Anda di halaman 1dari 29

PEMBAHASAN ANALISIS HASIL ANAMNESIS

A. IDENTITAS PASIEN Nama Umur Jenis Kelamin Agama Pendidikan Pekerjaan Alamat An. Y 3 Tahun Perempuan Islam Belum Sekolah Jalan Kaliurang Km 14,5

Analisis Identitas pasien selain untuk data dalam rekam medik juga dapat memberikan informasi untuk mencari faktor risiko yang berhubungan dengan penyakit pasien. Hasil dari analasis pada bagian anamnesis terhadap pasien adalah sebagai berikut: Nama Pada anamnesis nama penting ditanyakan untuk menghargai pasien saat melakukan anamnesis. Nama juga dapat menunjukkan asal daerah maupun suku bangsa pasien. Selain itu, nama dipakai pada saat membuat medical record agar memudahkan dokter untuk mencari riwayat penyakit sebelumnya pada saat konsultasi berikutnya. Umur Umur ditanyakan untuk mengetahui faktor risiko yang dimiliki oleh pasien. Banyak penyakit yang hanya dapat mengenai penderita pada umur-umur

tertentu. Biasanya digolongkan dalam anak-anak, dewasa dan orang tua. Dari data anamnesis, didapatkan bahwa umur pasien adalah 3 tahun. Dari data tersebut dan juga dari hasil diagnosis banding yang dilakukan yaitu keluhan kejang pada kasus ini mengarah ke status epileptikus, meningitis dan gangguan metabolik. Jenis Kelamin Jenis kelamin dapat membantu mengetahui faktor risiko yang dimiliki pada beberapa penyakit yang terjadi pada pasien. Agama Agama yang erat kaitannya dengan kebiasaan dan kebudayaan masyarakat, nantinya dapat berhubungan dengan suatu penyakit tertentu. Sebagai contoh, terdapat mikroorganisme tertentu yang hidup di babi dan sapi yang dapat menjadi patologis bila berada di tubuh manusia. Kebudayaan umat muslim, mereka tidak mengkonsumsi daging babi, dan kebudayaan umat hindu di Bali, tidak mengkonsumsi daging sapi. Sehingga, dapat terhindar terkena penyakit-penyakit tertentu. Selain itu, agama ditanyakan untuk memudahkan dokter memberikan nasehat dalam perawatan pasien dan memudahkan untuk mengatur menu makan pasien. Pendidikan Pendidikan sangat erat kaitannya dengan komunikasi kepada pasien saat melakukan anamnesis. Komunikasi antara dokter dan pasien seharusnya dilakukan menggunakan bahasa yang pasien mengerti. Komunikasi ini bertujuan untuk menggali informasi, menyampaikan temuan klinis dan edukasi kepada pasien. Ada sebagian penyakit yang berhubungan dengan tingkat pendidikan pasien. Dalam kasus ini kemungkinan pasien yang berumur 3 tahun belum sekolah. Pekerjaan Dari pekerjaan dapat diketahui etiologi atau penyebab timbulnya beberapa penyakit yang berhubungan dengan suatu jenis pekerjaan tertentu, dan juga dapat

mengetahui faktor risiko yang dapat mencetuskan keluhan yang dirasakan oleh pasien. Pasien masih berumur 3 tahun belum bekerja. Alamat Dalam anamnesis, dokter dapat mengetahui dan memperkirakan penyakit apa saja yang insidensinya lebih tinggi pada daerah tertentu melalui alamat pasien. Alamat juga dapat menunjukkan kondisi tempat tinggal pasien secara kasar (perkotaan atau pedesaan).

B. ANAMNESIS I. Keluhan Utama Kejang Mendadak

Analisis : Keluhan yang dialami pasien ialah kejang mendadak. Kejang dapat disertai dengan demam ataupun tanpa demam. Namun, harus dipastikan terlebih dahulu yang dialami anak ialah kejang atau menyerupai kejang. Menurut Smith dalam Kania (2007), terdapat perbedaan antara kejang dan serangan yang menyerupai kejang, yaitu :

Tabel.1 Perbedaan kejang dan serangan yang menyerupai kejang Keadaan Kejang Menyerupai Kejang Onset Lama Serangan Kesadaran Sianosis Gerakan Ekstremitas Stereotipik serangan Tiba-tiba Detik/menit Sering Terganggu Sering Sinkron Selalu Mungkin Gradual Beberapa menit Jarang terganggu Jarang Asinkron Jarang

Lidah tergigit atau luka lain Gerakan abnormal bola mata Fleksi pasif ekstremitas Dapat diprovokasi Tahanan terhadap gerakan pasif Bingung pasca serangan Iktal EEG abnormal Pasca iktal EEG abnormal

Sering Selalu Gerakan tetap ada Jarang Jarang Hampir selalu Selalu Selalu

Sangat jarsng Jarang Gerakan hilang Hampir selalu Selalu Tidak pernah Hampir tidak pernah Jarang

Sumber : Smith dkk (1998) dalam Kania (2007)

Dapat ditanyakan lebih lanjut tentang tipe kejangnya untuk dapat membedakannya dari kejang dengan demam maupun yang tanpa demam melalui anamnesis lebih lanjut. Kejang merupakan suatu manifestasi klinis yang sering dijumpau di ruang gawat darurat. Hampir 5% anak berumur < 16 tahun setidaknya pernah mengalami kejang yang merupakan suatu tanda adanya gangguan neurologis (keadaan gawat darurat). Kejang mungkin sederhana, dapat berhenti sendiri dan sedikit memerlukan pengobatan lanjutan, atau merupakan awal dari penyakit berat, atau cenderung menjadi status epileptikus.

