yang diberikan secara intravena dalam 30 menit bedah dianggap mempengaruhi berkurangnya kejadian refleks. Atropin yang diberikan seecara intramuskular untuk pengobatan praoperatif tidak efektif untuk mencegah refleks ini. Atropine I.V unt mencegah OCR masih kontroversial. Atropine dapat menyebabkan bigeminy dan pe ectopic beats, tu. Bila menggunakan Halothane. Aritmia ini lebih persisten dibandingkan OCR. Perlu diingat bahwa pemberian anticholinergik dpt beresiko pd pasien lansia, dimana sering sdh terdapat penyakit arteri koroner dlm berbagai derajat. Retrobulber blokade atau Anesthesi Inhalasi yg dalam mungkin berguna, namun prosedur ini juga mempunyai resiko tersendiri. Retrobulber blokade unit profilaksis rutin masih kontroversi.10 Managemen OCR Segera menghentikan stimulasi bedah sampai HR meningkat Ventilasi & oksigenasi yang adekuat
Bila aritmia menetap Atropine I.V 10 g/ kg Bila aritmia masih menetap infiltrasi m.rectus dengan anesthesi lokal. Reflex ini sebenarnya pada akhirnya akan lelah & hilang dengan sendirinya pada traksi berulang pada otot extra ocular. 10 Untuk pembagian obat-obatan anestesi pada pembedahan mata, antara lain:9
Echothiophate adalah sebuah anticholinesterase miotik yang beraksi lama dan dapat mengurangi IOP serta memperpanjang durasi aksi SCh. Siklopentolat adalah sebuah midriatik dan dapat menghasilkan toksisitas sistem saraf pusat. Fenilefrin adalah kardiovaskular. Acetazolamid jika diberikan secara kronis untuk mengurangi IOP bisa terkait dengan pelepasan ion biakrbonat dan kalium ginjal. Timolol dapat mengurangi IOP, tetapi serapan sistemik bisa meyebabkan depresi jantug dan meningkatnya resistensi saluran udara. Sulfur heksafluorida (SF6) diinjeksikan ke dalam vitreous untuk memfasilitas perlekatan ulang ginjal secara mekanis. Nitrogen oksida (N2O) harus dihindari selama 10 hari setelah injeksi SF6 secara intravitreous. Kebanyakan prosedur ophthalmik pada dewasa bisa dilakukan baik dengan sebuah midriatik yang dapat menghasilkan efek-efek
anestesi lokal maupun anestesi umum. Data belum mampu menunjukkan perbedaan komplikasi antara anestesi lokal dan umum untuk bedah katarak. Blok retrobulbar dan peribulbar. Blok retrobulbar bisa terkait dengan komplikasi signifikan, dengan menekankan bahwa anestesi lokal tidak harus melibatkan sedikit kesalahan dibandnig anestesi umum. Akinesia kelopak mata terjadi dengan menghambat cabang-cabang saraf fasial yang menyuplai otot-otot orbikulars.4 Analgesia topikal bisa dicapai dengan tetesan atau gel anestesi lokal. Pilihan anestesi lokal, obat penghambat, dan pembantu. Anestesi untuk bedah okular dipilih berdasarkan onset dan durasi yang diperlukan. Agen-agen osmotik (mannitol, gliserin, karboniat anhidrase) bisa diberikan secara intravenous untuk mengurangi volume vitreous dan IOP.9 Kemudian terdapat beberapa penatalaksanaan anestesi pada situasi khusus saat pembedahan mata. Hal tersebut antara lain:9
Open Eye-Full Stomach. Anestesiologis harus menyeimbangkan risiko aspirasi terhdap risiko kebutaan pada sebuah mata yang cidera yang bisa dihasilkan dari peningkatan IOP secara akut dan dekstrusi kandungan okular.
