Anda di halaman 1dari 7

Di antara kemudahan dalam syarat Islam adalah memberi keringanan kepada wanita hamil dan menyusui untuk tidak

berpuasa. Jika wanita hamil takut terhadap janin yang berada dalam kandungannya dan wanita menyusui takut terhadap bayi yang dia sapih misalnya takut kurangnya susu- karena sebab keduanya berpuasa, maka boleh baginya untuk tidak berpuasa, dan hal ini tidak ada perselisihan di antara para ulama. Dalil yang menunjukkan hal ini adalah sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Sesungguhnya Allah 'azza wa jalla meringankan setengah shalat untuk musafir dan meringankan puasa bagi musafir, wanita hamil dan menyusui.[1] Perselisihan Ulama Namun apa kewajiban wanita hamil dan menyusui jika tidak berpuasa, apakah ada qodho ataukah mesti menunaikan fidyah? Inilah yang diperselisihkan oleh para ulama. Al Jashshosh rahimahullah mengatakan, Para ulama salaf telah berselisih pendapat dalam masalah ini menjadi tiga pendapat. Ali berpendapat bahwa wanita hamil dan menyusui wajib qodho jika keduanya tidak berpuasa dan tidak ada fidyah ketika itu. Pendapat ini juga menjadi pendapat Ibrahim, Al Hasan dan Atho. Ibnu Abbas berpendapat cukup keduanya membayar fidyah saja, tanpa ada qodho. Sedangkan Ibnu Umar dan Mujahid berpendapat bahwa keduanya harus menunaikan fidyah sekaligus qodho.[2] Lengkapnya dalam masalah ini ada lima pendapat. Pendapat pertama: wajib mengqodho (mengganti) puasa dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan. Inilah pendapat Imam Asy Syafii, Imam Malik dan Imam Ahmad. Namun menurut ulama Syafiiyah dan Hanabilah, jika wanita hamil dan menyusui takut sesuatu membahayakan dirinya (tidak anaknya), maka wajib baginya mengqodho puasa saja karena keduanya disamakan seperti orang sakit. Pendapat kedua: cukup mengqodho saja. Inilah pendapat Al Auzai, Ats Tsauriy, Abu Hanifah dan murid-muridnya, Abu Tsaur dan Abu Ubaid. Pendapat ketiga: cukup memberi makan kepada orang miskin tanpa mengqodho. Inilah pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ishaq, dan Syaikh Al Albani. Pendapat keempat: mengqodho bagi yang hamil sedangkan bagi wanita menyusui adalah dengan mengqodho dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan. Inilah pendapat Imam Malik dan ulama Syafiiyah. Pendapat kelima: tidak mengqodho dan tidak pula memberi makan kepada orang miskin. Inilah pendapat Ibnu Hazm.[3] Dalil Ulama yang Mengharuskan Penunaian Fidyah Firman Allah Taala,

Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin (QS. Al Baqarah: 184). Menurut ulama yang berpendapat seperti ini, mereka mengatakan bahwa kewajiban fidyah masih berlaku bagi orang yang sudah tua renta, juga bagi wanita hamil dan menyusui. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, beliau berkata, ( : )

Keringanan dalam hal ini adalah bagi orang yang tua renta dan wanita tua renta, lalu mereka mampu berpuasa. Mereka berdua berbuka jika mereka mau dan memberi makan kepada orang miskin setiap hari yang ditinggalkan, pada saat ini tidak ada qodho bagi mereka. Kemudian hal ini dihapus dengan ayat (yang artinya): Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. Namun hukum fidyah ini masih tetap ada bagi orang yang tua renta dan wanita tua renta jika mereka tidak mampu berpuasa. Kemudian bagi wanita hamil dan menyusui jika khawatir mendapat bahaya, maka dia boleh berbuka (tidak berpuasa) dan memberi makan orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan. [4] Dalam riwayat Abu Daud, ( ) - - . Dari Ibnu Abbas, mengenai firman Allah (yang artinya), Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin,[5] beliau mengatakan, Ayat ini menunjukkan keringanan bagi laki-laki dan perempuan yang sudah tua renta dan mereka merasa berat berpuasa, mereka dibolehkan untuk tidak berpuasa, namun mereka diharuskan untuk memberi makan setiap hari satu orang miskin sebagai ganti tidak berpuasa. Hal ini juga berlaku untuk wanita hamil dan menyusui jika keduanya khawatir Abu Daud mengatakan: khawatir pada keselamatan anaknya-, mereka dibolehkan tidak berpuasa, namun keduanya tetap memberi makan (kepada orang miskin).[6] Dalam perkataan lainnya, Ibnu 'Abbas menyamakan wanita hamil dan menyusui dengan tua renta yaitu sama dalam membayar fidyah. Dari Ibnu Abbas, beliau dulu pernah menyuruh wanita hamil untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Beliau mengatakan,

