Anda di halaman 1dari 7

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Menurut Prof. Mr. B. Terhaar Bzn Hukum adat adalah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan dari kepala-kepala adat dan berlaku secara spontan dalam masyarakat.1 Secara umum hukum adat dapat dibagi berdasar tata kewangsaan patrilineal yaitu suatu adat masyarakat yang menyatakan alur keturunan berasal dari pihak bapak, matrilineal yaitu suatu adat masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak ibu, dan parental yaitu suatu adat masyarakat yang menyatakan alur keturunan berasal dari pihak bapak dan ibu. Diantara ketiganya memiliki corak khusus yang sangat kontras dan berbeda yang kemudian melahirkan Peraturanperaturan yang berbeda, bahkan dalam ketiga sistem tata kewangsaan tersebut memiliki ke-khasan tersendiri dalam suatu daerah dengan daerah yang lainnya. Begitu pula dalam adat pemeliharaan anak yatim (anak yang ditinggal mati oleh bapaknya) atau piatu (anak yang ditinggal mati oleh ibunya) atau bahkan anak yatim piatu (anak yang ditinggal mati oleh bapak dan ibunya) baik dalam segi kepengasuhan (hak asuh) atau dalam urusan harta peninggalan, semuanya diputuskan oleh suatu adat yang mengikat keluarga tersebut.

B. Rumusan Masalah 1. Pemeliharaan anak yatim / piatu pada tata kewangsaan parental 2. Pemeliharaan anak yatim / piatu pada tata kewangsaan matrilineal 3. Pemeliharaan anak yatim / piatu pada tata kewangsaan patrilineal 4. Pemeliharaan anak yatim / piatu pada situasi khusus C. Tujuan 1. Mengetahui secara jelas permasalahan-permasalahan yang timbul dalam pemeliharaan anak yatim / piatu dan harta peninggalan orang tuanya dalam semua tata kewangsaan.

Seperi dikutip Bewa Ragawino Pengantar Hukum Adat Indonesia. Hal.4

2. Mengetahui dan memahami jalan keluar dari permasalahan tersebut dalam semua tata kewangsaan.

BAB II PEMBAHASAN

A. Pada Tata kewangsaan Parental 1. Pada sistem tata kewangsaan parental, Apabila dalam suatu keluarga, salah satu dari orang tuanya bapak atau ibunya sudah tidak ada lagi, maka anakanak yang belum dewasa dipelihara oleh salah satu orang tuanya yang masih hidup.2 2. Apabila kedua orang tuanya tidak ada, maka yang memelihara anak-anak yang ditinggalkan adalah salah satu dari keluarga yang terdekat dan yang paling memungkinkan untuk keperluan itu. Dalam keadaan demikian biasanya tergantung pada anak diasuh dimana pada waktu ibu dan bapaknya masih ada, kalau biasanya diasuh dikeluarga ibu, maka anak akan diasuh oleh keluarga ibu, apabila biasanya anak diasuh oleh keluarga bapak, maka anak tersebut diasuh oleh keluarga bapak. 3. Apabila dalam suatu keluarga orang tuanya tinggal seorang sedangkan anaknya belum dewasa, maka yang melakukan kekuasaan orang tua di dalam suatu wilayah yang berketata kewangsaan parental ialah orang tua yang masih tinggal itu, kecuali apabila anak itu diserahkan kepada kerabat si mati. 4. Jika dalam wilayah tata kewangsaan parental itu kedua orang tuanya sudah meninggal, maka yang mengurus anak yatim piatu tersebut adalah kerabat terdekat dari salah satu dari kedua kelompok yang bisa dan mampu memberikan yang terbaik. Yang justru paling penting adalah di lingkungan mana anak itu biasa dididik sewaktu orang tuanya masih hidup.3 Apabila anak itu telah dewasa, maka anak tersebut yang menentukan sendiri. 5. Penyelesaian yang konkrit apabila ada masalah antara wangsa yang terdekat dan yang berkesempatan terbaik adalah urusan kerabat. Landraad jawa dan madura dapat mengangkat wali apabila :
2

Timbul kesulitan

Hadikusuma, Hilman, Prof., S.H., Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. Bandung: Mandar Maju. 1992. Hal.

