Anda di halaman 1dari 13

Utilitarianisme berasal dari kata Latin utilis, yang berarti berguna, bermanfaat, berfaedah, atau menguntungkan, Istilah ini

juga sering disebut sebagai teori kebahagiaan terbesar (the greatest happiness theory), Utilitarianisme sebagai teori sistematis pertama kali dipaparkan oleh Jeremy Bentham dan muridnya, John Stuart Mill , Utilitarianisme

merupakan suatu paham etis yang berpendapat bahwa yang baik adalah yang berguna, berfaedah, dan menguntungkan. Sebaliknya, yang jahat atau buruk adalah yang tak

bermanfaat, tak berfaedah, dan merugikan. Karena itu, baik buruknya perilaku dan perbuatan ditetapkan dari segi berguna, berfaedah, dan menguntungkan atau tidak. CIRI-CIRI UTILITARIANISME: 1. Kritis. Utilitarianime berpandangan bahwa kita tidak bisa begitu saja menerima norma moral yang ada. Utilitarianisme mempertanyakan norma itu. Sebagai contoh, seks sebelum nikah. Bagi penganut utilitarianisme, seks sebelum nikah itu belum tentu buruk. Harus dianalisis dulu apakah kegunaan seks pra nikah itu. Apakah akibat baik yang ditimbulkan seks pra nikah itu lebih besar daripada akibat buruknya. Kalau akibat baiknya lebih besar maka seks pra nikah itu bukan saja tidak dapat dilarang tetapi wajib dilakukan. Kalau akibat buruk seks pra nikah itu lebih besar maka seks pra nikah itu wajib dilarang. 2. Rasional. Utilitarianisme tidak menerima saja norma moral yang ada. Ia

mempertanyakan dan ini mengandaikan peran rasio. Utilitarianisme ini bersifat rasional karena ia mempertanyakan suatu tindkan apakah berguna atau tidak. Dalam kasus seks pra nikah tadi, utilitarianisme mempertanyakan sebab-sebab seks pra nikah dilarang. 3. Teleologis. Utilitarianisme itu bersifat teleologis karena suatu tindakan itu dipandang baik dari tujuannya. Artinya suatu tindakan itu mempunyai tujuan dalam dirinya sehingga dapat dipandang baik. 4. Universalis. Semboyan yang terkenal dari utilitarianisme adalah sesuatu itu dianggap baik kalau dia memberi kegunaaan yang besar bagi banyak orang. Hal ini sering

dipakai dalam bidang politik dan negara. Contoh, di kota A akan dibangun jalan tol karena itu beberapa rumah akan kena gusur. Dengan alasan demi kepentingan yang lebih besar dan kepentingan orang banyak, pemerintah akan meminta mereka yang rumahnya kena gusur agar pindah. Tindakan menggusur ini dianggap benar karena penggusuran itu dilakukan demi kepentingan yang lebih besar dibandingka kepentingan mereka yang rumahnya digusur. DUA MACAM TEORI UTILITARIANISME : 1. Utilitarianisme Tindakan. Suatu tindakan itu dianggap baik kalau tindakan itu membawa akibat yang menguntungkan. 2. Utilitarianisme Peraturan. Teori ini merupakan perbaikan dari utilitarianisme tindakan. Sesuatu itu dipandang baik kalau ia berguna dan tidak melanggar peraturan yang ada. Secara umum diterima bahwa kelahiran kembali filsafat politik normatif baru-baru ini dimulai dengan terbitan karya John Rawls, A Theory of Justice, pada tahun 1971, dan teorinya akan merupakan tempat yang alamiah untuk mulai memeriksa teori-teori keadilan kontemporer. Teori Rawls mendominasi perdebatan kontemporer, bukan karena semua orang menerimanya, tetapi karena pandangan-pandangan alternatif seringkali disajikan sebagai tanggapan atas teori ini. Namun, seperti halnya pandangan-pandangan alternatif paling baik dipahami dalam kaitannya dengan Rawls, maka memahami Rawls membutuhkan pemahaman atas teori yang ditanggapinyayaitu, utilitarianisme. Rawls percaya, dan saya kira benar, dalam masyarakat kita utilitarianisme bekerja sebagai semacam latarbelakang yang tidak diucapkan, yang dengan ini teori-teori lain harus menegaskan dan membela dirinya sendiri. Jadi, dari utilitarianisme ini pula saya akan memulai. Utilitarianisme, dalam rumusan yang paling sederhana, mengklaim bahwa tindakan atau kebijaksanaan yang secara moral benar adalah yang menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi warga masyarakat. Meskipun utilitarianisme kadangkala ditawarkan sebagai sebuah teori moral komprehensif, saya akan memusatkan perhatian pada utilitarianisme khususnya sebagai sebuah moralitas politik. Menurut pandangan ini, prinsip-prinsip utilitarianisme berlaku pada apa yang oleh Rawls dinamakan struktur dasar (basic structure) masyarakat, bukan pada perilaku individu-individu secara pribadi. Akan tetapi,