II. RPS & Anamnesis Sistem Riwayat Penyakit Sekarang An. Y dibawa ke UGD RS dengan keluhan mendadak kejang sejak 2 jam yang lalu. Pertama kali, kejang muncul tiba-tiba tanpa diawali demam terlebih dahulu. Sampai saat masuk RS pasien telah kejang 4x dengan lama 10 15 menit tiap kejangnya. Saat kejang, rahang, tangan, kaki, perut, leher pasien kaku dan bergerak-gerak tak teratur. Mata tertutup. Lidah pasien tergigit sehingga berdarah. Mulut tidak berbuih dan tidak muntah. Di antara kejang pasien tidak sadarkan diri dan badan lemas. Sebelumnya saat kejang pertama pasien langsung dibawa ke dokter praktek dekat rumah dan

diberikan obat melalui dubur. Akan tetapi karena pasien mengalami kejang kembali kemudian langsung dirujuk ke RS. Selama di UGD RS, pasien masih kejang berulang dan pasien tetap belum sadar penuh.

Analisis : Keluhan yang dialami pasien ialah kejang mendadak sejak 2 jam yang lalu dan tanpa diawali dengan demam dan sudah kejang 4x dengan lama 10 15 menit tiap kejangnya. Dari tabel.1 di atas dapat kita simpulkan bahwa yang dialami pasien ialah kejang bukan serangan yang menyerupai kejang. Kita ketahui bahwa kejang (konvulsion) adalah perubahan fungsi otak mendadak dan sementara sebagai akibat dari aktivitas neural yang abnormal dan pelepasan listrik serebral yang berlebihan. Berlangsung secara intermiten dapat berupa gangguan kesadaran, tingkah laku, emosi, motorik, sensorik, dan atau otonom. Pada umumnya kejang dideskripsikan sebagai suatu serangan tonik klonik

(konvulsivus), walaupun sebagian kasus ada juga bentuk serangan seperti tonik, klonik, atau mioklonik yang merupakan klasifikasi dari kejang. Dapat diruntutkan kembali pada pasien tidak terjadi demam pada saat kejang. Dimana kejang yang disertai demam mengarah pada diagnosis infeksi (meningitis dan encefalitis), trauma kepala, tumor dan perdarahan, gangguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia, dan hipoksemia), ataupun gagal ginjal. Maka diagnosis tidak mengarah pada kejang demam, melainkan pada kejang tanpa demam yang kemungkinan bisa mengarah kepada diagnosis status epileptikus yang merupakan keadaan kegawatdaruratan. Saat kejang, rahang, tangan, kaki, perut, leher pasien kaku dan bergerakgerak tak teratur. Mata tertutup. Lidah pasien tergigit sehingga berdarah. Mulut tidak berbuih dan tidak muntah. Manifestasi seperti kekakuan pada rahang, tangan, kaki, perut, leher dan gangguan kesadaran tersebut berasal dari mekanisme kejang yang terjadi pada pasien. Pada kejang dapat terjadi manifestasi

klinis khas yang berlangsung secara intermitten dapat berupa gangguan kesadaran, tingkah laku, emosi, motorik, sensorik, dan atau otonom yang disebabkan oleh lepasnya muatan listrik yang berlebihan di neuron otak. Dapat disimpulkan kekakuan, lidah tergigit, mata tertutup yang dialami pasien merupakan gangguan motorik akibat lepasnya muatan listrik yang berlebihan di neuron otak. Di antara kejang pasien tidak sadarkan diri dan badan lemas. Sebelumnya saat kejang pertama pasien langsung dibawa ke dokter praktek dekat rumah dan diberikan obat melalui dubur. Akan tetapi karena pasien mengalami kejang kembali kemudian langsung dirujuk ke RS. Selama di UGD RS, pasien masih kejang berulang dan pasien tetap belum sadar penuh. Pasien juga mengalami gangguan kesadaran yakni pada saat di antara kejang pasien tidak sadarkan diri. Selain itu, pasien juga mengalami kejang berulang walaupun sudah diberi obat yang lewat dubur (kemungkinan diazepam, golongan benzodiazepin). Bahkan sampai di RS pun masih tetap kejang. Penanganan Ini menandakan terjadinya kejang berulang pada pasien dan kejang diperkirakan terjadi lebih dari 15 menit. Pada kejang yang terjadi selama kurang dari 5 menit, sebagian besar biasanya akan berhenti sendiri. Namun, bila terjadi dalam 5 menit atau berulang, maka kemungkinan akan menjadi status epileptikjus. Kejang 15 menit berarti kejang lama. Kejang akan menjadi status epileptikus jika terjadi selama 30 menit. Dapat disimpulkan dari anamnesis riwayat penyakit sekarang pasien dicurigai mengalami status epileptikus, kemungkinan lainnya dapat terjadi epilepsi, dan kejang tonik-klonik.

