Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN DISKUSI KASUS 1 BLOK BIOETHICS AND HEALTH LAW V ( BLOK BHL V )

Tutor : dr. Retno Widiastuti, MS Oleh : Kelompok 1 Prasastie Gita W Gizza Dandy Pradana Yulita Swandani Aziz Bagus Sanjaya H Masrurotut Daroen Sudjati Adhinugroho Femy Indriani Siska Lia Kisdiyanti Herlinda Yudi Saputri Handiana Samanta Argo Mulyo (G1A009023) (G1A009024) (G1A009032) (G1A009033) (G1A009036) (G1A009051) (G1A009052) (G1A009065) (G1A009080) (G1A009100) (G1A009111)

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER PURWOKERTO 2012

BAB 1 LATAR BELAKANG Istilah euthanasia ini berasal dari bahasa Yunani yaitu EUTHANATOS. Eu berarti baik tanpa derita dan Thanatos berarti mati, arti harfiahnya adalah mati baik . Jadi dapat disimpulkan bahwa euthanasia itu adalah mati dengan tenang, atau dapat didefinisikan sebagai a good in dead (Nadeak, 2004). Sejauh ini Indonesia belum mengatur secara spesifik mengenai euthanasia. Euthanasia atau menghilangkan nyawa atas nama permintaan diri sendiri sama dengan perbuatan pidana menghilangkan nyawa seseorang. Dan sejauh ini masih menjadi perdebatan pada beberapa kalangan yang menyetujui tentang euthanasia dan pihak yang tidak setuju tentang euthanasia. Menurut PP no.18/1981 pasal 1g menyebutkan bahwa: Meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli kedokteran yang berwenang, bahwa fungsi otak, pernapasan, & atau denyut jantung seseorang telah berhenti. Definisi mati ini merupakan definisi yang berlaku di Indonesia. Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan euthanasia dalam tiga arti: 1. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang & aman tanpa penderitaan, buat yang beriman dengan ama Tuhan di bibir. 2. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberi obat penenang. 3. Mengakhiri penderitaan & hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri & keluarganya. Dari penggolongan Euthanasia, yang paling praktis & mudah dimengerti adalah: A. Euthanasia aktif, tindakan secara sengaja dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lain untuk memperpendek atau mengakhiri hidup pasien. Merupakan tindakan yang dilarang, kecuali di negara yang telah membolehkannya lewat peraturan perundangan. B. Euthanasia pasif, dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien, misalnya

menghentikan pemberian infus, makanan lewat sonde, alat bantu nafas, atau menunda operasi. C. Auto euthanasia, seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima perawatan medis & dia mengetahui bahwa hal ini akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut ia membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan). Auto euthanasia pada dasarnya adalah euthanasia pasif atas permintaan. Pasal 338, 340, & 344 KUHP, ketiganya mengandung makna larangan untuk membunuh. Pasal 340 KUHP sebagai aturan khususnya, dengan dimasukkannya unsur dengan rencana lebih dahulu, karenanya biasa dikatakan sebagai pasal pembunuhan yang direncanakan atau pembunuhan berencana. Masalah euthanasia dapat menyangkut dua aturan hukum, yakni pasal 338 & 344 KUHP.

BAB II PEMBAHASAN Kasus 1 : The Brain-Dead Patient And The Family's Dilemma Physician: There is a patient in the ward who is on ventilator. He is around 40-45 years. He suffered major injuries is now brain dead. The family members have been explained everything. They are in a dazed state and don't know what to do. Probably, their heart does not allow them to let their loved one go and take the responsibility of switching off the ventilator. Interviewer: So what do your colleagues have to say on that? Physician: We cannot do anything. We may discuss it among ourselves but it is pointless. Switching off the ventilator is euthanasia which is not permitted. It also depends upon the family. If they are well educated and reconciled to the idea, then some of them do decide that, OK, you can switch off the support system. But it can go on for days or weeks. In the past, whenever this situation came up, it has gone on like this. Ultimately, when the patient's heart failed, Nature took the final decision. Questions 1. Can a group of physicians take a decision to switch off the ventilator in this case if it is needed by another patient? 2. Should the group be assisted by a person with legal expertise? 3. Discuss legal versus ethical issues in this case.

