Anda di halaman 1dari 20

KECEPATAN DISOLUSI

I. TUJUAN PERCOBAAN Setelah melakukan percobaan ini mahasiswa diharapkan mampu untuk : 1. Menentukan kecepatan disolusi suatu zat 2. Menggunakan alat penentuan kecepatan disolusi suatu zat 3. Menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan disolusi suatu zat II. DASAR TEORI a. Kelarutan Pelarutan merupakan proses dimana suatu bahan kimia atau obat menjadi terlarut dalam suatu pelarut. Dalam sistem biologi pelarutan obat dalam media aqueous merupakan suatu bagian penting sebelum kondisi sistemik. Laju pelarutan obat dengan kelarutan dalam air sangat kecil dari bentuk sediaan padat yang utuh atau terdisintegrasi dalam saluran cerna sering mengendalikan laju absorbsi sistemik obat. Disolosi merupakan tahapan yang membatasi atau tahap yang mengontrol laju bioabsorbsi obatobat yang mempunyai kelarutan rendah, karena tahapan ini seringkali merupakan tahapan yang paling lambat dari berbagai tahapan yang ada dalam pelepasan obat dari bentuk sediaannya dan perjalanannya ke dalam sirkulasi sistemik (Izfilawati Z., 2009). Kadar obat dalam darah pada sediaan peroral dipengaruhi oleh proses absorpsi dan kadar obat dalam darah ini menentukan efek sistemiknya. Obat dalam bentuk sediaan padat mengalami berbagai tahap pelepasan dari bentuk sediaan sebelum diabsorpsi. Tahapan tersebut meliputi disintegrasi, deagregasi dan disolusi. Kecepatan obat mencapai sistem sirkulasi dalam proses disintegrasi, disolusi dan absorpsi, ditentukan oleh tahap yang paling lambat dari rangkaian di atas yang disebut dengan rate limiting step. Kecepatan pelepasan obat sediaan lepas lambat, yaitu kecepatan disolusi dianggap selalu lebih lambat daripada kecepatan absorpsi, atau dengan kata lain kecepatan disolusi merupakan rate limiting step. Pengaturan absorpsi sistemik obat bentuk sediaan lepas lambat dapat dilakukan dengan mengatur kecepatan disolusi. Supaya partikel padat terdisolusi maka molekul solut pertama-tama harus memisahkan diri dari permukaan padat, kemudian bergerak menjauhi permukaan memasuki pelarut. Tergantung pada kedua proses ini dan bagaimana cara proses transpor berlangsung maka perilaku disolusi

dapat digambarkan secara fisika. Dari segi kecepatan disolusi yang terlibat dalam zat murni, ada tiga dasar model fisika yang umum. a. Model lapisan difusi (diffusion layer model). Model ini pertama kali diusulkan oleh Nerst dan Brunner. Pada permukaan padat terdapat satu lapis tipis cairan dengan ketebalan , merupakan komponen kecepatan negatif dengan arah yang berlawanan dengan permukaan padat. Reaksi pada permukaan padat-cair berlangsung cepat. Begitu model solut melewati antar muka liquid film bulk film, pencampuran secara cepat akan terjadi dan gradien konsentrasi akan hilang. Karena itu kecepatan disolusi ditentukan oleh difusi gerakan Brown dari molekul dalam liguid film. b. Model barrier antar muka (interfacial barrier model). Model ini menggambarkan reaksi yang terjadi pada permukaan padat dan dalam hal ini terjadi difusi sepanjang lapisan tipis cairan. Sebagai hasilnya, tidak dianggap adanya kesetimbangan padatan-larutan, dan hal ini harus dijadikan pegangan dalam membahas model ini. Proses pada antar muka padat-cair sekarang menjadi pembatas kecepatan ditinjau dari proses transpor. Transpor yang relatif cepat terjadi secara difusi melewati lapisan tipis statis (stagnant). c. Model Dankwert (Dankwert model). Model ini beranggapan bahwa transpor solut menjauhi permukaan padat terjadi melalui cara paket makroskopik pelarut mencapai antar muka padat-cair karena terjadi pusaran difusi secara acak (Martin et al, 1990). Disolusi didefinisikan sebagai suatu proses melarutnya zat kimia atau senyawa obat dari sediaan padat ke dalam suatu medium tertentu. Laju disolusi suatu obat adalah kecepatan perubahan dari bentuk padat menjadi terlarut dalam medianya setiap waktu tertentu. Jadi disolusi menggambarkan kecepatan obat larut dalam media disolusi. Kecepatan disolusi adalah suatu ukuran yang menyatakan banyaknya suatu zat terlarut dalam pelarut tertentu setiap satuan waktu. Suatu hubungan yang umum menggambarkan proses disolusi zat padat telah dikembangkan oleh Noyes dan Whitney dalam bentuk persamaan berikut :