karena sebagian besar daya tarik utilitarianisme sebagai moralitas politik berasal dari kepercayaan bahwa utilitarianisme merupakan satu-satunya filsafat moral yang koheren dan sistematis, saya secara ringkas akan mendiskusikan sejumlah ciri utilitarianisme yang komprehensif pada bagian 3. Baik dalam versi yang sempit maupun yang komprehensif, utilitarianisme memiliki baik para pendukung yang setia maupun para penentang yang sengit. Mereka yang menolak utilitarianisme mengatakan bahwa kelemahan-kelemahannya sangat banyak sehingga tidak dapat dihindari utilitarianisme akan menghilang dari cakrawala (misalnya, Williams 1973). Tetapi, ada yang lain, yang merasa sulit memahami kemungkinan adanya moralitas lain, selain memaksimalkan kebahagiaan manusia (misalnya, Hare 1984).

Saya akan memulai dengan daya tarik utilitarianisme. Ada dua ciri utilitarianisme yang menyebabkannya menjadi teori moralitas politik yang menarik. Pertama, tujuan yang oleh kaum utilitarian dicoba dipromosikan tidak tergantung pada keberadaan Tuhan, atau jiwa, atau pada semua entitas metafisik lain yang meragukan. Sejumlah teori moral mengatakan bahwa apa yang penting adalah keadaan jiwa seseorang, atau bahwa orang hendaknya hidup sesuai dengan Kemauan Tuhan, atau bahwa kehidupan seseorang akan paling baik berjalan dengan memiliki kehidupan abadi dalam wilayah pengada yang lain. Banyak orang mengira bahwa moralitas tidak koheren tanpa pengertian-pengertian keagamaan ini. Tanpa Tuhan, yang tertinggal pada kita hanyalah sekumpulan aturan-aturan--lakukan ini, jangan lakukan itu, tanpa terkandung maksud dan tujuan apapun. Tidak jelas mengapa setiap orang akan mengira ini khas utilitarianisme. Kebaikan yang dicoba dipromosikan utilitarianisme--kebahagiaan, atau kesejahteraan atau kehidupan yang baikadalah sesuatu yang kita kejar dalam kehidupan kita sendiri dan dalam kehidupan mereka yang kita cintai. Kaum utilitarian hanya menuntut bahwa pengejaran pada kesejahteraan manusia (human welfare) atau kemanfaatannya (utility) [saya akan mempergunakan dua istilah ini secara bergantian] dilakukan tanpa pemihakkan, untuk semua orang dalam masyarakat. Apakah kita anak-anak Tuhan, memiliki jiwa, kehendak bebas atau tidak, kita dapat menderita dan bahagia, kita semua dapat lebih baik atau lebih buruk. Tidak soal betapa sekulernya kita, kita tidak dapat menyangkal bahwa kebahagiaan adalah bernilai, karena kebahagiaan merupakan sesuatu yang kita hargai dalam kehidupan kita sendiri. Daya tarik yang jelas, tetapi berhubungan adalah konsekuensialisme pada paham utilitarian. Saya akan membicarakan apa persisnya yang dimaksud dengan ini kemudian, namun sementara ini arti pentingnya adalah konsekuensialisme mengharuskan kita

