Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

ILMU KESEHATAN ANAK

Oleh : Saddam Kusuma (09-202)

Faculty of Medicine

BAITURRAHMAH
UNIVERSITY 2012

A. DEMAM TIFOID
1. Defenisi Demam tifoid adalah penyakit menular yang bersifat akut, yang ditandai dengan bakterimia, perubahan pada sistem retikuloendotelial yang bersifat difus, pembentukan mikroabses dan ulserasi Nodus peyer di distal ileum. (Soegeng Soegijanto, 2002)Tifus abdominalis adalah suatu infeksi sistem yang ditandai demam, sakit kepala, kelesuan, anoreksia, bradikardi relatif, kadang-kadang pembesaran dari limpa/hati/kedua-duanya. (Samsuridjal D dan heru S, 2003) 2. Etiologi Salmonella typhi yang menyebabkan infeksi invasif yang ditandai oleh demam, toksemia, nyeri perut, konstipasi/diare. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain: perforasi usus, perdarahan, toksemia dan kematian. (Ranuh, Hariyono, dan dkk. 2001)Etiologi demam tifoid dan demam paratipoid adalah S.typhi, S.paratyphi A, S.paratyphi b dan S.paratyphi.

3. Patofisiologi Transmisi terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi urin/feses dari penderita tifus akut dan para pembawa kuman/karier. Empat F (Finger, Files, Fomites dan fluids) dapat menyebarkan kuman ke makanan, susu, buah dan sayuran yang sering dimakan tanpa dicuci/dimasak sehingga dapat terjadi penularan penyakit terutama terdapat dinegara-negara yang sedang berkembang dengan kesulitan pengadaan pembuangan kotoran (sanitasi) yang andal. (Samsuridjal D dan heru S, 2003) Masa inkubasi demam tifoid berlangsung selama 7-14 hari (bervariasi antara 3-60 hari) bergantung jumlah dan strain kuman yang tertelan. Selama masa inkubasi penderita tetap dalam keadaan asimtomatis. (Soegeng soegijanto, 2002)

Paathways : Salmonella typhosa Saluran pencernaan Diserap oleh usus halus Bakteri memasuki aliran darah sistemik Kelenjar limfoid Hati Limpa Endotoksinusus halus Tukak Hepatomegali Splenomegali Demam Pendarahan dan Nyeri perabaanperforasi Mual/tidak nafsu makan Perubahan nutrisi Resiko kurang volume cairan 4. Gejala Klinis Gejala klinis pada anak umumnya lebih ringan dan lebih bervariasi dibandingkan dengan orang dewasa. Walaupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, tetapi secara garis besar terdiri dari demam satu minggu/lebih, terdapat gangguan saluran pencernaan dan gangguan kesadaran. Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada umumnya seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare, konstipasi, serta suhu badan yang meningkat.Pada minggu kedua maka gejala/tanda klinis menjadi makin jelas, berupa demam remiten, lidah tifoid, pembesaran hati dan limpa, perut kembung, bisa disertai gangguan kesadaran dari ringan sampai berat. Lidah tifoid dan tampak kering, dilapisi selaput kecoklatan yang tebal, di bagian ujung tepi tampak lebih kemerahan. (Ranuh, Hariyono, dan dkk. 2001). Sejalan dengan perkembangan penyakit, suhu tubuh meningkat dengan gambaran anak tangga. Menjelang akhir minggu pertama, pasien menjadi bertambah toksik. (Vanda Joss & Stephen Rose, 1997)Gambaran klinik tifus abdominalisKeluhan:- Nyeri kepala (frontal) 100%Kurang enak di perut ?50%- Nyeri tulang, persendian, dan otot ?50%- Berak-berak ?50%- Muntah ?50%Gejala:- Demam 100%- Nyeri tekan perut 75%- Bronkitis 75%Toksik ?60%- Letargik ?60%- Lidah tifus (kotor) 40%(Sjamsuhidayat,1998) 5. Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan Darah Perifer LengkapDapat ditemukan leukopeni, dapat pula leukositosis atau kadar leukosit normal. Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. b. Pemeriksaan SGOT dan SGPTSGOT dan SGPT sering meningkat, tetapi akan kembali normal setelah sembuh. Peningkatan SGOT dan SGPT ini tidak memerlukan penanganan khusus. c. Pemeriksaan Uji WidalUji Widal dilakukan untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap bakteri Salmonella typhi. Uji Widal dimaksudkan untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita Demam Tifoid. Akibat adanya infeksi oleh Salmonella typhi maka penderita membuat antibodi (aglutinin) yaitu: Aglutinin O: karena rangsangan antigen O yang berasal dari tubuh bakteri. Aglutinin H: karena rangsangan antigen H yang berasal dari flagela bakteri. Aglutinin Vi: karena rangsangan antigen Vi yang berasal dari simpai bakteri.

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglitinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis Demam Tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan menderita Demam Tifoid. 6. Terapi a. Kloramfenikol. Dosis yang diberikan adalah 4 x 500 mg perhari, dapat diberikan secara oral atau intravena, sampai 7 hari bebas panas. b. Tiamfenikol. Dosis yang diberikan 4 x 500 mg per hari. c. Kortimoksazol. Dosis 2 x 2 tablet (satu tablet mengandung 400 mg sulfametoksazol dan 80 mg trimetoprim). d. Ampisilin dan amoksilin. Dosis berkisar 50-150 mg/kg BB, selama 2 minggu. e. Sefalosporin Generasi Ketiga. dosis 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc, diberikan selama jam per-infus sekali sehari, selama 3-5 hari. f. Golongan Fluorokuinolon Norfloksasin : dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari Siprofloksasin : dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari Ofloksasin : dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari Pefloksasin : dosis 1 x 400 mg/hari selama 7 hari Fleroksasin : dosis 1 x 400 mg/hari selama 7 hari

g. Kombinasi obat antibiotik. Hanya diindikasikan pada keadaan tertentu seperti: Tifoid toksik, peritonitis atau perforasi, syok septik, karena telah terbukti sering ditemukan dua macam organisme dalam kultur darah selain kuman Salmonella typhi. 7. Komplikasi Perdarahan usus, peritonitis, meningitis, kolesistitis, ensefalopati, bronkopneumonia, hepatitis. Perforasi usus terjadi pada 0,5-3% dan perdarahan berat pada 1-10% penderita demam tifoid. Kebanyakan komplikasi terjadi selama stadium ke-2 penyakit dan umumnya didahului oleh penurunan suhu tubuh dan tekanan darah serta kenaikan denyut jantung. Pneumonia sering ditemukan selama stadium ke-2 penyakit, tetapi seringkali sebagai akibat superinfeksi oleh organisme lain selain Salmonella. Pielonefritis, endokarditis, meningitis, osteomielitis dan arthritis septik jarang terjadi pada hospes normal. Arthritis septik dan osteomielitis lebih sering terjadi pada penderita hemoglobinopati.

B. DIFTERI

1. Defenisi Difteri adalah infeksi bakteri yang bersumber dari Corynebacterium diphtheriae, yang biasanya mempengaruhi selaput lendir dan tenggorokan. Difteri umumnya menyebabkan sakit tenggorokan, demam, kelenjar bengkak, dan lemas. Dalam tahap lanjut, difteri bisa menyebabkan kerusakan pada jantung, ginjal dan sistem saraf. Kondisi seperti itu pada akhirnya bisa berakibat sangat fatal dan berujung pada kematian. 2. Tanda dan Gejala Tanda dan gejala difteri meliputi, sakit tenggorokan dan suara serak, nyeri saat menelan, pembengkakan kelenjar (kelenjar getah bening membesar) di leher, dan terbentuknya sebuah membran tebal abu-abu menutupi tenggorokan dan amandel, sulit bernapas atau napas cepat, demam, dan menggigil. Tanda dan gejala biasanya mulai muncul 2-5 hari setelah seseorang menjadi terinfeksi. Orang yang terinfeksi C. Diphtheria seringkali tidak merasakan sesuatu atau tidak ada tanda-tanda dan gejala sama sekali. Orang yang terinfeksi namun tidak menyadarinya dikenal sebagai carier (pembawa) difteri. Sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik sebagai penderita maupun sebagai carier. Tipe kedua dari difteri dapat mempengaruhi kulit, menyebabkan nyeri kemerahan, dan bengkak yang khas terkait dengan infeksi bakteri kulit lainnya. Sementara itu pada kasus yang jarang, infeksi difteri juga mempengaruhi mata.