Anamnesis Sistem Sistem Saraf Pusat : pusing (-), sakit kepala (-), demam (-)

Sistem Kardiovaskuler : berdebar-debar (-), sesak (+), sianosis (+) Sistem Respirasi Sistem Pencernaan : batuk lama (-), pilek (-) : mual (-), muntah (-), mencret (-), BAB (dbn)

Sistem Urogenital

: BAK (dbn)

Sistem Muskuloskeletal : nyeri sendi (-), nyeri otot (-), kaku ekstremitas (+) Sistem Integumentum : kesemutan (-)

Analisis : Kemungkinan positif yang terdapat pada anamnesis sistem ialah sesak, sianosis dan kaku ekstremitas. Sesak dan sianosis dapat terjadi karena pada kejang terdapat fase tonik berupa kontraksi otot menyeluruh. Diantara kontraksi otot menyeluruh tersebut ialah kontraksi tonik diafragma dan otot interkostal yang menyebabkan hambatan respirasi dan sianosis. Sedangkan kaku ekstremitas merupakan manifestasi dari lepasnya muatan listrik di neuron otak yang mengakibatkan gangguan motorik dan mempengaruhi fungsi muskuloskeletal (Soetomenggolo, 2000).

III. RPD, RPK, dan Riwayat Lainnya Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat kejang demam 1x saat usia 1,5 tahun Riwayat sakit kronis disangkal Riwayat luka maupun kepala terbentur disangkal Riwayat alergi obat dan makanan disangkal

Analisis : Dari data riwayat penyakit dahulu didapatkan riwayat kejang demam 1x saat usia 1,5 tahun yang dialami pasien. Dengan adanya riwayat kejang demam tersebut memungkinkan kejang yang dialami oleh pasien sekarang merupakan manifestasi kelanjutan dari riwayat kejang demam dahulu ketika pasien masih berusia 1,5 tahun. Disini kejang demam yang pernah terjadi pada pasien termasuk kejang demam sederhana. Menurut Livingstone :

Kejang demam sederhana terjadi pada anak berumur 6 bulan- 4 tahun.

Kejang berlangsung sebentar < 15 menit Kejang bersifat umum/ generalized (tonik-klonik) Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbul demam Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu setelah suhu normal tidak menunjukan kelainan

Frekuensi bangkitan kejang dalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali.

Sedangkan untuk riwayat sakit kronis, riwayat luka maupun benturan kepala/trauma kepala, serta riwayat alergi obat dan makanan disangkal. Hal ini memperkecil faktor risiko dari penyakit lainnya.

Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat penyakit serupa disangkal Riwayat kejang demam pada orang tua dan saudara kandung disangkal Riwayat epilepsi pada orang tua dan saudara kandung disangkal Riwayat kejang demam dan epilepsi pada anggota keluarga lainnya tidak diketahui

Analisis : Dari keluarga tidak ditemukan adanya riwayat penyakit serupa kejang demam maupun epilepsi. Namun, pada anggota keluarga lainnya tidak diketahui adanya riwayat kejang demam dan epilepsi. Perlunya mengetahui ada atau tidaknya riwayat penyakit keluarga sangat menentukan karena pada kasus seperti kejang dan epilepsi jika keluarganya ada yang mengalami keluhan serupa kemungkinan dapat terjadi penyakit tersebut karena dari genetiknya kemungkinan terdapat defek channelopathy.

Riwayat Kehamilan dan Kelahiran Gestasi Masa kehamilan Partus Penolong Berat Badan Panjang Badan : P1A0 : Aterm : Spontan : Dukun Beranak : Tidak diketahui : Tidak diketahui

Keadaan saat lahir : Tidak langsung menangis, sianosis (+) akibat lilitan tali pusat

Analisis : Data yang didapatkan dari riwayat kehamilan dan kelahiran pada riwayat kehamilan ibu merupakan primipara (wanita yang pernah 1 kali melahirkan bayi yang telah mencapai tahap mampu hidup). Pada saat kelahiran mengalami kesulitan karena bayi lahir terlilit tali pusat dan tidak langsung menangis serta sianosis (kebiruan). Hal ini menurut Raharjo (2007), merupakan faktor risiko terjadinya kejang ataupun epilepsi pada anak yang dilahirkan. Urutan persalinan dapat menyebabkan terjadinya epilepsi. Insiden epilepsi ditemukan lebih tinggi pada anak pertama. Hal ini kemungkinan besar disebabkan pada primipara lebih sering terjadi penyulit persalinan. Penyulit persalinan (partus lama, persalinan dengan alat, kelainan letak, terlilit tali pusat, dll) dapat terjadi juga pada kehamilan multipara (kehamilan dan melahirkan bayi hidup lebih dari 4 kali). Penyulit persalinan dapat menimbulkan cedera karena kompresi kepala yang dapat berakibat distorsi dan kompresi otak sehingga terjadi perdarahan atau udem otak. Keadaan ini dapat menimbulkan kerusakan otak, dengan epilepsi sebagai manifestasi klinisnya. Sianosis dapat terjadi karena bayi mengalami asfiksia pada saat dilahirkan. Trauma persalinan akan menimbulkan asfiksia perinatal atau perdarahan intrakranial. Penyebab yang paling banyak akibat gangguan prenatal dan proses