Terjemahan Pasien Mati Batang Otak Dan Dilemma Keluarganya Dokter: ada seorang pasien di bangsal yang dipasangi ventilator, usianya sekitar 40-45 tahun. Dia mengalami mati batang otak. Keluarga pasien telah diberitahukan mengenai keadaan ini. Mereka dilemma dan tidak tahu tahus berbuat apa. Mungkin, hati nurani mereka belum mengiklaskan kepergian orang yang mereka cintai, dan menolak untuk melepaskan ventilator Pewawancara: jadi bagaimana sudut pandang rekan kerjamu? Dokter: kamipun tidak dapat melakukan apapun. Kamipun sudah mendiskusikan ini semua, tapi berakir buntu. Menghentikan ventilator sama saja dengan euthanasia, yang tidak diijinkan. Selain itu, keputusan ini juga sangat bergantung keluarga pasien. Jika mereka telah memahami keadaan, dan beberapa bersedia untuk menghentikan ventilator, maka kami bisa menghentikan ventilator pasien ini. Tapi untuk mengambil keputusan semacam ini, keluarga pasien bisa menghabiskan waktu beberapa hari hingga berminggu-minggi. Akhirnya, jika sampai waktunya jantung berhenti berdetak, maka takdirlah yang dapat memutuskan. Questions (Pertanyaan)
1. Can a group of physicians take a decision to switch off the ventilator in

this case if it is needed by another patient? Dapatkah sekelompok dokter mengambil keputusan dalam melepas ventilator pada kasus ini jika ventilator tersebut dibutuhkan oleh pasien lain? Jawab Untuk memutuskan penghentian ventilator pada pasien tersebut tidak bisa diputuskan hanya oleh beberapa dokter saja, tetapi diperlukan keterlibatan dari pihak hukum atau instansi yang terkait dengan mempertimbangkan aspek

etik, social dan agama, meskipun ada pasien lain yang memerlukan ventilator tersebut. Kalau memang pasien tersebut sudah mati batang otak dan tidak ada harapan untuk sembuh lagi, Dokter harus menjelaskan hal ini kepada keluarga pasien dan memberi pengertian bahwa evaluasi menunjukkan pemberian peralatan tersebut perlu dihentikan, dan ada pasien yang lebih membutuhkan alat ventilator tersebut. Penghentian ventilator ini bisa dianggap sebagai euthanasia pasif. Euthanasia menurut KODEKI pasal 12 bab II adalah melakukan perbuatan yang dapat mengakhiri kehidupan pasien atas permintaan sendiri atau keluarganya. Ada tiga jenis pelaksanaan euthanasia, yaitu euthanasia pasif, euthanasia non-aktif, dan euthanasia aktif. Istilah lain untuk euthanasia pasif ialah euthanasia tidak langsung, sedangkan euthanasia non-aktif dan aktif bisa dianggap euthanasia langsung. Euthanasia pasif diartikan sebagai euthanasia yang dilakukan dengan cara menghentikan pemberian obat atau pemberian obat yang terbukti mempunyai kemungkinan untuk membunuh, tetapi juga diperlukan untuk membantu pasien menjadi sembuh. Euthanasia non-aktif ialah euthanasia yang dilakukan dengan cara mematikan mesin life support, yang sudah tentu akan menyebabkan kematian pasien. Bagi orang beragama, euthanasia merupakan tindakan immoral dan bertentangandengan kehendak Tuhan.Mereka berpendapat bahwa hidup adalah semata-mata diberikan oleh Tuhan sendiri sehingga tidak ada seorang pun atau institusi manapun yang berhak mencabutnya, bagaimanapun keadaan penderitatersebut.Dikatakan bahwa manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan tidak memiliki hak untuk mati. Oleh karena itu di Negara Indonesia, euthanasia masih dilarang. Apabila dokter terpaksa harus melakukan ini, maka benarbenar harus dengan persetujuan keluarga pasien dengan menandatangani informed consent dan disertai dengan keterlibatan instansi terkait, baru ventilator bisa dihentikan meskipun ada pasien yang lebih membutuhkan.