Induksi anestesi menggunakan propofol atau thiopetal plus dosis tinggi dari sebuah relaksan otot nondepolaarisasi. Kelebihan relaksan otot nondepolarisasi bisa diimbangi dengan onset tertunda dan durasi aksi yang lama untuk operasi singkat. Tanpa mempertimbangkan relakasan otot yang dipilih, setiap upaya dini untuk inbutasi trakeal bisa menyebabkan batuk, ketegangan, dan peningkatan IOP yang berbahaya, dengan menekankan nilai potensial dari pengkonfirmasian onset efek obat dengan sebuah stimulator saraf perifer.
Membangkitkan intubasi dari trakea bukan pendekatan yang baik karena setiap reaksi oleh pasien bisa meningkatkan IOP. Kejadian nausea dan muntah-muntah postoperatif bisa dikurangi dengan menggunakan sebuah teknik anestetik intravena dengan propofol. Hindari opioid (ketorolac 750 g/kg secara intravena sebagai sebuah alternatif), dan pemberian antiemetik profilaksis (droperidol 20 g/kg secara intravena, metoklopramida 250 g/kg secara intravena, atau ondansetron 150 g/kg secara intravena) langsung setelah induksi anestesi.
Epinefrin 1:200.000 bisa diinfuskan ke dalam bilik anterior mata menghasilkan midriasis. Temponade internal dari retinal break bisa dicapai dengan menginjeksikan gas SF6 yang bisa berekspansi ke dalam vitreous. Karena perbedaan koefisien partisi darah/gas, pemberian N2O secara bersamaan dapat meningkatkan efek temponade internal dari SF6 secara intraoperatif, sehingga menyebabkan peningkatan IOP dan interferensi dengan sirkulasi retinal. Untuk alasan inilah, N2O kemungkinan harus dihentikan selama sekurang-kurangnya 15 menit sebelum injeksi SF6, dan demikian juga N2O mungkin tidak boleh diberikan selama 10 hari setelah injeksi.
Pengurangan IOP seringkali dapat dicapai dengan pemberian acetazolamida atau manitol secara intravena. Akinesia tidak penting, dan anestesi hirup tidak harus dicapai secara itnraoperatif dengan relaksan otot nondepolarisasi.
G. ANESTESI UMUM Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani: an-"tidak, tanpa" dan aesthtos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes, Sr pada tahun 1846.4 Obat untuk menghilangkan nyeri terbagi ke dalam 2 kelompok, yaitu analgetik dan anestesi. Analgetik adalah obat pereda nyeri tanpa disertai hilangnya perasaan secara total. Seseorang yang mengkonsumsi analgetik tetap berada dalam keadaan sadar. Analgetik tidak selalu menghilangkan seluruh rasa nyeri, tetapi selalu meringankan rasa nyeri. Beberapa jenis anestesi menyebabkan hilangnya kesadaran, sedangkan jenis yang lainnya hanya menghilangkan nyeri dari bagian tubuh tertentu dan pemakainya tetap sadar.4 Terdapat beberapa tipe anestesi yang digunakan di dunia kedokteran ini. Di Indonesia pun jenis-jenis anestesi yang sering digunakan antara lain:4 Pembiusan total hilangnya kesadaran total Pembiusan lokal hilangnya rasa pada daerah tertentu yang diinginkan (pada sebagian kecil daerah tubuh). Pembiusan regional hilangnya rasa pada bagian yang lebih luas dari tubuh oleh blokade selektif pada jaringan spinal atau saraf yang berhubungan dengannya Pemilihan teknik anestesi adalah suatu hal yang kompleks, memerlukan kesepakatan dan pengetahuan yang dalam baik antara pasien dan faktor-faktor pembedahan. Dalam beberapa kelompok populasi pasien, pembiusan regional ternyata lebih baik daripada pembiusan total. Blokade neuraksial bisa mengurangi resiko trombosis vena, emboli paru, transfusi, pneumonia, tekanan pernafasan, infark miokardial dan kegagalan ginjal.4 Akan tetapi pada kasus pembedahan khusus yang tidak tahu berapa lama pembedahan akan berlangsung, dapat dipilih jenis anestesi umum. Selain dari itu, pada pasien yang memiliki rasa kecemasan yang cukup besar dapat juga dipilih