persalinan adalah asfiksia, yang akan menimbulkan lesi pada daerah hipokampus, dan selanjutnya menimbulkan fokus epileptogenik. Pada asfiksia perinatal akan terjadi hipoksia dan iskemia di jaringan otak. Keadaan ini dapat menimbulkan bangkitan epilepsi, baik pada stadium akut dengan frekuensi tergantung pada derajat beratnya asfiksia, usia janin dan lamanya asfiksia berlangsung. Hipoksia dan iskemia akan menyebabkan peninggian cairan dan Na intraseluler sehingga terjadi udem otak. Daerah yang sensitif terhadap hipoksia adalah inti-inti pada batang otak, talamus, dan kollikulus inferior, sedangkan terhadap iskemia adalah "watershead area" yaitu daerah parasagital hemisfer yang mendapat vaskularisasi paling sedikit. Hipoksia dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul epilepsi bila ada rangsangan yang memadai. Penelitian oleh Sidenvall R dkk di Swedia, menemukan bahwa asfiksia dengan Apgar score 6 merupakan faktor risiko epilepsi pada anak (Raharjo, 2007). Kelahiran yang ditolong oleh dukun beranak tidak bisa didapatkan nilai dari berat badan lahir dan panjang lahir sang anak. Padahal hal ini sangat penting untuk menilai faktor risiko yang terjadi pada sang anak sewaktu dilahirkan. Menurut Raharjo (2007), bayi dengan berat badan lahir rendah/BBLR (< 2500 gram) dapat menyebabkan asfiksia atau iskemia otak yang akhirnya akan membentuk fokus epilepsi. Selain itu, bayi dengan BBLR dapat mengalami gangguan metabolisme yaitu hipoglikemia dan hipokalsemia. Keadaan ini dapat menyebabkan kerusakan otak pada periode perinatal. Adanya kerusakan otak, dapat menyebabkan epilepsi pada perkembangan selanjutnya. Trauma kepala selama melahirkan pada bayi dengan BBLR < 2500 gram dapat terjadi perdarahan intrakranial yang mempunyai risiko tinggi untuk terjadi komplikasi neurologi.

Riwayat Pemberian Makanan 0 6 bulan 6 bulan 1 tahun : ASI : Bubur saring

1 tahun sekarang : Nasi biasa, 3x sehari sebanyak 1 piring dengan tempe, tahu, dan ikan Kesan : Kualitas dan kuantitas makanan kurang

Analisis : Pemberian ASI diberikan sampai anak berusia 6 bulan ini sudah mengikuti petunjuk atau saran yang baik untuk memeberikan ASI eksklusif karena untuk pemberian ASI yang baik memang harus diberikan selama 6 bulan penuh sebelum diberikan makanan tambahan kalau bisa dilanjutkan sampai usia 2 tahun. Dengan pemberian ASI ekslusif ini dapat membantu dan memberikan sistem imun kepada anak tersebut dibandingkan dengan anak yang tidak diberi ASI. Pada usia 6 bulan 1 tahun telah diberi bubur saring, pada usia 1 tahun sampai sekarang pemberian makan sudah biasa diberikan nasi biasa diberikan 3x sehari sebanyak 1 piring dengan tempe, tahu dan ikan. Walapun begitu kesan dalam kualitas dan kuantitas makanan kurang sehingga mempengaruhi status gizi anak tersebut. Pemberian makanan yang kurang bergizi dapat mengakibatkan anak mengalami gizi kurang atau gizi buruk. Menurut R Nur (2007), adapun beberapa faktor yang menyebabkan anak mengalami gizi buruk yaitu faktor langsung dan faktor tidak langsung. Faktor langsung yaitu makanan dan penyakit dapat secara langsung menyebabkan gizi kurang. Timbulnya gizi kurang tidak hanya dikarenakan asupan makanan yang kurang, tetapi juga penyakit. Anak yang mendapat cukup makanan tetapi sering menderita sakit, juga dapat menderita gizi kurang. Demikian juga pada anak yang tidak memperoleh cukup makanan yang bergizi, maka daya tahan tubuhnya akan melemah dan mudah terserang penyakit. Faktor tidak langsung yang pertama, ketahanan pangan keluarga yang kurang memadai. Setiap keluarga diharapkan mampu mencukupi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarganya dalam jumlah yang cukup dan gizi yang baik. Kedua, pola pengasuhan anak yang kurang memadai sehingga tumbuh

kembang baik fisik, mental maupun sosial anak akan mudah terganggu. Ketiga, pelayanan kesehatan dan lingkungan yang kurang memadai sehingga tidak dapat dijangkau oleh sebagian besar keluarga. Ketiganya erat kaitannya dengan faktor pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan keluarga. Makin tinggi tingkatannya makin baik hasilnya.

Riwayat Imunisasi Tidak diketahui

Analisis : Imunisasi sangat penting dan berguna untuk sistem kekebalan tubuh dan mencegah terjadinya penyakit tertentu. Jika anak tidak diberikan imunisasi secara lengkap risiko penyakit-penyakit tertentu bisa saja terjadi.

Riwayat Perkembangan Tidak diketahui

Analisis : Pentingnya mengetahui riwayat perkembangan anak ialah untuk mengetahui adakah gangguan pada psikologis maupun mental si anak. Jika diketahui ada gangguan perkembangan anak pada usia-usia tertentu maka dapat disimpulkan anak tersebut mengalami gangguan perkembangan. Contoh dari gangguan perkembangan ialah retardasi mental.

IV. Kebiasaan, Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan Tidak diketahui

Analisis : Pentingnya mengetahui riwayat kebiasaan, sosial, ekonomi, dan

lingkungan ialah untuk mengetahui adanya faktor-faktori risiko yang berkaitan dengan penyakit baik yang sekarang diderita maupun yang dahulu diderita.

