Anda di halaman 1dari 7

HUKUM PERIKATAN

Definisi hukum perikatan Perikatan dalam bahasa Belanda disebut ver bintenis. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti ; hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli barang. Dapat berupa peristiwa, misalnya lahirnya seorang bayi, meninggalnya seorang. Dapat berupa keadaan, misalnya; letak pekarangan yang berdekatan, letak rumah yang bergandengan atau letak rumah yang bersusun (rusun). Karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang-undang atau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi akibat hukum. Dengan demikian, perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut hubungan hukum. Jika dirumuskan, perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum pribadi(pers onal law). Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah suatu hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Beberapa sarjana juga telah memberikan pengertian mengenai perikatan. Pitlo memberikan pengertian perikatan yaitu suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi. Pengertian perikatan menurut Hofmann adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang daripadanya (debitur atau pada debitur) mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu. Istilah perikatan sudah tepat sekali untuk melukiskan suatu pengertian yang sama yang dimaksudkan verbintenis dalam bahasa Belanda yaitu suatu hubungan hukum antara dua pihak yang isinya adalah hak an kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Dalam beberapa pengertian yang telah dijabarkan di atas, keseluruhan pengertian tersebut menandakan bahwa pengertian perikatan yang dimaksud adalah suatu pengertian yang abstrak, yaitu suatu hal yang tidak dapat dilihat tetapi hanya dapat dibayangkan dalam pikiran kita. Untuk mengkonkretkan pengertian perikatan yang abstrak maka perlu adanya suatu perjanjian. Oleh karena itu, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah demikian, bahwa perikatan itu dilahirkan dari suatu perjanjian. Di dalam hukum perikatan, terdapat sistem yang terbuka, dan yang dimaksud dengan system terbuka adalah setiap orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber pada perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimanapun, baik itu yang diatur dengan undang-undang atau tidak, inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak, dengan syarat kebebasan berkontrak harus halal, dan tidak melanggar hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang. Di dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yang sifatnya positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian.

DASAR HUKUM PERIKATAN Sumber-sumber hukum perikatan yang ada di Indonesia adalah perjanjian dan undang-undang, dan sumber dari undang-undang dapat dibagi lagi menjadi undang-undang melulu dan undang-undang dan perbuatan manusia. Sumber undang-undang dan perbuatan manusia dibagi lagi menjadi perbuatan yang menurut hukum dan perbuatan yang melawan hukum. Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut : 1. Perikatan yang timbul dari persetujuan ( perjanjian ) 2. Perikatan yang timbul dari undang-undang 3. Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum ( onrechtmatige daad ) dan perwakilan sukarela ( zaakwaarneming ) Sumber perikatan berdasarkan undang-undang : 1. Perikatan ( Pasal 1233 KUH Perdata ) : Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undangundang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu. 2. Persetujuan ( Pasal 1313 KUH Perdata ) : Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. 3. Undang-undang ( Pasal 1352 KUH Perdata ) : Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang. Azas-azas dalam hukum perikatan Asas-asas dalam hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme. Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Asas konsensualisme Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas. Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata. Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah 1. Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut. 2. Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan. 3. Mengenai Suatu Hal Tertentu Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak. 4. Suatu sebab yang Halal Suatu sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.

Dasar Hukum Perikatan Dasar hukum perikatan berdasarkan KUHP perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut. 1. Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian). 2. Perikatan yang timbul undang-undang. Perikatan yang berasal dari undang-undang dibagi lagi menjadi undang-undang saja dan undangundang akibat perbuatan manusia. Hal ini tergambar dalam Pasal 1352 KUH Perdata :Perikatan yang dilahirkan dari undang-undang, timbul dari undang-undang saja (uit de wet allen) atau dari