125
3

R. Van djik. Pengantar Hukum Adat Indonesia. Bandung. Sumur Bandung. 1982. Hal. 187

Tidak ada seorangpun yang bersedia Ada yang bersedia namun tidak memadai.4

B. Pada Tata kewangsaan Patrilineal dan Matrilineal Pada kenyataannya tiap-tiap adat memiliki hukum tersendiri yang secara garis besar dapat disimpulkan kepada adat yang memegang tata kewangsaan patrilineal, matrilineal atau parental yang dalam permasalahan pengasuhan anak yatim dan masalahnya pada dapat dikemukakan sebagai berikut: 1. Dalam suatu suku bertata-kewangsaan khusus dan orang tua yang meninggal tidak menyerahkan anaknya kepada kepala kerabat, maka orang tua yang masih hiduplah yang melanjutkannya sendiri kekuasaan orang tua dibawah naungan otoritas kerabatnya. Dan yang meninggal dalam hal ini adalah : Bapak di minangkabau Ibu yang melakukan perkawinan jujur di tanah Batak, Lampung, Bali dsb. Namun apabila yang meninggal dalam hal ini adalah orang tua yang lain, selain yang di atas, dan terjadi ketegangan antara keluarga dan kelompok kerabat dalam tata-kewangsaan matrilineal dan patrilineal, maka dalam penyelesaiannya : Di minangkabau Anak-anak menetap di dalam kekuasaan kerabat ibunya (almarhumah), bapaknya akan memperhatikan kepentingan mereka sepanjang

dimungkinkan oleh keadaan. Di tanah Batak dan Bali Sesudah bapaknya meninggal, ibu anak-anak menetap di lingkungan kerabat mendiang suaminya selaku pendidik anak-anak, entah sebagai istri adik mendiang suami atau sebagai janda. Apabila ia ingin menikah lagi dengan pria lain, ia dapat bercerai dari kerabat mendiang suami dan anaknya masih tetap berada di bawah kekuasaan kerabat tersebut. 2. Apabila kehidupan keluarga menjadi lebih kokoh akibat perantauan atau yang lainnya, maka adat tersebut dapat dilanggar dengan ketentuan penyimpangan,
4

Iman Sudiyat. Hukum Adat Sketsa Asas. Yogyakarta. Liberty. 1981. halaman 100

kecuali apabila kepentingan anak-anak mengharuskan mereka sampai ke status dewasa tetap merupakan kesautuan keluarga di dalam suasana kehidupan yang biasa dihayatinya, di bawah kekuasaan ibunya, tetapi harta bendanya tetap di urus oleh kerabat pihak bapak. 3. Jika kedua orang tua meninggal, maka kekuasaan atas pemeliharaan anak dan hartanya di dalam tata kewangsaan unilateral jatuh (menetap) di tangan kepala-kepala atau ketua kerabat yang sudah menguasai seluruh keluarga.5

Ibid. halaman 101

BAB III KESIMPULAN

Dalam penentuan pemeliharaan anak yatim terdapat berbagai cara yang berbeda-beda sesuai dengan tata kewangsaan yang dianut oleh keluarga tersebut, dalam tata kewangsaan patrilineal sudah jelas yang memiliki kekuasaan adalah pihak kerabat bapak, begitupun pada tata kewangsaan matrilineal yang memiliki kekuasaan pemeliharaan adalah kerabat pihak ibu. Sedangkan pada tata kewangsaan parental maka anak-anak yatim yang belum dewasa dipelihara oleh salah satu orang tuanya yang masih hidup. Jika kedua orang tuanya tidak ada, maka yang memelihara anak-anak yang ditinggalkan adalah salah satu dari kelurga yang terdekat dan yang paling memungkinkan.

DAFTAR PUSTAKA

Saragih, Djaren. Pengantar Hukum Adat Indonesia, Bandung: Tarsito. 1984 Sudiyat, Imam. Hukum Adat Sketsa Asas. Yogyakarta: Liberty. 1981 Abdurrahman. Hukum Adat Menurut Perundang-undangan Republik Indonesia. Jakarta: Cendana Pres. 1984 Hadikusuma, Hilman, Prof., S.H., Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. Bandung: Mandar Maju. 1992 Van Dijk, R, Prof,Dr, , Pengantar Hukum Adat Indonesia. Bandung: Sumur Bandung. 1982

Anda mungkin juga menyukai