C. PEMERIKSAAN FISIK KU Kesadaran Baik Sopor Tekanan Darah Denyut Nadi Pernapasan Suhu Status Gizi Kurang/PEM I GCS E2V2M2 mmHg

117 x/menit (takikardi) 28 x/menit (takipnue tipe torakal) 37,9 oC (subfebris)

Analisis : Dari data pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, kesadaran sopor, tekanan darah tidak dilakukan, denyut nadi 117x/menit, pernapasan 28x/menit, suhu 37,9
o

C, dan status gizi kurang/PEM I. Kesadaran yang

didapatkan pada pasien sopor yaitu kesadaran dengan rangsangan kuat masih memberikan respon gerakan contohnya respon nyeri. Secara kualitatif kesadaran pasien dinilain sopor, sedangkan secara kuantitatif kurang lebih kemungkinan didapatkan hasil GCS (Glasgow Coma Scale) E2V2M4. Artinya, E2 (nilai eye/mata 2) yaitu mata membuka hanya kalau dirangsang kuat/nyeri, V2 (nilai verbal 2) yaitu bisa bersuara/berbicara tetapi tidak bisa ditangkap dengan jelas, dan M2 (nilai motorik 2) yaitu ekstensi abnormal yang biasa terjadi pada kejang epileptikus.

Untuk penilaian tekanan darah pada pasien umur 3 tahun tidak dilakukan, karena tidak terlalu spesifik. Pada penilaian denyut nadi didapatkan 117x/menit yang dinilai takikardi dan pada penilaian pernapasan 28x/menit yang dinilai ada takipneu tipe torakal pada pemeriksaan. Kedua tanda ini terdapat pada penilaian diagnosis dari status epileptikus. Sedangkan suhu didapatkan 37,9 oC (subfebris), hal ini bisa terjadi karena pada pasien memasuki fase I dari mekanisme terjadinya status epileptikus. Menurut Harsono (2007), mekanisme status epileptikus dibagi menjadi 2 fase, yaitu fase I (0-30 menit)/mekanisme terkompensasi dan fase II (> 30 menit)/mekanisme dekompensasi. Pada fase I aktivitas bangkitan yang terus menerus sangat meningkatkan metabolisme serebral, dengan kompensasi meningkatkan aliran darah otak dan pengiriman oksigen serta glukosa ke jaringan yang aktif. Aliran darah tidak mampu memenuhi kebutuhan dan terjadilah asidosis dengan peningkatan kadar laktat serebral. Perubahan ini diikuti oleh perubahan status kardiovaskuler seperti tekanan darah naik, curah jantung dan denyut nadi naik, dan aktivitas otonom simpatis meningkat yang kemudian menyebabkan keluarnya banyak keringat, hiperpireksia, hipersekresi bronkial, dan hipersalivasi. Selain itu, terjadi perubahan endokrin yaitu terjadinya pelepasan adrenalin dan noradrenalin sehingga kadar glukosa darah menjadi naik. Pada fase II (> 30 menit)/mekanisme dekompensasi terjadi kegagalan mekanisme kompensatoar yang berat kemudian akan berakhir pada kerusakan selsel dan peningkatan epileptogenesis. Adanya kegagalan autoregulasi

serebral/edema otak akan mempengaruhi tekanan darah sistemik. Depresi pernapasan yang terjadi mengakibatkan hipoksia yang dilatarbelakangi oleh peningkatan oksigen sebagai akibat dari peningkatan aktivitas metabolik. Dampak lainnya ialah muncul artimia jantung akibat peningkatan tegangan simpatis dan pemberian obat intravena. Aritmia dapat berkombinasi dengan hipertensi yang pada akhirnya menimbulkan gagal jantung.

Dari segala perubahan tadi mengakibatkan iskemia serebral, asidosis dan hipoksia yang semuanya ini menyebabkan kerusakan neuron bahkan kematian neuron. Selanjutnya dapat terjadi komplikasi multi-organ termasuk asidosis laktat sistemik, hipoglikemia, gagal ginjal, rabdomiolisis dan gagal hati. Di samping itu, dapat terjadi DIC (Disseminated Intravascular Coagulation), infeks, emboli paruparu, dan gangguan keseimbangan elektrolit. Pada kasus ini, pasien berada pada fase I dimana keadaan kejang dan akibat yang ditimbulkan kejang masih bisa dikompensasi oleh tubuh. Hal ini ditandai dengan adanya suhu tubuh yang meningkat 37,9 oC(subfebris) atau hiperpireksia, nafas menjadi cepat/takipneu, denyut nadi meningkat/takikardi, dan pasien tidak sadarkan diri setelah kejang. Status gizi pada pasien ini termasuk dalam kategori kurang. Sebagaimana diketahui PEM (Protein Energy Malnutrition) atau juga yang sering disebut Kekurangan Energi Protein. Menurut R Nur (2007), penyakit KEP merupakan penyakit akibat kekurangan gizi yang banyak dijumpai di Indonesia maupun banyak negara berkembang lainnya. Selain banyak dijumpai pada balita dan ibu hamil, penyakit ini juga dijumpai pada anak sekolah. Penggolongan KEP

menurut Depkes RI dibagi atas : KEP ringan atau gizi kurang ( BB 60-79% baku) KEP berat atau gizi buruk (BB < 60 % baku). Gizi buruk dibagi tiga yaitu marasmus (defisiensi berat energi), kwashiorkor (defisiensi berat protein), dan campuran keduanya atau marasmikkwashiorkor. Beberapa penelitian menyatakan dalam suatu populasi, kasus gizi kurang jauh lebih banyak dibanding gizi buruk. Gejala klinis gizi kurang tidak terlalu jelas, hanya pertumbuhan yang kurang, seperti berat badan yang kurang dibanding dengan anak sehat. Sedangkan gizi buruk memberikan gejala yang lebih berat.

