Anda di halaman 1dari 3

Latar Belakang Bandung bila ditilik sebagai salah satu kota terpenting di Indonesia, sesungguhnya masih

terhitung muda bila dibandingkan dengan Jakarta atau Surabaya misalnya. Secara arsitektur tapi tidak kalah dengan keduanya. Bandung tercatat sebagai kota kedua setelah Florida yang memiliki bangunan Art-Deco terlengkap kedua. Catatan arsitektur selalu menjadi penanda tidak hanya bagi perjalanan kota, tapi juga perjalanan budaya. Sayangnya undang-undang perlindungan dan aneka himbauan yang dibuat oleh organisasi non-profit seperti Bandung Heritage masih gagal dalam melindungi bangunan-bangunan yang dilabeli sebagai cagar budaya. Contoh yang sangat disayangkan misalnya adalah penggusuran kolam renang Tjihampelas yang merupakan kolam renang tertua di Bandung, suatu toko dengan artitek tur kolonial di Jalan Braga, dan SMAK Dago yang dibangun tahun 1920-an. Jika mau mencari pihak yang salah mungkin tidak akan ada habisnya, kita mungkin akan menyalahkan pihak pengembang yang tidak sensitif atau mungkin ignorant dengan nilai budaya, pihak Pemda yang lalai, atau justru masyarakat umum yang cuek. Hal terpenting adalah merubahnya, dan menurut saya merubahnya dengan pendekatan yang sangat manusiawi adalah hal yang tepat. Semenjak tahun 2000-an kesadaran masyarakat tentang sejarahnya makin menguat, mungkin hal ini berkat situasi pasca- orde baru di mana informasi mengalir deras dan semangat kritik tidak ditekan lagi. Sayangnya hal tersebut belum terjadi di sekolah-sekolah, anak didik masih seringkali ditawari oleh mata pelajaran sejarah, misalnya yang bersifat didaktif tapi tidak menginspirasi. Tampaknya tidak heran mengapa kita bahkan tidak bisa mempertahankan bangunan di Jalan Pengangsaan no....., tempat fondasi negara kita dibangun lewat proklamasi kemerdekaan, kita tidak terinspirasi. Kita adalah yang seperti diungkapkan oleh ketika ia menyatakan masa lalu adalah negara lain. Kita tidak membuat negara lain itu seperti destinasi ekdotik yang membuat penasaran dan membuat orang mau bersusah payah menabung agar bisa ke-sana. Selain tidak inspiratifnya pendidikan, kondisi lingkaran setan lainnya membuat bangunan tua dengan nilai historis dan estetik yang tinggi menjadi sepi. Masyarakat Indonesia seperti umumnya masyarakat Asia lainnya adalah masyarakat Horor Vacui, masyarakat yang tidak menyukai kekosongan, kehampaan dan dalam konteks bangunan tua, ruang kosong. Baik secara spiritual atau budaya tempat-tempat kosong akan diisi oleh makhluk-makhluk gaib. Saya sendiri tidak terganggu dengan isu kisah misteri dalam bangunan bersejarah, bahkan para pengunjung di Menara London atau Gedung Capitol yang notabane berada di dua negara