3. Penularan Bakteri C.diphtheriae dapat menyebar melalui tiga rute: a. Bersin: Ketika orang yang terinfeksi bersin atau batuk, mereka akan melepaskan uap air yang terkontaminasi dan memungkinkan orang di sekitarnya terpapar bakteri tersebut. b. Kontaminasi barang pribadi: Penularan difteri bisa berasal dari barang-barang pribadi seperti gelas yang belum dicuci. c. Barang rumah tangga: Dalam kasus yang jarang, difteri menyebar melalui barangbarang rumah tangga yang biasanya dipakai secara bersamaan, seperti handuk atau mainan. Selain itu, Anda juga dapat terkontaminasi bakteri berbahaya tersebut apabila menyentuh luka orang yang sudah terinfeksi. Orang yang telah terinfeksi bakteri difteri dan belum diobati dapat menginfeksi orang nonimmunized selama enam minggu - bahkan jika mereka tidak menunjukkan gejala apapun. 4. Faktor Risiko Orang-orang yang berada pada risiko tertular difteri meliputi: a. Anak-anak dan orang dewasa yang tidak mendapatkan imunisasi terbaru b. Orang yang hidup dalam kondisi tempat tingal penuh sesak atau tidak sehat c. Orang yang memiliki gangguan sistem kekebalan d. Siapapun yang bepergian ke tempat atau daerah endemik difteri Difteri jarang terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa, karena telah mewajibkan imunisasi pada anak-anak selama beberapa dekade. Namun, difteri masih sering ditemukan pada negara-negara berkembang di mana tingkat imunisasinya masih rendah seperti halnya yang saat ini terjadi di Jawa timur. 5. Komplikasi Jika tidak diobati, difteri dapat menyebabkan: a. Gangguan pernapasan b. Diphtheriae dapat menghasilkan racun yang menginfeksi jaringan di daerah hidung dan tenggorokan. Infeksi tersebut menghasilkan membaran putih keabuabuan (psedomembrane) terdiri dari membran sel-sel mati, bakteri dan zat lainnya. Membran ini dapat menghambat pernapasan. c. Kerusakan jantung Toksin (racun) difteri dapat menyebar melalui aliran darah dan merusak jaringan lain dalam tubuh Anda, seperti otot jantung, sehingga menyebabkan komplikasi seperti radang pada otot jantung (miokarditis). Kerusakan jantung akibat miokarditis muncul sebagai kelainan ringan pada elektrokardiogram yang menyebabkan gagal jantung kongestif dan kematian mendadak. d. Kerusakan saraf Toksin juga dapat menyebabkan kerusakan saraf khususnya pada tenggorokan, di mana konduksi saraf yang buruk dapat menyebabkan kesulitan menelan. Bahkan saraf pada lengan dan kaki juga bisa meradang yang menyebabkan otot menjadi lemah. Jika racun ini merusak otot-otot kontrol yang digunakan untuk bernapas,

maka otot-otot ini dapat menjadi lumpuh. Kalau sudah seperti itu, maka diperlukan alat bantu napas. Dengan pengobatan, kebanyakan orang dengan difteri dapat bertahan dari komplikasi ini, namun pemulihannya akan berjalan lama. 6. Perawatan dan obat-obatan Difteri adalah penyakit yang serius. Para ahli di Mayo Clinic, memaparkan, ada beberapa upaya pengobatan yang dapat dilakukan di antaranya: a. Pemberian antitoksin Setelah dokter memastikan diagnosa awal difteri, anak yang terinfeksi atau orang dewasa harus menerima suatu antitoksin. Antitoksin itu disuntikkan ke pembuluh darah atau otot untuk menetralkan toksin difteri yang sudah terkontaminasi dalam tubuh. Sebelum memberikan antitoksin, dokter mungkin melakukan tes alergi kulit untuk memastikan bahwa orang yang terinfeksi tidak memiliki alergi terhadap antitoksin. Dokter awalnya akan memberikan dosis kecil dari antitoksin dan kemudian secara bertahap meningkatkan dosisnya. b. Antibiotik Difteri juga dapat diobati dengan antibiotik, seperti penisilin atau eritromisin. Antibiotik membantu membunuh bakteri di dalam tubuh dan membersihkan infeksi. Anak-anak dan orang dewasa yang telah terinfeksi difteri dianjurkan untuk menjalani perawatan di rumah sakit untuk perawatan. Mereka mungkin akan diisolasi di unit perawatan intensif karena difteri dapat menyebar dengan mudah ke orang sekitar terutama yang tidak mendapatkan imunisasi penyakit ini.

7. Pencegahan a. Jika Anda telah terpapar orang yang terinfeksi difteri, segeralah pergi ke dokter untuk mendapatkan pemeriksaan dan pengobatan. Dokter mungkin akan memberi Anda resep antibiotik untuk mencegah infeksi penyakit itu. b. Di samping juga pemberian vaksin difteri dengan dosis yang lebih banyak. Pemberian antibiotik juga diperlukan bagi mereka yang diketahui sebagai carrier (pembawa) difteri. c. Difteri adalah penyakit yang umum pada anak-anak. Penyakit ini tidak hanya dapat diobati tetapi juga dapat dicegah dengan vaksin. Vaksin difteri biasanya dikombinasikan dengan vaksin untuk tetanus dan pertusis, yang dikenal sebagai vaksin difteri, tetanus dan pertusis. d. Versi terbaru dari vaksin ini dikenal sebagai vaksin DTaP untuk anak-anak dan vaksin Tdap untuk remaja dan dewasa. Pemberian vaksinasi sudah dapat dilakukan saat masih bayi dengan lima tahapan yakni, 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan, 12-18 bulan dan 4-6 tahun. e. Vaksin difteri sangat efektif untuk mencegah difteri. Tapi pada beberapa anak mungkin akan mengalami efek samping seperti demam, rewel, mengantuk atau nyeri pasca pemberian vaksin. Pemberian vaksin DTaP pada anak jarang menyebabkan komplikasi serius, seperti reaksi alergi (gatal-gatal atau ruam berkembang hanya dalam beberapa menit pasca injeksi), kejang atau shock. Untuk beberapa anak dengan gangguan otak progresif - tidak dapat menerima vaksin DTaP.

C. PERTUSIS

1. Definisi Pertusis adalah infeksi saluran pernapasan akut berupa batuk yang sangat berat atau batuk intensif. Nama lain tussis quinta, wooping cough, batuk rejan 2. Etiologi Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis atau Hemopilus pertusis. Bordetella pertusis adalah suatu kuman yang kecil ukuran 0,5-1 um dengan diameter 0,2-0,3 um , ovoid kokobasil, tidak bergerak, gram negative , tidak berspora, berkapsul dapat dimatikan pada pemanasan 50C tetapi bertahan pada suhu tendah 0- 10C dan bisa didapatkan dengan melakukan swab pada daerah nasofaring penderita pertusis yang kemudian ditanam pada media agar Bordet-Gengou. 3. Epidemiologi Tersebar diseluruh dunia . ditempat tempat yang padat penduduknya dan dapat berupa endemic pada anak. Merupakan penyakit paling menular dengan attack rate 80-100 % pada penduduk yang rentan. Bersifat endemic dengan siklus 3-4 tahun antara juli sampai oktober sesudah akumulasi kelompok rentan, Menyerang semua golongan umur yang terbanyak anak umur , 1tahun, perempuan lebih sering dari laki laki, makin muda yang terkena pertusis makin berbahaya. Insiden puncak antara 1-5 tahun, dengan persentase kurang dari satu tahun : 44%, 1-4 tahun : 21%, 5-9 tahun : 11%, 12 tahun lebih: 24% ( Amerika tahun 1993). 4. Patolofisiologi Bordetella pertusis diitularkan melalui sekresi udara pernapasan yang kemudian melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Basil biasanya bersarang pada silia epitel thorak mukosa, menimbulkan eksudasi yang muko purulen, lesi berupa nekrosis bagian basal dan tengah epitel torak, disertai infiltrate netrofil dan makrofag.

