Anda di halaman 1dari 5

Krisis dan masalah pendidikan Makhluk allah awt.

Yang paling sempurna di atas muka bumi ini adalah manusia, dengan kesempurnaan itulah manusia menjadi khilafatullah sekaligus merupakan aset atau sumberdaya paling potensial pada suatu Negara. Seperti diungkapkan john naisbit (1995), bahwa ditepi asia pasifik telah tampak kebangkitan Negara miskin meski tanpa sumber daya alam melimpah. Jika Negara dapat melakukan kesempatan itu seefesien dan seefektif mungkin, maka yang potensial, professional, dan mampu berkompetisi. Sumber daya manusia membuahkan fenomena globalisasi yang menunjukkan banyak perubahan. Suatu sisi membawa perubahan yang berdampak positif, yaitu dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memberikan kemudahan kegiatanmanusia, namun pada sisi lain berdampak negatif terhadap perilaku manusia. Benturan-benturan nilai kehidupan tidak terelakkan, bahkan telah menyeret manusia pada krisis multidimensi akibat dunia tanpa batas (borderless world power and strategy in the interlinked economy)(kenichi ohmae). Fenomena globalisasi yang kontradiktif ini membawa nuansa baru yang sulit diprediksi oleh pemikiran manusia saat ini. Sehingga, muncul beberapa ramalan masa depan seperti dikatakan oleh para futuroogi bahwa akan datang masyarakat pasca-industri atau post-industrial society (Daniel Bell), masyarakat gelombang ketiga atau the third wave (Alfin Toffler), global paradox atau global paradox (john naisbitt), situasi kesemrawutan atau chaos (john briggs & david peat). Kriaia multidimensi serta prediksi para futurology menyebabkan manusia sulit memosisikan dirinya bila tidak memiliki ketahanan mental, ketahanan diri, kethanan nilai, setra fleksibilitas diri menghadapi dampak negatif kemajuan iptek. Dampak negatif kemajuan iptek ini besar pengaruhnya terhadao perubahan sikap serta perilaku peserta didik, sehingga terjadi beberapa krisis erosi nilai-erosi moral-erosi norma dan dehumanisasi. Fenomena krisis tersebut tampak pada krisis kepercayaan, krisis kualitas kemandirian atau krisis bangsa yang berkarakter, serta krisis akan nilai-nilai yang menjadi pegangan dan acuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Krisis-krisis di atas sebagai dampak kemajuan iptek telah lama menjadi masalah pendidikan. Baerbagai kebijakan dan pembaruan pendidikan telah dilakukan, akan tetapi dalam pelaksanannya selalu menghadapi hambatan dan tantangan, khususnya dalam menentukan arah dan tujuan perilaku individu. Hal ini sebagaimana dikatakan Ki Hajar Dewantara (1962:25) bahwa pendidikan itu berkuasa untuk mengalahkan dasar-dasar dari jiwa manusia, baik dalam arti melenyapkan dasar-dasar yang jahat dan memang dapat dilenyapkan, maupun dalam arti menutupi/mengurangi tabiat-tabiat jahat yang biologis atau tidak dapat dilenyapkan sama sekali karena sudah bersatu dengan jiwa.

