Anda di halaman 1dari 131

LIMNOTEK

Perairan Darat Tropis Di Indonesia


Volume 17, Nomor 1, Tahun 2010 ISSN 0854-8390 Wahyu Widiyono Konservasi Daerah Tangkapan Air Embung sebagai Model Antisipasi Perubahan Iklim Global di Kawasan Beriklim Kering NTT ................................ 1-7 M. Fakhrudin Kajian Sumur Resapan sebagai Pengendali Banjir dan Kekeringan di Jabodetabek ........................................................................................................ 8-16 Eko Harsono Evaluasi Kemampuan Pulih Diri Oksigen Terlarut Air Sungai Citarum Hulu ...... 17-36 Tri Suryono, Yoyok Sudarso, Awalina, Yustiawati & M.S. Syawal Status Kontaminasi Merkuri di Ruas Sungai Cikaniki, Jawa Barat ....................... 37-48 Sigid Hariyadi, Enan M. Adiwilaga, Tri Prartono, Sudodo Hardjoamidjojo & Ario Damar Produktivitas Primer Estuari Sungai Cisadane pada Musim Kemarau .................. 49-57 Sulastri, Tri Suryono, Yoyok Sudarso & Sulung Nomosatriyo Pengembangan Kriteria Status Ekologis Danau-danau Kecil di Pulau Jawa ........ 58-70 Awalina Satya, Senny Sunanisari, R. Ramadaniya, & Endang Mulyana Pola Distribusi dan Laju Akumulasi Karbon Organik dan Bahan Organik dalam Sedimen serta Hubungannya dengan Padatan Tersuspensi di Situ Cibuntu .......... 71-84 Sri Endah Purnamaningtyas & Amram R. Syam Kajian Kualitas Air dalam Mendukung Pemacuan Stok Kepiting Bakau di Mayangan Subang, Jawa Barat........................................................................... 85-93 Novi Mayasari & Djamhuriyah S. Said Penampilan Ikan Pelangi Biru (Melanotaenia lacustris) pada Kisaran pH yang Berbeda................................................................................................................... 94-101 Muhammad Badjoeri, Yuni Puji Hastuti, Tri Widiyanto & Iman Rusmana Kelimpahan Bakteri Penghasil Senyawa Amonium dan Nitrit pada Sedimen Tambak Sistem Semi Intensif ................................................................................ 102-111 Nofdiyanto Estimation of Periphytic Photosynthesis Efficiency by using the Fluorescence Monitoring System : Response of FMS Parameters on Light Intensity, Temperature, and Chlorophyll Concentrations ...................................................... 112-117 Auldry F. Walukow Analisis Kendala Pengelolaan Danau Sentani Berwawasan Lingkungan ............. 118-127

PUSAT PENELITIAN LIMNOLOGI

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Majalah Limnotek Perairan Darat Tropis Di Indonesia adalah penerbitan berkala dari Pusat Penelitian Limnologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Terbit dua kali setahun, majalah ini mempunyai sasaran menjadi sarana komunikasi dan untuk menyebarluaskan hasil penelitian limnologi, baik dari para peneliti di Puslit Limnologi-LIPI maupun khalayak limnologi Indonesia pada umumnya. Susunan Dewan Redaksi Limnotek Perairan Darat Tropis di Indonesia berdasarkan SK Ketua LIPI Nomor 500/E/2009 adalah : Pemimpin Redaksi : Lukman Anggota : Muh. Fakhrudin Djamhuriyah S. Said Cynthia Henny Awalina

Pelaksana Teknis : Saepul Mulyana Alamat Redaksi : Kompleks LIPI Jl. Prof. Dr. D. Tisna Amidjaja Cibinong 16911 Telepon 021 8757071-3 Fax. 021 8757076 Email : saepul@limnologi.lipi.go.id epoul_28@yahoo.com

Nomor Akreditasi : 188/AU1/P2MBI/08/2009 (SK. Ka. LIPI No. 816/D/2009 28 Agustus 2009) Akreditasi B

PETUNJUK BAGI PENULIS Naskah yang dapat diterima dalam majalah LIMNOTEK Perairan Darat Tropis di Indonesia adalah tulisan asli hasil penelitian dan pengembangan yang berkaitan dengan Iptek perairan darat. Penulis bisa berasal dan lingkungan Puslit Limnologi-LIPI maupun dari luar LIPI. NASKAH. Naskah diketik dalam dua spasi, ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris, dibuat dalam tiga rangkap (asli dan fotokopi). Panjang naskah maksimal 20 halaman ketik, termasuk tabel-tabel dan gambar-gambar. Artikel disusun dengan urutan: Judul, Nama Penulis, Institusi Penulis (dalam bentuk catatan kaki), Abstrak (dalam bahasa Inggris dan Indonesia), Kata kunci (maksimal 5 kata), Pendahuluan/pengantar, Metodologi/Bahan dan Metode yang digunakan, Hasil dan Pembahasan, Kesimpulan, Ucapan Terimakasih (bila diperlukan), dan Daftar Pustaka. Abstrak disusun secara ringkas dan jelas, tidak lebih dari 200 kata. TABEL. Tabel diketik pada halaman terpisah yang memungkinkan reproduksi langsung dan tabel tersebut. Penomoran tabel dilakukan secara berurutan, nomor tabel harus diidentifikasi dalam teks (Tabel *). GAMBAR. Gambar, baik berupa grafik, peta maupun foto, dibuat pada halaman terpisah, mempunyai lebar minimum 7,5 dan maksimum 16 cm. Penomoran gambar dilakukan secara berurutan dan harus diidentiflkasi di dalam teks (Gambar *). Khusus untuk foto harus dalam bentuk hitam putih dan fotokopi laser. DAFTAR PUSTAKA. Daftar pustaka memuat pustaka yang dipublikasikan maupun yang tidak dipublikasikan, seperti tesis dan disertasi. Rujukan kepada komunikasi pribadi atau laporan yang tersedia, harus dituliskan di antara kurung dalam teks. Contoh : Cole G.A., 1979, Textbook of Limnology, 2nd Edition, the C.V. Mosby Company, St. Louis, Missouri, USA, 426p. Guillard J.D & D. Gerdeaux, 1993, In situ Determination of the Target Strength of Roach (Rutilus rutilus) in Lake Bourget with a Single Beam Sounder, Aquat Living Resour, 6(3): 285-289. Hehanussa P.E., S. Hadiswisastra, & S. Djoehanah, 1976, Sedimentasi Delta Cimanuk, Geologi Indonesia Vol. 3 (1): 21-35. Stehr C.M., 1982, The Development of Hexagonaliy Structured Egg Envelope of the C-O Sole (Pleuronichthys coenosus), M.Sc Thesis, Univ. Washington, 124p.

Ucapan terima kasih kepada reviewer

LIMNOTEK
Perairan Darat Tropis Di Indonesia Edisi 2010, Vol. 17, No. 1

Drs. Tjandra Chrismadha, M.Sc. (Puslit Limnologi-LIPI, Pakar Planktonologi) Prof. Dr. Sudarmadji, M.Eng.Sc. (Guru Besar Fakultas Geografi-UGM, Pakar Hidrologi Lingkungan) Dr. Endang Widyastuti, MS. (Fakultas Biologi-UNSOED, Pakar Limnologi) Dr. Ridla Bakri, MPhil. (Fakultas MIPA-UI, Pakar Kimia Lingkungan) Dr. Ir. Zainal Arifin, M.Sc. (Puslit Oseanografi-LIPI, Pakar Pencemaran & Ekologi Biota Bentik) Dr. Ignasius Dwi Atmana Sutapa (Puslit Limnologi-LIPI, Pakar Teknologi Lingkungan)

LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 1-7 Wahyu Widiyono / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 1-7

KONSERVASI DAERAH TANGKAPAN AIR EMBUNG SEBAGAI MODEL ANTISIPASI TERHADAP PERUBAHAN IKLIM GLOBAL DI KAWASAN BERIKLIM KERING NTT Wahyu Widiyonoa
a

Staf Peneliti Puslit Biologi-LIPI

Diterima redaksi : 25 Maret 2010, Disetujui redaksi : 11 Mei 2010

ABSTRAK Untuk menanggulangi keterbatasan air, telah dibangun 334 embung kecil oleh Pemerintah Daerah (Pemda) Provinsi Nusa Tenggara Timur, yang dapat menampung air 8.318.152 m3, melayani 31.597 keluarga, 105.522 ekor sapi dan pertanian 1.319 ha. Daerah tangkapan air (DTA) embung menghadapi kendala rendahnya tutupan vegetasi, laju aliran permukaan dan erosi yang tinggi, gangguan ternak serta kegiatan pertanian masyarakat di sekitar. Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu wilayah prioritas untuk kegiatan aforestasi/reforestasi dalam rangka proyek pembangunan bersih (CDM; Clean Development Mechanism). Mengingat konservasi DTA merupakan tindakan yang mutlak harus dilakukan dalam mempertahankan fungsi eko-hidrologis embung maka kegiatan ini perlu ditingkatkan peranannya sebagai kegiatan aforestasi/reforestasi dalam rangka mekanisme pembangunan bersih. Berdasarkan luas hutan minimal untuk mendapatkan dana kompensasi melalui program CDM, yakni seluas 0,25 ha maka DTA embung dengan luasan bervariasi antara 3,1 - 43,2 ha; dan sejumlah 334 embung yang tersebar di 14 Kabupaten di NTT dengan luas total daerah tangkapan air 3.281 ha sangat berpotensi digunakan sebagai lahan kegiatan aforestasi/reforestasi. Kata kunci: Konservasi, aforestasi/reforestasi, daerah tangkapan air, embung, perubahan iklim global. ABSTRACT CONSERVATION OF EMBUNG CATCHMENT AREA AS AN ANTICIPATION MODEL TO GLOBAL CLIMATE CHANGE IN THE SEMI ARID AREA OF THE EAST NUSA TENGGARA PROVINCE. To overcome the water shortage problem, a number of 334 embungs have been developed in the East Nusa Tenggara Province. The total embungs capacity were 8,318,152 m3 of water that can be used to serve 31,597 of families, 105,522 of cows, and 1,319 ha of agriculture. The low of vegetation cover, the high rate of runoff and erosion, the cattle over grazing, and slash and burn of agriculture activities are the most serious problem in the embungs catchment area. According to the problem as mentioned above, the conservation of embungs catchment area are definitely needed to be conducted. Due to these problem and other aspects such as the low of people property line, marginal soil and bush fire annually took place, the embungs catchment area conservation are not only for overcoming an eco-hydrologic aspect but is more important also to apply aforestation/reforestation (A/R) related to Clean Development Mechanism (CDM). Based on the forest area minimum threshold to find compensation funding from the CDM programme, i.e. 0.25 ha, so the varies of the embung catchment area between 3.1 43.2 ha; and a number of 334 embungs that spread out on the 14 Districts in East Nusa Tenggara Province by the total catchment area 3,281 ha are very potential to A/R programme. Key words : Conservation, aforestation/reforestation, catchments area, embung, global climate change.

Wahyu Widiyono / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 1-7

PENDAHULUAN Dampak perubahan iklim global secara signifikan ditandai oleh kenaikan permukaan air laut yang dapat menggenangi ratusan pulau dan merubah batas wilayah suatu negara. Dampak lain dari perubahan iklim global adalah musim tanam dan musim panen yang tidak menentu diselingi oleh kemarau panjang, banjir yang melanda berbagai kota besar, dan penyusupan (intrusi) air laut ke dataran pantai. Dampak tersebut merupakan kelanjutan dari penggundulan hutan secara besar-besaran, kebakaran hutan, kerusakan rawa dan emisi gas rumah kaca, dari karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitrooksida (N2O) dan CFC sehingga energi matahari terperangkap dalam atmosfer bumi. Perubahan iklim memberikan ancaman terhadap ketersediaan air, sumber nafkah, kesehatan dan ketahanan Pangan (UNDP, 2007). Ketersediaan air yang tidak menentu terlihat dari pola curah hujan yang berubah-ubah sehingga mengurangi ketersediaan air untuk irigasi dan air bersih. Kemarau panjang diikuti oleh gagal panen di Nusa Tenggara Timur, misalnya sudah menimbulkan akibat yang parah dan kasus kurang gizi akut tersebar di berbagai daerah di seluruh propinsi ini. Dilaporkan oleh UNDP (2007), beberapa data dampak perubahan iklim diantaranya sumber air berkurang, ditandai oleh perubahan pola curah hujan berakibat menurunkan ketersediaan air untuk irigasi dan sumber air bersih. Di Pulau Lombok dan Sumbawa antara tahun 1985 dan 2006, jumah titik air menurun dari 580 menjadi hanya 180 titik. Di seluruh Indonesia makin banyak sungai yang makin dangkal. Tindakan yang perlu dilakukan untuk antisipasi terhadap kondisi lingkungan hidup yang baru ini ialah adaptasi untuk penyediaan air, adaptasi di wilayah pesisir, adaptasi dalam pertanian, adaptasi untuk bidang kesehatan, adaptasi untuk wilayah perkotaan, dan adaptasi dalam pengelolaan

bencana (UNDP, 2007). Indonesia merupakan salah satu negara yang ikut serta meratifikasi Protokol Kyoto 1997 dan Konperensi Perubahan Iklim di Bali tahun 2007, dalam rangka penurunan emisi karbon melalui mekanisme pembangunan bersih (CDM; Carbon Development Mecanism) dengan kegiatan aforestasi/reforestasi. Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dikenal sebagai wilayah yang memiliki kualitas lahan dan curah hujan amat rendah dibandingkan di wilayah lain di Indonesia. Musim kemarau berlangsung sepanjang 8-9 bulan (Maret-Oktober) dan musim hujan hanya berlangsung selama 3-4 bulan. Curah hujan tahunan bervariasi antara 1250 dan 1525 mm. Topografi wilayah yang bercorak pegunungan di banyak pulau di NTT telah menghambat upaya-upaya kegiatan ekstensifikasi pertanian. Provinsi yang terletak di lingkar terluar dari kepulauan Sunda Kecil ini merupakan bagian dari wilayah di mana tanda-tanda ENSO-El Nio amat terasa. Hal ini hampir dapat dipastikan, bahwa sekali dalam tiga tahun daerah ini kemungkinan besar dilanda kekeringan. Catatan tahun-tahun terjadinya kekeringan dahsyat di NTT selama seabad terakhir, telah menggambarkan sebuah kisah yang menyedihkan, yaitu: 1909, 1911, 1912, 1914, 1919, 1924, 1940, 1948, 1951, 1958, 1965, 1969, 1972, 1976, 1979. Tahun 1983 merupakan tahun yang amat buruk dan tahun 1997-1998 merupakan salah satu di antara masa-masa kekeringan terburuk abad ini (Fox, 2006). Embung merupakan salah satu sistem penampungan air buatan untuk mengantisipasi keterbatasan air di NTT. Sejak tahun 1986 hingga 2005 sebanyak 334 embung telah dibangun oleh Pemerintah Daerah NTT. Untuk kepentingan pengendalian aliran permukaan dan erosi, serta pelestarian sumberdaya air embung upaya konservasi daerah tangkapan air (DTA) embung merupakan suatu tindakan

Wahyu Widiyono / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 1-7

yang mutlak harus dilakukan. Kegiatan konservasi ini sejalan dengan kegiatan aforestasi/reforestasi dalam kerangka mekanisme pembangunan bersih. Dalam tinjauan ini disampaikan kajian kemungkinan pemanfaatan DTA embung untuk kegiatan aforestasi/reforestasi dalam rangka CDM dan upaya awal yang telah dilakukan. BAHAN DAN METODE Untuk mengetahui potensi DTA embung sebagai kegiatan aforestasi/ reforestasi dalam rangka CDM, telah dikaji kondisi embung NTT yang meliputi daerah tangkapan, penampungan dan pemanfaatan air. Hasil kajian tersebut selanjutnya dipaduserasikan (cross check) dengan: i) Prioritas wilayah kegiatan aforestasi/ reforestasi dalam kerangka CDM di Indonesia (Murdiyarso et al., 2006); ii) Tata cara aforestasi/reforestasi dalam kerangka CDM dalam Peraturan Menteri Kehutanan P.14/Menhut-II/2004; iii) Penyusunan Dokumen Rancangan Proyek aforestasi/ reforestasi kerangka CDM (CIFOR, 2005); dan iv) Upaya kegiatan afoerstasi/reforestasi yang telah dilakukan penulis di embung Desa Oemasi, Kupang dan di embung Leosama, Belu. HASIL DAN PEMBAHASAN Provinsi NTT Daerah Prioritas Kegiatan CDM Berdasarkan kepadatan penduduk 29-98 orang per km2, indeks pembangunan manusia (human development index) 53-64, dan indeks kebakaran (fire risk index) dengan kriteria rendah hingga tinggi (Murdiyarso et al., 2006), maka Provinsi NTT termasuk salah satu prioritas untuk kegiatan aforestasi/reforestasi dengan resiko frekuensi kebakaran rendah (low fire frequency). Berdasarkan kriteria tersebut, sebesar 30-63% luas area di wilayah NTT memenuhi syarat untuk kegiatan aforestasi

dan reforestasi dalam rangka mekanisme pembangunan bersih (Tabel 1). Indeks pembangunan manusia dapat dilihat dari tingkat kemiskinan, perekonomian dan kesejahteraan suatu masyarakat. Provinsi NTT merupakan salah satu daerah termiskin di Indonesia serta masih tertinggal dibandingkan rata-rata nasional. Berdasarkan data BPS 2004 disebutkan bahwa jumlah penduduk miskin di NTT sebesar 28% (1,152 juta jiwa), sedangkan penduduk miskin di Indonesia hanya 17%. Diperkirakan rata-rata pendapatan masyarakat per kapita per tahun di NTT adalah Rp 2,9 juta, sedangkan pendapatan di tingkat nasional mencapai Rp. 9,5 juta. Hampir 90% penduduk miskin tersebut tinggal di pedesaan, dan 82% diantaranya bekerja di sektor pertanian (Suharyo, 2006). Disebutkan oleh Blyth et al., (2006) angka kemiskinan di NTT mencapai 60% dari jumlah penduduk. Meskipun kebakaran menjadi salah satu bagian yang tidak terpisahkan dengan budaya pertanian tebas bakar masyarakat petani di NTT, namun resiko kebakaran ini masih lebih kecil dibandingkan dengan daerah yang memiliki resiko kebakaran lebih besar seperti pada beberapa tempat di Pulau Kalimantan dan Sumatra. Oleh karena itu, beberapa wilayah di kedua pulau besar tersebut oleh Murdiyarso et al., (2006), dimasukkan dalam wilayah yang memiliki resiko kebakaran tinggi. Berdasarkan ketiga indikator tersebut di atas (kepadatan penduduk, indeks pembangunan manusia dan indeks resiko kebakaran) sangat tepat bila NTT termasuk daerah prioritas CDM. Hal ini karena dana insentif yang akan diperoleh melalui kegiatan aforestasi/reforestasi, bukan hanya mendorong terwujudnya konservasi lingkungan tetapi juga akan menambah semangat kerja masyarakat lokal. Kegiatan aforestasi/reforestasi pada lahan-lahan seperti tersebut di atas penting, mengingat luas hutan di NTT dengan

Wahyu Widiyono / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 1-7

berbagai peruntukannya yakni 1.808.990 atau tersisa 38,2% dari luas daratan yang ada. Selama 20 tahun terakhir, luas lahan kritis mencapai 2,1 juta hektar dengan laju perluasan sebesar 15 ribu hektar per tahun, sedangkan kemampuan rehabilitasi lahan hanya 3,6 juta hektar atau 40% (Hutabarat, 2006).

keluarga (KK). Air embung kecil dialirkan melalui pipa bawah tanah ke bak air di perkampungan penduduk mengikuti aliran air secara gravitasi. Pemanfaatan air terutama untuk memenuhi keperluan rumah tangga, pertanian dan peternakan, pada musim kemarau (Dinas Kimpraswil Provinsi NTT, 2000).

Tabel 1. Luas Area yang Memenuhi Syarat untuk Kegiatan Aforestasi/reforestasi dalam Rangka Mekanisme Pembangunan Bersih di Nusa Tenggara Timur
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6,. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. Wilayah Kabupaten Sumba Barat Sumba Timur Kupang Timor Tengah Selatan Timor Tengah Utara Belu Alor Lembata Flores Timur Sikka Ende Ngada Manggarai Rote Ndao Luas Area (ha) 392908,2 680117,1 551793,5 401686,9 268107,3 226307,1 296432,4 127451,1 178248,6 179409 223173,2 300446,5 690517,7 129459,9 Luas Area memenuhi syarat (ha) 202669,42 389712,05 263263,77 205819,22 167745,53 109178,64 86318,46 41604,44 52899,53 74550,66 99139,75 123395,01 209002,96 57475,79 Persentase (%) 51,58 57,30 47,71 51,24 62,57 48,24 29,12 32,64 29,68 41,55 44,42 41,07 30,27 44,40

Sumber: Murdiyarso et al. (2006).

Keberadaan Embung di NTT Berdasarkan sumber air, luasan DTA dan kapasitas tampungnya, embungembung di NTT diklasifikasikan sebagai embung kecil, embung besar dan waduk (bendungan). Embung kecil ialah embung yang sumber airnya berasal dari air hujan, mempunyai wilayah DTA kurang dari 1 km2, dengan kapasitas tampung maksimum 100.000 m3 . Embung besar atau embung irigasi adalah embung yang sumber airnya dari air hujan dan sungai, memiliki luas DTA antara 1 (satu) hingga 10 km2, dan berkapasitas tampung antara 100.000 hingga 5 juta m3. Sedangkan waduk sumber airnya berasal dari hujan dan sungai, luas wilayah DTA lebih dari 10 km2 , dan berkapasitas tampung lebih dari 5 juta m3. Sebuah embung kecil di NTT dapat dimanfaatkan oleh 16 hingga 1.642 kepala

Sejak tahun 1986 hingga tahun 2005 di Provinsi Nusa Tenggara Timur terdapat 334 embung yang tersebar pada 14 kabupaten mencakup luas DTA 3.281 ha, daya tampung 8.318.152 m3 dengan target pelayanan 31.597 KK, 105.522 ekor ternak dan 1.319 ha pertanian (Tabel 2). Daerah tangkapan air embung yang pada umumnya berupa padang savana, areal pertanian lahan kering dan penggembalaan ternak merupakan bagian dari areal lahan kritis di wilayah NTT. Berdasarkan pengamatan di lapangan, DTA embung kecil, embung besar (irigasi) maupun waduk umumnya belum dikelola secara optimal. Daerah tangkapan air embung memiliki luas dan lingkungan yang memenuhi persyaratan untuk kegiatan aforestasi/reforestasi dalam kerangka CDM (P.14/Menhut-II/2004) yakni: i) Aforestasi,

Wahyu Widiyono / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 1-7

penghutanan pada lahan yang selama 50 tahun atau lebih bukan `merupakan hutan; ii) Reforestasi, penghutanan lahan yang sejak 31 Desember 1989 bukan merupakan hutan; Hutan dalam mekanisme CDM ialah lahan yang luasnya minimal 0,25 ha dan ditumbuhi oleh pohon dengan persentasi penutupan tajuk minimal 30% yang pada akhir pertumbuhan mencapai ketinggian 5 m.

embung-embung irigasi dan waduk memiliki luas DTA hingga ratusan hektar (Tabel 2). Aforestasi/reforestasi DTA Embung Daerah tangkapan air embung mengalami degradasi berat, hal ini tampak dari tutupan vegetasi rendah, ditandai oleh jumlah spesies dan jumlah individu pohon yang rendah. Di DTA embung Oemasi

Tabel 2. Jumlah, Luas Daerah Tangkapan Air, Daya Tampung dan Target Pelayanan Embung di Nusa Tenggara Timar Tahun 1986-2005
No. Lokasi Jumlah Total Luas DTA ha 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Kodya Kupang Kab. Kupang Timor Tengah Selatan Timor Tengah Utara Belu Alor Sumba Timur Sumba Barat Ende 8 83 61 58 26 4 16 10 12 18 13 12 10 3 334 110 773 455 514 282 30 199 89 158 142 210 190 62 71 3.281 Target Pelayanan Daya Pertanian Tampung Manusia Ternak m3 222.879 2.309.254 1.080.834 1.121.318 783.992 82.450 470.816 391.637 292.636 622.716 314.537 336.979 137.220 150.884 KK 828 8.885 3.882 4.086 3.868 324 1.502 1.323 1.233 1.859 1.569 1.282 672 284 Ekor 2.478 26.284 11.698 12.071 7.512 1.151 6.716 5.067 2.430 12.641 7.124 6.957 2.328 1.065 ha 41 412 190 236 150 11 78 81 19 45 19 25 6 6 1.319 Pembangunan (Tahun Anggaran) 1992/1993-1995/1996 1990/1991-2005 1986/1987-2004 1986/1987-2000 1993/1994-2001 1997/1998-2005 1995/1996-2005 1996/1997-2005 1996/1997-2006 1997/1998-2005 1994/1995-2003 1994/1995-2003 1997/1998-2002 2002 1986/1987-2005

10 Ngada 11 Sikka 12 Flores Timur 13 Lembata 14 Manggarai Total

8.318.152 31.597 105.522

Sumber: Dinas Kimpraswil Provinsi Nusa Tenggara Timur, 2006.

Dilihat dari persyaratan luasan hutan untuk mendapatkan kompensasi dana dari program mekanisme CDM, embungembung kecil NTT yang memiliki luas DTA antara 3,1 - 43,2 ha berpotensi besar digunakan sebagai lahan kegiatan aforestasi dan reforestasi. Luas DTA embung-embung tersebut yaitu <10 ha (65%), 10-20 ha (26%) dan >20-50 ha (9%). Sementara untuk

terdapat 12 spesies dan 55 individu, di DTA embung Oelomin 21 spesies dan 72 individu dan di DTA embung Oeltua 13 jenis dan 122 individu. Kondisi rendahnya tutupan vegetasi ini mengakibatkan erosi DTA yang tinggi dan ancaman sedimentasi embung sebesar 5% dari total volume embung. Tanpa upaya konservasi nyata kondisi ini mengakibatkan embung-embung NTT akan

Wahyu Widiyono / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 1-7

hilang dalam usia tidak lebih dari 20 tahun (Widiyono, 2002). Kondisi yang sama, yakni degradasi DTA yang berat juga terjadi pada embung Desa Leosama, Kabupaten Belu NTT, telah mengakibatkan pendangkalan (sedimentasi) setebal 0,6 m setiap tahun (Widiyono et al., 2006). Di DTA Oemasi menunjukkan bahwa rerumputan Dichantium caricosum yang terbakar setiap tahun, lahan di bawah tegakan Gmelina arborea dan budidaya jagung secara berturut-turut telah mengakibatkan erosi yang tinggi. Sementara itu semak Chromolaena odorata, rumpun bambu (Bambussa multiplex) dan lahan di bawah tegakan dadap (Erythrina orientalis) yang bersemak berturut-turut berdampak positif terhadap erosi yang rendah (Widiyono, 2007). Beberapa contoh kegiatan aforestasi/reforestasi antara lain kegiatan di DTA Danau Singkarak, Kabupaten Solok, (luas total 2.570 ha), pembudidayaan lahan telantar dengan tanaman karet, kayu manis, gmelina dan mahoni diprediksikan akan menghasilkan 402,747 tCO2e (ton ekuivalen karbon) atau setara dengan 78,467 tCER (sertifikat penurunan emisi) pada tahun ke 10; 207,474 tCER pada tahun ke 15 dan 401,784 tCER pada tahun ke 20. Sementara untuk hutan tanaman dan hutan alam masing-masing memiliki kemampuan menyerap 24 ton dan 200-300 ton karbon/hektar/tahun. Harga karbon di pasar dunia bervariasi antara US $ 5-40 per ton karbon (Timpakul, 2007). KESIMPULAN Berdasarkan kepadatan penduduk, indeks pembangunan manusia dan indeks kebakaran 30-63% dari luas wilayah Kabupaten di NTT memenuhi syarat untuk kegiatan aforestasi/reforestasi dalam rangka mekanisme pembangunan bersih (CDM). Berdasarkan luas hutan minimal (0,25 ha) untuk mendapatkan dana kompensasi melalui program CDM, maka

DTA embung yang tersebar di 14 Kabupaten di NTT sangat berpotensi sebagai lahan kegiatan aforestasi/reforestasi. Upaya awal aforestasi/reforestasi menggunakan jenis pohon Gmelina arborea pada embung Oemasi Kupang menunjukkan hasil pertumbuhan yang bagus. Namun demikian aforestasi G. arborea per ha perlu dikombinasikan dengan tanaman lain, karena ada resiko erosi besar di bawah tegakan G. arborea tersebut. Kegiatan konservasi DTA embung Leosama Belu dengan berbagai jenis tanaman perlu pemeliharaan intensif dan berkelanjutan agar dapat ditingkatkan peranannya sebagai model kegiatan aforestasi/reforestasi di wilayah beriklim kering. DAFTAR PUSTAKA Bappenas dan UNDP, 2007, Kita Suarakan Millenium Development Goals/MDGs Demi Pencapaiannya di Indonesia, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan United Nations Development Programme Indonesia, Jakarta, 42p. Blyth, M., S. Djoeroemana, J. RussellSmith & B. Myers, 2006, Integrated Rural Development in Esat Nusa Tenggara, Indonesia: Overview of Opportunities, Constraints and Options for Improving Livelihoods, Integrated rural Development in Esat Nusa Tenggara, Indonesia, Proceeding of a Workshop to Identify Sustainable Rural Livelihoods, Kupang, Indonesia, 5-7 April 2006, S. Djoeroemana, B. Myers, J. RussellSmith, M. Blyth & E.I.T Salean (Eds.), Australian Centre for International Agricultural Research, Canbera: 9-30. Boer, R., J.M. Roshetko, Hardjanto, L. Kolopaking, A. Akbar, U. R. Wasrin, B. D. Dasanto & S.

Wahyu Widiyono / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 1-7

Rahayu. 2006, Loksado Grassland Reforestation, Indonesia, In: Murdiyarso, D. & M. Skutsch (Eds.), Community Forest Management as a Carbon Mitigation Option, CIFOR: 85-93. CIFOR., 2005, Penyusunan Dokumen Rancangan Proyek Aforestasi/ Reforestasi Mekanisme Pembangunan Bersih. Carbon Brief, No. 1, Februari 2005. Dinas Kimpraswil Provinsi NTT, 2000, Profile Project. Proyek Pengembangan dan Konservasi Sumber Air Flores, Dinas Permukiman dan Pengembangan Prasarana Wilayah, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kupang. 50 hlm. (Tidak dipublikasikan). Fox, J.J., 2006, Perspectives on Development in NTT. SMERU. The Smeru Research Institute, No. 20, Oct - Dec 2006: 29-32. Hutabarat, S., 2006, Forestry Development Through Development of Nontimber Forest Products in East Nusa Tenggara, Integrated Rural Development in Esat Nusa Tenggara, Indonesia, Proceeding of a Workshop to Identify Sustainable Rural Livelihoods. Kupang, Indonesia, 5-7 April 2006. S. Djoeroemana, B. Myers, J. RussellSmith, M. Blyth & E.I.T Salean (Eds.), Australian Centre for International Agricultural Rsearch, Canbera: 51-55. Leimona, B., R. Boer, B. Arifin, D. Murdiyarso & M. van Noordwijk. 2006, Singkarak: Combining Environmental Service Markets for Carbon and Watershed Fungtions? In: Murdiyarso, D. & M. Skutsch (Eds.). Community Forest Management as a Carbon Mitigation Option. CIFOR: 60-73.

Murdiyarso, D., A. Puntodewo, A. Widayati & M. van Noordwijk 2006, Determination of Eligible Lands for A/R CDM Project Activities and of Priority Districts for Project Development Support in Indonesia, CIFOR. 39p. Suharyo, W.I., 2006, Development Challenges in East Nusa Tenggara, SMERU, The Smeru Research Institute, No. 20, Oct Dec 2006: 4-10. Timpakul, 2007, Pemanasan global dan obral karbon, www.google.com/ perdagangan karbon/5 Desember 2007. UNDP, 2007, Sisi Lain Perubahan Iklim, Mengapa Indonesia Harus Beradaptasi untuk Melindungi Rakyat Miskinnya, United Nations Development Programme Indonesia, Jakarta. 20p. Widiyono, W., 2002, Konservasi Embung di Nusa Tenggara Timur Melalui Analisis Tutupan Vegetasi dan Sumber Daya Air, Tesis Magister Sains, Jurusan Biologi, F-MIPA, UI. Bag. I. 68 p dan Bag. II. 101 p. Widiyono, W., R. Abdulhadi & B. Lidon. 2006, Erosi dan Pendangkalan Embung di Pulau Timor NTT (Studi Kasus: Embung Oemasi Kupang dan Embung Leosama Belu), LIMNOTEK, Perairan Darat Tropis di Indonesia, Puslit Limnologi-LIPI 13(2): 21-28. Widiyono, W., 2007, Relationship Between Vegetation and Runofferosion: Consequences on Embung Water Balance in West Timor East Nusa Tenggara Province, Disertasi Bidang Biologi Konservasi, FMIPA, UI. 176p.

LIMNOTEK (2010) (2010) 8-16 M. Fakhrudin / LIMNOTEK 17 (1) : 17 (1) : 8-16

KAJIAN SUMUR RESAPAN SEBAGAI PENGENDALI BANJIR DAN KEKERINGAN DI JABODETABEK M. Fakhrudina
a

Staf Peneliti Puslit Limnologi-LIPI

Diterima redaksi : 3 April 2010, Disetujui redaksi : 10 Mei 2010

ABSTRAK Pembuatan sumur resapan merupakan salah satu cara yang efektif untuk meningkatkan kapasitas infiltrasi lahan, yang selanjutnya dapat menambah cadangan air tanah. Selain itu, sumur resapan berfungsi untuk mengurangi volume dan kecepatan aliran permukaan sehingga menurunkan puncak banjir. Penelitian sumur resapan ini bertujuan untuk karakterisasi sumur resapan dalam kaitannya sebagai pengendali banjir dan kekeringan di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek). Hasil analisa sumur resapan menunjukkan bahwa kecepatan rata-rata penurunan air sumur resapan pada wilayah hulu DAS (Daerah Aliran Sungai) di Jabodetabek berkisar antara 0,94 1,14 cm/menit, wilayah tengah berkisar antara 0,63 0,64 cm/menit, dan wilayah hilir berkisar antara 0,24 0,43 cm/menit. Penurunan kecepatan resapan air sumur yang semakin kecil ke arah hilir ini juga sejalan dengan resapan dinding sumur resapan yang semakin kecil ke arah hilir. Pada wilayah hulu resapan dinding sumur resapan per cm2 berkisar antara 0,12 0,13 m3/menit, wilayah tengah berkisar antara 0,08 0,09 m3/menit, dan wilayah hilir berkisar antara 0,04 0,05 m3/menit. Kecepatan resapan air pada sumur resapan tersebut berbanding lurus dengan permeabilitas tanah, sedangkan permeabilitas tanah dipengaruhi oleh tekstur tanah, pori-pori tanah, dan kepadatan tanah (bulk density). Hasil analisa contoh tanah menunjukkan bahwa wilayah hulu mempunyai permeabilitas tanah yang semakin besar bila dibandingkan wilayah tengah maupun wilayah hilir. Begitu juga untuk tekstur dan pori tanah ke arah hulu semakin besar dan kepadatan tanah semakin kecil. Kata kunci : Daerah terbangun, sumur resapan, banjir, kekeringan, ABSTRACT STUDY OF ARTIFICIAL RECHARGE AS CONTROL FLOOD AND DROUGHT IN JABODETABEK. Infiltration wells is one of effective way to increase land infiltration capacity, furthermore can increase groundwater reserves. In addition, infiltration wells serves to reduce volume and rate of runoff thereby reducing the flood peak discharges. This study aims to characterize infiltration wells as control of flood and drought in Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Result of infiltration wells analysis showed that infiltration rate in Jabodetabek upstream watershed area ranged from 0.94 to 1.14 cm/min, in middle area 0.63 0.64 cm/min and in downstream area ranged from 0.24 to 0.43 cm/min. Infiltration rate of wells are getting smaller to downstream area, in line with infiltration of wall wells which is smaller to downstream area. In upstream area, wall infiltration of wells per cm2 ranged from 0.12 to 0.13 m3/min, middle area ranged from 0.08 0.09 m3/min and downstream area ranged from 0.04 0.05 m3/min. Infiltration rate of wells is proportional to soil permeability, while permeability is influenced by soil texture, porosity and bulk density. Soil analysis results showed that permeability in upstream area greater than in downstream area. Texture and soil porosity are greater to upstream area, and bulk density is smaller. Key words : Artificial recharge, impermeable area, flood, drought

8 8

M. Fakhrudin / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 8-16

PENDAHULUAN Wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang dan Bekasi (Jabodetabek) merupakan kawasan yang aktivitas pembangunannya sangat pesat, sehingga memerlukan sumber air dalam jumlah yang memadai. Di sisi lain tekanan terhadap lahan khususnya alih fungsi lahan dari lahan yang dapat meresapkan air hujan menjadi lahan yang kedap air juga semakin meningkat, akibatnya sering terjadi banjir ketika musim hujan dan ketika kemarau terjadi kelangkaan air bersih. Menurut Fakhrudin, dkk (2008) di masa yang akan datang banjir di Jakarta semakin besar mengingat daerah terbangun/kedap air semakin luas, kecenderungan hujan deras juga semakin besar, dan pasang air laut juga semakin meningkat. Sumur resapan merupakan sistem resapan buatan yang dapat menampung air hujan melalui atap bangunan atau aliran permukaan yang tidak terserap oleh permukaan tanah, dapat berbentuk sumur, kolam resapan, saluran porous dan sejenisnya. Pemilihan lokasi sumur resapan sebaiknya pada lahan yang datar, tidak berlereng curam, atau labil dan jauh dari septic tank. Sumur resapan merupakan salah satu cara yang efektif untuk meningkatkan kapasitas infiltrasi lahan dan sekaligus dapat menambah cadangan air tanah (Fetter, 1994). Selain itu sumur resapan dapat berfungsi untuk mengurangi volume dan kecepatan aliran permukaan, sehingga dapat menurunkan puncak banjir. Oleh karena pentingnya sumur resapan ini maka Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta telah menerbitkan SK Gubernur DKI Jakarta No. 115 tahun 2001 dan kemudian disempurnakan lagi dengan SK Gubernur Propinsi DKI Jakarta No. 68 th 2005 yang menyebutkan bahwa pembuatan sumur resapan diwajibkan kepada perorangan dan badan hukum yang mengajukan IMB (Izin Mendirikan Bangunan).
1 9

Kelebihan lain dari pengendalian banjir dan kekeringan dengan sumur resapan adalah tidak memerlukan lahan yang besar, dapat dibangun di bawah garasi mobil atau halaman rumah yang diatasnya bisa dibuat taman dan dapat dibangun secara massal oleh masyarakat, sehingga akan memberikan dampak yang sangat besar. Penelitian sumur resapan ini bertujuan untuk karakterisasi sumur resapan dalam kaitannya sebagai pengendali banjir dan kekeringan di wilayah Jabodetabek. Informasi ini penting sebagai dasar dalam pengelolaan dan konservasi sumberdaya air untuk pembangunan yang berkelanjutan di wilayah sekitar Ibu Kota Jakarta. BAHAN DAN METODE Data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan sekunder. Data sekunder yang digunakan berupa Peta Rupa Bumi (Sumber: Bakosurtanal), Peta Tanah (Pusat Penelitian Tanah Bogor) dan data curah hujan (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika), sedangkan data primer didapatkan langsung dari pengukuran di lapangan dan analisa contoh tanah di laboratorium. Pengukuran kecepatan resapan air sumur resapan dilakukan pada daerah hulu, tengah dan hilir DAS di Jabodetabek. Pemilihan lokasi sumur resapan didasarkan pada kelompok hidrologi tanah dengan mengacu pada SCS National Engineering Handbook, Section 4, Hydrology (1971) dan Ward and Elliot (1995). Lokasi pengukuran sumur resapan daerah hulu (Tugu Utara, Cakar Dipa dan Jogjokan) merupakan gabungan kelompok hidrologi tanah A dan B, yang mempunyai sifat tingkat drainase cepat sampai sedang, tekstur sedang kasar, dan infiltrasi cepat - sangat cepat. Lokasi pengukuran sumur resapan pada daerah tengah (Bojong Gede Cilodong Margonda) merupakan daerah yang mempunyai grup hidrologi tanah B dan C, yang mempunyai tekstur sedang halus,

M. Fakhrudin / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 8-16

drainase sedang dan infiltrasi cepat - sedang. Lokasi pengukuran sumur resapan daerah hilir (Bekasi - Rawa Lumbu - Grogol) merupakan kelompok hidrologi tanah C dan D, yang bertekstur halus dan infiltrasi sedang rendah (Gambar 1). Selain pengukuran resapan pada sumur resapan juga dilakukan pengambilan contoh tanah untuk dianalisa sifat-sifat fisik tanah di laboratorium.

plastik. Analisa parameter tekstur, kepadatan tanah (bulk density), ruang pori tanah, kadar air, dan permeabilitas di laboratorium Pusat Penelitian Tanah Bogor. Pengukuran kecepatan resapan pada sumur dilakukan dengan mengisi sumur dengan air sampai mendekati penuh dan kemudian dicatat penurunan permukaan air sumur dan waktu sampai penurunannya dianggap tetap.

Gambar 1. Lokasi Percobaan Sumur Resapan Sumur resapan percobaan dibangun dengan menggali tanah yang berbentuk empat persegi panjang dengan dimensi kurang lebih panjang 80 cm, lebar 40 cm, dan kedalaman 100 cm. Contoh tanah diambil pada berbagai kedalaman, untuk contoh tidak terganggu (undisturbed) menggunakan ring contoh tanah dan yang terganggu (disturbed) dengan kantong
2 10

HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi DAS di Jabodetabek Curah Hujan Curah hujan merupakan faktor utama yang mengendalikan proses daur hidrologi di suatu DAS (Asdak, 1995). Intensitas hujan yang melebihi kemampuan tanah untuk meresapkan air akan menjadi aliran permukaan. Aliran permukaan inilah yang

M. Fakhrudin / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 8-16

perlu dimanfaatkan semaksimal mungkin supaya tidak menimbulkan kekeringan dan banjir. Distribusi curah hujan mempunyai pola yang berbeda-beda menurut ruang dan waktu (Viessman. et al.,1989). Pada wilayah Indonesia umumnya kejadian hujan lebih didominasi oleh hujan orografis, semakin ke arah pegunungan curah hujan semakin besar. Tetapi untuk kasus di Jabodetabek pola curah hujan agak berbeda, khususnya di Empang-Bogor (wilayah tengah). Analisa curah hujan tahunan berdasarkan data stasiun curah hujan yang mewakili daerah hulu (Stasiun Citeko, 920 meter dpl), tengah (Stasiun Empang, 234 meter dpl) dan hilir (Stasiun Cengkareng, 9 meter dpl) selama periode tahun 1973 2005, menunjukkan daerah tengah mempunyai curah hujan tahunan lebih besar (3.536 mm/tahun) dibandingkan dengan daerah hulu (2.534 mm/tahun), sedangkan di daerah hilir jauh lebih kecil lagi (1.447 mm/tahun). Berdasarkan fluktuasi hujan tahunan, daerah tengah menunjukkan nilai yang relatif konstan bila dibandingkan dengan daerah hulu maupun hilir. Pada tahun 1987 yang mempunyai hujan tahunan tinggi, tercatat di Stasiun Empang lebih dari 464 mm di atas rata-rata, sedangkan pada Stasiun Citeko lebih dari 966 mm dan Stasiun Cengkareng lebih dari 653 mm di atas rataratanya. Begitu juga pada tahun 2003 merupakan tahun dengan hujan yang rendah, pada Stasiun Empang curah hujan masih diatas rata-rata sebesar 364 mm, sedangkan Stasiun Citeko dan Stasiun Cengkareng, masing-masing sebesar 1.534 mm dan 1.147 mm, di bawah rata-ratanya. Berdasarkan jumlah curah hujan yang besar dan fluktuasi tahunan yang relatif kecil menunjukkan bahwa wilayah tengah DAS di Jabodetabek (Ciawi, Empang, Hambalang, Cimanggu, Atang Sanjaya dan sekitarnya) merupakan daerah yang berpotensi sebagai sumber air.

Karakteristik Tanah Hasil analisa tanah berdasarkan kelompok hidrologi tanah menunjukkan, terutama pada daerah yang mencakup antara Depok sampai Manggarai sebagian besar (sekitar 59%) termasuk kedalam grup C. Kelompok hidrologi tanah ini mempunyai sifat drainase baik, dan tekstur sedang sampai halus serta laju infiltrasi rendah. Kelompok hidrologi tanah D yang mencakup daerah dari Manggarai sampai ke arah pantai, sekitar 22% dari wilayah kajian, mempunyai sifat tekstur halus dan laju infiltrasi sangat rendah, dan hanya sebagian kecil termasuk yang mempunyai infiltrasi sedang sampai tinggi. Kelompok hidrologi tanah B, yang mencakup sekitar 12% dari wilayah kajian yang tersebar di sekitar Bogor dan kelompok hidrologi tanah A sekitar 7% terutama pada hulu Sungai Ciliwung dan Sungai Bekasi. Karakteristik tanah ini menunjukkan bahwa wilayah kajian sebagian besar mempunyai kapasitas infiltrasi rendah, sehingga ketika hujan hanya sebagian kecil yang dapat diresapkan ke dalam tanah. Sedangkan untuk daerah-daerah di hulu Sungai Ciliwung dan Sungai Bekasi air hujan mempunyai potensi yang besar untuk meresap ke dalam tanah, tetapi permasalahannya wilayah ini sebagian besar sudah menjadi areal yang kedap air. Daerah Kedap Air Wilayah Jabodetabek merupakan kawasan yang aktivitas pembangunannya sangat pesat, sebagaimana dikemukakan Syarifuddin (2003) investasi di Kawasan Barat Indonesia (KBI) sebesar 80% dari total nasional dan 75% dari investasi di KBI tersebut berada di Jabodetabek. Pada sisi lain dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi mengakibatkan kebutuhan lahan untuk bangunan/perumahan semakin besar. Berdasarkan analisa data penggunaan lahan 2006 menunjukkan bahwa setengah lahan

3 11

M. Fakhrudin / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 8-16

DAS di Jabodetabek merupakan daerah terbangun atau seluas 89.308 ha, sedangkan luas lahan hutan hanya 4% (7.445 ha), lahan untuk pertanian kering 23% (39.339 ha), sawah, situ, dan empang 7% (12.651 ha), dan semak/rumput 15% (26.512 ha). Lahan terbangun merupakan pencerminan dari tanah yang kedap air. Pada areal pemukiman tanah kedap air bisa mencapai 70-90% bahkan pada lokasi-lokasi tertentu semua tanah kedap air, seperti di kawasan industri dan bisnis. Ketika terjadi hujan, pada lahan terbangun hanya sebagian kecil air yang dapat diresapkan kedalam tanah dan sebagian besar menjadi limpasan, yang selanjutnya dapat mengakibatkan banjir. Perubahan penggunaan lahan akan berpengaruh terhadap kapasitas infiltrasi dan tampungan permukaan (surface storage) atau gabungan antara keduanya, dan efek selanjutnya adalah mengakibatkan perubahan aliran permukaan (U.S. SCS, 1972). Penurunan kapasitas infiltrasi lebih berpengaruh terhadap volume aliran permukaan, sedangkan penurunan kapasitas tampungan permukaan berpengaruh pada

kecepatan aliran permukaan untuk mengalir sampai outlet DAS. Peresapan Air Pada Sumur Resapan Hasil pengukuran imbuhan pada sumur resapan di daerah hulu, tengah dan hilir DAS di Jabodetabek disajikan pada Tabel 1. Pada daerah hulu kecepatan imbuhan pada tiga sumur resapan mempunyai pola yang sama, pada saat awal kecepatan besar dan secara bertahap kecepatannya menurun sampai mencapai kecepatan yang konstan (Gambar 2). Kecepatan awal berkisar antara 6 - 10,4 cm/menit (Jogjokan 10,4 cm/menit, Cakar Dipa 10,3 cm/menit, dan Tugu Utara 6 cm/menit), kecepatan yang cukup besar ini terkait dengan ruang pori tanah. Pada awal pemasukan air ke dalam sumur resapan, air meresap/mengisi pori tanah pada dinding sumur, semakin besar ruang pori tanah semakin cepat resapan dari dinding sumur dan ini juga terkait dengan kadar air saat pengukuran, tetapi hasil analisa laboratorium kadar air pada tanah saat pengukuran tidak jauh berbeda (Tabel 2).