dM DS ( Cs C ) = dt h
dM.dt-1 : kecepatan disolusi

D S Cs C H

: koefisien difusi : luas permukaan zat : kelarutan zat padat : konsentrasi zat dalam larutan pada waktu : tebal lapisan difusi Dalam teori disolusi atau perpindahan massa, diasumsikan bahwa selama proses

disolusi berlangsung pada permukaan padatan terbentuk suatu lapisan difusi air atau lapisan tipis cairan yang stagnan dengan ketebalan h. Bila konsentrasi zat terlarut di dalam larutan (C) jauh lebih kecil daripada kelarutan zat tersebut (Cs) sehingga dapat diabaikan, maka harga (Cs-C) dianggap sama dengan Cs. Jadi, persamaan kecepatan disolusi dapat disederhanakan menjadi

dM DSCs = dt h
Dalam teori disolusi atau perpindahan massa, diasumsikan bahwa selama proses disolusi berlangsung pada permukaan padatan terbentuk suatu lapisan difusi air atau lapisan tipis cairan yang stagnan dengan ketebalan h, seperti tampak pada gambar Zat padat berikut.

K O NS E N TR AS I

Lapisan Difusa Air Cs

Larutan

C X=0 X=h

Ketebalan h ini menyatakan lapisan pelarut stasioner di dalam mana molekulmolekul zat terlarut berada dalam konsentrasi dari Cs sampai C. dibelakang lapisan difusi statis tersebut, pada harga x yang lebih besar dari h, terjadi pencampuran dalam larutan, dan obat terdapat pada konsentrasi yang samaC pada seluruh bulk. Pada antarmuka permukaan padat dan lapisan difusi, x=0, obat dalam bentuk padat berada dalam keseimbangan dengan obat dalam lapisan difusi. Perbedaan, atau perubahan konsentrasi dengan berubahnya jarak untuk melewati lapisan difusi adalah konstan, seperti terlihat oleh garis lurus yang mempunyai kemiringan (slop) menurun. Dari persamaan tersebut di atas, tampak beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan disolusi suatu zat, yaitu: 1. Suhu Meningginya suhu umumnya memperbesar kelarutan (Cs) suatu zat yang bersifat endotermik serta memperbesar harga koefisien difusi zat. Menurut Einstein, koefisien difusi dapat dinyatakan melalui persamaan berikut : D= Keterangan : D r k T 2. : koefisien difusi : jari-jari molekul : konstanta Boltzman : viskosita pelarut : suhu Viskositas kT 6 r

Turunnya viskositas pelarut akan memperbesar kecepatan disolusi suatu zat sesuai dengan persamaan Einstein. Meningginya suhu juga menurunkan viskositas dan memperbesar kecepatan disolusi. 3. basa lemah. Untuk asam lemah pH Pelarut

pH pelarut sangat berpengaruh terhadap kelarutan zat-zat yang bersifat asam atau

dc Ka = K .C.Cs 1 + dt H+

( )