Gejala klinis KEP ringan/gizi kurang : Pertumbuhan linier mengurang atau terhenti. Kenaikan berat badan berkurang, terhenti, dan adakalanya bahkan menurun. Ukuran lingkar lengan atas menurun. Maturasi tulang terhambat. Rasio berat terhadap tinggi normal atau menurun. Tebal lipat kulit normal atau mengurang. Anemia ringan. Kadang dijumpai kelainan kulit dan rambut. Penurunan aktivitas dan perhatian/konsentrasi.

Dampak selanjutnya dari gizi kurang pada anak balita adalah terjadinya gangguan pertumbuhan pada anak usia sekolah. Gangguan ini akan menjadi serius bila tidak ditangani secara intensif bahkan akan mengakibatkan retardasi mental nantinya.

Pemeriksaan Kepala Anemis (-), Ikterik (-), caries dentis (+), lidah berdarah (+)

Analisis : Pada pemeriksaan kepala tidak ditemukan anenmia dan ikterik. Namun terdapat caries dentis pada gigi dan lidah berdarah. Caries dentis adalah suatu penyakit pada jaringan keras gigi dengan dekalsifikasi struktur mineral dan disintegrasi dari organ matrix enamel dentin. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya karies pada anak, antara lain faktor makanan (makanan yang manis-manis, gizi kurang baik), faktor kebersihan gigi dan mulut, faktor kebiasaan buruk anak (mengemut makanan, pemberian

makanan melalui botol), mikroorganisme (streptokokus mutans dan lactobacillus), substrat (karbohidrat), host & gigi, dan waktu. Klasifikasi karies ada beberapa macam, diantaranya karies insipiens, karies superfisialis, karies media, dan karies profunda. Karies insipiens, yaitu karies yang terjadi pada permukaan email gigi (lapisan terluar dan terkeras dari gigi), dan belum terasa sakit hanya ada pewarnaan hitam atau coklat pada email. Karies superfisialis, yaitu karies yang sudah mencapai bagian dalam dari email, kadang-kadang terasa sakit. Karies media, yang sudah mencapai bagian dentin (tulang gigi) atau bagian pertengahan antara permukaan gigi dan pulpa, gigi terasa sakit bila terkena rangsangan dingin, makanan asam dan manis. Karies profunda, yaitu karies yang mendekati atau bahkan telah mencapai pulpa sehingga terjadi peradangan pada pulpa. Biasanya terasa sakit waktu makan dan bahkan sakit-sakit secara tiba-tiba tanpa rangsangan apapun. Faktor utama yang menyebabkan terjadinya karies adalah gigi dan air ludah, mikroorganisme penyebab karies, substrat (makanan) serta waktu sebagai faktor tambahan. Gigi yang tidak beraturan (crowding) dan air ludah yang banyak serta konsistesnsinya kental, mudah terserang karies. Lidah berdarah merupakan salah satu manifestasi dari kejang yang berasal dari terlepasnya muatan listrik dari neuron di otak. Sehingga mengakibatkan aktivitas listrik di tubuh mengalami peningkatan, kontraksi otot/tonik.

Pemeriksaan Leher Tidak diketahui

Analisis : Pada pemeriksaan leher tidak diketahui nilai JVPnya berapa. Tekanan Vena Jugularis merupakan gamabaran secara tidak langsung atas fungsi pemompaan ventrikel. Karena setiap kegagalan pemompaan ventrikel

menyebabkan terkumpulnya darah lebih banyak pada sistem vena. Namun, dalam kasus ini JVP tidak diketahui nilainya. Selain itu, tidak diketahui adanya limfadenopati maupun kelainan lainnya.

Pemeriksaan Thorax Paru Inspeksi : Tidak ada ketinggalan gerak, simetris, luka (-), oedem (-), retraksi (-) Palpasi Perkusi Auskultasi : Tidak ada ketinggalan gerak, simetris, nyeri (-) : Sonor pada kedua lapang paru : Vesikuler (+) normal, wheeze (-), ronkhi (-), takipneu tipe torakal (+) Jantung Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi : Pulsasi, ictus cordis tidak terlihat : Ictus cordis dan thrill tidak teraba : Batas jantung normal : HR = 117 kali per menit (takikardi), irama reguler, S1-S2 normal, murmur dan gallop tidak ada

Analisis : Pada pemeriksaan thorax/dada tidak ditemukan kelainan baik dari pemeriksaan paru maupun jantungnya. Namun, ada peningkatan frekuensi nafas (takipneu tipe torakal) dari paru dan peningkatan heart rate atau denyut nadi (takikardi) pada jantnug. Takipneu dan takikardi merupakan kompensasi dari mekanisme kejang yang terjadinya.

Pemeriksaan Abdomen Inspeksi Auskultasi Palpasi Perkusi : Datar, Luka (-), oedem (-), benjolan (-) : Peristaltik meningkat : Perut kaku, keras, defence muskuler (+) : Timpani

Analisis : Pada pemeriksaan abdomen/perut ditemukan adanya perut kaku, keras dan defense muskuler positif. Ini disebabkan karena adanya kontraksi otot dalam mekanisme kejang fase tonik Hal ini menyebabkan otot pada perut menjadi tegang, sehingga teraba kaku dan keras. Defense muscular yang terjadi akibat dari kejang otot abdominal yang dapat dirasakan ialah nyeri pada lapang perut.