memeriksa untuk melihat apakah tindakan atau kebijaksanaan yang sedang dipersoalkan sungguh-sungguh mengandung kebaikan yang dapat dikenali atau tidak. Kita semua berhubungan dengan orang yang mengatakan bahwa sesuatuhomoseksualitas, misalnya, (atau perjudian, tarian, minum minuman keras, sumpah-serapah dan sebagainya) adalah salah secara moral, namun tidak mampu menunjukkan konsekuensi-konsekuensi buruk yang timbul dari tindakan ini. Konsekuensialisme mencegah membuat larangan-larangan moral yang nampak seenaknya itu. Konsekuensialisme meminta setiap orang yang mengecam sesuatu sebagai salah secara moral harus menunjukkan siapa yang salah, yaitu, mereka harus menunjukkan bagaimana kehidupan seseorang menjadi buruk. Demikian juga, konsekuensialism mengatakan bahwa sesuatu dapat disebut secara moral baik hanya jika ini membuat kehidupan seseorang menjadi baik. Banyak teori-teori moral yang lain, bahkan yang dimotivasi oleh keprihatinan demi kesejahteraan manusia nampak mengandung sekumpulan aturan-aturan untuk diikuti, terlepas dari apapun

konsekuensinya. Namun, utilitarianisme bukan sekadar kumpulan aturan-aturan lain, bukan sekadar kumpulan larangan dan perintah. Utilitarianisme memberikan ujian (test) untuk memastikan bahwa aturan-aturan semacam ini memberikan sejumlah fungsi yang berfaedah. Konsekuensialisme juga menarik karena ini sejalan dengan intuisi kita mengenai perbedaan antara wilayah moralitas dan wilayah-wilayah lain. Jika seseorang menganggap aktivitas seksual tertentu yang dilakukan suka sama suka secara moral salah karena ini tidak patut (improper), namun tidak dapat menunjukkan siapa yang menderita karena aktivitas ini, maka mungkin kita akan menanggapi bahwa ide tentang perilaku yang patut yang dipergunakan bukanlah ide tentang moral. Klaim-klaim mengenai perilaku yang patut semacam ini lebih menyerupai klaim tentang keindahan atau sebuah seruan pada etiket (etiquette) atau kesepakatan (convention). Seseorang mungkin mengatakan bahwa punk-rock adalah tidak patut, sama sekali bukan musik yang absah. Namun, ini akan merupakan kritik estetis, bukan sebuah kritik moral. Mengatakan bahwa seks homoseksual adalah tidak patut, tanpa dapat menunjukkan konsekuensi-konsekuensinya yang buruk adalah sama dengan mengatakan bahwa Bob Dylan menyanyikan lagu secara tidak patut. Perkataan ini mungkin benar, tapi ini bukan merupakan kritik moral. Terdapat standar kepatutan yang tidak bersifat consequentialist (mengandung akibat), tetapi kita berpendapat bahwa moralitas adalah lebih penting daripada sekadar etiket, dan konsekuensialisme membantu memperjelas perbedaan itu.

Konsekuensialism nampaknya juga memberikan metode yang sederhana untuk menyelesaikan persoalan-persoalan moral. Menemukan jawaban yang secara moral benar menjadi perkara mengukur perubahan-perubahan dalam kesejahteraan manusia, bukan perkara berkonsultasi dengan pemimpin-pemimpin spiritual atau menyandarkan diri pada tradisi-tradisi yang tidak jelas. Secara historis, karena itu, utilitarianisme adalah pandangan yang sangat progresif. Ia menuntut bahwa berbagai kebiasaan atau otoritas yang telah menindas manusia selama berabad-abad diuji dihadapan standar kemajuan manusia (manusia merupakan standar segala sesuatu). Segi baiknya, utilitarianisme adalah senjata yang ampuh untuk menentang prasangka dan takhayul, memberikan standar dan prosedur yang menantang mereka yang mengklaim memiliki wewenang terhadap kita atas nama moralitas. Dua daya tarik utilitarianisme dengan demikian sejalan dengan intuisi kita, bahwa kesejahteraan manusia penting, dan dengan intuisi kita, bahwa aturan-aturan moral harus diuji karena akibat-akibatnya bagi kesejahteraan hidup manusia. Dan jika kita menerima kedua pendirian itu, maka utilitarianisme tampak hampir secara tak terelakkan diikuti. Jika kesejahteraan manusia adalah kebaikan yang harus menjadi keprihatinan moralitas, maka tentunya, tindakan yang terbaik secara moral adalah tindakan yang dapat memaksimalkan kesejahteraan manusia, memberikan bobot yang sama pada kesejahteraan orang per-orang. Mereka yang percaya bahwa utilitarianisme pasti benar meyakini bahwa setiap teori yang menyangkal salah satu dari kedua intuisi ini pasti salah. Apa implikasi praktis utilitarianisme sebagai moralitas politik? Saya telah menyatakan bahwa utilitarianisme dapat membenarkan dikorbankannya anggota-anggota masyarakat yang lemah dan yang tidak populer demi keuntungan mayoritas. Akan tetapi, utilitarianisme juga dipakai untuk menyerang mereka yang memegang hak istimewa secara tidak adil dengan mengorbankan kelompok mayoritas. Tentu saja, utilitarinisme, sebagai gerakan politik dan filsafat yang sadar diri, muncul sebagai kritik radikal atas masyarakat Inggris. Kaum utilitarian yang muncul pada awalnya adalah kaum Radikal Filsafat yang percaya tentang perlunya memikirkan kembali masyarakat Inggris secara menyeluruh, sebuah masyarakat yang praktek-prakteknya mereka percayai sebagai produk bukan akal, tetapi tahayul feodal. Utilitarianisme pada masa itu disamakan dengan program-program politik yang progresif dan berorientasi pada pembaharuanperluasan demokrasi, pembaharuan hukum dan penyediaan kesejahteraan, dan sebagainya.