Jika (H+) kecil atau pH besar maka kelarutan zat akan meningkat. Dengan demikian, kecepatan disolusi zat juga meningkat. Untuk basa lemah dc H+ = K .C.Cs 1 + ( Ka ) dt Jika (H+) besar atau pH kecil maka kelarutan zat akan meningkat. Dengan demikian, kecepatan disolusi juga meningkat. 4. Pengadukan Kecepatan pengadukan akan mempengaruhi tebal lapisan difusi (h). jika pengadukan berlangsung cepat, maka tebal lapisan difusi akan cepat berkurang. 5. Ukuran Partikel

Jika partikel zat berukuran kecil maka luas permukaan efektif menjadi besar sehingga kecepatan disolusi meningkat. 6. Polimorfisme

Kelarutan suatu zat dipengaruhi pula oleh adanya polimorfisme. Struktur internal zat yang berlainan dapat memberikan tingkat kelarutan yang berbeda juga. Kristal meta stabil umumnya lebih mudah larut daripada bentuk stabilnya, sehingga kecepatan disolusinya besar. 7. Sifat Permukaan Zat Pada umumnya zat-zat yang digunakan sebagai bahan obat bersifat hidrofob. Dengan adanya surfaktan di dalam pelarut, tegangan permukaan antar partikel zat dengan pelarut akan menurun sehingga zat mudah terbasahi dan kecepatan disolusinya bertambah. Laju disolusi obat secara in vitro dipengaruhi beberapa faktor, antara lain: a. Sifat fisika kimia obat.

Sifat fisika kimia obat berpengaruh besar terhadap kinetika disolusi. Luas permukaan efektif dapat diperbesar dengan memperkecil ukuran partikel. Laju disolusi akan diperbesar karena kelarutan terjadi pada permukaan solut. Kelarutan obat dalam air juga mempengaruhi laju disolusi. Obat berbentuk garam, pada umumnya lebih mudah larut dari pada obat berbentuk asam maupun basa bebas. Obat dapat membentuk suatu polimorfi yaitu terdapatnya beberapa kinetika pelarutan yang berbeda meskipun memiliki struktur kimia yang identik. Obat bentuk kristal secara umum lebih keras, kaku dan secara termodinamik lebih stabil daripada bentuk amorf, kondisi ini menyebabkan obat bentuk amorf lebih mudah terdisolusi daripada bentuk kristal. b. Faktor alat dan kondisi lingkungan.

Adanya perbedaan alat yang digunakan dalam uji disolusi akan menyebabkan perbedaan kecepatan pelarutan obat. Kecepatan pengadukan akan mempengaruhi kecepatan pelarutan obat, semakin cepat pengadukan maka gerakan medium akan semakin cepat sehingga dapat menaikkan kecepatan pelarutan. Selain itu temperatur, viskositas dan komposisi dari medium, serta pengambilan sampel juga dapat mempengaruhi kecepatan pelarutan obat. c. Faktor formulasi.

Berbagai macam bahan tambahan yang digunakan pada sediaan obat dapat mempengaruhi kinetika pelarutan obat dengan mempengaruhi tegangan muka antara medium tempat obat melarut dengan bahan obat, ataupun bereaksi secara langsung dengan bahan obat. Penggunaan bahan tambahan yang bersifat hidrofob seperti magnesium stearat, dapat menaikkan tegangan antar muka obat dengan medium disolusi. Beberapa bahan tambahan lain dapat membentuk kompleks dengan bahan obat, misalnya kalsium karbonat dan kalsium sulfat yang membentuk kompleks tidak larut dengan tetrasiklin. Hal ini menyebabkan jumlah obat terdisolusi menjadi lebih sedikit dan berpengaruh pula terhadap jumlah obat yang diabsorpsi (Martin et al,1990).

