Anda di halaman 1dari 4

Boks 2 Potensi Rumput Laut

A.

Kondisi usaha rumput laut di Provinsi Sulawesi Tenggara Budidaya rumput laut telah berkembang pada setiap kabupaten/kota se Provinsi

Sulawesi Tenggara. Luasan areal budidaya rumput Provinsi Sulawesi Tenggara yang dikelola 9.825,9 ha dengan volume produksi rumput laut kering 73.247,1 ton. Potensi areal budidaya yang belum dikelola 36.428,2 ha yang diperkirakan dapat memproduksi rumput laut 262.073,5 ton/tahun. Luasan pengembangan paling potensal berada di Kabupaten Buton dan paling sempit Kota Kendari. Produktivitas rumput laut kering mencapai 1,3-3,84 ton/ha dimana budidaya dapat dilakukan 3-5 siklus setiap tahun. Apabila areal potensial dikelola secara optimal, maka total produksi rumput laut di Provinsi Sulawesi Tenggara diperkirakan mampu mencapai 335.320,7 ton setiap tahun. Tabel 1 Luasan areal budidaya rumput laut pada setiap kabupaten
10.000,0 9.000,0 8.000,0 7.000,0 6.000,0 5.000,0 4.000,0 3.000,0 2.000,0 1.000,0 Total (potensi dan dikelola) (ha) Dikelola (ha) Potensi Pengembangan (ha) WAKATOBI BUTON BAU-BAU BUTON UTARA MUNA BOMBANA KONAWE SELATAN KENDARI KONAWE KONAWE UTARA KOLAKA KOLAKA UTARA

Secara umum, salah satu metode budidaya rumput laut a adalah sistem long line atau tali bentangan yang terapung. Namun, pembudidayaan rumput laut di

Provinsi Sulawesi Tenggara dilakukan dengan menggunakan rakit yang berkostruksi tali dan sebagian menggunakan tali bentangan langsung dipasangi tali jangkar atau patok pada kedua ujungnya. Penerapan metode tersebut sangat ditentukan oleh kondisi perairan, sumberdaya yang tersedia dan modal usaha serta kelaziman yang digunakan pada suatu kawasan. Dari sisi biaya produksi, satu kilogram rumput laut kering pada siklus pertama memerlukan dana antara Rp8.782,00 sampai dengan Rp21.788,00 dan pada siklus kedua berkisar antara Rp 1.849,00 - Rp4.709,00dimana variasi biaya tersebut dipengaruhi oleh kawasan dan metode budidaya yang digunakan. Pada siklus kedua dan selanjutnya, biaya produksi hanya biaya tenaga kerja dan biaya operasional, lain-

lain, media budidaya dapat digunakan berulang kali dan bibit rumput laut disisihkan untuk ditanam pada periode berikutnya dan selebihnya dijemur.

B.

Permasalahan Pengembangan Usaha Rumput Laut Rumput laut memiliki nilai ekonomi yang tinggi (high value commodity),

spektrum penggunaannya sangat luas, daya serap tenaga kerja yang tinggi, teknologi budidaya yang mudah, masa tanam yang pendek (hanya 45 hari) atau quick yield dan biaya unit per produksi sangat murah. Tetapi pada kenyataann tingkat kehidupan masyarakat pembudidaya rumput laut masih dominan kurang baik jika dibandingkan dengan tingkat pembudidaya tambak (ikan bandeng/udang windu) atau pertanian lainnya seperti pembudidaya kakao. Permasalahan yang diidentifikasi pada usaha rumput laut di Sulawesi Tenggara adalah : 1) Strategi pengembangan usaha rumput laut masih kurang terencana, pengembangan usaha dominan dipengaruhi oleh faktor harga rumput laut kering, ketika harga rumput laut tinggi maka usaha budidaya berkembang cepat dan begitu sebaliknya. Strategi belum dirancang menjadi suatu berorientasi pengembangan dari hulu struktur usaha dikelolah

