Anda di halaman 1dari 7

Sejarah Perkembangan Madrasah Ibtidaiyah di Indonesia Oleh: Herty Indah Afiyati

Perkembangan Madrasah Indonesia Sejak ditumpasnya G 30 S/PKI pada tanggal 1 0ktober 1965, bangsa Indonesia memasuki fase baru yang diberi nama Orde Baru. Perubahan Orde Lama menjadi Orde Baru berlangsung melalui kerjasama yang erat antara pihak ABRI atau tentara dan gerakan-gerakan pemuda yang disebut angkatan 1966. Sejak tahun 1966 para pemuda dan mahasiswa melakukan demonstrasi dijalanjalan secara spontan memprotes segala macam penyalahgunaan kekuasaan. Pada masa awal pemerintahan Orde Baru, kebijakan mengenai madrasah bersifat melanjutkan dan memperkuat kebijakan pemerintah Orde Lama. Pada era ini madrasah masih belum dianggap sebagai bagian dari sistem pendidikan secara nasional, akan tetapi madrasah menjadi lembaga otonom di bawah pengawasan menteri agama. Ketika Departernen Agama didirikan, salah satu tugas Bagian Pendidikan adalah mengadakan suatu "pilot project" sekolah yang akan menjadi contoh bagi orang orang atau organisasi yang ingin mendirikan sekolah secara partikelir (swasta).1 Tugas ini mengandung maksud sekolah agama (madrasah) konflik pemerintah diperlukan sebagai panutan atau contoh bagi pihak swasta dalam mengelola pendidikan agama. Pendirian madrasah negeri merupakan sisi lain dari bentuk bantuan dan pembinaan terhadap madrasah swasta. Bentuk pertama dari pembinaan terhadap madrasah dan pesantren setelah Indonesia merdeka adalah seperti yang ditentukan Dalam Peraturan Menteri Agama No.1 tahun 1946, tanggal 19 Desernber 1946 tentang pemberian bantuan madrasah. Dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa madrasah adalah tiap-tiap tempat pendidikan yang mengajarkan ilmu pengetahuan agama Islam sebagai pokok pengajarannya (Iihat penjelasan pasal I peraturan tersebut). Bantuan tersebut diberikan setiap tahun dan baru terbatas untuk beberapa karesidenan di
1

http://rohmanmagzdub.blogspot.com/2010/05/kontribusi-madrasah-dalam-pendidikan-di.html (Diakses pada tanggal 26 Desember 2012, 15:47)

Daerah Istimewa Yogyakarta, Jakarta dan Surakarta. Bentuk bantuan berupa uang yang hanya boleh digunakan untuk: 1) memberi tunjangan kepada para guru, 2) membeli alat alat pelajaran, 3) menyewa dan atau memelihara ruang ruang dan gedung madrasah, 4) membiayai administrasi. Peraturan tersebut mencantumkan pula ketentuan bahwa dalam madrasah itu hendaknya diajarkan juga pengetahuan umum setidak-tidaknya: a) bahasa Indonesia, berhitung dan membaca serta menulis dengan huruf latin di madrasah tingkat rendah, b) ditambah dengan ilmu ilmu tentang bumi, sejarah, kesehatan tumbuh tumbuhan dan alam di madrasah lanjutan. Jumlah jam pengajaran untuk pengetahuan umum sekurangkurangnya 1/3 dari jumlah jam pengajaran seluruhnya. Ketentuan untuk mengajarkan pengetahuan umum. 1/3 dari seluruh jam pengajaran dilatarbelakangi oleh saran Panitia Penyelidik Pengajaran yang mengamati bahwa di madrasah-madrasah jarang sekali diajarkan pengetahuan umum vang sangat berguna bagi kehidupan sehari hari. Kekurangan pengetahuan umum akan menyebabkan orang mudah diombang ambingkan oleh pendapat yang kurang benar dan pikiran kurang luas. Menurut peraturan ini, jenjang pendidikan dalam madrasah tersusun dalam: 1. Madrasah Tingkat Rendah, dengan lama belajar sekurang-kurangnya 4 tahun dan berumur 6 sampai 15 tahun; 2. Madrasah Lanjutan dengan masa belajar sekurang-kurangnya 3 tahun setelah tamat Madrasah Tingkat Rendah dan berumur 11 tahun ke atas. Peraturan ini kemudian disempurnakan dengan Peraturan Menteri Agama No. 7 tahun 1952 yang berlaku untuk seluruh wilayah RI.