Menurut sumber lain, yang mempengaruhi kecepatan disolusi terbagi menjadi tiga. Yaitu: a. Faktor intrinsik obat Luas permukaan spesifik partikel Distribusi ukuran partikel Bentuk partikel Polimorfi Bentuk asam, basa, garam b. Faktor lingkungan medium Temperatur Viskositas cairan Konsentrasi partikel yang terdisolusi Kecepatan mengalirnya cairan Komposisi medium disolusi : pH, kekuatan ionisasi, tegangan permukaan. c. Faktor teknologi Perbedaan metode yang digunakan dalam produksi turut mempengaruhi disolusi obat. Demikian pula pengunaan bahan-bahan tambahan dalam produksi. Contoh bahan tambahan yang sering digunakan pensuspensi yang akan menurunkan laju disolusi karena kenaikan adalah kekentalan. Contoh lain adalah bahan pelicin yang bersifat hidrofob karena mampu menolak air sehingga menurunkan laju disolusi obat (Isfilawati Z,2009). Penentuan kecepatan disolusi suatu zat dapat dilakukan melalui metode : 1. Metode Suspensi Serbuk zat padat ditambahkan ke dalam pelarut tanpa pengontrolan eksak terhadap luas permukaan partikelnya. Sampel diambil pada waktu-waktu tertentu dan jumlah zat yang larut ditentukan dengan cara yang sesuai. 2. Metode Permukaan Konstan

Zat ditempatkan dalam suatu wadah yang diketahui luasnya sehingga variable perbedaan luas permukaan efektif dapat diabaikan. Umumnya zat diubah menjadi tablet terlebih dahulu, kemudian ditentukan seperti pada metode suspensi. Penentuan dengan metode suspensi dapat dilakukan dengan menggunakan alat uji disolusi tipe dayung seperti yang tercantum pada USP. Sedangkan untuk metode permukaan tetap, dapat digunakan alat seperti diusulkan oleh Simonelli dkk sebagai berikut.

Dalam bidang farmasi, penentuan kecepatan disolusi suatu zat perlu dilakukan karena kecepatan disolusi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi absorbsi obat di dalam tubuh. Penentuan kecepatan disolusi suatu zat aktif dapat dilakukan pada beberapa tahap pembuatan suatu sediaan obat, antara lain : 1. Tahap Pra Formulasi Pada tahap ini penentuan kecepatan disolusi dilakukan terhadap bahan baku obat dengan tujuan untuk memilih sumber bahan baku dan memperoleh informasi tentang bahan baku tersebut. 2. Tahap Formulasi Pada tahap ini penentuan kecepatan disolusi dilakukan untuk memilih formula sediaan yang terbaik. 3. Tahap Produksi Pada tahap ini kecepatan disolusi dilakukan untuk mengendalikan kualitas sediaan obat yang diproduksi (Martin et al,1990).

b. Asam Salisilat Asam salisilat merupakan serbuk hablur halus putih, biasanya berbentuk jarum halus, rasa agak manis, tajam dan stabil di udara. Bentuk sintetis warna putih dan tidak berbau. Asam salisilat sukar larut dalam air dan dalam benzena, mudah larut dalam etanol dan dalam eter, larut dalam air mendidih dan agak sukar larut dalam kloroform (Anonim a, 1995). Asam salisilat (asam ortohidroksibenzoat) merupakan asam yang bersifat iritan lokal, yang dapat digunakan secara topikal. Terdapat berbagai turunan yang digunakan sebagai obat luar, yang terbagi atas 2 kelas, ester dari asam salisilat dan ester salisilat dari asam organik. Di samping itu digunakan pula garam salisilat. Turunannya yang paling dikenal asalah asam asetilsalisilat. Asam salisilat mendapatkan namanya dari spesies dedalu (bahasa Latin: salix), yang memiliki kandungan asam tersebut secara alamiah, dan dari situlah manusia mengisolasinya. Penggunaan dedalu dalam pengobatan tradisional telah dilakukan oleh bangsa Sumeria, Asyur dan sejumlah suku Indian seperti Cherokee. Salisilat umumnya bekerja melalui kandungan asamnya. Hal tersebut dikembangkan secara menetap ke dalam salisilat baru. Selain sebagai obat, asam salisilat juga merupakan hormon tumbuhan. (Anonim b, 2009) Struktur Asam salisilat :