sampai hilir dan turunannya, sehingga

sangat rentang terhadap perubahan. 2) Posisi tawar pembudidaya kepada para pedagang masih rendah, disebabkan oleh masih kurang kesesuaian kebutuhan antara industri pengolah dengan para pembudidaya dan belum berfungsinya kelembagaan pada tingkat petani budidaya rumput laut. Pelaku usaha kurang berperan sebagai pelaku pemasaran produksi rumput laut pada tingkat lokal maupun antar pulau sehingga harga rumput laut berfluktuasi, sangat berpengaruh pada pembudidaya dalam mengembangkan usaha rumput laut. 3) Pengembangan budidaya rumput laut masih dilaksanakan sendiri-sendiri secara sektoral. Masih ditemukan koordinasi yang kurang antar dinas/instansi dalam rangka pelaksanaan program pemberdayaan khususnya pada budidaya rumput laut dan penguatan modal serta peningkatan sistem monitoring, controlling dan survailance untuk memperoleh data kemajuan usaha budidaya rumput laut yang terpadu. 4) Analisa detail spesifikasi wilayah untuk pemanfaatan areal budidaya rumput laut yang dilakukan pembudidaya selama ini, umumnya tanpa diawali dengan penelitian tentang kondisi daya dukung lahan dan status lokasi, sehingga sangat mempengaruhi keberlanjutan usaha budidaya rumput laut. 5) Keterbatasan penerapan dan alih teknologi budidaya rumput laut yang dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas hasil panen yang berkualitas melalui penelitian,

percontohan, pelatihan, magang dan penyuluhan. 6) Perubahan budaya kerja, nelayan terbiasa mempunyai pola kerja yang dapat

langsung mengambil hasil tanpa ada budidaya pemeliharaan sebelumnya, berubah menjadi pembudidaya yang membutuhkan pemeliharaan dan investasi merupakan kendala budaya. Namun dengan melihat kondisi nelayan yang berubah profesi mejadi pembudidya tingkat kehidupannya lebih baik, dapat membantu proses adaptasi perubahan budaya tersebut. 7) Masalah yang menghambat terciptanya peningkatan daya saing dan produktivitas dalam pengembangan industri rumput laut di Sulawesi Tenggara adalah ketersediaan bibit bermutu secara kontinyu, pengetahuan dan keterampilan para pembudidaya untuk menghasilkan produk dengan kualitas sesuai dengan kebutuhan pasar global. 8) Pada lokasi budidaya yang potensial, belum dikelola karena keterbatasan tenaga kerja dan keterbatasan sarana penunjang untuk mencapai lokasi dan sarana pendukungya. 9) Prasarana dan sarana untuk mengembangkan rumput laut dari hulu sampai hilir masih sangat terbatas, terutama yang mendukung industri pengolahan rumput laut dan turunannya. 10) Potensi areal budidaya masih kurang optimal pengunaannya, pemanfaatan areal kawasan belum merata dan tertata, skala usaha pembudidaya sangat bervariasi dan masih diperlukan peningkatan jiwa entrepenur bagi pembudidaya. Penataan dan kepastian status pemanfaatan pesisir merupakan salah satu masalah dalam pengembangan usaha budidaya rumput laut. 11) Keterbatasan modal usaha untuk pengadaan sarana media rumput laut usahanya. 12) Masalah gagal panen masih sering terjadi pada suatu kawasan, budidaya rumput laut terserang penyakit ice-ice, lumut, dan penyakit layu. budidaya dan bibit

merupakan masalah saat pembudidaya akan mengembangkan

C.

Strategi pengelolaan Budidaya rumput laut sebagai salah satu teknik pemanfaatan kawasan pesisir

berpeluang besar untuk dikembangkan bagi produksi perikanan yang berkelanjutan. Namun keberhasilan pengembangannya sangat ditentukan oleh penguasaan teknologi yang berorientasi ekonomis, dan sistem pengelolaan yang diterapkan, serta keterpaduan pemanfaatan kawasan pesisir dan laut dengan mempertimbangkan keberlanjutan

manfaat, sebagai konsekwensi kawasan pesisir dan laut bersifat common property dan

open acces namun limited entry. Sehingga diperlukan suatu konsep pengembangan budidaya laut terpadu berorientasi akuabisnis sebagai suatu alternatif pemanfaatan dan pengelolaan kawasan pesisir dan laut secara rasional dan bertanggung jawab. Sesuai dengan kebijakan pembangunan perikanan budidaya, maka disusun strategi pengembangan budidaya yang diarahkan pada upaya untuk : (a) pemantapan ketahanan pangan, (b) pemberdayaan ekonomi masyarakat petani pembudidaya, dan (c) peningkatan ekspor hasil perikanan. Pada pengembangan budidaya rumput laut dapat lebih optimal, berhasil di kawasan pengambangan Provisnis Sulawesi Tenggara, pendekatan strategi yang dapat dipertimbangkan adalah budidaya rumput laut berbasis akuaindustri yang dapat

dilakukan dengan model pendekatan sebagai berikut:

Anda mungkin juga menyukai