Pendidikan merupakan subsistem buda Pendidikan merupakan subsistem budaya yang memiliki peran strategi dalam mendayagunakan potensi manusia agar menjadi lebih baik, matang, mantap, utuh, dan produktif. Pendidikan bukan hanya dipersiapkan untuk pengembangan potensi diri manusia, melainkan juga mengantisipasi dampak buruk dari kecendrungan perkembangan kebudayaan manusia. Konsep pendidikan manusia yakni UNESCO (Delors, 1997), menekankan pada pentingnya empat pilar yang harus dilakukan dalam semua proses pendidikan, yaitu: belajar untuk mengetahui (learning to know); belajar untuk membuat (learning to do); belajar untuk mandiri (learning to be); dan belajaar untuk hidup bersama(learning to live together in harmony). Sementara, bagi masyarakat Indonesia ditambahkan dengan sebuah konsep belajar untuk berperilaku bermoral (learning to be morally)atau budi pekerti, sebagaimana dikatakan Ki Hajar Dewantara (1962), bahwa: orang yang telah mempunyaikecerdasan, maka busi pekerti akan senantiasa memikirkan dan merasakan seta selalu menjadi ukuran, timbangan, dan dasardasar yang pasti dan tetap. Budi pekerti bersatu raga dengan keempat pilar proses pendidikan tersebut. Ki Hajar Dewqantara (1962) berpendapat bahwa: .. dengan adanya budi pekerti dalam wtak dan karakter manusia Indonesia, itulah berdatunya gerak pikiran, persaan, dan kehendak atau kemauan yang kemudian menimbulkan tenaga, karena setiap manusia berdiri sebagai manusia merdeka yang berpribadi yang dapat memerintah atau menguasai diri sendiri (mandiri). Konsep ini yang disebut sebagai modal manusia beradap seperti yang dimaksud dlam tujuan utama pendidikan nasional. Manusia beradap atau disebut juga sebagai makhluk social sebagai entitas, memiliki tingkah laku yang teratur, yang pada umumya dapat diprediksi dan potensial dikendalikan melalui pendidikan (max Weber). Manusia yang beradap, seperti yang dimaksud pual dalam undang-undang Ri nomir 20 tahun 2003 tentang system pendidikan naisonal pasal 3, yaitu: pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peraaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi pederta didik agar menjdai manusia yang beriman dan bertakwa kepada tuhan yang maha esa , berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dna menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nsionall tersebut, maka dapat adismak bahwa setidaknya terdapat dua arah pendidikan untuk mengmbangkan kemampuan, membentuki manusia Indonesia yang cerdas, yang memiliki pengetahuan dan keterampilan. Pendidikan ini merupakan kesatuan, walau dalam kenyataannya terpisah karena diarahkan untuk membangun,

mengembangkan kemampuan dan keterampilan kognitif. Kedua, pendidikan untuk membentuk watak dan peradaban manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokatis serta bertanggung jawab. Pendidikan diarahkan untuk mengembanbgkan kemampuan dan keterampilan afektual. Dua dimensi arah pendidikan ini seyogyanya menjadi dasar bagi upaya pendidikan yang dilakukan di Indonesia dalam sewgala jenis, jenjang, dan bentuk pendidikan. Satu langkah untuk menterjemahkan arah pendidikan nasional tersebut diwujudkan dalam bentuk substitusional kebijakan pendidikan berupa pentahapan pendidikan, yaitu bentuk, jenis, dan jenjang pendidikan, yang diselenggarakan pada jalur sekolah, serta bentuk kurikuler baik substansial maupun prosedural. Sekolah merupakan institusi dimana ilmu pengetahuan,siakp, nilai-nilai, serta teknik-tekik yang diperlukan untuk dapat hidup layak dimsyarakat diberikan kepada peserta didik, sehingga diharapkan dapat melanjutkan perkembangan kebudayaan masyarakat secara bertanggung jawab (Taba, 1962). Dalam praktik pendidikan, arah tersebut diterjemahkan lebih lanjtu ke dalam suatu rencana terstruktur dan sistematis berupa kurikulum. Kurikulum sekolah pada umumnya memuat tentang materi pendidikan dan proses pembelajaran. Kurikulum adalah seperangkt rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran, serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untukmencapai tujuan pendidikan tertentu (pasla 1 butir 19 UU Nomor 20 tahun 2003). Kurikulum disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional, sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara kesatuan Republik Indonesia, dengan memperhatikan: a. Peningkatan iman dan takwa. b. Peningkata akhlaj mulia. c. Peningkatan potensi, keacerdasan, dan minat peseta didik. d. Keragaman potensi daerah dan lingkungan. e. Tuntutan pembangunan daerah dan nasional. f. Tuntutan dunia kerja g. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan eni. h. Agama. i. Dinamika perkembangan global, j. dan persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan. (Pasal 36 UU nomor 20 tahun 2003). Berdasarkan UU nomor20 tahun 2003 penjelasan pasal 37 ayat (1), ditegaskan bahwa pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan unrtuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Materi pendidikan merupakan komponen dalam kurikulum yang penting, yang dimuat dalam kurikulum sekllah pada setiap mata pelajaran. Berkaitan dengan materi pendidikan,