Kaum utilitarian kontemporer, dipihak lain, konformis secara mengejutkan kenyataannya mereka tampak sangat berhasrat memperlihatkan bahwa utilitarianisme meninggalkan segala sesuatu sebagaimana adanya (Williams 1972 : 102). Sementara kaum utilitarian yang muncul pada awalnya bersedia menilai aturan-aturan perilaku sosial (social codes) yang ada pada altar kebahagiaan manusia, banyak kaum utilitarian kontemporer menyatakan bahwa ada alasan-alasan utilitarian yang baik untuk mematuhi moralitas seharihari tanpa sikap kritis. Nampaknya mungkin bahwa kita dapat meningkatkan utiliti dengan membuat berbagai pengecualian terhadap aturan moralitas sehari-hari, tetapi ada alasanalasan utilitarian untuk tetap berpegang pada aturan-aturan yang baik dalam semua keadaan. Bahkan, seandainya nampak bahwa aturan sehari-hari bukan merupakan aturan yang baik dalam pengertian utilitarian, ada alasan utilitarian untuk tidak mengevaluasi aturan-aturan dalam pengertian utiliti. Justru sulit meramalkan konsekuensi tindakan kita atau mengukur konsekuensi ini jikapun diketahui. Maka, pandangan kita tentang apa yang memaksimalkan utiliti adalah tidak sempurna, dan usaha-usaha merasionalisasikan lembaga-lembaga sosial besar kemungkinan menyebabkan kerusakan dan tidak membantu. Perolehan aturan baru tidak menentu, sementara kebiasaan yang ada terbukti berharga (berhasil melampaui test evolusi kultural) dan orang membentuk harapan-harapan disekitarnya. Lebih dari itu, bertindak secara langsung atas dasar alasan utiliti adalah counter-productive, karena tindakan semacam ini mendorong sikap yang tergantung dan berjarak pada komitmen politik dan personal yang seharusnya tulus. Sebagai hasilnya, kaum utilitarian modern menyepelekan jangkauan utilitarianisme yang seharusnya dipergunakan sebagai prinsip kritis, atau juga sebagai prinsip evaluasi politik. Sebagian kaum utilitarian mengatakan kita mungkin hanya terpaksa menalar secara utilitarian ketika aturan-aturan moral kita sehari-hari mengarah pada hasil-hasil yang saling bertentangan; yang lainnya mengatakan bahwa dunia yang terbaik, menurut sudut pandang utilitarian, adalah dunia yang tak seorangpun pernah bernalar secara eksplit menurut cara utilitarian. Williams mengklaim bahwa utilitarianisme semacam ini memperburuk masalahnya sendiri (self-defeating)ia mendesakkan kelenyapannya sendiri. Memperburuk masalahnya sendiri ini bukan dalam pengertian teknis, karena ini tidak membuktikan bahwa tindakan yang benar secara moral adalah tindakan yang, bagaimanapun, tidak