anestesi umum, agar pasien tersebut tetap tenang dan tidak berontak saat dilakukan pembedahan.5 Kebutuhan dan cara kerja anestesi beranekaragam. Anestesi juga memiliki cara penggunaan yang berbeda sesuai kebutuhannya. Tak hanya cara disuntikkan saja, tetapi juga dihirup melalui alat bantu nafas. Beberapa cara penggunaan anestesi ini di antaranya:5 Melalui Pernafasan (Inhalasi) Beberapa obat anestesi berupa gas seperti isoflurane dan nitrous oxide, dapat dimasukkan melalui pernafasan atau secara inhalasi. Gas-gas ini mempengaruhi kerja susunan saraf pusat di otak, otot jantung, serta paru-paru sehingga bersamasama menciptakan kondisi tak sadar pada pasien. Penggunaan bius jenis inhalasi ini lebih ditujukan untuk pasien operasi besar yang belum diketahui berapa lama tindakan operasi diperlukan. Sehingga, perlu dipastikan pasien tetap dalam kondisi tak sadar selama operasi dilakukan. Injeksi Intravena Sedangkan obat ketamine, thiopetal, opioids (fentanyl, sufentanil) dan propofol adalah obat-obatan yang biasanya dimasukkan ke aliran vena. Obat-obatan ini menimbulkan efek menghilangkan nyeri, mematikan rasa secara menyeluruh, dan membuat depresi pernafasan sehingga membuat pasien tak sadarkan diri. Masa bekerjanya cukup lama dan akan ditambahkan bila ternyata lamanya operasi perlu ditambah. Injeksi Pada Spinal/ Epidural Obat-obatan jenis iodocaine dan bupivacaine yang sifatnya lokal dapat diinjeksikan dalam ruang spinal (rongga tulang belakang) maupun epidural untuk menghasilkan efek mati rasa pada paruh tubuh tertentu. Misalnya, dari pusat ke bawah. Beda dari injeksi epidural dan spinal adalah pada teknik injeksi. Pada epidural, injeksi dapat dipertahankan dengan meninggalkan selang kecil untuk menambah obat anestesi jika diperlukan perpanjangan waktu tindakan. Sedang pada spinal membutuhkan jarum lebih panjang dan hanya bisa dilakukan dalam sekali injeksi untuk sekitar 2 jam ke depan. H. PERSIAPAN PRE ANESTESI & PRE OPERASI 1. Anamnesis & Pemeriksaan Fisik
Untuk menjaga kebugaran penderita yang akan dioperasi haruslah dilakukan anamnesis dan pemerikasaan terlebih dahulu. Anamnesis tersebut mencakup antara lain riwayat tentang apakah penderita pernah mendapat anestesi sebelumnya. Hal ini menjadi hal yang penting karena untuk mengetahui apakah penderita mengalami alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau sesak nafas pasca bedah. Selain hal yang berhubungan dengan riwayat anestesi dan riwayat bedah sebelumnya, anamnesis juga diperlukan untuk mengetahui apakah penderita memiliki riwayat penyakit sistemik lain seperti Diabetes Melitus atau Hipertensi. Karena penderita dengan penyakit tersebut harus mendapatkan perhatian khusus. Pemeriksaan fisik yang penting untuk diperhatikan adalah keadaan gigigeligi, keadaan lingkungan mulut, dan tindakan buka mulut. Hal-hal tersebut sangatlah penting karena untuk memprediksi apakah tindakan laringoskopi akan mengalami kesulitan atau tidak. 