2. Should the group be assisted by a person with legal expertise? Haruskah

kelompok tersebut dibantu oleh orang yang mempunyai keahlian dalam bidang hukum? Jawab Harus, karena kapasitas untuk mengambil keputusan merupakan aspek etik dan hukum yang sangat rumit. Dasar dari penilaian kapasitas pengambilan keputusan penderita tersebut haruslah dari kapasitas fungsional penderita dan bukan atas dasar label diagnosis. Apabila keputusan yang diharapkan bantuannya bukan saja mengenai aspek medis, tetapi mengenai semua aspek kehidupan (hokum, harta benda dll) maka sebaiknya terdapat suatu badan pemerintah yang melindungi kepentingan penderita yang disebut badan perlindungan hokum (guardianship board). Undang-undang yang tertulis dalam KUHP hanya melihat dari sisi dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif & dianggap sebagai pembunuhan berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut, tidak peduli apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya. Di lain pihak, hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang masih segar bugar yang tentunya masih ingin hidup, & tidak menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat menderita tersebut, tanpa dijerat pasal-pasal dalam undang-undang dalam KUHP. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebenarnya telah cukup antisipasif dalam menghadapi perkembangan iptekdok, antara lain dengan menyiapkan perangkat lunak berupa SK PB IDI no.319/PB/4/88 mengenai Pernyataan Dokter Indonesia tentang Informed Consent. Disebutkan di sana, manusia dewasa & sehat rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak

dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan kemauan pasien, walau untuk kepentingan pasien itu sendiri. Kemudian SK PB IDI no.336/PB/4/88 mengenai Pernyataan Dokter Indonesia tentang Mati. Sayangnya SKPB IDI ini tidak atau belum tersosialisasikan dengan baik di kalangan IDI sendiri maupun di kalangan pengelola rumah sakit. Sehingga, tiap dokter & rumah sakit masih memiliki pandangan & kebijakan yang berlainan.Apabila diperhatikan lebih lanjut, pasal 338, 340, & 344 KUHP, ketiganya mengandung makna larangan untuk membunuh. Pasal 340 KUHP sebagai aturan khususnya, dengan dimasukkannya unsur dengan rencana lebih dahulu, karenanya biasa dikatakan sebagai pasal pembunuhan yang direncanakan atau pembunuhan berencana. Masalah euthanasia dapat menyangkut dua aturan hukum, yakni pasal 338 & 344 KUHP. Dalam hal ini terdapat apa yang disebut concursus idealis yang diatur dalam pasal 63 KUHP, yang menyebutkan bahwa: (1) Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu diantara aturan-aturan itu, jika berbeda-beda yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat. (2) Jika suatu perbuatan yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan. Pasal 63 (2) KUHP ini mengandung asas lex specialis derogat legi generalis, yaitu peraturan yang khusus akan mengalahkan peraturan yang sifatnya umum.

3. Discuss legal versus ethical issues in this case. (Diskusikan masalah hukum dan masalah etika yang ada pada kasus ini) Jawab Dalam kasus ini, issue ethic yang dilanggar dokter adalah: a. Otonomi : yaitu suatu prinsip bahwa seorang inidividu mempunyai hak untuk menentukan nasibnya, dan mengemukakan keinginannya sendiri. Tentu saja hak tersebut mempunyai batasan, akan tetapi apabila pasien dalam keadaan koma dan tidak kompeten dalam mengambil keputusan maka dibantu oleh pendapat keluarga dekat. Pada kasus ini apabila dokter menghentikan ventilator tersebut maka melanggar hak otonomi pasien, dan apabila ventilator ini tetap dipasang tidak dihentikan pihak dokter juga melanggar hak otonomi pasien lain yang lebih membutuhkan. b. Keadilan : yaitu prinsip pelayanan harus memberikan perlakuan yang sama bagi semua penderita. Kewajiban untuk memperlakukan seorang penderita secara wajar dan tidak mengadakan pembedaan atas dasar karakteristik yang tidak relevan. Dalam kasus ini keadilan baik bagi pasien dengan penghentian ventilator dilanggar, begitu juga sebaliknya apabila pasien yang lebih membutuhkan ventilator tersebut tidak mendapatkan pelayanan yang menjadi haknya. Pasal-pasal dalam KUHP menegaskan bahwa euthanasia baik aktif maupun pasif tanpa permintaan adalah dilarang. Demikian pula dengan euthanasia aktif dengan permintaan. Berikut adalah bunyi pasal-pasal dalam KUHP tersebut (Hanafiah, 1999 ; Samil, 2001): a. Pasal 338: Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain karena pembunuhan biasa, dihukum dengan hukuman penjara selamalamanya lima belas tahun. b. Pasal 340: Barangsiapa dengan sengaja & direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain, karena bersalah melakukan pembunuhan