memaksimalkan utiliti. Namun, ini jelas menunjukkan bahwa utilitarianisme tidak lagi ditawarkan sebagai bahasa yang tepat untuk perdebatan politik. Politik harus diperdebatkan dalam bahasa moralitas sehari-hari yang non-utilitarianbahasa hak, tanggungjawab pribadi, kepentingan publik, keadilan distributif, dan sebagainya. Utilitarianisme, menurut pandangan

modern, meninggalkan segala sesuatu sebagaimana adanyaia berdiri diatas, dan bukannya bersaing dengan pengambilan keputusan politik sehari-hari. Sebagian kaum utilitarian masih tetap mengklaim bahwa utilitarianisme

membutuhkan kritik radikal atas aspek-aspek moralitas sehari-hari yang irasional dan arbitrer (misalnya, Singer 1979). Namun utilitarianisme kemungkinan tidak akan pernah membentuk gerakan politik yang koheren, seperti yang menjadi ciri masa kelahirannya. Masalahnya adalah angin pembuktian utilitarian meniup ke segala arah (Sher 1975: 159). Sebagai contoh, walaupun sebagian kaum utilitarian menyatakan bahwa utiliti dimaksimalkan melalui redistribusi kekayaan secara besar-besaran sebagai hasil penurunan utiliti marginal atas uang, yang lain mempertahankan kapitalisme persaingan bebas (laissez-faire capitalism) karena menciptakan kekayaan yang lebih besar. Ini bukan sekadar pertanyaan yang meramalkan betapa berbeda pengelolaan kebijaksanaan ekonomi dalam arti skala utiliti yang disepakati. Ini juga pertanyaan tentang bagaimana menentukan skala ituapa hubungan antara barangbarang ekonomi dan komponen-komponen kebaikan manusia yang lain (waktu senggang, komunitas dan sebagainya)?. Ini juga pertanyaan tentang peranan perhitungan utiliti sendiri-seberapa penting ketentutan-ketentuan yang ditetapkan? Mengingat ketidaksepakatan tentang bagaimana dan kapan mengukur utiliti ini, utilitarianisme terpaksa menghasilkan pertimbangan-pertimbangan yang bertentangan secara fundamental. Saya tidak bermaksud menyarankan bahwa semua posisi ini adalah sama-sama masuk akal (atau bahwa masalah ini juga tidak ditemukan dalam teori-teori non-utilitarian). Keyakinan dan kebulatan suara dalam pertimbangan-pertimbangan politik yang dimiliki oleh kaum utilitarian yang muncul pada awalnya seringkali merupakan hasil pandangan terhadap masalah secara terlalu menyederhanakan, dan jumlah ketidakmenentuan tertentu adalah tak terhindarkan dalam sebagian teori begitu kita mengenali kompleksitas isu-isu moral dan empiris yang terlibat. Kaum utilitarian modern benar dengan mendesakkan bahwa utiliti tidak dapat direduksi pada kenikmatan; dan bahwa tidak semua bentuk utiliti dapat diukur atau sepadan; dan bahwa tidak selalu tepat bahkan untuk mencoba mengukur utiliti-utiliti ini. Namun, harga kecanggihan yang ditambahkan ini adalah bahwa utilitarianisme tidak serta merta mengidentifikasi setiap kumpulan kebijaksanaan sebagai jelas kelihatan superior. Utilitarianisme modern, terlepas dari warisannya yang radikal, tidak lagi menegaskan sebuah posisi politik tersendiri.

Tradisi Rasional/Utilitarian

Tradisi ini merupakan tradisi kedua yang di tawarkan Randall Collins. Mulanya, pada era tahun 1700-1800 dinamakan faham utilitarian, dikenalkan oleh para filosof Inggris. Faham ini sangat memiliki kedekatan dan berhubungan dengan disiplin ekonomi. Pada akhir tahun 1800an utilitarianism tidak banyak digunakan dan ekonomi lebih diprofesionalkan. sampai pada tahun 1950an ketika sosiolog mulai memformulasikan teori yang dikenal dengan teori pertukaran sosial. Di bidang lain seperti politik, filsafat, dan beberapa ahli ekonomi memilih pendekatan ini untuk mengaplikasikan di bidang yang mereka tekuni. pada tahun 1970an dan 1980an, faham ini berkembang luas dan biasa disebut sebagai "pilihan rasional" dan ada beberapa yang menyebut"tindakan rasional". Di bidang orientasi kebijakan menyebutnya "pilihan publik" teori. Randall sendiri menggunakan istilah utilitarian untuk menyebut tradisi ini. Teori rasional/utilitarian Teori ini bukan membahas sosiologi semata tetapi overlap dengan bagian-bagian sosiologi yang lain. Gambaran tentang tradisi ini seperti arus yang menyeberangi pesawat yang terbang rendah. Awalnya muncul membentuk sungai sendiri kemudian menjadi canal sempit untuk mempublikasikan menjadi sungai kemudian menjadi banjir yang mengikis lumpur dan mencucinya dari sungai kemudian menjadi bagian dari disiplin ilmu sosial. Dapat dikatakan pilihan rasional sekarang digambarkan pergerakannya sebagai sesuatu yang akan menyatukan ilmu sosial menuju satu aliran sungai mengalir ke laut. Namun ada pemikiran lain yang menentang pemikiran ini. Terlepas dari metafora di atas, Randall collin mengatakan bahwa tradisi rasional telah meletakkan beberapa perbedaan; pertama, satu aspek dari utilitarian memiliki kemiripan dengan teori konflik, terutama dalam melihat kepentingan individu menghitung keuntungan, dunia material, keuangan, biaya fisikal. Orang lebih tertarik pada uang tentunya tetapi ada tendensi untuk memperlakukan keseluruhan kepentingan sebagaimana analogi penghitungan uang. Di sisi lain, ada satu aspek dari pilihan rasional modern atau teori pertukaran yang lebiih soft dari pada teori konflik. Teori ini menekankan pada penggambaran sebuah dunia dimana manusia rasional membuat pertukaran diantara mereka, karenanya setiap kegiatan dilakukan untuk mendapatkan yang terbaik. Teori ini mencoba menunjukkan bagaimana pentingnya norma dan bagaimana pertukaran mencari keadilan dan kesetimbangan sehingga orang akan mendapatkan pertukaran yang fair. Sementara ahli ekonomi menyebutnya invisible hand. Jenis lain dari teori rasional/utilitarian modern; teori-teorinya tidak

memperhatikan isu dari konflik kebijakan tetapi menunjukkan secara teknis memungkinkan untuk menjelaskan masyarakat dengan motivasi rasional individu. Muncul dan runtuhnya filosofi utilitarian Sebagaimana disebutkan sebelumnya, tradisi ini dikenalkan oleh filosof Inggris. Beberapa ide dasar tradisi ini diletakkan oleh John Locke yang dikenal dengan ideologi revolusi glorious. Manuskrip bukunya berjudul social order. Bagi Locke starting pointnya adalah alasan individual; individu tentu memiliki hak-hak dasar yang tidak diberikan oleh pemerintah. Bagi pemerintah hal itu hanya merupakan krreasi kontrak sosial antar individu. David Hume memberikan prinsip bahwa seluruh kepercayaan dibangun oleh asosiasi ide yang didasarkan pada jenjang dimana terjadi sensasi dan hal ini membentuk beberapa jenis ide tentang dunia fisik. Hume mencontohkan bahwa mengapa mempercayai matahari esok akan terbit kembali, itu karena kita menjjumpainya beberapa kali sebelumnya tetapi tidak ada jaminan matahariakan terbit. Hanya kepercayaan habitual. Bagi Hume, kebiasaan dan custom mengatur pikiran dan sejak semuanya melewati pikiran individu. Kebiasaan ide asosiasi adakan perekat alam semesta. Hume beranjak dari ambigunya filosofi J.Locke antara penggambaran apakah rasional individu harus dilakukan. Sementara David Harley berpendapat seluruh ide diseleksi, sebab asosiasi mereka berhubungan dengan sakit atau senang dan membentuk ide estetika dan moral. Adam Smith (1759) dengan buku teori sentimen moral (teman Hume); menunjukkan bahwa yang bagus membawa kesenangan dan yang jelek membawa luka. Dia mensistematisasikan doktrin Laissez Faire pada prinsip ekonomi. Kesenangan dan kelukaan individu menjadi barang dan biaya ekonomi. Jeremy Bentham seorang lawyer; mendudukung popularitas Smith dengan menunjukkan bahwa kepentingan pribadi dapat direkonsiliasikan demi keuntungan. Dia mencari equivalensi pasar invisible hand dan dia percaya hal ini dapat dibentuk dari code legal rasional. John S Mill meletakkan prinsip kebebasan berbicara dan advokasi hak-hak perempuan. Tokoh-tokoh pertama sosiologi seperti Spencer di Inggris WG Sumner di AS mengenalkan dan memahami laissez faire liberalism dengan kakarteristik sedikit sosiologis. Sosiolog seperti E Durkheim mencari bentuk kolektif melawan konflik sosial dan anomi individu di mana dilihat sebagai bawaan utama industri kapitalis. Durkheim meletakkan prinsip-prinsip sosiologi pada sebuah arah baru; mengkritik klaim utilitarian bahwa individu adalah penting bagi masyarakat dan mencoba menunjukkan moral diantara orang lebih

mendasar dari pertukaran di pasar. Perkembangan utilitarian di abad 20 mati karena di level intelektual, abad 20 menjadikan nilai-nilai menjadi relatif. Membawa kembali individu Pada tahun 1950an versi yang hampir sama dengan utilitarianism mulai dikristalisasi di sosiologi, tetapi akar dan perhatiannya sedikit berbeda. Jika filosof utilitarian dengan pandangan ekonomi mereka, maka Durkheim, Weber, Mead dan Parson berpendapat berbeda. Saat itulah utililtarian ditinggalkan. Tahun 1950an G Homans menyerang teori struktural fungsional Parson. Menurutnya, sosiologi tidak perlu tergantung pada konsep yang diformulasikan oleh sistem sosial abstrak dimana tidak seorangpun pernah melihat realisasinya. Karenanya sosiologi perlu akumulasi basis yang solid yaitu penelitian tentang cara-cara manusia berinteraksi. Prinsip pentingnya dikenal dengan hukum homans yang menyatakan bahwa; individu berinteraksi satu sama lain mereka saling menyukai karena memiliki kesamaan, mereka nyaman dengan standar umum. Dia berpendapat bahwa; proses berkelompok itu penting. Apa yang dikemukakan homans menunjukkan bukan hanya teori sosiologi kembali ke individu tetapi jjuga menempatkan proses individu membuat pertukaran yang di kenal dengan teori pertukaran. Tahap selanjutnya teori pertukaran menjadi kuranng menarik dan justru lebih mengarah ke disiplin psikologi. Sementara itu Randall berpendapat dengan menggaris bawahi jika pertukaran sosial menekankan pada inequality dan power maka utilitarian menekankan bagaimana barang diproduksi dalam jumlah besar. Homans dan Peter Blau memberi kontribusi tentang prinsip-prinsip resiprositas sebagai dasar penjelasan sistem. Karenanya teori utilitarian berkembang dari ekonomi ke fenomena sosiologi. Pemahaman utilitarian yang menekankan standar kebenaran moralitas, dengan asumsi bahwa tindakan yang benar secara moral adalah tindakan yag memaksimalkan utiliti sementara etika politik merujuk pada bagaimana etika atau dalam hal ini penerimanaan seseorang atau aktor politik dalam menyikapi perbedaan serta menciptakan institusi yang adil dan menjamin kebebasan individu ataupun kelompok. Oleh karenanya pengambilan keputusan harus dibarengi dengan prinsip etika politik diatas dalam mempertimbangkan berbagai preferensi yang ada, sehingga preferensi dari semua pihak dapat terakomodasi dengan baik dan dapat membawa kemanfaatan yang maksimal bagi sistem secara keseluruhan. Jadi penilaian perilaku politik seseorang (baik atau buruk), merujuk pada sejauh

mana kesantunan, kejujuran maupun integritas aktor politik dalam mewujudkan prinsip kemaksimalan utiliti. Terlepas dari berbagai kritikan dalam mengenai kedua pemikiran diatas baik yang ditawarkan oleh paham utilitarian dalam melakukan penilaian tindakan atau perilaku maupun etika politik yang mencoba memberikan rambu-rambu bagi politik yang masih seringkali dalam praktiknya, saling mengorbankan satu sama lain merupakan pemandangan yang sering diperlihatkan. Namun sebagai salah satu bagian yang muncul dalam perdebatan pengetahuan sepertinya cukup menarik untuk dikaji lebih lanjut.

Daftar pustaka

Collins, Randall, 1994, Four Sosiological Traditions, New York. Oxford University Press.

Anda mungkin juga menyukai