Dalam Peraturan tersebut dinyatakan bahwa jenjang pendidikan madrasah adalah: 1. Madrasah Rendah (sekarang dikenal dengan sebutan Madrasah lbtidaiyah) dengan masa belajar 6 tahun.

2. Madrasah Lanjutan Tingkat Pertama (sekarang Madrasah Tsanawiyah), lama belajar 3 tahun setelah tamat Madrasah lbtidaiyah. 3. Madrasah Lanjutan Atas (sekarang Ma'drasah Aliyah), lama belajar 3 tahun setelah tamat Madrasah Tsanawiyah. Madrasah lbtidaiyah Negeri sebagian besar berasal dari madrasah madrasah yang semula diasuh oleh Pemerintah Daerah Aceh, Lampung dan Surakarta. Sejak tahun 1946 ada 205 Sekolah Rendah Islam yang diasuh oleh Pemerintah Daerah Aceh yang dengan Ketetapan Menteri Agama no. I tahun 1959, pengasuhan dan pemeliharaannya diserahkan kepada Kementerian Agama dan namanya diubah menjadi Sekolah Rakyat Islam (SRI). Kernudian melalui Keputusan Menteri Agama No.104 tahun 1962 diubah namanya menjadi Madrasah lbtidaiyah 11.1egeri (MIN). Hal yang sama terjadi di karesidenan Lampung. Sebanyak 19 SRI berdasarkan Penetapan Menteri Agama No. 2 tahun 1959. Di Karesidenan Surakarta sebanyak 11 SRI dengan Penetapan Menteri Agama no. 12 tahun 1959. Kemunculan Orde Baru tampil dengan konsep pembangunan yang lebih dikenal dengan pembangunan Lima Tahun (PELITA). Pembangunan nasional merupakan bagian penting dari kebijakan politik pemerintah Orde Baru. Pada masa Orde Baru pendidikan bersifat sentralisme, dengan birokrasi yang ketat. Hal ini terjadi akibat dari system pemerintahan yang otoriter. Hal ini memberi akibat kepada kegiatan pendidikan bersifat menunggu perintah dari atas (top down). (Abuddin Nata, 2003: 42) Dengan adanya sentralisme, maka pendidikan tidak berjalan dengan baik, inovasi terhenti karena setiap pembaruan dan inovasi dianggap menetang pemerintah. Sehingga pembaruan dan inovatif dalam pendidikan tidak berjalan secara maksimal. Samsul Nizar yang menyatakan bahwa kebijakan pemerintah Orde Baru mengenai pendidikan agama, termasuk madrasah bersifat positif dan kostruktif, khusus pada dekade terakhir tahun 1980-an sampai dengan tahun 1990-an. Kebijakannya bersifat melanjutkan dan memperkuat kebijakan Orde lama. Meskipun demikian pada tahap ini madrasah belum dianggap sebagai bagian