berencana, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya duapuluh tahun. c. Pasal 344: Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata & sungguh-sungguh dihukum penjara selama-lamanya duabelas tahun. d. Pasal 345: Barangsiapa dengan sengaja membujuk orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun, kalau orang itu jadi bunuh diri. e. Pasal 359: Menyebabkan matinya seseorang karena kesalahan atau kelalaian, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun atau pidana kurungan selama-lamanya satu tahun Beberapa ahli hukum berpendapat bahwa tindakan perawatan medis yang tidak ada gunanya seperti misalnya pada kasus pasien ini, secara yuridis dapat dianggap sebagai penganiayaan. Tindakan di luar batas ilmu kedokteran dapat dikatakan di luar kompetensi dokter tersebut untuk melakukan perawatan medis. Dengan kata lain, apabila suatu tindakan medis dianggap tidak ada manfaatnya, maka dokter tidak lagi berkompeten melakukan perawatan medis, & dapat dijerat hokum sesuai KUHP pasal 351 tentang penganiayaan yang berbunyi : (1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan. Hubungan hukum dokter-pasien juga dapat ditinjau dari sudut perdata, yaitu pasal 1313, 1314, 1315, & 1319 KUHPer tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau perjanjian. Pasal 1320 KUHPer menyebutkan bahwa untuk mengadakan perjanjian dituntut izin berdasarkan kemauan bebas dari kedua belah pihak. Sehingga bila seorang dokter melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien, secara hukum dapat dijerat Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan. Tindakan menghentikan perawatan medis yang

dianggap tidak ada gunanya lagi, sebaiknya dimaksudkan untuk mencegah tindakan medis yang tidak lagi merupakan kompetensinya, dan bukan maksud untuk memperpendek atau mengakhiri hidup pasien Kasus 2 : The Terminal Patient Who Did Not Die Physician: We had a patient with chronic obstructive airway disease who developed pneumothorax and she was put on a ventilator. She was in her early sixties and able to communicate. We managed her on the ventilator, but it was very difficult to wean her away from the ventilator. Ultimately we discussed with the patient's relatives that she may not make it. If the relatives agreed, we could switch off the ventilator. The husband of the patient said: "You see, she is going to die if you switch off the ventilator. But I will not be able to excuse myself if I let you remove the life support. For my whole life I will feel guilt. So please, continue the ventilator till she improves or dies." To my surprise she recovered very well and I have subsequently discharged her. This case is a good example of a conflict between limited resources and the nature of the disease itself. We can say that we cannot waste our resources by pulling on with a patient for a long time. This was a collective decision. All involved staff thought that it was wise to switch off the ventilator, but, retrospectively, I can see that it would have been a wrong decision. Questions 1. Do you think that the physicians were justified in their decision to wean off the patient from the ventilator at the time they made it, in light of the scarce resources available? 2. Under what circumstances (if any) do you find it ethically justifiable to wean off a patient from the ventilator, expecting the patient to subsequently die, if the patient is not brain-dead?