Engkau seperti orang tua yang tidak mampu berpuasa, maka berbukalah dan berilah makan kepada orang miskin setengah sho gandum untuk setiap hari yang ditinggalkan.[7] Begitu pula hal yang sama dilakukan oleh Ibnu Umar. Dari Nafi, dia berkata,

Putri Ibnu Umar yang menikah dengan orang Quraisy sedang hamil. Ketika berpuasa di bulan Ramadhan, dia merasa kehausan. Kemudian Ibnu Umar memerintahkan putrinya tersebut untuk berbuka dan memberi makan orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.[8] [9] Dalil Ulama yang Mengharuskan Qodho Alasan pertama: Dari Anas bin Malik, ia berkata, Sesungguhnya Allah meringankan separuh shalat dari musafir, juga puasa dari wanita hamil dan menyusui.[10] Al Jashshosh rahimahullah menjelaskan, Keringanan separuh shalat tentu saja khusus bagi musafir. Para ulama tidak ada beda pendapat mengenai wanita hamil dan menyusui bahwa mereka tidak dibolehkan mengqoshor shalat. ... Keringanan puasa bagi wanita hamil dan menyusui sama halnya dengan keringanan puasa bagi musafir. ... Dan telah diketahui bahwa keringanan puasa bagi musafir yang tidak berpuasa adalah mengqodhonya, tanpa adanya fidyah. Maka berlaku pula yang demikian pada wanita hamil dan menyusui. Dari sini juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara wanita hamil dan menyusui jika keduanya khawatir membahayakan dirinya atau anaknya (ketika mereka berpuasa) karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam sendiri tidak merinci hal ini.[11] Perkataan Al Jashshosh ini sebagai sanggahan terhadap pendapat keempat yaitu ulama yang berpendapat wajib mengqodho bagi yang hamil sedangkan bagi wanita menyusui adalah dengan mengqodho dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan. Alasan kedua: Selain alasan di atas, ulama yang berpendapat cukup mengqodho saja (tanpa fidyah) menganggap bahwa wanita hamil dan menyusui seperti orang sakit. Sebagaimana orang sakit boleh tidak puasa, ia pun harus mengqodho di hari lain. Ini pula yang berlaku pada wanita hamil dan menyusui. Karena dianggap seperti orang sakit, maka mereka cukup mengqodho sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Taala, Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. (QS. Al Baqarah: 184) Pendapat ini didukung pula oleh ulama belakangan semacam Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah[12]. Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata, " : : ( ) /184"