2. Pemeriksaan Laboratorium Rekomendasi pada persiapan pemeriksaan laboratorium sebelum operasi antara lain: Pemeriksaan darah tepi lengkap rutin (Hb, Ht, leukosit, hitung jenis, trombosit) , pemeriksaan darah tepi dilakukan atas indikasi, yaitu pasien yang diperkirakan menderita anemia defisiensi, pasien dengan penyakit jantung, ginjal, saluran napas atau infeksi.6 Keuntungan pemeriksaan darah tepi lengkap adalah dapat mendeteksi leukopenia atau leukositosis yang menunjukkan adanya infeksi atau yang lebih jarang lagi adalah keganasan darah.6 3. Puasa pre operasi Pengosongan lambung sebelum anestesi penting untuk mencegah aspirasi isi lambung karena regurtasi dan muntah. Pada pembedahan elektif, pengosongan lambung dilakukan dengan puasa. Pada pembedahan daruat pengosngan lambung dapat dilakukan lebih aktif dengan cara merangsang muntah, memasang pipa nasogastrik atau memberi obat yang merangsang muntah seperti apomorphin,dll. Cara-cara ini tidak menyenangkan untuk pasien sehingga jarang sekali dilakukan. Cara lain yang dapat ditempuh adalah menetralkan asam lambung dengan antasida (magnesium trisilikat) atau antagonis reseptor H2 (simetidin dan ranitidin). 4. Premedikasi
Adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum anastesi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan, dan bangun dari anastesi. Tujuan premedikasi adalah:7 Meredakan kecemasan dan ketakutan Memperlancar induksi Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus Mengurangi mual-muntah pasca operasi Menciptakan amnesia Menguras isi lambung Lalu, obat-obatan yang biasa digunakan untuk premedikasi antara lain:7 5. Diazepam 0.05-2 mg/kgbb/x iv Ondancentron 2-4 mg/kgbb/x iv Sulfas atropin 0,03-0,06 mg/kg/iv Pethidin 1 mg/kgbb/x iv Metoclopramide Midazolam 0.5 mg/kgbb/iV Induksi Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar sehingga memungkinkan dimulainya anastesi dan pembedahan. Induksi anastesi dapat dikerjakan dengan cara intravena, inhalasi, intramuskular, intra rectal. Setelah diberikan induksi dilanjutkan dengan pemeliharaan anastesi sampai tindakan pembedahan selesai. Selama induksi anastesi tanda-tanda vital pasien harus diperhatikan. Obat-obatan yang biasa digunakan pada induksi adalah Pentothal 3-7mg/kgbb/x Ketamin 1-2 mg/kgbb/x Propofol 2-3 mg/kgbb/x
Induksi inhalasi juga dapat digunakan,dimulai dengan 02 4 liter/mt atau campuran N2O dan O2 = 3:1 4 liter/mt gas yang biasa digunakan adalah Halotan 0.5% Isofluran Sevofluran Enfluran
Pada jenis anestesi umum, salah satu induksi anestesi yang digunakan adalah dengan cara inhalasi. Cara induksi ini dikerjakan pada bayi atau anak yang belum terpasang jalur vena atau pada dewasa yang takut disuntik. Selain itu, ada beberapa hal mengapa induksi ini digunakan, yaitu antara lain apabila lama operasi tidak dapat diprediksi. Pada induksi anestesi ini, obat anestesi dihirup bersama udara pernapasan ke dalam paru-paru, masuk ke dalam darah dan sampai di jarigan otak mengakibatkan narkose.5 Cara pemberian induksi anestesi ini dapat dengan cara:6 Open drop; penderita menghirup masker atau kain kasa yang ditetesi dengan obat anestesi. Semi closed; penderita menghirup obat anestesi dari suatu alat (EMO, LOOSCO, dsb.) Closed system; dengan suatu alat, obat anestesi dikeluarkan yang oleh penderita dapat dihirup kembali. Sehingga cara ini menghemat obat anestesi. Intubasi trakea adalah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea melalui rima glotis, sehingga ujung distal berada kira-kira di pertengahan trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea. Indikasi dari intubasi trakea adalah:5 Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi
Sebelum melakukan intubasi sesudah pasien diberikan sedatif, atau pada saat pasien tidur dalam namun diberiikan juga muscle relaxan. Ukuran diameter endotracheal tube disesuaikan dengan umur pasien untuk mencegah trauma, dan sesuai dengan ukuran laring Alat-alat yang dipakai harus memenuhi syarat-syarat, antara lain:6 Tahanan terhadap pernapasan harus seminimal mungkin Dead space mekanik seminimal mungkin Pengeluaran CO2 harus efisien Mudah untuk melakukan assisted atau respirasi terkendali
J. PENGAWASAN SELAMA DAN SETELAH PEMBEDAHAN Pengawasan selama operasi merupakan hal yang bertujuan untuk meniadakan atau mengurangi efek samping dari obat atau tindakan anestesi. Selain itu, dengan
melakukan pengawasan yang legalartis juga memiliki tujuan untuk memperoleh informasi mengenai fungsi organ selama anestesi berlangsung. Pengawasan yang lengkap dan baik meningkatkan mutu pelayanan terhadap penderita, akan tetapi tidak menjamin tidak akan terjadi sesuatu. Perlengkapan dalam pengawasan minimal yaitu meliputi stetoskop, manset tekanan darah, EKG, oksimeter, dan termometer. Sedangkan hal-hal minimal yang harus diawasi antara lain meliputi: a) Tekanan Darah b) Nadi c) Jantung d) Keadaan cairan e) Suhu tubuh Pulih dari anestesi umum secara rutin dikelola di kamar pulih atau unit perawatan pasca anestesi (Recovery Room). Idealnya bangun dari anestesi secara bertahap, tanpa keluhan, dan mulus. Unit Perawatan Pasca Anestesi harus berada dalam satu lantai dan dekat kamar bedah, apabila kalau timbul kgawatan dan perlu segera segera diadakan pembedahan ulang tidak akan banyak mengalmi banyak hambatan. Selain itu, karena segera setelah pembedahan dan anestesi dihentikan, penderita sebenarnya masih dalam keadaan anestesi dan perlu pengawasan ketat.5 Pada pengawasan pasca operasi sebenarnya memiliki prinsip-prinsip: Mencegah kekurangan oksigen Memberikan antidotum, apabila ada kemungkinan masih adanya pengaruh Pipa endotrakea masih terpasang apabila dinilai pernapasan masih belum Posisi penderita harus diperhatikan misalnya penderita dimiringkan untuk Perdarahan selama operasi haru segera diganti terutama apabila perdarahan Usahakan menjaga temperatur penderita
obat-obat relaksasi otot cukup baik mencegah terjadinya sumbatan oleh lidah atau muntahan melebihi 10%
BAB II LAPORAN KASUS A. IDENTITAS Nama No CM Umur Jenis kelamin BB Agama Alamat Tanggal masuk B. ANAMNESIS Riwayat penyakit 1. Keluhan utama 2. Keluhan tambahan 3. Riwayat penyakit sekarang : Pandangan mata sebelah kiri rabun :: : Tn. Yasawireja : 048888 : 80 tahun : Laki laki : 65 kilogram : Islam : Grendeng Rt 03/02 : 05 Oktober 2010