III. CARA KERJA Dibuat 10 seri larutan dengan kadar 100 mg asam salisilat dalam 10 mL air suling Dimasukkan dalam shaker Motor penggerak dihidupkan pada kecepatan 10 ppm

Diambil sebanyak 1 sampel dari bejana setiap selang waktu 5, 15, 20, 25, dan 30 menit setelah pengadukan Kadar asam salisilat terlarut dari setiap sample ditentukan dengan cara titrasi asam-basa menggunakan NaOH 0,05 N dan indicator fenolftalen. Dilakukan koreksi perhitungan kadar yang diperoleh setiap waktu terhadap pengenceran yang dilakukan karena penggantian larutan dengan air suling. Dilakukan percobaan yang sama untuk kecepatan pengadukan 30 ppm. Hasil yang diperoleh ditabelkan. Antara konsentrasi asam salisilat yang diperoleh dengan waktu dibuat kurva untuk setiap kecepatan pengadukan (di dalam satu grafik). IV. ALAT dan BAHAN A. Alat 1. Tabung reaksi 2. Erlenmeyer 3. Beaker glass 4. Batang pengaduk 5. Buret 6. Shaker 7. Motor penggerak 8. Pipet tetes B. Bahan 1. 2. 3. 4. Asam salisilat Air suling NaOH 0,05 N Phenolftalein

V. 1.

HASIL DAN PERHITUNGAN A. Hasil Pengadukan dengan Kecepatan 100 ppm

No. 1. 2. 3. 4. 5. 2.

Waktu (menit) 5 15 20 25 30

Air Suling (mL) 100 100 100 100 100

Asam Salisilat (g) 1 1 1 1 1

NaOH (mL) 1,30 1,70 1,75 1,80 1,90

Perubahan Warna Sebelum Bening Bening Bening Bening Bening Sesudah Merah muda Merah muda Merah muda Merah muda Merah muda

Pengadukan dengan Kecepatan 300 ppm

No. 1. 2. 3. 4. 5.

Waktu (menit) 5 15 20 25 30

Air Suling (mL) 100 100 100 100 100

Asam Salisilat (g) 1 1 1 1 1

NaOH (mL) 1,90 1,90 1,95 1,95 1,95

Perubahan Warna Sebelum Bening Bening Bening Bening Bening Sesudah Merah muda Merah muda Merah muda Merah muda Merah muda

B. Perhitungan 1. Konsentrasi NaOH N = M x ek

M = M = M = 0,05 mol/L = 0,05 M 2. Konsentrasi Asam Salisilat

a. Kecepatan Pengadukan 100 ppm Menit ke-5 Diketahui : V NaOH V Asam Salisilat Ditanya Perhitungan : = = = Vasam salisilat x Masam salisilat 5 mL x Masam salisilat 0,013 M = 1,30 mL = 5 mL Konsentrasi NaOH = 0,05 M : Konsentrasi asam salisilat.?

VNaOH x MNaOH 1,3 mL x 0,05 M Masam salisilat Menit ke-15 Diketahui

: V NaOH V Asam Salisilat

= 1,70 mL = 5 mL

Konsentrasi NaOH = 0,05 M Ditanya Perhitungan : Konsentrasi asam salisilat.? : = = = Vasam salisilat x Masam salisilat 5 mL x Masam salisilat 0,017 M

VNaOH x MNaOH 1,70 mL x 0,05 M Masam salisilat Menit ke-20 Diketahui

: V NaOH V Asam Salisilat

= 1,75 mL = 5 mL

Konsentrasi NaOH = 0,05 M Ditanya Perhitungan : Konsentrasi asam salisilat.? : = = = Vasam salisilat x Masam salisilat 5 mL x Masam salisilat 0,0175 M

VNaOH x MNaOH 1,75 mL x 0,05 M Masam salisilat Menit ke-25 Diketahui

: V NaOH

= 1,80 mL

Konsentrasi NaOH = 0,05 M V Asam Salisilat Ditanya Perhitungan : = = = Vasam salisilat x Masam salisilat 5 mL x Masam salisilat 0,018 M = 5 mL : Konsentrasi asam salisilat.?