Tabel 1. Hasil Pengukuran Sumur Resapan


Lokasi Hulu Tugu Utara Cakar Dipa Jogjokan Tengah Cilodong Bojong Gede Margonda Hilir Cikunir Rawa Lumbu 125.1 145.9 54 35 3.8 0.6 0.43 0.24 1,306 548 24,145 14,890 0.05 0.04 90.0 131.8 127.0 61 84 80 3.3 5.0 1.8 0.68 0.64 0.63 3,033 2,954 2,469 32,425 33,939 29,864 0.09 0.09 0.08 80.5 94.3 103.1 86 89 118 6.0 10.3 10.4 1.07 0.94 1.14 2,471 2,527 5,770 19,734 20,720 46,505 0.13 0.12 0.12 Durasi (menit) Penurunan air (cm) Kec. awal penurunan air (cm/menit) Kec. rata2 penurunan air (cm/menit) Imbuhan sumur (cm3/menit) Luas dinding peresapan (cm2) Imbuhan dinding sumur per cm2 (cm3/menit)

4 12

M. Fakhrudin / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 8-16

Pola imbuhan pada sumur resapan di daerah tengah DAS di Jabodetabek juga menyerupai pola resapan pada wilayah hulu, tetapi kecepatan resapan pada saat awal lebih kecil (Tanah Baru 1,8 cm/menit, Cilodong 3,3 cm/menit, dan Bojong Gede 5 cm/menit) (Gambar 2). Penurunan kecepatan resapan ini terkait dengan ruang pori total tanah di daerah tengah DAS yang memiliki nilai lebih kecil dibandingkan dengan wilayah hulu, yaitu berkisar antara 56 70%.

( 53 - 54%) dari pada daerah hulu maupun hilir. Menurut Arsyad (1989) pori-pori tanah berukuran besar dapat disebabkan oleh struktur kasar atau agregasi butir-butir. Semakin kecil ukuran butir tanah maka ruang pori total juga semakin sempit, sehingga kemampuan tanah untuk melewatkan air akan semakin besar. Hasil analisa contoh tanah pada lokasi pengukuran sumur resapan menunjukkan bahwa pada daerah hulu tekstur tanah lebih kasar, ukuran butir cenderung fraksi pasir debu, sedang-

Gambar 2. Hasil Pengukuran Sumur Resapan di Daerah Hulu dan Tengah Pola imbuhan di wilayah hilir juga mempunyai pola yang sama dengan daerah hulu maupun tengah, tetapi kecepatan awal resapan lebih rendah dari daerah tengah, yaitu Cikunir 3,8 cm/menit dan Rawa Lumbu 0,6 (Gambar 3). Kecepatan awal yang semakin kecil ini juga disebabkan oleh ruang pori tanah yang juga semakin kecil
1 13

kan daerah tengah tekstur tanah lebih halus (debu liat), dan daerah hilir bertekstur lebih halus lagi, yaitu liat (Tabel 2). Kecepatan rata-rata penurunan air sumur resapan pada daerah hulu DAS di Jabodetabek berkisar antara 0,94 1,14 cm/menit, daerah tengah berkisar antara 0,63 0,68 cm/menit, dan daerah hilir

M. Fakhrudin / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 8-16

berkisar antara 0,24 0,43 cm/menit. Kecepatan penurunan air sumur resapan yang semakin kecil ke arah hilir ini juga sejalan dengan resapan dinding sumur resapan yang semakin kecil ke arah hilir. Pada daerah hulu resapan dinding sumur resapan per cm2 berkisar antara 0,12 0,13 m3/menit, daerah tengah berkisar antara 0,08 0,09 m3/menit, dan daerah hilir berkisar antara 0,04 0,05 m3/menit (Tabel 1).

dan B yang mempunyai tingkat infiltrasi cepat sangat cepat dan tekstur sedang kasar yang didominasi oleh fraksi pasir. Daerah tengah termasuk grup B dan C yang mempunyai tingkat infiltrasi cepat - sedang dan tektur sedang - halus, dan daerah hilir termasuk grup C dan D yang mempunyai tingkat infiltrasi sedang - lambat dan tektur halus - sangat halus.

Gambar 3. Hasil Pengukuran Sumur Resapan di Daerah Hilir Kecepatan resapan air pada sumur resapan tersebut berbanding lurus dengan permeabilitas tanah, sedangkan permeabilitas tanah dipengaruhi oleh tekstur tanah, pori-pori tanah, dan kepadatan tanah (bulk density). Hasil analisa contoh tanah (Tabel 2) menunjukkan bahwa daerah hulu mempunyai permeabilitas tanah yang semakin besar bila dibandingkan daerah tengah maupun hilir. Begitu juga untuk tekstur tanah, dan pori tanah ke arah hulu semakin besar tapi nilai kepadatan tanah semakin kecil. Hal ini juga diperkuat oleh analisa hidrologi tanah daerah hulu termasuk grup A
2 14

Seperti telah dikemukakan di atas bahwa sumur resapan sangat efektif untuk mengurangi kekeringan dan banjir. Kedua fungsi ini dapat dicapai apabila sumur resapan dibangun pada daerah yang tanahnya mempunyai permeabilitas yang cukup tinggi, tetapi sebaliknya bila lokasi sumur resapan pada tanah yang permeabilitas rendah maka sumur resapan hanya berfungsi sebagai tampungan air hujan. Pada tanah yang memiliki permeabilitas rendah, kemampuan sumur resapan untuk meresapkan air sangat terbatas, sehingga hanya sebagian kecil air hujan yang dapat menambah cadangan air tanah.

M. Fakhrudin / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 8-16

Tabel 2. Hasil Analisa Tanah Lokasi Pengukuran Sumur Resapan


Lokasi/ Kedalaman tanah (cm) Wilayah Hulu Jogjokan 0-20 67 71 45 55 62 67 58 53 57 62 66 53 56 68 64 65 0,87 0,77 0,94 0,77 0,77 0,74 0,53 0,65 0,68 0,76 0,77 0,74 0,89 0,80 2,39 3,00 3,29 2,39 1,11 8,57 4,51 0,62 6,85 7,09 4,59 4,30 0,55 31 12 22 29 12 56 55 29 30 31 21 24 32 15 56 70 64 66 70 33 33 57 51 58 71 64 60 71 13 26 14 12 26 10 12 13 19 11 8 12 8 14 Ruang pori Total (% vol) Kadar air (%.vol) Bulk Density (gr/cc) Permeabilitas (cm/jam) Pasir Tekstur (%) Debu Liat

20-40 65 40-60 60-80 80-100 Tugu Utara 72 0-20 80 20-40 76 40-60 74 60-80 Cakardipa 71 0-20 71 20-40 40-60 72 66 60-80 70 80-100 Wilayah Tengah Cilodong 67 0-20 61 20-40 56 40-60 58 60-80 65 80-100 Bojong Gede 58 0-20 64 20-40 70 40-60 62 60-80 Wilayah Hilir Rawa Lumbu 53 (permukaan) Rawa Lumbu 54 (dasar) Cikunir 55 (permukaan) Cikunir 54 (dasar)

45 52 51 56 61 49 49 42 51 40 54 51 69

0,89 1,04 1,18 1,11 0,92 1,12 0,95 0,78 1,00 1,22 1,24 1,20 1,21

5,07 0,90 2,72 0,36 0,20 0,61 0,67 5,36 0,48 0,21 0,3 0,4

6 7 10 5 4 61 7 34 19 3 1 2 3

37 44 46 59 48 15 65 47 56 37 41 43 35

57 49 44 36 48 24 28 19 25 60 58 55 62

Berdasarkan analisa kecepatan resapan air pada sumur resapan dan analisa permeabilitas, porositas, tekstur dan bulk density tanah DAS di Jabodetabek yang
1 15

telah diuraikan di atas menunjukkan bahwa sumur resapan di daerah hulu mempunyai kecepatan resapan yang relatif tinggi bila dibandingkan daerah tengah dan semakin

M. Fakhrudin / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 8-16

kecil pada daerah hilir. Dengan demikian, untuk daerah hulu apabila sumur resapan diisi oleh air permukaan akan dengan cepat diresapkan oleh dinding-dinding sumur yang kemudian akan meningkatkan pasokan air tanah. Pada daerah tengah fungsi sumur resapan sama dengan wilayah hulu tetapi kecepatan resapan lebih kecil. Untuk mengoptimalkan sumur resapan di daerah tengah kapasitas tampung airnya diperbesar, terutama memperbesar luasan dinding sumur, sehingga meningkatkan kapasitas total dari sumur resapan. Sumur resapan pada wilayah hilir DAS di Jabodetabek lebih berfungsi sebagai tampungan air permukaan, karena di wilayah ini kecepatan resapan tergolong kecil. Sumur resapan lebih berfungsi sebagai pengendali banjir. KESIMPULAN Sumur resapan sangat efektif untuk pengendali banjir dan sekaligus menambah pasokan air tanah terutama pada hulu DAS di Jabodetabek dengan debit resapan dinding sumur per cm2 berkisar antara 0,12 0,13 m3/menit. Sumur resapan daerah hilir mempunyai debit resapan dinding sumur per cm2 berkisar 0,04 0,05 m3/menit, sehingga lebih berfungsi sebagai tampungan air permukaan dan efektif untuk pengendali banjir. Sumur resapan semakin efektif bila dimensi perbandingan luas dinding dengan volume sumur semakin besar dan dibangun pada tanah yang mempunyai permeabilitas tinggi, ruang pori besar, tektur pasir, dan kepadatan tanah rendah.

DAFTAR PUSTAKA Arsyad, S., 1989, Konservasi Tanah dan Air, IPB Press, Bogor, 289 hal. Asdak, Chay, 1995, Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press. Yokyakarta, 571 hal. Fetter, C.W., 1994, Applied Hydrogeology, MacMillan College Publishing Company, New York USA, 691 pp. Fakhrudin, Iwan R., Dini D., Idung R. & Nono S., 2005, Kajian Pola Penggunaan Lahan untuk Mengendalikan Banjir Sungai Ciliwung, Laporan Akhir Kumulatif, Puslit Limnologi LIPI, Bogor, 97 hal. Syarifuddin Akil, 2003, Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dalam Manajemen Bioregional Jabotabek : Tantangan dan Harapan, Puslit Biologi LIPI, Bogor, 13-27 hal. Starosolszky, O., & Stelezer, K., 1986, Characteristics of Surface Water, In : Starosolszky, O (ed). Applied Surface Hydrology, Water Resources Publication, USA, Pages 1-39. U.S.Soil Conservation Service, 1972, Hydrology, National Engineering Handbook, Section 4, Washington D.C. Viessman.W, Lewis.G.L., & Knapp.J.W., 1989, Introduction To Hydrology, Harper & Row Publishers, Inc. New York, USA, 780 pp. Ward, A.D., & Elliot, W.J, 1995, Environmental Hydrology, Lewis Publishers, New York, USA.

2 16

LIMNOTEK (2010) (2010) 17-36 Eko Harsono / LIMNOTEK 17 (1) : 17 (1) : 17-36

EVALUASI KEMAMPUAN PULIH DIRI OKSIGEN TERLARUT AIR SUNGAI CITARUM HULU Eko Harsonoa
a

Staf Peneliti Puslit Limnologi-LIPI

Diterima 18 redaksi : Maret 2010, Disetujui redaksi : 27 Mei 2010

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan mengevaluasi kemampuan pulih diri (self purification) oksigen terlarut (DO; Dissolved Oxygen) melalui uji kelenturan lengkung DO air Sungai Citarum Hulu. Lengkung kelenturan DO diperagakan dengan model QUAL2K ,dan diuji melalui simulasi pengubahan nilai parameter pada model lengkung DO. Parameter model yang diubah nilainya tersebut adalah kemiringan dasar sungai, kebutuhan oksigen sediment (SOD; Sediment Oxygen Demand) sungai, konsentrasi DO, NH4 dan (NO2+NO3), serta BODfast, BODslow, di titik influent, dan laju nitrifikasi NH4, laju oksidari BODfast dan BODslow air sungai. Hasil pengujian menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi DO, penurunan konsentrasi NH4 dan (NO2+NO3) air di titik influen, serta penurunan laju nitrifikasi dan pembersihan sedimen dasar Sungai Citarum Hulu sulit meningkatkan kemampuan pulih-sendiri DO air sungai tersebut. Sedangkan peningkatan kemiringan dasar sungai, penurunan konsentrasi BODfast dan BODslow, penurunan laju oksidasi BODfast dan BODslow air sungai, serta penurunan konsentrasi BODfast dan BODslow dengan NH4 dan (NO2+NO3) air di titik influen telah dapat meningkatkan kemampuan pulih-sendiri DO air sungai tersebut. Hasil evaluasi juga telah menunjukkan kemampuan pulih-sendiri DO untuk mendukung kebutuhan DO dari kehadiran BODfast, BODslow, NH4 dan (NO2+NO3) di Sungai Citarum sangat rendah. Kata kunci : Evaluasi, kemampuan pulih-sendiri, DO, Citarum Hulu, QUAL2K

ABSTRACT THE EVALUATION OF SELF-PURIFICATION ABILITY IN UPPER CITARUM RIVER. The research aims to evaluate ability of DO self-purification on Upper Citarum river using DO-sag curve test. The test was simulated using QUAL2K model with variation on parameters i.e. (i)DO, BODfast and BODslow ,NH4, NO2+NO3 in the influent water, (ii) SOD, nitrification rate, BODfast and BODslow oxidation rate in the river water and (iii) the riverbed slope. Results shows that dredging on river sediment , increasing DO and decreasing NH4 and (NO2+NO3) concentration in the influent water were found very difficult to increase ability of DO self-purification. Whilst increasing slope river bed, decreasing BODfast, BODslow, NH4 and NO2+NO3 concentration in the influent water and decreasing BODfast, BODslow concentration and oxidation rate in the river water were able to increase DO self-purification .The results also show that Upper Citarum river have low DO self-purification capacity for BODfast, BODslow, NH4 and (NO2+NO3) loads Key words : Evaluation, ability self-purification, DO, Upper Citarum, QUAL2K

17

Eko Harsono / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 17-36

PENDAHULUAN Kehadiran oksigen terlarut (DO; Dissolved Oxygen) di dalam badan air sungai, merupakan indikator kesehatan (sanitasi) badan air sungai (Thomann, 1987), semakin tingggi kandungan DO semakin sehat sungai tersebut. Oksigen terlarut di dalam air sungai adalah produk dari proses neraca asupan oksigen dan pemakaian oksigen terlarut di dalam air sungai (Chapra, 1997). Asupan oksigen, berasal dari masukan aliran air dan reaerasi di dalam sungai. Sedangkan penggunaan oksigen adalah untuk oksidasi material terdegradasi dari karbon organik (BOD) dan nitrogen anorganik (NH4 dan NO2) yang berasal dari masukan aliran air anak-anak sungai yang mengandung air limbah atau dari pipa dan saluran keluaran air limbah (Thomann, 1987). Sungai Citarum Hulu (selanjutnya dikemukakan Citarum Hulu) telah penerima beban BOD5 160.000 ~ 200.000 ton/hari dari penduduk (Salim, 2000) dan beban BOD5 sebesar 81.363 ~ 109.114 ton/hari dari industri (Bukit, 2002). Menurut Metcalf (1991), air limbah penduduk juga mengandung amonia-N antara 10 s/d 30 mg/l. Di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum Hulu bermukim 5.373.513 jiwa penduduk (Kantor Statistik Kota Bandung dan Kantor Statistik Kab. Bandung, 2005), dan apabila buangan air limbah aktivitas penduduk tersebut 80% dari kebutuhan air per kapita (diambil 150 l/kapita/hari), maka hasil perhitungan amonia-N yang diterima badan air Citarum Hulu melalui titik-titik masukan tersebut berkisar 5,3 s/d 15,7 ton/hari. Sementara itu menurut Eko Harsono ( 2010 ), pada musim kemarau telah teridentifikasi 36 titik dan pada musim penghujan 51 titik masukan aliran (influen) ke dalam Sungai Citarum Hulu. Melalui titik-titik masukan ini, beban BOD5 dan amonia yang berasal dari DAS tersebut masuk ke dalam badan air Sungai Citarum Hulu. Jika masukan beban tersebut dibiar-

kan, maka DO air Sungai Citarum Hulu dikawatirkan akan defisit dan dapat menimbulkan bau busuk, berlumpur hitam serta mendorong kondisi lingkungan Sungai Citarum Hulu menjadi kumuh. Kualitas air sungai ini telah ditetapkan baku mutu peruntukannya, yaitu golongan C yang kandungan oksigen terlarutnya (DO) disyaratkan 3,0 mg/l (S.K. Gubernur Jawa Barat No.38 Tahun 1991). Upaya-upaya pengendalian beban BOD5 telah dilakukan oleh Pemda setempat untuk memenuhi baku mutu tersebut, yaitu melalui Prokasih dari tahun 1991 hingga sekarang. Disamping itu melalui Proyek Bandung Urban Development Program (BUDP) juga telah dibangun saluran tertutup untuk mengalirkan air limbah penduduk Kota Bandung ke IPAL Bojongsoang. Berdasarkan laporan hasil program Prokasih tersebut, 88% industri yang ada dalam DAS Sungai Citarum Hulu telah mengoperasikan instalasi pengolah air limbah (IPAL) dengan efisiensi penurunan BOD5 antara 50 s/d 60% ( BPLHD, 2001 ). Sedangkan hasil BUDP, sebagian besar air limbah penduduk Kota Bandung telah tersalur dan terkumpul serta diolah oleh IPAL Bojongsoang dengan efisiensi penurunan BOD5 dan NH4 antara 45 s/d 50%. Namun demikian kondisi DO air Sungai Citarum Hulu sampai saat ini, masih kurang dari baku mutu yang berlaku bahkan di beberapa ruas konsentrasi DO-nya 0 mg/l (Wangsaatmadja, 2007). Belum berhasilnya perbaikan konsentrasi DO tersebut, karena hingga sampai saat ini belum diketahui kemampuan pulih-diri DO dalam mencukupi kebutuhan oksigen untuk oksidasi materil pencemar dari luar badan air sungai. Menurut Tomann (1987), kemampuan pulih-sendiri DO air sungai dipengaruhi oleh adanya pengenceran DO air sungai dari anak-anak sungainya, kemampuan reaerasi sungai, kebutuhan DO untuk oksidasi karbon organik dan nitrogen an-organik di air sungai, laju peluruhan karbon organik dan

18

Eko Harsono / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 17-36

nitrogen an-organik dan kebutuhan oksigen sedimen sungai. Dalam penelitian ini, telah dibuat model lengkung kelenturan DO (DO-Sag Curve) badan air Sungai Citarum Hulu. Pada model tersebut telah dilakukan uji kelenturannya, yaitu dengan mengubah-ubah nilai parameter peubah kelenturannya. Sehingga dengan pendekatan ini telah diketahui kemampuan pulih-diri DO dan alternatif yang layak secara teknis untuk dekembangkan lebih lanjut dalam perbaikan DO air Sungai Citarum Hulu. BAHAN DAN METODE Penelitian ini melingkupi sungai Citarum Hulu sepanjang 46,20 km, yaitu mulai dari titik tengah penampang melintang Curugjompong (Km. 0) sampai dengan titik tengah penampang melintang Majalaya (Km. 46,2) (Gambar 1).

boundary), batas bawah (lower boundary), Lokasi sumber pencemar yang masuk ke dalam sungai yang jaraknya diukur dari titik pengukuran penampang melintang paling hilir sungai (Km.0), beban pencemar dari sumber yang masuk ke dalam sungai, dan data DO air sungai observasi untuk kalibrasi dan validasi model. Reach sungai merupakan sepenggal ruas sungai dengan karakteristik hidrolik (kemiringan, lebar dasar sungai, dan penampang melintang) yang seragam (Chapra,2006). Untuk mendekati persyaratan tersebut, pembagian reach dilakukan dengan menggunakan data sekunder pengukuran dimensi penampang melintang dan profil kemiringan dasar sungai dari dokumen perencanaan rinci (Detail Engineering Design) perbaikan Sungai Citarum Hulu yang telah diimplementasikan tahun 2001 s/d 2006 (Republic of Indonesia Ministry of Public

Daerah penelitian

Gambar 1. Sungai Citarum Hulu Lengkung kelenturan DO air Sungai Citarum Hulu dalam penelitian ini mengikuti kerangka pikir (frame-work) sistem kualitas air model QUAL2K (Chapra,2006). Untuk memperagakan lengkung kelenturan DO air sungai dari sistem tersebut diperlukan data masukan reach sungai, batas atas (upper Works Directorate Genaral Of Water Resource Development, 1992). Sedangkan hidrolik penampang melintang tiap reach yang telah diperoleh tersebut, dikarakterisasi dengan menerapkan persamaan power Leopold-Maddox (Chapra,1997). Variasi debit dan kecepatan

19

Eko Harsono / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 17-36

aliran dalam persamaan power LeopoldMaddox, dilakukan dengan mengubah-ubah kedalaman muka air pada penampang melintang sungainya. Debit aliran airnya dihitung dengan menggunakan metode Velocity-area, sedangkan kecepatan alirannya dihitung dengan formula Manning (Wanielista,1997). Lokasi sumber pencemar yang masuk (titik influen) ke dalam sungai Citarum Hulu, dalam penelitian ini berdasarkan pada hasil identifikasi dari penelitian sebelumnya (Harsono, 2009) (Gambar 2).

September 2007) dan kondisi aliran rata-rata (pertengahan musim penghujan, bulan April 2008). Debit aliran dihitung dengan metode Velocity-area, dimana kecepatan alirannya diukur dengan Current-Meter, dan luas penampang melintangnya diperoleh dari pengukuran kedalaman dan lebar saluran dari pengaliran sumber pencemar tersebut. Pengambilan contoh air dilakukan dengan metode Grab-Sampling. Sedangkan pengukuran DO air dilakukan di lapangan dengan Water Quality Checker Merk Horiba U-10. Contoh air yang telah diambil tersebut, kemudian disaring dengan kertas

Gambar 2. Lokasi Titik Masukan Aliran Air (influen) dan Titik Sampling di Sungai Citarum Hulu (Sumber: Harsono, 2009) Masukan beban pencemar ke dalam sungai yang sesuai dengan QUAL2K terdiri dari debit aliran, karbon organik sebagai BODfast, dan BODslow, nitrogen an-organik sebagai amonia-N dan nitrat+nitrit, dan konsentrasi DO air di setiap titik influen (Chapra, 2006). Untuk mendapatkan beban pencemar tersebut telah dilakukan pengukuran debit dan DO serta pengambilan contoh air di titik-titik influen pada kondisi aliran rendah (akhir musim kemarau, bulan millipore 0,45 dan dibawa segera (< 24 jam) ke laboratorium untuk dilakukan analisis parameter-parameter. Untuk analisis BOD5, amonia-N, Nitrit-N dan Nitrat-N digunakan metode standard. (APHA, 1995), sedang analisis TOC dilakukan dengan TOC meter merck Shimadzu type TOC 5000A. BODfast yang ekivalen dengan BOD terlarut akhir (BOD ultumate) adalah besarnya karbon organik yang langsung teroksidasi selama mengikuti perjalanan arus

20

Eko Harsono / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 17-36

di sungai, dimana besarnya dihitung menggunakan rumus sebagai berikut: BOD5 BODfast (Chapra,2006). 1 e k 5 Sedangkan BODslow yang didefinisikan sebagai karbon organik yang terhidrolisis terlebih dahulu dalam perjalanan mengikuti arus sungainya sebelum proses oksidasi karbon organik tersebut dilakukan, besarnya dihitung dengan dengan rumus sebagai berikut : BODslow=rocDOC BODfast (Chapra,2006). Dimana BOD5 adalah BOD5 dari contoh air tersaring (mg/l), e adalah bilangan napier dan k1 adalah laju oksidasi dalam botol sample dari karbon organik pada kondisi aerobic (1/hari), DOC adalah karbon organik terlarut yang dalam penelitian ini dipadankan dengan hasil analisis TOC terlarut (mg/l), dan roc adalah ratio konsumsi oksigen per karbon organik yang teroksidasi (gO2/gC). Laju oksidasi karbon (k1) persamaan tersebut dalam penelitian ini mendasarkan diri pada hasil penelitian terdahulu (Harsono,2010) (Tabel 1 ; 2 dan Gambar 2).
1

deferensial metode Runge-Kutta ordo ke 4, dan perhitungan reaerasi sungai menggunakan formula Thackston-Dawson (Chapra, 2006). Sedangkan untuk mendapatkan parameter model lengkung kelenturan DO, hasil hitungan yang telah diperoleh tersebut dikalibrasi dan diuji kesahihannya dengan data observasi. Kalibrsi menggunakan data masukan dan observasi dari pengambilan contoh air di akhir musim kemarau (aliran rendah). Untuk uji kesahihan menggunakan data masukan dan observasi dari pengambilan contoh air pertengahan musim penghujan (aliran rerata). Kalibrasi dan uji kesahihan tersebut mengunakan cara Trial and Error. Dimana parameter model telah terkalibrasi dan sahih apabila hasil hitungan mempunyai rerata kesalahan terhadap observasi () yang dihitung dengan sebagai berikut : = 0,05 Dimana, N = jumlah contoh. Untuk keperluan kalibrasi, uji kesahihan dan analisis lebih lanjut, bersamaan dengan pengambilan contoh air di titik-titik influent telah dilakukan pengukuran debit dan DO serta pengambilan contoh air Sungai Citarum Hulu di lokasi seperti dalam gambar 2. Dimana cara pengambilan contoh air, pengukuran debit dan DO, penanganan contoh air, analisis laboratorium dan perhitunganperhitungannya dilakukan dengan menggunakan metode yang sama seperti pengambilan contoh air di di titik-titik influen. Sedangkan untuk uji kelenturan, digunakan model lengkung kelenturan DO hasil perhitungan dari data masukan pengambilan contoh air di akhir musim kemarau (aliran rendah). Parameterparameter yang digunakan untuk pengujian adalah sebagai berikut,. - UC1 : pengenceran dengan peningkatan konsentrasi DO air di titik-titik influen, parameter model lainnya tetap,

Tabel 1. Laju Oksidasi (k1) di Ttitik Influen

Tabel 2. Laju Oksidasi (k1) Titik Sampling di Sungai

Dalam running untuk mendapatkan lengkung kelenturan DO hitung dipilih penyelesaian integrasi persamaann

21

Eko Harsono / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 17-36

- UC2 : peningkatan reaerasi sungai dengan peningkatan kemiringan dasar sungai, parameter model lainnya tetap, - UC2 : penurunan konsentrasi NH4 dan (NO2+NO3) air di titik-titik influen, parameter model lainnya tetap, - UC3 :adalah penurunan laju nitrifikasi NH4 air sungai, parameter model lainnya tetap, - UC4 : penurunan kebutuhan oksigen sedimen dengan mengurangan tutupan sedimen dasar, parameter model lainnya tetap, - UC4 : penurunan konsentrasi BODfast dan BODslow air di titik-titik influen, parameter model lainnya tetap, - UC5 : penurunan laju oksidasi BODfast dan BODslow air sungai, parameter model lainnya tetap, - UC6 : penurunan konsentrasi BODfast, BODslow, NH4 dan (NO2+NO3) secara

bersamaan, parameter model lainnya tetap. HASIL DAN PEMBAHASAN Dasar Sungai Citarum Hulu mempunyai elevasi bervariasi dari 645 s/d 664 m msl (mean sea level). Berdasarkan hasil interpolasi dari elevasi tersebut kemiringan dasar sungai dapat dibagi menjadi tiga ruas: i) Ruas hilir, km 0 5 dengan kemiringan 0,000667; ii) Ruas tengah, km 5 - 30 dengan kemiringan 0,000125; iii) Ruas hulu, km 30 46 dengan kemiringan 0,000342 (Gambar 3). Dengan kemiringan dasar sungai dan lokasi titik-titik influen yang demikian itu, maka Sungai Citarum Hulu dapat dibagi menjadai 116 reach. Dimana karakterisasi Leopold-Maddox dari penampang melintang setiap reach tersebut dapat dilihat dalam gambar 4.

Reach

Gambar 3. Reach Sungai Citarum Hulu

22

Eko Harsono / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 17-36

1.00 0.90 0.80 0.70 0.60 0.50 0.40 0.30 0.20 0.10 0.00 0 5 10 15 20 25 30 Jarak dari Curugjompong (Km) 35 40 45
Koefisien Eksponen

1.00 0.90 0.80 0.70 0.60 0.50 0.40 0.30 0.20 0.10 0.00 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 Jarak dari Curugjompong (Km)
Koefisien Eksponen

Gambar 4. Karakteristik Leopold-Maddox Penampang Melintang Tiap Reach di Sungai Citarum Hulu Karakter penampang melintang Sungai Citarum Hulu, yaitu karakter kecepatan terhadap debit aliran di ruas hulu dan hilir mempunyai kecenderungan yang relatif sama. Namun pada ruas tengah terutama pada Km. 16 s/d 23, pada debit yang sama kecepatan aliran sungainya lebih tinggi dibandingkan dengan ruas-ruas lainnya. Demikian juga dengan kedalaman muka air, pada debit yang sama di ruas Km 16 s/d 23 lebih dangkal bila dibandingkan dengan ruas-ruas lainnya (Gambar 4). Hasil pengukuran debit dan DO serta pengambilan contoh air di akhir musim kemarau (aliran rendah) disajikan dalam gambar 5. Debit aliran dari titik-titik influen, kecuali influen S. Ciwidey (4,842 m3/det) dan influen S. Citarik (1,314 m3/det) pada umumnya kurang dari 1 m3/det dan reratanya 0,473 m3/det (0,864 m3/det). Sedangkan total debit aliran titik-titik influen yang masuk ke dalam Sungai Citarum sebesar 15,3 m3/det, dan debit aliran sungai di stasiun 398 sebesar 15,1 m3/det (Gambar 5a). Berdasarkan pengamatan hanya 13 titik influen yang mempunyai konsentrasi DO air lebih dari 1 mg/l sedang sisanya di bawah 1 mg/l, dimana rerata DO air dari titik-titik influen tersebut adalah 1,82 mg/l (2,135 mg/l) (Gambar 5b), yang mana dapat diketahui total laju aliran DO dari titik-titik influen sebesar 44,137 mg/det, dan konsentrasi DO air Sungai Citarum yang awalnya antara 5 hingga 8 mg/l kemudian ke hilir semakin kecil hingga di stasiun 398 tinggal 0 mg/l atau laju aliran DO-nya tinggal 0 mg/det. Hasil perhitungan BODfast dan BODslow dari pengambilan contoh air di titik-titik influen dan air Sungai Citarum Hulu pada akhir musim kemarau, yang mana konsentrasi BODfast bervariasi dari 2,0 s/d 638,74 mg/l dan reratanya 152,046 mg/l ( 160,960 mg/l) serta BODslow bervariasi dari 2,70 s/d 1170,06 mg/l dan reratanya 422,687 mg/l ( 334,598 mg/l) (Gambar 5c; 5d) . Rasio antara rerata BODfast dengan BODslow tersebut diperoleh 0,35, dan total laju aliran dari titik-titik influen yang masuk ke dalam Sungai Citarum Hulu sebesar 1231,39 mg/det untuk BODfast dan 4178,032 mg/det untuk BODslow (Gambar 5c; 5d), sehingga dapat diketahui Sungai Citarum Hulu yang semula kandungan BODfast airnya 2,00 mg/l dan BODslow 2,7 mg/l makin ke hilir menjadi antara 81 s/d 100 mg/l dan kandungan BODslow menjadi antara 81 s/d 100 mg/l, hingga di stasiun 398 laju aliran BODfast nya sebesar 860,7 mg/det dan BODslow 3080,4 mg/det.

23

Eko Harsono / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 17-36

(a) Debit aliran (m3/det)

(b) DO air (mg/l)

(c)BODfast (mg/l)

(d)BODslow (mg/l)

(e) NH4 (mg/l)

(f) (NO2+NO3) (mg/l)

Gambar 5. Hasil Pengukuran Debit dan DO Serta Pengambilan Contoh Air Di Akhir Musim Kemarau Sementara itu diketahui bahwa, konsentrasi NH4 dan (NO2+NO3) mempunyai rentang yang cukup lebar yaitu dari 0,000 hingga 31,020 mg/l dan rentang (NO2+NO3) antara 0,000 hingga 1,211 mg/l, dimana rerata konsentrasi NH4 dari titik-titik influen tersebut sebesar 9.724 mg/l ( 9.499 mg/l) dan (NO2 + NO3) sebesar 0.604 mg/l ( 0.633 mg/l) (Gambar 5e; 5f). Total laju aliran NH4 dari titik-titik influen yang masuk ke dalam Sungai Citarum Hulu sebesar 117,8 mg/det dan (NO2+NO3) sebesar 7,02 mg/det (Gambar 5e; 5f), yang mengakibatkan air Sungai Citarum Hulu ruas hulu konsentrasinya NH4 antara 0 s/d 2 mg/l dan (NO2 + NO3) antara 0,358 s/d 0,44 mg/l, air Sungai Citarum Hulu ruas tengah konsentrasinya NH4 meningkat menjadi antara 16 s/12 mg/l dan (NO2+NO3) menurun hingga 0,194 s/d 0,276mg/l, dan air Sungai Citarum Hulu ruas hilir konsentrasinya NH4 kembali turun hingga

24

Eko Harsono / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 17-36

10 s/d 12 mg/l dan (NO2+NO3) juga turun menjadi 0,112 s/d 0,194 mg/l, hingga pada akhirnya di stasiun 398 laju aliran NH4 menjadi sebesar 117,93 mg/det dan (NO2+NO3) sebesar 6,3 mg/det. Berdasarkan hasil pengukuran debit dan DO serta pengambilan contoh air pada pertengahan musim penghujan (aliran ratarata) (Gambar 6), titik-titik influen yang pada akhir musim kemarau (Gambar 5) tidak ada alirannya pada musim pertengahan musim penghujan ini semua titik influen yang teridentifikasi telah mempunyai aliran

air. Debit aliran air di titik-titik influen bervariasi dari 0,004 m3/det hingga 6,96 m3/det dengan rerata sebesar 0,760 m3/dt (1,26 m3/det) (Gambar 6a), dan total debit aliran dari titik-titik influen tersebut yang masuk ke dalam Sungai Citarum Hulu sebesar 38,01 m3/det, dan debit aliran Sungai Citarum Hulu di stasiun 398 sebesar 37,3 m3/det. Konsentrasi DO di titik-titik bervariasi dari 0 mg/l hingga 7,7 mg/l dengan sebesar 2,45 mg/l (1,93 mg/l) (Gambar 6b), dari titik-titik tersebut telah memasok DO sebesar 121,54 mg/det, dan

(a) Debit Aliran (m3/det)

(b) DO air (mg/l)

(c) BODfast (mg/l)

(d) BODslow (mg/l)

(e) NH4

(f) NO2 +NO3

Gambar 6. Hasil Pengukuran Debit dan DO Serta Pengambilan Contoh Air di Akhir Musim Kemarau

25

Eko Harsono / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 17-36

laju aliran DO Sungai Citarum Hulu di stasiun 398 sebesar 3,37 mg/det. Titik-titik influen airnya mempunyai konsentrasi BODfast bervariasi mulai dari 2,0 mg/l hingga 311,43 mg/l, dan BODslow bervariasi dari 27 hingga 1242,10 mg/l (Gambar 6c; 6d), dengan rerata konsentrasi air dari titiktitik tersebut sebesar 46,79 mg/l ( 60,66 mg/l) untuk BODfast dan 169,21 mg/l ( 225,97 mg/l) untuk BODslow. Berdasarkan data tersebut diketahui, total laju aliran yang masuk ke dalam Sungai Citarum Hulu sebesar 1016,51 mg/det untuk BODfats dan 4020,30 mg/det untuk BODslow, serta laju aliran Sungai Citarum Hulu di stasiun 398 BODfast -nya sebesar 895,2 mg/det dan BODslow nya sebesar 3580,8 mg/det. Sedangkan rerata dari variasi konsentrasi NH4 maupun (NO2+NO3) titik-titik influen yaitu, sebesar 4,561 mg/l ( 4,834 mg/l) untuk NH4 dan 0,534 mg/l ( 0,576 mg/l) untuk (NO2+NO3) (Gambr 6e; 6f), dan diperoleh total laju aliran titik-titik influen yang masuk ke dalam SungaiCitarum Hulu sebesar 157,144 mg/det untuk NH4, dan sebesar 63,076 mg/det untuk (NO2+NO3), diimana laju aliran sungai Citarum Hulu di stasiun 398 adalah sebesar 168,194 mg/det untuk NH4 dan sebesar 27,076 mg/det untuk (NO2+NO3). Data total laju aliran dari titik-titik influen di pertengahan musim penghujan

dibandingkan dengan hasil akhir musim kemarau, debitnya naik 64,28%, DO airnya naik 175,4%, BODfast airnya turun 17,45%, BODslow airnya turun 3,8%, NH4 airnya naik 33,42%, dan laju aliran (NO2+NO3) airnya naik 807,02% Sedangkan pada stasiun 398 di Sungai Citarum Hulu, di pertengahan musim penghujan laju aliran debit airnya naik 147,2%, DO airnya naik dari 0 mg/det menjadi 3,37 mg/det, BODfast airnya naik 4%, BODslow airnya naik 16,25%, NH4 airnya naik 398 42,6%, dan laju aliran (NO2+NO3) naik 330,0% dibandingkan dengan hasil di akhir musim kemarau. Dengan data masukan debit aliran, DO, BODfast, BODslow, NH4, (NO2+NO3) dari titik-titik influen yang diambil pada akhir musim kemarau dan pertengahan musim hujan tersebut, serta melalui trial and error telah diperoleh parameter model lengkung DO Sungai Citarum Hulu yang telah terkalibrasi dan telah teruji kesahihannya dengan DO observasi (Tabel 3), dengan lengkung DO air sungai tersebut dapat dilihat dalam gambar 7. Hasil perhitungan kalibrasilengkung kelenturan DO dengan observasi mempunyai kecenderungan yang sama, dan hasil observasi masih berada dalam rentang maksimum dan minimum hasil perhitungan (Gambar 7a), yang mana berdasarkan perhitungan kesalahan hasil perhitungan

Tabel 3. Parameter Model

26

Eko Harsono / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 17-36

lengkung DO tersebut terhadap observasi, rerata kesalahnya sebesar 0.019 (< 0,05). Untuk uji kesahihan, hasil observasi masih berada dalam rentang lengkung kelenturan DO maksimum dan minimum hasil perhitungan, dimana berdasarkan rerata kesalahannya terhadap observasi sebesar 0,0012 yang masih kurang dari 0,05 (Gambar 7b). Ini berarti parameter model lengkung DO yang diperoleh telah terkalibrasi serta sahih. Dengan demikian model lengkung DO tersebut, dapat digunakan untuk uji kelenturan (Gambar 8). (a)

kemiringan dasar sungai (UC2) ternyata telah berdampak pada kenaikan DO air sungai di sekitar ruas kilometer 15 s/d 23 hingga lebih tinggi dari model acuhannya, sedang pada ruas-ruas sungai lainnya meskipun sedikit namun lebih tinggi dari model acuhannya. Rerata perbedaan antara lengkung DO hasil perlakuan ini terhadap model acuhannya adalah sebesar 0,0623 mg/l. Rerata tersebut lebih dari 0,05 mg/l, ini berarti kelenturan lengkung DO acuhan peka terhadap peningktan kemiringan dasar sungai. (b)

Gambar 7. Hasil Perhitungan dan Observasi Lengkung DO Sungai Citarum Hulu


(a : Hasil kalibrasi, b : Hasil uji kesahihan)

Hasil perlakuan UC1 terhadap lengkung DO acuhan, terlihat bahwa dampak dari peningkatan konsentrasi DO air di titiktitik influen hingga 7 mg/l tersebut, hanya terjadi secara berarti pada kenaikan konsentrasi DO air sungai di ruas muaramuara influen anak-anak sungai yang besar seperti sungai Citarik, Cikeruh, Cisangkuy dan sungai Ciwidey (Gambar 8a). Sedangkan lengkung DO pada ruas-ruas sungai lainnya tidak mengalami perubahan secara berarti. Dimana rerata kesalahan lengkung DO hasil perlakukan peningkatan konsentrasi DO tersebut hingga 7 mg/l terhadap model acuhannya adalah sebesar 0,0492. Kesalahan tersebut kurang dari 0,05, ini dapat diartikan kelenturan lengkung DO acuhan tersebut tidak peka terhadap peningkatan konsentrasi DO air di titik-titik influen hingga 7 mg/l. Peningkatan

Perlakuan dengan penurunan kn air sungai hingga 0/hari maupun penurunan konsentrasi NH4 dan (NO2+NO3) titik-titik influen hingga 0 mg/l, hasil lengkung DOnya masih serupa dengan model acuhannya (Gambar 8b). Rerata kesalahan lengkung DO dari dua perlakukan tersebut dengan model acuhan sama besarnya, yaitu 4,416E-6. Demikian pula dengan perlakukan penurunan luasan tutupan sedimen sungai hingga 0% dan SOD sungai hingga 0 O2/m2/hari, dimana hasil lengkung DO-nya masih serupa dengan model acuhannya. Rerata kesalahan lengkung DO hasil perlakuan penurunan tutupan sedimen dan SOD tersebut terhadap model acuhannya, adalah sebesar 0,0034 atau masih kurang dari 0,005. Melihat rerata kesalahan lengkung DO hasil perlakuan-perlakuan tersebut yang kurang dari 0,005 ini dapat

27

Eko Harsono / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 17-36

diartikan bahwa, lengkung DO acuhan kelenturannya tidak peka terhadap penurunan konsentrasi NH4 dan (NO2+NO3), penurunan kn sungai, dan penurunan tutupan sedimen serta SOD sungai Semakin besar pengurangan kdc dan kdcs serta BODfast dan BODslow maka hasil simulasi lengkung DO-nya semakin
8 7 6 DO (Mg/l) 5 4 3 2 1 0 0 10 20 30 40 Jarak d ari Curug jo m p o ng (K m )

berbedadengan model acuhannya (Gambar 8c; 9d). Perbedaan terhadap model acuhannya tersebut akan semakin nyata bila dilakukan simulasi lengkung DO dengan pengurangan konsentrasi BODfast, BODslow, NH4 dan (NO2+NO3) secara bersamaan di semua titik influen (Gambar 8e).

M odel Slope dasar sungai 0,000667 Peningkatan DO influen 7 m g/l


DO (Mg/l)

7 6 5 4 3 2 1 0 0

M odel Konsentrasi NH4 dan (NO2 + NO3) 0 m g/l SOD 0/hari dan tutupan sedim en 0 % kn dari NH4 dan (NO2 + NO3 ) 0/hari

10 20 30 40 Jarak dari Curugjompong (Km)

(a)

(b)

(a)

(b)

(c)

(d)

(e) Gambar 8. Hasil Uji Kelenturan Lengkung DO sungai Citarum Hulu


(a) Hasil uji kelenturan dengan menaikan konsentrasi DO air influen hingga 7 mg/l dan peningkatan kemiringan dasar sungai hingga 0,000667, (b) Hasil uji kelenturan dengan menurunkan konsentrasi NH4 dan (NO2 + NO3) titik-titik influen serta SOD dan k n sungai, (c) Hasil uji kelenturan dengan menurunkan kdc dan kdcs badan air sungai, (d) Hasil uji kelenturan dengan penurunan konsentrasi BODfast dan BODslow air di titik influen, (e) Hasil lengkung DO dengan penurunan konsentrasi BODfast, BODslow, NH4 dan (NO2+NO3) secara bersamaan di semua titik influen.