Mekanisme patogenesis infeksi Bordetella pertusis yaitu perlengketan, perlawanan, pengerusakan local dan diakhiri dengan penyakit sistemik. Perlengketan dipengaruhi oleh FHA ( filamentous Hemoglutinin), LPF (lymphositosis promoting factor), proten 69 kd yang berperan dalam perlengketan Bordetella pertusis pada silia yang menyebabkan Bordetella pertusis dapat bermultipikasi dan menghasilkan toksin dan menimbulkan whooping cough. Dimana LFD menghambat migrasi limfosit dan magrofag didaerah infeksi.

Perlawanan karena sel target da limfosist menjadi lemah dan mati oleh karena ADP (toxin mediated adenosine disphosphate) sehingga meningkatkan pengeluaran histamine dan serotonin, blokir beta adrenergic, dan meningkatkan aktivitas isulin. Sedang pengerusakan lokal terjadi karena toksin menyebabkan peradangan ringan disertai hyperplasia jaringan limfoid peribronkial sehingga meningkatkan jumlah mucus pada permukaan silia yang berakibat fungsi silia sebagai pembersih akan terganggu akibatnya akan mudah terjadi infeksi sekunder oleh sterptococos pneumonia, H influenzae, staphylococos aureus.

Penumpukan mucus akan menyebabkan plug yang kemudian menjadi obstruksi dan kolaps pada paru, sedang hipoksemia dan sianosis dapat terjadi oleh karena gangguan pertukaran oksigen saat ventilasi dan menimbulkan apneu saat batuk. Lendir yang terbentuk dapat menyumbat bronkus kecil sehingga dapat menimbulkan emfisema dan atelektasis. Eksudasi dapat pula sampai ke alveolus dan menimbulkan infeksi sekunder, kelaina paru itu dapat menimbulkan bronkiektasis. 5. Gejala Klinis Masa inkubasi Bordetella pertusis adlah 6-2 hari ( rata rata 7 hari). Sedang perjalanan penyakit terjadi antara 6-8 minggu. Ada 3 stadium Bordetella pertusis : a. Stadium kataral (1-2 minggu) Menyerupai gejala ispa : rinore dengan lender cair, jernih, terdapat injeksi konjungtiva, lakrimasi, batuk ringan iritatif kering dan intermiten, panas tidak begitu tinggi, dan droplet sangat infeksius b. Stadium paroksimal atau spasmodic (2-4 minggu) Frekwensi derajat batuk bertambah 5-10 kali pengulangan batuk uat, selama expirsi diikuti usaha insprasi masif yang medadak sehingga menimbulkan bunyi melengking (whooop) oleh karena udara yang dihisap melalui glotis yang menyempit. Muka merah, sianosis, mata menonjol,lidah menjulur, lakrimasi, salivasi, petekia diwajah, muntah sesudah batuk paroksimal, apatis , penurunan berat badan, batuk mudah dibangkitkan oleh stress emosiaonal dan aktivitas fisik. Anak dapat terberak berak dan terkencing kencing. Kadang kadang pada penyakit yang berat tampak pula perdarahan subkonjungtiva dan epistaksis.

c. Stadium konvalesens (1-2 minggu) Whoop mulai berangsur angsur menurun dan hilang 2-3 minggu kemudian tetapi pada beberapa pasien akan timbul batuk paroksimal kembali. Episode ininakan berulang ulang untuk beberapa bulan dan sering dihubungkan dengan infeksi saluran napas bagian atas yang berulang. 6. Diagnosis Diagnosis ditegakan berdasarkan atas anamnesa , pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboraturium. Pada anamnesis penting ditanyakan adakah serangan yang khas yaitu batuk mula mula timbul pada malam hari tidak mereda malahan meningkat menjadi siang dan malam dan terdapat kontak dengan penderita pertusis, batuk bersifat paroksimal dengan bunyi whoop yang jelas, bagaimanakah riwayat imunisasinya. Pada pemeriksaan fisik tergantung dari stadium saat pasien diperiksa. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis( 20.00050000/ul) pada akhir stadium kataralis dan permulaan stadium spasmodic. Pada pemeriksaan secret nasofaring didapatkan Bordetella pertusis. Dan pemeriksaan lain adalah foto thorak apakah terdapat infiltrate perihiler, atelektasis atau emfisema.

Diagnosis dapat dibuat dengan memperhatikan batuk yang khas bila penderita datang pada stadium spasmodic, sedang pada stadium kataralis sukar dibuat diagnosis karena menyerupai common cold. 7. Diagnosis banding Pada batuk spasmodic perlu dipikirkan bronkioitis, pneumonia bacterial, sistis fibrosis, tuberculosis dan penyakit lain yang menyebabkan limfadenopati dengan penekanan diluar trakea dan bronkus. Infeksi Bordetella parapertusis, Bordetella bronkiseptika dan adenovirus dapat menyerupai sindrom klinis Bordetella pertusis. Tetapi dapat dibedakan dengan isolasi kumam penyebab.

8. Kompliksi a. Alat pernapasan Dapat terjadi otitis media sering pada bayi, bronchitis, bronkopneumonia, atelektasis yang disebabkan sumbatan mucus, emfisema dapat juga terjadi emfisema mediastinum, leher, kulit pada kasus yang berat, bronkiektasis, sedangkan tuberculosis yang sebelumnya telah ada dapat menjadi bertambah berat, batuk yang keras dapat menyebabkan rupture alveoli, emfisema intestisial, pnemutorak. b. Alat pencernaan Muntah muntah yang berat dapat menimbulkan emasiasi, prolapsus rectum atau hernia yang mungkin timbul karena tingginya tekanan intra abdominal, ulcus pada ujung lidah karena lidah tergosok pada gigi atau tergigit pada waktu serangan batuk, stomatitis. c. Susunan saraf pusat Kejang dapat timbul karena gangguan keseimbangan elektrolit akibat muntah muntah. Kadang kadang terdapat kongesti dan edema otak, mungkin pula terjadi perdarahan otak, koma, ensefalitis, hiponatremi. d. Lain lain Dapat pula terjadi perdarahan lain seperti epistaksis, hemoptisis dan perdarahan subkonjungtiva.

9. Terapi a. Antibiotika Eritromisin dengan dosis 50 mg/kgbb/hari dibagi dalam 4 dosis. Obat ini dpat menghilangkan Bordetella pertusis dari nasofaring dalam 2-7 hari ( rata rata 3-4 hari) dengan demikian memperpendek kemungkinan penyebaran infeksi. Eritromisisn juga menyembuhkan pertusis bila diberikan dalam stadium kataralis, mencegah dan menyembuhkan pneumonia, oleh karena itu sangat penting untuk pengobatan pertusis untuk bayi muda. Ampisilin dengan dosis 100 mg/kgbb/hari, dibagi dalam 4 dosis. lain lain : rovamisin, kotromoksazol, kloramfenikol dan tetrasiklin. b. Imunoglobulin Belum ada penyesuaian faham mengenai pemberian immunoglobulin pada stadium kataralis. c. d. e. f. g. h. Ekspektoransia dan mukolitik Kodein diberikan bila terdapat batuk batuk yang hebat sekali. Luminal sebagai sedative. Oksigen bila terjadi distress pernapasan baik akut maupun kronik. Terapi suportif : atasi dehidrasi, berikan nutrisi Betameatsol dan salbutamol untuk mencegah obstruksi bronkus, mengurangi batuk paroksimal, mengurangi lama whoop.