VNaOH x MNaOH 1,80 mL x 0,05 M Masam salisilat Menit ke-30 Diketahui

: V NaOH V Asam Salisilat

= 1,90 mL = 5 mL

Konsentrasi NaOH = 0,05 M Ditanya Perhitungan : Konsentrasi asam salisilat.? : = = = Vasam salisilat x Masam salisilat 5 mL x Masam salisilat 0,019 M

VNaOH x MNaOH 1,90 mL x 0,05 M Masam salisilat

b. Kecepatan Pengadukan 300 ppm Menit ke-5 Diketahui : V NaOH V Asam Salisilat Ditanya Perhitungan : = = = Vasam salisilat x Masam salisilat 5 mL x Masam salisilat 0,019 M = 1,90 mL = 5 mL Konsentrasi NaOH = 0,05 M : Konsentrasi asam salisilat.?

VNaOH x MNaOH 1,90 mL x 0,05 M Masam salisilat Menit ke-15 Diketahui

: V NaOH V Asam Salisilat

= 1,90 mL = 5 mL

Konsentrasi NaOH = 0,05 M

Ditanya Perhitungan

: Konsentrasi asam salisilat.? : = = = Vasam salisilat x Masam salisilat 5 mL x Masam salisilat 0,019 M

VNaOH x MNaOH 1,90 mL x 0,05 M Masam salisilat Menit ke-20 Diketahui

: V NaOH V Asam Salisilat

= 1,95 mL = 5 mL

Konsentrasi NaOH = 0,05 M Ditanya Perhitungan : Konsentrasi asam salisilat.? : = = = Vasam salisilat x Masam salisilat 5 mL x Masam salisilat 0,0195 M

VNaOH x MNaOH 1,95 mL x 0,05 M Masam salisilat Menit ke-25 Diketahui

: V NaOH V Asam Salisilat

= 1,95 mL = 5 mL

Konsentrasi NaOH = 0,05 M Ditanya Perhitungan : Konsentrasi asam salisilat.? : = = = Vasam salisilat x Masam salisilat 5 mL x Masam salisilat 0,0195 M

VNaOH x MNaOH 1,95 mL x 0,05 M Masam salisilat Menit ke-30 Diketahui

: V NaOH V Asam Salisilat

= 1,95 mL = 5 mL

Konsentrasi NaOH = 0,05 M Ditanya Perhitungan : Konsentrasi asam salisilat.? : = Vasam salisilat x Masam salisilat

VNaOH x MNaOH

1,95 mL x 0,05 M Masam salisilat VI. PEMBAHASAN

= =

5 mL x Masam salisilat 0,0195 M

Pada praktikum kali ini, dilakukan uji kecepatan disolusi yang bertujuan untuk menentukan kecepatan disolusi suatu zat, menggunakan alat penentuan kecepatan disolusi suatu zat, dan menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan disolusi suatu zat. Kecepatan disolusi adalah suatu ukuran yang menyatakan banyaknya suatu zat terlarut dalam pelarut tertentu setiap satuan waktu. Kecepatan disolusi suatu zat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu suhu, viskositas, pH pelarut, pengadukan, ukuran partikel, polimorfisme, dan sifat permukaan zat (Tim Penyusun, 2009). Pada praktikum ini, faktor yang diperhatikan dalam uji kecepatan disolusi adalah faktor pengadukan. Pengujian kecepatan disolusi dilakukan terhadap asam salisilat dalam air. Rumus molekul adalah C7H6O3 dan rumus strukturnya sebagai berikut (Anonim c, 1979):