Hukum wanita hamil dan menyusui jika keduanya merasa berat untuk berpuasa, maka keduanya boleh berbuka (tidak puasa). Namun mereka punya kewajiban untuk mengqodho (mengganti puasa) di saat mampu karena mereka dianggap seperti orang yang sakit. Sebagian ulama berpendapat bahwa cukup baginya untuk menunaikan fidyah (memberi makan kepada orang miskin) untuk setiap hari yang ia tidak berpuasa. Namun pendapat ini adalah pendapat yang lemah. Yang benar, mereka berdua punya kewajiban qodho (mengganti puasa) karena keadaan mereka seperti musafir atau orang yang sakit (yaitu diharuskan untuk mengqodho ketika tidak berpuasa, -pen). Hal ini berdasarkan firman Allah Taala (yang artinya), Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. (QS. Al Baqarah: 184)[13] Sanggahan untuk Ulama yang Menggabungkan antara Fidyah dan Qodho Syaikh Musthofa Al Adawi hafizhohullah ketika menjelaskan perselisihan ulama mengenai puasa wanita hamil dan menyusui, beliau mengatakan, Di antara para ulama ada yang berpendapat bahwa wanita hamil dan menyusui boleh tidak puasa, namun ia harus menggantinya dengan menunaikan fidyah dan mengqodh0 (mengganti) puasanya. Yang berpendapat seperti ini adalah Sufyan, Malik, Asy Syafii dan Ahmad. Aku tidak mengetahui adanya dari Al Kitab (Al Quran) dan As Sunnah mengenai pendapat ini.[14] Sedangkan ulama yang berpendapat bahwa diharuskannya mengqodho bagi yang hamil sedangkan bagi wanita menyusui adalah dengan mengqodho dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan, maka disanggah oleh Ibnu Hazm rahimahullah. Beliau mengatakan, : Imam Malik berpendapat bahwa adapun wanita menyusui, maka ia dibolehkan untuk tidak berpuasa dan diharuskan untuk mengganti puasannya dengan menunaikan fidyah dengan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan, dan ia juga diharuskan untuk mengqodho puasanya. Sedangkan untuk wanita hamil ia cukup mengqodho, tanpa menunaikan fidyah. Mengenai pembagian semacam ini sama sekali tidak diketahui adanya sahabat dan tabiin yang berpegang dengannya.[15] Ibnu Rusyd Al Maliki rahimahullah mengatakan, - - . Barangsiapa yang memilih qodho saja atau fidyah saja itu lebih utama wallahu alam- daripada menggabungkan antara keduanya. Adapun memilih mengqodho saja itu lebih utama daripada memilih menunaikan fidyah saja. Alasannya karena qiroah (yang menyebabkan adanya hukum fidyah saja bagi wanita hamil-menyusui) adalah riwayat yang tidak mutawatir. Renungkanlah hal ini karena hal tersebut begitu jelas.[16]

Sanggahan untuk Ulama yang Menyatakan Tidak Ada Qodho dan Tidak Ada Fidyah Yang berpendapat semacam ini adalah Ibnu Hazm rahimahullah. Pendapat ini beralasan bahwa hukum asalnya adalah seseorang terlepas dari kewajiban. Ibnu Hazm rahimahullah nama kunyahnya Abu Muhammad- berkata, Para ahli fiqih pun belum sepakat adanya kewajiban qodho dan fidyah (memberi makan pada orang miskin). Sehingga tidak ada sama sekali kewajiban (bagi wanita hamil dan menyusui yang tidak berpuasa, -pen) karena tidak ada satu pun dalil yang mewajibkannya dan tidak ada pula klaim ijma (kesepakatan ulama) dalam hal ini.[17] Namun perkataan di atas dapat saja disanggah dengan kita katakan bahwa sesungguhnya perselisihan semata tidak bisa menggugurkan suatu dalil, namun hendaknya mengambil pendapat dari orang yang memiliki dalil yang lebih kuat. Seandainya setiap perselisihan yang terjadi antara ahli fiqh itu dijadikan sebab untuk menghukumi gugurnya suatu dalil yang menjadi sandaran hukum, niscaya tidak akan ada hukum syari yang bertahan kecuali sedikit. Pendapat Ibnu Hazm juga disanggah oleh Syaikh Ibnu Baz rahimahullah dalam perkataannya, .

Tidak ada satu pun ulama yang berpendapat gugurnya qodho dan fidyah bagi wanita hamil dan menyusui selain Ibnu Hazm dalam Al Muhalla. Pendapatnya ini adalah pendapat yang syadz (menyimpang), yaitu menyelisihi dalil-dalil syari yang digunakan oleh mayoritas ulama. Oleh karena itu, pendapat tersebut tidak perlu diperhatikan dan tidak perlu diikuti. Pendapat yang terkuat dalam masalah ini adalah diwajibkan untuk qodho bagi wanita hamil dan menyusui, tanpa perlu menunaikan fidyah. Hal ini berdasarkan keumuman hadits-hadits syari yang membicarakan wajibnya qodho bagi orang yang sakit dan musafir (ketika ia tidak berpuasa). Wanita hamil dan menyusui adalah semisal orang sakit dan musafir. Dasar dari hal ini disebutkan dalam hadits Anas bin Malik Al Kabi.[18] Mengkritisi Pendapat Ibnu Abbas Sebagaimana yang telah kami nukilkan di awal tulisan, Ibnu Abbas berpendapat bahwa hukum yang disebutkan dalam surat Al Baqarah ayat 184 belumlah dihapus yaitu masih disyariatkan fidyah pada wanita hamil dan menyusui. Inilah alasan ulama yang menyatakan bahwa wanita hamil dan menyusui yang tidak berpuasa cukup menunaikan fidyah saja, tanpa mengqodho. Ayat yang dimaksud adalah,

Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin (QS. Al Baqarah: 184).