10. Prognosis Bergantung kepada ada tidaknya komplikasi, terutama komplikasi paru dan susunan saraf pusat yang sangat berbahaya khususnya pada bayi dan anak kecil. Dimana frekuensi komplikasi terbanyak dilaporkan pada bayi kurang dari 6 bulan mempunyai mortalitas morbiditas yang tinggi.

D. MUMPS

1. Defenisi Mumps (gondongan) adalah infeksi virus yang terutama menyerang kelenjar parotis satu dari tiga pasang kelenjar liur. Kelenjar ini berada di bawah dan di depan telinga. Mumps dapat melibatkan salah satu atau kedua kelenjar parotis Sebelum ditemukannya vaksin mumps pada tahun 1960-an, infeksi mumps sangat sering dijumpai. Setelah itu, angka kejadian mumps menurun drastis. 2. Etiologi Penyebab dari mumps adalah paramyxovirus. Virus ini ditemukan di air liur mulai sejak 6 hari sebelum timbulnya pembengkakan sampai dengan 9 hari setelah pembengkakan. Tingkat penularan paling tinggi pada periode 48 jam sebelum mulai pembengkakan. Virus ini mudah menyebar dari satu orang ke orang lain melalui air liur yang terinfeksi. Seseorang dengan gangguan daya tahan tubuh dapat mudah terinfeksi dengan menghirup droplet (percikan) dahak orang yang terinfeksi yang keluar sewaktu bersin atau batuk. Mumps juga dapat menyebar melalui pemakaian alat atau peralatan makan bersama. Masa inkubasinya 14 25 hari (masa inkubasi adalah suatu periode sejak masuknya virus ke tubuh sampai awal timbulnya gejala klinis). Mumps paling sering menyerang anak usia 6 8 tahun. Serangan mumps meski hanya satu sisi sekalipun akan menyebabkan yang bersangkutan mempunyai imunitas (kekebalan) seumur hidup terhadap mumps. 3. Gejala Klinis Satu dari lima orang yang terinfeksi Mumps tidak menunjukkan keluhan atau gejala klinis. Gejala klinis dan keluhan biasanya muncul setelah 2 sampai 3 minggu setelah terinfeksi virus. Gejala yang dapat ditemukan adalah : a. Bengkak,dan nyeri pada kelenjar ludah pada satu atau dua sisi wajah b. Nyeri sewaktu mengunyah atau menelan c. Demam d. Lemah dan pegal pegal Gejala mumps yang paling mudah dikenali adalah pembengkakan kelenjar liur yang terlihat menonjol di pipi.

4. Diagnosis Banding Pembengkakan dari kelenjar liur dan demam dapat disebabkan juga oleh tonsillitis atau penyumbatan kelenjar liur. Virus lain juga dapat menyerang kelenjar parotis, menyebabkan gejala menyerupai mumps. 5. Komplikasi Walaupun jarang ditemukan, komplikasi dari penyakit mumps dapat berakibat fatal, yaitu : a. Orchitis, kondisi ini menimbulkan peradangan pada salah satu atau kedua testis. Kondisi ini menimbulkan rasa nyeri, tetapi jarang menimbulkan sterilitas (kemandulan). b. Pankreatitis, peradangan dari pankreas. Gejala dari kelainan ini adalah nyeri perut bagian atas, mual, dan muntah. c. Ensefalitis. Infeksi virus, seperti mumps, dapat menyebabkan peradangan pada otak (ensefalitis). Ensefalitis dapat menimbulkan gangguan saraf yang dapat mengancam jiwa. Meskipun dapat berakibat fatal, kondisi ini sangat jarang ditemukan. d. Meningitis. Meningitis adalah infeksi dan peradangan dari membran pembungkus dan cairan yang mengelilingi otak dan spinal cord (syaraf tulang belakang). Hal ini dapat terjadi apabila virus mumps masuk kedalam pembuluh darah dan menyebar ke susunan syaraf pusat. Sama dengan ensefalitis, meningitis juga sangat jarang ditemukan. e. Peradangan dari Ovarium. Gejalanya adalah nyeri pada perut bagian bawah pada wanita. Kelainan ini tidak mempengaruhi tingkat kesuburan. f. Penurunan pendengaran. Pada beberapa kasus, gondongan dapat menyebabkan penurunan pendengaran, biasanya berlangsung permanen (tidak bisa sembuh) dan dapat mengenai satu atau kedua telinga. g. Keguguran. Terkena gondongan saat kehamilan, terutama trisemester awal dapat menimbulkan keguguran. 6. Pengobatan Karena penyakit ini disebabkan oleh virus, pemberian antibiotik tidak diperlukan. Sebagaimana infeksi virus, imunitas akan menghilangkan virus yang ada dalam tubuh, namun hal ini memerlukan waktu. Biasanya, anak dan orang dewasa akan sembuh sempurna dalam waktu 2 minggu. 7. Pencegahan

Pada umumnya, seseorang dianggap kebal terhadap gondongan apabila pernah menderita gondongan atau telah mendapat vaksin. Vaksin gondongan biasanya diberikan dalam bentuk vaksin kombinasi measlesmumps-rubella (MMR). Dosis dari vaksin MMR diberikan sebelum anak sekolah yaitu: a. Dosis pertama antara usia 12 s/d 15 bulan b. Dosis kedua antara usia 4 s/d 6 tahun c. Bila imunisasi terlambat atau tidak sesuai jadwal di atas maka dapat diberikan catch-up immunization imunisasi MMR 2x dengan jarak minimal 28 hari dari pemberian dosis pertama Dosis tunggal vaksin MMR dianggap tidak cukup untuk memberikan perlindungan sewaktu terjadi wabah. Karena rekomendasi pemberian dosis kedua baru dimulai pada akhir tahun 1990an, maka banyak yang lahir sebelum tahun tersebut belum mendapat vaksin MMR kedua dan harus segera dilakukan vaksinasi. Dosis vaksinasi yang diberikan adalah 0,5 ml vaksin MMR diberikan secara S.C (subcutaneous). Penelitian membuktikan vaksin MMR dapat meningkatkan antibodi selama lebih dari 25 tahun pada lebih dari 95% orang yang mendapat vaksin sebanyak satu kali. Pemberian kortikosteroid selama 2-4 hari dan 20 ml convalescent gammaglobulin diperkirakan dapat mencegah terjadinya orkitis. Terhadap virus itu sendiri tidak dapat dipengaruhi oleh anti mikroba, sehingga Pengobatan hanya berorientasi untuk menghilangkan gejala sampai penderita kembali baik dengan sendirinya. Penyakit gondongan sebenarnya tergolong dalam "self limiting disease" (penyakit yg sembuh sendiri tanpa diobati). Penderita penyakit gondongan sebaiknya menghindarkan makanan atau minuman yang sifatnya asam supaya nyeri tidak bertambah parah, diberikan diet makanan cair dan lunak. Jika pada jaman dahulu penderita gondongan diberikan blau (warna biru untuk mencuci pakaian), sebenarnya itu secara klinis tidak ada hubungannya. Kemungkinan besar hanya agar anak yang terkena penyakit Gondongan ini malu jika main keluar dengan wajah belepotan blau, sehingga harapannya anak tersebut istirahat dirumah yang cukup untuk membantu proses kesembuhan.