Dari rumus struktur di atas, terlihat bahwa asam salisilat memiliki gugus polar dan gugus nonpolar. Gugus polar dari asam salisilat adalah gugus OH dan gugus nonpolar pada asam salisilat adalah gugus cincin benzen. Struktur tersebut menyebabkan asam salisilat larut pada sebagian pelarut polar dan sebagian pada pelarut non polar. Namun, karena memiliki gugus polar dan nonpolar sekaligus dalam satu gugus, asam salisilat sukar larut dengan sempurna pada pelarut polar saja atau pelarut nonpolar saja. Asam salisilat sukar larut pada air yang merupakan pelarut polar dan benzena yang merupakan pelarut nonpolar, tetapi mudah larut pada etanol dan eter yang merupakan pelarut semipolar (Anonim a, 1995). Metode yang digunakan dalam penentuan kecepatan disolusi adalah metode suspensi, dimana serbuk asam salisilat dimasukkan ke dalam air tanpa melakukan pengontrolan eksak terhadap luas permukaan partikelnya. Sampel diambil pada waktu tertentu dan kadar zat yang larut ditentukan. Alat yang digunakan adalah pengaduk

(shaker) yang berupa Stirrer SS 2. Percobaan ini dilakukan sebanyak 2 kali dengan kecepatan pengadukan yang berbeda untuk mengetahui pengaruh kecepatan pengadukan terhadap kecepatan disolusi. Proses penentuan kecepatan disolusi asam salisilat dalam air diawali dengan menimbang asam salisilat sebanyak 1 gram yang kemudian dimasukkan ke dalam beaker dan ditambahkan dengan 100 mL air suling. Beaker diletakkan di bawah shaker dan motor penggerak dinyalakan dengan kecepatan 100 ppm. Larutan diambil sebanyak 5 mL pada menit ke-5, 15, 20, 25, dan 30. Setiap pengambilan 5 mL larutan dari beaker, diimbangi dengan penambahan 5 mL air suling ke dalam beaker agar volume larutan konstan. Proses ini diulangi dengan mengubah kecepatan pada shaker menjadi 300 ppm. Kadar asam salisilat yang larut ditentukan dengan titrasi menggunakan NaOH 0,05 N sebagai pentiter dan phenolphthalein 3 tetes sebagai indikator. Pada titik akhir titrasi, warna larutan asam salisilat akan berubah dari bening menjadi merah muda. Pada titik akhir titrasi, jumlah mol asam salisilat sama dengan jumlah mol NaOH. Reaksi yang terjadi selama proses titrasi adalah sebagai berikut. Asam Salisilat + NaOH Natrium Salisilat + H2O

Pada pengadukan dengan kecepatan 100 ppm, volume NaOH yang dibutuhkan untuk menitrasi larutan asam salisilat dan kadar asam salisilat yang diperoleh dari perhitungan dapat dilihat pada tabel berikut.

No. 1. 2. 3. 4. 5.

Waktu (menit) 5 15 20 25 30

NaOH (mL) 1,30 1,70 1,75 1,80 1,90

Kadar Asam Salisilat (M) 0,013 0,017 0,0175 0,018 0,019

Perubahan Warna Sebelum Bening Bening Bening Bening Bening Sesudah Merah muda Merah muda Merah muda Merah muda Merah muda

Sedangkan, pada pengadukan dengan kecepatan 300 ppm, volume NaOH yang dibutuhkan untuk menitrasi larutan asam salisilat dan kadar asam salisilat yang diperoleh dari perhitungan adalah sebagai berikut.

No. 1. 2. 3. 4. 5.

Waktu (menit) 5 15 20 25 30

NaOH (mL) 1,90 1,90 1,95 1,95 1,95

Kadar Asam Salisilat (M) 0,019 0,019 0,0195 0,0195 0,0195

Perubahan Warna Sebelum Bening Bening Bening Bening Bening Sesudah Merah muda Merah muda Merah muda Merah muda Merah muda

Dari kedua tabel di atas, terlihat bahwa konsentrasi asam salisilat pada pengadukan dengan kecepatan 100 ppm lebih kecil dibandingkan dengan konsentrasi pada pengadukan dengan kecepatan 300 ppm. Hal ini disebabkan karena kecepatan pengadukan mempengaruhi tebal lapisan difusi. Sehingga, pengadukan yang cepat mampu mengurangi tebal lapisan difusi dengan cepat yang menyebabkan kecepatan disolusi zat (asam salisilat) dalam pelarutnya (air suling) meningkat. Selain kecepatan pengadukan, lama pengadukan juga dapat mempengaruhi kecepatan disolusi. Hubungan antara lama pengadukan dengan konsentrasi asam salisilat yang diperoleh adalah sebagai berikut.