sistem pendidikan secara nasional, akan tetapi merupakan lembaga otonom di bawah pengawasan menteri Agama. Pada masa ini sistem pendidikan madrasah secara khusus lebih didominasi oleh muatan-muatan yang bersifat keagamaan, menggunakan kurikulum yang belum terstandar, struktur yang tidak seragam, dan memberlakukan manajemen yang kurang dapat dikontrol oleh pemerintah. Dari pembahasan tersebut dapat dipahami bahwa madrasah pada masa Orde Baru belum mempunyai kurikulum yang standar, manajemen dan struktur yang berbeda di setiap madrasah. Keadaan ini menimbulkan sulitnya pemerintah mengontrolnya. Hal senada juga diungkapkan oleh Husni Rahim, bahwa madrasah mempunyai karakterisitik yang unik, diantaranya adalah, pertama, madrasah adalah milik masyarakat.2 Kedua, madrasah menerapkan manajemen berbasis sekolah. Ketiga, madrasah sebagai lembaga untuk menperdalam agama Islam. Keempat, madrasah sebagai lembaga kaderisasi dan mobilisasi umat. Dengan demikian pantaslah madrasah belum dianggap sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional. Akan tetapi hal itu tidak menjadikan madrasah surut dan tenggelam, bahkan sudah melangkah sedikit lebih maju. Hal ini dapat dipahami dari konsep pendidikan menitikberatkan kepada konsep manajemen berbasis sekolah. hal ini dapat dipandang bahwa madrasah telah menerapkan manajemen yang berbasis sekolah, yang disesuaikan dengan keadaan dan lingkungan dimana madrasah berada. Dalam arti dalam manajemen tidak harus sama dengan madrasah lainnya.

Perkembangan Madrasah Ibtidaiyah Pada Masa Orde Baru Masa Orde baru, perkembangan Madrasah Ibtidaiyah ditandai dengan adanya perhatian pemerintah yang diwujudkan dengan adanya rangkaian dikeluarkannya peraturan pemerintah (PP) sejak masa orde lama yakni PP No 33 tahun 1949 dan PP No 33 tahun 1950, yang sebelumnya didahului dengan dikeluarkan Permenag No 1 Tahun 1946, No 7 tahun 1952, No 2 tahun 1960 dan

http://husnirahim.blogspot.com (Diakses pada taggal 26 Desember 2012, 16:03)

terakhir No. 3 Tahun 1979 tentang pemberian bantuan kepada madrasah. 3 Bantuan madrasah yang semula diperhitungkan perkapita @ Rp. 60 per murid (uang lama), suatu kebijakan yang mengecewakan umat karena bantuan tersebut sejak tahun 1965 dan di masa orde baru dijadikan bantuan lepas sampai sekarang. Pada saat itu MI berjumlah 24.979 yang 24.370 atau 97,6 % adalah swasta. Jumlah itu merupakan bagian dari aset bangsa yang sangat besar yang tentunya berhak untuk melanjutkan pendidikan dan terjun ke dunia kerja yang layak pula. Kemudian lahir kebijakan dalam rangka pengembangan madrasah tingkat dasar (Ibtidaiyah) , pemerintah (Departemen Agama) mendirikan Madrasah Wajib Belajar (MWB) yang menjadi langkah awal dari adanya bantuan dan pembinaan madrasah dalam rangka penyeragaman kurikulum dan sistem penyelenggaraannya, dalam upaya peningkatan mutu madrasah ibtidaiyah. 4 Walaupun kemudian MWB ini tidak berjalan sesuai dengan harapan karena berbagai kendala seperti terbatasnya sarana prasarana,masyarakat kurang tanggap dan juga pihak penyelenggara madrasah, setidaknya itu menjadi pendorong kemudian pemerintah mendirikan adanya madrasah negeri yang lebih lengkap dan terperinci, dengan perbandingan materi agama 30% dan materi pengetahuan umum 70%. Sistem penyelenggaraan, jenjang dan kurikulum disamakan dengan sekolah umum yang berada dibawah pembinaan Departemen Pendidikan Nasional, yaitu Madrasah Ibtidaiyah Negeri yang merupakan sekolah setingkat Sekolah Dasar Negeri dengan lama belajar 6 tahun.