Terjemahan Seorang pasien menderita chronic obstructive airway disease yang berkembang menjadi pneumothoraks dan dia memakai ventilator. Pasien ini berumur 60-an tahun. Dokter beranggapan sulit untuk menyapih pasien jauh dari ventilator. Pada akhirnya, dokter berdiskusi dengan keluarga pasien bahwa ia sulit untuk bertahan. Jika keluarga setuju, maka dokter akan mematikan ventilator. Namun suami pasien tetap menginginkan ventilator dipasang sampai pasien sembuh atau meninggal. Ternyata pasien tersebut sembuh dengan baik dan dapat kembali ke rumah. Kasus ini adalah contoh yang baik dari konflik antara sumber daya yang terbatas dan sifat suatu penyakit. Dokter dapat mengatakan bahwa kita tidak dapat membuang-buang sumber daya yang terbatas untuk dipakai seorang pasien dalam jangka waktu lama. Ini adalah keputusan kolektif. Semua staf yang terlibat berpikir bahwa mematikan ventilator adalah hal yang tepat. Tapi secara retrospektif, keputusan itu akan menjadi keputusan yang salah. Questions (Pertanyaan)
1. Do you think that the physicians were justified in their decision to wean

off the patient from the ventilator at the time they made it, in light of the scarce resources available? Apakah anda berfikir bahwa dokter dibenarkan dalam keputusan mereka untuk menyapih pasien dari ventilator, mengingat sumber daya yang langka tersedia? Jawab Kami tidak sependapat dengan tindakan yang dilakukan oleh dokter tersebut, mengingat pasien masih bisa berkomunikasi, tidak mati batang otak,

dan pihak keluarga pun tidak menyetujui tindakan penyapihan tersebut. Jika dokter tetap melepas ventilator tersebut maka tindakan dokter tersebut dapat dianggap sebagai euthanasia aktif yang mana hal tersebut dilarang di Indonesia, menurut IDI dan KUHP. KODEKI pasal 7D yang berbunyi Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup nmakhluk insani, pada penjelasan dan pedoman pelaksanaannya secara jelas tertulis sebagai berikut: Baik menurut agama, Undang-Undang Negara, maupun Etik Kedokteran, seorang dokter tidak diperbolehkan (KODEKI, 2004): a. Menggugurkan kandungan (abortus provocatus) tidak mungkin akan sembuh lagi (euthanasia) Menurut penjelasan dari pasal 7D KODEKI, dokter harus mengerahkan segala kepandaiannya dan kemampuannya untuk meringankan penderitaan dan memelihara hidup akan tetapi tidak untuk mengakhirinya. Menurut KODEKI pula, Indonesia sebagai negara yang berazaskan Pancasila, dengan sila pertama adalah Ketuhana Yang Maha Esa, tidak dapat menerima tindakan euthanasia aktif. Mengenai euthanasia pasif masih merupakan daerah kelabu atau ambigu. Di satu sisi dapat dianggap sebagai perbuatana amoral, namun disisi lain dianggap perbuatan yang mulia karena dimaksudkan untuk tidak memperpanjang atau mengakhiri penderitaan pasien, dengan membiarkan penyakit yang diderita pasien berjalan secara alamiah (KODEKI, 2004). Saat menghadapi pasien di akhir hayatnya, dimana ilmu dan teknologi kedokteran sudah tidak berdaya lagi untuk memberikan kesembuhan, hendaknya dokter berpegang pada pedoman sebagai berikut (KODEKI, 2004):

b. Mengakhiri hidup seorang pasien yang menurut ilmu dan pengetahuan

a. b.

Sampaikan kepada pasien dan atau keluarganya keadaan yang sebenarnya dan sejujur-jujurnya mengenai penyakit yang diderita pasien. Dalam keadaan dimana ilmu dan teknologi kedokteran sudah tidak berdaya lagi untuk memberikan kesembuhan, maka upaya perawatan pasien bukan lagi ditujukan untuk memperoleh kesembuhan melainkan lebih ditujukan untuk memperoleh kenyamanan dan meringankan penderitaan.

c.

Bahwa tindakan menghentikan usia pasien pada tahap menjelang ajalnya, tidak dapat dianggap sebagai suatu dosa, bahkan patut dihormati. Namun dokter wajib untuk terus merawatnya.

d.

