Anda di halaman 1dari 25

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
-

Nama Umur Tempat, tanggal lahir Jenis kelamin Agama Nama ayah o Pekerjaan o Pendidikan

: An. F : 1 bulan : Bekasi, 1 Agustus 2012 : Perempuan : Islam : Tn. H : Buruh : SLTA : Ny. E : Ibu Rumah Tangga : SLTA : Cikarang : Jawa : 25 September 2012 : 511xxx

Nama ibu
o

Pekerjaan

o Pendidikan -

Alamat Suku Tanggal pemeriksaan No. CM

II. ANAMNESIS Anamnesis ini diperoleh dengan cara alloanamnesis terhadap orang tua pasien A. Keluhan Utama Kejang disertai demam B. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang ke RSUD Kabupaten Bekasi dengan keluhan kejang disertai demam sejak 2 jam sebelum masuk rumah sakit. Kejang terjadi sebanyak 6 kali, lama kejang 3-5 menit dan selang waktu antara kejang 30

menit. Saat kejang, keluarga mengaku pasien tidak sadar, seluruh tubuh pasien kaku dan kedua mata pasien mendelik ke atas, mulut tidak terkunci dan tidak mengeluarkan busa. Pada kejang pertama, kejang hanya di alami pasien pada kepala yang menoleh ke kanan dan tangan kanannya saja. Pada kejang selanjutnya, pasien kejang seluruh badan termasuk kaki dan disertai dengan otot wajah yang kaku dan mata yang mendelik ke atas. Di antara kejang pasien sadar dan menangis. Ibu pasien menyatakan, sebelum kejang pasien mengalami demam tinggi sejak 4 hari sebelumnya setelah pasien divaksin BCG. Demam dirasakan terus-menerus sepanjang hari. Pasien mengakui mengalami batuk dan pilek. Pasien menyangkal mengalami mual atau muntah. BAB dan BAK tidak ada keluhan. Perasaan lumpuh pada kaki atau tangan disangkal. Pasien sudah meminum obat penurun panas sejak 3 hari yang lalu, namun panas tetap dirasakan dan pasien menjadi kejang. Pasien belum diberi obat kejang yang melalui anus. Oleh karena itu, pasien dibawa ke RSUD Kabupaten Bekasi. C. Riwayat Penyakit Dahulu Pasien baru pertama kali mengalami gejala seperti saat ini. Riwayat kejang tanpa demam disangkal. Riwayat nyeri dan keluar cairan berbau dari telinga, serta riwayat trauma pada kepala disangkal. D. Riwayat Penyakit Keluarga Tidak ada yang memiliki riwayat penyakit yang sama dengan gejala yang dialami pasien saat ini. E. Riwayat Makan Minum Anak Pasien hanya minum ASI F. Riwayat Pemeriksaan Kehamilan dan Prenatal Pemeriksaan kehamilan dilakukan ibu penderita di bidan setempat. Frekuensi pemeriksaan 1 kali pada trimester I dan II dan 2 kali pada trimester

III. Penyakit kehamilan (-). Obat-obatan yang diminum adalah vitamin dan tablet penambah darah dari bidan. G. Riwayat Kelahiran Penderita lahir di rumah bersalin, kelahiran spontan dan normal, serta ditolong oleh bidan pada usia kehamilan 9 bulan, menangis kuat segera setelah lahir. Berat badan saat lahir adalah 3700 gram, panjang badan saat lahir 49 cm. Anus (+). Tidak didapatkan kelainan kongenital. H. Riwayat Pemeriksaan Postnatal Pemeriksaan bayi setelah lahir dilakukan di posyandu setiap bulan. Perkembangan yang terlambat pada pasien disangkal. I. Riwayat Imunisasi Pasien baru mendapat vaksin BCG dan Polio yang pertama pada umur 1 bulan.