undang-undang sebagai akibat perbuatan orang (uit wet ten gevolge vans mensen toedoen) a. Perikatan terjadi karena undang-undang semata. Perikatan yang timbul dari undang-undang saja adalah perikatan yang letaknya di luar Buku III, yaitu yang ada dalam pasal 104 KUH Perdata mengenai kewajiban alimentasi antara orang tua dan anak dan yang lain dalam pasal 625 KUH Perdata mengenai hukum tetangga yaitu hak dan kewajiban pemilik-pemilik pekarangan yang berdampingan. Di luar dari sumber-sumber perikatan yang telah dijelaskan di atas terdapat pula sumber-sumber lain yaitu : kesusilaan dan kepatutan (moral dan fatsoen) menimbulkan perikatan wajar (obligatio naturalis), legaat (hibah wasiat), penawaran, putusan hakim. Berdasarkan keadilan (billijkheid) maka hal-hal termasuk dalam sumber sumber perikatan. b. Perikatan terjadi karena undang-undang akibat perbuatan manusia 3. Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perwakilan sukarela ( zaakwarneming). Azas-azas dalam hukum perikatan Asas-asas dalam hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme. Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Asas konsensualisme Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas. Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata. Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah 1. Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut. 2. Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan. 3. Mengenai Suatu Hal Tertentu Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak. 4. Suatu sebab yang Halal Suatu sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum Wanprestasi dan Akibat-akibatnya Wansprestasi timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikan. Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni : 1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya; 2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan; 3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat; 4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Akibat-akibat wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wansprestasi , dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni 1. Membayar Kerugian yang Diderita oleh Kreditur (Ganti Rugi) Ganti rugi sering diperinci meliputi tinga unsure, yakni a. Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak; b. Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibat oleh kelalaian si debitor; c. Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor. 2. Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata. Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan. 3. Peralihan Risiko Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH perdata. Hapusnya Perikatan Perikatan itu bisa hapus jika memenuhi kriteria-kriteria sesuai dengan Pasal 1381 KUH Perdata. Ada 10 (sepuluh) cara penghapusan suatu perikatan adalah sebagai berikut : Pembaharuan utang (inovatie) Novasi adalah suatu persetujuan yang menyebabkan hapusnya sutau perikatan dan pada saat yang bersamaan timbul perikatan lainnya yang ditempatkan sebagai pengganti perikatan semula. Ada tiga macam novasi yaitu : 1) Novasi obyektif, dimana perikatan yang telah ada diganti dengan perikatan lain. 2) Novasi subyektif pasif, dimana debiturnya diganti oleh debitur lain. Perjumpaan utang (kompensasi) Kompensasi adalah salah satu cara hapusnya perikatan, yang disebabkan oleh keadaan, dimana dua orang masing-masing merupakan debitur satu dengan yang lainnya. Kompensasi terjadi apabila dua orang saling berutang satu pada yang lain dengan mana utang-utang antara kedua orang tersebut dihapuskan, oleh undang-undang ditentukan bahwa diantara kedua mereka itu telah terjadi, suatu perhitungan menghapuskan perikatannya (pasal 1425 KUH Perdata). Misalnya A berhutang sebesar Rp. 1.000.000,- dari B dan sebaliknya B berhutang Rp. 600.000,kepada A. Kedua utang tersebut dikompensasikan untuk Rp. 600.000,- Sehingga A masih mempunyai utang Rp. 400.000,- kepada B.Untuk terjadinya kompensasi undang-undang menentukan oleh Pasal 1427KUH Perdata, yaitu utang tersebut : Kedua-duanya berpokok sejumlah uang atau. Berpokok sejumlah barang yang dapat dihabiskan. Yang dimaksud dengan barang yang dapat dihabiskan ialah barang yang dapat diganti. Kedua-keduanya dapat ditetapkan dan dapat ditagih seketika. Pembebasan utang Undang-undang tidak memberikan definisi tentang pembebasan utang. Secara sederhana pembebasan utang adalah perbuatan hukum dimana dengan itu kreditur melepaskan haknya untuk menagih piutangnya dari debitur. Pembebasan utang tidak mempunyai bentuk tertentu.