28

Eko Harsono / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 17-36

Gambar 9. Hasil Perhitungan Perbedaan Hasil Simulasi Terhadap model Acuhan Nilai rerata perbedaan lengkung DO perhitungan dengan observasi dari pengurangan konsentrasi BODfast dan BODslow serta pengurangan konsentrasi BODfast, BODslow, NH4 dan (NO2+NO3) titik-titik influen terhadap model acuhannya, mulai pengurangan 10% sampai dengan 30% masih serupa dengan model acuhannya (Gambar 9). Namun rerata tersebut setelah mencapai pengurangan 40% mulai berbeda dengan model acuhannya, dimana besarnya rerata tersebut 0,0691 untuk pengurangan BODfast dan BODslow serta sebesar 0,0692 untuk pengurangan BODfast, BODslow, NH4 dan (NO2+NO3). Sedangkan untuk kdc dan kdcs, mulai pengurangan 10% hingga pengurangan 40% masih serupa dengan model acuhannya, namun setelah pengurangan 50% yang rerata kesalahannya sebesar 0,089 mulai berbeda secara berarti dengan model acuhannya. Dari gambar 9 juga dapat dilihat bahwa kurva rerata kesalahan berbentuk eksponensial, dimana sejak dari pengurangan 10% hingga 80% masih landai namun setelah pengurangan 90% rerata kesalahannya meningkat dengan cepat. Dalam pembagian reach (gambar 3), pada ruas hulu jumlah reach sedikit dengan panjang 3,032 s/d 5,362 km karena penampang melintang pada ruas ini relatif seragam dan jumlah titik influennya sedikit. Lain halnya dengan ruas tengah dan hilir yang mempunyai panampang melintang relatif tidak seragam dan ferkuensi masukan titik influen semakin tingggi. Disamping itu untuk mengetahui pengaruh dari setiap influen, maka setiap reach diusahakan dapat mewakili influen tersebut, sehingga pada ruas tengah dan hilir banyak dibuat reach yang pendek-pendek dengan jarak antar penampang melintangnya juga semakin rapat. Seperti telah diuraikan sebelumnya, karakteristik penampang melintang tiap reach tersebut menerapkan persamaan Leopold-Maddox (Gambar 4). Apabila eksponen b dengan dari persamaan Leopold-Maddox dari setiap penampang reach tersebut dijumlah, maka nilai jumlah b dengan bervariasi, yaitu dari 0,6 sampai <1, dengan rata-rata 0,8227 (Gambar 10).

Gambar 10. Penjumlahan Eksponen Karakteristik Penampang Melintang Tiap Reach di Sungai Citarum hulu

29

Eko Harsono / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 17-36

Menurut Chapra (2006), jumlah ekponen dari karakteristik penampang melintang Leopold-Maddox harus 1. Jumlah dua eksponen tersebut apabila 0,5 maka bentuk penampang melintang sungainya trapesium, lebih dari 0,5 tetapi kurang dari 1 maka bentuk penampang melintangnya segi empat, dan apabila jumlah dua eksponen tersebut lebih dari satu maka lebar penampang melintang sungai akan berkurang dengan kenaikan aliran sungainya. Apabila kriteria ini diterapkan pada hasil penjumlahan b dengan (Gambar 10), maka rerata bentuk penampang melintang Sungai Citarum Hulu adalah segi empat yang lebar basah penampang melintang sungainya tidak akan berkurang dengan kenaikan alirannya. Rerata bentuk penampang melintang Sungai Citarum Hulu yang demikian itu, apabila ada penambahan debit aliran, maka kedalamannya akan bertambah namun lebar basah penampang melintangnya cenderung tidak bertambah dan permukaan air dari reach juga tidak bertambah. Sehingga peningkatan kemampuan reaerasi di sungai tersebut hanya karena adanya peningkatan turbulensi yang disebabkan oleh peningkatan kecepatan aliran airnya. Namun apabila ditinjau dari setiap reach yang telah dibuat di Sungai Citarum Hulu, ruas sungai Km. 16 s/d 23 mempunyai kemampuan pengaliran air yang lebih tinggi, dan kemampuan kenaikan kedalamannya lebih rendah dibandingkan dengan reach-reach di ruas sungai hulu maupun di hilir. Disamping itu pada kilometer tersebut nilai penjumlahan b dengan mendekati 0,5, maka pada ruas ini pada debit yang sama dengan ruas-ruas yang lain akan mempunyai luas permukaan air yang lebih luas, sehingga reaerasinya lebih tinggi dibanding ruas-ruas sungai lainnya. Hal tersebut juga dapat dilihat dari hasil DO observasi (Gambar 7), meskipun pada ruas sungai Km. 16 s/d 23 tedapat banyak masukan dari influen namun DO air masih lebih tingggi dibandingkan ruas di hilir dan hulunya.

Dari kalibrasi dan uji kesahihan parameter model (Tabel 3), telah diperoleh kdc 0,47/hari, kdcs 0,01/hari, kn 0,06/hari, kdn 0,004/hari, dan SOD 6 gO2/m2/hari. Penelusuran dalam studi pustaka, telah diperoleh parameter model laju oksidasi BODfast (kdc) dan BODslow (kdcs) 0,05 ~ 0,5/hari, laju nitrifikasi amonia-N (kn) 0,05 ~ 0,5/hari dan laju dinitrifasi nitrat-N (kdn) 0,001 ~ 1/har (Chapra, 1997). Disamping itu juga telah diperoleh acuhan kebutuhan oksigen sedimen (SOD), yaitu untuk sungai alami hingga tingkat pencemaran rendah 0,1 ~ 1,0 gr.O2/m2/hari dan untuk sungai agak tercemar hingga tercemar berat 5 ~ 10 gr.O2/m2/hari (Schnoor,1996). Apabila hasil kalibrasi parameter-parameter tersebut dibandingkan dengan hasil penelusuran pustaka, maka hasil kalibrasi kdc, kdcs, kn, kdn dan SOD masih dalam rentang tersebut. Dengan demikian hasil kalibrasi parameterparameter model tersebut, selain sahih juga sesuai dengan hasil peneliti-peneliti pendahulu. Disamping itu berdasarkan kriteria SOD tersebut, maka sungai Citarum termasuk pada sungai yang agak tercemar hingga tercemar berat. Sungai dapat dianggap sebagai reaktor alami (Chapra, 1997). Apabila Sungai Citarum Hulu mengikuti anggapan tersebut, maka masukannya dari titik-titik influen dan keluarannya (effluent) adalah dari stasiun 398 di sungai. Dengan demikian dalam pembahasan ini akan berdasarkan pada perbandingan antara hasil akumulasi laju masukan aliran dari titik-titik influen dengan laju aliran dari stasiun 398. Dari hasil pengukuran pada saat pengambilan contoh air, selisih antara akumulasi laju aliran DO dari titik-titik influen dengan laju aliran DO sungai di stasiun 398 sebesar 44,137 mg/det pada akhir musim kemarau dan 119,14 mg/det pada pertengahan musim penghujan. Padahal selisih antara akumulasi laju aliran air dari titik-titik influen dengan laju aliran air sungai di stasiun 398 cenderung sama, yaitu 0,2 m3/det untuk akhir musim kemarau

30

Eko Harsono / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 17-36

dan 0,72 m3/det untuk pertengahan musim penghujan. Dengan demikian apabila pasokan DO Sungai Citarum Hulu hanya dari titik-titik influen, berarti pasokan DO dari 2 pengambilan contoh air tersebut defisit selama perjalanan mengikuti aliran sungai pada ruas sebelum stasiun 398. Hal ini juga terlihat dari hasil simulasi dengan penampang hanya meningkatkan konsentrasi DO air di titik-titik influen hingga 7 mg/l, dimana hasil hitungan lengkung DO air sungainya masih tidak berbeda dengan model acuhan, atau tidak dapat meningkatkan profil lengkung DO secara berarti. Hal ini membuktikan, pada kondisi beban saat ini apabila hanya mengandalkan pasokan DO dari titik-titik influen maka Sungai Citarum Hulu pada kondisi aliran minimum hingga reratanya tidak mampu meningkatkan konsentrasi DO airnya. Sumber DO sungai selain dari pasokan aliran DO dari titik-titik influen, juga dapat dari reaerasi sungai itu sendiri. Berdasarkan formula Thackston-Dawson (Chapra,2006), besarnya reaerasi tergantung pada radius hidrolik, kemiringan dasar sungai, kedalaman sungai dan lebar basah dari penampang melintang sungainya. Hasil interpolasi kemiringan dasar sungai telah menunjukkan ruas hulu dan hilir mempunyai kemiringan lebih curam dibandingkan di ruas tengah. Sebaliknya karakter penampang melintang sungai ruas tengah lebih dangkal
25 ka(20) ,(1/hari) 20 15 10 5 0 0 5

dan lebar bila dibandingkan dengan penampang melintang di ruas lainnya. Dengan kondisi yang demikian itu, maka Sungai Citarum Hulu mempunyai kemampuan rearasi yang tinggi. Semetara ini Sungai Citarum Hulu telah di tingkatkan daya alirnya, yaitu dengan memperbaiki melintang dan pelurusan sungainya. Namun demikian di beberapa ruas masih terjadi banjir, sehingga muncul rencana peningkatan kecepatan alirnya dengan meningkatkan kemiringan dasar sungai yang ada. Apabila kemiringan dasar sungai tersebut ditingkatkan, maka kemampuan reaerasi sungai juga akan meningkat. Hal ini terlihat dari perhitungan reaerasi menggunakan formula Thackston-Dawson terhadap Sungai Citarum Hulu dengan meningkatan rerata kemiringan dasar yang paling curam dari keadaan sekarang, yaitu 0,000667 (Gambar 11). Kenaikan reaerasi telah terjadi mulai dari kilometer 5 ke arah hulu, dan kenaikan berarti pada ruas kilometer 15 s/d 23, yaitu naik 12/hari. Kemampuan reaerasi dengan peningkatan kemiringan Sungai Citarum Hulu tersebut, juga dapat menahan tekanan dari kebutuhan DO yang terjadi di badan air sungai. Sehingga lengkung DO hasil simulasi dengan peningkatan kemiringan dasar sungai tersebut juga telah terangkat dan berbeda dengan model acuhannya.

Model ka (2007) ka pada slope 0,000667

10 15 20 25 30 35 40 Jarak Dari Curugjompong (Km)

45

Gambar 11. Laju Reaerasi Sungai Pada Peningkatan Slope dan Model

31

Eko Harsono / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 17-36

Berdasarkan pada pembahahasan dua sumber DO air Sungai Citarum Hulu, yaitu pasokan konsentrasi DO dari titik-titik influen dan rearasi sungai. Maka dapat dikatakan, bahwa sumber DO pendukung kemampuan pulih sendiri DO Sungai Citarum Hulu lebih didominasi karena reaerasi sungai dibandingkan dengan peningkatan konsentrasi DO (pengenceran) dari titik-titik influennya. Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa, Sungai Citarum Hulu telah dianggap suatu reaktor yang airnya mengandung DO, yang mana masukan dari titik-titik influen ke dalam reaktor tersebut, airnya mengandung karbon organik (BODfast dan BODslow) dan nitrogen anorganik (NH4, NO2, dan NO3). Dengan demikian kandungan DO air dalam reaktor tersebut terlebih dulu digunakan untuk oksidasi karbn organik, sedang sisanya baru digunakan untuk proses nitrifikasi NH4 (Chapra,1997). Diketahui bahwa kebutuhan DO tersebut pada suhu air 20oC untuk proses nitrifikasi (Ron) sebesar 4,57 gr.O2/ gr.N , dan tipekal untuk oksidasi aerobik karbon organik (Roc) berkisar 2,69 gr.O2/gr.C . Dalam proses nitrifikasi, pemeran utamanya adalah bakteri aerobik murni yang sangat peka terhadap ketersediaan oksigen yang ada (Grady,1980). Apabila DO air yang tersedia 0,5 mg/l maka proses nitrifikasi akan berlangsung, sebaliknya apabila DO air < 0,5 mg/l maka proses tersebut berhenti (Chapra, 1997). Sementara itu hasil pengukuran air Sungai Citarum Hulu dari dua pengambilan contoh air, pada umumnya konsentrasi DO airnya kurang 0,5 mg/l. Dalam kondisi kekurangan DO yang demikian itu, maka proses nitrifikasi di air Sungai Citarum Hulu juga tidak berjalan. Hal ini terlihat pada pengambilan contoh air di akhir musim kemarau selisih NH4 sebesar -0,13% dan selisih (NO2+NO3) sebesar 10% , sedang pengambilan contoh air di pertengahan musim penhujan selisih NH4 sebesar -7,3% dan selisih (NO2+NO3) sebesar 57,5%. Dalam kondisi yang

demikian itu, meskipun konsentrasi NH4 dan (NO2 + NO3) di titik-titik influen diturunkan hingga 0 mg/l, maka dapat dikatakan DO air sungai Citarum juga tidak dapat meningkat. Hal ini juga terbukti dalam simulasi dengan pengurangan NH4 dan (NO2 + NO3) air di titik-titik influen hingga konsentrasi 0 mg/l , dimana hasil lengkung DO air sungainya tidak berbeda dengan model acuhan yang telah ditetapkan. Demikian juga dengan pengurangan kn yang merupakan karakter proses dari nitrifikasi. Pada kasus dimana konsentrasi DO air sungai kurang dari 0,5 mg/l yang menyebabkan proses nitrifikasi berhenti, maka akan terjadi proses dinitrifikasi dari NO3 ke NO2 menjadi NH4 yang akhirnya ke nitrogen (N2) (Grady,1980). Disamping itu pada kondisi miskin DO di air tersebut, akan terjadi pelepasan NH4 dari sedimen (Chapra, 1997). Kondisi yang demikian itu, diperkirakan juga terjadi di badan air sungai Citarum Hulu, dimana selisih NH4 di sungai yang negatif tersebut berarti tidak ada pengurangan yang terjadi, tetapi justru ada penambahan aliran massa NH4 di air sungai Citarum Hulu. Penambahan tersebut diperkirakan dari pelepasan sedimen dan proses dinitrifikasi. Pembahasan di atas memberi petunjuk bahwa, pada kondisi aliran dimana beban BODfast , BODslow , NH4 dan (NO2 + NO3) hadir bersamaan di dalam air sungai seperti pada saat pengambilan contoh di akhir musim kemarau. Maka kehadiran beban nitrogen anorganik dari titik-titik influen bukan faktor utama yang mengendalikan kemampuan memulihkan DO dari sungai Citarum Hulu. Hal tersebut juga terjadi pada hasil simulasi dengan pengurangan parameter kebutuhan oksigen dari sedimen (SOD). Oksidasi sedimen dasar sungai yang membutuhkan oksigen apabila sedimen tersebut dalam suasana aerobik (DO 0,5 mg/l). Kenyataannya DO air sungai Citarum Hulu kurang dari 0,5 mg/l. Sehingga DO yang tersisa untuk proses oksidasi di dalam

32

Eko Harsono / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 17-36

sedimen justru mengarah ke an-aerobik yang tidak perlu oksigen. Dengan demikian pada simulasi pembersihan sedimen hingga tutupan 0% dan kebutuhan oksigen sedimen hingga 0 gr.O2/m2/hari tidak dapat meningkatkan lengkung DO dari model acuhannya. Memperhatikan selisih antara akumulasi laju aliran BODfast dan BODslow air di titik-titik influen dengan sungai di stasiun 398. Pada akhir musim kemarau, selisih BODfast 30,10% dan BODslow 26,27%, sedangkan pada pertengahan misim penghujan selisih BODfast 11,93% dan BODslow 10,93%. Dengan mendasarkan diri pada selisih tersebut dan dihubungkan dengan kehilangan DO air sungai seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Maka selisih tersebut merupakan besarnya BODfast dan BODslow yang telah teroksidasi dengan menggunakan DO sebesar kehilangannya selama mengikuti aliran sungai hingga stasiun 398. Hal ini dibuktikan dari hasil simulasi lengkung DO dengan pengurangan konsentrasi BODfast maupun BODslow air di titik-titik influen. Semakin besar pengurangan konsentrasi BODfast dan BODslow, maka lengkung DO air sungai semakin meningkat dan semakin berbeda dengan model acuhannya. Dimana dengan pengurangan konsentrasi BODfast dan BODslow air di titik-titik influen hingga 40%, telah meningkatkan lengkung DO air sungai yang jelas bedanya dengan model acuhan. Pembuktian tersebut juga dikuatkan dengan simulasi pengurangan parameter proses oksidasi BODfast (kdc) dan BODslow (kdcs) yang terjadi di badan air sungai. Dimana semakin kecil kdc dan kdcs maka kinerja penggunaan DO juga semakin kecil, sehingga lengkung DO hasil simulasi juga semakin meningkat dan semakin berbeda dengan model acuhannya. Dari pembahasan di atas telah diketahui, bahwa pemakai utama DO air sungai Citarum Hulu adalah kehadiran karbon organik (BODfast dan BODslow). Dimana kurva rerata kesalahan hasil

simulasi lengkung DO dengan model acuhannya berbentuk eksponensial (gambar 10). Dimana dengan hanya menaikan beban 10% (dari 100% ke 90%), rerata kesalahan lengkung DO terhadap model acuhannya turun 15. Sebaliknya pengurangan dari 10% hingga 90% rerata kesalahannya naiknya sangat sedikit. Hal ini menunjukkan bahwa, kemampuan pulih sendiri DO air sungai Citarum Hulu sangat rentan sekali terhadap kehadiran beban karbon organik (BODfast dan BODslow). Pada simulasi dengan pengurangan BODfast dan BODslow titik-titik influen hingga 40%, sisa DO air sungai telah mulai meningkat. Apabila simulasi pengurangan tersebut dtingkatkan lagi hingga sisa DO telah cukup, maka proses nitrifikasi di badan air sungai tersebut juga dapat mulai berjalan. Sehingga kemampuan reaerasi sungai yang terjadi lebih dapat meningkatkan konsentrasi DO air sungai secara berarti. Kondisi yang demikian itu terlihat dari simulasi dengan pengurangan konsentrasi BODfast, BODslow, NH4 dan (NO2 + NO3) air di titik-titik influen secara bersamaan (gambar 8e). Oksidasi aerobik dari material karbon organik dan nitrogen anorganik yang hadir di dalam badan air sungai, merupakan pengguna utama DO yang ada di dalam air sungai (Thomann, 1987). Sehingga dapat dikatakan, apabila material tersebut tidak hadir maka DO air sungai mendekati kondisi alaminya. Demikian pula dengan sungai Citarum Hulu, kondisi alami tersebut telah diperagakan dengan Lengkung DO air sungai dari pengurangan konsentrasi BODfast, BODslow, NH4 dan (NO2 + NO3) titik-titik influen sebesar 100 % (gambar 8e). Hasil peragaan ini menunjukkan, dengan hanya menaikan beban 10% (dari pengurangan 100% ke 90%), maka rerata kesalahan lengkung DO terhadap model acuhannya turun 20 (lihat gambar 9). Kemudian pada pengurangan lebih rendah dari 90% kesalahannya makin linear, dimana DO air sungai yang tersisa semakin menjadi kendala dalam proses oksidasi aerobik, dan

33

Eko Harsono / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 17-36

aerasi sungai tidak dapat mengimbangi kebutuhan DO. Maka pada peragaan ini telah menunjukkan bahwa, Sungai Citarum Hulu sangat lemah kemampuan pulih-sendiri DO airnya. Berdasarkan pembahasan di atas dan memperhatikan upaya Prokasih yang telah berhasil mendorong lebih dari 80% industri yang ada di DAS Citarum Hulu untuk memasang IPAL dengan efisiensi penyisihan BOD mencapai 50 s/d 60%, dan program BUDP telah berhasil menyalurkan 75% air limbah penduduk kota Bandung ke dalam IPAL Bojongsoang yang efisiensi penyisihan BOD dan NH4 telah mencapai 45 s/d 50%. Sementara itu titik-titik influen dalam penelitian ini merupakan keluaran (out let) dari sub DAS anak Sungai Citarum Hulu yang melingkupi kawasan industri dan pemukiman, keluaran air limbah dari industri secara indvidual maupun kolektif, dan keluaran air limbah kawasan pemukiman. Dengan demikian contoh air yang telah diambil dari titik-titik influen tersebut, merupakan keluaran dari hasil pengurangan beban yang telah diupayakan oleh Prokasih dan BUDP. Sedangkan berdasarkan hasil simulasi pada debit aliran di akhir musim kemarau (debit aliran rendah), untuk mencapai kondisi DO air sungai sesuai dengan baku mutu yang berlaku ( 3 mg/l) diperlukan penurunan konsentrasi BODfast, BODslow, NH4 dan (NO2 + NO3) sebesar lebih dari 90% . Memperhatikan besarnya beban karbon organik dan nitrogen anorganik dari air limbah industri dan penduduk yang beraktivitas di DAS Citarum Hulu (Salim,2002 dan Bukit, 2002) dan hasil dari pengambilan contoh air yang telah dilakukan dalam penelitian ini dengan kondisi lengkung DO alami air Sungai Citarum Hulu hasil simulasi. Maka dapat dikatakan beban tersebut terlalu berat (over-load) bila dibandingkan dengan kemampuan pulihsendiri DO alami Sungai Citarum Hulu. Sementara itu, untuk memcapai DO baku

mutu di air Sungai Citarum hulu, dari hasil simulasi diperlukan penurunan konsentrasi BODfast, BODslow, NH4 dan (NO2 + NO3) sebesar lebih dari 90% . Pada kondisi yang demikian itu, maka diperlukan IPAL canggih yang operasinya sangat rumit dan memerlukan biaya tinggi (Metcalf, 1991). Padahal faktor utama yang menjadi kendala belum berhasilnya Prokasih dalam pengendalian pencemaran tersebut adalah biaya dan kemampuan sumber daya manusia dalam operasional IPAL (Tim PROKASIH, 2007). Maka upaya Prokasih dalam perbaikan DO air Sungai Citarum Hulu tersebut, dapat diperkiran kemungkinan berhasilnya sangat kecil. KESIMPULAN Model sistem kualitas air QUAL2K dapat untuk meperagakan proses kejadian DO akibat beban buangan karbon organik dan nitrogen anorganik di badan air Sungai Citarum Hulu. Dimana hasil simulasi dari model tersebut dapat diketahui: - kemampuan pulih-diri DO air Sungai Citarum Hulu pada kondisi aliran rendah hingga aliran reratanya serta kondisi beban karbon organik dan nitrogen anorganik seperti saat penelitian dilakukan, sulit ditingkatkan. Demikian juga dengan hasil simulasi peningkatan konsentrasi DO air dan penurunan konsentrasi nitrogen anorganik influen, penurunan laju nitrifikasi nitrogen anorganik pada air Sungai Citarum Hulu serta pembersihan sedimen dasar masih tidak dapat meningkatkan kemampuan pilih-diri sungai tersebut. - Sedangkan melalui peningkatan kemiringan dasar sungai, penurunan konsentrasi karbon organik di titik-titik influen, penurunan laju oksidasi karbon organik di sungai, dan penurunan konsentrasi karbon organik dan nitrogen anorganik secara bersamaan di titik-titik influen dapat menaikan kemampuan

34

Eko Harsono / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 17-36

pulih-sendiri DO air Sungai Citarum Hulu pada kondisi aliran rendah hingga aliran reratanya. REKOMENDASI Mengingat daya pulih-sendiri DO Sungai Citarum Hulu sangat lemah, sehingga diperlukan kemampuan penyisihan konsentrasi BODfast, BODslow, NH4 dan (NO2 + NO3) lebih dari 90%. Untuk itu diperlukan pembatasan berkembangnya industri penghasil air limbah yang mengandung karbon organik dan nitrogen anorganik di dalam DAS Citarum Hulu, penggantian bahan dan proses produksi industri sehingga dapat memperkecil air limbah yang mengandung karbon organik dan nitrogen anorganik, dan penjatahan beban masukan karbon organik tiap titik influen yang dikombinasikan dengan peningkatan aliran rendah (low flow augmentation) dan peningkatan reaerasi sungai. DAFTAR PUSTAKA APHA.,1995, Standard Method for the Examination of Water and Wastewater, America Water Works Association and Water Pollution Control Federation, Washington DC. Bukit, N.T., & I.A.Yusuf, 2002, Beban Pencemaran Limbah Industri dan Status Kualitas Sungai Citarum, J. Teknologi Lingkungan, 3(2), 98 106. Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Pemerintah Propinsi Jawa Barat, 2001, Pola Pengendalian Pencemaran Air Di DAS Citarum Hulu s/d Tengah, Chapra. S.C., 2006, Qual2K : A Modeling Framework for Simulating River and Stream Water Quality (Version 2.04) : Documentation and User Manual, Civil and Environmental

Engineering Dept., Tufts University, Medford, MA. Chapra, S.C., 1997, Surface Water Quality modeling, New York, McGraw-Hill. Harsono, E., 2009, Identifikasi Titik-Titik Masukan Aliran Material Konsumer Oksigen Terlarut (DO) Air Sungai Citarum Hulu, Limnotek No.1, Vol. XVI, 33 45. Harsono, E., 2010, Pencirian Karbon Organik Air Sungai Citarum Hulu Dari Masukan Air Limbah Penduduk dan Industri, Journal Biologi Indonesia No.2, Vol. 6, 277- 288. Grady, C.P.L., & Lim, H.C., 1980, Biological Wastewater Treatment, Theory and Applications, Marcel Dekker inc., New York. Kantor Statistik Kota Bandung, 2007, Hasil Sensus Penduduk 2005, Perwakilan BPS Kantor Statistik Kota Bandung. Kantor Statistik Kabupaten Bandung, 2007, Hasil Sensus Penduduk 2005, Perwakilan BPS Kantor Statistik Kabupaten Bandung. Metcalf & Eddy, Inc., 1991, Wastewater Engineering, McGraw-Hill, Inc., New York. Republic Of Indonesia Ministry of Public Works Directorate General of Water Resources Development, 1992, Upper Citarum Basin Urgent Flood Control Project, Documents Tendering Construction Package A~F. Salim, H., 2002, Beban Pencemaran Limbah Domestik dan Pertanian Di DAS Citarum, J. Teknologi Lingkungan, 3(2), 107-111. Schnoor, J.L., 1996, Environmental Modeling, Fate and Transport of Pollution in Water, Air and Soil, John Wiley & Sins, Inc, New York. Thomann, R.T., 1987, Principles of Surface Water Quality Modeling and Control, Harper & Row, Publishers, New York.

35

Eko Harsono / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 17-36

Wangsaatmadja, S., 2007, Evaluasi Kebijakan Pengendalian Pencemaran Sungai Citarum Hulu Melalui Pendekatan Daerah Aliran Sungai Terpadu, J. Infrastruktur dan Lingkungan Binaan, 3(2), 68 79.

Wanielista, M., Kersten, R., & Ealin, R., 1997, Hydrology : Water Quantity and Quality Control, John Wiley & Sons, New York.

36

Tri Suryono et al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 37-48 LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 37-48

STATUS KONTAMINASI MERKURI DI RUAS SUNGAI CIKANIKI, JAWA BARAT Tri Suryonoa, Yoyok Sudarsoa, Awalina, Yustiawatia & M.S. Syawala
a

Staf Peneliti Puslit Limnologi-LIPI

Diterima redaksi : 12 Januari 2010, Disetujui redaksi : 23 Februari 2010

ABSTRAK Air Sungai Cikaniki adalah anak sungai dari Sungai Cisadane, di wilayah Jawa Barat, yang sebagian ruasnya mengalir melalui daerah aktivitas penambangan emas di Pongkor, Bogor. Logam berat terutama merkuri (Hg) sebagai bahan kimia untuk memisahkan bijih emas diduga telah mencemari perairan ruas Sungai Cikaniki. Tingkat pencemaran logam berat yang terjadi dalam suatu perairan dapat diketahui dengan melihat indeks kontaminasi logam beratnya yaitu dengan membandingkan konsentrasi logam berat daerah situs uji (test site) dengan konsentrasi logam berat daerah acuan (reference site). Hasil rata-rata perhitungan indeks kontaminasi logam berat Hg di air menunjukkan kondisi tercemar sedang dan cenderung tercemar berat. Nilai indeks kontaminasi berdasarkan data tahun 2006 antara 1,19 1,61; data tahun 2007 antara 1,04 1,29, sedangkan tahun 2008 indeks kontaminasinya 1,82 2,04. Hasil perhitungan indeks kontaminasi logam pada sedimen memiliki pola hampir sama dengan yang di perairan akan tetapi lebih tinggi dengan nilai indeks kontaminasi rata-rata sebesar 1,33 1,58 (2007) dan 1,47 1,71 (2008). Kata kunci : Status kontaminasi, merkuri, dan Sungai Cikaniki

ABSTRACT STATUS OF MERCURY CONTAMINATION IN THE RIVER SEGMENT CIKANIKI, WEST JAVA. Cikaniki River tributary of Cisadane River, in West Java, most of which flows through the area of gold mining activities in Pongkor, Bogor. Heavy metals, especially mercury (Hg) as a chemical to separate gold ore alleged to have polluted waters of the river segment Cikaniki. The level of heavy metal contamination that occurred in a water can be identified by seeing the index weight of metal contamination that is by comparing the concentration of heavy metals test site area with local heavy metal concentration reference site. Average yield calculation of the index of heavy metal contamination especially mercury in polluted water showed moderate and tend to be heavily polluted. Contamination index value based on 2006 data between 1.19 to 1.61; data from 2007 between 1.04 to 1.29, while the 2008 contamination index from 1.82 to 2.04. The result of calculation index of metal contamination in sediments have a pattern similar to that in the waters but higher contamination index value by an average of 1.33 to 1.58 (2007) and from 1.47 to 1.71 (2008). Key words : Contamination status, mercury, and Cikaniki river

37

Tri Suryono et al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 37-48

PENDAHULUAN Sungai Cikaniki adalah salah satu anak sungai dari Sungai Cisadane, yang berlokasi di Kabupaten Bogor Jawa Barat. Sungai Cisadane bagian hilir digunakan sebagai bahan baku air minum oleh PDAM untuk memasok kebutuhan sebagian masyarakat wilayah Jakarta dan Banten (Anonim, 2009). Aliran Sungai Cikaniki melintasi wilayah yang memiliki kandungan bijih emas, sehingga banyak aktivitas penambangan emas baik yang dilakukan secara legal seperti PT ANTAM maupun masyarakat yang dikenal dengan istilah PETI (Penambang Emas Tanpa Izin). Proses penambangan emas yang dilakukan oleh PT ANTAM secara umum lebih terkontrol termasuk dalam mengelola limbah sisa pengolahannya, akan tetapi proses pengolahan yang dilakukan oleh masyarakat pada umumnya sulit dikontrol termasuk sisa hasil limbahnya (Anonim, 2010). Sedimen dalam suatu badan air baik sungai maupun waduk dan danau merupakan salah satu hasil dari suatu proses-proses yang terjadi pada lingkungan. Proses ini bisa berlangsung secara alami maupun pengaruh dari aktivitas manusia. Pada sedimen terendapkan berbagai macam bahan pencemar yang semakin lama akan terakumulasi, yang mana pada kondisi tertentu bahan pencemar yang sudah terendapkan ini akan dilepaskan kembali ke kolom perairan jika terjadi perubahan terhadap lingkungan. Salah satu upaya mengetahui kualitas sedimen terutama berkaitan dengan bahan pencemar yang terakumulasi adalah dengan menentukan status kontaminasinya. Seperti telah diketahui bahwa dalam proses pemisahan bijih emas dari tanah digunakan unsur merkuri (Hg) yang merupakan unsur logam yang bersifat toksik. Menurut Frtstner (1983) & Whittmann, (1983) salah satu logam yang

mempunyai daya toksisitas yang kuat bagi makhluk hidup dan sebagian besar biota air adalah logam merkuri. Sumber pengkayaan alami dari logam tersebut bisa berasal dari mineral cinnabar (HgS) dan sedikit mineral sulfida lainnya seperti sphalerite (ZnS), wurtzite (ZnS), chalcopyrite (CuFeS), dan galena (PbS). Dari sumber aktivitas antropogenik, logam merkuri umumnya berasal dari industri amalgam, cat, komponen listrik, baterai, senyawa anti karat (anti fouling), fotografi, elektronik dan ekstraksi bijih emas (Effendi, 2003). Kadar merkuri pada perairan tawar alami berkisar antara 10 100 ng/liter, sedangkan di perairan laut berkisar antara < 10 30 ng/liter (Moore, 1991). Pencemaran merkuri sering dilaporkan menyebabkan efek toksisitas secara akut maupun kronis bagi biota air maupun kesehatan manusia (Brezonik et al.,1991; Shukla & Srivastata 1992; & Bisthoven et al., 1998). Seperti logam berat lainnya, merkuri pada ekosistem perairan mempunyai kecenderungan untuk berikatan dengan bahan partikulat, senyawa acid volatile sulphide (avs), besi, mangan oksihidroksida, dan bahan organik lainnya yang biasanya akan diendapkan menjadi partikel penyusun sedimen (Chapman et.al 1998; Frtstner 1983). Bentuk-bentuk senyawa merkuri di perairan mungkin sangat beragam bentuk maupun spesiesnya yang mana bentuk-bentuk tersebut turut dalam menentukan tingkat mobilitas, bioavailabilitas (Tessier, 1979) dan pada akhirnya menentukan toksisitasnya (Chapman et al., 1998). Tingginya konsentrasi logam pada air maupun sedimen belum tentu menyebabkan toksisitas atau bioakumulasi bagi biota air, jika ion yang bersifat tersedia (bioavailabilitas) terbatas (Power & Chapman 1992). Kebutuhan merkuri untuk kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh masyarakat (PETI) yang tercatat beroperasi

38

Tri Suryono et al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 37-48

600 orang, seperti dinformasi oleh Nasution (2004) dan Halimah (2002) sebesar 16,2 ton/bulan. Selama ini proses pencucian atau ekstrasi bijih emas masih dilakukan secara tradisional dan dikhawatirkan sebagian dari merkuri tersebut akan masuk ke Sungai Cikaniki dan Cisadane dan berpotensi menimbulkan gangguan ekologi bagi biota yang hidup pada kedua sungai tersebut dan efek lanjutannya kepada kesehatan masyarakat sekitarnya yang akan terkontaminasi logam berat khususnya merkuri. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat status kontaminasi merkuri total pada sedimen Sungai Cikaniki berdasarkan indeks pencemaran logam.
Kode Lokasi St. 1 Cikaniki Hulu Posisi E = 1060 32 14,47 S = 060 44 46,79 E = 1060 33 24,5 S = 060 38 19,3

BAHAN DAN METODE Lokasi Penelitian Penelitian mengenai kontaminasi merkuri total di ruas Sungai Cikaniki dilakukan pada bulan Maret, Mei, Agustus tahun 2006 dan 2007, sedangkan tahun 2008 diambil pada bulan Maret, Juni dan Agustus. Lokasi stasiun pengambilan berjumlah empat titik sepanjang aliran Sungai Cikaniki, yang terdiri dari satu lokasi di bagian hulu sebagai situs acuan (reference site) yaitu St. Cikaniki hulu di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun, sedangkan tiga lokasi berikutnya di ruas Sungai Cikaniki yaitu Desa Cisarua, Curugbitung dan desa Lukut merupakan situs uji (test sites)(Gambar 1).
Keterangan Kawasan hutan lindung TN Gunung Halimun Tidak ada perumahan penduduk Kondisi masih alami Terdapat rumah-rumah penduduk Lahan persawahan dan perkebunan masyarakat Banyak masyarakat yang melakukan pengolahan emas dengan gelundungan Jarang rumah penduduk. Kawasan persawahan Terdapat peternakan ayam Terdapat bekas-bekas pengolahan emas dengan gelundungan Kanan kiri bantaran sungai terdapat rumahrumah penduduk Terdapat DAM pengendali banjir Lokasi setelah pertambangan emas PT ANTAM.

Tabel 1. Kondisi Lokasi Pengambilan Contoh Air dan Sedimen di Ruas Sungai Cikaniki.
St. 3 Curugbitung E = 1060 32 31,0 S = 060 37 03,5 -

St. 2

Cisarua

St. 4

Lukut

E = 1060 32 50,8 S = 060 34 50,1

39

Tri Suryono et al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 37-48

Gambar 1. Lokasi Pengambilan Contoh Air dan Sedimen di Sungai Cikaniki Analisis Contoh Pada setiap lokasi pengambilan contoh diambil contoh air sebanyak 1 liter dengan menggunakan botol kaca kemudian disaring dengan menggunakan GF/F lalu ditambahkan 1 ml H2SO4, 1 ml HNO3, 2 ml KMNO4 (50g/L) dan 1 ml K2S2O8 (80g/L) selanjutnya dikompos dengan pemanasan
40

pada suhu 95oC selama 2 jam. Sisa KMnO4 dipisahkan dengan hydroxylaminchloride (10 %). selanjutnya dilarutkan menjadi 50 ml dengan labu ukur. Konsentrasi merkuri diukur dengan Mercury Analyzer Hiranuma Hg-300. Contoh sedimen diambil dari lapisan atas dengan sedok plastik bebas logam

Tri Suryono et al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 37-48

secukupnya, lalu contoh sedimen dikeringkan dalam suhu kamar (kering udara). Ditimbang dengan teliti sebanyak 0,5 gram contoh, kemudian ditambahkan 1 ml dari 36 N H2SO4 (1:1), 1 ml dari 15 N HNO3 dan 10 ml KMnO4 0,1 M, dikocok, lalu ditambahkan 5 ml K2S2O8 5%. Contoh yang sudah disiapkan dipanaskan dalam hot plate pada suhu 95 0C selama 2 jam, agar proses dekomposisinya menjadi sempurna, didinginkan pada suhu kamar/ruang lalu tambahkan 1 ml NH2OH.HCl 8%, kemudian disaring. Ambil 1 ml contoh ditambahkan air D-Min sampai tanda tera dan siap dianalisis dengan Mercury Analyzer HG-300 (Akagi & Nishimura 1991). Analisis Data Status kontaminasi merkuri total yang terdapat di air dan yang terakumulasi di sedimen dapat diketahui dengan menghitung indeks kontaminasi (W) yang di adopsi dari rumus indeks kontaminasi logam Widianarko et al., (2000). Hasil perhitungan indeks polusi dikategorikan belum terpolusi jika W 0, terpolusi ringan jika 0 W < 1, terpolusi sedang jika 1 < W 2 dan terpolusi berat oleh logam jika W > 2. W = Log (Ci/Coi)
i=1

Dimana : Ci = Konsentrasi logam I di sedimen atau air

Coi = Konsentrasi logam yang berfungsi sebagai latar belakang (background consentration) n = Jumlah dari logam\ Prediksi kemungkinan konsentrasi merkuri total dalam menimbulkan gangguan pada biota akuatik mengacu pada beberapa guideline seperti yang tercantum pada Tabel 2. Data hasil analisis merkuri total pada sedimen dan air pada setiap stasiun pengamatan diuji statistik dengan menggunakan analysis of variance atau ANOVA dua arah ( = 0,05) untuk mengetahui pengaruh perbedaan antar lokasi pengambilan contoh maupun perbedaan yang terjadi pada setiap tahun dari tahun 2006 sampai tahun 2008. Pengujian analisis statistik tersebut dilakukan dengan menggunakan software STATISTICA versi 6. Data hasil analisis merkuri total sebelum dilakukan analisis dengan Uji ANOVA dilakukan uji normalitas dengan menggunakan Kolmogorov-Smirnov. Jika nilai probabilitasnya (P<0,05), maka data tersebut diprediksi tidak normal dan harus dilakukan transformasi terlebih dahulu dengan menggunakan akar kuadrat () atau log(x+1). Data hasil analisis logam di sedimen yang mengikuti normalitas (p>0,05), maka dapat dilanjutkan dengan menggunakan analisis statistik ANOVA satu arah ( = 0,05), guna mengetahui adanya pengaruh lokasi titik sampling stasiun terhadap konsentrasi logam beratnya.

41

Tri Suryono et al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 37-48

Tabel 2: Daftar beberapa guideline Kualitas Merkuri pada Sedimen dari beberapa Negara.
TEL1 ERL LEL2 MET3 CB TEC EC-TEC4 NOAA ERL5 ANZECC ERL5 ANZECC ISQG-Low5 SQAV TEL-HA286 SQO Netherlands Target Hong Kong ISDG-Low7 Hong Kong ISDV-Low7 Flanders RV X8 EQS Human Health Items (Lake Biwa) Slightly Elevated Stream Sediments9

SQG

Hg
0,17 0,15 0,2 0,2 0,18 0,13 0,15 0,15 0,15 0,3 0,15 0,2 35 0,0005 0,07

Reference
A A A A A B C D D C D D F G H I

SQG, Sediment quality guideline; TEL, threshold effect level; ERL, effects range low; LEL, low effect level; CB, Consensus Based; TEC, threshold effect concentration; EC, Environment Canada; NOAA, Nation Oceanic and Atmospheric Administration; ANZECC, Australian and New Zealand Environment and Conservation Council; ISQG, Interim Sediment Quality Guidelines; SQAV, Sediment Quality Advisory Value; SQO, Sediment Quality Objective; ISQV, Interim Sediment Quality Value; RV, Reference Value; EQS, Environmental Quality Standart; MEL, Median Effect Level; FEDP, Florida Department of Environment Protection. 1 Same as Canadian Freshwater Sedimen Guidelines 2 Same as Ontario Ministry of Environment Screening Level Guidelines 3 Same as MEL in SQAVs 4 Same for FDEP Guidelines and Canadian Marine Sediment Quality Guidelines 5 Some values in NOAA and ANZECC are the same 6 All other SQAVs are the same as SQGs 7 ISQG and ISQV are the same for all metals except Hg 8 Reference values and class limits forrivers in Flanders;<X class1, <Y class 2, <Z class 4, >Z class 5 9 Classification of Illinois Stream Sediments a MacDonald et al. 2000b b Smith et al. 1996 c NOAA 1999 d ANZECC 1997 e Swartz 1999 f Chapman et al. 1999 g De Cooman et al. 1999 h Shiga Prefecture 2001

HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan indek kontaminasi merkuri total pada air di perairan ruas Sungai Cikaniki, pada pengambilan bulan Mei, Juli dan September 2006 menunjukkan setiap lokasi pengambilan contoh di wilayah uji (Cisarua, Curug Bitung dan Lukut) jika dibandingkan dengan daerah Cikaniki hulu (reference site) sudah dikategorikan tercemar sedang (Gambar 2). Indeks kontaminasinya berada pada kisaran 1 < W < 2 yaitu dengan kisaran nilai diperoleh antara 1,05 1,75. Hasil kisaran ini mengacu pada hasil perhitungan indeks kontaminasi tahun 2007 rata-rata tercemar sedang dengan kisaran nilai indeks kontaminasi sebesar 1,02 1,64, kecuali
42

untuk lokasi sampling Lukut bulan Maret 2007 dan Cisarua bulan Mei 2007 yang sudah tergolong tercemar ringan dengan nilai indeks pada kisaran 0,8 atau nilai w diperoleh 0 < W < 1. Kontaminasi merkuri total pada tahun 2008 rata-rata meningkat jika dibandingkan dengan tahun 2006 maupun 2007 dimana nilai indeks kontaminasinya sudah melampaui angka 2 (W > 2). Pada bulan Maret 2008 di lokasi sampling Curug Bitung dan Lukut (2,18 2,24). Pada bulan Juni 2008 lokasi Curug Bitung sudah tercemar berat (W > 2) dengan nilai indeks kontaminasi 2,06, dan pada bulan Agustus 2008 Cisarua juga sudah tergolong tercemar berat dengan nilai indeks sebesar 2,10.

Tri Suryono et al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 37-48

Gambar 2. Kontaminasi Merkuri Total di Air Sungai Cikaniki Hasil Perhitungan Adopsi Rumus Indek Kontaminasi Widiatmoko et. al. (2000). Kontaminasi merkuri total pada sedimen Sungai Cikaniki, berdasarkan indeks kontaminasinya menunjukkan bahwa di Cisarua pada setiap pengambilan contoh sudah tergolong tercemar sedang (1 < W < 2) dengan kisaran nilai 1,5 1,9, kecuali pada bulan Juni 2008 sudah tergolong tercemar berat karena nilai W > 2 dengan nilai indek sebesar 2,05 (Gambar 3). Pola yang ditunjukkan di Curug Bitung dan Lukut hampir sama yaitu pada pengambilan bulan Maret 2007, hasil perhitungan indeks kontaminasi merkuri masih tergolong tercemar ringgan (W < 1) dengan nilai indeks berturut turut sebesar 0,89 (Curug Bitung) dan 0,77 (Lukut). Kontaminasi logam menunjukkan peningkatan yang berfluktuasi dan tergolong tercemar sedang (1 < W < 2) dengan rentang nilai indek berkisar 1,36 1,84 (Curug Bitung), sedangkan di stasiun Lukut berkisar 1,16 1,83. Berdasarkan nilai indeks

Gambar 3.

Kontaminasi Merkuri Total di Sedimen Sungai Cikaniki Hasil Perhitungan Adopsi Rumus Indek Kontaminasi Widiatmoko et. al. (2000).

43

Tri Suryono et al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 37-48

kontaminasi merkuri total, di stasiun Curug Bitung mulai pengambilan bulan Juni dan Agustus 2008 sudah tergolong tercemar berat (W > 2) dengan kisaran nilai sebesar 2,17 2,19, sedangkan pada stasiun Lukut kondisinya tergolong tercemar berat pada pengambilan bulan Agustus 2008 dengan nilai indeks sebesar 2,03. Secara umum dari nilai indeks kontaminasi merkuri total di sedimen Sungai Cikaniki, pada lokasi di daerah Lukut lebih rendah dari pada di daerah Curug Bitung, kemungkinan hal ini tidak terlepas dari pengaruh keberadaan bendungan yang berada di bagian hulu dari Lukut. Hasil analisa statistik Anova satu arah ( = 0,05) hubungan antara konsentrasi logam merkuri total dan indek kontaminan logam total merkuri dengan lokasi pengambilan contoh, menunjukkan bahwa konsentrasi logam merkuri total baik pada sedimen maupun air pada ruas Cikaniki hulu berbeda nyata dengan konsentrasi hasil pengukuran di lokasi pengambilan contoh

Cisarua, Curug Bitung dan Lukut dengan nilai F = 3,52 dan p = 0,0076, sedangkan konsentrasi logam merkuri total pada setiap tahun pengambilan contoh dari hasil analisis factorial Anova juga menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan dengan nilai F = 6,35 dan p= 0,0082 (Gambar 4; 5). Terlihat adanya kecenderungan kenaikan konsentrasi merkuri setelah stasiun Cikaniki Hulu sampai stasiun Curug Bitung dan turun kembali pada stasiun Lukut. Hal ini diduga adanya pengaruh terhadap keberadaan bangunan dam sebelum stasiun Lukut, yang mana proses sedimentasi di dam akan membawa logam berat yang berada di kolom air ikut terendapkan dan tertahan dalam dam. Kenaikan konsentrasi merkuri pada stasiun Cisarua sampai Curug Bitung kemungkinan juga adanya pengaruh pertanian karena seperti diketahui bahwa garam-garam merkuri juga digunakan sebagai fumigant yang berperan sebagai pestisida (Sawyer & Mc Carty, 1978).