yang sanagt modernis dan logis, oleh pemabdunya tidak pernah lupa untuk disusupkan kisah hantu. Yang menjadi masalah isu makhluk gaib membuat bangunan bersejarah semakin terbengkalai. Seperti yang diungkapkan seorang pemilik rumah xaman kolonial di bilangan Gajah Lumantung Bandung, ia menyebut rumahnya sendiri sebagai rumah vampir. Tentunya dalam konteks negatif. Bangunan-bangunan cagar budaya di Indonesia bagi rata-rata masyarakatnya adalah sebuah blind spot, ia ada tapi langsung hilang ketika akan didekati. Cara yang ingin saya bangun untuk menghentikan siklus tersebut adalah memanusiawikan suatu bangunan cagar budaya, dan dalam koridor ini berarti membuat masyarakat kembali tersadar akan eksistensinya. Cara yang saya gunakan adalah lewat seni di ruang publik. Seni di ruang publik adalah bukan barang baru bagi masyarakat di luar sana. Sifatnya yang mentransformasikan dan mengubah persepsi sangat disukai. Untuk proyek saya ini saya memiliki dua orang seniman yang menjadi inspirasi. Yang pertama adalah seniman Christo dan istrinya. Seniman yang kerap disebut sebagai salah satu sesepuh land art, seni yang melibatkan landscape alam sebagai medianya berhasil menyadarkan kembali masyarakat Jjerman tentang sejarah mereka atau setidaknya artifak sejarah mereka. Christo membungkus (dalam arti sesungguhnya) gedung Reichstag di Berlin dengan kain sehingga tampak seperti sebuah kado berwarna..... Reichstag adalah bangunan yang penting. Menjadi pusat parlemen, ia.................Toh masyarakayt yang hidup sehari-hari bersamanya akan melihatnya sebagai sebuah habitus, sebuah kondisi yang tidak disadari menjadi bagian kehidupan. Ada tapi tidak disadari. Terlepas dari intensi Christo membangunnya (ia menolak karyanya bertajk politikal dalam pengertian apapun) karyanya itu membuat masyarakat Jerman bahwa Reichstag itu ada, mungkin mirip dengan sensasi yang dibuat oleh pesulap David Copperfield ketika ia menghilangkan patung Liberty. Seperti yang dinyatakan oleh Aristoteles kausa ada, bisa hadir berkat ketidakberadaan. Seniman kedua adalah Vijra Celmin. Ia terkenal membuat lukisan-lukisan trompe l Oleil dalam ukuran besar di bangunan-bangunan besar, seringkali bersejarah. Trompe LOleil adalah sebuah istilah untuk salah satu tradisi dalam seni lukis. Teknik ini, salah satunya dengan menggunakan teknik perspektif dan foreshortening membuat bidang datar menjadi tampak tiga dimensional. Teknik ini sepanjang sejarahnya tidak hanya dilakukan di bidang seperti kanvas atau kertas, tapi juga di dinding dan langit-langit ruangan. Contoh yang paling terkenal mungkin adalah lukisan di langit-langit Sistine Chapel. Beberapa figur manusia yang disebut Ignudi dibuat sedemikian rupa oleh Michaelangelo sehingga tampak menjadi tiang

penyangga. Kembali pada Vijra Celmin ia tidak membuat teknik trompe l Oleil dalam bentuk-bentuk figuratif melainkan dalam aneka permainan geometris. Apresiator yang melihat karyanya dalam sudut pandang tertentu akan terhenyak oleh efek ilusi yang didapatkan sehingga mungkin akan mengira melihat sebuah ;efek photoshop langsung di kehidupan nyata. Bangunan cagar budaya yang menjadi sasaran saya adalah Arena Futsal Dian di dekat alunalun Bandung. Seperti yang kita ketahui alun-alun selalu memegang pernanan penting dalam perkembangan sejarah kota-kota di Indonesia. Dengan desain yang hampir serupa, misalnya Mesjid Agung dan pusat pemerintahan didekatnya tak heran ia menjadi sebuah ....point bagi masyarakat. Alun-alun Bandung sendiri bagi beberapa pengamat sejarah, ahli planologi dan arsitektur dinyatakan telah tidak ada, berkat pembangunan Mesjid Agung yang tidak teratur dan nilai fungsionalnya yang telah menipis sejak pasca kemerdekaan, tapi aneka cagar budaya di sekelilingnya masih menjadi suatu pengingat historis akan eksistensinya. Arena futsal Dian sendiri dulunya adalah sebuah bioskop bernama Radio City yang merupakan salah satu milik Raja bioskop Bandung zaman kolonial, Busye. Dibangun tahun 1925 dengan gaya Art Deco gedung tersebut tidak hanya berrga secara arsitektural dan estetik tapi juga menandai golden age dunia film di kota Bandung, yang sekaligus juga merupakan bagian dari golden age dunia film secara internasional dari tahun 20 hingga 40-an. Alasan saya untuk memilih arena futsal Dian selain karena merupakan salah satu bangunan cagar budaya paling tidak terawat dalam tata alun-alun, juga sisi personal dari saya. Saya adalah pecinta film, begitu juga orang Indonesia. Ketika ditanya tentang kesannya terhadap Hindia Belanda pelukis menyatakaN,Ini adalah dunia, dunia bioskop,. Indonesia tercatat sebagai salah jumlah penonton bioskop tertinggi. Di sini saya merasakan sentuhan personal akan cagar budaya, film, dan seni itu sendiri. Manusia mereflesikan dirinya lewat monumen yang dia ciptakan. Saya tidak ingin kelak anak cucu kita membuat monumen berkabung untuk harta historisnya sendiri, perasaan yang mungkin dirasak para pembakar film...............pada........................

Anda mungkin juga menyukai