E. MALARIA

1. Defenisi Malaria adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh parasit dari genus Plasmodium, yang ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles dengan gambaran penyakit berupa demam yang sering periodik, anemia, pembesaran limpa dan berbagai kumpulan gejala oleh karena pengaruhnya pada beberapa organ misalnya otak, hati dan ginjal. 2. Etiologi Plasmodium adalah parasit yang termasuk vilum Protozoa, kelas sporozoa. Terdapat empat spesies Plasmodium pada manusia yaitu : Plasmodium vivax menimbulkan malaria vivax (malaria tertiana ringan). Plasmodium falcifarum menimbulkan malaria falsifarum (malaria tertiana berat), malaria pernisiosa dan Blackwater faver. Plasmodium malariae menimbulkan malaria kuartana, dan Plasmodium ovale menimbulkan malaria ovale. Keempat spesies plasmodium tersebut dapat dibedakan morfologinya dengan membandingkan bentuk skizon, bentuk trofozoit, bentuk gametosit yang terdapat di dalam darah perifer maupun bentuk pre-eritrositik dari skizon yang terdapat di dalam sel parenkim hati. 3. Manifestasi Klinik

a. Plasmodium vivax ( malaria tertiana ) Meriang Panas dingin menggigil/ demam ( 8 sampai 12 jam, dapat terjadi dua hari sekali setelah gejala pertama terjadi dapat terjadi selama 2 minggu setelah infeksi) Keringat dingin Kejang-kejang Perasaan lemas, tidak nafsu makan, sakit pada tulang dan sendi. b. Plasmodium falcifarum ( malaria tropika ) Meriang Panas dingin menggigil/ demam ( lebih dari 12 jam, dapat terjadi dua hari sekali setelah gejala pertama terjadi dapat terjadi selama 2 miggu setelah infeksi) Keringat dingin Kejang-kejang Perasaan lemas, tidak nafsu makan, sakit pada tulang dan sendi. c. plasmodium malariae ( malaria kuartana ) Meriang Panas dingin menggigil/ demam ( gejala pertama tidak terjadi antara 18 sampai 40 hari setelah infeksi terjadi. Gejala tersebut kemudian akan terulang kembali setiap 3 hari ) Keringat dingin Kejang-kejang Perasaan lemas, tidak nafsu makan, sakit pada tulang dan sendi d. Plasmodium ovale ( jarang ditemukan ) Dimana manifestasi klinisnya mirip malaria tertiana : Meriang Panas dingin menggigil/ demam ( 8 sampai 12 jam, dapat terjadi dua hari sekali setelah gejala pertama terjadi dapat terjadi selama 2 minggu setelah infeksi) Keringat dingin Kejang-kejang Perasaan lemas, tidak nafsu makan, sakit pada tulang dan sendi.

4. Patogesnesis / patofisiologi

Terjadinya infeksi oleh parasit Plasmodium ke dalam tubuh manusia dapat terjadi melalui dua cara yaitu : a. Secara alami melalui gigitan nyamuk anopheles betina yang mengandung parasit malaria b. Induksi yaitu jika stadium aseksual dalam eritrosit masuk ke dalam darah manusia, misalnya melalui transfuse darah, suntikan, atau pada bayi yang baru lahir melalui plasenta ibu yang terinfeksi (congenital). Patofisiologi malaria sangat kompleks dan mungkin berhubungan dengan hal-hal sebagai berikut : a. Penghancuran eritrosit yang terjadi oleh karena Pecahnya eritrosit yang mengandung parasit Fagositosis eritrosit yang mengandung dan tidak mengandung parasit Akibatnya terjadi anemia dan anoksia jaringan dan hemolisis intravaskuler b. Pelepasan mediator Endotoksin-makrofag Pada proses skizoni yang melepaskan endotoksin, makrofag melepaskan berbagai mediator endotoksin. c. Pelepasan TNF ( Tumor necrosing factor atau factor nekrosis tumor ) Merupakan suatu monokin yang dilepas oleh adanya parasit malaria. TNF ini bertanggung jawab terhadap demam, hipoglikemia, ARDS. d. Sekuetrasi eritrosit Eritrosit yang terinfeksi dapat membentuk knob di permukaannya. Knob ini mengandung antigen malaria yang kemudian akan bereaksi dengan antibody. Eritrosit yang terinfeksi akan menempel pada endotel kapiler alat dalam dan membentuk gumpalan sehingga terjadi bendungan. 5. Data Penunjang a. Laboratorium Anemia pada malaria dapat terjadi akut maupun kronik, pada keadan akut terjadi penurunan yang cepat dari Hb. Penyebab anemia pada malaria adalah pengrusakan eritrosit oleh parasit, penekanan eritropoesis dan mungkin sangat penting adalah hemolisis oleh proses imunologis. Pada malaria akut juga terjadi penghambatan eritropoesis pada sumsum tulang, tetapi bila parasitemia menghilang, sumsum tulang menjadi hiperemik, pigmentasi aktif dengan hyperplasia dari normoblast. Pada darah tepi dapat dijumpai poikilositosis, anisositosis, polikromasia dan bintik-bintik basofilik yang menyerupai anemia pernisioasa. Juga dapat dijumpai trombositopenia yang dapat mengganggu proses koagulasi. Pada malaria tropika yang berat maka plasma fibrinogen dapat menurun yang disebabkan peningkatan konsumsi fibrinogen karena terjadinya koagulasi intravskuler. Terjadi ikterus ringan dengan peningkatan bilirubin indirek yang

lebih banyak dan tes fungsi hati yang abnormal seperti meningkatnya transaminase, tes flokulasi sefalin positif, kadar glukosa dan fosfatase alkali menurun. Plasma protein menurun terutama albumin, walupun globulin meningkat. Perubahan ini tidak hanya disebabkan oleh demam semata melainkan juga karena meningkatkan fungsi hati. Hipokolesterolemia juga dapat terjadi pada malaria. Glukosa penting untuk respirasi dari plasmodia dan peningkatan glukosa darah dijumpai pada malaria tropika dan tertiana, mungkin berhubungan dengan kelenjar suprarenalis. Kalium dalam plasma meningkat pada waktu demam, mungkin karena destruksi dari sel-sel darah merah. LED meningkat pada malaria namun kembali normal setelah diberi pengobatan. b. Diagnosis Diagnosis malaria sering memerlukan anamnesa yang tepat dari penderita tentang asal penderita apakah dari daerah endemic malaria, riwayat bepergian ke daerah malaria, riawayat pengobatan kuratip maupun preventip.

c. Pemeriksaan tetes darah untuk malaria Pemeriksaan mikroskopik darah tepi untuk menemukan adanya parasit malaria sangat penting untuk menegakkan diagnosa. Pemeriksaan satu kali dengan hasil negative tidak mengenyampingkan diagnosa malaria. Pemeriksaan darah tepi tiga kali dan hasil negative maka diagnosa malaria dapat dikesampingkan. Adapun pemeriksaan darah tepi dapat dilakukan melalui : Tetesan preparat darah tebal. Merupakan cara terbaik untuk menemukan parasit malaria karena tetesan darah cukup banyak dibandingkan preparat darah tipis. Sediaan mudah dibuat khususnya untuk studi di lapangan. Ketebalan dalam membuat sediaan perlu untuk memudahkan identifikasi parasit. Pemeriksaan parasit dilakukan selama 5 menit (diperkirakan 100 lapang pandangan dengan pembesaran kuat). Preparat dinyatakan negative bila setelah diperiksa 200 lapang pandangan dengan pembesaran 700-1000 kali tidak ditemukan parasit. Hitung parasit dapat dilakukan pada tetes tebal dengan menghitung jumlah parasit per 200 leukosit. Bila leukosit 10.000/ul maka hitung parasitnya ialah jumlah parasit dikalikan 50 merupakan jumlah parasit per mikro-liter darah. Tetesan preparat darah tipis. Digunakan untuk identifikasi jenis plasmodium, bila dengan preparat darah tebal sulit ditentukan. Kepadatan parasit dinyatakan sebagai hitung parasit (parasite count), dapat dilakukan berdasar jumlah eritrosit yang mengandung parasit per 1000 sel darah merah. Bila jumlah parasit > 100.000/ul darah menandakan infeksi yang berat. Hitung parasit penting untuk menentukan prognosa penderita malaria. Pengecatan

dilakukan dengan pewarnaan Giemsa, atau Leishmans, atau Fields dan juga Romanowsky.