Grafik K onsentrasi AsamS alisilat terhadap L a Peng am adukan


0.02 0.019 0.018 0.017 0.016 0.015 0.014 0.013 0.012 0 5 10 15 20 25 30 35 Waktu (m enit) Dari grafik di atas, terlihat bahwa konsentrasi asam salisilat pada pengadukan dengan kecepatan 100 ppm semakin lama semakin meningkat. Sedangkan, konsentrasi asam salisilat pada pengadukan dengan kecepatan 300 ppm hanya mengalami peningkatan sekali, yaitu pada menit ke-20. Hal ini disebabkan karena pada pengadukan dengan kecepatan 100 ppm, laju disolusi asam salisilat dalam air lambat sehingga waktu yang dipelukan untuk menjenuhkan asam salisilat lebih lama. Karenanya konsentrasi asam salisilat dalam air semakin lama semakin meningkat. Jika percobaan dilanjutkan, maka konsentrasi asam salisilat semakin lama akan meningkat hingga tercapai keadaan jenuh dan konsentrasinya akan tetap karena kelarutan asam salisilat dalam air tebatas. Pada pengadukan dengan kecepatan 300 ppm, konsentrasi asam salisilat dalam air tidak banyak mengalami peningkatan. Hal ini dapat disebabkan karena laju disolusi yang besar sehingga mempercepat tercapainya kondisi dimana asam salisilat telah jenuh sehingga konsentrasi asam salisilat tidak banyak mengalami peningkatan. Dari sini dapat dilihat bahwa semakin cepat pengadukan semakin besar laju disolusi, begitu pula semakin lama dilakukan pengadukan semakin besar pula laju disolusi.

K entras (Molar) ons i

100 ppm 300 ppm

VII.

KESIMPULAN 1. Kecepatan disolusi adalah suatu ukuran yang menyatakan banyaknya suatu zat terlarut dalam pelarut tertentu setiap satuan waktu. 2. Salah satu faktor yang mempengaruhi kecepatan disolusi suatu zat adalah faktor pengadukan 3. Pengadukan dengan kecepatan 300 ppm menghasilkan konsentrasi asam salisilat yang lebih besar dibandingkan pada kecepatan 100 ppm karena pengadukan yang semakin cepat akan memperbesar laju disolusi. 4. Pada pengadukan dengan kecepatan 100 ppm, semakin lama pengadukan menghasilkan konsentrasi asam salisilat yang semakin besar karena semakin lama pengadukan yang, semakin besar pula laju disolusi. 5. Pada pengadukan dengan kecepatan 300 ppm, konsentrasi asam salisilat hanya mengalami peningkatan sekali karena ada kemungkinan larutan asam salisilat yang terbentuk telah jenuh.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim a. 1995. Farmakope Indonesia Edisi Keempat. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia Anonim b. 2009. Asam Salisilat Available at : http://id.wikipedia.org/wiki/Asam_salisilat Opened at: 13 November 2009 Anonim c. 1979. Farmakope Indonesia Edisi Kedua. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia Anonim d. 2009. Kecepatan disolusi. Available at : http://Otetatsuyasblog.html Opened at: 30 Oktober 2009 Martin, Alfred et al. 1990. Farmasi Fisik Edisi Ketiga Jilid I. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia Martin, Alfred et al. 1990. Farmasi Fisik Edisi Ketiga Jilid II. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia Tim Penyusun. 2009. Petunjuk Praktikum Farmasi Fisika. Bukit Jimbaran : Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Underwood, A. L, dan Day, R. A. 1981. Analisa Kimia Kuantitatif Edisi Keempat. Surabaya : Penerbit Erlangga

Anda mungkin juga menyukai