III. PEMERIKSAAN FISIK Status Presens 1. Keadaan umum 2. Derajat kesadaran 3. Tekanan Darah 4. Nadi 5. Respirasi 6. Suhu 7. BB 8. PB 9. Status gizi : Tampak sakit sedang : Compos mentis : Sulit dinilai : 120x/menit reguler : 28 x/menit, abdominothorakal : 38,20C : 4,2 kg : 53 cm : Cukup

Status Generalis 1. Kelainan mukosa kulit / subkutan yang menyeluruh a. Pucat b. Sianosis c. Ikterus d. Perdarahan e. Oedem f. Turgor g. Lemak bawah kulit h. Pembesaran KGB generalisata 2. Kepala a. Bentuk b. Sutura c. UUB d. Rambut e. Mata f. Hidung g. Mulut h. Telinga 3. Leher a. Bentuk : Normal : Normocephal : Belum menutup : Belum menutup : Hitam, tidak mudah rontok dan sukar dicabut : Konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik : Bentuk normal, napas cuping hidung (-/-), sekret (+/+), darah (-/-) , deformitas (-) : Sianosis (-), bibir kering (-), lidah kotor (-), gusi berdarah (-), mukosa basah (+), susunan gigi normal, faring hiperemis (+) : Bentuk normal, liang lapang, serumen (-/-)

: (-) : (-) : (-) : (-) : (-) : Baik : Cukup : (-)

b. Trachea c. KGB d. Kaku kuduk 4. Thorax

: Ditengah : Tidak membesar : (-)

Bentuk normochest, retraksi (-), iga gambang (-), gerakan simetris kanan dan kiri a. Cor Inspeksi Palpasi Perkusi : Iktus cordis tidak tampak : Iktus cordis teraba di SIC IV LMCS : Batas jantung kesan tidak melebar Kiri atas Kiri bawah Kanan atas Auskultasi Inspeksi Palpasi Perkusi : SIC II Linea Parasternalis Sinistra : SIC IV Linea Mid Clavikula Sinistra : SIC II Linea Parasternalis Dextra

Kanan bawah: SIC IV Linea Parasternalis Sinistra : BJ I-II normal, reguler, murmur (-), gallop(-) : Pengembangan dada kanan = kiri : Fremitus raba kanan = kiri : Sonor / sonor di semua lapang paru Batas patu hepar Redup relatif di Redup absolut di Auskultasi : SIC V kanan, peranjakan (+) : SIC V kanan : SIC VI kanan (hepar) Batas paru lambung : SIC VI kiri b. Pulmo

: SD vesikuler (+/+), rhonki (-/-) , wheezing (-/-)

5. Abdomen a. Inspeksi b. Auskultasi : Dinding dada sejajar dinding perut : Bising Usus (+) normal

c. Perkusi d. Palpasi e. Genetalia

: Timpani pada seluruh lapang abdomen : Supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba : Dalam batas normal

f. Kandung kemih : Teraba kosong 6. Ekstremitas a. Akral dingin b. Edema 7. Refleks meningeal a. Kaku kuduk b. Brudzinsky I c. Brudzinsky II d. Kernig e. Laseque : (-) : (-) : (-) : (-) : (-) : (-/-) : (-/-)

IV. PEMERIKSAAN LABORATORIUM Hasil laboratorium pada tanggal 25 September 2012 Jenis Pemeriksaan Hemoglobin Lekosit Eritrosit Hematokrit Trombosit Hasil 11,9 g/dl 7700/mm 4,4 juta/mm3 37,1 % 221 ribu/mm3

IV. DIAGNOSIS KERJA Kejang Demam Kompleks

V. DIAGNOSIS BANDING 1. Kejang Demam Sederhana 2. Epilepsi yang dicetuskan oleh demam

VI. USUL PEMERIKSAAN 1. EEG 2. CT Scan VII.PENATALAKSANAAN 1. Diazepam rectal 5 mg 2. IVFD KaEn 3B 20 tetes per menit mikro 3. Paracetamol Drop 3 x 1 drop VIII. PROGNOSIS a. Quo Ad Vitam : Ad Bonam