Beban yang menjadi tanggungan keluarga pasien harus diusahakan seringan mungkin dan apabila pasien meninggal, seyogyanya bantuan diberikan kepada keluarga yang ditinggalkan.

e.

Bahwa dalam menghadapi pasien yang secara medis tidak memungkinkan lagi untuk disembuhkan, disarankan untuk memberikan perawatan hospis (hospice care). Euthanasia, baik euthanasia pasif maupun aktif, dalam pandangan hukum

positif di Indonesia belum mendapat tempat yang diakui. Hal tersebut dapat dilihat secara tersirat dari berbagai pasal KUHP di bawah ini (Rohim, no date): a. Pasal 344 KUHP: Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam pidana penjara paling lama 12 tahun. Secara tersirat pada pasal tersebut menjelaskan bahwa sekalipun pengakhiran hidup atas permintaan orang itu sendiri (euthanasia) akan tetap dijatuhi hukuman penjara. b. Pasal 340 KUHP:

Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana lebih dulu merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama 20 tahun c. Pasal 356 (3) KUHP: penganiayaan yang dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa dan kesehatan untuk dimakan atau diminum d. Pasal 304 KUHP: Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan, dia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan atau dengan paling banyak tiga ratus rupiah. Tindakan dokter yang menginginkan ventilatior dilepas dengan alasan kekurangan sumber daya pun patut dipertanyakan, apakah rumah sakit yang kekurangan fasilitas ventilator bisa disebut sebagai rumah sakit yang layak. Kalaupun dokter menginginkan pelepasan ventilator, maka dokter harus mengajukan permohonan tersebut ke pengadilan. Namun, dari beberapa kasus yang telah terjadi di Indonesia mengenai permohonan euthanasia, belum ada yang mendapat ijin dari pengadilan.

2. Under what circumstances (if any) do you find it ethically justifiable to

wean off a patient from the ventilator, expecting the patient to subsequently die, if the patient is not brain-dead? Dalam keadaan apa (jika ada) yang Anda menemukannya etis dibenarkan untuk menyapih pasien dari

ventilator, mengharapkan pasien untuk kemudian mati, jika pasien tidak mati otak? Jawab Penyapihan adalah proses pelepasan dukungan mesin ventilator dan mengembalikan kerja pernafasan dari ventilator ke pasien. Kriteria bernafas spontan adalah kriteria untuk mengukur keberhasilan atau kegagalan dari percobaan penyapihan. Keberhasilan penyapihan berarti pasien mampu mempertahankan pernafasan spontan untuk periode waktu tertentu. Kegagalan penyapihan berarti pasien harus kembali mendapat dukungan mesin ventilasi sesudah satu periode tertentu dengan pernafasan spontan yang tidak terusmenerus (Hanafie, 2006). Jika konteks menyapih dalam hal ini berfungsi untuk mengembalikan kerja pernafasan seperti semula, yaitu nafas spontan, maka hal tersebut dibenarkan dengan kriteria penyapihan sebagai berikut (Hanafie, 2006):

Tabel 1. Kriteria Penyapihan Category Ventilatiry criteria Examples PaCO2 Vital capacity Spontaneous Vr Spontaneous RR (f) Minute ventilation PaO2 without PEEP PaO2 with PEEP SaO2 Qs/Qt P(A-a)O2 PaO2/FiO2 Max.voluntary vent. Max. insp.essure Static compliance Airway resistance VD/VT Values <50 mmHg with normal pH >10-15 ml/kg >5-8 ml/kg <30/min <10L >60 mmHg >100 mmHg >90% <20% <350 mmHg >200 mmHg 2x/min >-20 to n-30 cm H2O in 20 sec. >30 ml/cm H2O Obeserve trend <60%