Namun pendapat yang benar, ayat di atas telah dinaskh (dihapus) dengan ayat, Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. (QS. Al Baqarah: 185)[19]. Surat Al Baqarah ayat 184 yang disebutkan di atas menerangkan bahwa orang yang mampu untuk berpuasa, maka ia punya pilihan untuk berpuasa ataukah menunaikan fidyah. Ayat ini telah dihapus dengan ayat setelahnya, yaitu ayat 185, yang menerangkan mengenai penegesan wajibnya puasa. Inilah yang diriwayatkan dari Ibnu Umar dan Salamah bin Al Akwa[20]. Namun kenapa Ibnu Abbas berpendapat adanya fidyah bagi wanita hamil dan menyusui yang tidak berpuasa? Ini berasal dari qiroah ayat 184 yang dipilih oleh Ibnu Abbas. Sebagaimana disebutkan riwayat dalam Shahih Al Bukhari, ( ) . Dari Atho, ia mendengar Ibnu Abbas membaca ayat tersebut dengan bacaan, Dan wajib bagi orang-orang yang dibebani menjalankannya (yuthowwaquunahu)[21] membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin Lantas Ibnu Abbas mengatakan, Ayat ini tidaklah dimansukh (dihapus). Ayat ini masih berlaku pada laki-laki yang sudah tua renta, pada perempuan yang sudah tua renta yang tidak mampu lagi berpuasa. Maka mereka punya kewajiban untuk menunaikan fidyah, yaitu memberi makan pada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.[22] Ibnu Hajar dalam Al Fath ketika menjelaskan riwayat di atas, beliau menerangkan, Inilah yang menjadi pendapat Ibnu Abbas, namun qiroah ini diselisihi oleh kebanyakan ulama. Hadits yang disebutkan oleh Al Bukhari setelah ini menunjukkan bahwa ayat tersebut (surat Al Baqarah ayat 184) telah dimansukh.[23] Selain berargumen dengan alasan di atas, mengenai pendapat yang menyatakan bahwa wanita hamil dan menyusui cukup menunaikan fidyah saja ketika tidak berpuasa, kita katakan bahwa pendapat tersebut hanyalah pendapat sahabat yaitu Ibnu Abbas dan Ibnu Umar, dan bukanlah riwayat marfu sampai pada Nabi shallallahu alaihi wa sallam.[24] Penutup Setelah panjang lebar membahas dalil-dalil yang digunakan oleh masing-masing pihak dan menyanggah pendapat yang dinilai kurang tepat, maka kami menyimpulkan bahwa pendapat yang menyatakan bahwa wanita hamil dan menyusui ketika tidak berpuasa- cukup mengqodho tanpa

menunaikan fidyah karena kuatnya dalil yang disampaikan oleh ulama yang berpegang dengan pendapat ini. Kondisi ini berlaku bagi keadaan wanita hamil dan menyusui yang masih mampu menunaikan qodho. Dalam kondisi ini dia dianggap seperti orang sakit yang diharuskan untuk mengqodho di hari lain ketika ia tidak berpuasa. Namun apabila mereka tidak mampu untukk mengqodho puasa, karena setelah hamil atau menyusui dalam keadaan lemah dan tidak kuat lagi, maka kondisi mereka dianggap seperti orang sakit yang tidak kunjung sembuhnya. Pada kondisi ini, ia bisa pindah pada penggantinya yaitu menunaikan fidyah, dengan cara memberi makan pada satu orang miskin setiap harinya.[25] Catatan penting yang perlu diperhatikan bahwa wanita hamil dan menyusui boleh tidak berpuasa jika memang ia merasa kepayahan, kesulitan, takut membahayakan dirinya atau anaknya. Al Jashshosh rahimahullah mengatakan, Jika wanita hamil dan menyusui berpuasa, lalu dapat membahayakan diri, anak atau keduanya, maka pada kondisi ini lebih baik bagi keduanya untuk tidak berpuasa dan terlarang bagi keduanya untuk berpuasa. Akan tetapi, jika tidak membawa dampak bahaya apa-apa pada diri dan anak, maka lebih baik ia berpuasa, dan pada kondisi ini tidak boleh ia tidak berpuasa.[26]

Anda mungkin juga menyukai