b. Quo Ad functionam : Ad Bonam c. Quo Ad Sanationam : Ad Bonam

PEMBAHASAN

1. Mengapa diagnosis kerja pada pasien ini adalah Kejang Demam Kompleks? Penegakan diagnosis kerja pada pasien dengan penyakit apapun haruslah didasarkan pada anamnesis yang terdiri dari keluhan utama, keluhan tambahan, riwayat penyakit, dan lain-lain. Tidak hanya dari anamnesis saja, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium juga dapat membantu dalam penegakan diagnosis. Dalam kasus ini, didapatkan keluhan utama pasien adalah kejang yang disertai demam. Dari keluhan utama ini dapat ditarik kemungkinankemungkinan yang mengarah ke diagnosis kerja. Namun, dilanjutkan lagi dengan anamnesa tambahan. Pada pasien ini didapatkan data bahwa kejang sudah dirasakan sejak 2 jam SMRS. Kejang dialami 6 kali, selama 3-5 menit dengan selang waktu antara kejang 30 menit. Kejang diakui keluarga pasien seperti kaku, sadar, dan mata pasien mendelik ke atas. Diantar serangan, diakui terdapat fase sadar dari pasien, dengan ditandai dengan pasien yang langsung menangis setelah kejang. Keluhan ini juga disertai dengan demam tinggi yang diakui sudah dirasakan pasien sejak 4 hari yang lalu. Demam dirasakan terus-menerus sepanjang hari. Kemungkinan infeksi bakteri juga didapatkan melalui anamnesis yaitu adanya batuk dan pilek sebelum terjadi kejang. Hal ini sesuai dengan etiologi kejang, yaitu salah satunya adalah infeksi bakteri seperti ISPA, meningitis, dan lain-lain. Riwayat trauma pada kepala juga sudah disingkirkan melalui anamnesis guna menyingkirkan kemungkinan kelainan struktur otak. Pada riwayat penyakit keluarga, didapatkan adanya keluarga pasien yang mengalami gejala seperti pasien saat ini, yaitu ibu kandung pasien yang pernah kejang demam saat beliau masih kecil. Hal ini cukup penting untuk
9

mengarahkan ke diagnosis kerja karena sesuai dengan etiologi kejang demam, yaitu selain infeksi bakteri adalah faktor genetik. Dari anamnesis didapati anak yang menderita kejang demam sekitar 7,5 persen disebabkan oleh faktot genetik. Risiko kejang demam meningkat dua sampai tiga kali jika terdapat saudara yang menderita kejang demam. Dan risiko meningkat sebanyak lima persen pada anak yang orang tuanya menderita kejang demam.1,3 Pada pemeriksaan fisik, semua dalam batas normal, kecuali suhu tubuh pasien, yaitu 38,2C, sekret hidung (+) dan faring yang hiperemis. Hal ini menunjukkan bahwa pasien dalam keadaan demam dan mengalami infeksi saluran napas bagian atas. Hal inilah yang mencetuskan terjadinya kejang pada pasien. Pada pemeriksaan penunjang, didapatkan Hb : 11,9 g/dl, Leukosit : 7700/mm3 , Eritrosit : 4 juta/mm3, Ht : 37,1 % dan Trombosit : 221 ribu/mm3 . Dari hasil pemeriksaan lab diatas, dapat disimpulkan bahwa tidak adanya keadaan leukositosis yang akan positif pada infeksi bakteri yang cukup berat, seperti meningitis. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang di atas, dapat disimpulkan bahwa diagnosis kerja pada pasien ini adalah Kejang Demam Kompleks. 2. Apakah penatalaksanaan pada pasien ini sudah tepat? Penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien kejang demam menurut rekomendasi dari Unit Kerja koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Anak indonesia/IDAI (2005) ialah: 4,5,6,7 1. Saat Kejang Pada saat kejang sangat efektif untuk menghentikan kejang dengan memberi diazepam rektal (melalui dubur), dengan ketentuan sebagai berikut : a. Untuk anak berusia < 3 tahun, dengan dosis 5 mg b. Untuk anak berusia > 3 tahun, dengan dosis 7,5 mg c. Untuk anak dengan berat badan < 10 kg, dengan dosis 5 mg