Oxygenation criteria

Pulmonary reserve

Pulmonary measurements

Namun apabila tanda-tanda penyapihan gagal terjadi, ventilator harus segera dipasang kembali. Tanda-tanda awalnya adalah takpneu dan pergerakan otot perut yang paradoxal, dispneu, chest pain, dada-perut asinkron, dan diaphoresis (Hanafie, 2006). Apabila konteks penyapihan berarti penghentian pemasangan ventilator maka tindakan tersebut tidak dibenarkan secara hukum maupun etik di Indonesia. Pada negara lain seperti Belanda dan negara bagian Amerika yaitu Oregon memiliki kriteria penyapihan selain karena mati batang otak, yaitu: a. Penyakit susah untuk diobati b. Penyakit stage terminal c. Sakit amat sangat, sehingga hanya dengan morfin, sakit tersebut dapat berkurang

d. Penilaian dokter spesialis minimal 2

Kasus 3 : The Terminal Cancer Patient Physician: I have been seeing a patient for the last 10 days. This patient has carcinoma. Six months ago when he was operated outside, the impression given by the surgeon to the patient was that there was some kind of a blockage in the intestine and that it had been corrected. Five months later, he came up with a lump in the abdomen and after that he developed jaundice. He has now come to us with a huge lump with jaundice. There are different options available but none of them is very safe and none of them is going to help on a long-term basis. I am sure he is going to die. He has a confirmed cancer. It is not curable, and it is not treatable. So, should you palliate his symptoms and to what extent. In this case, his relatives are very keen that he is not told what is happening to him. I can't give him any hope and I feel very bad telling him that I can't do anything. I have already told the relatives. But if he asks me directly, "Am I going to live? Am I going to die? Do I have a cancer?", then I will tell him the truth. But if he doesn't, then I will probably end up telling only his relatives. There have been occasions when after the patient has spent about 40 to 50,000 or 100,000 and goes back home, the relatives ask you the question: "have we achieved anything after we have spent so much money, and should we continue to spend not knowing when it will end?" I often tell myself that I cannot play God. Here you come across situations where a poor man has 40,000 in his bank, he's got a house and if he dies he's going to leave behind three children and a wife who doesn't earn. So is it worth that his family spends all of that on him and then be out on the street after he dies? Questions

1. Do you agree with the doctor's position here that he will not give the patient himself the choice of treatment? 2. Does it make a difference that the treatment is very expensive? Terjemahan : Pasien Kanker Terminal Dokter: Saya telah melihat pasien selama 10 hari terakhir. Pasien ini memiliki karsinoma. Enam bulan lalu ketika ia dioperasi di luar, hasil yang diberikan oleh ahli bedah untuk pasien ini adalah bahwa ada semacam penyumbatan pada usus dan bahwa hal itu telah ditangani. Lima bulan kemudian, ia datang dengan benjolan di perut disertai dengan ikterik. Dia kini datang kepada kami (dokter) dengan benjolan yang sudah besar disertai dengan ikterik. Ada pilihan yang tersedia tetapi tidak satupun dari pilihan itu yang aman dan tidak satupun dapat menolong pasien dalam jangka panjang. Saya yakin pasien ini akan meninggal. Dia telah terkonfirmasi kanker. Hal ini tidak dapat disembuhkan, dan tidak dapat diobati. Jadi, sebaiknya kami meringankan gejala dan melihat sampai sejauh mana. Dalam hal ini, keluarganya menyarankan bahwa pasien tidak diberitahu apa yang terjadi padanya. Saya tidak bisa memberinya harapan dan saya merasa sangat tidak enak mengatakan kepadanya bahwa saya tidak dapat melakukan apapun. Saya sudah mengatakan kepada keluarganya. Tapi jika ia menanyakan secara langsung, "apakah saya akan hidup, apakah saya akan mati? apakah saya kanker?", Maka saya akan mengatakan yang sebenarnya. Tetapi jika dia tidak bertanya, maka saya mungkin akan hanya memberitahu keluarganya. Ada kesempatan ketika setelah pasien telah menghabiskan sekitar 40 sampai 50.000 atau 100.000 dan pulang ke rumah, keluarga menanyakan: "apa yang telah kita capai setelah kita menghabiskan begitu banyak uang, dan haruskah kita terus menghabiskan yang kita punya dan tidak tahu kapan semua itu akan berakhir? "Saya sering mengatakan pada diri sendiri bahwa saya tidak dapat berperan sebagai Tuhan. Di sini kita menemukan situasi di mana orang miskin hanya memiliki 40.000 di bank, dia punya sebuah rumah dan jika dia meninggal

dia akan meninggalkan tiga anak dan seorang istri. Jadi apakah itu layak bahwa keluarganya menghabiskan semua itu untuknya dan kemudian keluar di jalan setelah kepala keluarganya meninggal?