6. Komplikasi Komplikasi malaria umumnya disebabkan karena P.falciparum dan sering disebut pernicious manifestasions. Sering terjadi mendadak tanpa gejala-gejala sebeumnya, dan sering terjadi pada penderita yang tidak imun seperti pada orang pendatang dan kehamilan. Komplikasi terjadi 5-10 % pada seluruh penderita yang dirawat di RS dan 20 % diantaranya merupakan kasus yang fatal. Penderita malaria dengan kompikasi umumnya digolongkan sebagai malaria berat yang menurut WHO didefinisikan sebagai infeksi P.falciparum dengan satu atau lebih komplikasi sebagai berikut : a. Malaria serebral (coma) yang tidak disebabkan oleh penyakit lain atau lebih dari 30 menit setelah serangan kejang ; derajat penurunan kesadaran harus dilakukan penilaian berdasar GCS (Glasgow Coma Scale) ialah dibawah 7 atau equal dengan keadaan klinis soporous. b. Acidemia/acidosis ; PH darah <>respiratory distress. c. Anemia berat (Hb <> 10.000/ul; bila anemianya hipokromik atau miktositik harus dikesampingkan adanya anemia defisiensi besi, talasemia/hemoglobinopati lainnya. d. Gagal ginjal akut (urine kurang dari 400 ml/24 jam pada orang dewasa atau 12 ml/kg BB pada anak-anak) setelah dilakukan rehidrasi, disertai kreatinin > 3 mg/dl. e. Edema paru non-kardiogenik/ARDS (adult respiratory distress syndrome). f. Hipoglikemi : gula darah <> g. Gagal sirkulasi atau syok : tekanan sistolik <> C:8).10 h. Perdarahan spontan dari hidung atau gusi, saluran cerna dan disertai kelainan laboratorik adanya gangguan koagulasi intravaskuler i. Kejang berulang lebih dari 2 kali/24 jam j. Makroskopik hemoglobinuri oleh karena infeksi malaria akut (bukan karena obat anti malaria/kelainan eritrosit (kekurangan G-6-PD) k. Diagnosa post-mortem dengan ditemukannya parasit yang padat pada pembuluh kapiler pada jaringan otak.

7. Penatalaksanaan Pengobatan malaria dapat dilakukan dengan memberikan obat antimalari. Obat antimalaria dapat dibagi dalam 9 golongan yaitu : a. kuinin (kina) b. mepakrin c. klorokuin, amodiakuin d. proguanil, klorproguanil e. Primakuin f. Pirimetamin g. sulfon dan sulfonamide h. kuinolin methanol i. antibiotic Berdasarkan suseptibilitas berbagai macam stadium parasit malaria terhadap obat antimalaria, maka obat antimalaria dapat juga dibagi dalam 5 golongan yaitu : a. Skizontisida jaringan primer yang dapat membunuh parasit stadium praeritrositik dalam hati sehingga mencegah parasit masuk dalam eritrosit, jadi digunakan sebagai obat profilaksis kausal. Obatnya adalah proguanil, pirimetamin. b. Skizontisida jaringan sekunder dapat membunuh parasit siklus eksoeritrositik P. vivax dan P. ovale dan digunakan untuk pengobatan radikal sebagai obat anti relaps, obatnya adala primakuin. c. Skizontisida darah yang membunuh parasit stadium eritrositik, yang berhubungan dengan penyakit akut disertai gejala klinik. Obat ini digunakan untuk pengobatan supresif bagi keempat spesies Plasmodium dan juga dapat membunuh stadium gametosit P. vivax, P. malariae dan P. ovale, tetapi tidak efektif untuk gametosit P. falcifarum. Obatnya adalah kuinin, klorokuin atau amodiakuin; atau proguanil dan pirimetamin yang mempunyai efek terbatas. d. Gametositosida yang menghancurkan semua bentuk seksual termasuk gametosit P. falcifarum. Obatnya adalah primakuin sebagai gametositosida untuk keempat spesies dan kuinin, klorokuin atau amodiakuin sebagai gametositosida untuk P. vivax, P. malariae dan P. ovale. e. Sporontosida yang dapat mencegah atau menghambat gametosit dalam darah untuk membentuk ookista dan sporozoit dalam nyamuk Anopheles. Obat obat yang termasuk golongan ini adalah primakuin dan proguanil.

F. MORBILI

1. Defenisi Morbili adalah penyakit virus akut, menular yang ditandai dengan 3 stadium, yaitu stadium prodormal ( kataral ), stadium erupsi dan stadium konvalisensi, yang dimanifestasikan dengan demam, konjungtivitis dan bercak koplik. Morbili adalah penyakit anak menular yang lazim biasanya ditandai dengan gejalagejala utama ringan, ruam serupa dengan campak ringan atau demam, scarlet, pembesaran serta nyeri limpa nadi. 2. Etiologi Penyebabnya adalah virus morbili yaitu Rubeola yang terdapat dalam sekret nasofaring dan darah selama masa prodormal sampai 24 jam setelah timbul bercakbercak. Virus ini berupa virus RNA yang termasuk famili Paramiksoviridae, genus Morbilivirus. virus ini memiliki RNA rantai tunggal, sampai saat ini hanya ada satu serotipe yang diketahui dapat menimbulkan penyakit pada manusia. Cara penularan dengan droplet infeksi. 3. Manifestasi Klinis Masa tunas/inkubasi penyakit berlangsung kurang lebih dari 10-20 hari dan kemidian timbul gejala-gejala yang dibagi dalam 3 stadium : a. Stadium kataral (prodormal) Stadium prodormal berlangsung selama 4-5 hari ditandai oleh demam ringa hingga sedang, batuk kering ringan, coryza, fotofobia dan konjungtivitis. Menjelang akhir stadium kataral dan 24 jam sebelum timbul enantema, timbul bercak koplik yang patognomonik bagi morbili, tetapi sangat jarang dijumpai. Bercak koplik berwarna putih kelabu, sebesar ujung jarum dan dikelilingi oleh eritema. Lokalisasinya dimukosa bukalis berhadapandengan molar dibawah, tetapi dapat menyebar tidak teratur mengenai seluruh permukaan pipi. Meski jarang, mereka dapat pula ditemukan pada bagian tengah bibir bawah, langitlangit dan karankula lakrimalis. Bercak tersebut muncul dan menghilang dengan