10

d. Untuk anak dengan berat badan > 10 kg, dengan dosis 10 mg Secara umum ; 0,5-0,75 mg/kg berat badan/kali pemberian Di rumah, maksimal diberikan dua kali dengan jarak lima menit. Cara lain pemberian diazepam adalah melelui suntikan intravena sebanyak 0,2-0,5 mg/kg berat badan. Berikan perlahan dengan kecepatan 0,5-1 mg per menit. Bila kejang berhenti sebelum dosis habis, hentikan penyuntikan. Bila anak masih kejang, berikan diazepam dua kali dengan jarak lima menit. Bila tetap masih kejang, berikan fenitoin intravena dengan dosis 15 mg/kg berat badan perlahan-lahan. Bila kejang belum berhenti, rawat di ruang intensif, berikan fenobarbital, pasang ventilator bila perlu. 2. Saat Kejang berhenti Saat kejang sudah berhenti, tentukan apakah bayi/anak termasuk dalam kejang demam yang memerlukan pengobatan rumat atau cukup intermiten saat demam. a. Pengobatan rumat

Pengobatan rumat cukup diberikan selama setahun bebas kejang, lalu dihentikan bertahap selama 1-2 bulan. Pengobatan ini efektif untuk menurunkan risiko berulangnya kejang. Adapun indikasi dari pengobatan rumat ialah kejang lama (lebih dari 15 menit); terdapat kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang. Misalnya hemiparseis, paresis Todd,cerebral palsy, retardasi mental, hidrosefalus ; kejang fokal (sentral/memusat) ; bila ada keluarga sekandung atau orang tua yang mengalami epilepsi. Tetapi, pemberian pengobatan rumat juga harus dipertimbangkan bila kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam, kejang demam terjadi pad yaitu : 1) Asam valproat, dengan dosis 15 sampai40 mg/kg berat badan/hari dibagi 2 sampai 3 dosis. Pemakaian asam valproat pada usia 2 tahun
11

bayi berusia kurang dari 12 bulan, dan kejang demam terjadi

empat kali atau lebih per tahun. Ada dua pilihan dalam pengobatan rumat

menyebabkan gangguan fungsi hati. Bila mengonsumsi obat ini sebaiknya diperiksa kadar SGOT dan SGPT setelah 2 minggu, sebulan, kemudian tiap 3 bulan. 2) Fenobarbital, dengan dosis 3 sampai 5 mg/kg berat badan/hari dibagi dua dosis. Pemakaian fenobarbital setiap hari menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar. b.

Pengobatan imtermiten

Merupakan pengobatan yang diberikan pada saat anak mengalami demam, untuk mencegah terjadinya kejang demam. Ada dua pilihan dalam pengobatan intermiten yaitu :
1)

Antipiretik, bisa diberikan parasetamol atau asetaminofen 10

sampai15 mg/kg berat badan/kali, diberikan empat kali. Dan bisa juga diberikan ibuprofen sebanyak 10 mg/kg berat badan/kali, diberikan tiga kali. 2) Antikonvulsan, bisa diberikan diazepam oral dengan dosis 0,3 sampai 0,5 mg/kg berat badan, setiap 8 jam saat demam. Ini efektif untuk menurunkan risiko berulangnya kejang. Kemudian bisa diberikan diazepam rektal (diberikan melalui dubur) dengan dosis 0,5 mg/kg berat badan/kali, diberikan 3 x per hari. Fenobarbital, karbamazepin, fenitoin tidak berguna mencegah kejang demam bila diberikan secara intermiten ; fenobarbital dosis kecil baru berefek antikonvulsan dengan kadar stabil di dalam darah, bila telah diberikan selama dua minggu.

Karena pasien datang dengan keluhan kejang demam dan belum mendapat pengobatan anti kejang yang diberikan melalui anus, maka penatalaksanaan pada pasien dianggap sudah benar. Penatalaksanaan pada pasien ini adalah pemberian diazepam rectal sebesar 5 mg pro rectal, pemberian infus KaEN 3B sebanyak 20 tetes per menit, dan paracetamol drop 3 x 1 drop .
12