Questions (Pertanyaan) 1. Do you agree with the doctor's position here that he will not give the patient himself the choice of treatment? Apakah Anda setuju dengan posisi dokter di sini bahwa dia tidak akan memberikan pasien sendiri pilihan pengobatan? Jawab Dokter berkewajiban memberitahukan kondisi pasien yang sebenarnya pada pasien. Jika pasien tidak kompeten, maka harus diberitahukan kondisi pasien pada keluarga pasien. Sedangkan pada kasus, dokter mau memberitahukan pada pasien tentang kondisinya jika pasien tersebut bertanya pada dokter. Namun jika pasien tidak bertanya, dokter tidak akan memberitahukan pada pasien tentang kondisinya. Hal ini disebabkan keluarga pasien tidak memperbolehkan dokter memberitahukan pasien tentang kondisinya sekarang. Hal ini sangat bertentangan dengan kewajiban dokter, dimana dokter berkewajiban memberitahukan kondisi pasien yang sebenarnya. Namun, hal ini juga tergantung minat pasien. Jika pasien tidak ingin tahu tentang kondisi kesehatannya, dokter tidak perlu memberitahukan kondisi kesehatan pasien pada pasien. Jika pasien ingin tahu informasi tentang penyakitnya tetapi dokter tidak mau memberitahukan informasi penyakit pasien, dokter tersebut tidak memberikan hak pasien yaitu memberikan informasi terhadap kondisi pasien, maka dokter tersebut akan melanggar KODEKI pasal 7c, seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya dan hak tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien.

Jika dokter akan mengambil tindakan, pasien dan keluarga harus diberi pengetahuan tentang biaya, tujuan, manfaat, kerugian tindakan tersebut agar dapat mengambil keputusan yang tepat. Tetapi menurut KUHP pasal 351, perawatan medis yang tidak ada manfaatnya termasuk penganiayaan karena merusak kesehatan. 2. Does it make a difference that the treatment is very expensive? Apakah itu membuat perbedaan bahwa pengobatan ini sangat mahal ? Jawab Jika harga terapi mahal, dokter jangan merendahkan pasien untuk pilihan terapi yang mungkin. Meskipun terlihat kurang mampu, dokter harus tetap memberitahukan pada pasien dan keluarga tentang biaya, tujuan, manfaat, kerugian tindakan tersebut agar dapat mengambil keputusan yang tepat.

BAB III KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA Darmojo, Boedhi, dan Martono, Hadi. 2000. Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut), Edisi 2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Hanafiah, M Jusuf. 1999. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan Edisi 3. Jakarta : EGC Hanafie, Achsanudin. 2006. Strategi Penyapihan dari Mechanical Ventilation. Majalah Kedokteeran Nusantara Volume 39 NO.3: USU Sumatra Utara available at URL: repository.usu.ac.id/bitstream/.../mkn-sep2006-%20sup %20(25).pdf . Diakses pada tanggal 2 Juli 2012 KODEKI, 2004. Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia. Jakarta: Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia (MKEK) Nadeak P.Gonzales. 2004. Lebih Baik Mati?Menyorot Euthanasia.Medan: Bina Media Perintis Hukum-Kesehatan.web.id Rohim, Abdal. No date. Euthanasia Perspektif dan Hukum Pidanan Indonesia. Available at URL: http://www.stikku.ac.id/wpcontent/uploads/2011/02/EUTHANASIA-PERSEPETIF-MEDIS-DANHUKUM-PIDANA-INDONESIA.pdf. Diakses pada tanggal 2 Juli 2012 Samil, Ratna Supraptil. 2001. Etika Kedokteran Indonesia Edisi 2 Cetakan 1. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo SKM, Hardiwinoto, Stiabudi, Tony. 2005. Panduan Gerontologi, Tinjauan Dari Berbagai Aspek. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama

Anda mungkin juga menyukai