Dalam Pasal 4 TAP MPRS No.XXVII/MPRS/1966 disebutkan tentang isi pendidikan, di mana untuk mencapai dasar dan tujuan pendidikan, maka isi pendidikan adalah : 1. Mempertinggi mental, moral, budi pekerti dan memperkuat keyakinan beragama. 2. Mempertinggi kecerdasan dan ketrampilan. 3. Membina dan mengembangkan fisik yang kuat dan sehat.

http://makalah-ibnu.blogspot.com/2009/12/sistem-pendidikan-islam-pada-masa-orde.html (Diakses pada taggal 26 Desember 2012, 16:12) 4 http://id.wikipedia.org/wiki/Pesantren. (Diakses pada tanggal 26 Desember 2012, 17:10)

Pendidikan pada hakikatnya adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah berlangsung seumur hidup. Oleh karenanya agar pendidikan dapat dimiliki oleh sebuah rakyat sesuai dengan kemampuan masing-masing individu. Pada tahun 1967 terbuka kesempatan untuk menegerikan madrasah swasta berdasarkan Penetapan Menteri Agama no. 80 tahun 1967. Kesempatan penegerian itu kemudian dihentikan pada tahun 1970 berdasarkan Keputusan Menteri Agama No.813/ 1970, ketika itu jumlah MIN sudah mencapai 358 buah. Selanjutnya pada tahun 1972 Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 34 tahun 1972 dan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 15 tahun 1974 yang mengatur madrasah di bawah pengelolaan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) yang sebelumnya dikelola oleh Menteri Agama.

Eksistensi Madrasah Ibtidaiyah di Indonesia Sekitar akhir tahun 70-an, pemerintah Orde Baru mulai memikirkan kemungkinan mengintegrasikan madrasah ke dalam Sistem Pendidikan Nasional. 5 Usaha tersebut diwujudkan dengan upaya yang dilakukan pemerintah dengan melakukan upaya memperkuat struktur madrasah, kurikulum dan jenjangnya, sehingga lulusan madrasah dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, yaitu sekolah-sekolah yang dikelola oleh departemen pendidikan dan kebudayaan. Kebijakan tersebut berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga menteri tahun 1974 tentang peningkatan mutu Pendidikan pada madrasah. (Maksum, 1999:132). Tiga orang menteri tersebut adalah menteri Agama A. Mukti Ali dengan Nomor. 6 tahun 1975, Menteri P dan K yang dijabat oleh Syarief Thajeb dengan Nomor. 037/U/1975, dan Menteri dalam negeri yang saat itu dijabat oleh Amir Mahmud dengan Nomor.36 tahun 1975 tanggal 24 maret 1975. SKB tersebut berlaku untuk madrasah dan semua jenjang baik negeri maupun swasta, madrasah di lingkungan pondok pesantren dan di luar pesantren.
5

http://www.riwayat.net/2010/11/analisis-filosofis-madrasah-masa-orde.html (diakses pada tanggal 26 Desember 2012, 16:57)

Di antara tujuan SKB adalah pertama, Ijazah madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum. Kedua, Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat lebih tinggi. Ketiga, siswa madrasah dapat pindah ke sekolah umum yang sama tingkatannya. (Abuddin Nata,2003:51). Dengan adanya keputusan tersebut, maka posisi madrasah setara dengan sekolahsekolah umum yang dikelola oleh pemerintah. Bahkan akan lebih mempunyai nilai lebih jika pengelolaan madrasah dioptimalkan secara maksimal. Dalam rangka merespon SKB tersebut, maka disusun kurikulum madrasah tahun 1975 dengan perbandingan bobot alokasi waktu 70% pelajaran umum dan 30% pelajaran agama, ( Zakiah Daradjat (Dkk), 1985: 82) Dengan perbandingan tersebut, pada dasarnya madrasah mempunyai nilai lebih dibandingkan sekolah umum. Karena selain mempunyai standar pengetahuan umum yang sama, siswa madrasah mempunyai nilai positif, yaitu materi agama. Tentunya, jika hal ini dilakukan secara baik dan prosefional, maka madrasah akan lebih berkualitas dan unggul. Dengan adanya SKB tiga menteri tersebut, maka eksistensi madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam telah setara dengan sekolah umum yang dikelola oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

Anda mungkin juga menyukai