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu (suhu rektal lebih dari 38C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium (di luar rongga kepala).1 Menurut Consensus Statement on Febrile Seizures (2006), kejang demam adalah suatu kejadian pada bayi atau anak yang biasanya terjadi antara umur 6 bulan hingga 5 tahun. Anak yang pernah kejang tanpa demam dan bayi yang berumur kurang dari 4 minggu tidak termasuk dalam golongan yang menderita kejang demam.2 Kejang demam merupakan salah satu kelainan saraf yang paling sering dijumpai pada bayi dan anak. Sekitar 2% sampai 5% anak pernah mengalami kejang demam sebelum usia 5 tahun. Jumlah penderita kejang demam diperkirakan mencapai 2% sampai 4% dari jumlah penduduk di AS, Amerika Selatan dan Eropa Barat. Di Asia dilaporkan penderitanya lebih tinggi sekitar 20% diantara jumlah penderita mengalami kejang demam kompleks yang harus ditangani secara lebih teliti. Di Indonesia pada tahun 1967 kejang demam termasuk sebagai lima penyakit anak terpenting di RS Cipto Mangunkusumo sebesar 7,4%, meningkat pada tahun 1971 dengan kejadian kejang sebesar 22,2%.1 B. Etiologi Etiologi dan patogenesis kejang demam sampai saat ini belum diketahui, akan tetapi umur anak, tingginya dan cepatnya suhu meningkat mempengaruhi terjadinya kejang. Faktor genetik sangat berperan penting pada terjadinya kejang demam, dari anamnesis didapati anak yang menderita kejang demam sekitar 7,5 persen disebabkan oleh faktot genetik. Risiko kejang demam meningkat dua sampai tiga kali jika terdapat saudara yang menderita kejang demam. Dan risiko meningkat sebanyak lima persen pada anak yang orang tuanya menderita kejang demam.1,3

13

Semua jenis infeksi yang bersumber di luar susunan saraf pusat yang menimbulkan demam dapat menyebabkan kejang demam. Penyakit yang paling sering menimbulkan kejang demam adalah infeksi saluran pernafasan atas, otitis media akut, pneumonia, gastroenteritis akut, exantema subitum, bronchitis, dan infeksi saluran kemih. Selain itu juga infeksi diluar susunan syaraf pusat seperti tonsillitis, faringitis, forunkulosis serta pasca imunisasi DPT (pertusis) dan campak (morbili) dapat menyebabkan kejang demam.1,3

C. Patofisiologi Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak diperlukan suatu energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting adalah glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi di mana oksigen disediakan dengan perantaraan fungsi paru-paru dan diteruskan ke otak melalui sistem kardiovaskuler. Jadi sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi karbon dioksida dan air.4 Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah lipoid dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida. Akibatnya konsentrasi kalium dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi natrium rendah, sedangkan di luar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase yang terdapat pada permukaan sel.4 Keseimbangan potensial ini dapat dirubah oleh adanya perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler, rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi, atau aliran listrik dari sekitarnya serta perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan.4,5

14

Pada demam kenaikan suhu 1C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun natrium melalui membran tadi dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmiter dan terjadilah kejang.4 Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung dari tinggi rendahnya ambang kejang seseorang anak menderita kejang pada kenaikan suhu tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38C sedangkan pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40C atau lebih. Dari kenyataan ini dapatlah disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada ambang kejang yang rendah sehingga dalam penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita kejang.2,4,5 Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga meningkatkan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang mngakibatkan kerusakan sel neuron otak. Kerusakan pada daerah medial lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama dapat menjadi matang di kemudian hari sehingga terjadi serangan epilepsi spontan, karena itu kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis di otak hingga terjadi epilepsi.4

15

D. Gejala Klinis Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik, klonik, fokal, atau akinetik. Umumnya kejang berhenti sendiri. Setelah kejang berhenti, anak tidak memberi reaksi apapun sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit anak terbangun dan sadar kembali tanpa defisit neurologis. Kejang dapat diikuti oleh hemiparesis sementara (Hemiparesis Todd) yang berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari. Kejang unilateral yang lama diikuti oleh hemiparesis yang menetap. Bangkitan kejang yang berlangsung lama sering terjadi pada kejang demam yang pertama.4,5

16

Durasi kejang bervariasi, dapat berlangsung beberapa menit sampai lebih dari 30 menit, tergantung pada jenis kejang demam tersebut. Sedangkan frekuensinya dapat kurang dari 4 kali dalam 1 tahun sampai lebih dari 2 kali sehari. Pada kejang demam kompleks, frekuensi dapat sampai lebih dari 4 kali sehari dan kejangnya berlangsung lebih dari 30 menit.4,5

Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI 2005), membagi kejang demam menjadi dua : 6 1. Kejang demam sederhana (harus memenuhi semua kriteria berikut) a. Berlangsung singkat b. Umumnya serangan berhenti sendiri dalam waktu < 15 menit c. Bangkitan kejang tonik, tonik-klonik tanpa gerakan fokal d. Tidak berulang dalam waktu 24 jam 2. Kejang demam kompleks (hanya dengan salah satu kriteria berikut) a. Kejang berlangsung lama, lebih dari 15 menit b. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului dengan kejang parsial

17

c. Kejang berulang 2 kali atau lebih dalam 24 jam, anak sadar kembali di antara bangkitan kejang Menurut sub bagian syaraf anak FK-UI membagi tiga jenis kejang demam, yaitu: 1. Kejang demam kompleks a. Umur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun b. Kejang berlangsung lebih dari 15 menit c. Kejang bersifat fokal/multipel d. Didapatkan kelainan neurologis e. EEG abnormal f. Frekuensi kejang lebih dari 3 kali / tahun
g. Temperatur kurang dari 39

2. Kejang demam sederhana a. Kejadiannya antara umur 6 bulan sampai dengan 5 tahun b. Serangan kejang kurang dari 15 menit atau singkat c. Kejang bersifat umum (tonik/klonik) d. Tidak didapatkan kelainan neurologis sebelum dan sesudah kejang e. Frekuensi kejang kurang dari 3 kali / tahun
f. Temperatur lebih dari 39

3. Kejang demam berulang Kejang demam timbul pada lebih dari satu episode demam, ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kejang demam berulang antara lain: a. Usia < 15 bulan saat kejang demam pertama b. Riwayat kejang demam dalam keluarga

18

c. Kejang demam terjadi segera setelah mulai demam atau saat suhu sudah relatif normal d. Riwayat demam yang sering e. Kejang pertama adalah kejang demam kompleks E. Diagnosis Diagnosis kejang demam hanya dapat ditegakkan dengan menyingkirkan penyakit-penyakit lain yang dapat menyebabkan kejang, di antaranya: infeksi susunan saraf pusat, perubahan akut pada keseimbangan homeostasis, air dan elektrolit dan adanya lesi structural pada system saraf, misalnya epilepsi. Diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang yang menyeluruh untuk menegakkan diagnosis ini.5,7 1. Anamnesis a. Waktu terjadi kejang, durasi, frekuensi, interval antara 2 serangan kejang b. Sifat kejang (fokal atau umum) c. Bentuk kejang (tonik, klonik, tonik-klonik) d. Kesadaran sebelum dan sesudah kejang (menyingkirkan diagnosis meningoensefalitis) e. Riwayat demam (sejak kapan, timbul mendadak atau perlahan, menetap atau naik turun) f. Menentukan penyakit yang mendasari terjadinya demam (ISPA, OMA, GE) g. Riwayat kejang sebelumnya (kejang disertai demam maupun tidak disertai demam atau epilepsi) h. Riwayat gangguan neurologis (menyingkirkan diagnosis epilepsi)

19

i. j.

Riwayat keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan Riwayat trauma kepala

2. Pemeriksaan fisik a. Kesadaran b. Suhu tubuh c. Tanda rangsang meningeal d. Tanda peningkatan tekanan intrakranial e. Tanda infeksi di luar SSP

3. Pemeriksaan penunjang 5,6,7 a. Laboratorium 1) Pemeriksaan darah tepi lengkap 2) Glukosa darah, elektrolit 3) Pemeriksaan fungsi hati dan ginjal b. Pungsi lumbal 1) Jika bayi dibawah 12 bulan, sangat dianjurkan dilakukan pungsi lumbal karena gejala meningitis sering tidak jelas.