Pemeriksaan Muskuloskeletal Gerakan kaku (+), otot hipertonia

Analisis : Pada pemeriksaan muskuloskeletal didapatkan gerakan kaku dan otot hipertonia. Manifestasi ini juga termasuk dalam mekanisme kejang yang mengakibatkan kontraksi otot berlebihan sehingga menimbulkan gerakan yang kaku, otot hipertonia yang merupakan keadaan tonus otot rangka yang berlebihan dan peningkatan resistensi otot terhadap peregangan pasif.

Status Lokalis Tidak diketahui

Analisis : Pada pemeriksaan status lokalis tidak diketahui.

Status Neurologis Clonus (+), refleks fisiologis meningkat, sensibilitas (+)

Analisis : Pada pemeriksaan neurologis didapatkan refleks patologis clonus positif, refleks fisiologis meningkat dan adanya sensibilitas.

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG DAN HARAPAN HASIL Darah Lengkap Leukositosis, limfositosis, monositosis, granulositosis

Analisis : Laboratorium darah tepi (Hb, Hct, Kadar natrium, kalium darah, urinalisis, dan biakan darah, urin, feses) tidak dianjurkan kecuali untuk mengevaluasi sumber infeksi/ mencari penyebab.

EEG Gelombang abnormal (tidak spesifik)

Analisis : Pemeriksaan yang perlu dilakukan pada status epileptikus adalah pemeriksaan Electroencephalography (EEG), dimana selain digunakan sebagai alat bantu diagnostik juga berfungsi sebagai alat kontrol keberhasilan terapi. Menurut Soetomenggolo (2000), pemeriksaan EEG adalah salah satu pemeriksaan neurofisiologi yang penting pada pasien dengan kelainan sususnan saraf pusat. Idealnya EEG diulang setelah 24 jam episode kejang untuk monitor kejang berulang

yang masih mungkin timbul. Oleh karena itu ruang Intensive Care Unit (ICU) harus dilengkapi alat EEG. Gangguan fungsi otak tidak selalu dapat tercermin dari EEG. EEG normal dapat dijumpai pada anak yang nyata-nyata menderita kelainan otak, sebaliknya EEG abnormal dapat dijumpai pada anak normal dan sehat. EEG abnormal ringan dan tidak khas terdapat pada 15% populasi normal, dan kira-kira 10% pasien epilepsi mempunyai EEG normal. Gambaran EEG yang khas tergantung dari bentuk serangan epilepsinya.

CT-Scan & MRI Peningkatan abnormal. tekanan intrakranial, asimetri tengkorak, perkapuran

Analisis : Px. Radiologis : X-ray kepala, CT-Scan kepala atau MRI tidak rutin dilakukan hanya sesuai indikasi : Ada riwayat dan tanda klinis trauma kepala Kemungkinan adanya lesi struktural di otak (mikrosefalik, spastik) Adanya tanda peningkatan TIK (kesadaran menurun, muntah,

fontanela anterior menonjol, paresis nervus kranial VI, edema papil) Menurut Soetomenggolo (2000), foto polos kepala dibuat dalam posisi antero-posterior dan lateral. Dengan foto polos kepala dapat dilihat adanya tanda peningkatan tekanan intrakranial, adanya asimetri tengkorak, adanya perkapuran abnormal. Namun pemeriksaan ini sudah banyak ditinggalkan. CT-Scan otak dan MRI keduanya dapat mendeteksi kelainan otak dengan baik. Namun, MRI lebih baik digunakan untuk mendeteksi adanya malformasi otak kongenital, sedangkan CT-Scan lebih sensitif untuk mendeteksi adanya fokus kalsifikasi yang kecil.

Pungsi Lumbal Normal

Analisis : Px. CSS : tindakan pungsi lumbal dilakukan bila dicurigai adanya meningitis, namun harus ditunda sampai kejang berhenti dan tanda vital telah kembali stabil. Begitu juga bila secara klinis atau radiologi terdapat tanda TIK meningkat.

E. DIAGNOSIS DAN DD Diagnosis Banding 1. Status Epileptikus dengan status gizi kurang 2. Epilepsi 3. Meningitis

Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan lanjutan yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami status epileptikus dengan status gizi kurang. Hal ini merupakan keadaan gawat darurat yang perlu penanganan khusus dan secepatnya.

Diagnosis Kerja Status Epileptikus dengan status gizi kurang

F. PENATALAKSANAAN Prinsip penatalaksanaan penderita dengan status epileptikus adalah tindakan suportif yang merupakan tindakan awal yang bertujuan menstabilisasi penderita (harus tercapai dalam 10 menit pertama), menghentikan kejang secepatnya dengan memberikan obat anti kejang, dengan urutan pilihan (harus

tercapai dalam 30 menit pertama). Pemberian obat anti kejang lanjutan, mencari penyebab status epileptikus, penatalaksanaan penyakit dasar, mengatasi penyulit, waspadai jika terjadi refrakter. a. Tindakan suportif Merupakan tindakan awal yang bertujuan yang menstabilisasi penderita (harus tercapai dalam 10 menit pertama), yaitu ABC : Airway : bebaskan jalan nafas Breathing : pemberian pernafasan buatan / bantuan nafas Circulation : pertahankan/ perbaiki sirkulasi, bila perlu pemberian infuse atau transfusi jika terjadi renjatan. b. Hentikan Kejang secepatnya Dengan memberikan obat anti kejang dengan urutan sebagai berikut (harus tercapai dalam 30 menit pertama) : 1. Pilihan I golongan benzodiazepine (Lorazepam, diazepam) 2. Pilihan II : phenytoin 3. Pilihan III : Phenobarbital