Stast; LS Means Wilks lambda=,39728, F(6, 36)=3,5193, p=,00765 Effective hypothesis decomposition Vertical bars denote 0,95 confidence intervals 30 25 20 15 10 5 0 -5 -10 KonsSed KonsAir

CH

Cs Stast

CB

Lk

Gambar 4. Konsentrasi Logam Total Hg di Air (ppb) dan Sedimen di Masing-masing Stasiun Pengamatan Ruas S. Cikaniki.
44

Tri Suryono et al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 37-48

Stast; LS Means Wilks lambda=,05205, F(6, 30)=16,916, p=,00000 Effective hypothesis decomposition Vertical bars denote 0,95 confidence intervals 2,5 2,0 1,5 1,0 0,5 0,0 -0,5 -1,0

CH

Cs Stast

CB

Lk

IKSed IKAir

Gambar 5. Kontaminasi Logam Total Hg pada Sedimen (mg/kg berat kering) di Masingmasing Stasiun Pengamatan. Garis Didalam Grafik Whisker & plot Menunjukkan Nilai Tengah/Median Indeks kontaminasi (IK) logam merkuri total pada sedimen (Gambar 5) memiliki pola yang sama dengan konsentrasi merkuri total di kolom air. Indeks kontaminasi pada sedimen juga lebih tinggi dibandingkan dengan yang terlarut di air untuk setiap stasiun pengambilan contoh, kecuali di stasiun Lukut hasil perhitungan indeks kontaminasi logam di air sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan indeks kontaminasi logam pada sedimen, kemungkinan kondisi ini banyak dipengaruhi oleh aktivitas masyarakat yang ada di sekitar lokasi pengambilan contoh yang membuang limbah rumah tangganya yang mengandung bahan merkuri seperti cat, komponen listrik, baterai dan eksraksi emas dan perak (Mc. Neely et al., 1979) ke perairan sungai. Kondisi arus sungai sendiri setelah melalui bangunan dam juga memberikan kontribusi terlepasnya kembali merkuri yang mengendap didasar sungai bersama sedimen menjadi teraduk yang menjadikan nilai indeks kontaminasi di
45

lokasi Lukut lebih tinggi dibandingkan dengan yang pada sedimen. Secara keseluruhan dari empat lokasi sampling (Cikaniki Hulu sampai Lukut) kontaminasi merkuri total pada sedimen lebih tinggi dibandingkan dengan kontaminasi di kolom air (Gambar 4; 5). Kondisi tersebut berhuhungan dengan kemampuan bahan partikulat (pada sedimen) mengikat unsur logam relatif sangat tinggi, dan konsentrasi logam dalam bahan partikulat bisa mencapai 1000 hingga 100.000 kali lipat dibandingkan dengan konsentrasi di dalam air (Frtstner 1983). Keberadaan logam berat terutama merkuri di alam atau perairan secara umum berasal dari proses pembentukannya seperti yang diungkapkan oleh Frstner (1983) yaitu proses pelapukan batuan (lithogenic) dan aktivitas antropogenik. Sementara itu Whittman (1983) lebih lanjut membagi empat proses yang mampu meningkatkan konsentrasi logam berat ke perairan yaitu: i) Proses pelapukan dari batuan dasar

Tri Suryono et al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 37-48

penyusun partikel sedimen; ii) Aktivitas proses industri dan rumah tangga yang melibatkan penggunaan unsur logam berat; iii) Proses leaching dari penumpukan sampah atau penimbunan limbah padat; , dan iv) Hasil ekskresi dari hewan dan tanaman yang mengandung logam berat. KESIMPULAN Kontaminasi logam khususnya merkuri total pada daerah uji ruas Sungai Cikaniki baik di air maupun di sedimen menunjukkan sudah tergolong tercemar sedang hingga berat dengan kecenderungan kontaminasi logan pada sedimen lebih tinggi. DAFTAR PUSTAKA H., & H. Nishimura, 1991, Speciation of Mercury in the Soil and Sediments Environment. P 57 76. In T. Suzuki et. Al. (ed) Advances in Mercury Toxicology. Plenum Press. Yew York. Anonim, 2009, Kala Sungai Cisadane Tercemar. http://www.indosiar.com/ ragam/39283/kala-sungai-cisadanetercemar. (Diakses tanggal: 22/04/ 2010;8:29:15). Anonim, 2010, Sungai Cikaniki Tercemar Limbah ANTAM.http://bataviase.co. id/node/115965. (diakses tanggal: 22/04/2010;14:46:17). Anonim, 1991, Quality Criteria for Lakes and Watercourses, A System for Classification of Water Chemistry and Sediment, and Organism Metal Concentration, the Swedish Environmental Protection Agency (SEPA), Sweden, 36 pp. ANZECC (Australian and New Zealand Environment and Conservation Council), 1997, ANZECC Interim Sediment Quality Guidelines. Report for the Environmental Research Akagi,

Institute of the Supervising Scientist. Sydney, Australia. APHA., 1995, Standard Methods. For Examination of Water and Wastewater, By M.C.Rand: A.E. Greenberg and M.J. Taras (Eds). 19 Th Edition, APPA-AWWA/ WEFW, USA, 1193p. Bisthoven L.J., J.P. Postma, P. Parren, K.R. Timmermans, F. Ollevier, 1998, Relation between Heavy Metal in Aquatic Sediments in Chironomus Larvae of Belgian Lowland Rivers and their Morphological Deformities, Can. J. Fish Aquat. Sci. 55: 688-703. Brezonik, P. L., S.O. King, & C.E. Mach, 1991, The Influence of Water Chemistry on Trace Metal Bioavailability and Toxicity to Aquatic Organisms. In M.C. Newman and A. W. McIntosh, Eds. Metal Ecotoxicology: Concepts and Applications. Chelsea, MA, USA: Lewis Publishers. Burton Jr A., 2002, Sediment Quality Criteria in Use Around The World, limnology 3: 65-75. Chapman, P.M., Allard P.J., & Vigers G.A., 1999, Development of Sediment Quality Values for Hong Kong Special Administrative Region: a Possible Model for other Jurisdictions, Mar Pollut. Bull. 38(3):161169. Chapman P.M., F. Wang, C. Janssen, G. Persoone, &b H.E. Allen, 1998, Ecotoxicology Of Metals In Aquatic Sediments: Binding And Release, Bioavailability, Risk Assessment, And Remediation, Can. J. Fish Aquat. Sci. 55: 2221-2243. De Coonman W, Florus M, Vangheluwe ML, Janssen CR, Heylen S, DePauw N, Rillaerts E, Meire P, & Verheyen R., 1999, Sediment Characterisation of Rivers in Flanders. The Triad Approach. Proceedings: CATS 4:
46

Tri Suryono et al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 37-48

Characterisation and treatment of sediments, 1517 Sept, Antwerpen, 351367 pp. Effendi Hefni, 2003, Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. 258 p. Frtstner, U., 1983, Chapter D: Metal Pollution Assessment from Sediment Analysis, in Metal Pollution In Aquatic Environment, Springer Verlag, Berlin Heidelberg, Germany, 110-196. Giesy, J.P., & R.A. Hoke, 1990, Freshwater Sediment Quality Criteria: Toxicity Bioasessment: Chapter 9, in R. Baudo, J.P. Giesy, H. Muntau: Sediments: Chemistry and Toxicity of In-Place Pollutants, Lewis Publishers. Inc., Ann Arbor Boca Raton Boston, Michigan, 265-348. Halimah, S., 2002, Pengkajian Pencemaran Merkuri dan Dampak Akumulasi-nya Akibat Kegiatan Penambangan Emas. Laporan Penelitian. Asdep Urusan Sarana Bapedal Kementerian Lingkungan Hidup. Jakarta. Janssens De Bisthoven, L., P. Nuyts, B. Goddeeris & F. Ollevier, 1998, Sublethal Parameters in Morphologically Deformed Chironomus Larvae: Clues to Understanding their Bioindicator Value. Freshwater Biology, 39: 179-191. Mac Donald D.D, Ingersoll C.G, & Berger TA., 2000, Development and Evaluation of Consensus-based Sediment Quality Guidelines for Freshwater Ecosystems. Arch Environ Contam Toxicol 39:2031. Mc Neely, R. N., Nelmanis, V. P., & Dwyer, L., 1979, Water Quality Source Book. A Guide to Water Quality Paramete. Inland Waters Directorate. Water Quality Branch. Ottawa, Canada. 89 p.
47

J.W., 1991, Living in the Environment. Seventh edition. Wadsworth Publishing Company, California. 705 p. Nasution, H., 2004, Kajian Toksisitas Sedimen Yang Terkontaminasi Merkuri Akibat Pertambangan Emas Tanpa Ijin (PETI) terhadap Daphnia sp. Di Sungai Cikaniki, Sub DAS Cisadane Hulu Kab. Bogor. Tenis Pascasarjana Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor.105 p. NOAA., (National Oceanic and Atmospheric Administration), 1999, Screening Quick Reference Tables (SquiRTs)<http://response.restoration .oaa.gov/cpr/sediment/squirt/squirt.ht ml>. Power, E.A., & P.M. Chapman, 1992, Assesing Sediment Quality. in Sediment Toxicity Assesment, G.A. Burton, ed. Chelsea Michingan: Lewis Publisher. 1-18. Roesijadi,G., & Robinson W.E., 1994, Metal Regulation in Aquatic Animals: Mechanisms of Uptake, Accumulation and Release. In: Mallins and Ostrander (ed) Aquatic Toxicology, Lewis Publishers, 539 p. S.K. Shukla & P.R. Srivastava, 1992, Water Pollution and Toxicology, Commonwealth Publishers New Delhi (India). 352 p. Sawyer, C.N., & Mc Carty, P.L., 1978, Chemistry for Environmental Engineering. Third edition. Mc Graw-Hill Book Company, Tokyo. 532 p. Shiga Prefecture, 2001, Water Quality of Lake Biwa (internet site). <http://www.pref.shiga.jp/biwako/ko ai/english/eng_04.htm> Smith, S.L., MacDonald D.D., Keenleyside K.A., Ingersoll C.G., & Field J., 1996, A Preliminary Evaluation of Sediment Quality

Moore,

Tri Suryono et al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 37-48

Assessment Values for Freshwater Ecosystems. J. Great Lakes Res. 22:624638. Swartz, R.C., 1999, Consensus Sediment Quality Guidelines for PAH Mixtures. Environ Toxicol Chem. 18:780787. Tessier, A., Cambell P.G.C., & Bisson, M., 1979, Sequential Extraction Procedure for the Spesiation of Particulate Trace Metals, Anal. Chem, V-51. P 844 851. Whittman, G.T.W., 1983, Chapter B, Toxic Metal, in : U. Frstner and G.T.W. Whittman: Metal Pollution in The Aquatic Environment, SpringerVerlag, Germany, 3-68p.

Widianarko, B., R.A. Verwij, A.M. Van Gestel, & N.M. Van Straalen, 2000, Spatial Distribution of Trace Metal in Sediments from Urban Streams of Semarang, Central Java, Indonesia, Ecotoxicology and Environmental Safety 46: 95-100. Yustiawati, M.S. Syawal, M. Terashima, & S. Tanaka, 2002, Speciation analysis of Mercury in River water in West Java-Indonesia, Proceeding of the International Symposium on Land management and Biodiversity in Southeast Asia, Bali, Indonesia, 439442.

48

LIMNOTEK (2010) 17 (2010) 17 Sigid Hariyadi et al. / LIMNOTEK(1) : 49-57 (1) : 49-57

PRODUKTIVITAS PRIMER ESTUARI SUNGAI CISADANE PADA MUSIM KEMARAU Sigid Hariyadia, Enan M. Adiwilagab, Tri Prartonoc, Sudodo Hardjoamidjojod & Ario Damarb
Mahasiswa Program Doktor-IPB Staf Pengajar Dep. Manajemen Sumberdaya Perairan-IPB c Staf Pengajar Dep. Ilmu dan Teknologi Kelautan-IPB d Staf Pengajar Sekolah Pascasarjana IPB
a

Diterima redaksi : 11 Februari 2010, Disetujui redaksi : 15 Maret 2010

ABSTRAK Estuari Sungai Cisadane yang mencakup bagian sungai sepanjang 12 km di muara telah mengalami pencemaran akibat berbagai kegiatan, terutama pencemaran organik dari kegiatan perkotaan di bagian hulunya. Penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan informasi mengenai tingkat produktivitas primer perairan estuari yang telah mengalami pencemaran bahan organik tersebut pada musim kemarau saat debit aliran sungai rendah. Selain itu juga dibahas seberapa besar peranan produktivitas primer dalam memasok oksigen bagi keperluan respirasi dan dekomposisi perairan. Tingkat produktivitas primer estuari Cisadane di permukaan sampai kedalaman 80 cm berkisar 53,52-128,91 mgC/m3/jam. Tingkat produktivitas ini tergolong tidak banyak berbeda dengan tingkat produktivitas beberapa perairan estuari dan perairan teluk lainnya di Indonesia. Walaupun demikian, tingkat kecerahan yang rendah, yang hanya belasan cm saja dibanding dengan kedalaman perairan yang rata-rata 5,3 m, nampaknya membatasi tingkat produktivitas primer secara keseluruhan, sehingga tidak cukup berperanan dalam memasok oksigen bagi keperluan metabolisme perairan. Kata kunci : Produktivitas primer, fitoplankton, estuari, Sungai Cisadane.

ABSTRACT PRIMARY PRODUCTIVITY OF CISADANE RIVER ESTUARY IN DRY SEASON. Cisadane River estuary encompassing river section along 12 km in the river mouth have been suffering pollution due to various activities, especially organic pollution from cities activity in the upstream. This research is aimed to determine the primary productivity level of estuarine waters that has polluted by organic matter, in the dry season where the river discharges are low. In addition, the role of the primary productivity in supplying oxygen for estuarine respiration and decomposition is also discussed. The primary productivity of Cisadane estuary in the surface up to 80 cmdepth were around 53.52-128.91 mgC/m3/hr. This productivity level is not quite different with the productivity of some estuaries and other gulf waters in Indonesia. However, low Secchi depth visibility, which only teens of cm in extreem condition (due to high turbidity and low attenuation) compared to the average depth of estuary that is around 5.3 m, seems to be a factor that limits the primary productivity in the estuary, and therefore, is not having quite important role in supllying dissolved oxygen for aquatic metabolism. Key words : Primary productivity, phytoplankton, estuary, Cisadane River.

49

Sigid Hariyadi et al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 49-57

PENDAHULUAN Informasi mengenai produktivitas primer perairan penting diketahui sehubungan dengan peranannya sebagai penyedia makanan (produser) dalam ekosistem perairan, serta perannya sebagai pemasok kandungan oksigen terlarut di perairan (Clark, 1996). Tingkat produktivitas primer suatu perairan memberikan gambaran apakah suatu perairan cukup produktif dalam menghasilkan biomassa tumbuhan, terutama fitoplankton, termasuk pasokan oksigen yang dihasilkan dari proses fotosintesis yang terjadi, sehingga mendukung perkembangan ekosistem perairan. Produktivitas perairan yang terlalu tinggi dapat mengindikasikan telah terjadi eutrofikasi, sedangkan yang terlalu rendah dapat memberikan indikasi bahwa perairan tidak produktif atau miskin. Dalam penelitian ini, produktivitas primer yang dimaksud terutama adalah produktivitas oleh fitoplankton, dan terkait dengan oksigen yang dihasilkannya. Sungai Cisadane adalah salah satu sungai utama di Propinsi Banten dan Jawa Barat. Sungai sepanjang 137 km ini mengalir melalui dua kota besar yakni Bogor dan Tangerang, dan bermuara ke Laut Jawa di Desa Tanjung Burung, Teluk Naga, Kabupaten Tangerang (PUSARPEDAL, 2008 ; Puslitbang Sumberdaya Air, 2008 ; UNESCO, 2004). Sungai ini diduga telah mengalami pencemaran akibat masuknya berbagai jenis limbah dari berbagai kegiatan yang berada di sepanjang daerah aliran sungai (DAS)-nya, terutama yang berada di kedua kota tersebut. Di kota Tangerang sendiri, selain kegiatan domestik dan perkotaan, terdapat puluhan industri besar dan kecil yang dapat dipastikan berkontribusi dalam menurunkan kualitas S. Cisadane. Pada akhirnya dampak dari berbagai aktivitas yang ada di bagian tengah dan hulu sungai tersebut akan mempengaruhi kondisi ekologis estuari S. Cisadane yang menjadi muaranya.

Berdasarkan pemantauan kualitas air S. Cisadane di wilayah Kota Tangerang tahun 2008 dan 2009 (BPLH Kota Tangerang, 2010) terlihat bahwa limbah organik yang masuk ke sungai dan estuari Cisadane cukup besar. Pencemaran organik yang berasal dari kegiatan pertanian, domestik dan industri ini akan berdampak pada peningkatan kebutuhan oksigen perairan bagi keperluan proses dekomposisi. Hal ini lebih lanjut akan dapat menimbulkan kondisi hypoxia kandungan oksigen sangat rendah, bahkan anoksik (kondisi tanpa oksigen) di wilayah estuari jika tidak tersedia cukup oksigen di perairan. Selain dari atmosfer melalui difusi, salah satu pasokan oksigen terlarut di perairan adalah dari proses fotosintesis fitoplankton atau produksi primer. Sehubungan dengan itu, penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar produktivitas primer perairan estuari Cisadane yang relatif telah mengalami pencemaran dan peranannya dalam menyediakan kandungan oksigen terlarut, khususnya pada musim kemarau pada saat mana debit aliran sungai rendah. BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan pada musim kemarau 2008 yakni pada bulan Juni, Juli dan Agustus di muara Cisadane, pada dua titik pengamatan, yakni Stasiun (St.) 1 dan St. 2, yang diharapkan mewakili estuari Cisadane yang mencakup ruas sungai muara yang cukup panjang ( 12 km). Penelitian ini adalah dalam kerangka penelitian mengenai kualitas perairan estuari Cisadane terkait dengan kemungkinan pencemaran yang terjadi pada kondisi debit aliran sungai rendah, sehingga dilakukan pada musim kemarau. Stasiun 1 berjarak sekitar 6,1 km dari mulut muara, lokasi yang mewakili estuari hulu dengan kegiatan-kegiatan pemukiman, peternakan, pertanian, pengumpulan pasir dan galangan kapal. Stasiun 2 sekitar 2,5 km dari mulut muara

50

Sigid Hariyadi et al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 49-57

mewakili bagian estuari hilir dengan kegiatan pemukiman yang mulai berkurang, adanya aktivitas penambangan pasir, pertambakan dan kolam pemancingan (Gambar 1).

terdapat cahaya dengan intensitas yang cukup bagi berlangsungnya fotosintesis, dan pada kedalaman 20% Secchi mewakili kedalaman dengan intensitas cahaya optimum. Contoh air di tiap stasiun berasal

Gambar 1. Stasiun Pengamatan di Estuari Cisadane, Tanjung Burung, Tangerang Pengamatan sebaran salinitas dan tipe estuari serta pengukuran suhu dilakukan dengan menggunakan instrumen CTD (Conductivity-Temperature-Depth) dan SCT (Salinity-Conductivity-Temperature) meter YSI model 33. Produktivitas primer diamati dengan metode oksigen (botol gelap botol terang) dengan inkubasi di kolom air selama 4 jam (APHA, 2005) dimulai dari pukul 09:00 dan 10:00. Botol gelap dan botol terang (duplo) yang telah diisi contoh air, diinkubasikan kembali kedalam kolom air dengan mengikatkan pada struktur bambu, pada kedalaman 20% dan kedalaman 100% dari kedalaman Secchi pada saat pengamatan di setiap stasiun. Penentuan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa pada kedalaman Secchi dapat dipastikan masih dari titik kedalaman inkubasi masingmasing. Contoh plankton diambil dari bagian permukaan (sampai sedalam 50 cm) sebanyak 50 liter dan dipekatkan menjadi 30 ml dengan plankton net (mesh size = 35 m), diawet dengan larutan Lugol 1% untuk selanjutnya dianalisis di laboratorium. Identifikasi dan pencacahan plankton dengan menggunakan sedgwick rafter cell (SRC) pada perbesaran mikroskop binokuler 100x (APHA, 2005) berdasarkan Yamaji (1979) dan Mizuno (1979). Oksigen terlarut diukur di lapangan dengan titrasi Winkler modifikasi sulphamic acid, pH diukur dengan kertas pH indicator MERCK (ketelitian 0,5 unit), dan kecerahan diukur dengan keping Secchi berdiameter

51

Sigid Hariyadi et al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 49-57

20 cm. Beberapa parameter kualitas air lainnya, seperti kekeruhan, padatan tersuspensi (TSS), BOD, COD, amonia total, nitrat, nitrit dan khlorofil a dianalisis pada contoh air yang dibawa ke laboratorium. Kekeruhan diukur dengan nephelometric turbidity-meter, TSS dianalisis dengan metode gravimetri, amonia dengan metode spektrofotometri-brucine, nitrat dengan metode spektrofotometri-phenate, nitrit dengan metode spektrofotometrisulphanilamide, dan khlorofil a dengan metode Trichromatic- spectrophotometry. Contoh air diambil di bagian permukaan dengan menggunakan Van Dorn sampler berukuran 3 liter. Pengawetan dan analisis contoh air mengacu pada metode baku (APHA, 2005). Untuk menentukan kedalaman fotosintesis digunakan persamaan kedalaman Secchi = 2/Kd yang digunakan oleh CSIRO Australia (SERM, 2002) dalam pengembangkan model respon estuari sederhana. Kd adalah koeffisien peredupan cahaya dari persamaan Lambert-Beer tentang radiasi aktif fotosintesis (PAR), -K z Iz = Io e d (Devlin et al., 2008). Bila fotosintesis terjadi sampai kedalaman dengan intensitas cahaya, Iz= 1% dari intensitas cahaya permukaan, Io (Io= 100%), maka akan diperoleh hubungan Z1%= 4,6/Kd. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil pengamatan sebaran salinitas, diketahui bahwa estuari Cisadane meliputi bagian ruas sungai hingga sejauh sekitar 12 km dari mulut muara ke arah darat, dengan rata-rata lebar sungai 51 m dan rata-rata kedalaman 5,3 m. Pada ruas estuari ini, sebaran salinitas terklasifikasi sebagai tercampur sebagian (partially mixed estuary) (Dyer, 1973; Webster et al., 2010), yakni pada kisaran 0,5 32 psu (practical salinity unit). Kondisi kualitas perairan estuari Cisadane pada saat penelitian adalah seperti

disajikan pada Tabel 1. Nampak bahwa nilai kecerahan pada pengamatan Juli 2008 tergolong rendah, dengan kekeruhan yang tinggi. Kandungan oksigen terlarut (DO) pada umumnya rendah (3,58 mg/L atau kurang) dengan kandungan bahan organik yang relatif tinggi sebagaimana digambarkan oleh nilai BOD dan COD. Pada pengamatan Agustus 2008, kandungan nitrat (NO3-N) dan kelimpahan fitoplankton lebih tinggi daripada pengamatan sebelumnya. Hasil pengamatan juga menunjukkan bahwa kecerahan di estuari Cisadane pada saat penelitian hanya berkisar 12 80 cm, atau sekitar 2-15% dari rata-rata kedalaman perairan. Dengan menggunakan persamaan kedalaman Secchi terhadap Kd yang digunakan oleh SERM (2002) sebagaimana tersebut dalam metode, maka kedalaman fotosintesis di estuari Sungai Cisadane setara dengan 2,3 kali kedalaman Secchi (kecerahan). Dengan demikian, proses fotosintesis di estuari Cisadane hanya terjadi di bagian permukaan saja, yakni sampai kedalaman 27 cm hingga kedalaman 184 cm (1,84 m), masing-masing pada kondisi kekeruhan tinggi (48 NTU) dan pada kondisi kekeruhan rendah (6 NTU) (Tabel 1). Nilai produktivitas primer perairan yang diamati pada kisaran kedalaman 10-20 cm (bagian permukaan) dan 45-80 cm (kedalaman Secchi) adalah berkisar 0.58 3.37 mgO2/L/4 jam (Tabel 2). Kisaran yang cukup lebar disebabkan adanya perbedaan kedalaman dan kekeruhan perairan. Nampak bahwa di bagian yang lebih dalam, dalam hal ini adalah pada kedalaman Secchi atau sesuai nilai kecerahan, produktivitas primer perairan lebih rendah daripada di bagian permukaan (Gambar 2). Perbedaan tingkat kecerahan antar pengamatan juga berpengaruh pada produktivitas primer. Pada pengamatan Juli 2008, perairan sangat keruh (sampai 48 NTU) dengan kecerahan yang sangat rendah (12 17 cm), karenanya pengamatan hanya dilakukan pada satu kedalaman saja yakni pada kedalaman

52

Sigid Hariyadi et al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 49-57

10 cm. Produktivitas primer pada pengamatan Juli tersebut adalah yang paling rendah dibandingkan dengan pengamatan lainnya yang kondisi kekeruhan perairannya lebih rendah (Tabel 1). Tingkat produktivitas primer pada bulan Agustus 2008, khususnya di St. 2, relatif tinggi bila dibandingkan dengan produktivitas pada pengamatan-pengamatan sebelumnya. Hal ini berhubungan dengan kondisi kelimpahan fitoplankton yang memang jauh lebih tinggi yang diduga juga
Juni St. 1 28 32,5 7 12 1,2 7 1,26 6,11 73,42 0,242 0,801 1,094 8,010 1047 St. 2 31 80 6 11 3,0 7 1,79 7,16 16,86 0,013 0,741 1,384 2,670 2436

terkait dengan kandungan nutrien, khususnya nitrat, yang juga tinggi dibanding pengamatan sebelumnya (Tabel 1). Hal yang agak berbeda adalah di St. 1 pada pengamatan yang sama (Agustus 2008), dimana tingkat produktivitas primernya relatif rendah dibandingkan dengan produktivitas di St. 2. Kondisi kualitas air dan kandungan nutrien di kedua stasiun dapat dikatakan juga tidak terlalu berbeda (Tabel 1).

Tabel 1. Kualitas Air Estuari Cisadane pada Saat Pengamatan (2008)


Parameter Temperatur ( C) Kecerahan (cm) Kekeruhan (NTU) TSS (mg/L) Salinitas (%o) pH DO (mg/L) BOD (mg/L) COD (mg/L) NO2-N (mg/L) NO3-N (mg/L) Amonia total (mgN/L) Khlorofil a (g/L) Kelimpahan fitoplankton (sel/L)
o

Juli St. 1 26 12 48 61 0,5 6,5 3,58 6,12 105,75 0,045 0,550 0,688 1,068 2994 St. 2 27,5 17 35 34 1,3 6,5 2,48 5,72 65,34 0,067 0,611 0,609 4,272 1598 24 75 11 10

Agustus St. 1 St. 2 26 75 7.5 7 4,5 7 2,74 5,09 41,10 0,200 1,122 0,814 16,020 8815

2,4 7 2,58 4,31 24,94 0,092 1,469 0,711 4,272 10602

Tabel 2. Produktivitas Primer di Estuari Sungai Cisadane Selama Penelitian


Stasiun Kedalaman (cm) D1: 10-15 D2: 45-70 D1: 10-20 D2: 70-80 Produktivitas Primer Bersih (NPP) (mgO2/L/4 jam) Juni Juli Agustus 1,22 0,63 0,94 0,63 0,58 1,00 0,74 3,37 1,68 Juni 95,31 49,22 73,44 49,22 (mgC/m3/jam) Juli Agustus 45,31 78,13 57,81 263,28 131,25 Rata-rata 72,92 25 53,52 6 128,91 117 90,24 58

1 2

0,64

50,00

53

Sigid Hariyadi et al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 49-57

Kondisi yang tampak membedakan dari kedua stasiun adalah komposisi fitoplankton dan kandungan klorofil a-nya. Pada St. 2 kelompok plankton Chlorophyceae lebih dominan daripada kelompok lainnya seperti Cyanophyceae, Bacillariophyceae, Euglenophyceae dan Dinophyceae. Kelimpahan Chlorophyceae di St. 2 juga lebih tinggi daripada kelimpahan Chlorophyceae di St. 1 (Gambar2). Sementara di St. 1, yang lebih dominan kelimpahannya adalah kelompok plankton Cyanophyceae. Dalam kaitan ini, pengamatan Lehman (2007) pada estuari sungai menyimpulkan bahwa komposisi komunitas fitoplankton di bagian sungai lebih hulu hingga bagian sungai yang terkena pasang surut (estuari) ikut berperan penting dalam menentukan produktivitas estuari. Ini berarti, jenis atau kelompok fitoplankton tertentu lebih banyak menghasilkan produk biomassa, yang berarti juga menghasilkan oksigen lebih banyak, dibandingkan jenis atau kelompok fitoplankton lainnya. Selanjutnya berdasarkan kandungan klorofil a-nya di St. 2 juga

lebih tinggi daripada di St. 1 (Tabel 2). Hal ini menjelaskan bahwa walaupun dari jumlah individu atau kelimpahan fitoplankton di St. 2 agak lebih rendah tetapi secara biomassa, sebagaimana ditunjukkan oleh kandungan klorofil a, lebih besar, sehingga menghasilkan tingkat produktivitas primer lebih tinggi. Di estuari Cisadane ini, walaupun pergerakan massa airnya dipengaruhi oleh pasang surut air laut, tetapi melihat sistem estuari dengan salinitas yang tercampur sebagian, yang ditunjukkan oleh gradasi salinitas yang semakin tinggi pada bagian yang lebih dalam, maka di lapisan atas tempat produksi primer ini berlangsung cenderung lebih banyak dipengaruhi oleh aliran air sungai. Dengan demikian, di St. 2 cenderung menerima beban organik ataupun nutrien lebih besar, selain beban yang diterima oleh St. 1 yang lebih hulu pada akhirnya akan sampai juga di stasiun ini. Berbagai kegiatan yang berasal dari daerah tangkap (catchment area) antara St. 1 dan St. 2 akan menambah beban organik dan nutrien di St. 2.

Gambar 2. Kelimpahan dan Komposisi Fitoplankton pada Dua Stasiun Pengamatan di Estuari Cisadane (2008) 54

Sigid Hariyadi et al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 49-57

Fitoplankton yang teramati di estuari Cisadane mencakup 38 genera dari kelaskelas Chlorophyceae, Cyanophyceae, Bacillariophyceae, Dinophyceae dan Euglenophyceae. Jenis yang kelimpahannya cukup besar adalah jenis-jenis Skeletonema, Melosira (Bacillariophyceae), Microcystis, Oscillatoria (Cyanophyceae), Scenedesmus, Dictyosphaerium, Pediastrum, dan Eudorina (Chlorophyceae). Tingginya kelimpahan genera dari kelas Cyanophyceae dapat menjadi indikasi terjadinya pencemaran organik di sungai atau estuari. Keberadaan genera Microcystis, Oscillatoria, dan Scenedesmus dalam jumlah cukup besar mengindikasikan kondisi perairan yang tercemar. Genus-genus tersebut berasosiasi dengan perairan yang tercemar (APHA, 2005; Ekwu dan Sikoki, 2006). Ekwu dan Sikoki (2006) pada penelitiannya di estuari Cross River, Nigeria, mendapati terjadinya peningkatan genus Oscillatoria dan Anacystis (atau Microcystis) dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya. Atobatele et al. (2007) juga menemukan tingginya kelimpahan fitoplankton terutama dari kelas Cyanophyceae, dan juga Chlorophyceae dan Bacillariophyceae, di Sungai Ogunpa yang tercemar limbah perkotaan di Nigeria. Tingkat produktivitas primer estuari Cisadane ini tidak terlalu berbeda dengan produktivitas primer estuari lainnya yang juga mengalami tekanan ekologis berupa

pencemaran bahan organik. Hasil penelitian Madubun (2008) pada bulan Juli dan Agustus 2007 di Muara Jaya, Teluk Jakarta (Bekasi), menunjukkan nilai produktivitas primer pada kisaran yang hampir sama (Tabel 3), demikian juga produktivitas primer perairan estuari Boa dan Ponrang, Teluk Bone, Sulawesi (Andriani, 2004). Tingkat produktivitas primer estuari Cisadane juga tidak banyak berbeda dengan produktivitas primer Teluk Hurun, Lampung (Tambaru, 2000 ; Sunarto, 2001). Bahkan pada saat tertentu produktivitas primer estuari Cisadane tergolong sangat tinggi, khususnya di St. 2 (pengamatan Agustus 2008). Walaupun tingkat produktivitas primer estuari Cisadane berada pada kisaran yang tergolong tidak rendah, tetapi sehubungan dengan fluktuasi kekeruhan yang demikian tinggi maka ketebalan lapisan kolom air yang produktif juga sangat berfluktuasi. Pada kondisi yang ekstrim, yakni perairan keruh dan kondisi mendung, kecerahan hanya sampai belasan centimeter saja, ini berarti lapisan produktif hanya sekitar 30-40 cm di lapisan permukaan dibandingkan dengan kedalaman rata-rata perairan yang sebesar 5,3 m. Kedalaman lapisan produktif ini, yang hanya sekitar 6 8% dari kedalaman perairan, tergolong sangat rendah. Sebagai perbandingan, di estuari sungai Douro (Portugal) yang dapat dijadikan sebagai gambaran estuari daerah
Produktivitas primer (mgC/m3/jam) 53,52-128,91 39,57-96,89 15,63-74,22 35,16-105,47 36,72-52,87 69,40

Tabel 3. Produktivitas Primer di Beberapa Estuari dan Teluk di Indonesia


Perairan Estuari Cisadane Estuari Muara Jaya, Teluk Jakarta Estuari Boa, Teluk Bone Estuari Ponrang, Teluk Bone Teluk Hurun, Lampung Teluk Hurun, Lampung Pengamatan Juni-Agt, 2008 Juli-Agt, 2007 Juni-Juli, 2003 Juni-Juli, 2003 1999 Hujan, 2001 Referensi hasil penelitian ini Madubun (2008) Andriani (2004) Andriani (2004) Tambaru (2000) Sunarto (2001)

55

Sigid Hariyadi et al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 49-57

beriklim sedang, pada umumnya, lapisan produktif mencapai 23% dari kedalaman perairan (Azevedo et al., 2006). Kondisi estuari Cisadane yang mengalami pencemaran organik, sebagaimana digambarkan oleh nilai BOD dan COD yang relatif tinggi (Tabel 1), menyebabkan kebutuhan oksigen untuk proses dekomposisi menjadi lebih besar daripada kondisi normal. Dengan demikian proses produksi primer di lapisan permukaan, estuary Cisadane termasuk tambahan dari proses reaerasi dan bawaan aliran sungai atau pasang, tidak cukup besar memberikan pasokan oksigen terlarut bagi keperluan dekomposisi dan respirasi biota di kolom air dan sedimen. Hal ini terlihat dari kandungan oksigen terlarut perairan yang tergolong rendah selama pengamatan, yakni kurang dari 3,5 mg/L (Tabel 1). Pada kondisi ekosistem yang baik, seyogyanya kandungan oksigen perairan, yang menggambarkan kandungan oksigen sisa setelah terpakai oleh dekomposisi dan respirasi biota, tidak kurang dari 4 mg/L (NTAC in Nemerow, 1991; Clark, 1996). UCAPAN TERIMA KASIH Terimakasih disampaikan kepada Fajar Renita yang telah membantu dalam penelitian dan pengolahan data. Terima kasih juga disampaikan pada beasiswa BPPS Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional yang telah memberikan bantuan dana bagi pelaksanaan penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Andriani, 2004, Analisis Hubungan Parameter Fisika-Kimia dan Klorofil-a dengan Produktivitas Primer Fitoplankton di Perairan Pantai Kabupaten Luwu, Tesis, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Standard Methods for the Examination of Water and Waste Water, 21st edition. APHA (American Public Health Association), AWWA (American Water Works Association) dan WPCF (Water Pollution Control Federation), Baltimore, MD. 1081 h. Atobatele, O.E., O.A. Ugwumba, & O.A. Morenikeji, 2007, Taxa Composition, Abundance, Distribution and Diversity of the Planktonic Organisms of River Ogunpa, Ibadan, Nigeria, IFE Journal of Science Vol. 9 (1): 17-22. Azevedo, I.C., P.M. Duarte, & A.A. Bordalo, 2006, Pelagic Metabolism of the Douro Estuary (Portugal) Factors Controlling Primary Production, Estuarine, Coastal and Shelf Science Vol. 69 : 133-146. BPLH Kota Tangerang, 2010, Pemantauan Sungai Cisadane di Wilayah Kota Tangerang Tahun 2004 2009. Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) Pemerintah Kota Tangerang (disampaikan dalam Rapat Teknis Pemantauan Sungai Cisadane Antar Wilayah Tahun 2010, 27 Mei 2010). Clark, J.R., 1996, Coastal Zone Management Handbook. Lewis Publishers (CRC Press LLC), Washington D.C. 694 p. Devlin, M.J., J. Barry, D.K. Mills, R.J. Gowen, J. Foden, D. Sivyer, & P. Tett, 2008, Relationships between Suspended Particulate Material, Light Attenuation and Secchi Depth in UK Marine Waters, Estuarine, Coastal and Shelf Science 79, 429 439. Dyer, K.R., 1973, Estuaries: A Physical Introduction. A Wiley-Interscience Publication, John Wiley & Sons, London New York, 140 p. Ekwu, A.O. & F.D. Sikoki, 2006, Phytoplankton Diversity in the Cross River Estuary of Nigeria, J. Appl.
APHA, 2005,

56

Sigid Hariyadi et al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 49-57

Sci. Environ, Mgt. Vol. 10 (1): 89 95. Lehman, P.W., 2007, The Influence of Phytoplankton Community Composition on Primary Productivity Along the Riverine to Freshwater Tidal Continuum in the San Joaquin River, California, Journal Estuaries and Coasts Vol. 30 (1) : 82-93. Madubun, U., 2008, Produktivitas Primer Fitoplankton dan Kaitannya dengan Unsur Hara dan Cahaya di Perairan Muara Jaya Teluk Jakarta, Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Mizuno, T., 1979, Illustrations of the freshwater plankton of Japan. Revised edition, Hoikusha Publishing Co., Ltd. Osaka, Jepang, 353 p. Nemerow, N.L., 1991, Stream, Lake, Estuary, and Ocean Pollution. 2nd ed. (Water Quality Recommended by National Technical Advisory Committee (NTAC) for Fish and Other Aquatic Life and Wildlife), Van Nostrand Reinhold, New York, pp.247-249. Puslitbang Sumberdaya Air, 2008, Status Mutu Air Sungai Di Indonesia Volume I: S. Cisadane, S. Ciliwung, S. Citarum, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Air, Departemen Pekerjaan Umum. PUSARPEDAL, 2008, Sungai Cisadane, Hasil Pemantauan 2007, Pusat Sarana Pengendalian Dampak Lingkungan (PUSARPEDAL)

Deputi VII, Kementerian Negara Lingkungan Hidup. SERM, 2002, Simple Estuary Response Model, CSIRO, Australia. http://www.per.marine.csiro.au/serm/ indicators/secchi_depth.htm Diakses tanggal 14 Januari 2010. Sunarto, 2001, Pola Hubungan Intensitas Cahaya dan Nutrien dengan Produktivitas Primer Fitoplankton di Teluk Hurun, Lampung, Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Tambaru, R., 2000, Pengaruh Intensitas Cahaya pada berbagai Waktu Inkubasi terhadap Produktivitas Primer Fitoplankton di Perairan Teluk Hurun. Tesis, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization), 2004, Kali Cisadane, h. 45-56 in Yasuto Tachikawa, Ross James, Keizrul Abdullah, Mohd. Norbin, Mohd. Desa (Ed.), Catalogue of rivers for Southeast Asia and Pacific Volume V. UNESCO-IHP Publication, Tokyo, Jepang. Yamaji, I., 1979, Illustrations of the Marine Plankton of Japan, Enlarged & Revised edition, Hoikusha Publishing Co., Ltd. Osaka, Jepang, 350 p. Webster, I., I. Atkinson; L. Radke, 2010, Salinity. OzCoasts Australian Online Coastal Information, http://www.ozcoasts.org.au/indicator s/salinity.jsp Diakses tgl. 6 Februari 2010.

57

SulastriLIMNOTEK (2010) 17 (1) : 17 (1) : 58-70 et al. / LIMNOTEK (2010) 58-70

PENGEMBANGAN KRITERIA STATUS EKOLOGIS DANAU-DANAU KECIL DI PULAU JAWA Sulastria, Tri Suryonoa, Yoyok Sudarsoa & Sulung Nomosatriyob
a b

Staf Peneliti Puslit Limnologi-LIPI Staf Teknisi Puslit Limnologi-LIPI

Diterima redaksi : 3 Mei 2010, Disetujui redaksi : 7 Juni 2010

ABSTRAK Status ekologis perairan darat merupakan kondisi yang menggambarkan keseimbangan hubungan fungsional antara komponen-komponen ekosistemnya yang mencakup komponen biotik dan abiotik. Hubungan fungsional komponen ekosistem perairan darat dapat mengalami perubahan tingkatan keseimbangan karena adanya faktor luar seperti perubahan penggunaan lahan di daerah aliran sungai (DAS) dan masuknya bahan-bahan pencemar kedalam sistem perairan. Perubahan kondisi DAS dan pemanfaatan yang intensif danau danau di Pulau Jawa dapat menyebabkan perubahan keseimbangan ekologis danau-danau tersebut. Penelitian ini ditujukan untuk memilih parameter yang potensial untuk mengevaluasi kualitas perairan serta menentukan kriteria dan status ekologis danau-danau kecil tersebut. Pengamatan dilakukan di 17 danau kecil di Pulau Jawa pada tahun 2005 sampai 2007. Penelitian mencakup parameter komposisi dan kelimpahan fitoplankton, kualitas air (suhu, pH, DO, TP, N-NO3, N-NH4, P-PO4, klorofil a) dan amonia di sedimen. Analisis kualitas air dan sedimen merujuk metode baku. Parameter indikator kualitas perairan ditetapkan menggunakan analisis box plot, sedangkan indek ekologis dikembangkan dari analisis gabungan indek kualitas air, kelimpahan fitoplankton dan sedimen (N-NH4). Hasil analisis box plot diketahui bahwa indek tingkat trofik (TSI), jumlah individu fitoplankton dan konsentrasi ammonia di sedimen merupakan parameter yang relatif potensial untuk membedakan kondisi perairan danau yang masih baik dan kurang baik serta status ekologinya. Danau Regulo dan Danau Lembang status ekologisnya paling baik dan dapat digunakan sebagai situs rujukan dalam mengevaluasi kualitas perairan danau-danau kecil di Pulau Jawa. Kata kunci : Sstatus ekologis , perairan , danau kecil Pulau Jawa. ABSTRACT DEVELOPMENNT OF CRITERIA AND ECOLOGICAL STATUS OF SMALL LAKES IN JAVA. Ecological status of inland waters is the condition of the balance of functional relationship between inland waters ecosystem component as non biotic and biotic component. Ecological status of inland waters change because of external factors such as land use change in catchment area intensive utilization of lakes that indicated by the dominant of certain biota, water quality changing and food web disruption. Land use change in catctment area and intensive utilization of small lakes in Java will change the ecological status of those small lakes. The study was aimed to determine potential parameter used to evaluate lake waters, ecological criteria and status of small lakes in Java. The study was conducted in 17 small lake of Java in 2005 to 2006. The observation includes some parameters such as phytoplankton composition and abundance, water quality (temperature, pH, DO, TP, N-NO3, N-NH4, P-PO4, chlorophyll-a) and sediment (N-NH 4). Water quality was analyzed using standard methods. Parameters indicators were determined by box plot analysis, while ecology index was developed by uniting water quality condition, phytoplankton parameters and ammonia concentration in sediment. Box plot analyzed showed that trophic state index, phytoplankton abundance and ammonia in sediment relatively potential to evaluate water quality. Uniting of trophic state index, phytoplankton abundance and ammonia in sediment showed the ecological status of observed lakes. Ecological status of Lake Regulo and Lake Lembang showed a good condition and can be used for reference site in evaluation of water quality of small lakes. Key words : Ecological status, waters, small lakes.

58

Sulastri et al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 58-70

PENDAHULUAN Status ekologis sumberdaya perairan merupakan gambaran keseimbangan hubungan fungsional antara konponenkomponen ekosistem perairan yang mencakup komponen biotik dan abiotik. Status ekologis sumber daya perairan juga diartikan sebagai gambaran tingkat kualitas struktur dan fungsi ekosistem sumberdaya perairan tersebut. (European Communities, 2005). Selanjutnya dikemukakan bahwa status ekologis yang baik maka sumberdaya perairan tersebut harus memiliki karakteristik biologi dan kimia yang stabil (sustainable). Menurut Water Framework Direction (WFD) yang dikutip Sondergaard et al. (2005) bahwa status ekologis harus didefinisikan secara relatif dari penyimpangannya terhadap kondisi rujukan (reference condition) yakni lokasi yang kondisinya tidak ada pengaruh dari aktivitas antropogenik. Pemilihan atau karakterisasi lokasi yang paling minim atau sedikit mendapat gangguan atau tidak terganggu aktivitas manusia merupakan dasar mendefinisikan kondisi rujukan (EPA, 2006). Kondisi situs rujukan dapat ditentukan dari studi paleolimnologi, rekaman data terdahulu, karakterisasi lokasi yang tidak terpengaruh antropogenik, modeling dan pendapat para ahli (EPA, 2006). Saat ini penilaian status kologis badan air terus meningkat dalam upaya mencegah pencemaran sumberdaya perairan (Lepisto et al., 2006). Perubahan penggunaan lahan di daerah aliran sungai (DAS) dan masuknya bahan-bahan pencemar kedalam sistem perairan dapat merubah keseimbangan hubungan fungsional ekosistem perairan yang dapat diindikasikan dengan dominannya jenisjenis biota tertentu seperti blooming algae, putusnya sistem rantai makanan, menurunnya kualitas air dan sebagainya. Status ekologi dapat dikuantifikasi terutama sebagai dasar identifikasi adanya

indikasi perubahan keseimbangan ekosistem perairan misalnya melalui indikator biologi (Lapisto et al., 2006). Fitoplankton sering digunakan sebagai indikator biologi karena diketahui memiliki respon terhadap dampak aktivitas antropogenik yang mengindikasikan adanya pengkayaan unsur hara (Hutchinson, 1967). Pulau Jawa diketahui merupakan wilayah yang padat penduduk, maka penggunaan lahan di DAS danau-danau kecil, didominasi untuk pertanian dan pemukiman (Sulastri et al., (2009). Disamping itu untuk memenuhi kebutuhan pangan dan energi pemanfaatan sumberdaya perairan semakin intensif. Kondisi ini dapat berdampak terhadap meningkatnya masukan nutrien ke sistem perairan danau dan menyebakan perubahan keseimbangan status ekologis danau - danau di Jawa yang umumnya memiliki ukuran kecil (< 10 km2) (Uchida, 1997). Oleh karenanya perlu dikembangakan kriteria status ekologis danau tersebut yang dapat digunakan untuk pemantauan dan evaluasi adanya perubahan kualitas perairannya. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui parameter-parameter yang potensial sebagai indikator perubahan kualitas perairan serta menetapkan indek ekologis dan situs rujukan (reference site) untuk monitoring dan evaluasi danau-danau kecil di Jawa. BAHAN DAN METODE Penelitiaan pengumpulan data dilakukan di 17 danau kecil di Pulau Jawa yakni Danau Lembang (L), Cileunca (C), Patenggang (P), Cangkuang (CN), Lengkong (LN), Gede (G), Gunung (GN) Cisanti (CS), Remis (RM), Menjer (M), Pengilon (PG), Warna (W), Dringo (DR) Grati (GT), Pakis (PK), Pane (PN) dan Regulo (RG) (Gambar1). Karakteristik fisik masing-masing danau yang diteliti, yaitu berada pada ketinggian antara 110 2099 m di atas

59

Sulastri et al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 58-70

permukaan laut (dpl), luas antara 6- 213 ha, dengan kedalaman maksimum antara 1 156 m (Tabel 1). Waktu penelitian dan pengumpulan data dilakukan pada tahun 2005 sampai 2007.

terhadap tekanan kondisi lingkungan. Selanjutnya respon tersebut dievaluasi dengan membandingkan parameter indikator dari situs rujukan dan kondisi perairan yang dianggap kualitasnya kurang baik. Situs

Gambar 1. Lokasi Kegiatan Pengambilan Data Tabel 1. Karakteristik Fisik Danau-danau yang Diamati.(Sulastri et al.,2009)
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 Nama Danau Lembang Cileunca Patenggang Cangkuang Gede Lengkong Gunung Cisanti Remis Warna Pengilon Dringo Menjer Grati Pakis Pane Regulo Letak ketinggian (m dpl.) 1500 1000 1000 400 400 700 1049 1599 263 2085 2096 2099 1226 110 245 2134 2134 Zmax (m) 6 13 4 2 5 3 1 9 20 55 130 156 Luas (Ha) 5.8 213.3 52.0 8.3 55.8 55.6 10,8 11,4 2,71 12,7 7,8 9,8 61,0 189,1 47,9

Untuk menetapkan parameter indikator dilakukan dengan menggunakan beberapa peubah yang memiliki respon

rujukan dipilih dari karakter fisik dan kimiawi seperti yang dilaporkan Sulastri et al., (2009). Perbandingan parameter

60

Sulastri et al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 58-70

indikator dilakukan dengan analisis box plot atau distribusi matrik dari peubahpeubah yang dianggap potensial sebagai parameter indicator yang potensial memiliki respon terhadap perubahan kualitas (Tabel 2).

dan dianalisis menggunakan metode asam askorbat konsentrasi ammonia dalam sedimen diperoleh dengan mengekstrak contoh sedimen menggunakan KCl dan selanjutnya dianalisis menggunakan metode phenate.