20

2) Jika bayi antara 12 sampai 18 bulan, dianjurkan pungsi lumbal kecuali pasti bukan meningitis. 3) Jika bayi lebih dari 18 bulan, pungsi lumbal tidak rutin. c. Pemeriksaan Elektroensefalografi (EEG), tidak dapat memprediksi berulangnya kejang atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada pasien kejang demam. Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada keadaan kejang demam yang tidak khas. Misalnya kejang demam kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun atau kejang demam fokal. d. CT Scan dan/atau MRI (Magnetic Resonance Imaging). Adapun indikasi pemeriksaan CT Scan dan MRI ialah dijumpai kelainan neurologis yang tidak menetap (hemiparesis), ada riwayat dan tanda klinis trauma kepala, kemungkinan terdapat lesi strukutural di otak, terdapat tanda peningkatan tekanan intrakranial (kesadaran menurun, muntah berulang, fontanel anterior menonjol, paresis saraf otak VI, edema papil). F. Diagnosis banding Menghadapi seorang anak yang menderita demam dengan kejang, harus dipikirkan apakah penyebab kejang itu di dalam atau diluar susunan saraf pusat. Kelainan di dalam otak biasanya karena infeksi, misalnya meningitis, ensefalitis, abses otak, dan lain-lain.oleh sebab itu perlu waspada untuk menyingkirkan dahulu apakah ada kelainan organis di otak. 7 Menegakkan diagnosa meningitis tidak selalu mudah terutama pada bayi dan anak yang masih muda. Pada kelompok ini gejala meningitis sering tidak khas dan gangguan neurologisnya kurang nyata. Oleh karena itu agar tidak terjadi kekhilafan yang berakibat fatal harus dilakukan pemeriksaan cairan serebrospinal yang umumnya diambil melalui pungsi lumbal. Baru setelah itu dipikirkan apakah kejang demam ini tergolong dalam kejang demam kompleks atau epilepsi yang dprovokasi oleh demam.7 G. Tatalaksana
21

Penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien kejang demam menurut rekomendasi dari Unit Kerja koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Anak indonesia/IDAI (2005) ialah: 4,5,6,7 1. Saat Kejang Pada saat kejang sangat efektif untuk menghentikan kejang dengan memberi diazepam rektal (melalui dubur), dengan ketentuan sebagai berikut : a. Untuk anak berusia < 3 tahun, dengan dosis 5 mg b. Untuk anak berusia > 3 tahun, dengan dosis 7,5 mg c. Untuk anak dengan berat badan < 10 kg, dengan dosis 5 mg d. Untuk anak dengan berat badan > 10 kg, dengan dosis 10 mg Secara umum ; 0,5-0,75 mg/kg berat badan/kali pemberian Di rumah, maksimal diberikan dua kali dengan jarak lima menit. Cara lain pemberian diazepam adalah melelui suntikan intravena sebanyak 0,2-0,5 mg/kg berat badan. Berikan perlahan dengan kecepatan 0,5-1 mg per menit. Bila kejang berhenti sebelum dosis habis, hentikan penyuntikan. Bila anak masih kejang, berikan diazepam dua kali dengan jarak lima menit. Bila tetap masih kejang, berikan fenitoin intravena dengan dosis 15 mg/kg berat badan perlahan-lahan. Bila kejang belum berhenti, rawat di ruang intensif, berikan fenobarbital, pasang ventilator bila perlu. 2. Saat Kejang berhenti Saat kejang sudah berhenti, tentukan apakah bayi/anak termasuk dalam kejang demam yang memerlukan pengobatan rumat atau cukup intermiten saat demam. a. Pengobatan rumat Pengobatan rumat cukup diberikan selama setahun bebas kejang, lalu dihentikan bertahap selama 1-2 bulan. Pengobatan ini efektif untuk menurunkan risiko berulangnya kejang. Adapun indikasi dari pengobatan rumat ialah kejang lama (lebih dari 15 menit); terdapat kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang.
22

Misalnya hemiparseis, paresis Todd,cerebral palsy, retardasi mental, hidrosefalus ; kejang fokal (sentral/memusat) ; bila ada keluarga sekandung atau orang tua yang mengalami epilepsi. Tetapi, pemberian pengobatan rumat juga harus dipertimbangkan bila kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam, kejang demam terjadi pad bayi berusia kurang dari 12 bulan, dan kejang demam terjadi empat kali atau lebih per tahun. Ada dua pilihan dalam pengobatan rumat yaitu : 1) Asam valproat, dengan dosis 15 sampai40 mg/kg berat badan/hari dibagi 2 sampai 3 dosis. Pemakaian asam valproat pada usia 2 tahun menyebabkan gangguan fungsi hati. Bila mengonsumsi obat ini sebaiknya diperiksa kadar SGOT dan SGPT setelah 2 minggu, sebulan, kemudian tiap 3 bulan. 2) Fenobarbital, dengan dosis 3 sampai 5 mg/kg berat badan/hari dibagi dua dosis. Pemakaian fenobarbital setiap hari menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar.

b.