kebijakan pendidikan dalam perumusan kebijakan makro pada kurikulum lama, terdapat beberapa penyimpanan yang bersifat unavoidable (tidak dapat dihindari), diantaranya penyimpangan unavoidable pembelajaran, khususnya pada mata pelajaran PKn, yaitu tahun 1962 civics tampil dalam bentuk indoktrinasi politik; tahun 1968 civics menjadi unsure dari pendidikan kewarganegaraan yang bernuansa pendidikan ilmu pengetahuan social; tahun 1969 PKn tampil dalam bentuk pengajaran konstitusi dan ketetapan MPRS; tahun 1973 PKn di dindentikkan dengan pengajaran IPS; tahun 1973 1984 PMP tampil menggantikan PKn dengan isi pembahasan P4; dan tahun 1994 PPKn tampil sebagai penggabungan bahan kajian pendidikan pancasila dan PKn yang tampil dalam bentuk pengajaran konsep nilai yang disaripatikan dari pancasila dan P4. (Winatapura, 2001: 6-7). Dalma kurikulum SD, SMP, dan SMA tahun 1968, masalah berpikir kritis, kreatif , pertisipasi dinamis, dan problem solving, sudah ditetapkan untuk digunakan oleh guru-guru, namun walaupun telah ditetapkan, sampai saat ini metode tradisional (unavoidable indoctrination) ini masih tetap dilakukan. Hal ini disebabkan beberapa factor, diantaranya bahwa lembaga pendidikan belum berhasil dalam menghasilkan guru yang professional dan mengabdi pada fungsi perannya. Selain itu, system social masyarakat yang terjadi cenderung kurang sesuai dengan tujuan Negara sebagaimana pendapat Somantri (2001:304), bahwa eberapa factor dipertahankannya metode tradisional, diantaranya karena: a) ujian akhir bersifat hafalan; b) bukuPKn isinya dipengaruhi oleh esensialisme-verbalisme; c) indoktrinasi (unavoidable inductrination), ground covering technique, dan yang sejenisnya adalah yang sejenisnya adalah yang paling gampang dilaksanakan dalam KBM; d) kurangnya kegiatan-kegiatan penulisan ilmiah mengenai metode mengajar, sehingga penyebaran prinsip-prinsip metode yang tercantum dalam rencana pendidikan sulit untuk dijalankan. Baik istilah yang dipakai, misi, serta isi yang dipilih dan diorganisasikan juga sttrategi pembelajran yang digunakan untuk mata pelajaran civics atau PKn yang berkembang secara fluktuatif hamper empat dasawarsa (1962-1998), menunjukkan indikator telah terjadinya krisis konseptual serta berdampak terjadinya krisis operasioanal kurikuler. Krisis operasional yang dalam banyak hal merupakan dampak dari krisis konseptual, tercermin dalam terjadinya perubahan isi dan format buku pelajaran, penataran guru yang tidak artikulatif, fenomena kelas yang belum banyak bergeser, dan penekanan pada proses kognitif memorisasi fakta dan konse. (Winataputra, 2001:6-7). Penyimpangan lain yang nampak di persekolahan, yaitu yaitu masih terasakan adanya sesuatu yang salah berkaitan dengan sistem sekolah, bahwa kurikulum yang dilaksanakan belum memberikan kebebasan pada guru sebagai pengembang kurikulum

maqalah

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
Diajukan untuk memenuhi tugas filsafast pancasila dengan dosen pendamping : Bapak Drs.Abdul Halim, M.Hum

Oleh kelompok 1 : Fiqhi fadli NIM:12320 Nurtamin NIM:12320 Wildan NIM:12320 Atikah aly NIM:12320116 Nur anisa Tania NIM:12320

UNIVERSITAS NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG FAKULTAS HUMANIORA DAN BUDAYA JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INGGRIS Oktober,2012

Anda mungkin juga menyukai