Dapat saja diadakan secara lisan. Untuk terjadinya pembebasan utang adalah mutlak, bahwa pernyataan kreditur tentang pembebasan tersebut ditujukan kepada debitur. Pembebasan utag dapat terjadi dengan persetujuan atau Cuma- Cuma. Menurut pasal 1439 KUH Perdata maka pembebasan utang itu tidak boleh dipersangkakan tetapi harus dibuktikan. Misalnya pengembalian surat piutang asli secara sukarela oleh kreditur merupakan bukti tentang pembebasan utangnya. Dengan pembebasan utang maka perikatan menjadi hapus. Jika pembebasan utang dilakukan oleh seorang yang tidak cakap untuk membuat perikatan, atau karena ada paksaan, kekeliruan atau penipuan, maka dapat dituntut pembatalan. Pasal 1442 menentukan : (1) pembebasan utang yang diberikan kepada debitur utama, membebaskan para penanggung utang, (2) pembebasan utang yang diberikan kepada penanggung utang, tidak membebaskan debitur utama, (3) pembebasan yang diberikan kepada salah seorang penanggung utang, tidak membebaskan penanggung lainnya. Musnahnya barang yang terutang Apabila benda yang menjadi obyek dari suatu perikatan musnah tidak dapat lagi diperdagangkan atau hilang, maka berarti telah terjadi suatu keadaan memaksaat au force majeur, sehingga undang-undang perlu mengadakan pengaturan tentang akibat-akibat dari perikatan tersebut. Menurut Pasal 1444 KUH Perdata, maka untuk perikatan sepihak dalam keadaan yang demikian itu hapuslah perikatannya asal barang itu musnah atau hilang diluar salahnya debitur, dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Ketentuan ini berpokok pangkal pada Pasal 1237 KUH Perdata menyatakan bahwa dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu kebendaan tertentu kebendaan itu semenjak perikatan dilakukan adalah atas tenggungan kreditur. Kalau kreditur lalai akan menyerahkannya maka semenjak kelalaian-kebendaan adalah tanggungan debitur. Kebatalan dan pembatalan perikatan-perikatan. Bidang kebatalan ini dapat dibagi dalam dua hal pokok, yaitu : batal demi hukum dan dapat dibatalkan. Disebut batal demi hukum karena kebatalannya terjadi berdasarkan undang-undang. Misalnya persetujuan dengan causa tidak halal atau persetujuan jual beli atau hibah antara suami istri adalh batal demi hukum. Batal demi hukum berakibat bahwa perbuatan hukum yang bersangkutan oleh hukum dianggap tidak pernah terjadi. Contoh : A menghadiahkan rumah kepada B dengan akta dibawah tangan, maka B tidak menjadi pemilik, karena perbuatan hukum tersebut adalah batal demi hukum. Dapat dibatalkan, baru mempunyai akibat setelah ada putusan hakim yang membatalkan perbuatan tersebut. Sebelu ada putusan, perbuatan hukum yang bersangkutan tetap berlaku. Contoh : A seorang tidak cakap untuk membuat perikatan telah menjual dan menyerahkan rumahnya kepada B dan kerenanya B menjadi pemilik. Akan tetapi kedudukan B belumlah pasti karena wali dari A atau A sendiri setelah cukup umur dapat mengajukan kepada hakim agar jual beli dan penyerahannya dibatalkan. Undang-undang menentukan bahwa perbuata hukum adalah batal demi hukum jika terjadi pelanggaran terhadap syarat yang menyangkut bentuk perbuatan hukum, ketertiban umum atau kesusilaan. Jadi pada umumnya adalah untuk melindungi ketertiban masyarakat. Sedangkan perbuatan hukum dapat dibatalkan, jika undang-undang ingin melindungi seseorang terhadap dirinya sendiri. Syarat yang membatalkan Yang dimaksud dengan syarat di sini adalah ketentun isi perjanjian yang disetujui oleh kedua belah pihak, syarat mana jika dipenuhi mengakibatkan perikatan itu batal, sehingga perikatan menjadi hapus. Syarat ini disebut syarat batal. Syarat batal pada asasnya selalu berlaku surut, yaitu sejak perikatan itu dilahirkan. Perikatan yang batal dipulihkan dalam keadaan semula