cepat dalam waktu 12-18 jam. Kadang-kadang stadium prodormal bersifat berat karena diiringi demam tinggi mendadak disertai kejang-kejang dan pneumoni. Gambaran darah tepi ialah limfositosis dan leukopenia. b. Stadium erupsi Coryza dan batuk-batuk bertambah. Timbul enantema / titik merah dipalatum durum dan palatum mole. Terjadinya eritema yang berbentuk makula papula disertai dengan menaiknya suhu tubuh. Eritema timbul dibelakang telinga dibagian atas lateral tengkuk, sepanjang rambut dan bagian belakang bawah. Kadang-kadang terdapat perdarahan primer pada kulit. Rasa gatal, muka bengkak. Terdapat pembesaran kelenjar getah bening disudut mandibula dan didaerah leher belakang. Juga terdapat sedikit splenomegali, tidak jarang disertai diare dan muntah. Variasi dari morbili yang biasa ini adalah Black Measles yaitu morbili yang disertai perdarahan pada kulit, mulut, hidung dan traktus digestivus. c. Stadium konvalesensi Erupsi berkurang meninggalkan bekas yang berwarna lebih tua (hiperpigmentasi) yang bisa hilang sendiri. Selain hiperpigmentasi pada anak Indonesia sering ditemukan pula kulit yang bersisik. Hiperpigmentasi ini merupakan gejala patognomonik untuk morbili. Pada penyakit-penyakit lain dengan eritema atau eksantema ruam kulit menghilang tanpa hiperpigmentasi. Suhu menurun sampai menjadi normal kecuali bila ada komplikasi. 4. Pencegahan a. Imunusasi aktif Hal ini dapat dicapai dengan menggunakan vaksin campak hidup yang telah dilemahkan. Vaksin hidup yang pertama kali digunakan adalah Strain Edmonston B. Pelemahan berikutnya dari Strain Edmonston B. Tersbut membawa perkembangan dan pemakaian Strain Schwartz dan Moraten secara luas. Vaksin tersebut diberikan secara subkutan dan menyebabkan imunitas yang berlangsung lama. Pada penyelidikan serulogis ternyata bahwa imunitas tersebut mulai mengurang 8-10 tahun setelah vaksinasi. Dianjurkan agar vaksinasi campak rutin tidak dapat dilakukan sebelum bayi berusia 15 bulan karena sebelum umur 15 bulan diperkirakan anak tidak dapat membentuk antibodi secara baik karena masih ada antibodi dari ibu. Pada suatu komunitas dimana campak terdapat secara endemis, imunisasi dapat diberikan ketika bayi berusia 12 bulan. b. Imunusasi pasif Imunusasi pasif dengan serum oarng dewasa yang dikumpulkan, serum stadium penyembuhan yang dikumpulkan, globulin placenta (gama globulin plasma) yang dikumpulkan dapat memberikan hasil yang efektif untuk pencegahan atau melemahkan campak. Campak dapat dicegah dengan serum imunoglobulin dengan dosis 0,25 ml/kg BB secara IM dan diberikan selama 5 hari setelah pemaparan atau sesegera mungkin.

5. Pengobatan Terdapat indikasi pemberian obat sedatif, antipiretik untuk mengatasi demam tinggi. Istirahat ditempat tidur dan pemasukan cairan yang adekuat. Mungkin diperlukan humidikasi ruangan bagi penderita laringitis atau batuk mengganggu dan lebih baik mempertahanakan suhu ruangan yang hangat. Pemeriksaan Diagnostik : a. Pemeriksaan Fisik b. Pemeriksaan Darah Penetalaksanaan Teraupetik : a. Pemberian vitamin A b. Istirahat baring selama suhu meningkat, pemberian antipiretik c. Pemberian antibiotik pada anak-anak yang beresiko tinggi. d. Pemberian obat batuk dan sedativum.

G. VARICELA

1. Definisi Varicella (Cacar Air) adalah penyakit infeksi yang umum yang biasanya terjadi pada anak-anak dan merupakan akibat dari infeksi primer Virus Varicella Zoster. Varicella pada anak, mempunyai tanda yang khas berupa masa prodromal yang pendek bahkan tidak ada dan dengan adanya bercak gatal disertai dengan papul, vesikel, pustula, dan pada akhirnya, crusta, walaupun banyak juga lesi kult yang tidak berkembang sampai vesikel. Normalnya pada anak, gejala sistemik biasanya ringan. Komplikasi yang serius biasanya terjadi pada dewasa dan pada anak dengan defisiensi imunitas seluler, dimana penyakit dapat bermanifestasi klinis berupa, erupsi sangat luas, gejala konstitusional berat, dan pneumonia. Terdapat kemungkinan fatal jika tidak ada terapi antivirus yang diberikan. Vaksin Live Attenuated (Oka) mulai diberikan secara rutin pada anak yang sehat diatas umur 1 tahun 1995. Setelah itu, insidensi varisella dan komplikasinya mulai menurun di Amerika Serikat. Telah banyak negara bagian yang mewajibkan vaksin ini diberikan sebagai syarat masuk sekolah. Herpes Zooster disebabkan oleh reaktivasi dari Virus Varisela Zooster yang oleh penderita varisela. Herpes Zooster ini ditandai dengan lesi unilateral terlokalisasi yang mirip dengan cacar air dan terdistribusi pada syaraf sensoris. Biasanya lebih dari satu syaraf yang terkena dan pada beberapa pasien dengan penyebaran hematogen, terjadi lesi menyeluruh yang timbul setelah erupsi lokal. Zoster biasanya terjadi pada pasien dengan immunocompromised, penyakit ini juga umum pada orang dewasa daripada anak-anak. Pada dewasa lebih sering diikuti nyeri pada kulit.

2. Masa Inkubasi Waktu terekspos sampai kena penyakit varicella (cacar air) adalah 2 sampai 3 pekan. Varicella bisa ditandai dengan badan terasa panas. 3. Gejala Pada mulanya, penderita varicella akan merasa sedikit demam, pilek, cepat lelah, lesu, dan lemah. Gejala-gejala ini khas untuk infeksi virus. Pada kasus varicella yang lebih berat, bisa didapatkan nyeri sendi, sakit kepala dan pusing. Beberapa hari kemudian timbullah kemerahan kecil pada kulit, pertama kali ditemukan di sekitar dada dan perut atau punggung, lalu diikuti timbul di anggota gerak dan wajah. Kemerahan varicella pada kulit ini lalu berubah menjadi lenting berisi cairan dengan dinding tipis. Ruam kulit ini mungkin terasa agak nyeri atau gatal sehingga dapat tergaruk secara tak sengaja. Jika lenting varicella dibiarkan, maka akan segera mengering membentuk keropeng (krusta) yang nantinya akan terlepas dan meninggalkan bercak di kulit yang lebih gelap (hiperpigmentasi). Bercak varicella ini lama-kelamaan akan pudar sehingga beberapa waktu kemudian tidak akan meninggalkan bekas lagi. Lain halnya jika lenting varicella (cacar air) tersebut dipecahkan. Krusta akan segera terbentuk lebih dalam sehingga akan mengering lebih lama. Kondisi ini memudahkan infeksi bakteri terjadi pada bekas luka garukan tadi. Setelah mengering, bekas cacar air tadi akan meninggalkan bekas dalam. Terlebih lagi jika penderita varicella adalah dewasa atau dewasa muda, bekas cacar air akan lebih sulit menghilang. 4. Waktu Karantina yang Disarankan Selama 5 hari setelah ruam varicella mulai muncul dan sampai semua lepuh telah berkeropeng. Selama masa karantina, sebaiknya penderita varicella tetap mandi seperti biasa, karena kuman pada kulit dapat menginfeksi kulit yang sedang terkena cacar air. Untuk menghindari timbulnya bekas luka yang sulit hilang, sebaiknya menghindari pecahnya lenting varicella (cacar air). Ketika mengeringkan tubuh sesudah mandi, sebaiknya tidak menggosoknya dengan handuk terlalu keras. Untuk menghindari gatal, sebaiknya diberikan bedak talk yang mengandung menthol, sehingga mengurangi gesekan pada kulit dan kulit tidak banyak teriritasi. Untuk kulit sensitif, dapat juga menggunakan bedak talk salycil yang tidak mengandung mentol. Pastikan anda juga selalu mengkonsumsi makanan bergizi untuk mempercepat proses penyembuhan varicella itu sendiri. Konsumsi buah-buahan yang mengandung vitamin C seperti jambu biji dan tomat merah yang dapat dibuat juice. 5. Pencegahan Imunisasi (vaksinasi) varicella tersedia bagi anak-anak berusia lebih dari 12 bulan. Imunisasi varicella diberikan sebanyak 2 kali dengan selang penyuntikan 1-2 bulan. Imunisasi (vaksinasi) varicella dianjurkan bagi orang di atas usia 12 tahun yang tidak mempunyai kekebalan. Penyakit varicella erat kaitannya dengan kekebalan tubuh.