Tabel 2. Parameter Indikator Status Ekologis, Metode Analisis dan Responnya terhadap Kondisi Lingkungan Perairan
Parameter Indikator Indikator kesuburan perairan (TSI; Trophic State Index) Indikator pencemaran perairan/kualitas air (INSF) Indikator Biologi (fitoplankton) - Jumlah taksa - Jumlah individu - Indek dominan % dominan diatom % dominan alga hijau % dominan alga biru hijau Kualitas sedimen. Amonia (N-NH4) Metode Analisis Carlson (1997) Ott (1978) Lackey Drop Microtransect (Standar Method 1992) Prescot, (1951), Prescot & Scott (1961) Wetzel (2001) Respon/Kondisi Perairan Oligotrofik sampai hipertrofik, Tidak tercemar sampai sangat tercemar

Standard Method (1992).

Rendah pada kondisi stres Rendah pada kondisi stres Tinggi pada kondisi stres Rendah pada kondisi stres Tinggi pada kondisi stres Tinggi pada kondisi stres Meningkat pada kondisi tercemar

Tingkat kesuburan perairan dihitung berdasarkan formula Carlson (1977), yang menggunakan parameter kedalaman cakram Secchi, klorofil-a dan total fosfor. Selanjutnya Indek kualitas air INSF (National Sanitation Foundation-Water Quality Index) dihitung berdasarkan formula yang dirujuk dari Ott (1978) menggunakan parameter suhu, DO, pH, kekeruhan (turbiditas) dan nitrat. Suhu, pH, DO dan turbiditas diukur langsung di lapangan menggunakan alat Horiba U-10. Contoh klorofil-a diambil dengan menyaring air sebanyak 250 ml menggunakan kertas saring GF/C dan dianalisis menggunakan metode spektrofotometrik, sedangkan contoh plankton diambil dengan menyaring air sebanyak 2 liter dengan plankton net ukuran 40 m dan diawet menggunakan larutan Lugol 1%. Contoh air yang diperlukan untuk analisis nitrat dan total fosfor (TP) diawet dan dianalisis di Laboratorium Hidrodinamika Puslit Limnologi-LIPI merujuk Anonim (1992). Nitrat dianalisis dengan metode brusin, sedangkan untuk TP contoh didistruksi dengan peroxodisulphate

Data parameter fisik, kimiawi dan fitoplankton perairan diambil dari tiga stasiun untuk masing-masing danau yang diukur secara stratifikasi lapisan permukaan, kedalaman cakram Secchi, pada dasar perairan danau atau mendekati kedalaman eufotik yakni dua kali kedalaman cakram Secchi atau tergantung dari kedalaman danau. Contoh sedimen diambil menggunakan Ekman Grab dan diambil pada tiga stasiun untuk masing-masing danau. HASIL DAN PEMBAHASAN Situs Rujukan Situs rujukan (reference site) mengacu pada hasil penelitian Sulastri et al., (2009) tentang karakterisasi fisik dan kimiawi limnologi tujuh dari 17 danau kecil di Pulau Jawa. Dari hasil penelitian ini D. Lembang dan D Regulo dipilih sebagai situs rujukan yang dapat digunakan untuk membandingkan kondisi kualitas perairan danau lainnya. Ditinjau dari nilai TSI, INSF, pH, konduktivitas, alkalinitas dan TP, maka D. Lembang dan D. Regulo diklasifikasikan dalam tingkat kualitas perairan yang paling

61

Sulastri et al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 58-70

baik dibandingkan danau lainnya (Tabel 3). Danau Lembang dimanfaatkan untuk pelatihan Pasukan Khusus Tentara Nasional Indonesia sehingga kondisi di sekitarnya dipertahankan secara alami dan tidak ada Tabel 3.
Parameter pH Konduktivitas (mS/cm) Turbiditas (NTU) Suhu (oC) DO (mg/L) Alkalinitas. (mgCaCO3/L) CO2 (mg/L) SO4 (mg/L) N-NO3 (mg/L) T-N (mg/L) O-PO4 (mg/L) T-P (mg/L) INFS Klorofil-a (mg/m ) TSI
3

aktivitas antropogenik. Demikian juga D. Regulo berada di bawah pengelolaan Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) dan kondisi hutan di sekitarnya masih alami.

Rata-rata Nilai Parameter Fisika, Kimia Perairan Danau-danau Kecil di Pulau Jawa (Sumber: Sulastri et al., 2009)
Danau RM 6,54 0,129 40,67 24,61 8,97 70,89 6,864 0,371 0,773 0,044 0,068 60,36 3,31 53,41 NI 6,34 0,135 18,87 23,04 6,24 70,06 13,499 0,279 0,685 0,055 0,065 54,09 0,04 38,47 CS 7,16 0,157 10,74 24,63 8,04 71,94 2,626 0,102 0,553 0,021 0,038 63,49 17,81 57,19 SG 6,81 0,034 10,94 27,20 6,99 23,03 2,388 0,002 0,496 0,015 0,025 60,61 20,03 59,54 C 6,41 0,059 31,26 23.31 8,68 23,1 0,257 0,977 0,014 0,054 68 29,4 63,49 Danau DR 6,15 0,581 15,00 18,02 3,74 40,70 9,24 7,67 0,056 0,877 0,006 0,026 42,03 2,848 47 CN 8,00 0,364 23,38 29,73 6,86 142,84 0,213 0,667 0,015 0,049 51,61 13,72 59,82 LM 7,31 0,018 5,39 21,25 7,63 4,89 0,069 0,156 0,008 0,015 81,85 8,84 47,71 P 7,21 0,046 22,22 21,96 8,53 17,78 0,123 0,534 0,028 0,067 77,92 15,89 58,92 G 8,73 0.353 18,71 26,9 9,70 97,44 0,010 0.603 0,010 0,052 76,99 9,46 58,78 LN 7,60 0.033 18,20 26,16 7,59 19,65 0,078 0.224 0,012 0,035 79,67 43,95 64,37

Lanjutan Tabel 2.
Parameter pH Kond (mS/cm) Turbiditas (NTU) Suhu ( C) DO (mg/L) Alkalinitas. (mgCaCO3/L) CO2 (mg/L) SO4 (mg/L) N-NO3 (mg/L) T-N (mg/L) O-PO4 (mg/L) T-P (mg/L) INSF Klorofil-a (mg/m3) TSI
o

M 6,97 0,147 9,07 21,53 8,45 52,93 0,92 2,376 2,878 0,012 0,042 64,47 9,738 54,43

MD 7,87 0,179 34,00 18,10 5,36 63,36 3,83 0,174 0,484 0,010 0,229 73,39 96,84 75,45

WN 2,54 1,276 47,47 19,50 0,67 0,00 165,4 229,1 0,023 0,377 0,023 0,252 24,87 45,013 75,41

PG 6,46 0,110 33,94 19,37 8,71 43,77 0,31 16,59 1,067 1,730 0,010 0,052 60,97 7,084 62,52

GT 7,67 0,333 11,47 29,07 7,06 226,06 30,09 0,041 0,801 0,003 0,046 63,81 2,084 52,41

PK 7,23 0,318 12,50 27,44 1,47 219,31 34,08 0,051 1,338 0,112 0,167 43,46 2,311 59,43

PN 7,74 0,061 12,34 18,23 10,41 26,82 13,82 0,088 1,236 0,004 0,110 66,65 2,908 56,01

RG 7,83 0,007 12,00 18,46 10,78 2,28 7,05 0,066 0,977 0,016 0,022 86,58 0,437 43,73

Keterangan: RM: Remis; NI: Nilem; CS: Cisanti, SG: Gunung; C: Cileunca; CN: Cangkuang; LM: Lembang; P: Patenggang; G: Gede; LN: Lengkong, M;: Menjer; MD: Merdada; WN: Warna; PG: Pengilon; DR: Dringo; GT: Grati; PK: Pakis; PN: Pane; RG: Regulo.

62

Sulastri et al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 58-70

Pengelompokan Danau Pengelompokan danau dirujuk dari hasil penelitian Sulastri et al., (2009). Berdasarkan hasil analisis komponen utama (PCA), 14 parameter fisik kimia dari 17 danau kecil di Pulau Jawa terbagi menjadi empat kelompok danau (Gambar 2). Danau Warna kelompok tesendiri yang dipisahkan dari danau lainnya oleh parameter pH, DO dan INSF yang rendah dan nilai konduktivitas, kekeruhan serta kadar TP yang tinggi. Danau Pakis merupakan kelompok tersendiri yang dicirikan oleh kadar alkalinitas dan fosfat yang tinggi, sedangkan D. Gede dipisahkan dengan kelompok lainnya oleh karakteristik nilai pH dan suhu yang tinggi. Kelompok keempat adalah 16 danau lainnya, yang memiliki kesamaan dan kedekatan karakteristik fisika kimia yaitu D. Lembang, D, Regulo, D. Pane, D. Patenggang, Cileunca. Cangkuang, Pengilon dan lainnya. Berdasarkan pengelompokan tersebut maka D. Lembang dan D. Regulo dapat dijadikan situs rujukan danau-danau yang memiliki kesamaan karakteristik fisik dan kimiawi tersebut.

jelas antara situs rujukan D. Lembang (L) dan D. Regulo (RG) dan danau lainnya (Gambar 3). Danau Patenggang (P), Cileunca (C), Lengkong (LN) dan Gunung (GN) tidak menunjukkan nilai INSF yang jauh berbeda. Kondisi ini menunjukkan bahwa indek kimia kualitas air INSF kurang sensitif untuk dijadikan parameter indikator kualitas air danau-danau kecil. Hal ini dapat dikaitkan dengan parameter oksigen terlarut sebagai parameter yang digunakan dalam menghitung indeks kimia kurang sensitif untuk menilai kualitas air perairan yang tergenang seperti danau kecil. Indek kimia kualitas air yang baik diindikasikan oleh konsentrasi oksigen terlarut yang tinggi dan memenuhi kebutuhan biota, sedangkan di perairan tergenang konsentrasi oksigen yang tinggi bisa diperoleh sebagai akibat dari proses fotosintesis fitoplankton yang melimpah. Kondisi ini yang menyebabkan kerancuan nilai oksigen untuk membedakan kondisi perairan danau kecil yang baik dan kurang baik. Oleh karena itu nilai indek kimia air mungkin lebih cocok atau sensitif

Gambar 2. Analisis Komponen Utama Pengelompokan Danau (Sulastri et al., 2009). Indek Kimia Air (INSF). Dari analisis box plot distribusi nilai indek kimia air INFS danau-danau yang diamati tidak menunjukkan perbedaan yang untuk mengevaluasi kondisi kualitas perairan yang sifatnya mengalir seperti sungai.

63

Sulastri et al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 58-70

90 80

70 60

Index Kimia

50 40 30

20 10 Mean MeanSE Mean1.96*SE

CN 1

MJ1

L1

RG1

Stasiun Pengamatan

Gambar 3. Distribusi Nilai Indek Kimia Air (INSF) Indek Tingkat Kesuburan (TSI). Distribusi tingkat status trophic (TSI) danaudanau yang diamati disajikan pada gambar 4. Nilai TSI antara danau-danau yang diamati menunjukkan perbedaan nilai antara situs rujukan D. Lembang (L) dan D. Regulo (RG) dengan danau lainnya. Danaudanau seperti Cileunca, Patenggang, Lengkong, Gede, Pengilon dan lainnya
85 80 75 70

memiliki TSI yang lebih tinggi dari nilai TSI D. Lembang dan Regulo yang lebih rendah atau mesotrofik kondisinya. Carlson (1977) mengklasifikasi nilai TSI 40 50 tergolong perairan mesotrofik, sedangkan nilai TSI 50 60 tergolong eutrofik ringan, TSI 60 70 tergolong eutrofik sedang, nilai TSI 70 80 tergolong eutrofik berat dan nilai > 80 tergolong hipereutrofik.

Indek TSI

65 60 55 50 45 40 Mean MeanSE Mean1.96*SE

LN1

GR1

CS1

PN1

PG1

SG1

LN1

PK1

RG1

CN1

GR1

CS1

PN1

PG1

SG1

Stasiun Pengamatan

Gambar 4. Distribusi Nilai Tingkat Status Trofik (TSI.)

64

MJ1

PK1

W1

R1

C1

G1

L1

P1

W1

R1

C1

G1

P1

Sulastri et al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 58-70

Distribusi nilai TSI menunjukkan kondisi yang sensitif sebagai sarana evaluasi status ekologis danau-danau kecil. Nilai TSI lebih sensitif sebagai indikator status ekologis mungkin terkait dengan adanya paremeter fosfor (TP) yang digunakan dalam menghitung nilai TSI. Kondisi ini bisa dipahami karena TP merupakan faktor utama lingkungan yang menentukan keberadaan sejumlah komponen biologi perairan (Wetzel, 2001). Sondergaard et al., (2005) memilih parameter fosfor untuk mengklasifikasikan stasus ekologis danaudanau Danish dan melaporkan bahwa TP memiliki respon dan korelasi yang positip terhadap klorofil-a, total nitrogen, total suspended solid (SS) dan memiliki hubungan negatif dengan kedalaman cakram Secchi serta memiliki hubungan positif dengan peubah biologi seperti biomasa fitoplankton, zooplankton dan ikan. Fitoplankton Peubah biologis fitoplankton untuk persen diatom, persen alga hijau, persen alga
120

biru hijau dan jumlah jenis (Gambar 5, 6, 7 dan 8) nampak kurang sensitif untuk membedakan kondisi status ekologis yang masih baik dari situs rujukan (D. Lembang dan Regulo) dengan perairan danau lainnya yang status ekologisnya dianggap lebih rendah. Fakta ini bisa disebabkan oleh sifat fitoplankton yang sangat berfluktuasi menurut musim. Untuk itu pengumpulan data fitoplankton perlu dilakukan yang mewakili perubahan musim hujan dan musim kemarau. Lepisto et al., (2006) melaporkan bahwa komposisi kelompok fitoplankton tidak hanya tergantung pada faktor nutrien namun juga faktor biologi seperti pemangsaan oleh zooplankton. Secara tidak langsung fitoplankton, juga dipengaruhi oleh faktor hidroklimatologi. Selanjutnya Moss et al., (2003) melaporkan bahwa untuk menentukan status ekologi danau maka persyaratan pengambilan contoh peubah biologi seperti komposisi dan biomasa fitoplankton minimal dalam interval enam bulan.

100

80

% Alga hijau

60

40

20

-20

Mean MeanSE Mean1.96*SE

MJ1

G1

RG1

PG1

SG1

Stasiun Pengamatan

Gambar 5. Disribusi Persentase Alga Hijau (Chlorophyta )

65

GR1

CS1

PN1

LN1

CN1

PK1

W1

L1

R1

P1

C1

Sulastri et al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 58-70

120

100

80

% Alga biru hijau

60

40

20

-20

Mean MeanSE Mean1.96*SE

MJ1

G1

L1

RG1

PG1

SG1

Stasiun pengamatan

Gambar 6. Distribusi Persen Alga Biru Hijau (Cyanophyta)


120

100

80

% Diatom

60

40

20

-20

GR1

CS1

PN1

LN1

CN1

PK1

W1

R1

P1

C1

Mean MeanSE Mean1.96*SE

L1

R1

P1

C1

G1

CS1

PN1

LN1

CN1

PK1

RG1

PG1

SG1

Stasiun Pengamatan

Gambar 7. Distribusi Persen Diatom.

66

GR1

MJ1

W1

Sulastri et al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 58-70

45 40 35 30
Total jenis

25 20 15 10 5 0 Mean MeanSE Mean1.96*SE

L1

LN1

CS1

PN1

PG1

SG1

PK1

RG1

CN1

GR1

MJ1

R1

P1

C1

G1

Stasiun Pengamatan

Gambar 8. Distribasi Total Jenis Fitoplankton. Distribusi nilai kelimpahan fitoplankton relatif masih sensitif untuk membedakan kondisi situs rujukan Situ Lembang (L) dan Ranu Regulo (RG) yang kondisinya lebih baik dengan danau lainnya yang status trofiknya (TSI) lebih tinggi dan tingkat kualitasnya airnya (INFS) yang lebih rendah (Gambar 9). Hal ini dapat dilihat di D. Pengilon (PN), Cileunca (C), Patenggang (P), Lengkong (NG), Gede (G), Grati (GT), dan Menjer (MJ) yang eutrofik. Kelimpahan fitoplankton untuk perairan eutrofik Menurut Lander (1979) adalah lebih dari 15000 individu/l Kelimpahan fitoplankton D. Warna kurang 10.000 individu/l namun nilai TSI nya tinggi. Tingginya nilai TSI bisa disebabkan oleh tingginya kandungan klorofil-a yang diduga berasal dari bakteri sulfur berfotosintesis yang umum dijumpai di Danau Kawah (Page et al., 2004). Danau Telaga Warna merupakan danau kawah dan secara fisik kimiawi terpisahkan dari kelompok D. Lembang dan Regulo, sehingga fitoplankton dari Danau Lembang tidak bisa dijadikan rujukan untuk mengevaluasi D. Telaga Warna. Amonia (N-NH4) di Sedimen. Seperti pada kelimpahan fitoplankton, konsentrasi amonia untuk situs rujukan (D.Lembang dan D. Regulo) menunjukkan rendah dibandingkan dengan konsentrasi amonia di beberapa danau yang eutrofik dan tingkat kualitas airnya rendah seperti Situ Cisanti (CS), Situ Gunung (SG), Telaga Remis (R) dan Ranu Grati (GT) (Gambar 10). Di beberapa danau tidak menunjukkan perbedaan yang jelas dengan situs rujukan. Di beberapa kasus danau kecil yang dangkal juga dijumpai kelimpahan tumbuhan air di dasar dan tepian perairan misalnya Situ Cangkuang dan Telaga Pengilon, sehingga walaupun tingkat kualitas air rendah (INFS) dan status trofiknya tinggi konsentrasi amonia di sedimen rendah karena diduga dimanfaatkan oleh tumbuhan air. Oleh karena itu di beberapa kasus penggunaan parameter amonia di sedimen sebagai indikator status ekologis danau-danau kecil mungkin perlu mengklasifikasi kondisi fisik danau seperti kedalaman danau dan ada tidaknya atau persentase tutupan tumbuhan air di perairan.

67

W1

Sulastri et al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 58-70

9E5 8E5 7E5

Total individu (indv/l x 105)

6E5 5E5 4E5 3E5 2E5 1E5 0 -1E5 L1 CS1 PG1 SG1 C1 G1 PK1 MJ1 RG1 PN1 R1 P1 LN1 CN1 GR1 W1 Stasiun Pengamatan Mean MeanSE Mean1.96*SE

Gambar 9. Distribusi Kelimpahan Fitoplankton


500 450 400

Konsentrasi N-NH4 di sedimen (mg/kg)

350 300 250 200 150 100 50 0 -50 Mean MeanSE Mean1.96*SE

L1

RG1

PG1

SG1

GR1

CS1

PN1

CN1

PK1

Stasiun Pengamatan

Gambar 10. Distribusi Amonia pada Sedimen Danau Indek Ekologis. Pengamatan indeks ekologis danaudanau yang diamati dikembangkan dari gabungan indek status trofik, kelimpahan fitoplankton dan konsentrasi amonia di sedimen (Gambar 11). Bobot nilai dari masing-masing parameter disajikan pada Tabel 4, sedangkan kriteria status ekolologis perairan danau disajikan pada Tabel 5. Nilai indeks ekologis D. Lembang dan D Regulo memiliki nilai indek ekologi tertinggi atau nilainya 21, menunjukkan kedua danau tersebut tergolong status ekologisnya paling tinggi dari danau lainnya. Berdasarkan indek ekologisnya, kedua danau tersebut dapat mewakili sebagai situs rujukan. Danau Pane dan Cangkuang status ekologisnya tergolong sedang. Danau Pane (PN) kondisinya memang relatif masih baik yang lokasinya tidak jauh dari D. Regulo. Danau Cangkuang (CN) dari segi kondisi kualitas air (indek kimia) tergolong perairan yang kurang baik namun dari nilai indek ekologis masih tergolong kualitas perairan yang sedang. Kondisi ini dapat dilihat dari kandungan

68

MJ1

LN1

W1

G1

R1

P1

C1

Sulastri et al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 58-70

amonia pada sedimen yang relatif rendah. Rendahnya kandungan amonia pada sedimen dipengaruhi oleh pemanfatan tumbuhan air seperti Ceratophylum dan Hydrila yang melimpah pada Danau Cangkuang. Danau Cisanti, Cilenca, Lengkong, Gede, Grati dan Warna status ekologisnya tergolong buruk.
25 20 15 10 5 0

yang memiliki kedekatarn karakteristik fisika, kimia perairan. Dari nilai kriteria status ekologis D. Cisanti, Cilenca, Lengkong, Gede dan Grati status ekologisnya tergolong buruk sedangkan danau lainnya status ekologisnya tergolong sedang.

Indeks gabungan

L1 RG1 CS1 PN1 PG1 R1 SG1 P1 C1 LN1 G1 CN1GR1 MJ1 W1

Gambar 11. Indek Ekologis Danau-danau yang Diamati Tabel 4. Bobot Nilai dari Jumlah Individu Fitoplankton, Kualitas Sedimen dan Indek Status Trophik Perairan.
Indikator Jumlah individu per liter N-NH4 (mg/kg) TSI Bobot Nilai 1 397.500 > 371 > 67,661 3 162.480-397.503 96,5 371 58,88 67,661 5 18.500162.479 8 - 96,4 51,43 58,87 7 1 - 18.499 0 - 7,9 1 - 51,42

Tabel 5. Nilai Kriteria Status Ekologis Perairan Danau yang Diamati


Nilai kriteria Baik Sedang Buruk Kisaran 21 19 18 17 < 16

KESIMPULAN Tingkat status trofik, kelimpahan fitoplankton dan konsentrasi amonia di sedimen merupakan parameter yang relatif potensial untuk mengevaluasi status ekologis danau-danau kecil di Pulau Jawa. Nilai indek ekologis D. Lembang dan D. Regulo memiliki stasus ekologis paling baik dan dapat dijadikan situs rujukan untuk mengevaluasi status ekologis danau-danau

DAFTAR PUSTAKA Anonim, 1992, Standard Methods for the Examination of the Water and Waste Water7th Edition, APA-AWWAWPCF: 1100 p. Carlson, R.E., 1977, A Ttrophic State Index for Lakes, Limnology and Oceanography, 22 (2):361-369. EPA., 2006, Best Practices for Identification Reference Condition in Mid Atlantic

69

Sulastri et al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 58-70

Stream. United States Environmental Protection, 8 p. European Communities, 2005, Common Implementation Srategy For Water Framework. Guidance No 13. Overall Approach To The Classification Of Ecological Status, Working group 2.4. Hutchinson, G.E., 1967, A. Threatise On Limnology, II. Introduction To Lake Biology And The Limnoplankton, John Welley & Sons, New York, 1115 pp Lander, L., 1979, Eutrophication of Lake. Causes, Effects And Means For Control, With Emphasis On Lake Rehabilitation, WHO-Regional Office for Europe, ICP/CEP 210. Stockholm, Sweeden.78 pp. Lepisto, L., P. Kauppila, J. Rapela, M. Pekkarineum, T. Sammoekorpi & L. Villa, 2006, Estimation of Reference Condition for Phytoplankton In Naturally Eutrophic Shallow Lake. Hydrobiologia (568): 55 66. Moss, B., D. Stephen, C. Alvorez, E. Becarez, W.v., De Bund, S.E. Colling, E.V. Done, E Deeto, T. Flomann, C. Alaez, M. Fernadesz & D. Wilson, 2003, The Determination of Ecological Status In Shallow Lakes, A Tested System (ECOFRAME) for Implementation of the European Water Framework Directive, Aquatic Conserv. Mar. Fresh. Ecosyst. (13): 507-549. Ott, W., 1978, Environmental Indeces: Theory and Practice. Ann Arbor, MI: Ann Arbor Science Publisher.

Page, K.A., Connon, S.A., & Giovannoni, S.J., 2004, Representative Freshwater Bacterioplankton Isolated From Crater Lake App, Environ. Microbiol ,70(11):6542-6550. Prescott, G.W., 1970, The Freshwater Algae. M. Brown Company Publisher, 347pp. Prescott, G.W., 1951, Algae of the Western Great Lakes Area. Cranbrook Institute of Science, Bloomfield Hills, Michigan. Bulletin no 31. Scott, A.M., & G.W. Prescott, 1961, Indonesian Desmids Hydrobiologia. XVII. 132 pp. Sulastri, Suryono, T., Sudarso, Y., & Rosidah, 2009, Karakteristik Fisik Dan Kimiawi Limnologi Danau Danau Kecil Di Pulau Jawa, Limnotek (XVI) 1:10 -21. Sondergaard, M., Jeppesen, E., Jensen, J.P., & Amsinck, S.L., 2005, Water Framework Directive: Classification Ecological Classification of Danish Lake, Journal of Applied Ecology, (42): 616 629. Uchida, T., 1997, Study on the Characteristics of Inland Water Body in Indonesia. Investigation for Realistic Technology of Tropical Area. Research and Development Center for Limnology-LIPI in the cooperation with Japan International Cooperation Agency, 56 pp. Wetzel, R.G., 2001, Limnology. Lake and River Ecosystem. 3th. Academic Press, New York, London. 1006 pp.

70

Awalina Satya et al. / LIMNOTEK(1) : 71-84 (1) : 71-84 LIMNOTEK (2010) 17 (2010) 17

POLA DISTRIBUSI DAN LAJU AKUMULASI KARBON ORGANIK DAN BAHAN ORGANIK DALAM SEDIMEN SERTA HUBUNGANNYA DENGAN PADATAN TERSUSPENSI DI SITU CIBUNTU Awalina Satyaa, S. Sunanisaria, R. Ramadaniyab, & E. Mulyanac
b

Staf Peneliti Puslit Limnologi-LIPI Mahasiswa Kimia F-MIPA Universitas Pakuan c Staf Teknisi Puslit Limnologi-LIPI

Diterima redaksi : 5 Maret 2010, Disetujui redaksi : 29 April 2010

ABSTRAK Penelitian bertujuan mengungkap pola distribusi spatial dan temporal serta laju akumulasi dari padatan tersuspensi (SS; Suspended Solid), karbon organik dan bahan organik total (TOM; Total Organic Matter) dalam sedimen di perairan Situ Cibuntu, Kabupaten Bogor Jawa Barat. Alat yang digunakan adalah Experimental Sedimentation Trap (EST) yang ditanam selama tiga hari pada tiga lokasi berbeda (inlet, tengah, outlet situ) dengan periode pengamatan selama tiga bulan (Februari, April, Mei 2005). Data diolah secara pictorial (trendline analysis) untuk mengetahui pola hubungan dari waktu ke waktu dan antar parameter. Kandungan rata-rata SS tertinggi dijumpai di bagian inlet (225,09 g/L) dan terendah di bagian tengah (0,613 g/L) dengan sebaran tertinggi dijumpai pada bulan April (inlet 530,38 g/L, tengah 0,78 g/L) . Sebaliknya, kadar ratarata karbon organik dan TOM tertinggi di bagian tengah (1,72 % dan 2,96 %) dan terendah di bagian inlet (0,99 % dan 1,55 %), dengan sebaran tertinggi pada bulan Februari (tengah 2,75 % dan 4,73 % , inlet 2,25% dan 2,15 %) . Pola distribusi spasial SS sejalan dengan laju akumulasi dimana laju akumulasi SS terbesar di bagian inlet (25,1 mg/m2/hari) dan terendah di bagian tengah (0,085 mg/m2/hari). Tidak demikian halnya dengan karbon organik dan TOM, laju akumulasnya terbesar di bagian outlet, masingmasing 112,32 mg/m2/hari dan 193,64 mg/m2/hari dan terendah di bagian inlet, masingmasing 38,0 mg/m2/hari dan 65,51 mg/m2/hari. Hubungan laju akumulasi karbon organik dan TOM terhadap SS sangat kuat (R2=1) dalam persamaan polynomial order 2. Kata kunci : Karbon organik, padatan tersuspensi, bahan organik total, sedimen, situ, laju akumulasi ABSTRACT DISTRIBUTION PATTERN AND ACCUMULATION RATE OF SEDIMENTARY ORGANIC CARBON AND TOTAL ORGANICS MATTER (TOM) AND ITS RELATION TO SUSPENDED SOLID IN SITU CIBUNTU. The objectives research is to understand the spatial - temporal distribution, and the accumulation rate of Suspended Solid (SS), Organic Carbon, and Total Organic Matter (TOM) at the sediment of Situ Cibuntu, a small lake in Bogor- West Java. An Experimental Sediment Traps (EST) put three days in each sites (inlet, middle, outlet) according to sampling periode (February, April, May 2005). Data was analyzed by using trend line analysis to reveal the relation pattern of time series data and among the parameter. The highest concentration of SS was found at inlet (225.09 g/L) and the lowest at middle part (0.613 g/L) with highest distribution on April (inlet 530.38 g/L, middle part 0.78 g/L) . Contrary with the distribution of organic carbon and TOM which have the highest concentration at middle part (1.72 % and 2.96 %) and the lowest at inlet ( 0.99 % dan 1.55 %) with highest distribution on February (middle 2.75 % and 4.73 % , inlet 2.25% and 2.15 %). The pattern of SS spatial distribution is likely similar to accumulation rate which have highest accumulation rate at inlet (25.1 mg/m2/day) and the lowest at middle part (0.085

71

Awalina Satya et al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 71-84

mg/m2/day). Its different with organic carbon and TOM which have highest accumulation rate was found at outlet (1112.32 mg/m2/day and 193.64 mg/m2/day) and the lowest at inlet (38.0 mg/m2/day and 65.51 mg/m2/day). There was high corelation between accumulation rate of organic carbon and TOM to SS (R2 = 1) Key words : Organic carbon, suspended solid, organic matter, sediment, situ, accumulation rate.

PENDAHULUAN Perairan situ merupakan jenis perairan yang sensitif terhadap perubahan kondisi penggunaan lahan di sekitarnya, terkait ukurannya yang relatif kecil. Pemanfaatan perairan situ yang optimum memerlukan referensi ilmiah dasar untuk konsep pengelolaannya. Situ Cibuntu yang berlokasi di area Pusat Penelitian Limnologi-LIPI, Kabupaten Bogor Jawa Barat, direncanakan sebagai laboratorium alam untuk mempelajari karakter limnologis khusus untuk perairan situ dan hasil penelitian tersebut digunakan sebagai rujukan dalam pengelolaan perairan situ lainnya (Sunanisari, et al., 2003 dan Sunanisari, et al., 2004). Beberapa penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan di Situ Cibuntu sebagian besar adalah tentang kandungan nutrien di kolom perairan situ (Meutia, 2000), struktur komunitas fitoplankton dan hubungannya dengan beberapa parameter kualitas perairan (Sulawesty, et al., 2002). Sunanisari et al. (2004) melaporkan bahwa Situ Cibuntu telah mengalami masalah pendangkalan dalam kurun waktu singkat yang disebabkan terutama oleh proses sedimentasi akibat masuknya hasil erosi yang terbawa melalui inlet yang berasal dari Kali Baru. Pemuatan sedimen berlebihan ke dalam situ menyebabkan terjadinya beberapa efek yang merugikan secara ekologis, antara lain kerusakan habitat akuatik sehingga memicu terjadinya perubahan habitat bentik, nilai estetika perairan akan berkurang atau bahkan hilang, serta mengurangi kapasitasnya sebagai wilayah resapan air (recharging zone). Novotny & Harvey

(1994) menyebutkan bahwa nutrien yang terbawa oleh sedimen dapat menstimulasi pertumbuhan alga, dan sebagai konsekuensinya akan mempercepat proses eutrofikasi. Dalam penelitian ini, sedimen menjadi fokus perhatian karena sangat erat kaitannya dengan karakter bahan organik total (TOM; Total Organic Matter), yaitu bahwa bahan organik terutama akan mengalami dekomposisi dalam sedimen. Transformasi biokimia TOM dalam sedimen berperan penting dalam ekosistem perairan darat. Sedimen merupakan padatan yang langsung mengendap bila perairan tidak diganggu dalam waktu tertentu karena partikel-partikel penyusunnya berukuran relative besar, biasanya berupa pasir dan lumpur. Sedimen adalah regolith yang telah mengalami perpindahan spatial (Wetzel, 2001). Berkaitan dengan masalah diatas, penelitian yang khusus mengenai karakter kimiawi sedimen yang terdistribusi khususnya secara spasial di Situ Cibuntu perlu untuk dilakukan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk: i) Mengungkapkan pola distribusi secara spasial karbon organik dan TOM dan laju akumulasinya; dan ii) Mengetahui pola hubungan dari waktu ke waktu antara padatan tersuspensi (SS; Suspended Solid), kandungan karbon organik dan TOM. Data yang diperoleh dapat digunakan untuk referensi ilmiah mengenai karakteristik perairan situ sebagaimana tujuan dari dibuatnya laboratorium alam Situ Cibuntu di Pusat Penelitian Limnologi, Cibinong. Ketiga parameter ini menjadi fokus perhatian dalam penelitian ini karena diperkirakan muatan sedimen yang masuk ke dalam perairan situ merupakan salah satu

72

Awalina Satya et al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 71-84

penyebab terjadinya akumulasi karbon organik dan TOM dalam sedimen di perairan Situ Cibuntu. BAHAN DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan contoh sedimen dilakukan tiga kali yaitu 24 Februari, 1 April, dan 6 Mei 2005 pada tiga stasiun pengamatan yang terdiri dari bagian inlet situ, tengah situ, dan outlet situ (Gambar 1). Situ Cibuntu memiliki luas area 15.295 m2, dengan kedalaman maksimum (di bagian tengah) saat penelitian ini dilakukan pada February 2005 dilaporkan sekitar 155 cm . Pengukuran laju sedimentasi dilakukan dengan menggunakan alat sederhana Experimental Sediment Trap

(EST) yang dibenamkan di setiap stasiun pengamatan perairan situ selama tiga hari (3 x 24 jam). Rangkaian EST terdiri atas empat stoples yang diletakkan dalam sebuah keranjang plastik yang diberi pemberat dan dihubungkan dengan botol pelampung sebagai penanda letak EST (Gambar 2). Dibagian inlet, dan tengah setu dipasang EST dengan keempat stoples berdiameter 13,8 cm dan tinggi 14,33 cm, sedangkan dibagian outlet setu dipasang empat stoples dengan diameter 12,0 cm dan tinggi 11,60 cm. Sedimen akan terperangkap dalam stoples a, b,c, dan d. Stoples a sampai c digunakan untuk menjebak sediment yang akan dideterminasi kandungan TOM dan karbon organiknya sementara toples d dipersiapkan khusus untuk determinasi SS.

Gambar 1. Lokasi Pengambilan Sample Sedimen di Situ Cibuntu (Sunanisari, et al., 2003).

73

Awalina Satya et al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 71-84

Gambar 2. Experimental Sediment Trap (EST) yang Dibenamkan dalam setiap Lokasi Pengambilan Contoh Sedimen di Situ Cibuntu (Ramadaniya, 2006). Analisis Laboratorium dan Analisis Data Penetapan kadar air, karbon organik dan TOM dilakukan sebagaimana merujuk pada Sudjadi (1971) dan dilakukan secara duplo, sedangkan penetapan SS dilakukan secara triplo dengan metoda APHA (1995). Penetapan kandungan karbon organik dan TOM yang digunakan adalah metode oksidasi basah dalam ekstrak sedimen yang telah diencerkan sampai volume tertentu kemudian dioksidasi dengan menggunakan larutan K2Cr2O7 berkadar 2N. Data hasil analisis kemudian diolah lebih lanjut sesuai dengan Sokhal & Rohlf (1994) yaitu secara pictorial (trendline analysis) untuk mengetahui pola hubungan dari waktu ke waktu antar parameter yang diamati selama proses observasi. Kuat tidaknya pola hubungan ini dideterminasi dari besarnya nilai R2 dari persamaan yang diperoleh dari proses trendline analysis. Analisis dilakukan untuk melihat probabilitas, estimasi dan prediksi hubungan 74 fungsional (Hampton, 1994; Weiss & Hasset, 1982; dan Sokal & Rohlf 1994). Sementara itu perhitungan laju akumulasi karbon organik, TOM dan SS dilakukan menurut rumus yang diadopsi dari Callieri (1997) sebagai berikut: Karbon organik (mg) = karbon organik (%) x mg bk (berat kering) sedimen Laju akumulasi karbon organik = mg karbon organik luas alas EST (m2) x hari TOM (mg) = mg/L x L contoh Laju akumulasi TOM = mg TOM luas alas EST (m2) x hari Padatan tersuspensi total (SS) (mg) = SS (mg/L) x L contoh` Laju akumulasi SS sedimen = mg SS sedimen luas alas (m2) x hari

dimana : Luas alas EST (m2) = r 2 r = jari- jari alas EST.

Awalina Satya et al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 71-84

HASIL DAN PEMBAHASAN Kadar air dalam sedimen selama masa observasi berkisar antara 38,35-76,8%. Nilai terendah dijumpai pada bulan Februari di stasiun tengah, sedangkan yang tertinggi dijumpai pada bulan Mei di bagian outlet situ. Perbedaan ini tampaknya disebabkan oleh karakteristik sedimen yang terperangkap dalam EST di bagian tengah situ pada bulan Februari yang didominasi materi berupa pasir yang tentunya memiliki daya ikat yang lebih rendah terhadap air dibandingkan dengan materi berupa lempung. Distribusi Spatial Temporal SS, Karbon Organik dan TOM Kadar rata-rata SS tertinggi dijumpai di bagian inlet (225,09 g/L) dengan kisaran 4,24-530,38 gram/L dan terendah dibagian
3a)Rata-rata SS dalam ESTdi Inlet 700.00 600.00 500.00
gram SS/L

tengah (0,613 g/L) dengan kisaran 0,4600,780 gram/L (Gambar 3a dan 3b). Rata-rata SS di outlet adalah 3,92 gram/L dengan kisaran 0,580-9,06 gram/L (Gambar 3c). Tampak kecenderungan bahwa SS di bagian outlet meningkat secara nyata (dilihat dari besarnya nilai R 2 dalam setiap persamaan polynomial orde 2) mengikuti periode observasi. Pada bagian inlet maupun tengah, kadar SS tertinggi dijumpai pada bulan April dan cenderung menurun pada bulan Mei. Hal ini dapat dimengerti karena secara visual, inlet Kali Baru membawa muatan SS yang dominan berpartikel ukuran besar sehingga cenderung cepat menumpuk di bagian inlet dan hanya partikel berukuran lebih kecil saja yang sampai ke bagian tengah. Di bagian outlet karena fungsinya sebagai pintu keluarnya air menyebabkan EST yang diletakkan di sini juga menerima SS yang berasal dari bagian tepi situ
3b)Rata-rata SS dalam EST bagian tengah situ Cibuntu 0.900 0.800 0.700 0.600
gram/L

y = -240.33x 2 + 606796x - 4E+08 R2 = 1 530.380

y = -0.1133x2 + 286.21x - 180701 R2 = 1 0.780 0.600 0.460

400.00 300.00 200.00 100.00 0.00 Feb-05 Mar-05 Apr-05 May-05 w aktu sampling 140.660 4.240

0.500 0.400 0.300 0.200 0.100 0.000

Feb-05

Mar-05

Apr-05

May-05

w aktu sampling

3c)Rata-rata SS dalam EST di outlet S.Cibuntu 10 8 6


gram/L

y = 2.0567x 2 - 5190.3x + 3E+06 R2 = 1

9.06

4 2 0 -2 Feb-05 Mar-05 0.58

2.12

Apr-05

May-05

w aktu sampling

Gambar 3. Rata-rata SS dalam EST Situ Cibuntu.

75

Awalina Satya et al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 71-84

sehingga SS dibagian ini menjadi relatif jauh lebih tinggi dibandingkan tengah. Selama bulan April teramati bahwa air yang berasal dari Kali Baru yang masuk ke inlet memang paling keruh (akibat suspensi berkadar besar) sepanjang observasi, hal ini juga didukung dengan kenyataan bahwa kadar SS tertinggi dijumpai pada bulan April. Distribusi rata-rata karbon organik justru tertinggi di bagian tengah (1,72%) dengan kisaran 0,56 - 2,745% dan terendah di bagian inlet (0,99%) dengan kisaran 0,381,245% (Gambar 4b dan 4a). Rata-rata karbon organik di bagian out let adalah 1,15 % dengan kisaran 0,295-1,725% lebih tinggi dibandingkan dengan di inlet (Gambar 4c). Puncak dari nilai kandungan karbon organik di ketiga lokasi terjadi pada bulan Februari.
4a)Rata-rata % karbon organik dalam EST di inlet Situ Cibuntu 1.40 1.20 1.00 0.80
%

Tampaknya hal ini berkaitan dengan bentuk visual sedimen yang terjebak dalam EST yang terlihat lebih gelap warnanya dibandingkan pada bulan lainnya selama pengamatan. Warna sedimen paling cerah dijumpai pada bulan April di bagian inlet dan tengah sehingga tak mengherankan bila pada saat itulah kuantitas karbon organik paling rendah dibanding pengamatan pada periode lainnya. Pola sebaran karbon organik di bagian outlet menurun selama perioda observasi, yang mana hal ini berlawanan dengan pola yang terjadi pada SS. Pola distribusi temporal TOM (Gambar 5a; 5b; 5c) menunjukkan pola kecenderungan yang persis sama pola C
4b)Rata-rata karbon organik dalam EST di tengah S.cibuntu 3.00 2.745

1.245 1.065 y = 0.3725x - 940.62x + 593806 R2 = 1


2

2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00


%

y = 0.7942x 2 - 2005.6x + 1E+06 R2 = 1 1.850

0.60 0.40 0.20 0.00 Feb-05 Mar-05

0.380

0.560

Apr-05

May-05

Feb-05

Mar-05

Apr-05

May-05

w aktu sampling

waktu sampling

4c)Rata-rata karbon organik dalam EST di outlet S.cibuntu 2.5 2 1.5


%

y = -0.3267x 2 + 824.36x - 520073 R2 = 1 1.725 1.425

1 0.5 0 Feb-05 Mar-05 Apr-05 May-05 waktu sampling 0.295

Gambar 4. Rata-rata % C Organik dalam EST Situ Cibuntu

76

Awalina Satya et al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 71-84

organik (Gambar 4a; 4b; 4c) hanya saja kadar TOM lebih besar dibandingkan karbon organik. Hal ini dapat dimengerti karena karbon organik adalah salah satu konstituen penyusun TOM. Sebagaimana diketahui bahwa, TOM menurut Wetzel (2001) terdiri atas campuran yang sangat kompleks dari berbagai hasil tahapan dekomposisi material tumbuhan, hewan, dan aktifitas mikrobial. Kompleksitas tersebut disederhanakan menjadi dua kategori yaitu senyawa non humic dan humic. Senyawa non humic bersifat labil (mudah digunakan dan didegradasi secara enzimatis) sehingga ditemui dalam kadar sangat rendah dan laju turn overnya yang cepat. Termasuk pada kategori ini adalah karbohidrat, protein,
5a)Rata-rata TOM dalam EST di inlet Situ Cibuntu 5.00 4.00 3.00
%

peptide, asam-asam amino, lemak, lilin, resin, pigmen dan senyawa berbobot molekul rendah lainnya. Sedangkan kategori senyawa humic mencakup 70-80% dari TOM. Ciri khasnya adalah warna gelap (dari kuning sampai coklat gelap), berbobot molekul tinggi (dari ratusan sampai ribuan Dalton) tahan terhadap proses degradasi biologis. Senyawa ini merupakan hasil aktifitas degradasi microbial terutama pada material tumbuhan tetapi proses polymerisasi lanjutannya dapat berlangsung secara abiotik. Hasilnya adalah senyawa yang relatif tahan terhadap degradasi biologis sehingga mempunyai turn over rate yang lebih lama.

