Anda di halaman 1dari 2

SEBELUM DEBAR MENJALAR | jangan kau simpan sendiri, bila memang hati tak mampu. Menaungi.

Kita sekarang berada pada peraduan yang sama. Pada suka, lelah, dan luka yang sama pula. Aku. Menangkap. Sepasang gugup yang telah meraup. Meski kau pandai menutup, tapi aku telah membaca peta ituu dari kedua matamu. Memang tak sempat kita membayangkan, apalagi berpetualang. Sebab rumah kita adalah siput, mudah mengatup bila ada suara. Apalagi tatap yang menyimpan curiga. Membuat kita segera tenggelam pada rasa bersalah. Saat ini, aku memang yang memegang kemudi, tapi jangan kau pikir aku nakhoda yang yang mampu melindungi kapal ini dari undangan maut. Sebab diri ini juga kerap terlarut dari pungut yang membuatku bertekuk lutut. Sebelum debar menjalar, pulangkan rasa itu pada pekat hatimu yang masih ungu. Kelak bila waktu sudah membuatkan peta untukmu, kau tak akan bingung berpetulang sendiri. Tapi pesanku, untuk saat ini simpan dulu. Sebab hatimu belum menyimpan sejarah atas luka dan bujuk rayu.

TAJAM| ruas demi ruas jejalan di kotamu telah kutelanjangi. Tapi aku benar-benar tersesat. Peta menuju hatimu tak jua kunjung kutemui. Semakin kujelajah, semakin aku terjepit. Sehingga aku merasakan rindu dan sakit yang saling mengimpit. Seakan mereka seperti saudara karib saja. Tapi bukan, keduanya belum saling kenal, seperti kau dan aku. Rupa yang tak bisa dimakna. Jabat yang tak pernah lekat. Namun selalu diingat dan semakin merapat. Tapi bukan mengikat Sebab aku, kau, sakit dan rindu adalah tualang waktu. Yang memburu kisah yang menyejarah.

RAMBU-RAMBU MEMBACA | kau berkata siapa saja boleh membaca, tetapi dengan syarat tak boleh diucap seusai membaca, bertanya, dan juga menilai. Sebab sewaktu bercerita kau tidak meminta pendapat. Kecuali kau yang memintanya. Aku mencerna tawaranmu sebagai tawaran yang menyakitkan. Tentunya kalian juga tak boleh membatah, terkhusus untuk Anda yang cinta dengan cerita.

TENTANG PENCERITA| kau bilang, engkau orang yang biasa saja. Sama dengan semua orang pada umumnya. Merasakan sedih, senang, dan juga takut yang amat takut seperti gletser mencair. Kau juga suka bercerita tentang pendingin ruangan yang membuatnya makin menggigil. Engkau paling jago dalam membeli celana jins yang paling murah, tetapi mahal bagi para buruh yang hak-haknya dieksploitasi. Sehingga membuat hidupmu tidak tenang, siang-malam hal-hal tak habis memenuhi tempurung kepalamu. Hingga aku menyandingkanmu dengan Descartes. Pemikir itu.

MULAI DARI LANTURAN HINGGA PEMIKIRAN MENDALAM | dari hal kecil hingga sesuatu yang tidak sepat dipikirkan orang. Semua kau tuangkan dan kau rawat seperti merawat baju, boneka dan rambut kesayanganmu. Selain merunut kisah, kau juga melukiskan dengan gurat wajah yang amat sempurna. Menunjukkan garis-garis susah, senang, sedih dan juga marah. Tapi kau bilang itu hanya sebuah sandiwara. Sebab wajah bisa berubah seperti hati yang tidak mungkin pernah bisa diikuti.

KEINGINAN YANG SEBATAS INGIN | engkau bilang suatu kota yang jauh itu, indah dan penuh kedamaian. Ada salju sesekali dan para warga yang suka berjalan kaki bukan berebut menaiki mobil pribadi. Saat jenuh menyapamu, laut luas pilihanmu. Laut kau rengkuh untuk membagi resah, gelisah. Lalu tak segan kau berteriak sekeras-kerasnya Katamu dengan begitu bisa menghilangkan beban di kepala.

Anda mungkin juga menyukai