Gambar 1. Algoritma penatalaksanaan kejang

Terapi Emergensi/Kegawatdaruratan

Sumber : Friedman (2011)

Status epileptikus adalah keadaan darurat neurologis yang akan dihadapi umumnya oleh neurohospitalist. Kesuksesan pengobatan akan tergantung pada mobilisasi sumber daya yang tersedia dan pemberian yang cepat pada obat antikonvulsan. Rejimen terapi farmakologis telah terbukti mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk berhasil terhadap kontrol kejang. Strategi pengobatan telah mengalami untuk mengatur dosis obat yang efektif tersedia. Pengobatan SE

refraktori membutuhkan dosis anestesi antikonvulsant obat. Penggunaan awal dari obat-obat mungkin memungkinkan untuk pengobatan yang lebih berhasil terhadap kondisi SE. (Edward, 2011) Menurut Prasad (2007), untuk terapi pada pasien dengan status epilepticus penggunaan obat yang lebih baik adalah dengan menggunakan lorazepam.

Lorazepam lebih baik pada diazepam atau fenitoin sendiri untuk penghentian kejang dan resiko yang mungkin terjadi lebih rendah untuk terjadinya kelanjutan status epilepticus yang memerlukan obat yang berbeda atau anestesi umum Kedua lorazepam dan diazepam lebih baik dibandingkan plasebo untuk hasil yang sama. Dalam pengobatan kejang Untuk mendukung kesimpulan ini dijelaskan lorazepam adalah obat pilihan pertama walaupun diazepam lebih umum dan lebih sering dugunakan. Sifat farmakokinetik dan efek antikonvulsan dosis tunggal diazepam adalah sekitar 20 menit, sedangkan lorazepam adalah > 6 jam. Untuk analisis efek samping menunjukan bahwa lorazepam aman seperti diazepam, jika dosisnya tidak berlebihan dan sesuai yang dianjurkan. Sedangkan menurut McMullan (2010), pemberian akses cepat pada penanganan awal menggunakan midazolam non-IV (bukal, intrnasal,

intramuscular, rectal) lebih efektif dan aman dibandingkan dengan menggunakan diazepam non-IV maupun IV.

G. PROGNOSIS Prognosis status epileptikus tergantung pada penyebab yang mendasari status epileptikus. Pasien status epileptikus bila penatalaksanaannya dilakukan dengan cepat dan dilakukan pencegahan terjadi komplikasi biasanya prognosisnya baik. Sedangkan pasien dengan meningitis sebagai etiologi maka prognosis tergantung dari meningitis tersebut.

DAFTAR PUSTAKA Anonima, 2008, Epilepsi L Permasalahan di Reseptor atau Neurotransmitter, Medicinus Journal of Pharmaceutical Development and Medical Application http://www.dexamedica.com/images/publication_upload090109170636001231472906ME DICINUS_NOV_DES'08.pdf, diakses pada 24 November 2012. Edward M. Manno, MD., 2011. Status Epilepticus : Current Treatment Strategies. Jurnal The Neurohospitalist 1(1) 23-31 Friedman, JN., 2011, Emergency Management of The Paediatric Patient with Generalized Convulsive Status Epilepticus, Paediatr Child Health Vol 16 No 2 February 2011 Canadan Paediatric Society, Vol.21, Nov-Des/No.4/2008/ISSN 1979-391x,

http://www.cps.ca/en/documents/position/convulsive-status-epilepticus, diakses pada 24 November 2012 Harsono, 2007, Epilepsi Edisi Kedua, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Kania, N., 2007, Kejang Pada Anak, Siang Klinik Penanganan Kejang Pada Anak di AMC Hospital Bandung, http://pustaka.unpad.ac.id/wpdiakses pada 24

content/uploads/2010/02/kejang_pada_anak.pdf, November 2012.

McMullan, J., Sasson, C., Pancioli, A., et al, 2010, Midazolam Versus Diazepam for The Treatment of Status Epilepticus in Children and Young Adults : A Meta-analysis, Society for Academic Emergency Medicine,

http://www.ncbi.nlm.nih.gov, diakses pada 24 November 2012. Prasad, K., Krishnan, P R., Roomi K., Sequeira R., 2007, Anticonvulsant Therapy for Status Epilepticus, US National Library of Medicine National Institute of Health, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2000590/,

diakses pada 24 November 2012. Raharjo, T B., 2007, Faktor-faktor Risiko Epilepsi Pada Anak di Bawah Usia 6 Tahun, Tesis Program Pascasarjana Magister Ilmu Biomedik dan Program

Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Penyakit Saraf, UNDIP Semarang, http://eprints.undip.ac.id/18016/1/Tri_Budi_Raharjo.pdf, diakses pada 24 November 2012. R Nur, F., Heryati, E., 2007, Studi Korelasional Antara Status Gizi dengan Prestasi Akademik pada Siswa Sekolah Dasar Negeri Cilampeni I Kabupaten Bandung, Laporan Penelitian Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia,

http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/197710132 005012-EUIS_HERYATI/Penelitian_gizix.pdf, November 2012. Silbergleit R., Valerie D., dkk. 2012. Intramuskular versus Intravenus Therapy for Prehospital Status Epilepticus. N Eng J Med: 366 : 591-600. Soetomenggolo, T S., Ismael, S., 2000, Buku Ajar Neurologi Anak Cetakan ke-2, Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta. diakses pada 24

Anda mungkin juga menyukai