5b)Rata-rata TOM dalam EST di tengah S.Cibuntu 5 4.5 4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 4.732 y = 1.3691x 2 - 3457.6x + 2E+06 R2 = 1

y = 0.6423x - 1621.8x + 1E+06 R2 = 1 2.146

3.189

2.00 1.00 0.00 Feb-05 Mar-05 Apr-05 0.655

1.836

0.965

May-05

Feb-05

Mar-05

Apr-05

May-05

w aktu sampling

w aktu sampling

5c)Rata-rata TOM dalam EST di outlet S.Cibuntu 3.5 3 2.5


%

2.9739

y = -0.5632x 2 + 1421.2x - 896605 R2 = 1 2.4567

2 1.5 1 0.5 0 Feb-05 Mar-05 Apr-05 May-05 waktu sampling 0.50858

Gambar 5. Rata-rata TOM dalam EST Situ Cibuntu

77

Awalina Satya et al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 71-84

Distribusi Spatial Temporal dan Laju Akumulasi SS, Karbon Organic dan TOM Laju rata-rata akumulasi SS tertinggi terjadi di bagian inlet (25,1 mg/m2/hari) dengan kisaran 0,473-59,132 mg/m2/hari dan terendah di bagian tengah (0,085 mg/m2/hari) dengan kisaran 0,051-0,088 mg/m2/hari (Gambar 6a-6c). Puncak dari laju akumulasi dari setiap lokasi pengamatan dijumpai pada bulan Februari. Hal ini sejalan dengan pola distribusi spatial dan temporal SS dimana kadar tertinggi ditemukan di bagian inlet dan terendah di bagian tengah dengan puncak kadar pada bulan Februari.
6a)Laju akumulasi SS dalamEST inlet

level tertingginya). Pola kecenderungan di inlet ini sama dengan bagian tengah, tapi sebaliknya untuk bagian outlet yang terus meningkat drastis pada bulan Mei hingga mencapai 20,6 kali dibandingkan laju akumulasi pada Februari. Tampaknya hal ini karena fungsi outlet sebagai pintu keluar massa air dari Situ Cibuntu sehingga menerima beban SS yang ikut terbawa bersama massa air yang berasal dari semua bagian badan situ dan kemudian melewati outlet ini. Laju rata-rata akumulasi karbon organik dan TOM tertinggi (112,317 mg/m2/hari dan 193,635 mg/m2/hari) dengan kisaran 10,126-215,199 mg/m2/hari dan
6b)Lajuakum ulasi S dalamE tengahS.C S ST ibuntu 0.14 0.12 i r a h / 0.08 2 m / 0.06 g m 0.04 0.02 0.1 0.115 0.088 y=-2E 2+1.697x -32614 -05x R =1

80 70
i r 50 a h / 2 40 m / g 30 m

y = -0.0302x2 + 2324.3x - 4E+07 R = 1 59.132


mg/m2/hari

60

mg/m2/hari

0.051

20 10 0

15.682 0.473

0 Feb-05 M ar-05 A pr-05 M ay-05 waktusam pling

Feb-05

Mar-05

Apr-05

May-05

waktu sampling

6c)Laju akumulasi SS dalam EST outlet S.Cibuntu 1.6 1.4 1.2 y = 0.0003x 2 - 25.811x + 495673 R = 1 1.336

mg/m2/hari

i r 1 a h 0.8 / 2 m / 0.6 g m 0.4 0.2 0 -0.2

0.313 0.065 Feb-05 Mar-05 Apr-05 May-05

waktu sampling

Gambar 6. Laju Akumulasi SS dalam EST Situ Cibuntu Laju rata-rata akumulasi di bagian inlet cenderung menurun drastis pada bulan Mei (berkurang hingga 92% dibandingkan 17,457-371,003 mg/m2/hari dijumpai di bagian outlet, sedangkan yang terendah dijumpai di bagian inlet (37,997 mg/m2/hari

78

Awalina Satya et al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 71-84

dan 65,507 mg/m2/hari) dengan kisaran 21,085-48,294 mg/m2/hari dan 36,35183,259 mg/m2/hari. Laju akumulasi tertinggi karbon organik maupun TOM dijumpai pada bulan Februari di bagian outlet (215,199 mg/m2/hari dan 371,003 mg/m2/hari) namun cenderung terus menurun (95,4% dari level tertinggi) sepanjang pengamatan. Sebaliknya, di bagian inlet dan tengah, laju rata-rata akumulasi karbon organik maupun TOM cenderung meningkat pada bulan Mei setelah sempat pada bulan April menurun (Gambar 7a-7c dan 8a- 8c). Berdasarkan hal tersebut, tampak bahwa TOM dan karbon organik cenderung untuk terakumulasi di
7a)Laju akumulasi karbon organik dalamEST inlet 60 50 i 40 r a h / 230 m / g 20 m 10 0 Feb-05 Mar-05 Apr-05 May-05 waktu sampling 48.294 y =0.014x2 - 1075.6x + 2E+07 R = 1 44.613

bagian inlet dan tengah. Kemungkinan besar hal ini disebabkan oleh adanya blooming tumbuhan jenis Myrophyllum sp yang bermula dari bagian littoral dan terus menyebar ke bagian tengah, ditambah lagi dengan banyaknya populasi teratai (Nelumbo sp.) di bagian tengah saat bulan Mei berpengaruh terhadap peningkatan akumulasi karbon organik dan TOM. Sebagaimana diketahui, bahwa hasil degradasi atau peluruhan bagian dari vegetasi makrofita air, tipe mencuat dan tenggelam mampu menyumbang kandungan TOM dan karbon organik dalam sediment secara signifikan (Wetzel, 2001).
7b)Laju akumulasi karbon organik dalam EST tengah S.Cibuntu

180 160 140 i 120 r a h / 100 2 m / 80 g m 60 40 20 0


mg/m2/hari

166.642 y = 0.0682x2 - 5241.7x + 1E+08 R = 1 136.636

mg/m2/hari

21.085

26.044 Feb-05 Mar-05 Apr-05 May-05

waktu sampling

7c)Laju akumulasi Karbon organikdalamEST outlet S.cibuntu

250 i 200 r a h150 / 2 m / 100 g m 50 0 Feb-05 Mar-05 215.199

y =-0.0183x2 + 1403.5x - 3E+07 R =1

mg/m2/hari

111.626

10.126 Apr-05 May-05

waktu sampling

Gambar 7. Laju Akumulasi C Organik dalam EST Situ Cibuntu

79

Awalina Satya et al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 71-84

8a)Laju akumulasi TOM dalam EST inlet 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Feb-05 Mar-05 Apr-05 May-05 waktu sampling y = 0.0241x 2 - 1854.3x + 4E+07 R = 1 36.351 83.259 76.913

8b)Laju akumulasi TOM dalam EST tengah S.cibuntu 350 300 250 i r a h / 200 2 m / 150 g m 100 50 0 Feb-05 Mar-05 Apr-05 May-05 waktu sampling 287.291 y = 0.1176x2 - 9036.6x + 2E+08 R = 1 235.560

m g /m 2/h ari

mg/m2/hari

44.900

8c)Laju akumulasi TOM dalam EST outlet S.Cibuntu 400 350 i 300 r a 250 h / 2 200 m / g150 m 100 50 0

371.003

mg/m2/hari

y = -0.0315x2 + 2419.6x - 5E+07 R = 1

192.443

17.457 Feb-05 Mar-05 Apr-05 May-05

waktu sampling

Gambar 8. Laju Akumulasi TOM dalam EST Situ Cibuntu Hubungan SS terhadap Laju Akumulasi C Organik dan TOM Hubungan laju akumulasi SS terhadap laju akumulasi karbon organik dan TOM yang ternyata sangat kuat (R2=1) dalam hubungan polynomial order 2 (Gambar 9; 10). Bagian inlet dan outlet menunjukkan hubungan yang makin meningkat sepanjang pengamatan meskipun kurva bagian outlet tampak lebih landai. Bagian tengah cenderung untuk terus menurun. Indikasi tersebut menunjukkan bahwa masih banyak faktor lain yang berpengaruh secara kompleks terhadap laju akumulasi karbon organik dan TOM yang harus diperhatikan selain kandungan SS yang terbawa masuk ke badan Situ Cibuntu. Sementara itu ternyata bagian inlet memegang peranan penting sebagai pemasok ketiga parameter tersebut. Kemungkinan lain sebagai penyebab fenomena tersebut di atas adalah karakter Situ Cibuntu sebagai perairan lentik yang dangkal. Bagian tengah situ meskipun merupakan bagian terdalam, sudah tidak mampu lagi menahan beban masukan karbon organik dan TOM yang ada di perairan situ sehingga kedua parameter ini terbawa massa air hingga ke bagian outlet.

80

Awalina Satya et al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 71-84

9a)Hubungan SS terhadap laju akum ulasi C organik dalam EST di inlet Situ Cibuntu 600 500 400
gram/L

9b)Hubungan SS terhadap laju akumulasi C organik dalam EST ditengah Situ Cibuntu
0.900 0.800 0.700 0.600

y = 2.1839x 2 - 165.84x + 3056.2 R2 = 1

300
gram/L

0.500 0.400 0.300 0.200 y = -2E-05x 2 + 0.0019x + 0.7455 R2 = 1

200 100 0 -100 -200 m g/m 2.hari 0 10 20 30 40 50 60

0.100 0.000 0 50 100 mg/m 2.hari 150 200

9c)Hubungan SS terhadap laju akumulasi C organik dalam EST outlet Situ Cibuntu
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 0 50 100 150 200 250 m g/m 2.hari)

gram/L

y = 0.0003x2 - 0.1001x + 10.047 R2 = 1

Gambar 9. Kurva Laju Akumulasi SS vs Laju Akumulasi C Organik dalam EST Situ Cibuntu.
10a)Hubungan SS terhadap laju akum ulasi TOM dalam EST inlet Situ Cibuntu

10b)Hubungan SS terhadap laju akumulasi TOM dalam EST tengah Situ Cibuntu
0.900 0.800 0.700 0.600 0.500 0.400 0.300 0.200 0.100 0.000 0 y = -0.1133x 2 + 0.6133x - 0.04 R2 = 1

600 500 400


gram/L

300 200 100 0 -100 0 -200 m g/m 2.hari 20 40 60 80 100

gram/L

y = 0.7348x 2 - 96.197x + 3056.2 R2 = 1

mg/m 2.hari

10c)Hubungan SS terhadap laju akum ulasi TOM dalam EST outlet Situ Cibuntu 10 8 y = 1E-05x 2 - 0.007x + 1.454 R2 = 1

gram/L

6 4 2 0 0 200 400 600 m g/m 2.hari 800 1000 1200

Gambar 10. Kurva Laju Akumulasi SS vs Laju Akumulasi TOM dalam EST Situ Cibuntu 81

Awalina Satya et al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 71-84

Proporsi C Organik dan TOM dalam Sedimen yang Terperangkap dalam EST Kisaran tertinggi bobot karbon organik dan TOM dalam sedimen yang terperangkap EST dijumpai di bagian tengah (0,6%-2,74%) dan terendah di bagian inlet (0,379%-1,254 %) (Gambar 11; 12). Akan tetapi di bagian inlet dan tengah proporsi ini cenderung makin meningkat, sebaliknya pada bagian outlet cenderung menurun.
11a)C-org/Sed EST inlet Situ Cibuntu

Indikasi dari deskripsi ini adalah bahwa sedimen di bagian tengah lebih kaya kandungan karbon organik dan TOM-nya dibandingkan bagian inlet. Meskipun outlet merupakan tempat dijumpai paling tinggi laju akumulasi karbon organiknya, tapi dari segi prosentase kandungan C organik dan TOM terhadap sedimen ternyata justru terendah.

11b)C-org/Sed EST tengah Situ cibuntu 3.000 2.744

1.400 1.200
% C-org/sed EST

1.245
% C org/Sed EST

1.062

2.500 2.000 1.500 1.000 0.500 0.000 Feb-05 Mar-05 Apr-05 May-05 0.601 1.851

1.000 0.800 0.600 0.400 0.200 0.000 Feb-05 Mar-05 Apr-05 May-05 w aktu sampling

0.379

w aktu sampling

11c)C-org/Sed EST outlet situ Cibuntu

1.600 1.400
% C-org/Sed EST

1.584

1.200 1.000 0.800 0.600 0.400 0.200 0.000 Feb-05 Mar-05 Apr-05 May-05 w aktu sampling

0.333

0.296

Gambar 11. Prosentase C-org/Sedimen dalam EST Situ Cibuntu

82

Awalina Satya et al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 71-84

12a)TOM/Sed ESTdi inlet Situ Cibuntu

12b)TOM/Sed EST tengah Situ Cibuntu

2.500
% TOM/Sed EST

2.147 1.831
% TOM/Sed EST

2.000 1.500 1.000 0.500 0.000 Feb-05 Mar-05 Apr-05

0.654

May-05

5.000 4.500 4.000 3.500 3.000 2.500 2.000 1.500 1.000 0.500 0.000

4.733

3.192

1.035

Feb-05

Mar-05

Apr-05

May-05

Waktu sampling

Waktu sampling

12c)TOM/Sed EST outlet situ cibuntu

3.000 2.500
% TOM/EST

2.732

2.000 1.500 1.000 0.500 0.000 Feb-05 Mar-05 Apr-05 May-05 w aktu sampling 0.574 0.510

Gambar 12. Prosentase TOM/Sedimen dalam EST Situ Cibuntu KESIMPULAN Beban kuantitas SS dan sedimen terbesar ke Situ Cibuntu, untuk perioda pengamatan, terjadi pada bulan April, sedangkan beban C organik dan TOM yang terbesar terjadi pada bulan Februari. Pola distribusi spatial SS selalu terbalik dengan pola yang di miliki C organik dan TOM. Sedimen dan SS cenderung lebih terakumulasi di bagian inlet, sedangkan karbon organik dan TOM cenderung terakumulasi di bagian tengah situ. Kadar SS dan sedimen di bagian outlet cenderung lebih tinggi dibandingkan terhadap bagian tengah situ. Pola distribusi spasial SS sejalan dengan laju rata-rata akumulasi SS yaitu tertinggi di bagian inlet (25,1 mg/m2/hari) dan terendah di bagian tengah (0,085 mg/m2/hari). Namun tidak demikian halnya dengan karbon organik dan TOM dimana laju rata-rata akumulasi tertinggi dijumpai di bagian outlet (112,32 mg/m2/hari dan 193,64 mg/m2/hari) dan terendah di bagian inlet (38,0 mg/m2/hari dan 65,51 mg/m2/hari). Hubungan laju akumulasi C organik dan TOM terhadap distribusi SS sangat kuat (R2=1) dalam hubungan polynomial order 2, menandakan bahwa hubungan sangat kompleks dan banyak melibatkan faktor lain yang juga potensial untuk diteliti. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Puslit Limnologi-LIPI atas dukungan fasilitas yang telah diberikan sehingga penelitian dapat berlangsung.

83

Awalina Satya et al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 71-84

DAFTAR PUSTAKA APHA-AWWA., 1995, Standard Methods for The Examination of Water and Waste Water, 17 th edition, Washington. Callieri, C., 1997, Sedimentation and Aggregate Dynamics in Lake Maggiore, a Large, Deep Lake in Northern Italy, Mem.1st.Ital. Idrobiol, ,56:37-50. Hampton, R.E.,1994, Introductory Biological Statistics.Wm. C. Brown Publisher, Dubuque, Iowa, Melbourne, Australia. Oxford. 233 p. Nemerow, N.L., 1991, Stream, Lake, Estuary and Ocean Pollution. Second Edition. Van Nostrand Reinhold. New York, 472 p. Novotny, V., & Harvey O., 1994, Water Quality, Van Nostrand Reinhold, New York, 1054p. Sudjadi, M., M. Widjik & M. Soleh, 1971, Penuntun Analisa Tanah, Lembaga Penelitian Tanah Bogor, 166 p. Sulastri, 2002, Karakteristik Senyawa Nitrogen dan Fosfor Situ Cibuntu Cibinong Kabupaten Bogor, Laporan Teknis Bagian Proyek Penelitian Sumber Daya Perairan Darat Pusat Penelitian Limnologi LIPI, Hal 327334.

Sunanisari, S., F. Sulawesty, A.A Meutia, T. Suryono, A.B. Santoso, E Mulyana, S. Nomosatryo, & H. Fauzy, 2003, Pengembangan Situ Cibuntu sebagai Laboratorium Alam. Laporan Teknis Bagian Proyek Penelitian Sumber Daya Perairan Darat Pusat Penelitian Limnologi LIPI. Hal VII 1-17. Sunanisari, S., F. Sulawesty, T. Suryono. A. Awalina, H. Wibowo, A.B. Santoso E. Mulyana, & Y. Mardiati, 2004, Pengembangan Situ Cibuntu sebagai Laboratorium Alam. Laporan Teknis Bagian Proyek Penelitian Sumber Daya Perairan Darat Pusat Penelitian Limnologi LIPI, Hal VI 1-17. Sokal, R.R., & Rohlf, F.J., 1994, Biometry, the Principles and Practice of Statistic in Biological Research, W.H. Freeman & Co. New York. 887p. Wetzel. R.G., 2001, Limnology. 3 th Ed. W.B. Sounders College Company Publishing, Philadelphia, London, 743 p. Weiss, Neil A., & M.J. Hassett, 1982, Introductory Statistics, AddisonWesley publishing Company, Arizona.651p.

84

Sri Endah Purnamaningtyas et (2010) 17 (1) : 85-93 LIMNOTEK al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 85-93

KAJIAN KUALITAS AIR DALAM MENDUKUNG PEMACUAN STOK KEPITING BAKAU DI MAYANGAN SUBANG, JAWA BARAT Sri Endah Purnamaningtyasa & Amran R. Syama
a

Staf Peneliti Balai Riset Sumberdaya Ikan BRKP-KKP

Diterima redaksi : 14 April 2010, Disetujui redaksi : 7 Mei 2010

ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas air di Perairan Mayangan, satu ekosistem pesisir di wilayah Subang Jawa Barat terkait dengan pemacuan stok kepiting bakau (Scylla sp). Beberapa uji parameter kualitas air telah dilakukan pada bulan Pebruari, Mei, dan Desember, tahun 2007 pada 15 stasiun pengamatan yang meliputi daerah padat mangrove, pantai yang terkena abrasi dengan sedikit mangrove dan sepanjang aliran sungai yang ada di daerah mangrove tersebut. Dalam penelitian ini digunakan metoda survey, dengan pengambilan contoh berstrata. Berdasarkan hasil pengamatan, kondisi perairan ditandai oleh pH antara 7,7 8,3, oksigen terlarut 1,94 3,787 mg/L, salinitas 19,27 33,02 , nitrat 2,483 3,986 mg/L, nitrit 0,007 0,187 mg/L, NH4 1,611 2,648 mg/L, dan fosfat 0,026 0,334 mg/L. Kata kunci : Kualitas air, kepiting bakau (Scylla sp.), ekosistem pesisir, MayanganSubang. ABSTRACT STUDY ON WATER QUALITY TO IN CAUSE THE MUD CRAB STANDING STOCK IN MAYANGAN SUBANG, WEST JAVA. The research was objected to recognize of water quality in Perairan Mayangan, a coastal ecosystem in SubangWest Java, by evaluating some water quality parameters. Observation was conducted on February, May, and December 2007 from 15 (fifteen) locations, by using stratified sampling survey methods. Based on research result shows that pH 7.7 8.3, dissolved oxygen 1.94 3.787 mg/L, salinity 19.27 33.02 , nitrate, nitrite and ammonium concentration were 2.483 3.986 mg/L, 0.007 0.187 mg/L, 1.611 2.648 mg/L,respectively and phosphate concentration was 0.026 0.334 mg/L. Kew words : Water quality, mud crab (Scylla sp.), coastal ecosystem, MayanganSubang

PENDAHULUAN Salah satu sumberdaya perikanan di wilayah pesisir adalah kepiting bakau (Scylla sp). Satu spesies dari kepiting bakau yaitu Scylla serrata (Forskal), hidup di hampir seluruh perairan pantai terutama pada pantai yang ditumbuhi mangrove, perairan dangkal dekat hutan mangrove, estuari dan pantai berlumpur (Moosa et al., 1985). Dikemukakan Ong dalam Moosa et 85

al., (1985), kepiting bakau termasuk salah satu hasil perikanan wilayah pesisir yang bernilai ekonomis penting di seluruh wilayah Indo-Pasfik. Perairan Mayangan merupakan wilayah pesisir di Kabupaten Subang Jawa Barat, berada pada posisi geografis 60 12,018 6 0 14,018 LS dan 1070 45,00 1070 47,54 BT, memiliki sumberdaya perikanan yang potensial. Wilayah Mayangan ini merupakan perairan estuari

Sri Endah Purnamaningtyas et al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 85-93

yang dipengaruhi oleh massa air dari Sungai Cipunagara dan Terusan Sungai Cigadung. Komunitas kepiting bakau yang ditemukan di ekosistem mangrove wilayah Mayangan disusun oleh spesies-spesies S. paramamosain, S. olivacea, S. serrata, dan S. tranquebarica, dengan jenis yang memiliki kelimpahan paling tinggi adalah jenis S. serrata (34,25%) (Siahainenia, 2008). Perairan di sekitar hutan mangrove sangat cocok untuk kebidupan kepiting bakau karena sumber makanan seperti bentos dan serasah cukup tersedia (Hill, 1982). Perairan sekitar mangrove memiliki peranan dan memegang kunci dalam perputaran nutrien, sehingga eksistensinya dapat berperan dalam menopang dan memberikan tempat kehidupan biota laut, apabila lingkungannya relatif stabil, kondusif dan tidak terlalu fluktuatif (Lugo & Snedaker, 1974). Berdasarkan informasi dari nelayan setempat, keberadaan kepiting bakau di daerah Mayangan ini sudah banyak berkurang sejalan dengan menurunnya kepadatan mangrove yang ada dibandingkan kondisi 10 tahun yang lalu. Untuk itu sangat diperlukan upaya pemacuan stok yang berguna untuk meningkatkan sumberdaya kepiting bakau yang ada di perairan tersebut. Penebaran kepiting bakau dalam rangka pemacuan stok telah dilakukan di Perairan Mayangan ini (Syam et al., 2008), sebagai upaya untuk meningkatkan kelestarian sumberdaya kepiting bakau. Hal ini karena perairan tersebut merupakan sumber kehidupan untuk masyarakat yang ada di sekitarnya yang sebagian besar dari mereka adalah nelayan. Dengan demikian kajian kualitas air untuk dapat menjaga kelestarian sumberdaya perikanan yang ada termasuk di dalamnya kepiting bakau (Scylla sp) sangat diperlukan. Kelayakan lingkungan untuk usaha pemacuan stok kepiting bakau di Perairan Mayangan dapat diestimasi melalui pendekatan kualitas air. Hal ini karena

kehidupan kepiting bakau sangat terikat dengan perairan pesisir (pantai). Kepiting bakau betina akan beruaya ke laut untuk memijah dengan jarak tidak lebih satu kilometer dari pantai (Brick, 1974), telur yang telah dibuahi di bawa oleh kepiting betina dan akan menetas dalam waktu 2 - 4 minggu, kemudian menjadi larva dengan lima tingkatan zoea dan satu megalopa. Pada tahap ini kepiting bakau tidak dapat mentolerir salinitas dibawah 140/00 (Hill, 1974). Sementara itu kepiting jantan banyak ditemukan di wilayah mangrove terkait ketersediaan sumber makanannya di wilayah itu (Hill, 1975). Tujuan penelitian ini adalah melakukan pengkajian karakteristik dan kondisi kualitas air di Perairan Mayangan yang berguna untuk mendukung pemacuan stok kepiting bakau. BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan menggunakan metoda survey dengan pengambilan contoh (sampling) berstrata (Cooper & Weekes, 1983), yaitu pada bulan Pebruari, Mei dan Desember tahun 2007 di Perairan Mayangan, Kabupaten Subang Jawa Barat. Lokasi pengamatan ditentukan sebanyak lima belas 15 (lima belas) stasiun (Gambar 1) dan deskripsi zona dengan mempertimbangkan karakteristik perairan secara umum (Kimmel dan George dalam Ryding dan Rast, 1989) (Tabel 1) Pengukuran kualitas air parameter kecerahan, pH, dan oksigen terlarut dilakukan secara langsung, sedangkan untuk parameter lainnya dilakukan analisis di laboratorium (Tabel 2). Pengambilan contoh air menggunakan Kemmerer Water Sampler volume satu liter, kemudian dimasukkan kedalam botol dan selanjutnya disimpan dalam kotak pendingin dengan suhu kurang dari 40C. Analisis kualitas air di laboratorium merujuk pada APHA (1989).

86

Sri Endah Purnamaningtyas et al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 85-93

U
Jawa Barat

Gambar 1. Posisi Stasiun Pengamatan untuk Kualitas Air di Perairan Mayangan Tabel 1. Lokasi Muara Sungai Daerah Abrasi Deskripsi Stasiun Pengamatan di Perairan Mayangan Deskripsi Wilayah Stasiun Pertemuan antara sungai dan laut St. 1, 11 Daerah tambak yang terkena abrasi akibat dari St. 2, 6, 7 penebangan hutan mangrove yang tidak terkendali Mangrove pedalaman Tambak yang ada di pedalaman dengan St .3, 4a, 4b, dan (sekitar tambak) mangrove yang cukup lebat 5 Aliran Sungai Di dalam maupun di luar mangrove St. 8, 9, dan 10 Pantai Sekitar pantai Perairan Mayangan St. 12, 13, dan 14 Tabel 2. Parameter Kualitas Air Metoda / Alat yang digunakan (APHA 1989) Parameter Unit Metode/ alat yang dipakai Secchi disk cm Kecerahan pH unit pH Insitu, indikator pH dari Aquamerck mg/l Oksigen terlarut Insitu, DO meter YSI 55 mg/l CO2 bebas titrametri, Na2CO3 mg/l Ammonium (N-NH4) titrametri, Nessler mg/l Nitrit (N-NO2) titrametri, Alfa-nastilamin mg/l Nitrat (N-NO3) titrametri, Brucine sulfate mg/l Fosfat (P-PO4) titrametri, Stanuskloride mg/l Bahan Organik Total titrametri KMNO4

87

Sri Endah Purnamaningtyas et al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 85-93

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi kualitas air Perairan Mayangan dicirikan oleh pH yang berkisar antara 7,3 8,3, kadar oksigen antara 1,94 3,79 mg/L, dan salinitas antara 19,3 33,1%0, dengan kadar maksimum nitrit, nitrat dan ammonium masing-masing 0,187 mg/L, 3,986 mg/L dan 2,648 mg/L, sedangkan kadar fosfat maksimum adalah 0,334 mg/L (Tabel 3).

8.4, artinya pH di Perairan Mayangan memiliki kisaran pH yang relatif stabil dan dapat dikatakan layak untuk kehidupan biota di dalamnya. Nilai pH yang relatif rendah di stasiun 4b tampaknya terkait dengan lokasi yang berada di wilayah pedalaman dengan kondisi mangrove yang cukup padat (lihat tabel 1). Sementara itu berdasarkan hasil penelitian Toro (1987) di perairan mangrove Segara Anakan, ternyata pertumbuhan

Tabel 3. Parameter Kualitas Air di Perairan Mayangan


Sta. 1. 2. 3. 4a. 4b. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. Lokasi Segara Menyan Tambak abrasi Pertigaan kali siria Kalen kunci Kalen kunci Pertigaaan kalen kunci Tambak abrasi Tambak abrasi Sungai tambak abrasi Kalen tongo Terowongan Muara S. Terusan Muka muara Laut abrasi Muara Segara Menyan Rerata SD Parameter Kualitas Air O2 NO2 NO3 NH4 PO4 Salinitas pH (mg/L) (mg/L) (mg/L) (mg/L) (mg/L) (%o) 8,0 3,74 0,023 3,919 2,559 0,052 19,27 7,8 3,54 0,037 3,814 2,475 0,028 29,93 7,8 2,27 0,018 2,541 1,611 0,051 27,13 7.7 2,26 0,023 2,483 1,589 0,224 25,58 7,3 2,82 0,031 2,617 1,823 0,071 24,40 7,8 3,20 0,058 3,696 2,317 0,241 28,10 8,0 2,80 0,027 3,608 2,144 0,043 28,33 7,8 2,70 0,025 3,520 2,082 0,026 27,83 7,8 2,80 0,007 2,659 1,823 0,061 27,55 7,8 3,54 0,023 3,799 2,455 0,334 27,87 7,8 2,70 0,009 3,514 2,074 0,097 29,83 7,9 3,59 0,029 3,846 2,489 0,119 29,93 8,2 3,59 0,187 3,981 2,585 0,045 32,28 8,0 3,79 0,172 3,986 2,648 0,048 32,17 8,3 1,94 0,035 3,425 1,800 0,045 33,08 7,88 3,02 0,470 3,427 2,165 0,099 28,22 0,222 0,598 0,055 0,559 0,368 0,093 3,46

Derajat Keasaman (pH) Nilai keasaman (pH) di Perairan Mayangan berkisar antara 7,3 8,3 (Tabel 3; Gambar 2), tingkat pH terendah terdapat di wilayah Kalen Kunci (Sta. 4b) dan tertinggi di Muara Segara Menyan (Sta. 14). Nilai pH dalam suatu perairan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kegiatan fotosintesis, suhu dan terdapatnya anion dan kation (Supriharyono, 1978). Menurut Nybakken (1992), perairan pesisir atau laut mempunyai pH relatif stabil, dan berada pada kisaran yang sempit yaitu antara 7.7

kepiting mangrove (S. serrata) memiliki hubungan positif dengan kondisi pH perairan yang berkisar antara 6,2 7,5. Sedangkan pada uji laboratorium ternyata tingkat pH berperan terhadap sintasan larva kepiting bakau S. serrata. Larva jenis ini memiliki sintasan paling baik pada kisaran pH 9,1 - 9,5 (Yunus et al., 1997). Dengan demikian kondisi perairan Mayangan masih mendukung pertumbuhan kepiting mangrove terutama jenis S serrata, tetapi kurang optimal bagi perkembangan larvanya.

88

Sri Endah Purnamaningtyas et al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 85-93

Gambar 2. Kondisi pH di Perairan Mayangan Salinitas Salinitas di Perairan Mayangan berkisar antara 19,27 33,08 (Gambar 3). Salinitas terendah terdapat di Segara Menyan (Sta.1) yang merupakan pertemuan antara air tawar dan air laut, sebagai akibat adanya faktor pengenceran dari air tawar yang mengalir melalui Segara Menyan tersebut. Salinitas tertinggi terdapat di Muara Segara Menyan (Sta. 14), yang merupakan wilayah pantai, dan diperkirakan pada stasiun ini pengaruh air laut cukup besar. Berdasarkan penelitian Karim (2007) pada kepiting bakau jenis S. olivacea, tingkat salinitas tidak berpengaruh terhadap sintasan kepiting bakau namun ternyata berpengaruh terhadap pertumbuhan biomassanya. Pertumbuhan biomassa tertinggi dihasilkan pada media bersalinitas 25 dan terendah pada salinitas 15. Sementara itu Baliao (1983) mendapatkan bahwa kepiting bakau yang dipelihara di tambak bertumbuh cepat pada salinitas 1213, dan Gunarto et al., (1987) mengemukakan bahwa benih kepiting dari

Gambar 3. Tingkat Salinitas Rata-rata di Perairan Mayangan Menurut Kasry (1996), kepiting bakau dapat mentolelir kisaran salinitas dari <15. sampai >30, namun demikian menurut Sirait (1997) kisaran salinitas memberi pengaruh terhadap distribusi jenis dan ukuran dari kepiting bakau. 89 jenis S. serrata cenderung tumbuh lebih cepat pada salinitas 10. Berdasarkan data-data salinitas yang ada, sebagian besar wilayah Perairan Mayangan tampaknya cukup optimum untuk kehidupan kepiting bakau.

Sri Endah Purnamaningtyas et al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 85-93

Oksigen Terlarut Nilai rata-rata oksigen terlarut di Mayangan berkisar antara 1,94 3,79 mg/L (Tabel.3). konsentrasi oksigen terendah terdapat di Muara Segara Menyan (Sta.14) dan tertinggi terdapat di wilayah laut yang terkena abrasi (Sta. 13) (Gambar 4). Konsentrasi oksigen yang rendah akan mengakibatkan sensitivitas biota terhadap zat kimia akan meningkat dan akan meningkatkan toksisitas ammonia (Murty, 1986; Lloyd, 1992). Rendahnya konsentrasi oksigen dapat disebabkan adanya perombakan organik yang intensif yang tidak seimbang dengan pasokan oksigennya. Akumulasi bahan organik dapat bersumber dari buangan aktivitas tambak atau dari serasah-serasah mangrove yang masuk ke wilayah Muara Segara Menyan ini, terutama dari Segara Menyan.

kadar oksigen yang terukur berada pada kisaran 3,32 3,91 mg/L. Nitrogen Kandungan nitrogen di Mayangan diukur dalam bentuk nitrat (N-NO3), nitrit (N-NO2) dan amonium (N-NH4). Komponen nitrat mudah larut dalam air dan bersifat stabil. Alaerts dan Santika, (1987) mengatakan bahwa konsentrasi nitrat yang tinggi di suatu perairan dapat menstimulasi pertumbuhan tumbuhan air apabila didukung oleh nutrient yang lain. Kandungan nitrat yang diamati selama penelitian berkisar antara 2,483 3,986 mg/L (Tabel 3; Gambar 5). Tingginya kandungan nitrat di perairan ini diduga akibat banyaknya buangan limbah rumah tangga, pertanian dan industri yang masuk ke perairan ini. Namun demikian, tingginya kadar nitrat umumnya tidak akan

Gambar 4. Kadar Oksigen (O2) Rata-rata di Perairan Mayangan Kondisi oksigen di Perairan Mayangan yang relatif rendah (< 3,79 mg/L) tidak cukup mendukung kehidupan kepiting bakau, karena menurut Susanto & Murwani (2006) kebutuhan oksigen untuk kehidupan kepiting bakau adalah >4,0 mg/L. Namun demikian, menurut Yusuf (1994) untuk kehidupan hewan-hewan bentik, okigen terlarut sekitar 1 mg/L masih dapat ditolelir. Sementara itu berdasarkan hasil penelitian Toro (1987) di Segara Anakan tidak terdapat hubungan yang erat antara pertumbuhan kepiting bakau dengan kadar oksigen, dan 90 memberikan pengaruh terhadap kehidupan biota perairan. Sebagian besar kandungan nitrit di Perairan Mayangan <0,058 mg/L, kecuali di lokasi Muka Muara (Sta. 12) dan Laut abrasi (Sta. 13) yang relatif tinggi, masing-masing 0,187 mg/L dan 0,172 0mg/L (Tabel 3; Gambar 5). Menurut Effendi (2003) konsentrasi nitrit yang melebihi 0,05 mg/L dapat bersifat toksik bagi biota laut, sementara pada penelitian Gunarto & Rusdi (1993), kepiting bakau jenis S. serrata masih tumbuh baik pada kadar nitrit hingga 0,05

Sri Endah Purnamaningtyas et al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 85-93

mg/L. Di perairan Segara Anakan, Toro (1987) mendapatkan kisaran nitrit antara 0,053 0,38 mg/L, dan ternyata pertumbuhan kepiting bakau tidak menunnjukkan keterkaitan denga kadar nitrit tersebut. Dengan demikian, berdasarkan kadar nitritnya sebagian besar wilayah Perairan Mayangan memiliki kondisi yang cukup baik untuk kehidupan kepiting bakau.

bahwa standar baku mutu untuk NH3 adalah 0,3 mg/L (biota laut). Menurut Effendi (2003), konsentrasi amonia yang tinggi dapat mengganggu proses mengikatan oksigen oleh darah dan ahkirnya dapat menyebabkan kematian secara perlahan karena lemas pada ikan, dimana ikan tidak dapat bertoleransi terhadap kadar amonia bebas yang tinggi.

Gambar 5. Kadar Nitrit dan Nitrat Rata-rata di Perairan Mayangan Konsentrasi NH4 di Mayangan berkisar antara 1,611 2,648 mg/L (Tabel 3; Gambar 5), konsentrasi terendah terdapat pada Stasiun 3 sedangkan tertinggi terdapat pada Stasiun 13 (stasiun laut yang terkena abrasi). Menurut Boyd (1990) amonia dan amonium bersifat toksik tetapi amonia lebih bersifat toksik daripada amonium. Menurut Keputusan Men KLH No. 51 tahun 2004 Fosfat Kisaran fosfat selama pengamatan berkisar antara 0,026 0,334 mg/L, kadar fosfat terendah terdapat di Stasiun 7 dan tertinggi di Stasiun 9 (Tabel3; Gambar 6). Kandungan fosfat di Perairan Mayangan cukup baik berdasarkan baku mutu perairan dari NTAC (1968) yang berkisar 0,2 6,0 mg/L. Konsentrasi fosfat yang terlalu rendah

Gambar 6. Kadar Fosfat (PO4) Rata-rata di Perairan Mayangan

91

Sri Endah Purnamaningtyas et al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 85-93

kurang baik untuk lingkungan air laut, karena fosfat merupakan elemen penting untuk menopang kehidupan ekosistem perairan (Canter dan Hill, 1979). Menurut Dugan (1972) fosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan oleh tumbuh-tumbuhan. KESIMPULAN Berdasarkan pengamatan kualitas air yang dilakukan di Perairan Mayangan dapat dikatakan bahwa sebagian besar perairan tersebut masih dapat mendukung pemacuan stok kepiting bakau. DAFTAR PUSTAKA APHA., 1989, Standard Methods for the Examination of Water and Wastewater, 20th ed. American Public Health Association, Washington, D. C. Alaerts, G., & S. Santika, 1987, Metode Penelitian Air, Usaha Nasional, Surabaya. Baliao, D.D., 1983, Mud Crab Alimngo Production in Brackish-water Pond with Milk Fish, SEAFDEC Aquaculture Departement, p 9. Boyd, E.C., 1990, Water Quality in Ponds for Aquaculture, Birmingham Publishing Co, Birmingham, 482 p. Brick, R.W., 1974, Effect of Water Quality, Antibiotics, Phytoplankton and Food Survival and Development of Scylla serrata (Crustasea : Portunidae), Aquaculture Vol. 3 : 231 244. Canter, W.L., & L.G. Hill, 1979, Handbooks of Variable or Environmental Impact Assesment, Ann Arbor Sci. Pub. Inc. USA. Cooper R.A., & A.J. Weekes, 1983, Data, Models and Statistical Analysis, Philip Allan Publishers Limited, Oxford, 400 p.

Dugan, P.R., 1972, Biochemical Ecology of Water Pollution, Plenum Press. New York, 159 p. Effendi, H., 2003, Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan, Kanisius, Yogyakarta. Gunarto, A. Mustafa, & Suharyanto,1987, Pemeliharaan Kepiting Bakau, Scylla serrata Forskal, pada berbagai Tingkat Kadar Garam dalam Kondisi Laboratorium, J. Penel. Budidaya Pantai Vol. 3(2): 60-64. Gunarto & I. Rusdi, 1993, Budidaya Kepiting Bakau, Scylla serrata di Tambak pada Padat Penebaran Berbeda, J. Penel. Budidaya Pantai Vol. 9(3): 7-12. Karim, M. Y., 2007, Pengaruh Osmotik pada Berbagai Tingkat Salinitas Media terhadap Vitalitas Kepiting Bakau (Scylla olivacea) Betina, Jurnal Protein Vol.14(1): 65- 72. Hill, B.J., 1974, Salinity and Temperature Tolerance of Zoea of The Portunid Crab, Scylla Serrata (Forskal), Marine Biology, Vol. 25 : 21-24. Hill, B.J., 1975, Abudance, Breeding and Growth of The Scylla serrata in Two South African Estuarine, Mar. Biol. Vol. 32 : 119-126. Hill, B. J., 1982, The Queensland Mud Crab Fishery. Queensland Departement of Primary Industry, p 13. Kasry, A., 1996, Budidaya Kepiting Bakau dan Biologi Ringkas, Bharata, Jakarta, 87 hal. Llyod, R., 1992, Pollution and Freshwater Fish, Oxford University, Fishing News Book. Lugo, A.E., & S.C. Snedaker, 1974, The Mangrove Ecosystem: Reseacrh Method. Published by the United National Educational, Scientific and Cultural Organization. Bungay, United Kingdom, 251 p.

92

Sri Endah Purnamaningtyas et al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 85-93

Moosa, M.K., I. Aswandy & A. Kasry, 1985, Kepiting Bakau, Scylla serrata (Forskall, 1775) di Perairan Indonesia, Seri Sumberdaya Alam, Lembaga Oseanologi Nasional-LIPI. Jakarta, 18 hal. Murty, A.S., 1986, Toxity of Pesticides to fish. Vol.1, Florida, CRC. Press. NTAC., 1986, Water Quality Criteria, FWPCA., Washington DC. 234 p. Nybakken, J. W., 1992, Biologi Laut, Suatu Pendekatan Ekologis, PT Gramedia Utama, Jakarta, 459 hal. Ryding, S.O., & W. Rast (eds.), 1989, The Control of Eutrophication of Lake and Reservoirs, Man and the Biosphere Series, 314 p. Siahainenia, L., 2008, Bioekologi Kepiting Bakau (Scylla spp) di Ekosistem Mangrove, Kabupaten Subang Jawa Barat, Disertasi, Sekolah Pascasarjana-IPB, 289 hal. Sirait, J. M., 1997, Kualitas Habitat Kepiting Bakau, Scylla serrata, S. oceaninica dan S. tranquebarica di Hutan Mangrove RPH Cibuaya, Karawang, Skripsi, Fak. Perikanan IPB,104 hal. Supriharyono, 1978, Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir Tropis, Gramedia, Jakarta.

Susanto, G. N., & S. Murwani, 2006, Analisis secara Ekologis Tambak Alih Lahan pada Kawasan Potensial untuk Habitat Kepiting Bakau (Scylla spp.), Prosiding Seminar Nasional Limnologi 2006, Puslit Limnologi LIPI, Hal. 284 292. Syam, A.R., Sulistiono, Kartamihardja, E.S., & Purnamaningtyas, S.E., 2008, Laporan Tahunan Pemacuan Stok Kepiting Bakau (Scylla spp) di Pantai Utara Jawa, Loka Riset Pemacuan Stok Ikan, Departemen Kelautan dan Perikanan. Toro, A. V., 1987, Ekologi Kepiting Bakau Niaga, Scylla serrata Forskal, di Perairan Mangrove Segara Anakan, Cilacap Jawa Tengah, Prosiding Seminar III Ekosistem Mangrove, LIPI-Departemen Kehutanan Republik Indonesia, Hal. 147 -155. Yunus, I. Setiyadi, Kasprijo, & Des Roza, 1997, .Pengaruh pH Air terhadap Sintasan Larva Kepiting Bakau (Scilla serrata), J. Penel. Perikanan Indonesia, Vol. 3(4): 57-61. Yusuf, M., 1994, Dampak Pencemaran Pantai terhadap Struktur Komunitas dan Kualitas Perairan Laguna, Pulau Tirang Cawang, Semarang, Program Pascasarjana-IPB, Bogor, 66 hal.

93

Novi Mayasari et al. / LIMNOTEK(1) : 94-101 : 94-101 LIMNOTEK (2010) 17 (2010) 17 (1)

PENAMPILAN IKAN PELANGI BIRU (Melanotaenia lacustris) PADA KISARAN pH YANG BERBEDA Novi Mayasaria & Djamhuriyah S. Saida
a

Staf Peneliti Puslit Limnologi-LIPI

Diterima redaksi : 24 November 2009, Disetujui redaksi : 5 Februari 2010

ABSTRAK Ikan Pelangi biru (Melanotaenia lacustris) disebut juga Rainbow Turkeys, warna tubuh bagian dorsal menampilkan warna biru turkeys, sedangkan pada bagian ventral berwarna putih. Ikan ini berasal dari Danau Kutubu Papua dan populer sebagai ikan hias dalam golongan Rainbowfish. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbedaan pH air terhadap penampilan ikan Rainbow biru. Parameter yang diamati yaitu warna, pertumbuhan (panjang dan berat) dan sintasan. Perlakuan yang diberikan adalah empat kisaran pH berbeda yaitu 45; 56; 67; dan 7-8 dengan ulangan sebanyak tiga kali. Masing-masing 10 ekor anak ikan ukuran 4,25,7 cm diuji dalam akuarium (80 x 40 x 40 cm3) dan diberi pakan Chironomus. Penelitian berlangsung selama 3 (tiga) bulan dengan periode pendataan setiap dua minggu. Hasil menunjukkan bahwa perlakuan pH tidak berbeda nyata terhadap penampilan warna (p>0,05). Hasil uji menunjukkan pertumbuhan panjang dan berat pada perlakuan kisaran pH 4-5 berbeda nyata jika dibandingkan dengan ketiga perlakuan lainnya (p<0,05). Pertumbuhan panjang dan berat terbesar pada kisaran pH 7-8 masing-masing sebesar 0,0116 cm/hari dan 0,0108 g/hari. Sedangkan sintasan (SR, Survival Rate) ikan tidak berbeda pada semua perlakuan,namun pH rendah telah menurunkan nilai sintasannya. Kata kunci : Ikan pelangi Biru (Melanotaenia lacustris), pH, warna, pertumbuhan dan sintasan. ABSTRACT PERFORMANCE OF BLUE RAINBOW FISH (Melanotaenia lacustris ) AT DIFFERENT pH RANGE. Blue rainbow (Melanotaenia lacustris) or Rainbow Turkeys has blue body color on dorsal and white color on ventral. It is originally from Lake Kutubu (Papua), and popular as ornamental fish in the Rainbow fish group. The aim of this study was to determine the effect of different pH of on the performance of the blue rainbow fish. The measured parameters were color, growth (length and weight) and survival rate. Treatment was done with four different pH range of 4-5, 5-6; 6-7, and 7-8 with 3 replications. A total of 10 juvenils size from 4.2 to 5.7 cm were treated in the aquarium (80 x 40 x 40 cm3) and fed with chironomus for three months period. The pH treatment apparently did not give significant different results on color performance of the fish and survival rate (p> 0.05). The results also showed that length and weight growth in the range of pH 4-5 treatment was significantly different when they were compared with the three other treatments (p<0,05). The largest length and weight were obtained at pH 7-8, 0.0116 cm/day and 0.0108 g/day, respectively. While survival rate (SR) were not

different at all treatments, but it decreased in low pHtreatment.


Key words : Melanotaenia lacustris, pH, colour, growth rate, and survival rate.