seolah-olah tidak pernah terjadi perikatan. Lain halnya dengan syarat batal yang dimaksudkan sebagai ketentuan isi perikatan, di sini justru dipenuhinya syarat batal itu, perjanjian menjadi batal dalam arti berakhir atau berhenti atau hapus. Tetapi akibatnya tidak sama dengan syarat batal yang bersifat obyektif. Dipenuhinya syarat batal, perikatan menjadi batal, dan pemulihan tidak berlaku surut, melainkan hanya terbatas pada sejak dipenuhinya syarat itu. Kedaluwarsa Menurut ketentuan Pasal 1946 KUH Perdata, lampau waktu adalah suatu alat untuk memperoleh susuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Dengan demikian menurut ketentuan ini, lampau waktu tertentu seperti yang ditetapkan dalam undang-undang, maka perikatan hapus. Dari ketentuan Pasal tersebut diatas dapat diketehui ada dua macam lampau waktu, yaitu : Lampau waktu untuk memperolah hak milik atas suatu barang, disebut acquisitive prescription; Lampau waktu untuk dibebaskan dari suatu perikatan atau dibebaskan dari tuntutan, disebut extinctive prescription; Istilah lampau waktu adalah terjemahan dari istilah aslinya dalam bahasa belanda verjaring. Ada juga terjemaha lain yaitu daluwarsa. Kedua istilah terjemahan tersebut dapat dipakai, hanya saja istilah daluwarsa lebih singkat dan praktis.
Istilah Nota Kesepakatan (MoU) adalah suatu produk dalam ranah hukum perdata dan jika dicari aturan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata kita tidak akan menemukan penjelasan secara khusus mengenai MoU ini, karena MoU ini lahir dari konsep hukum perjanjian dari negara-negara Common Law System. MoU ini sering kita dengar dari berbagai praktek bisnis sehari-hari yang terjadi di Indonesia, sehingga kita sudah sangat akrab dengan istilah MoU meskipun tidak berasal dari sistem hukum Indonesia.

Untuk itu perlu kiranya kita dapat mengetahui bagaimana kedudukan suatu MoU dalam konsep hukum perdata dan bagaimana keterkaitannya dalam menyelesaikan permasalahan sengketa kewenangan tersebut. Memorandum of Understanding sebenarnya merupakan suatu bentuk perjanjian ataupun kesepakatan awal yang menyatakan pencapaian saling pengertian diantara pihak-pighak yang terikat pada MoU tersebut, namun kesepakatan yang dicapai tersebut tidak dimaksudkan oleh para pihak untuk memberikan akibat hukum (no intention to create legal relation) terhadap konsekuensi dari pelaksanaan MoU tersebut. Oleh karena itu sering juga kita dengan bahwa MoU itu adalah merupakan suatu Gentlements Agreement yang hanya memunculkan kewajiban moril bukan kewajiban hukum. Kewajiban hukum itu timbul jika para pihak sepakat untuk memberikan akibat hukum dalam MoU tersebut. Lalu bagaimana kedudukan dari MoU yang telah ditandatangani oleh pihak KPK, Kejaksaan Agung dan Polri, seperti telah dijelaskan sebelumnya maka kedudukan dari MoU tersebut hanyalah merupakan suatu perjanjian yang memberikan sanksi atau akibat moral saja. Namun demikian apakah MoU itu dapat dengan mudah untuk diingkari? tentunya tidak karena dalam MoU yang dibuat dan ditandatangani antara KPK, Kejaksaan dan Polri merupakan pertaruhan kepercayaan publik terhadap institusi. Sehingga jika salah satu pihak mengikari hal itu, maka penilaian ataupun tingkat kepercayaan publik akan jatuh kepada institusi tersebut. Oleh karena itu sangat berisiko jika KPK menganggap angin lalu ataupun mengabaikan MoU yang sudah di tandatangani oleh pimpinan KPK tersebut dan berdampak bagi integritas dan akuntabilitas dari KPK sendiri. Lalu bagaimana jalan keluarnya? MoU meskipun tidak mempunyai akibat hukum ataupun hanya memberikan akibat moral tetap merupakan suatu perjanjian dan seluruh perjanjian yang ada jika