Pengobatan imtermiten Merupakan pengobatan yang diberikan pada saat anak mengalami demam, untuk mencegah terjadinya kejang demam. Ada dua pilihan dalam pengobatan intermiten yaitu :
1) Antipiretik, bisa diberikan parasetamol atau asetaminofen 10

sampai15 mg/kg berat badan/kali, diberikan empat kali. Dan bisa juga diberikan ibuprofen sebanyak 10 mg/kg berat badan/kali, diberikan tiga kali. 2) Antikonvulsan, bisa diberikan diazepam oral dengan dosis 0,3 sampai 0,5 mg/kg berat badan, setiap 8 jam saat demam. Ini efektif untuk menurunkan risiko berulangnya kejang. Kemudian bisa diberikan diazepam rektal (diberikan melalui dubur) dengan dosis 0,5 mg/kg berat badan/kali, diberikan 3 x

23

per hari. Fenobarbital, karbamazepin, fenitoin tidak berguna mencegah kejang demam bila diberikan secara intermiten ; fenobarbital dosis kecil baru berefek antikonvulsan dengan kadar stabil di dalam darah, bila telah diberikan selama dua minggu.

H. Prognosis Dengan penatalaksanaan yang tepat dan cepat, prognosis kejang demam baik dan kadar mortalitas sangat sedikit. Dari penelitian yang ada, frekuensi terulangnya kejang berkisar antara 25% - 50%, yang umumnya terjadi pada 6 bulan pertama. Apabila melihat pada umur, jenis kelamin, dan riwayat keluarga, Lennox-Buchthal (1973) mendapatkan pada anak berumur kurang dari 13 tahun, terulangnya kejang pada wanita 50% dan pria 33%, pada anak berumur antara 14 bulan dan 3 tahun dengan riwayat keluarga adanya kejang, terulangnya kejang adalah 50%, sedangkan pada anak tanpa riwayat kejang 25%. 4,5,6,7

Pada penelitian yang dilakukan oleh The National Collaboratlve Perinatal Project di Amerika Serikat, anak pasca kejang demam diikuti perkembangannya sampai usia 7 tahun, lalu dibandingkan dengan saudara kandungnya yang normal, terhadap tes IQ dengan menggunakan WISC. Angka rata-rata untuk IQ total ialah 93 pada anak yang pernah mendapat kejang demam. Skor ini tidak berbeda bermakna dari saudara kandungnya. 4,5,6,7

24

DAFTAR PUSTAKA 1. Hassan R dan Alatas H. Kejang Demam dalam : Buku Kuliah 2 Ilmu

Kesehatan Anak. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 2005 ; 847-9 2. Behrman et all. Kejang Demam dalam : Ilmu Kesehatan Anak Ed 15th. EGC. 2000 ; 2059-67
3. Mary Rudolf, Malcolm Levene. Febrile Convulsion in : Pediatric and Child

Health Ed 2nd. Blackwell pulblishing. 2006 ; 72-90. 4. Campfield P and Camfield C. Febrile Convulsion in : Advance in Diagnosis and Management of Pediatrics Seizures Disorders in Twentieth Century. J Pediatrics. 2000 : 847 9. 5. Darto Saharso. Kejang Demam. Divisi Neuropediatri Bag. SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair/RSU Dr. Soetomo Surabaya [cited 2010 June 12]. Diunduh dari: www.pediatric.com
6. Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).

Konsensus Penanganan Kejang Demam. 2005. Muid M. Kejang Demam. Dalam: Simposium Infeksi Pediatri Tropik dan Gawat Darurat Anak: Tata Laksana Terkini Penyakit Tropis dan Gawat Darurat pada Anak. Malang, 13 Agustus 2005. Hal 98-100. 7. Tejani, NR, 2010. Pediatric Febrile Seizure. Available from :

http://emedicine.medscape.com/article/801500-overview [cited 2012 Mei 10]

25

Anda mungkin juga menyukai