94

Novi Mayasari et al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 94-101

PENDAHULUAN Ikan pelangi biru (Melanotaenia lacustris) merupakan salah satu ikan hias yang cukup diminati pada perdagangan ikan hias. Ikan tersebut berasal dari Danau Kutubu dan outletnya, Sungai Soro, di dataran tinggi Papua Selatan. Lokasinya merupakan bagian dari sistem Sungai Kikori yang mengalir ke arah selatan dan bemuara di Teluk Papua. Ikan rainbow biru disebut juga Turkeys Rainbow karena warna tubuhnya menampilkan warna biru turkeys, termasuk dalam kelompok Rainbowfishes famili Melanotaeniidae dengan ordo Atheriniformes, dan dapat tumbuh mencapai ukuran 12 cm (Allen, 1995). Ikan jantan berukuran relatif besar, memipih, dan berwarna biru turkeys pada bagian dorsal dan putih kekuning-kuningan pada bagian ventral, dengan bintik kuning pada kepala bagian atas. Batas kedua warna (biru dan putih) tampak sangat jelas pada ikan jantan dibandingkan dengan betina yang berwarna relatif pucat. Ikan betina berukuran relatif kecil dan bentuk tubuhnya memanjang (Said et al., 2003). Keindahan bentuk tubuh dan warnanya menyebabkan ikan pelangi biru, terutama individu jantan sangat digemari sebagai ikan hias sehingga memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Hal ini menyebabkan eksploitasinya berlangsung terus-menerus dan dikhawatirkan akan mengancam kelestariannya. Untuk menjaga populasinya di alam dan pada waktu yang bersamaan memenuhi permintaan pasar maka perlu dilakukan usaha pengembangan budidaya jenis ikan ini (Said et al., 2003). Meskipun upaya pengembangannya telah cukup lama dilakukan, akan tetapi informasi biologis ikan ini masih jarang dilaporkan terutama yang berhubungan dengan kondisi air pemeliharaan, antara lain keasaman air. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbedaan pH air terhadap penampilan ikan pelangi Biru. Parameter penampilan yang diamati yaitu

warna, pertumbuhan (panjang dan berat) dan sintasan. BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan di Pusat Penelitian Limnologi-LIPI, Cibinong, pada bulan Maret-Juni 2008. Perlakuan dilakukan dengan empat tingkat kisaran pH berbeda, yaitu 45; 56; 67; dan 7-8. Untuk kisaran pH 45; 56 dan 67 diperlakukan dengan memasukkan daun ketapang ke dalam akuarium pemeliharaan ikan. Sedangkan untuk kisaran pH 7-8 dikondisikan dengan menambahkan larutan kapur tohor ke dalam air. Daun ketapang yang telah kering dihancurkan dengan menggunakan blender. Setelah itu daun ketapang dibungkus dengan kain setrimin agar serasahnya tidak mengotori akuarium. Ikan-ikan yang akan diuji, sebelumnya diadaptasikan terhadap pH air tersebut. Kondisi akuarium dibiarkan selama beberapa minggu untuk mencapai pH yang diinginkan. Apabila tingkat pH yang diinginkan belum diperoleh maka daun ketapang ditambahkan ke dalam akuarium sampai kondisi yang diinginkan tercapai. Ikan M. lacustris uji berasal dari hasil pengembangan Pusat Penelitian Limnologi-LIPI. Ikan uji berukuran 4,25,7 cm, berumur empat bulan. Kriteria pengambilan umur tersebut dengan asumsi bahwa ikan M.lacustris telah mulai menampilkan kekhasan warna yang dimilikinya dibandingkan ikan pada usia muda. Setiap akuarium (80 x 40 x 40 cm3 ) diisi 10 individu ikan dan diberi pakan Chironomus. Setiap perlakuan diulang tiga kali. Pengamatan penampilan warna ikan dilakukan dengan pendekatan standar warna dari TC Standard Color Guide Cemani Tuka-Japan, 1990. Standar warna yang digunakan adalah biru, karena ikan uji berwarna biru (Rainbow biru). Pengamatan warna tubuh ikan dilakukan mulai sejak awal penelitian dengan interval waktu setiap dua minggu dengan patokan warna pada

95

Novi Mayasari et al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 94-101

tubuh, garis linea lateralis, sirip punggung, sirip anal, sirip ekor (Gambar 1). Hal ini dilakukan karena ikan yang digunakan telah cukup besar dan warnanya sudah terlihat. Nilai warna dari TC Color Guide diberi skor sesuai dengan kualitas warna biru. Warna biru lebih cemerlang diberi skor lebih tinggi daripada sebaliknya. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan mngkuantifikasi data untuk mempermudah analisis. Pengambilan parameter tubuh tersebut dilakukan dengan asumsi bahwa ikan pelangi memiliki kekhasan pada warna tubuh yang ditampilkan antara lain warna kulit/sisik, garis linea lateralis tubuh, sirip punggung, sirip ekor, maupun warna pada kepala. Pengamatan pertumbuhan dilakukan dengan pengukuran panjang total ikan (ketelitian alat ukur 0,1 cm) dan berat badan ikan (ketelitian timbangan 0,001g). Sedangkan sintasan diamati dengan menghitung jumlah ikan yang mati selama pemeliharaan dan kemudian dibandingkan dengan jumlah ikan pada kondisi awal.

setiap dua hari sekali. Sedangkan pengamatan terhadap kualitas air seperti nitrit, nitrat dan amonia dengan menggunakan test kit (Tetra test) dilakukan setiap dua minggu sekali. Analisa statistik terhadap semua data yang didapat dilakukan dengan menggunakan program SPSS versi 12.0 dan program Microsoft Excel. Rancangan penelitian menggunakan rancangan acak lengkap dan uji lanjut yang digunakan adalah uji lanjut Duncan. Skor warna ikan dianalisis dengan menggunakan uji KruskalWallis. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil skor warna yang ditampilkan oleh beberapa bagian tubuh ikan M.lacustris terlihat pada Tabel 1. Selama pengamatan berlangsung, secara umum terlihat skor warna bagian tubuh ikan cenderung menurun walapun fluktuatif. Akan tetapi setelah dilakukan uji Kruskal-Wallis pada

Gambar 1. Deskripsi Penilaian Warna dalam Uji pH air terhadap Penampilan Warna Tubuh Ikan M. lacustris Pengukuran kualitas air seperti pH, oksigen terlarut (DO; Dissolved Oxygen) dan suhu menggunakan Water Quality Checker (WQC) [Horiba-Japan] dilakukan skor warna ikan M. lacustris, ternyata perlakuan pH tidak memberikan hasil yang berbeda nyata terhadap penampilan warna ikan tersebut (p>0,05).

96

Novi Mayasari et al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 94-101

Tabel 1. Skor Warna bagian Tubuh Ikan M. lacustris pada Perlakuan pH yang berbeda
Perlakuan Warna Bagian Tubuh WT WPA pH 4-5 WE WLL Jumlah nilai WT WPA pH 5-6 WE WLL Jumlah nilai WT WPA pH 6-7 WE WLL Jumlah nilai WT WPA pH 7-8 WE WLL Jumlah nilai Sampling 1 5 7 6 11 29 6 7 5 9 27 4 5 3 11 23 4 7 11 11 33 Sampling 2 3 5 3 7 18 2 5 4 6 17 2 4 2 4 12 2 4 3 5 14 Sampling 3 3 6 4 6 19 3 5 3 4 15 2 5 3 6 16 2 5 3 4 14 Sampling 4 3 6 4 7 20 2 6 3 4 15 2 6 3 4 15 2 5 3 3 13 Sampling 5 3 5 4 7 19 3 6 5 5 19 2 4 3 4 13 2 5 3 4 14 Sampling 6 2 5 3 6 16 2 4 3 5 14 4 5 3 6 18 2 4 3 5 14

Walaupun demikian secara visual tampak bahwa penampakkan warna tubuh ikan pada pH yang lebih rendah (pH<7) lebih cemerlang dibandingkan pada pH tinggi (7-8). Air pemeliharaan pada pH rendah cenderung berwarna, sebagai akibat dari penggunaan daun ketapang dibandingkan dengan air pemeliharaan pada pH tinggi yang menggunakan kapur sebagai bahan campuran untuk meningkatkan nilai pH. Hal tersebut diduga berpengaruh terhadap hasil pengamatan. Oleh karena itu penelitian ini akan lebih baik jika diawali dengan standarisasi warna air pemeliharaan terlebih dahulu. Dengan demikian maka perubahan warna ikan yang ditampilkan cenderung hanya karena pengaruh pH air

semata. Secara umum hewan (ikan) yang memiliki warna mencolok memiliki sifat penyesuaian diri yang sangat tinggi dengan warna lingkungan tempat hidupnya. Dalam www.o-fish.com disebutkan bahwa pada warna latar pucat, sel warna ikan akan cenderung berkontraksi agar ikan menyesuaikan tubuhnya sepucat mungkin. Sedangkan pada kondisi sebaliknya, ikan akan bereaksi sebaliknya pula. Dengan semakin bertambah waktu pemeliharaan, jumlah skor warna tubuh ikan mengalami penurunan jika dibandingkan dengan jumlah skor warna pada saat pengambilan contoh (sampling) ke-1 (Gambar 2).

97

Novi Mayasari et al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 94-101

Gambar 2. Jumlah Skor Warna Total Ikan M. lacustris pada Kisaran pH yang berbeda Pada parameter pertumbuhan panjang dan berat ternyata perlakuan pH memberikan pengaruh yang nyata. Setelah dilakukan uji lanjut Duncan, diperoleh hasil bahwa pertumbuhan panjang dan berat pada perlakuan kisaran pH 4-5 berbeda nyata (p<0,05) jika dibandingkan dengan ketiga perlakuan lainnya (Tabel 2). Pertumbuhan panjang dan berat yang terbesar diperoleh pada kisaran pH 7-8, masing-Pertumbuhan yang dicapai masingmasing sebesar 0,0116 cm/hari dan 0,0108 g/hari. Pertumbuhan tersebut tampak lebih kecil dibandingkan pertumbuhan panjang ikan berumur 1-3 bulan, seperti ikan Marosatherina ladigesi (Said & Mayasari, 2007) maupun ikan Aplocheilus lineatus (Said & Mayasari, 2008). Hal tersebut diduga karena pertumbuhan ikan uji sudah mulai mendatar. Penelitian Supyawati (2003) pada ikan pelangi merah Glossolepis incisus jantan berumur empat bulan dengan pakan Chironomus memperoleh pertumbuhan harian mencapai 0,017 cm/hari. Pola pertumbuhan panjang ikan M. lacustris pada kisaran pH 4-5 berbeda jika dibandingkan dengan tiga kisaran pH lainnya (Gambar 3). Pada kisaran pH 4-5 pertumbuhan panjangnya lebih rendah, sedangkan pada tiga kisaran pH yang lain memiliki pola pertumbuhan panjang yang relatif sama. Tampaknya menurunnya nilai pH air dapat mengganggu proses pertumbuhan ikan M. lacustris.

Tabel 2. Pertumbuhan Panjang, Berat dan Sintasan Ikan M. lacustris pada Kisaran pH berbeda.
Parameter Pertumbuhan panjang (cm/hari) Pertumbuhan Berat (g/hari) Sintasan/SR (%) Perlakuan pH 4-5 0.0044 0.0022a 0.0037 0.0016a 43.33 41.63a pH 5-6 0.0116 0.0003 b 0.01 0.0018b 100a pH 6-7 0.0109 0.0008b 0.0101 0.0003b 95 7.07a pH 7-8 0.0116 0.0015b 0.0108 0.0012b 96.67 5.77a

98

Novi Mayasari et al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 94-101

Gambar 3. Pola Pertambahan Panjang Ikan Pelangi Biru (M. lacustris) pada berbagai Perlakuan pH Air Pola pertumbuhan berat ikan M. lacustris pada kisaran pH 4-5 juga berbeda jika dibandingkan dengan tiga kisaran pH lainnya (Gambar 4). Pada kisaran pH 4-5 pertumbuhan beratnya lebih rendah daripada yang lain. Sedangkan tiga kisaran pH yang lain memiliki pola pertumbuhan berat yang hampir sama. Dari hasil penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa kisaran pH 4-5 menghambat pertumbuhan panjang dan berat pada ikan M. lacustris. Hal serupa juga terlihat pada kemampuan tumbuh ikan M. ladigesi pada pH rendah cenderung menurun dibandingkan pada pH air normal (Said et.al., 2010). ion yang melewati insang. Oleh karena itu, kegagalan pada keseimbangan asam basa mengakibatkan stres pada organ pernafasan dan menurunkan konsentrasi darah yang menyebabkan gangguan ormotik, yang merupakan gejala fisiologi yang dominan pada stres pH. Hasil pengamatan terhadap sintasan (SR survival rate) ikan M. lacustris pada semua perlakuan menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (p>0,05), namun SR terbesar (100%) diperoleh pada kisaran pH 5-6 dan terkecil pada perlakuan pH 4-5. Primack et al.,(1998) menyatakan bahwa pH perairan kurang dari 5 telah

Gambar

4.

Pola Pertambahan Berat Ikan pada berbagai Perlakuan pH Air

Pelangi

Biru

(M.

lacustris)

Menurut Leivestad (1982) dalam Boyd (1990), ketika ikan terpapar pH rendah, jumlah lendir pada permukaan insang meningkat. Lendir yang berlebihan mengganggu proses pertukaran udara dan

menyebabkan ikan-ikan gagal bertelur, dan pH perairan kurang dari 4 memberikan efek kematian pada ikan. Sedangkan menurut Swingle (1961) dalam Boyd (1990) disebutkan bahwa pada

99

Novi Mayasari et al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 94-101

kisaran pH 4- 6,5 pertumbuhan ikan menjadi lebih lambat. Kisaran pH yang cocok untuk produksi ikan umumnya adalah pada pH 6,59. Menurut Allen (1995), ikan M. lacustris sendiri di habitat aslinya hidup pada kisaran pH 8,59. Faktor ontogeni ini diduga menyebabkan ikan M. lacustris sulit mentolerir lingkungan dengan pH rendah (pH < 5 ) sehingga menyebabkan pertumbuhannya lambat dibandingkan dengan lainnya. Sintasan (SR) ikan M. lacustris pada kisaran pH 4-5 mengalami penurunan yang sangat drastis (Gambar 5). Akan tetapi setelah diuji secara statistik, sintasan pada semua perlakuan pH menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (p>0,05). Walaupun demikian perlu juga dicermati bahwa pada kisaran pH yang terlalu rendah ikan menjadi rentan terhadap penyakit sehingga dapat mengalami kematian. Sintasan akhir ikan M.lacustris yang didapat pada perlakuan kisaran pH 4-5 sebesar 43,33%. Nilai ini lebih rendah jika dibandingkan dengan penelitian lain yang pernah dilakukan pada ikan Marosatherina pada ladigesi. Sintasan yang dicapai kisaran pH 4,5-5,5 sebesar 60% dan pada pH lebih besar daripada 6 dapat mencapai 85-100% (Said, et.al., 2010). Ini sesuai dengan kondisi alami ikan M.ladigesi yang hidup pada pH cenderung alkalin (7,488,55) (Lukman et.al., (2007). Kemungkinan ikan M. lacustris memiliki sensitivitas yang lebih tinggi

terhadap perubahan kondisi perairan seperti penurunan nilai pH, bila dibandingkan dengan ikan M. ladigesi. Hal tersebut diduga berhubungan dengan sifat endemisitas ikan M. lacustris di D. Kutubu dan outletnya yang relatif terbatas. Secara umum hewan-hewan yang endemis pada kondisi yang sangat terbatas memiliki kisaran toleransi yang relatif sempit. Berbeda dengan ikan M. ladigesi yang endemis di perairan sungai, dimana wilayah sungai memiliki bentangan yang relatif luas (panjang) daripada danau, sehingga sensitivitas hewan-hewan endemis sungai lebih rendah daripada hewan danau atau dapat dikatakan bahwa hewan sungai memiliki kisaran toleransi yang lebih luas. Nilai pH air media pemeliharaan pada masing-masing perlakuan umumnya tetap pada kisaran yang diinginkan hanya beberapa kali sempat mengalami kenaikan ataupun penurunan pH (Tabel 3). Akan tetapi setelah dilakukan tindakan penanggulangan, pH pun kembali dalam kisaran yang diinginkan. Suhu air antara 2326oC sedangkan oksigen terlarut (DO) antara 5,06-7,80 mg/L. Parameter kualitas air lainnya yang diukur meliputi nitrit, ammonia, dan kesadahan (Tabel 3). Pengukuran dilakukan dengan menggunakan alat test kit (Tetra test). Tampak di sini bahwa nilai beberapa parameter kualitas air merupakan nilai-nilai yang berada pada kisaran baik untuk pemeliharaan ikan (Alabaster & Lloyd, 1981).

Gambar 5. Sintasan (%) Ikan Pelangi Biru (M. lacustris) pada berbagai Perlakuan pH Air

100

Novi Mayasari et al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 94-101

Tabel 3. Nilai Nitrit, Amonia dan Kesadahan Selama Penelitian Berlangsung.


Perlakuan pH 4-5 pH 5-6 pH 6-7 pH 7-8 Nitrit (mg/L) < 0,3 0,3 < 0,3 - 1,6 < 0,3 - 1,6 Amonia (mg/L) 0,003-0,03 0,06 0,003-0,06 0,003 Kesadahan/GH (dH) 10 - 11 4 4 7-9

KESIMPULAN Kondisi pH media pemeliharaan tampaknya tidak berpengaruh terhadap penampilan warna ikan M. lacustris, namun pH rendah telah menurunkan kemampuan tumbuh dan sintasan ikan pelangi biru tersebut. UCAPAN TERIMAKASIH Terima kasih disampaikan pada Proyek Penelitian DIPA Puslit Limnologi LIPI 2008 dan kepada Bapak Supranoto serta Bapak Syahroni yang telah banyak membantu pelaksanaan penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Alabaster, J. S., & R. Lloyd, 1981, Water Quality Criteria for Freshwater Fish, FAO, Butterworth, London, 361 p. Allen, G.R., 1995, Rainbowfish In Nature and Aquariums. Christensens Research Institute, Madang 268 hal. Boyd, Claude E., 1990, Water Quality in Ponds for Aquaculture, Auburn University. Alabama. 482 hal. Lukman, D.S. Said, & Triyanto, 2007, Kondisi Lingkungan Sungai-sungai Habitat Ikan Beseng-beseng (Telmatherina ladigesi) di Sulawesi Selatan. Limnotek 14(2):55-65. Primack, R.b., J. Supriatna, M. Indrawan, & P. Kramadibrata, 1998, Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta viii+345 hal.

Said, D.S., O. Carman, Abinawanto, & Hidayat, 2003, Studi Kromosom Ikan Pelangi Melanotaenia lacustris, Jurnal Ikhtiologi Indonesia vol. 3(2) Desember 2003:79-85. Said, D.S., & N. Mayasari, 2007, Reproduksi dan Pertumbuhan ikan Telmatherina ladigesi pada Rasio Kelamin Berbeda. Jurnal Aquacutura Indonesiana vol. 8(1) April 2007 : 41 47. Said, D.S., & N. Mayasari, 2008, Reproduksi dan Pertumbuhan Ikan Panchak Kuning (Aplocheilus lineatus) pada Kondisi Terkontrol. Prosiding Konferensi Aquaculture Indonesia 2008, Marcopolo Hotel Bandar Lampung 8 - 9 Juli 2008 hal. 363-370. Said, D.S., Triyanto ,& N.Mayasari.2010. Respon Biologis Ikan Hias Endemis dan Asli Indonesia terhadap Perubahan Keasaman dan Temperatur Perairan. Makalah Seminar Nasional Ikan VI, MII-IPB, Cibinong, 8-9 Juni 2010. 8 hlm. Supyawati, W.D., 2003, Pengaruh Jenis Pakan dan Cahaya terhadap Penampilan Warna dan Pertumbuhan Ikan Pelangi Merah (Glossolepis incisus), Skripsi Sarjana, Fakultas Biologi-Universitas Nasional Jakarta, 75 hal. http :// www.o-fish.com/ Spesies/warna.php. Membangkitkan Warna Ikan. [download tanggal 10 April 2010].

101

LIMNOTEK LIMNOTEK 102-111 Muhammad Badjoeri et al. /(2010) 17 (1) :(2010) 17 (1) : 102-111

KELIMPAHAN BAKTERI PENGHASIL SENYAWA AMONIUM DAN NITRIT PADA SEDIMEN TAMBAK SISTEM SEMI INTENSIF Muhammad Badjoeria, Yuni Puji Hastutib, Tri Widiyantoa, & Iman Rusmanac
a

Staf Peneliti Puslit Limnologi-LIPI


b c

Fakultas Perikanan-IPB

Departemen Biologi-IPB

Diterima redaksi : 26 April 2010, Disetujui redaksi : 27 Mei 2010

ABSTRAK Sedimen salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kualitas air tambak udang. Pada sedimen terjadi akumulasi dan perombakan bahan organik oleh bakteri. Kelimpahan dan aktivitas bakteri di sedimen berpengaruh terhadap konsentrasi senyawa toksik di tambak yang dapat mempengaruhi kelangsungan hidup dan pertumbuhan udang. Penelitian bertujuan untuk mengetahui kelimpahan bakteri penghasil senyawa nitrit dan amonium pada sedimen tambak udang sistem semi intensif, dan hubungannya dengan konsentrasi amonium, nitrit yang dihasilkan. Penelitian dilakukan di Tambak Pandu Karwang, DKP KarawangJawa Barat, pada Bulan April sampai September 2009. Sampel sedimen diambil pada 3 tambak semi intensif pada kedalaman berbeda, yaitu: 0-5 cm, 5-10 cm, dan 10 -15 cm, yaitu pada tahap persiapan, 0 hari, 30 hari, 60 hari, 90 hari, 120 hari. Sampel diambil secara acak menggunakan core sampler. Analisis kelimpahan bakteri dengan metode MPN (Most Probable Number). Kelimpahan bakteri penghasil senyawa nitrit terbanyak pada sedimen berumur 120 hari di kedalaman 0 5 cm, yaitu sebanyak 9 x 1022 sel/g dan paling sedikit pada sedimen berumur 30 hari di kedalaman 10 15 cm, yaitu sebanyak 1,5 x 106 sel/g. Kelimpahan bakteri penghasil amonium terbanyak pada sedimen berumur 120 hari di kedalaman 10 15 cm, yaitu sebesar 1,2 x 1020 sel/g dan paling sedikit pada sedimen berumur 0 hari di kedalaman 0 5 cm, yaitu sebanyak 4,3 x 105 sel/g. Terlihat adanya korelasi positif antara kelimpahan bakteri dengan konsentrasi amonia dan nitrit yang dihasilkan. Hal ini menunjukkan kelimpahan bakteri berpengaruh terhadap proses perombakan bahan organik dan senyawa nitrit dan amonium yang dihasilkan pada sedimen tambak. Kata kunci : Kelimpahan, bakteri penghasil amonia, bakteri penghasil nitrit, sedimen, tambak semi intensif. ABSTRACT THE ABUNDANCE OF AMMONIUM AND NITRITE PRODUCING BACTERIA IN SEDIMENTS OF SEMI-INTENSIVE SHRIMP PONDS. Pond sediment is one of the important factors that influence water quality. In the sediment, the accumulation and transformation of organic materials by various groups of bacteria take place. The abundance and bacterial activity in the sediment of shrimp ponds will affect the concentration of toxic compounds in the water bodies and eventually would affect the survival and growth of farmed shrimp. This study aims to determine the abundance of nitrite and ammonium-producing bacteria in the sediments of semi-intensive shrimp farming systems, and its relationship with the concentration of ammonium and nitrite produced. The research was conducted from April to September 2009 at The Inti Pandu Karawang Ponds, Ministry of Marine Affairs and Fisheries, Karawang, West Java. Sediment sampling was performed from three ponds with different depth: 0-5 cm, 5-10 cm, and 10 -15 cm at the time of preparation, 0 day, 30 days, 60 days, 90 days and 120 days. Samples were taken randomly using a "core sampler." Analysis of the bacterial abundance was done using MPN method (Most Probable Number). The most abundance of nitrite-producing bacteria was found in the sediment of 120 days at the depth of 0-5 cm (9 x 1022 cells/g) and at least was in the sediment of 30 days at the depth of 10-15 cm (1.5 x 106 cells/g). The most abundance of ammonium-producing bacteria was found in the

102

Muhammad Badjoeri et al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 102-111

sediment of 120 days at the depth of 10-15 cm (1.2 x 1020 cells/g) and the least was in the sediment of 0 day-old at depths of 0-5 cm (4.3 x 105 cells/g). There is a positive correlation between the bacterial populations and the total ammonia and nitrite compounds. This shows that the bacterial abundance affects the transformation process of organic materials and the amount of nitrite and ammonium produced in the sediment. Key words : Abundance, ammonia-producing bacteria, nitrite-producing bacteria, sediment, semi-intensive ponds.

PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang memiliki sumberdaya alam yang potensial untuk menggerakkan roda perekonomian terutama melalui sektor kelautan dan perikanan. Dahuri (2004) mengemukakan bahwa data potensi luas lahan tambak di Indonesia mencapai 913.000 Ha dan yang dapat termanfaatkan baru sekitrar 40% atau seluas 344.759 Ha. Cholik et al.(2005) mengatakan bahwa kontribusi produk perikanan yang berasal dari tambak udang cukup tinggi, yaitu mencapai 38% dari hasil produk budidaya perikanan secara keseluruhan. Udang dikatagorikan sebagai produk unggulan karena hasil produksinya telah terbukti memiliki backward dan forward lingkage yang cukup luas bagi aktifitas ekonomi masyarakat Indonesia. Kegiatan budidaya udang walaupun pemanfaatannya masih terbatas, namun permasalahan yang dihadapinya cukup komplek dan memerlukan penanganan dari berbagai bidang disiplin ilmu. Permasalahan tersebut antara lain, menurunnya daya dukung lahan, menurunnya kualitas air dan sedimen tambak, serangan penyakit udang, ketersediaan teknologi yang menjamin kelangsungan dan kualitas produk, serta masalah-masalah sosial di sentra-sentra produksi. Menurunnya aktifitas usaha budidaya udang di beberapa sentra produksi beberapa tahun terakhir ini, telah membawa dampak yang signifikan bagi menurunnya pertumbuhan ekonomi masyarakat di beberapa kawasan budidaya tersebut (Dahuri, 2004). Menurunnya kondisi kualitas air dan sedimen dasar tambak akibat meningkatnya

akumulasi bahan organik dan timbulnya senyawa toksik seperti amonium dan nitrit merupakan salah satu faktor penyebab penurunan produksi udang. Garno (2004) mengemukakan bahwa akumulasi bahan organik pada sistem tambak udang sudah dapat dideteksi sejak awal masuknya pakan buatan (pelet) ke dalam sistem tambak tersebut, dan kegagalan budidaya udang lebih diakibatkan oleh pencemaran organik yang terakumulasi di sedimen tambak dari pada akibat pencemaran yang berasal dari luar sistem tambak. Menurut Sabar dan Widiyanto (1998), peningkatan bahan organik pada tambak semi intensif terjadi mulai hari ke 60, dimana pada awal operasional konsentrasi bahan organik pada sedimen tambak sebesar 41,0 mg/L dan setelah 60 hari operasional konsentrasinya meningkat menjadi 140 mg/L, yang terdiri dari unsur nitrogen, fosfat, dan sulfur. Meningkatnya konsentrasi senyawa toksik amonium dan nitrit di tambak merupakan faktor penghambat dalam budidaya udang. Senyawa-senyawa toksik tersebut diproduksi oleh aktifitas mikroba dan hasil ekskresi udang yang dibudidayakan. Amonia dihasilkan oleh bakteri amonifikasi dan senyawa nitrit diproduksi dari proses reduksi nitrat oleh bakteri denitrifikasi. Nitrit juga berupa senyawa intermediat dari proses nitrifikasi. Senyawa amonium dan nitrit bersifat toksik bila konsentrasinya sudah melebihi batas ambang. Hampir 90% sumber protein pada perairan tambak berasal dari pelet, dimana 22% dikonversi menjadi biomassa udang, 7% dimanfaatkan oleh aktifitas mikroorganisme, 14% terakumulasi pada sedimen dan 57% tersuspensi di air tambak

103

Muhammad Badjoeri et al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 102-111

(Jackson et al., 2003). Konsentrasi senyawa toksik di tambak udang umumnya menunjukkan peningkatan pada hari ke 15 setelah udang ditebar, yaitu untuk amonium di sedimen mencapai 500 M, total nitrat dan nitrit mencapai 15 M. Sedangkan konsentrasi nitrogen organik terlarut pada hari ke tiga sudah mencapai sekitar 100 120 M (Burford et al., 2002). Meningkatnya konsentrasi amonium bersifat toksik pada system tambak udang, walaupun mekanisme toksisitasnya belum diketahui dengan jelas akan tetapi terlihat keterkaitan antara jumlah amonia dan aktifitas fisiologis udang, yaitu terjadi peningkatan konsentrasi amonia pada jaringan dan darah (Schewedler et al., 1985). Sedangkan senyawa nitrit bersifat toksik dan akan menghambat proses pengikatan oksigen oleh hemoglobin di dalam darah. Apabila senyawa nitrit diikat oleh darah akan terbenbentuk methemoglobin (Hb + NO2 = Met-Hb), dan darah yang mengandung Met-Hb berwarna coklat (brown blood diseases) (Boyd, 1990). Upaya untuk mengatasi permasalahan akumulasi bahan organik dalam sistem budidaya udang melalui pedekatan bioremediasi perlu dilakukan baik di kolom air maupun di sedimen tambak. Oleh karena itu data dan informasi kualitas air dan sedimen pada sistem tambak sangat diperlukan, terutama profil vertikal sedimen yang meliputi aspek mikrobiologis, fisika, dan kimia yang berkaitan dengan akumulasi senyawa-senyawa toksik. Kajian mengenai sedimen tambak ini penting dilakukan karena penelitian mengenai hal ini masih jarang dilakukan, khususnya untuk tambaktambak udang di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kelimpahan bakteri penghasil senyawa nitrit dan amonium yang terdapat pada sedimen tambak udang semi intensif, serta hubungannya dengan konsentrasi amonium dan nitrit yang dihasilkan baik yang terakumulasi pada sedimen maupun kolom air. Hasil penelitian ini diharapkan

dapat menjadi model untuk perbaikan sistem budidaya udang yang berkelanjutan dengan mempertimbangkan perbaikan kondisi mikrobiologis, fisik, dan kimia sedimen dasar tambak. BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan pada bulan April - September 2009 di Tambak Pandu Inti Rakyat (TIR) Departemen Kelautan dan Perikanan, Karawang, Jawa Barat. Luas tambak 5.000 m2, dengan pengelolaan tambak sistem semi intensif untuk udang Vannamei (Litopenaeus vannamei). Analisa kelimpahan bakteri serta parameter kimia dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi, Puslit Limnologi, LIPI, Cibinong - Bogor. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 5 kali, yaitu setiap bulan selama empat bulan dan 1 kali pada waktu persiapan tambak, 1 minggu sebelum tanam. Sampel sedimen diambil dengan menggunakan sampling core berbahan akrilik (Hidayat, 1978) sepanjang 20 cm dan berdiameter 5 cm. Pengambilan sampel dilakukan di daerah inlet dan outlet pada tiga tambak sistem semi intensif dengan tiga strata kedalaman sedimen yaitu: 0-5 cm, 5-10 cm, dan 10-15 cm. Sampel air diambil secara langsung pada tiga tambak sebanyak 250 mL dengan menggunakan botol sampel steril. Sampel sedimen dan air yang telah diambil kemudian ditutup rapat dan disimpan dalam cooling box (suhu 4 0C). Kelimpahan populasi bakteri penghasil senyawa nitrit dan amonium dianalisis dengan menggunakan metode Most Probable Number (MPN) pada medium pertumbuhan bakteri yang spesifik. Komposisi medium yang digunakan: 0,9 g Na2HPO4, 0,2 g KH2PO4, 0,1 g MgSO4.7H2O, 0,005 g FeCl3. 6H2O, 0,0184 g CaCl2.6H2O, 0,25 g yeast ekstrak, 5 g glukosa, dan 2 g NaCl dengan penambahan 1 g NaNO3 untuk bakteri penghasil nitrit (denitrifying bacteria) dan 5 g pepton untuk bakteri penghasil amonium (amonifying

104

Muhammad Badjoeri et al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 102-111

bacteria) dalam 1 liter akuades. Inkubasi dilakukan dalam kondisi anaerob. Kondisi anaerob dibuat dengan metode Oxygen-Free Nitrogen (OFN), yaitu dengan mengalirkan gas N2 ke dalam tabung yang berisi medium pertumbuhan menggunakan syringe steril selama 3 menit. Sebanyak 1 gram sedimen dihomogenkan dengan larutan fisiologis 9 ml menggunakan vortex selama 20 menit. Sampel kemudian dibuat 3 seri pengenceran dan masing-masing dibuat sebanyak 3 kali ulangan. Sebanyak 1 ml sampel dari masingmasing pengenceran dimasukan ke dalam 9 ml medium pertumbuhan bakteri denitrifikasi dan amonifikasi menggunakan syringe steril, kemudian diinkubasi selama 24 jam. Kelimpahan bakteri penghasil nitrit ditunjukkan oleh terdeteksinya senyawa nitrit dan kelimpahan bakteri penghasil amonium ditunjukkan oleh terdeteksinya senyawa amonium pada medium pertumbuhan. Deteksi senyawa nitrit dan amonium berdasarkan metoda Greenberg et al., (1992). Analisis senyawa amonium dan nitrit sedimen (pore water). Sedimen di sentrifugasi menggunakan tabung sentrifuge 45 ml dengan kecepatan 5000 g RCF selama 30 menit pada suhu 40C. Supernatan didekantasi dan disentrifugasi ulang pada 2000 g RCF selama 30 menit. Supernatan dipisahkan dan disaring menggunakan kertas saring Whatman GF/C

0,45 mikrometer, selanjutnya disimpan pada suhu 10 0C. Analisa kadar nitrit dan amonium sedimen berdasarkan metoda Greenberg at al., (1992). Pengukuran parameter fisika-kimia air dilakukan langsung di lapangan antara lain pH, suhu (oC), oksogen terlarut (mg/L), dan Salinitas (o/oo) menggunakan alat water quality checker (WQC, Horiba-Japan), sedangkan nitrit (NO2, mg/L), nitrat (NO3, mg/L) dan Amonia (NH4, mg/L) dianalisa di Laboratorium Mikrobiologi Puslit Limnologi LIPI dengan metoda spektrofotometri. Analisis Statistika yang digunakan analisis regresi berganda menggunakan program SPSS ver.12. HASIL DAN PEMBAHASAN Kelimpahan bakteri penghasil senyawa nitrit (bakteri denitrifikasi) terbanyak ditemukan pada sedimen yang berumur 120 hari di kedalaman 0 5 cm, yaitu sebanyak 9 x 1022 sel/g dan paling sedikit ditemukan pada sedimen yang berumur 30 hari di kedalaman 10 15 cm, yaitu sebanyak 1,5 x 106 sel/g. Kelimpahan bakteri penghasil amonium (bakteri amonifikasi) terbanyak sebesar 1,2 x 1020 sel/g, yaitu pada sedimen yang berumur 120 hari di kedalaman 10 15 cm dan paling sedikit, sebanyak 4,3 x 105 sel/g, ditemukan pada sedimen yang berumur 0 hari di kedalaman 0 5 cm (Gambar 1 dan 2).
1,4E+20

2,5E+08

Kelimpahan bakteri amonium (sel/g)

1,2E+20 1,0E+20 8,1E+19 6,1E+19 4,1E+19 2,1E+19

Kelimpahan bakteri (sel/g)

2,0E+08 1,5E+08 1,0E+08 5,0E+07 3,0E+05 0 30 60 90

1,0E+18

9,1E+22 8,1E+22 7,1E+22 6,1E+22 5,1E+22 4,1E+22 3,1E+22 2,1E+22 1,1E+22 1,0E+21

120 Umur sedimen tambak (hari) bakteri amonium bakteri nitrit


Umur sedimen tambak (hari)

Gambar 1. Kelimpahan Populasi Bakteri Penghasil Nitrit dan Amonium pada Sedimen Tambak Semi Intensif selama 120 Hari Pemeliharaan Udang. 105

Kelimpahan bakteri nitrit (sel/g)

Muhammad Badjoeri et al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 102-111

3,1E+19 2,6E+19

2,1E+22 1,9E+22 1,7E+22 1,5E+22 1,3E+22

Kelimpahan bakteri amonium (sel/g)

2,1E+19 1,6E+19 1,1E+19 6,0E+18 1,0E+18 0-5 5 - 10 10 - 15 Strata kedalaman sedimen (cm)

1,1E+22 9,0E+21 7,0E+21 5,0E+21 3,0E+21 1,0E+21

bakteri amonium

bakteri nitrit

Gambar 2. Kelimpahan Rata-rata Populasi Bakteri Penghasil Nitrit dan Amonium pada Lapisan Sedimen Tambak Semi Intensif. Kondisi ini menunjukkan bahwa pertumbuhan bakteri denitrifikasi dan amonifikasi di lapisan sedimen tambak sangat berfluktuatif. Lapisan sedimen (kedalaman 0 15 cm) diduga merupakan habitat yang sesuai bagi pertumbuhan bakteri, karena akumulasi nutrien organik di sedimen adalah sumber energi bakteri. Menurut Niewolak (1963 dalam Rheiheimer, 1985) bakteri denitrifikasi sangat aktif pada lapisan permukaan sedimen, bahkan pada sedimen laut sampai kedalaman 1 2 m masih ditemukan bakteri denitrifikasi (dari jenis Pseudomonas), sedangkan bakteri amonifikasi aktif di kolom air maupun di sedimen untuk melakukan perombakan nitrogen organik dengan hasil akhir dilepaskannya amonia. Secara keseluruhan terlihat kelimpahan bakteri penghasil senyawa nitrit (bakteri denitrifikasi) berkorelasi positif dan berpengaruh nyata terhadap konsentrasi nitrit yang terakumulasi di sedimen (p0,05 = 0,0615, R2 = 0,94), dan kelimpahan bakteri penghasil amonium (bakteri amonifikasi) menunjukkan pengaruh nyata terhadap konsentrasi amonium yang terakumulasi di sedimen (p0,05 = 0,0044, R2 = 0,99). Kondisi ini menunjukkan bahwa kelimpahan bakteri menentukan proses perombakan senyawa organik dalam memproduksi senyawa nitrit dan amonium di sedimen tambak (Gambar 3).
14,0 3,5E+19

0,5

2,5E+22

Konsentrasi amonium (mg/L)

Konsentrasi nitrit (mg/L)

Bakteri nitrit (sel/g)

0,4

2,0E+22

10,0 8,0 6,0 4,0 2,0 0,0 0-5 5 - 10 10 - 15

2,5E+19 2,0E+19 1,5E+19 1,0E+19 5,0E+18 0,0E+00

0,3 0,2

1,5E+22 1,0E+22

0,1 0,0 0-5 5 - 10 10 - 15

5,0E+21 0,0E+00

Kedalaman sedimen (cm) bakteri nitrit Nitrit

Kedalaman sedimen (cm) bakteri amonium amonium

Gambar 3. Kelimpahan Bakteri Penghasil Senyawa Toksik dan Konsentrasi Nitrit dan Amonium yang Terakumulasi pada Kedalaman Sedimen 0 15 cm 106

Bakteri amonium (sel/g)

12,0

Kelimpahan bakteri nitrit (sel/g)

3,0E+19

Muhammad Badjoeri et al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 102-111

Senyawa nitrit dan amonium yang terakumulasi di sedimen (pore water) tambak memperlihatkan nilai konsentrasi yang berbeda pada tiap kedalaman sedimen (Gambar 4).
1,3 1,2 1,1 1,0 0,9 0,8 0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0,0 0 30 60

korelasi positif dengan nitrit yang terlarut di kolom air (p0,05 = 0,0637, R2 = 0,94). Konsentrasi amonium yang terakumulasi di setiap kedalaman sedimen juga menunjukan korelasi positif dengan amonium yang
3,5
Nitrit kolom air (mg/L)

Nitrit sedimen (mg/L)

3,0 2,5 2,0 1,5 1,0 0,5 0,0 90 120


Periode sampling sedimen dan air (hari)
Sedimen 0 - 5 cm Sedimen 10 -15 cm Sedimen 5 -10 cm kolom air

35,0
Amonium sedimen (mg/L)

25,0 20,0 15,0 10,0 5,0 0,0 0 30 60 90 120


Periode sampling sedimen dan air (hari)
Sedimen 0 - 5 cm Sedimen 10 -15 cm Sedimen 5 -10 cm kolom air

Gambar 4. Konsentrasi Nitrit dan Amonium yang Terakumulasi di Sedimen dan Kolom Air pada Tambak Udang Semi-intensif Konsentrasi nitrit tertinggi ditemukan di lapisan sedimen 0 -5 cm pada umur 90 hari (1,22 mg/L) dan terendah pada lapisan sedimen 5 10 cm pada umur 120 hari (0,007 mg/L). Konsentrasi amonium tertinggi ditemukan pada lapisan sedimen 510 cm pada umur 120 hari (31,33 mg/L) dan terendah pada lapisan sedimen 0 -5 cm pada umur 0 hari (2,13 mg/L). Secara keseluruhan konsentrasi senyawa nitrit yang terakumulasi di setiap kedalaman sedimen menunjukkan terlarut di kolom air (p0,05 = 0,5444, R2 = 0,4). Konsentrasi senyawa nitrit di kolom air terlihat lebih tinggi (0,011 - 3,003 mg/L) dibandingkan konsentrasi nitrit di sedimen (0,007 0,368 mg/L). Kondisi ini diperkirakan karena terjadinya pelepasan senyawa nitrit dari sedimen ke kolom air. Menurut Kaspar (1983), Gould and Mc. Cready (1982), dan Jorgensen (1989) proses reduksi nitrat oleh bakteri denitrifikasi di

107

Amonium kolom air (mg/L)

30,0

0,50 0,45 0,40 0,35 0,30 0,25 0,20 0,15 0,10 0,05 0,00

Muhammad Badjoeri et al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 102-111

sedimen laut kapasitasnya mencapai 38 95%. Sedangkan konsentrasi senyawa amonium di kolom air relatif lebih rendah (0,087 0,441 mg/L) bila dibandingkan dengan ammonium yang terakumulasi di sedimen (2,130 31,330 mg/L). Hal ini dikarenakan kolom air merupakan area yang bersifat aerob di bandingkan bagian dasar tambak yang bersifat mikro aerofilik, sehingga amonium di kolom air akan dioksidasi menjadi senyawa nitrit dan nitrat oleh bakteri nitrifikasi (Atlas & Bartha, 1998). Pada tambak semi intensif akumulasi bahan organik di sedimen dapat terjadi secara signifikan, hal ini berhubungan dengan pakan yang diberikan untuk meningkatkan pertumbuhan udang sebagian besar akan mengendap di dasar tambak dan senyawa anorganik akan dilepaskan ke kolom air sebagai hasil dari dekomposisi sisa pakan (Boyd, 1992). Kedalaman sedimen 0 - 5 cm merupakan area yang kontak langsung dengan kolom air, oleh karena itu apabila lapisan sedimen 0-5 cm mengandung senyawa toksik yang lebih besar daripada lapisan di bawahnya perlu diperhatikan dan diantisipasi karena lapisan ini merupakan area terjadinya perombakan senyawa organik yang aktif dan hasil perombakan akan dilepaskan langsung ke kolom air. Lapisan sedimen 0 - 5 cm juga area terakumulasinya bahan organik baik yang masih baru (sisa pakan) ataupun senyawa organik yang sudah lama tertimbun di dalamnya yang berasal dari sisa kegiatan budidaya sebelumnya. Biasanya sisa bahan

organik dari kegiatan sebelumnya berada pada kedalaman sedimen 5-10 cm atau kedalaman 10-15 cm. Lapisan sedimen permukaan 0-5 cm (surface layer) dapat melepaskan senyawa toksik dari timbunan sisa kegiatan di atasnya dan dari lapisan sedimen di bawahnya. Konsentrasi nitrit dan amonium yang terakumulasi pada lapisan sedimen menunjukkan adanya korelasi positif dan signifikan (p0,05 = 0,1454, R2 = 0,92). Hal ini menunjukkan bahwa, konsentrasi senyawa nitrit yang terakumulasi di sedimen diduga berasal dari senyawa amonium yang terurai menjadi nitrat melalui proses nitrifikasi dan selanjutnya nitrat direduksi oleh bakteri penghasil senyawa nitrit (denitrifikasi). Hasil pengukuran data pendukung fisika-kima air di tambak semi intensif menunjukkan kondisi yang sesuai untuk aktivitas metabolism bakteri dan pertumbuhan udang di tambak (Atlas & Bartha, 1998, dan Boyd, 1990), dan tidak terlihat adanya fluktuasi yang tinggi antara kondisi pagi dan sore hari (Gambar 5), yaitu pH 7,9 9,4), suhu 28,7 28,8 oC), oksigen terlarut (5,3 5,7 mg/L), salinitas (15,1 14,7 ppt), nitrit ( 0,001 - 0,073 mg/L) dan amonia (0,001 0,05 mg/L). Menurut Saleh et al. (1991) dan Boyd & Fast (1992) nilai parameter lingkungan di perairan tambak yang dianjurkan diantaranya salinitas 15 30 ppt, suhu 25 30 oC, pH air 7 9, oksigen terlarut 3,5 8 mg/L, amonia 0 0,25 mg/L dan nitrit 0 0,1 mg/L.