tunduk pada hukum Indonesia, maka perjanjian itu baru dikatakan sah jika memenuhi pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang unsur-unsurnya adalah: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3. Suatu hal tertent 4. Suatu sebab yang halal. Keempat unsur inilah yang menjadi acuan dalam hukum perjanjian Indonesia dalam menentukan keabsahan suatu perjanjian. Oleh karena itu mari kita uji bersama apakah MoU tersebut sudah sah dengan memenuhi keempat unsur sahnya perjanjian itu. Untuk unsur 1, 2 dan 3 sudah dapat dipastikan sudah terpenuhi dalam MoU itu, karena para pihak dalam hal ini KPK, Kejaksaan dan Polri sepakat terhadap MoU itu. Hal ini dapat dilihat dari telah ditandatanganinya MoU itu oleh para pihak. Unsur kecakapan terkait dengan kewenangan pihak-pihak yang menandatangi MoU tersebut. Tentunya pihak-pihak yang berwenang yang telah mewakili masing-masing institusi yaitu Ketua KPK Abraham Samad, Kepala Polri Jenderal (Pol) Timur Pradopo dan Jaksa Agung Basrief Arief. Sehingga unsur kecakapan pun telah terpenuhi. Demikian juga dengan unsur suatu hal tertentu, MoU tersebut mengatur mengenai mekanisme di antara KPK, Kejaksaan dan Polri dalam rangka pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dengan demikian unsur 1, 2 dan 3 sudah terpenuhi dalam MoU tersebut. Bagaimana dengan unsur ke 4 mengenai suatu sebab yang halal? Maksud sebab yang halal ini adalah setiap perjanjian dalam hal ini MoU antara KPK, Kejaksaan dan Polri ini di antaranya tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sekarang mari kita lihat apakah MoU tersebut melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan? Mengutip pendapat dari pakar hukum pidana Prof Romli Atmasasmita, Jika mengacu pasal itu maka KPK seharusnya lebih berwenang dalam melakukan supervisi. Dengan MoU itu malah supervisinya hilang. Jadi selevel lah (dengan Kepolisian dan Kejaksaan), kata dia. Selain itu, tambah Romli, di MoU ada pengaturan pengendalian bersama dalam pemberantasan korupsi. Hal itu tidak diatur dalam UU KPK. Masalah lain, lanjut dia, di MoU diatur batas waktu penyerahan tersangka dan seluruh berkas perkara paling lama 3 bulan. Adapun di UU KPK hanya 14 hari. (www.Kompas.com, Senin 6 Agustus 2012). Mengutip pendapat tersebut dapat kita lihat bahwa ternyata MoU tersebut telah melanggar hukum. Artinya kauasa yang halal dari syarat sahnya perjanjian tersebut sudah tidak terpenuhi yang akibatnya maka MoU tersebut batal demi hukum yang artinya MoU tersebut haruslah dianggap tidak pernah ada. Kemudian bagaimana cara membatalkan MoU tersebut? Bahwa setiap perjanjian harus dibatalkan melalui pengadilan (vide pasal 1266 KUHPerdata), sehingga pengadilanlah yang berhak untuk membatalkan MoU caranya dengan mengajukan gugatan ke pengadilan untuk minta MoU tersebut dibatalkan. Siapa yang akan membatalkan? Apa dasarnya? Sungguh tidak elok apabila para pihak yang telah menadatangani MoU tersebut yang mengajukan gugatan pembatalan di pengadilan. Sebab kembali jika hal ini dilakukan oleh salah satu pihak maka akan memberikan dampak baik secara politis dan tingkat kepercayaan publik terhadap institusi tersebut.

Anda mungkin juga menyukai