6. Pengobatan Varicella sebenarnya dapat sembuh dengan sendirinya. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan adanya serangan varicella berulang, saat individu tersebut mengalami penurunan daya tahan tubuh. Penyakit varicella dapat diberi penggobatan "Asiklovir" berupa tablet 800 mg per hari setiap 4 jam sekali (dosis orang dewasa, yaitu 12 tahun ke atas) selama 7-10 hari dan salep yang mengandung asiklovir 5% yang dioleskan tipis di permukaan yang terinfeksi 6 kali sehari selama 6 hari. Larutan "PK" sebanyak 1% yang dilarutkan dalam air mandi biasanya juga digunakan. Setelah masa penyembuhan varicella, dapat dilanjutkan dengan perawatan bekas luka yang ditimbulkan dengan banyak mengkonsumsi air mineral untuk menetralisir ginjal setelah mengkonsumsi obat. Konsumsi vitamin C plasebo ataupun yang langsung dari buah-buahan segar seperti juice jambu biji, juice tomat dan anggur. Vitamin E untuk kelembaban kulit bisa didapat dari plasebo, minuman lidah buaya, ataupun rumput laut. Penggunaan lotion yang mengandung pelembab ekstra saat luka sudah benar-benar sembuh diperlukan untuk menghindari iritasi lebih lanjut.

H. POLIO
Poliomielitis atau polio, adalah penyakit paralisis atau lumpuh yang disebabkan oleh virus. Agen pembawa penyakit ini, sebuah virus yang dinamakan poliovirus (PV), masuk ke tubuh melalui mulut, mengifeksi saluran usus. Virus ini dapat memasuki aliran darah dan mengalir ke sistem saraf pusat menyebabkan melemahnya otot dan kadang kelumpuhan (paralisis).

Anak-anak kecil yang terkena polio seringkali hanya mengalami gejala ringan dan menjadi kebal terhadap polio. Karenanya, penduduk di daerah yang memiliki sanitasi baik justru menjadi lebih rentan terhadap polio karena tidak menderita polio ketika masih kecil. Vaksinasi pada saat balita akan sangat membantu pencegahan polio pada masa depan karena polio menjadi lebih berbahaya jika diderita oleh orang dewasa. Orang yang telah menderita polio bukan tidak mungkin akan mengalami gejala tambahan pada masa depan seperti layu otot, gejala ini disebut sindrom postpolio.

I. RUBELA

1. Latar Belakang Berbeda dengan campak, rubella tidak terlalu menular. Pada anak-anak, rubella tidak memerlukan penanganan yang khusus. Demamnya cenderung ringan, ruamnya juga tidak separah campak. Namun akan memerlukan perhatian khusus dan pemantauan ketat apa bila penderita adalah ibu hamil. Pada wanita hamil terutama trimester 1, rubella dapat menyebabkan keguguran, kematian bayi dalam kandungan atau kelainan bawaan pada bayi. 2. Etiologi Penyebab penyakit rubella adalah virus. Penularan virus ini termasuk cepat dan dalam 14-21 hari setelah tertular, gejala mulai muncul. 3. Gejala-Gejala Rubella: a. Demam ringan maksimal 38.9C. b. Sakit kepala. c. Hidung tersumbat atau berair. d. Pembengkakan pada kelenjar getah bening di belakang leher dan di balik telinga. e. Ruam merah muda di seluruh tubuh. f. Sakit persendian, terutama pada perempuan muda. 4. Pencegahan & Penanganan: a. Berikan imunisasi MMR pada usia 12 bulan dan 4 tahun. Vaksin rubella merupakan bagian dari imunisasi rutin pada masa kanak=-kanak. Vaksin MMR diberikan pada usia 12-15 bulan, dosis kedua diberikan pada usia 4-6 tahun. b. Walau Rubella tidak seberapa menular, tetap karantina penderita supaya tidak menulari orang lain, selama selang waktu 7 hari sebelum dan sesudah ruam muncul. c. Berikan parasetamol saat demam diatas 38,5C dan anak gelisah atau rewel. d. Berikan banyak cairan. Bisa minuman, ato makanan berkuah banyak. e. Uapi ruangan/kamar untuk meredakan hidung tersumbat.

J. VARIOLA

1. Etiologi Virus Variola 2. Masa Inkubasi antara 7-14 hari. Menurut undang-undang karantina ditetapkan 14 hari. 3. Cara Penularan penularannya melalui kontak langsung ataupun tak langsung tapi infeksi primernya selalu melalui hawa napas. Virusnya yang terdapat di udara, berasal dari debu pakaian, tempat tidur dari keropeng yang jatuh di tanah ataupun dari hawa napas sipenderita, terhirup bersama hawa pernapasan sehingga terjadi penularan. Cacar adalah penyaki yang sangat menular. 4. Gejala Penyakit penyakit cacar adalah suatu penyakit infeksi yang akut dengan gejala-gejala berupa demam, sakit kepala, sakit pinggang dan anggota gerak, kadang-kadang menggigil disertai rasa mual atau muntah yang berlangsung selama 3-4 hari. Kemudian panasnya menurun dan timbul kelainan-kelainan pada kulit berturutturut: erythem (titik-titik kemerahan pada kulit), macula (bercak-bercak kemerahan pada kulit), papula (bercak kemerahan pada kulit yang agak menonjol dari permukaan kulit/ bentolan), vesikula (gelembung berisi cairan jernih), pustule (gelembung berisi nanah), crusta (keropeng, terjadi karena nanah pada pustule menering). Erupsi (ruam) pada kulit biasanya simetris dan mengenai seluruh tubuh terutama muka, lengan dan kaki. Bila sembuh akan meninggalkan bekas pada kulit yang tidak hilang seluruh hidup (bopeng) 5. Perbedaan Cacar (Variola) dan Cacar Air (Varicella) cacar adalah penyakit yang sangat menular dan berbahaya. Karena itu janganlah sampai keliru dengan cacar air yang merupakan penyakit yang ringan. Untuk amannya, bila terjadi kematian karena penyakit ruam (rash) kulit anggaplah penyakit itu sebagai penyakit cacar.

6. Gejala Cacar (Variola): a. Penderita mulai sakit antara hari ke 7-17 sesudah kontak erat dengan penderita cacar. b. 2-4 hari sebelum rash penderita biasanya demam dan merasa lemah. c. Kelainan kulit (macula papula dan lain-lain) lebih banyak terdapat di muka, tangan dan kaki. d. Keopeng biasanya terbentuk antara hari ke 10-14 sesudah rash. e. Keripeng mulai terlepas dalam waktu 14-28 hari sesudah rash. 7. Gejala Cacar Air (Vericella) : a. Penderita mulai sakit antara hari ke 14-21 sesudah kontak erat dengan penderita cacar air. b. Penderita umumnya tidak menunjukkan gejala apa-apa sebelum kelainan kulit (rash) timbul. c. Kelainan kulit (macula papula dan lain-lain) lebih banyak terdapat dibandingkan dengan dibagian tungkai (lengan-kaki). d. Kelainan biasanya tidak terdapat ditelapak tangan dan kaki. e. Keropeng biasanya terbentuk antara hari ke 4-7 sesudah rash. f. Keropeng mulai terlepas dalam waktu 14 hari sesudah rash. 8. Pencegahan Usaha pencegahan dan pemberantasannya yaitu dengan meningkatkan kekebalan masyarakat dengan melaksanakan vaksinasi rutin yang sebaik-baiknya (setiap bayi di cacar pada umur 1-2 bulan).

Anda mungkin juga menyukai