108

Muhammad Badjoeri et al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 102-111

32

Nilai Parameter

28 24 20 16 12 8 4 0
12 - 16 17 - 21 22 - 25 26 - 30 31 - 36 37 - 40 41 - 46 47 - 51 52 - 56 57 - 60 61 - 65 66 - 70 71 - 74
71 - 74

75 - 79
75 - 79

Periode sampling (hari) Salinitas (ppt) Pagi Suhu (C) Pagi


36 32 28 24 20 16 12 8 4 0
0 1-7 8 - 11 12 - 16 17 - 21 22 - 25 26 - 30 31 - 36 37 - 40 41 - 46 47 - 51 52 - 56 57 - 60 61 - 65 66 - 70 80 - 85

pH Pagi DO (mg/L) Pagi

Nilai Parameter

Periode sampling (hari) Salinitas (ppt) Sore Suhu (C) Sore


0,10 0,09 0,08 0,07 0,06 0,05 0,04 0,03 0,02 0,01 0,00
1-7 8 - 11 12 - 16 17 - 21 22 - 25 26 - 30 31 - 36 37 - 40 41 - 46 47 - 51 52 - 56 57 - 60 61 - 65 66 - 70 71 - 74 75 - 79 80 - 85 0

pH Sore DO (mg/L) Sore

Amonia dan nitrit (mg/L)

Periode sampling (hari) NO2 (mg/L) Amonia (mg/L)

Gambar 5. Parameter Pendukung Fisika Kimia di Perairan Tambak Udang Semi Intensif. KESIMPULAN Kelimpahan bakteri penghasil senyawa nitrit dan amonium pada sedimen tambak udang semi intensif berfluktuatif dan 109 bervariasi pada setiap kedalaman yang berbeda. Secara keseluruhan menunjukkan bahwa kelimpahan bakteri penghasil senyawa nitrit (bakteri denitrifikasi) dan amonium (bakteri amonifikasi) berpengaruh

80 - 85

1-7

8 - 11

Muhammad Badjoeri et al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 102-111

terhadap konsentrasi nitrit dan amonium yang terakumulasi di sedimen dan kolom air. Kelimpahan bakteri penghasil senyawa nitrit tertinggi terjadi pada umur tambak 120 hari pada kedalaman sedimen 0 5 cm, yaitu sebesar 9 x 1022 sel/gram sedimen, dan terendah pada umur tambak 30 hari, kedalaman sedimen 10 15 cm cm, yaitu sebesar 1,5 x 106sel/gram sedimen. Sedangkan kelimpahan bakteri penghasil amonia tertinggi terjadi pada umur tambak 120 hari, kedalaman 10 15 cm, yaitu sebesar 1,2 x 1020 sel/gram, dan terendah pada umur tambak 0 Hari, kedalaman 0 - 5 cm, yaitu sebesar 4,3 x 105 sel/gram. Kelimpahan bakteri penghasil amonia dan nitrit berkorelasi positif dengan konsentrasi amonia dan nitrit di sedimen dan kolom air tambak. UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini penulis penyampaikan terima kasih kepada Dr. Ir. Gadis Sri Haryani, selaku Kepala Puslit Limnologi yang telah memberikan dorongan moril dan materiil demi kelancaran penelitian ini. Selain itu juga ucapan terima kasih kepada staf BKPI LIPI, yang telah menfasilitasi Program Insentif Peneliti dan Perekayasa Ristek. Tak lupa ucapan terima kasih kami sampaikan kepada: Ir. Widi Riyanto, Sekar Larashati, M.Si, Ir. Lena Novita, Adisti Juniar, Yayah Mardiati, yang telah banyak membantu kegiatan penelitian ini. Terima kasih juga kepada Institusi dan staf Tambak Pandu Karawang yang telah memberikan sarana dan prasarana tambak untuk lokasi penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Atlas, R. M., & R. Bartha, 1998, Microbial Ecology Fundamentals and th Application. 4 ed. Benjamin/ Cummings Science Publishing, California. 694 p.

Boyd, C. E., 1990, Water Quality in Ponds for Aquaculture, Birmingham Publishing Co. Birmingham. 482 p. Boyd, C.E., & A.W. Fast,1992, Pond Monitoring and Management. In: A.W. Fast and L.J. Lester (Eds.). Marine Shrimp Culture: Principles and Practices, Elsevier Sci. Publ.Netherlands, p. 497-514. Burford, M.A., N.P. Preston, P.M. Glibert & W.C. Dennison, 2002, Tracing the Fate of 15N-enriched Feed in an Intensive Shrimp System, Aquaculture, 206 : 199 216 Cholik, F., Ateng, G.J., R.P. Poernomo, & Akhmad, J., 2005, Akuakultur Tumpuan Harapan Masa Depan Bangsa, Masyarakat Perikanan Nusantara dengan Akuarium Air Tawar, Taman Mini Indonesia Indah. Dahuri, R., 2004, Kebijakan Pembangunan Kelautan dan Perikanan Nasional, Dalam Kaitannya Dengan Penataan Ruang Nasional dan Daerah, Rakerda BKTRN Pekanbaru 8 Maret 2004, Departemen Kelautan dan Perikanan RI. Garno, S.Y., 2004, Biomanipulasi. Paradigma Baru dalam Pengendalian Limbah Organik pada Budidaya Perikanan di Waduk dan Tambak, Orasi Ilmiah Ahli Peneliti Utama, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Jakarta, 58 hal. Greenberg, A.E., L.S. Clesceri, & A.D. Eaton, 1992, Standard Methods for Examination of Water and Wastewater, 18th Edition, Publication Office American Public Health Association, Washington DC. Gould, W. D., & R. G. L. Mc Cready, 1982, Denitrification in Several Soils: Inhibition by Sulfur Anions, Can. J. Soil, 62:333-342. Hidayat, 1978, Methods of Soil Analysis. Japan International Cooperation Research Agency (JICA), Joint Food Crop Research Program.

110

Muhammad Badjoeri et al. / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 102-111

Jackson, C., N.P. Preston, & M.A. Burford, 2003, Nitrogen Budget and Effluent Nitrogen Components at an Intensive Shrimp Farm, Aquaculture, 218: 397-411. Jorgensen, K.S., 1989, Annual of Denitrification and Nitrate Ammonifikacion in Estuarine Sediment, Appl.Environ.Microbiol. 55(7):1841-1847. Kaspar, H.F., 1983, Denitrification, Nitrate Reduction to Ammonium, and Inorganic Pools in Intertidal Sediments, Mar, Biol.,74:133-139. Rheinheimer, G., 1985, Aquatic rd Microbiology, 3 (ed.). John Wiley & Sons. Chichester, 257 p. Sabar, F., & T. Widiyanto, 1998, Profil Senyawa Karbon Organik pada Sistem Perairan Tambak Udang

Windu, 1998, Hasil-hasil Penelitian Puslitbang Limnologi LIPI tahun 1997-1998, Pusat Penelitian dan Pengembangan Limnologi LIPI, Cibinong- Bogor. Saleh, B., Z. Arifin & D. Sulistinarto, 1991, Peningkatan Produksi Budidaya Udang Windu (P. Monodon Fab.) Semi Intensif, Indonesian Fisheries Information System, Direktorat Jenderal Perikanan dan International Development Research Centre, 19 hal. Schewedler, T.E., C.S. Tucker, & M.H. Beleau, 1985, Non-infectious diseases, In. TUCKER (Ed.). Channel Catfish CSulture, Development in Aquaculture and Fisheries Science, Vol. 15. Elsevier, New York, 249 pp.

111

LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 112-117 Nofdianto / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 112-117

ESTIMATION OF PERIPHYTIC PHOTOSYNTHESIS EFFICIENCY USING THE FLUORESCENCE MONITORING SYSTEM : RESPONSE OF FMS PARAMETERS ON LIGHT INTENSITY, TEMPERATURE, AND CHLOROPHYLL CONCENTRATIONS Nofdiantoa
a

Staf Peneliti Puslit Limnologi-LIPI

Diterima redaksi : 6 April 2010, Disetujui redaksi : 25 Mei 2010

ABSTRACT The development of methods in measuring the photosynthesis process is now increasingly widespread, especially to get a more efficient method and fast. Photosynthetic efficiency of micro-algae periphytic has been estimated under the influence of light intensity and temperature by using the fluorescence monitoring system. The measurement on a colonized substrate by the saturation pulse method has been conducted using a FMS1 (Fluorescence Monitoring Systems, Hansatech). Measurement of the fluorescence parameters was conducted every week on algal periphyton which was cultivated on the artificial substrate during for 5 weeks under light and temperature conditions. The result show that fluorescence maximal value (Fm) increase linearly with chlorophyll a concentrations. For 20C (experiments where the biomass reached higher values), up to 100 mg chlorophyll a.m-2 the change in Fm is approximately linear. After, the response of Fm is hyperbolic, suggesting a saturation law. Our results clearly show that the FMS may be satisfactorily used to measure in vivo chlorophyll a fluorescence of periphyton in laboratory conditions. The instrument is simple to use, with convenient software control, especially when used in PC mode. Key words : Photosynthesis, micro-algae periphytic, chlorophyll fluorescence, fluorescence monitoring systems, ABSTRAK Estimasi efisiensi fotosintesis perifiton dengan menggunakan Monitoring System Fluorescence. Perkembangan metode dalam mengukur proses fotosintesis kini semakin meluas, terutama untuk mendapatkan metode yang lebih efisien dan cepat. Efisiensi fotosintesis perifiton diperkirakan di bawah pengaruh intensitas cahaya dan suhu dengan menggunakan sistem pemantauan fluoresensi. Pengukuran pada substrat dengan metode pulsa jenuh telah dilakukan menggunakan FMS1 (Sistem Monitoring Fluoresensi, Hansatech). Pengukuran parameter fluoresensi dilakukan setiap minggu pada alga perifiton yang dibudidayakan pada substrat buatan selama 5 minggu dalam kondisi cahaya dan suhu terkontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fluoresensi nilai maksimal (Fm) meningkat secara linear dengan konsentrasi klorofil a. Untuk 20 C (percobaan di mana biomassa mencapai nilai yang lebih tinggi), hingga 100 mg klorofil per meter persegi perubahan Fm adalah cenderung linier. Setelah itu, respon Fm adalah hiperbolik, menunjukkan hukum kejenuhan. Hasil kami jelas menunjukkan bahwa FMS dapat digunakan efektif dan cepat untuk mengukur fluoresensi klorofil in vivo perifiton dalam kondisi laboratorium. Instrumen ini lebih mudah digunakan, dengan perangkat lunak kontrol yang nyaman, terutama bila digunakan dalam mode PC. Kata kunci : Fotosintesis, mikro-alga perifiton, fluoresens klorofil, sistem monitoring fluoresensi

112

Nofdianto / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 112-117

INTRODUCTION The development of methods in measuring the photosynthesis efficiency is now increasingly widespread, especially to get a more efficient method and fast. Especially for low-level plants such as microalgae periphytic, estimating the efficiency of photosynthesis under the influence of light intensity and temperature by using the fluorescence monitoring system is still very little its information. In this study focused on the influence of photosynthetic ornaments such as chlorophyll a, light intensity, and temperature on the parameters fluoresces. When a light energy is absorbed by a chlorophyll molecule, the electronic configuration of the molecule is temporarily altered. This "excited" configuration is inherently unstable and of short duration (generally less than 10-8 seconds) because several processes compete to dissipate the absorbed energy. In the photosynthetic systems, these processes can be categorized in two groups: a). The photochemical processes which use the energy absorptive for photochemistry during which the electrons are transferred from the pigments to a molecule. These processes direct energy intended for photosynthetic chemical "work". b). The non-photochemical processes dissipate the energy of the photosynthetic apparatus so that it does not lead to photosynthesis: the energy, usually re-emitted as infra red (heat) and red radiation, is called chlorophyllian fluorescence. The FMS (Fluorescence Monitoring System) which allows measurement of the Fo, Fm, and Fv/Fm parameters concerning photosynthesis was used to measure the activity photosynthetic of the microalgae in situ (Falkowski & Kiefer, 1985; Topliss & Platt, 1986; Kiefer et al., 1989). Fo is defined as the output of fluorescence following dark adaptation of the sample when all the reactive centers of

the PS-II and all the molecules accepting electrons are oxidized and completely opened to photo-chemistry. The maximum production of fluorescence (Fm) is reached when algae periphytic adapted to the darkness, are exposed to an intense peak of saturating light. It temporarily reduces all the electrons acceptors of the PS-II. The temporary absence of competition to photochemistry for absorptive energy stimulates a maximal emission of fluorescence of the sample. The difference between Fo and Fm is defined as a variable fluorescence (Fv) corresponding to the maximum capacity of photochemical capture of energy by the sample.
MATERIAL AND METHODS

Periphyton was grown on plexi-glass rectangular pilot with a total volume of about 3.6 liter. Pilots equipped with a pump to maintain water flow and ceramics as a substrate periphyton. Water media using ground water enriched with inorganic compounds (0115 mg.l-1 NH4Cl, 0.022 mg.l1 KH2PO4, 0.0115 mg.l-1 NaNO3 and 0.018 mg.l-1 O3Na2Si, 5H2O) and final pH 7. A three days acclimatization under a light-dark cycle (15/9 hours, 50 mol m-2s-1) and 20 C allowed an homogeneously culture on the tiles before starting the experiments. Then, the pilots were placed in a large temperature-regulated chamber, allowing simultaneous different light intensities from halogen lamp (PhytoClaude day-light, 400 watt). The pilots were arranged from light source to obtain irradiances of 15, 30, 100, 300, and 800 mol m-2s-1 respectively. The experiment duration was 28 days long with a 15/9 light/dark cycle. At least three replications were done for each temperature (10, 20, and 35 C). The light irradiance was measured with LI 1000 LI-COR sensor. During the experiments, water medium was periodically removed and replaced by new medium in the way to avoid nutrient limitation.

113

Nofdianto / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 112-117

Measurement of chlorophyll fluorescence

The measurement on a colonized substrate by the saturation pulse method has been conducted using a FMS1 (Fluorescence Monitoring Systems, Hansatech). This instrument consists of a portable control unit containing a battery, electronics, hardware, optics and light sources, an optional PAR/temperature leaf clip for whole leaf measurement, and a fiber-optic probe that both delivers light, and collects fluorescence signal from the sample. Data acquisition and recording software allow two different operating modes (PC, personal computer, or local). In this study, the PC mode was used. Chlorophyll fluorescence was measured at room temperature with a FMS 1 control unit after the sample had been darkadapted for 30 minutes. The FMS 1 was connected to a leaf-clip holder (modified in dark box) and to a computer (data acquisition software with Modfluor Windows software package). The probe was placed close to the surface of the periphyton (10 millimeters) and measurements were automatically made by using the automatic data acquisition, where the data points corresponding to the fluorescence signal value (bits) are stored every 110 ms. After conversion from analogical to digital format, the fluorescence signal is plotted versus time and presented graphically immediately on the computer screen (Fig.1). All of the calculated

parameters (Fo - Fluorescence level when sample dark-adapted and fully oxidized, Fv variable fluorescence level (Fm - Fo), Fm maximum fluorescence yield, and Fv/Fm maximum quantum efficiency of PSII can be displayed on the parameters window and transferred into EXCEL format. Each measurement was repeated three times. Measurement of the fluorescence parameters was conducted every week on algal periphyton which was cultivated on the artificial substrate during for 5 weeks under light and temperature conditions. Results and Discussion Figure 2 shows the correlations between chlorophyll a concentration and fluorescence parameters (Fv/Fm and Fm). The Fv/Fm ratio is not significantly correlated with the values of chlorophyll a at 10 and 20 C but there is a negative relationship for 35 C. The fluorescence maximal value (Fm) increase linearly with chlorophyll a concentrations. For 20C (experiments where the biomass reached higher values), up 100 mg chlorophyll a.m-2 the change in Fm is approximately linear. After, the response of Fm is hyperbolic, suggesting a saturation law. The evolution of the maximum quantum yield of PSII (Fv/Fm) varied ranged from 0.2 to 0.7. The average value of the Fv/Fm ratio slightly increased from 10 to 20 C to drop at 35 C (Fig. 3).
Bioderme Periphyton priphytique

BoteDark box obscurit Ordinateur Computer FMS -Hansatec h

FMS Hansatech

Figure 1. Instrumentation for Measuring the Chlorophyll Fluorescence.

114

Nofdianto / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 112-117

0,8 0,6 0,4 0,2 0,0 0,8 0,6 0,4 0,2 0,0

Fv / Fm

2000 1500 1000 500

Fm
R2 = 0.5 p < .001 n = 20

10 C 25
R2 = 0.7 p < .001 n = 20

25

50

75

0 100 0 2000 1500 1000 500 0 300 0 2000 1500 1000 500

50

75

100

20 C 100
R2 = 0.6 p < .001 n = 20

0 0,8 0,6 0,4 0,2 0,0 0

100
R2 = 0.5 p < .001 n = 20

200

200

300

35 C 0 25 50 75 (mg m-2 ) Chl a . 100

25 50 75 (mg m-2 ) Chl a .

100

Figure 2. Correlation between Chlorophyll a Concentrations and Fluorescence Units (Fo/Fm, Fm) for Different Temperature Conditions of Culture.
0,8 0,6

Fv/Fm

0,4 0,2 0,0 10C 20C 35C

Figure 3. Variation of the Fv/Fm Ration Versus the Temperature Condition of the Culture of Periphyton. The Fv/Fm ratio is slight correlated with irradiance light conditions of the culture (Fig. 4) : there is a decrease from very low light to higher light levels. The maximum quantum yield of PSII, usually expressed as Fv/Fm unit is given by the equation: Fv/Fm=(FmFo)/ Fm. A change in Fv/Fm is due to a change in

115

Nofdianto / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 112-117

the efficiency of non-photochemical quenching. Dark adapted values of Fv/Fm reflect the potential quantum efficiency of PSII and are used as a sensitive indicator of plant photosynthesis performance, with optimal values of around 0.8 measured for most plant species (Bjorkman and Demmig, 1987; Johnson et al., 1993). The observed values in this study are commonly lower than the theoretical value : here, the Fluorimeter Monitor System, and especially the sensor is not used in the conditions as planned for this kind of device (generally, fluorescence response is obtained from a leaf measurement).
0,8 0,6

The measure made with Fv/Fm ratio appears to indicate, not a quantitative response of the photosynthesis rate as a function of chlorophyll a content (as it is the case for Fm) but the ability for the photosynthetic system to operate. The results of this experiment showed that the Fluorescence Monitoring System (FMS) as a tool in quantifying the fluorescence of chlorophyll in vivo in algal periphyton can be used in laboratory conditions. The instrument is simple to use, with convenient software control, especially when used in PC mode.

Fv/Fm

0,4 0,2 0,0 0 200 400 -2 -1 I (mol.m .s ) 600 800

Figure 4. Evolution of the Fv/Fm Unit, which Observed on the Treated Periphyton Under Various Light Intensities. Fm unit is not commonly used as fluorescence parameter (see Maxwell & Jonson, 2000) : the study showed that the variations of the values were significantly correlated with increasing chlorophyll a concentrations per surface unit. However, the variations of the Fv/Fm ratio appeared to be quite biomassindependent. This means that for Fm and Fv/Fm parameters, the response is complex, related to chlorophyll a concentration, but also to light scattering and re-absorption phenomenon (Ting & Owens, (1992; Bchel & Wilhelm, 1993), to temperature and the type of box containing the algae (Mouget & Tremblin, 2002). REFERENCES Bjorkman, O., & Demmig, B., 1987, Photon yield of O2 Evaluation and Chlorophyll Fluorescence at 77 k Among Cascular Plants of Diverse Origins, Planta, 170:489-504. Bchel, C., Wilhelm, C., 1993, In Vivo Analysis of Slow Chlorophyll Fluorescence Induction Kinetics in Algae: Progress, Problems and Perspectives, Photochem, Photobiol, 58, 137148. Falkowski, P., & D.A. Kiefer, 1985, Chlorophyll a Fluorescence in Phytoplankton: Relationship to

116

Nofdianto / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 112-117

Photosynthesis and Biomass, J. Plankton Res, 7: 715731. Jhonson, G.N., Young, A.J., Scholes, J.D., & Horton, P., 1993, The Dissipation of Excess Excitation Energy in British Plant Species, Plant, Cell and Envir. 16:673-679. Kiefer, D.A., Chamberlin, W.S., & Booth, C.R., 1989, Natural Fluorescence of Chlorophyll a: Relationship to Photosynthesis and Chlorophyll Concentration in the Western South Pacific Gyre, Limnol. Oceanogr. 34:860-881. Maxwell, K., & G.N. Johnson, 2000, Chlorophyll Fluorescence a Practical Quide (Review article), J. Exp. Botany, 51(345):659-668.

Mouget, J.L., & Tremblin, G., 2002, Suitability of the Fluorescence Monitoring System (FMS, Hansatech) for Measurement of Photosynthetic Characteristics in Algae, Aquatic Botany 74:219231. Ting, C.S., Owens, T.G., 1992, Limitations of the Pulse-modulated Technique for Measuring the Fluorescence Characteristics of Algae, Plant Physiol. 100, 367373. Topliss, B.J., & T. Platt, 1986, Passive Fluorescence and Photosynthesis in the Ocean: Implications for Remote Sensing, Deep-Sea Res. 33: 849 864.

117

LIMNOTEK (2010) 17 (1) 118-127 Auldry / LIMNOTEK (2010) 17: (1) : 118-127

ANALISIS KENDALA PENGELOLAAN DANAU SENTANI BERWAWASAN LINGKUNGAN Auldry F. Walukowa


a

Dosen Jurusan FMIPA Universitas Cenderawasih Jayapura-Papua


Diterima redaksi : 15 Maret 2010, Disetujui redaksi : 20 Mei 2010

ABSTRAK Danau Sentani berada di Provinsi Papua, sebagian wilayahnya terletak di Kabupaten Jayapura dan lainnya berada Kota Jayapura. Danau ini memiliki luas sekitar 9630 ha dengan kedalaman 52 m, dan terletak pada ketinggian 72 m di atas permukaan laut. Beberapa permasalahan pada Danau Sentani adalah erosi, limbah domestik, limbah industri yang berdampak pada meningkatnya konsentrasi Cu dan Zn di atas standar baku mutu kualitas air. Metode analisis pada kajian ini menggunakan ISM (interpretative structural modeling). Menurut pendapat pakar, elemen elemen lembaga yang terlibat dalam pengelolaan Danau Sentani adalah Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Pemukiman, Tokoh Adat/lembaga adat/OBM, Bapedalda, Dinas Tata Ruang, Perguruan Tinggi, dan Dinas Pariwisata. Kendala utama yang menjadi elemen kunci dalam pengembangan model pengelolaan Danau Sentani adalah kurangnya visi dan misi pengelolaan lingkungan, perbedaan tujuan antar stakeholder, perbedaan tujuan antar wilayah administrasi, kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia, kurangnya dukungan peraturan, dan, persaingan kebutuhan/ kepentingan. Kata kunci: Danau Sentani, model pengelolaan, lembaga-lembaga. ABSTRACT ENVIRONMENTAL BASED ON ANALYZE PROBLEM OF SENTANI LAKE MANAGEMENT. The Sentani Lake located in Papua, a part of area at Jayapura Regency and other area in Jayapura City. Sentani Lake has 9630 ha area with 52 m depth and 72 m upper mean sea level. Some problem on Sentani Lake are erosion, waste domestic and industrial waste which impact to high concentration of Cu and Zn. Analyze method by ISM (interpretative structural modeling) with institution fellowship, objected to make lake management and management model program as some input. According to experts judgment, the institution elements involve on development of Sentani Lake management model experts are Marine and Fishery Institution, Housing Institution, local leader and local institution, environmental institutions, landscape institution, university, and tourism institution. Main problem on developing of Sentani Lake Management Model are strong less of vision and mission, objection difference between stakeholder, targets difference between area administration, low quality and quantity of human recourses, regulation, and conflict of interest. Key words: Sentani Lake, model management, institutions.

PENDAHULUAN Danau Sentani berada di Provinsi Papua, yang mana sebagian besar wilayahnya terletak di Kabupaten Jayapura

yaitu Distrik Sentani Timur, Distrik Sentani dan Distrik Sentani Barat, dan sebagian kecil wilayahnya berada di Distrik Abepura Kota Jayapura. Danau ini memiliki luas sekitar 9630 ha dengan kedalaman 52 m, dan

118

Auldry / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 118-127

terletak pada ketinggian 72 m di atas permukaan laut. Bentuk morfologi Danau Sentani memanjang dari arah timur ke barat sepanjang 26,5 km, dengan lebar bervarisi antara 2 4 km di sekitar Selat Simporo, dan lebar maksimum 24 km di bagian barat dan timur danau (Lukman & Fauzi, 1991). Keunikan danau Sentani dibandingkan dengan danau danau lain di Indonesia adalah danau ini dilaporkan memiliki selain jenis jenis ikan air tawar juga memiliki jenis jenis ikan air laut seperti ikan hiu gergaji (Pristis microdon), ikan belanak (Mugil cephalus), sidat (Anguilla australis) dan lain lain (FAO, 1972). Namun demikian jenis ikan hiu gergaji saat ini sudah tidak ditemukan lagi. Penurunan populasi ikan ini bisa terjadi karena penangkapan yang berlebihan ataupun kerusakan lingkungannya. Permasalahan lain yang muncul di sekitar Danau Sentani adalah tingginya erosi dan adanya pencemaran karena limbah rumah tangga dan industri menyebabkan kualitas air menurun. Untuk zat zat tertentu, seperti tembaga (Cu) dan seng (Zn), nilainya melebihi baku mutu yang ditetapkan pemerintah melalui PP 82 Tahun 2001 (PU, 2007). Erosi dan sedimentasi yang sangat tinggi disebabkan oleh sifat tanah di daerah aliran sungai (DAS) Sentani yang pada umumnya terdiri dari jenis tanah yang peka erosi, didukung oleh kondisi geografi dan curah hujan yang tinggi. Masalah utama hidrologi adalah di Sungai Sentani yaitu terjadinya banjir. Banjir terjadi pada setiap musim hujan dan merupakan ancaman bagi berbagai aktifitas masyarakat. Menurut BPDAS (2005) faktor utama penyebab banjir di DAS Sentani adalah hilangnya sebagian besar vegetasi/ hutan penutup lahan, akibat dari perladangan berpindah di bagian hulu sungai sehingga daya resapan air ke dalam tanah menjadi lebih kecil. Kapasitas infiltrasi yang kecil ini akan menyebabkan aliran permukaan (run off) menjadi lebih besar. Dalam kondisi DAS seperti ini, maka banjir

akan segera terjadi pada saat curah hujan tinggi. Sementara itu, pada musim kemarau di DAS Sentani terdapat beberapa sungai yang mengering. Biasanya sungai-sungai tersebut mengalir sepanjang tahun. Lahan kritis di DAS Sentani dari tahun ke tahun cenderung menunjukkan peningkatan yang cukup besar. Pertambahan luas lahan kritis ini selain disebabkan oleh perladangan berpindah, juga oleh berbagai faktor seperti penebangan pohon hutan yang tidak terencana dan cenderung tidak terkendali serta terjadinya kebakaran vegetasi pada musim kemarau. Apabila tidak dilakukan upaya upaya serius dalam penanggulangan lahan kritis ini maka pada akhirnya akan berdampak pada kerusakan kondisi lingkungan secara keselurahan. Luas lahan kritis di DAS Sentani adalah 21.292 ha atau sekitar 26 % dari total luas DAS. Permasalahan tersebut di atas akan mengancam pengembangan potensi Danau Sentani yang cukup beragam. Adapun potensi-potensi yang dimiliki Danau Sentani adalah : (1) Sumber air baku, baik untuk kebutuhan domestik maupun industri yang berada di sekitar danau melalui SPAM (Sistem Penyediaan Air Minum), (2) Potensi air danau untuk keperluan irigasi bagi areal pertanian, (3) Potensi air untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), (4) Potensi pengembangan usaha perikanan, (5) Keindahan Danau Sentani dan panoramanya yang dapat dimanfaatkan untuk ekowisata, (6) Potensi tempat sarana tranportasi air, dan (7) Kawasan pengembangan industri (Bapedalda dan LPM ITB, 2004). Sebagai awal promosi wisata danau, Gubernur Provinsi Papua telah mencanangkan Festival Danau Sentani pada tanggal 19-21 Juli 2008. Sedangkan dalam rangka membuka isolasi daerah sekitar danau maka pemerintah daerah (Pemda) telah melakukan studi untuk membangun jalan lingkar danau dan rencana pembangunan kawasan kota baru di sekitar Danau Sentani.

119

Auldry / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 118-127

Berdasarkan permasalahan dan potensi Danau Sentani tersebut di atas maka dibutuhkan strategi pengelolaan, diantaranya dengan mengembangkan peran lembagalembaga serta pengembangan kelembagaan Danau Sentani sehingga danau tetap memberikan manfaat secara berkelanjutan (sustainability). Mengacu pada pemikiran di atas, maka penelitian tentang Analisis Kendala Pengelolaan Danau Sentani ini dilakukan untuk menemukan model pengelolaan Danau Sentani yang berkelanjutan. Berdasarkan pemikiran ini, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis peran lembaga ditinjau dari aspek lembaga yang terlibat dan menganalisis kendala dalam pengelolaan Danau Sentani. BAHAN DAN METODE Bahan penelitian menggunakan master soft ware ISM (Interpretative Structural Modeling) dan minimal komputer pentium III untuk pengolahan data. Analisis dilakukan dengan menggunakan metode ISM dengan input-input: lembaga yang terlibat, program yang dibutuhkan dalam pengelolaan danau dan kebijakan pemerintah yang terkait (Saxena, 1992 dalam Eriyatno, 1999). Data diperoleh berdasarkan pendapat pakar berjumlah 7 responden yaitu : 1) Peneliti lingkungan air perguruan tinggi Universitas Cendrawasih, 2) Peneliti lingkungan perairan perguruan Tinggi USTJ, 3) Kepala BP DAS Mamberamo, 4) Kepala Seksi Perairan Propinsi Papua, 5) Kepala seksi Perairan Tingkat II, 6) Bapedalda, dan 7) Masyarakat adat. Metode yang digunakan adalah wawancara langsung dengan menggunakan instrumen ISM. Adapun langkah langkah yang dilakukan yaitu : i) Identifikasi elemen; ii) Hubungan Kontekstual; iii) SSIM (Structural Self Interaction Matrix); iv) RM (Reachability

Matrix); v) Digraph, dan vi) ISM (pembahasan hasil analisis). Identifikasi Elemen Identifikasi elemen adalah tahap untuk menganalisis elemen yang terkait berdasarkan teori dan pendapat pakar (expert judgment) dengan metode wawancara. Hubungan Kontekstual Hubungan kontekstual adalah keterkaitan antar sub elemen baris dan kolom, dalam hal ini keterkaitannya berupa pembandingan (comparative). Artinya berbentuk sub elemen A lebih penting dari pada B. Structural Self Interaction Matrix Berdasarkan hubungan-hubungan kontekstual maka disusun Structural Self Interaction Matrix ( SSIM) (Tabel 1), yang disusun menggunakan simbol V, A, X dan , yaitu : V jika eij = 1 dan eji = 0 A jika eij = 0 dan eji = 1 X jika eij = 1 dan eji = 0 O jika eij = 0 dan eji = 1 Pengertian nilai eij = 1 adalah ada hubungan kontekstual antara sub elemen ke-i dan ke-j, sedangkan nilai eji = 0 adalah tidak ada hubungan kontekstual antara sub elemen ke-i dan ke-j. V jika eij = 1 dan eji = 0; V = sub elemen ke-i harus lebih dulu ditangani dibandingkan sub elemen ke-j A jika eij = 0 dan eji = 1; A = sub elemen ke-j harus lebih dulu ditangani dibandingkan sub elemen ke-i X jika eij = 1 dan eji = 1; X = kedua sub elemen harus ditangani bersama. O jika eij = 0 dan eji = 0; O = kedua sub elemen bukan prioritas yang ditangani.

120

Auldry / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 118-127

Tabel 1. Structural Self Interaction Matrix (SSIM) Awal Elemen


12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 V 11 10 9 8 7 A 6 5 4 3 2 1

Bandingkan baris ke kolom untuk hubungan antar faktor kunci dalam bentuk huruf (V, A, X, O). Reachability Matrix Reachability Matrix (RM) adalah pernyataan hubungan dengan 1 dan 0 (Tabel 2). Dengan pengertian, simbol 1 adalah terdapat atau ada hubungan kontekstual,

sedangkan simbol 0 adalah tidak terdapat atau tidak ada hubungan kontekstual antara elemen I dan j, demikian sebaliknya. Setelah SSIM terisi sesuai pendapat responden, maka simbol (V, A, X, O) dapat digantikan dengan simbol (1 dan 0) dengan ketentuan yang ada sehingga dapat diketahui nilai dari hasil RM.

Tabel 2. Reachability Matrix (RM)


1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 D L 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 DP R

DP D

= driver power = dependence

R = rangking L = level/hierarki

121

Auldry / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 118-127

Digraph Digraph (directional graph) adalah tahap dimana dapat melihat grafik hubungan antar sub elemen dalam diagram hierarki (berjenjang) atau dalam matriks DriverPower (DP) dengan ketentuannya yaitu : Sektor 1; weak driver-weak dependent variabels (Autonomous). Subelemen yang masuk pada sektor 1 jika: Nilai DP 0.5 X dan nilai D 0.5 X, X adalah jumlah subelemen. Sektor 2; weak driver-strongly dependent variabels (Dependent). Subelemen yang masuk pada sektor 2 jika: Nilai DP 0.5 X dan nilai D > 0.5 X. Sektor 3; strong driver- strongly dependent variabels (Lingkage). Subelemen yang masuk pada sektor 3 jika: Nilai DP > 0.5 X dan nilai D > 0.5 X.

Sektor 4; strong driver-weak dependent variabels (Independent). Subelemen yang masuk pada sektor 4 jika: Nilai DP > 0.5 X dan nilai D 0.5 X.

ISM (pembahasan hasil analisis). ISM adalah pembahasan menyeluruh tentang elemen elemen kunci dan deskripsi elemen elemen autonomous, dependent, linkage dan independent. HASIL DAN PEMBAHASAN Terdapat 24 sub elemen lembaga yang yang terlibat dalam pengembangan model pengelolaan Danau Sentani (Tabel 3). Lembaga yang menjadi elemen kunci dalam pengembangan model tersebut adalah Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Pemukiman, Tokoh Adat/lembaga adat/OBM, Bapedalda, Dinas Tata ruang, Perguruan Tinggi , dan Dinas Pariwisata.

Tabel 3. Elemen Lembaga yang Terlibat dalam Pengembangan Model Pengelolaan Danau Sentani
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. Sub Elemen Dinas Kelautan dan Perikanan Dinas Perindustrian Industri dan pengusaha (Hotel , Budidaya karamba, Restaurant, dll) Bappeda Pemda Camat Lurah RT/LKMD Dinas Pemukiman Dinas PDAM Tokoh Adat/lembaga adat/OBM Tokoh agama/lembaga agama LSM PLN Bapedalda Dinas Pekerjaan Umum Dinas Tata ruang Dinas Kebersihan Dinas Kesehatan/Labkesda Perguruan Tinggi BPKH dan Dinas Pertanian/Perkebunan BP DAS Mamberamo Dinas Kehutanan (Propinsi Kabupaten) Dinas Pariwisata

122

Auldry / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 118-127

Arah dan kebijakan yang perlu diperhatikan oleh pemerintah adalah pengelolaan Danau Sentani harus secara menyeluruh dan terpadu, yang merupakan pendekatan sistem yang melibatkan berbagai sektor, baik dari pemerintah (policy maker), pelaku hukum, pengusaha, maupun masyarakat (umum dan adat). Arahan tersebut adalah untuk tidak hanya menganggap Danau Sentani sebagai sesuatu tempat ekploitasi saja karena nilai ekonomisnya yang tinggi, tetapi juga harus mempunyai nilai dan hak untuk dijaga, dikembangkan dan dilestarikan. Ganjaran hukuman harus mampu ditegakkan secara konsekuen dan konsisten, terhadap

pemanfaatan sumber-daya danau yang mengabaikan aspek pelestariannya. Elemen peran pemerintah yang terlibat dalam pengembangan Model Pengelolaan Danau Sentani baik langsung maupun tidak langsung, dijabarkan menjadi 11 sub elemen (Tabel 4). Sedangkan hasil analisis elemen untuk kebutuhan dalam pengembangan model pengelolaan Danau Sentani dijabarkan lagi menjadi 10 sub elemen seperti terlihat pada Tabel 5. Hasil analisis elemen kendala dalam pengembangan model pengelolaan Danau Sentani dijabarkan lagi menjadi 12 sub elemen (Tabel 6).

Tabel 4. Elemen Peran Pemerintah dalam Pengembangan Model Pengelolaan Danau Sentani
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. Subelemen Tata ruang Kota /Kabupaten Jayapura Pemetaan tata ruang Evaluasi kesesuaian lahan Master plan pewilayahan ekologi, ekonomi dan sosial Penerapan kebijakan antar stakeholder (pencemaran, tata ruang dan yang terkait dengan pencemaran danau) Ketegasan penegakan hukum terhadap pelanggaran Kajian kebijakan Prioritas rencana strategis Realisasi penerapan renstra Koordinasi antar wilayah administrasi Prinsip integrasi lintas sektoral

Tabel 5. Elemen Kebutuhan dalam Pengembangan Model Pengelolaan Danau Sentani


1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Sub Elemen Ekowisata Transportasi Perikanan ( usaha KJA) Air baku (air minum, transportasi, listrik, komersial, dan industri) Irigasi (debit harus diatur) Teknologi pengelolaan danau SDM berkualitas Modal Manajemen usaha Stabilitas politik

123

Auldry / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 118-127

Tabel 6. Elemen Kendala dalam Pengembangan Model Pengelolaan Danau Sentani


Subelemen 1. Kurangnya visi dan misi pengelolaan lingkungan (stakeholder) atau kurangnya pengetahuan dan kesadaran 2. Perbedaan tujuan antar stakeholder 3. Perbedaan tujuan antar wilayah administrasi 4. Konsistensi arah kerjasama antar stakeholder 5. Konsistensi arah kerjasama antar wilayah administrasi 6. Karakter dan etika dalam kerjasama 7. Koordinasi antar instansi 8. Kualitas dan kuantitas SDM 9. Kekuatan manajemen 10. Dukungan peraturan 11. Persaingan kebutuhan/kepentingan 12. Penegakan Peraturan

Kendala utama yang menjadi elemen kunci dalam pengembangan model pengelolaan Danau Sentani adalah: Kurangnya visi dan misi pengelolaan lingkungan (1), Perbedaan tujuan antar stakeholder (2), Perbedaan tujuan antar wilayah administrasi (3), Kualitas dan kuantitas SDM (8), Dukungan peraturan (10), Persaingan kebutuhan/ kepentingan (11) dan Peraturan (12). Sub elemen level 5 ini menjadi penggerak utama dan mempengaruhi sub elemen pada level berikutnya (Gambar 1). Level 1 Level 2 Level 3 Level 4 Level 5 1 2 3

sosial ekonomi, bangsa, maupun batas wilayah administrasi bahkan batas negara. Karena itu pengelolaan perlu dilakukan dalam satu kesatuan sistem berdasarkan pendekatan one lake, one river, one plan and one management system artinya perlu ada kesamaan tujuan, kesamaan visi dan misi antar stakeholder dan antar wilayah administrasi dalam pengelolaan air. Elemen kendala lainnya yang juga merupakan elemen kunci dalam pengembangan model pengelolaan Danau Sentani adalah karakter dan etika dalam kerjasama (6) pada level 4. 9 5 4 6 8 10 11 12 7

Gambar 1. Diagram Hierarki dari Subelemen Kendala Utama dalam Pengembangan Model Pengelolaan Danau Sentani Menurut Soenarno (2001), secara alamiah air akan bergerak dari satu tempat ke tempat lain tanpa mengenal batas politik, Bentuk pelanggaran hukum atau lemahnya penegakan peraturan di Danau Sentani seperti adanya pemukiman di

124

Auldry / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 118-127

sempadan sungai 50-100 meter dan danau 50 -100 meter dari titik pasang tertinggi, hal ini melanggar Kepres No 32 Tahun 1990 pasal 16 18. Data Bapedalda dan LPM ITB (2004) menyebutkan kerusakan hutan di Kabupaten Jayapura disebabkan oleh 1) Kebakaran hutan, 2) Ladang berpindah, 3) IIlegal loging, dan 4) Perambahan hutan. Pelanggaran lain adalah adanya konversi lahan di kawasan cagar alam Cycloop, kawasan lindung dan kawasan penyangga. Konversi lahan di kawasan tersebut adalah pemanfaatan untuk galian C, ladang berpindah, pemukiman, pasar dan lain lain. Hal ini mengakibatkan perubahan bentang alam, erosi, longsor dan pencemaran. Pengelompokkan sub elemen berdasarkan nilai-nilai Driver Power (DP) dan Dependence (D) (Gambar 2) dari 12 sub elemen dapat dikelompokkan kedalam 4 sektor. Sub elemen yang masuk kedalam sektor Dependent adalah: i) Konsistensi arah kerjasama antar stakeholder, ii) Konsistensi arah kerjasama antar wilayah administrasi, iii) Karakter dan etika dalam kerjasama, v) Koordinasi antar instansi, dan v) Kekuatan manajemen. Hal ini memberikan makna bahwa kelima sub elemen sektor dependent ini sangat tergantung pada sistem dan tidak mempunyai kekuatan penggerak yang besar (kekuatan penggeraknya lemah) atau kelima sub elemen tersebut merupakan variabel tak bebas yang akan dipengaruhi sub elemen lainnya dalam sistem.
13 12 11 10 9 8 7 6 6 5 4 3 2 1 0

Sub-sub elemen yang meliputi kurangnya visi dan misi pengelolaan lingkungan, perbedaan tujuan antar stakeholder, perbedaan tujuan antar wilayah administrasi, kualitas dan kuantitas SDM, dukungan peraturan, persaingan kebutuhan/ kepentingan dan peraturan, berada di sektor linkage. Sub- sub elemen sektor linkage ini harus dikaji secara hati hati dalam mengkaji kendala utama pengembangan model pengelolaan Danau Sentani karena akan memberikan dampak terhadap lainnya dan umpan balik pengaruhnya bisa memperbesar dampak tersebut. Sub elemen linkage ini hampir mendekati garis batas sektor linkage dan independent. Oleh sebab itu sub elemen sektor linkage ini memiliki kekuatan penggerak dalam mengkaji kendala pengembangan model pengeloaan Danau Sentani. Dengan demikian perlu ada pembagian peran dan koordinasi antara pemerintah dan masyarakat adat dalam rangka pengelolaan danau. Koordinasi yang dibangun adalah menyatukan visi dan misi, tujuan dan megevaluasi kendala kendala dalam pengelolaan Danau Sentani. CoManagement adalah pembagian kekuasaan untuk mengelola danau antara pemerintah dengan masyarakat (Hoggarth et al. 1988). Pengembangan kelembagaan yang diusulkan dalam tulisan ini adalah Co-Management. Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Helmer et al (1997) bahwa upaya
1, 2, 3, 8, 10, 11, 12

10

11 4, 7 5

12

13

Gambar 2. Matriks Driver Power (DP) dan Dependence (D) untuk Elemen Kendala Utama dalam Pengembangan Model Pengelolaan Danau Sentani

125

Auldry / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 118-127

- upaya yang diperlukan dalam pengelolaan perairan (termasuk pencemaran air) adalah : Pembuatan kebijakan, perencanaan dan koordinasi (Policy making, planning and co-ordination) Persiapan regulasi (Preparation/ adjustment of regulations) Monitoring Penegakan hukum / pembuatan hukum (Enforcement of legislation) Pelatihan dan Penyebaran informasi (Training and information dissemination) Oleh sebab itu langkah upaya penegakan hukum yang harus diterapkan adalah : a. Penegakan Kepres No 32 Tahun 1990 tentang pengelolaan kawasan lindung. b. Pelarangan galian C di tempat yang tidak layak lingkungan c. Perlunya penguatan regulasi dan sanksi sanksi hukum (punishment) bagi illegal loging, perambah hutan dan lain - lain. KESIMPULAN Kendala utama yang memiliki pengaruh paling besar dalam perumusan kebijakan pemerintah dalam pengelolaan Danau Sentani adalah kurangnya visi dan misi pengelolaan lingkungan (1), Perbedaan tujuan antar stakeholder (2), Perbedaan tujuan antar wilayah administrasi (3), Kualitas dan kuantitas SDM (8), Dukungan peraturan (10), Persaingan kebutuhan/ kepentingan (11) dan Peraturan (12). Sub elemen Kurangnya visi dan misi pengelolaan lingkungan, Perbedaan tujuan antar stakeholder, Perbedaan tujuan antar wilayah administrasi, Kualitas dan kuantitas SDM, Dukungan peraturan, Persaingan kebutuhan/kepentingan dan Peraturan, berada di sektor linkage. Sub sub elemen sektor linkage ini harus dikaji secara hati hati dalam megkaji kendala utama pengembangan model pengelolaan Danau Sentani.

DAFTAR PUSTAKA Bapedalda dan LPM ITB., 2004, Studi Ekosistem Kawasan Danau Sentani, Bapedalda, Jayapura. BP DAS., 2005, Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi dan Konservasi Tanah DAS Sentani, BP DAS. Jayapura. Eriyatno, 1999, Ilmu Sistem Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen, IPB Press. Bogor. FAO., 1972, Inland Fisheries Development in West Irian, Indonesia. Report on Project. Result Conclusion and Recomendation, FAO, United Nation, Rome. p 41. Helmer R., & I. Hespanhol, 1997, Water Pollution Control - A Guide to the Use of Water Quality Management Principles, Published on behalf of the United Nations Environment Programme, the Water Supply & Sanitation Collaborative Council and the World Health Organization by E. & F. Spon WHO/UNEP. USA. Hoggarth D.D., & Aeron-Thomas M., 1998, Adaptive Co-management of Harvest Reserves in Indonesia Rivers, Paper Presented at the 51st Gulg and Caribbean Fisheries Institute Annual Meeting, St. Croix, U. S, 9-13 November 1998. Isnugroho, 2001, Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air dalam Suatu Wilayah. Dalam R. Kodoatie, Suharyanto, S. Sangkawati, and S. Edhisono (Editor), Pengelolaan Sumber Daya Air dalam Otonomi Daerah, Andi Offset, Yogyakarta, pp. 89-99. Lukman & H. Fauzi, 1991, Laporan Pra Survey Danau Sentani Irian Jaya, dan Wilayah Sekitarnya, Puslitbang Limnologi LIPI. 64 hal. Mochtar, 2001, Aspek Pengelolaan Air dan Sumber Air Dalam Era Otonomi Daerah. Dalam R. Kodoatie, Suharyanto, S. Sangkawati, and S.

126

Auldry / LIMNOTEK (2010) 17 (1) : 118-127

Edhisono (Editor), Pengelolaan Sumber Daya Air dalam Otonomi Daerah, Andi Offset, Yogyakarta, pp. 55-61. PU., 2007, Master Plan dan Detail Desain Operasi dan Pemanfaatan Danau Sentani, PU. Jayapura. Sinukaban, 2007, Pengaruh Penutupan Mulsa Jerami Terhadap Aliran Permukaan, Erosi dan Selektivitas Erosi, Dalam Konservasi Tanah dan Air Kunci Pembangunan Berkelanjutan, Cetakan Pertama,

Direktorat Jenderal RLPS, Jakarta, pp. 46-60. Soenarno, 2001, Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air dalam Suatu Wilayah. Dalam R. Kodoatie, Suharyanto, S. Sangkawati, and S. Edhisono. Pengelolaan Sumber Daya Air dan Otonomi Daerah, Andi Offset, Yogyakarta. Sunaryo, T.M., T. Walujo, & A. Harnanto, 2007, Pengelolaan Sumber Daya Air Konsep dan Penerapannya, Bayumedia, Malang.

127

Anda mungkin juga menyukai