Pasien datang ke poliklinik Mata RSMS dengan keluhan mata kabur seperti berasap pada mata kirinya. Matanya tidak terasa nyeri dan merah. Karena pasien mengira bahwa minus matanya bertambah, maka pasien pergi ke optic untuk memperbaiki kacamatanya, tetapi hal ternyata tidak ada perubahan sama sekali pada penglihatannya. Karena tidak ada perubahan maka pasien berobat ke poliklinik mata RSMS. 4. Riwayat penyakit dahulu - Riwayat penyakit jantung disangkal - Riwayat penyakit asma disangkal - Riwayat penyakit alergi obat disangkal - Riwayat operasi dan pembiusan diakui (Operasi Katarak Mata kanan 1 tahun yang Lalu. C. PEMERIKSAAN FISIK 1. Status Generalis
: Sedang : Compos Mentis; GCS: E4 M6 V5 : TD 140/80 mmhg Nadi 76 x/menit, Reguler, Tegangan & Isi cukup RR 20 x/menit Suhu 36, 5 C
2. Pemeriksaan kepala Mata : Conjungtiva hiperemis -/-, Robekan pada kornea sklera -/VOD : 0,5 / 60 VOS : 1/4/ 60 Telinga Mulut 3. Pemeriksaan leher Tiroid 4. Pemeriksaan dada Paru Jantung Dinding dada 5. Pemeriksaan abdomen Dinding perut Hepar/lien Usus 6. Pemeriksaan punggung Columna vertebra Ginjal : Tidak Ada Kelainan : Tidak Ada Kelainan : Supel, datar : Tidak teraba : Bising usus ( + ) Normal : SD.vesikuler , wheezing -/- , rhonki -/: S1>S2.reguler , murmur ( - ) , gallop ( - ) : simetris , destruksi ( - ) : Tidak Ada Kelainan : NCH ( - ), discharge ( - ) : sianosis ( - )
Darah lengkap Hb Lekosit Hematokrit Eritrosit Trombosit LED SGOT SGPT GDS : 14,4 gr/dl : 7650 /l : 42 % : 4,7 : 283000 / mm : 28 mm/jam : 15 U/L : 21 U/L : 102 uI/L
E. KESIMPULAN KONSUL ANESTESI - Status fisik ASA II - Acc. Operasi F. LAPORAN ANESTESI PASIEN a) Diagnosis pra-bedah b) Diagnosis post-bedah c) Jenis pembedahan Jenis anestesi Premedikasi anestesi Induksi Relaksasi Pemeliharaan anestesi Teknik anestesi : OS katarak : OS katarak : OS EKEK IOL : General Anestesi : Ondansentron : Recofol 100 mg : Rocuronium ( roculax ) 30mg : O2, N2O, Isoflurane : Inhalasi, semi closed
Induksi iv dengan Recofol 100 mg bolus intravena Intubasi dengan ET no. 7,5 Maintenance dengan O2, N2O, Isoflurane : Kendali : Terlentang : RL : ASA II : 10.05 WIB : 10.15 WIB
Operasi Selesai Berat Badan Lama Operasi Pasien puasa Input durante operasi Output durante operasi Perdarahan: o Kasa: 10 cc
= 500cc
Tekanan darah dan frekuensi nadi Pukul (WIB) 10.00 10.15 10.30 10.45 Tekanan Darah (mmHg) 160/80 140/80 1130/80 120/80 Nadi (kali/ menit) 80 55 60 60
G. PENATALAKSANAAN PASCA PEMBEDAHAN Perawatan bangsal Seruni Masuk Tanggal Airway Breathing Circulation Disability Kesadaran Tanda Vital Keseimbangan cairan Prognosis : Dubia ad Bonam H. PEMANTAUAN ANESTESI Terlampir : 05 Oktober 2010 : Clear, MP I : Spontan, SD vesikuler Rh -/- , Wh -/: S1 > S2; Reguler, murmur ( - ), gallop ( - ) : GCS : E4 M6 V5
BAB III PEMBAHASAN Sebelum dilakukan operasi, kondisi penderita tersebut termasuk dalam ASA II karena penderita berusia 80 tahun dan kondisi pasien tersebut sehat organik, fisiologik, psikiatrik, dan biokimia. Rencana jenis anestesi yang akan dilakukan yaitu anestesi umum. Ondansetron 4 mg/2 ml diberikan sebagai premedikasi. Ondansetron merupakan suatu antagonis reseptor serotonin 5-HT3 selektif yang diindikasikan sebagai pencegahan dan pengobatan mual dan muntah pasca bedah. Pelepasan 5HT3 ke dalam usus dapat merangsang refleks muntah dengan mengaktifkan serabut aferen vagal lewat reseptornya. Ondansetron diberikan pada pasien ini untuk mencegah mual dan muntah yang bisa menyebabkan aspirasi. Propofol dengan dosis 2-3 mg/kg BB diberikan secara bolus intravena sebagai induksi. Propofol dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat isotonik dengan kepekatan 1%. Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik sebelumnya sebaiknya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg secara intravena. Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kgBB, dosis rumatan untuk anstesi intravena total adalah 4-12 mg/kgBB/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0,2 mg/kgBB. Pengenceran propofol hanya boleh dengan dekstrosa 5%. Pasien diintubasi dengan laringoskop tipe macintosh (bilah bengkok), paling sering digunakan untuk intubasi karena kurang traumatis, lapangan pandangnya luas, dan kemungkinan timbul refleks vagal berkurang bila dibandingkan dengan laringoskop tipe magill (lurus), kemudian dimasukan pipa endotracheal berukuran 7,5. Pada pasien ini diberikan Rocuronium dengan dosis 30mg (0.6mg/kg/iv) sebagai pelumpuh ototnya. Recuronium merupakan pelumpuh otot jenis non depolarisasi termasuk golongan steroid. Pelumpuh otot non depolarisasi bekaitan dengan reseptor nikotinikkolinergik, tetapi tidak menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi asetil-kolin menempatinya, sehingga asetil-kolin tidak dapat bekerja. Untuk pemeliharaan anestesi diberikan dengan cara inhalasi. Zat anestesi yang digunakan adalah N2O, O2, Isoflurane. N2O merupakan zat anestesi yang lemah, efek analgetik kuat dan hipnotiknya lemah. Pemberian N2O biasanya bersamaan dengan O2
bertujuan untuk mencegah terjadinya hipoksia. Selain itu N2O bersifat mendesak oksigen di dalam tubuh yang sebagian besar N2O masuk ke dalam alveoli yang akan menyebabkan terjadinya hipoksia. Tindakan yang dilakukan untuk mencegah hipoksia difusi adalah dengan cara memberi O2 tinggi selama beberapa menit setelah selesai anestesi. Selain itu pemeliharaan anestesi dengan cara inhalasi dikombinasikan dengan Isoflurane. Isoflurane merupakan halogenasi eter pada dosis anestetik atau subanestetik menurunkan laju metabolisme otak terhadap oksigen, tetapi meninggikan aliran darah otak dan tekanan intrakranial. Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga digemari untuk anestesia teknik hipotensi dan banyak digunakan pada penderita dengan gangguan koroner. Dosis pelumpuh otot dapat dikurangi sampai 1/3 dosis biasa apabila menggunakan isoflurane. Analgetika yang diberikan untuk mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri tanpa mempengaruhi susunan saraf pusat atau menurunkan kesadaran juga tidak menimbulkan ketagihan. Obat yang digunakan ketorolac, merupakan anti inflamasi non steroid (AINS) bekerja pada jalur oksigenasi menghambat biosintesis prostaglandin dengan analgesic yang kuat secara perifer atau sentral. Juga memiliki efek anti inflamasi dan antipiretik. Ketorolac dapat mengatasi rasa nyeri ringan sampai berat pada kasus emergensi seperti pada pasien ini. Mula kerja efek analgesia ketorolac mungkin sedikit lebih lambat namun lama kerjanya lebih panjang dibanding opioid. Efek analgesianya akan mulai terasa dalam pemberian IV/IM, lama efek analgesic adalah 4-6 jam. Pasca operasi, penderita dibawa ke ruang pulih untuk diawasi secara lengkap dan baik. Hingga kondisi penderita stabil dan tidak terdapat kendala-kendala yang berarti, penderita kemudian dibawa ke bangsal Seruni untuk dirawat dengan lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA