Anda di halaman 1dari 6

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Keberadaan pasar tradisional di kota Yogyakarta mulai terusik dengan kedatangan supermarket yang

tumbuh subur di kota Pendidikan ini. Mulai dari Gardena, Malio bro Mall, Galeria kemudian muncul Saphir hingga Ambarukmo Plaza yang pada jam-ja m pulang kantor mengakibatkan kemacetan panjang di Jalan Laksamada Adisucipto ak ibat banyaknya masyarakat yang ingin melakukan aktivitas disana mulai dari belan ja, nonton bioskop atau sekedar jalan-jalan. Supermarket-supermarket atau mall-m all tersebut merupakan produk globalisasi yang sudah tak mampu lagi dihentikan p erkembangbiakannya. Terjadinya modernisasi di Indonesia khususnya di kota Yogyakarta ternyata telah melahirkan marginalisasi besar-besaran. Dengan format dasar yang dikemas dengan berbagai fasilitas lengkap, nyaman, dan aman membuat pelanggan pasar tradisional lebih memilih supermarket. Kecenderungan masyarakat untuk memilih supermarket d ibandingkan pasar tradisional memang memiliki alasan tersendiri, selain memiliki variasi jenis yang beragam, pasar modern ini juga menjamin kualitas barang-bara ngnya. Jika sudah bosan membeli barang-barang lokal, para pembeli juga dimanjaka n dengan barang-barang import dengan harga terjangkau. Untuk pembeli yang malas menawar, supermarket juga memiliki kelebihan dengan pemberian pelabelan harga se belum dan sesudah pajak pada barang-barang jualannya. Ditambah lagi pelayanan ba ik dari pegawai, kebersihan yang tergaga, dan berbagai fasilitas yang akan memb uat pembeli merasa nyaman berada di Supermarket. Keadaan yang bertolak belakang tampak ketika kita mengunjungi Pasar Kranggan yan g jaraknya tidak sampai lima kilometer dari pusat kota. Pasar yang produk penjua lannya terdiri dari bahan mentah, barang non-pangan dan bahan olahan ini pada be berapa tahun terakhir mulai mengeratkan kantongnya karena omsetnya yang turun hi ngga 25%. Bahkan pada pedagang-pedagang non pangan dan olahan yang barang dagang annya sudah tersedia bebas di supermarket-supermarket harus gigit jari akibat pe nurunan omset yang mencapai 33,6%. Padahal seperti kita ketahui bersama pasar tradisional merupakan wadah perekonom ian masyarakat yang menopang lebih dari 15.000 pedagang yang ada di kota Yogyaka rta . Angka tersebut jauh melebihi pemilik saham supermarket yang hanya terdiri dari segelintir orang. Sepanjang tahun 2007 hingga 2009, pertumbuhan toko modern termasuk di dalamnya terdapat supermarket sudah mencapai angka 52%, sedangkan p asar tradisional berada dalam kondisi stagnan . Sungguh ironis ketika diperoleh data Gross Domestic Product (GDP) yang menyebutkan bahwa Industri Perdagangan Be sar dan Eceran yang sebagian besar didominasi industri retail memberikan kontrib usi kedua setelah industri pengolahan. Pasca krisis moneter 1998, daftar negatif investasi yang merupakan benteng terakh ir dari kebijakan liberalisasi ekonomi Indonesia sejak tahun 1967 akhirnya dicabu t. Padahal dalam kebijakan perlindungan tersebut kepemilikan modal asing dilaran g untuk berinvestasi di minimarket atau retail modern dengan luas kurang dari 40 0m2. Sedangkan untuk modal dalam negeri 100% diperbolehkan untuk berinvestasi ku rang dari 400m2, supermarket dengan luas kurang dari 1.200m2, dan Department Sto re dengan luas kurang dari 2.000m2. Dualisme ekonomi yang berjalan di Yogyakarta ternyata sudah tidak lagi berjalan secara harmonis. Ekonomi tadisional masyarakat mulai tersisih dan diisi dengan e konomi modern yang menawarkan kenyamanan dan kepraktisan. Padahal ekonomi modern yang ada hanya mengakomodir beberapa pelaku ekonomi saja. Jika hal ini tidak se gera diatasi maka pembangunan ekonomi masyarakat Kota Yogyakarta tidak akan meng alami kenaikan malah sebaliknya terpuruk dalam kemodernan. Menurunnya omset penj ualan dan stagnannya ekonomi tradisional yang berlangsung terus menerus ini menu njukkan adanya persaingan yang tidak sehat, dimana yang kuat mengalahkan yang le mah dalam suatu persaingan pasar bebas. Sudah banyak kajian yang menyimpulkan pasar tradisional saat ini berada dalam ko ndisi yang memprihatinkan akibat ekspansi dan penetrasi pasar modern yang begit u masif. Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM, Nielson, SMERU dan INDEF memberikan data empirik penurunan jumlah pembeli, omset pedagang dan pemasok berskala keci l di pasar tradisional serta toko-toko lokal. Studi-studi tersebut menjelaskan b

ahwa ekspansi pasar modern memberikan dampak buruk terhadap keberlangsungan ekon omi pasar tradisional. Demikian pula yang dijabarkan dalam paper ini, dengan dat a-data dari penelitian yang dilakukan lembaga-lembaga di atas diharapkan dapat m enemukan rekomendasi perlunya regulasi pemerintah yang netral dan kebijakan tepa t guna bagi pertumbuhan ekonomi di Kota Yogyakarta agar pedagang tradisional mam pu berjalan seiringan dengan pedagang modern. Dari situasi yang ada maka paper ini membahas bagaimana perkembangan supermarket sehingga dapat menyisihkan pasar tradisional. Selain itu juga menjabarkan fakto r-faktor yang mempengaruhi tumbuh suburnya pasar modern di kota Yogyakarta. Sete lah menjabarkan permasalahan dan pemetaan masalah maka selanjutnya solusi altern atif dapat dirumuskan untuk dijalankan pemerintah agar ekonomi modern tidak meng gerus ekonomi tradisional di kota Yogyakarta.

BAB II JAMUR SUPERMARKET DI KOTA YOGYAKARTA Masuknya Globalisasi di Kota Yogyakarta Globalisasi merupakan trend global yang harus dihadapi setiap negara di dunia ta k terkecuali Indonesia, negara berkembang yang masih tergolong menggunakan konse p birokrasi tradisional. Samora Wibawa (Samodra Wibawa, 2005) menyebutkan bahwa Globalisasi terjadi karena perkembangan teknologi, baik teknologi transportasi, komunikasi maupun produksi. Secara ringkas Globalisasi dapat dirumuskan sebagai sirkulasi barang, jasa, modal, informasi, ide, dan orang dari dan ke segenap ara h di seluruh dunia . Ciri-ciri terjadi globalisasi adalah ketika ada sebuah perubahan sosial, berupa bertambahnya keterkaitan di antara dan elemen-elemennya yang terjadi akibat dan perkembangan teknologi di bidang transportasi dan komunikasi yang memfasilitasi pertukaran budaya dan ekonomi internasional. Pembentukan Bank for International Stlement (BIS) pada 1930 diikuti oleh International Monetary Fund (IMF) dan Ban k Dunia di tahun 1944 serta tercapainya kesepakatan General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) empat tahun berikutnya (1948) telah mengakselerasi perkembanga n globalisasi hingga seperti kondisi saat ini. Dua faktor pendorong yang menduku ng perkembangan globalisasi adalah kebijakan negara-negara di dunia untuk membuk a diri satu sama lain dalam berbagai aspek dan perkembangan teknologi informasi . Indonesia telah mengalami pengaruh positif dan negatif dari globalisasi. Pertumb uhan ekonomi yang tinggi selama periode tahun 1980-an dan 1990-an yang disebabka n oleh integrasi ekonomi indonesia dengan ekonomi global. Kemudian jatuh pada pe rtengahan akhir tahun 1990-an ketika dilanda krisis ekonomi. Akibat dari krisis

moneter tersebut banyak pengusaha ekonomi lokal yang akhirnya gulung tikar akiba t tidak mampu bertahan dalam badai krisis ini. Secara umum pemerintah melakukan pemulihan ekonomi melalui hutang luar negeri dan privatisasi BUMN. Di Yogyakarta sendiri pemulihan ekonomi pasca 1998 merupakan penetrasi secara je las dari globalisasi liberal berupa masuknya penanam modal asing. Hero menjadi t anda megahnya wujud pasar modern dengan luas bangunan 48.279 m2, jauh melebihi m all atau supermarkert sebelumnya yang rata-rata luasnya dibawah 10.000m2. Perkembangan Kecenderungan Ekonomi di Yogyakarta Kemudahan yang ditawarkan supermarket dengan sistem swalayan (swa berarti sendiri, layan berarti melayani) memberikan kepuasan terhadap para konsumen karena dirasa lebih efektif dan efisien. Tidak perlu mengantre atau berdesak-desakan untuk mem peroleh suatu barang. Para pelayan supermarket juga terdididk dan dilatih untuk memuaskan pelanggan. Tak heran banyak dari mereka yang kemudian berhijrah dari pel anggan pasar tradisional menjadi tamu rutin supermarket. Salah satu potret sebuah supermarket tertua dan ternama di kota Yogyakarta adala h Gardena Department Store & Supermarket. Berada di jalan utama kota Yogyakarta yaitu di Jalan Laksda Adi Sucipto, Gardena menawarkan kemudahan dan kenyamanan b erbelanja dengan sentuhan elit namun dengan standar harga yang relatif terjangka u. Pada awalnya Gardena bernamakan toko Suryo Agung, 2 kavling di selatan Pasar Be ringharjo pada tahun 1965, dan mengalami perkembangan dengan ditambahkannya sebu ah toko Vinolia di jalan Urip Sumoharjo No. 37 C pada tahun 1973. Pada tahun 1983, nama Gardena dilahirkan bersamaan dengan dipindahkannya toko bes ar ini di jalan Adi Sucipto. Lantai pertamanya dibuka pada tanggal 03 Juni 1983, disusul dengan lentai dua pada 25 Juni 1983. Gardena sendiri berasal dari kata ga rdenia yang berarti bunga dengan aroma yang harum. Gardena Department Store & Sup ermarket resmi dibuka oleh wakil gubernur Sri Paduka Alam VIII pada tanggal 21 J anuari 1984. Menempati sebuah lahan sekitar 6.000 m2 dan didukung oleh sekitar 3 90 pegawai dengan status sebagai (Perusahaan Terbatas) PT Gardena Graha. Gardena tentu saja bukan satu-satunya supermarket yang meraja di kota gudeg ini. Profit yang jelas menguntungkan dan respon positif masyarakat setempat membuat para investor dan pebisnis lain berbondong-bondong mengikuti jejak langkah untuk membuka lahan bisnis baru di bidang retail, baik berupa penanaman modal sendiri atau sistem frenchise. Keberadaan supermarket-supermarket dan departmen store d i kota Yogyakarta memang memiliki dampak positif untuk para konsumen yang mengut amakan kenyamanan berbelanja yang cepat dan aman. Dampak positif juga dirasakan oleh para tenaga kerja yang direkrut oleh perusahaan tersebut. Namun seperti yan g tertampak jelas, hal ini berbanding terbalik dengan yang dialami oleh para pen jual di pasar tradisional ataupun toko-toko biasa. Dengan menjamurnya department store dan supermarket justru mematikan pasar mereka, dan sudah pasti berpengaru h pada penurunan omset. Satu hal yang sangat terlihat silau pada beberapa tahun terakhir ini adalah menj amurnya minimarket yang berwarna biru dan merah. Dengan sistem frenchise yang di tawarkan kepada siapapun yang ingin menjadi pebisnis yang tentu saja menguntungk an, minimarket ini berkembang sangat pesat. Sebut saja Alfamart dan Indomaret. P elayanan 24 jam dengan harga promo serta fasilitas dan layanan yang memuaskan me njadikan para minimarket ini menjadi pilihan dari semua kalangan. Anak-anak, rem aja, ibu rumah tangga dan siapapun bahkan mengandalkan minimarket ini saat kapan saja dan dimana saja. Dua minimarket yang mendominasi pasar di Yogyakarta ini ( tampaknya juga berlaku di kota lain) dapat kita jumpai di semua ruas jalan dan b erada tidak lebih dari 1 kilometer antara yang satu dengan yang lain. Efek positif tersebut sudah tentu bukan menjadi keuntungan untuk para penjual/pe milik toko kelontong. Banyak toko kelontong yang terpaksa gulung tikar karena ke hilangan banyak konsumen dan mengalami kerugian. Kondisi inilah yang kemudian me munculkan pertanyaan, adilkah persaingan bebas ini? Kebijakan pemerintah dalam menghadang pertumbuhan supermarket di Kota Yogyakarta Dikeluarkannya pasal 33 UUD 1945 menjadi pijakan sekaligus arah dan cita -cita ekonomi Indonesia di segala bidang. Kemerdekaan politik diharapkan dapat s eiring dengan kemedekaan ekonomi dalam rangka memenuhi pelaksanaan transformasi

sosial, yaitu menempatkan kaum pribumi (ekonomi rakyat) yang sebelumnya berada di lapis bawah dan marjinal, menjadi tuan di negeri sendiri di semua sektor ekonom i. Pasal yang berbunyi pererkonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan ini bertujuan untuk melindungi perekonomian rakyat dan perekono mian nasional atas dominasi korporasi besar luar negeri yang melemahkan tenaga produksi nasional dan mengukuhkan ketergantungan. Pasal 33 ini mengamanatkan perlindungan bagi 12 juta pedagang kecil di I ndonesia, termasuk di antaranya 54ribu di antaranya di Propoinsi DIY, bukan seke dar agar tidak marginal, tetap hidup, melainkan melindungi jati diri dan cita-ci tanya untuk suatu saat memimpin dan mengontrol aktivitas perdagangan. Disahkannya UU Nomor 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persai ngan Usaha Tidak Sehat tampaknya tidak mampu memberikan solusi dan kontribusi ba gi usaha demokratisasi ekonomi secara signifikan. Penpres 112 tahun 2007 tentang penataan dan pembinaan pasar tradisional, pusat perbelanjaan, dan toko modern t idak memberikan aturan dan kebijakan yang jelas. Seberapapun kebijakan-kebijakan ditulis dan disahkan pemerintah, toh pada kenyataan semua itu hanya simbol formalitas legalisasi belaka. Bahkan mungkin ba gi pelaku ekonomi rakyat justru tidak pernah tahu atau tidak pernah merasa kebij akan itu ada. Karena selalu hidup bermuara pada hukum rimba (survival for thr fi ttest), dialah yang kuat yang akan bertahan dan menang. Kelemahan Pasar Tradisional Sehingga Kalah Bersaing dengan Pasar Modern Karakteristik pasar tradisional jelas berbeda dengan pasar modern atau supermark et. Pasar tradisional memiliki pelaku pasar yang 64,3% adalah perempuan (79,4% p edagang, 72% pengecer, dan 81% konsumen) sedangkan laki-laki hanya 35,7% yang le bih terkonsentrasi sebagai pekerja informal dan pemasok. Selain itu sebanyak 90% lebih usia pedagang tradisional termasuk dalam usia produktif, yang berumur leb ih dari 61 tahun hanya sekitar 8% saja. Tingkat pendidikan Pasar tradisional mem iliki banyak kelemahan akibat permasalahan yang dihadapi. Hal itulah yang menjad ikan pasar tradisional kalah telak dengan supermarket. Permasalahan tersebut tim bul dari berbagai sisi. Untuk menganalisa hal tersebut maka aspek permasalahan d apat dibagi menjadi tiga bagian besar yaitu: 1. Aspek Modal Material Akibat penetrasi retail modern oleh supermarket di Kota Yogyakarta maka rata-rat a total omset penjualan pedagang pasar tradisional menurun mulai dari 11-20,5%. Namun penurunan omset ini tidak terjadi secara menyeluruh, biasanya pada pedagan g yang asetnya antara Rp 5 15 juta terjadi penurunan 14,6%, aset Rp 15-25 juta a setnya turun 11%, sedangkan aset diatas Rp 25 juta turun hingga 20,5%. Komoditas perdagangan yang berbeda antara pedagang pasar yang menjual bahan mentah dari p roduk pertanian maupun industri pertanian dengan supermarket yang menjual produk -produk pabrikan membuat tidak adanya persaingan tajam antara penetrasi retail m odern dan mayoritas pedagang pasar. Pelaku pasar yang sangat merasakan dampak pe netrasi retail modern adalah pelaku pasar yang memasok barang dagangan dari indu stri pabrikan yang sering disebut pedagang pasar Kranggan sebagai grabatan (barang kebutuhan sehari-hari). Angka penurunan omset pedagang retail kecil bervariasi mulai dari 20% hingga hampir 50%. Konsumen cenderung membeli barang-barang retai l di supermarket yang sering memberikan diskon dan kenyamanan. 2. Aspek Modal Intelektual Tingkat pendidikan pelaku udaha di pasar tradisional cenderung memiliki tingkat pendidikan yang rendah, sebagian besar pedagang hanya menempuh pendidikan hingga SMA, SMP, SD dan selebihnya tidak tamat sekolah. Para lulusan perguruan tinggi tidak memilih profesi pedagang sebagai pilihan. Selain itu pelaku perdagangan di pasar juga jarang mendapatkan pelatihan bisnis modern atau secara profesional. Pada umumnya mereka berlatih praktek bisnis kewirausahaan ini secara mandiri ata u dari orangtua mereka akrena kebanyakan pedagang mewarisi usaha orangtua mereka . 3. Aspek Modal Institusional Modal institusional atau sering disebut modal sosial, sebenarnya merupakan saran a yang tepat untuk mengembangkan pasar tradisional. Sayangnya aspek ini jarang m endapat perhatian dari pelaku pasar tradisonal maupun para pemangku kepentingan

lainnya. Hal ini terjadi karena mayoritas pedagang pasar tidak mengikuti perkump ulan atau organisasi pedagang secara aktif. Rendahnya partisipasi dalam mendapat kan manfaat secara langsung atau tidak langsung dalam menyalurkan aspirasi kepen tingan bisnis mereka pada organisasi atau kelembagaan yang ada. Selain itu perku mpulan pedagang seperti paguyuban tidak mampu mengakomodasi Dengan data-data diatas maka Penyebab Masalah versi Pedagang dapat dibentuk diag ram, sebagai berikut: Sumber: Laporan Kondisi Permasalahan Pasar Tradisional oleh Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM.

BAB III PENUTUP Kesimpulan dan Solusi Alternatif Bagian ini akan memberikan kesimpulan dan solusi alternatif dari seluruh pembaha san diatas berdasarkan analisa yang dilakukan oleh penulis. Persaingan yang tergambar dari uraian di atas jelas bukan merupakan persaingan y ang adil dan sehat. Berkuasa dan tertindas, dua hal itu yang kemudian harus menj adi pilihan. Segregasi ekonomi yang ada di masyarakat sering kali menimbulkan ko nflik berkepanjangan. Para pelaku ekonomi, baik elit maupun rakyat diharapkan dapat melakukan kerjasam a dan menjalin komunikasi yang baik. Paguyuban untuk para ekonomi rakyat kiranya diperlukan untuk saling berbagi atau sekedar berdiskusi untuk mengatur strategi ekonomi yang sehat sekaligus mempererat rasa kekeluargaan antarkomunitas sektor perekonomian atau perdagangan, Dari pihak pemerintah, sekalipun kebijakan-kebijakan legal yang tidak mampu mene mbus tujuan awal karena tidak pernah sungguh-sungguh menerapkannya, diharapkan l ebih fokus dalam pembinaan dan penataan ekonomi rakyat dengan menekan monopoli p erdagangan olek seorang atau segolongan pihak. Perlunya terjun langsung pemerint ah untuk menyelenggarakan penyuluhan tentang ekonomi sehat dan perkembangan ekon omi secara luas kepada masyakarat dengan mendukung sepenuhnya kegiatan-kegiatan ekonomi yang berbasis rakyat. Alangkah menjadi selembar impian melahirkan sebuah perdamaian antara rakyat prib umi (ekonomi rakyat) dengan kaum elit atau kelompok yang lebih berkuasa dan menj alin hubungan berbasis simbiosis mutualisme yang saling menguntungkan. Untuk itu diperlukan kesadaran dari berbagai pihak termasuk pemerintah dalam rangka menci ptakan kesehteraan bersama.

DAFTAR PUSTAKA Bahagijo, Sugeng (ed), 2006, Globalisasi Menghempas Indonesia, Pustaka LP3ES Ind onesia: Jakarta Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan, 2009, Laporan Akhir Survey dan Peningkatan Pasar Tradisional Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2009, Yogyakarta Kompas, 18 Mei 2010, http://www.asppuk.or.id/index2.php?option=com_content&do_pd f=1&id=137, diakses tanggal 17 Januari 2012. Fakih, Mansour, 2003, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Pustaka Pelaj ar Offset dan Insist Press: Yogyakarta Anonim, Gardena Department Store & Supermarket, http://www.visitingjogja.com/?mo d=tempat_ belanja&sub=mall&act=detail&Id=847&page=1, diakses tanggal 17 Januar

i 2012.

Anda mungkin juga menyukai