Anda di halaman 1dari 23

BAB I PENDAHULUAN 1.1.

Latar Belakang Permasalahan kesehatan merupakan permasalahan yang sangat kompleks karena banyaknya faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi kesehatan baik perseorangan maupun masyarakat. Salah satu faktor yang paling menonjol adalah sosial dan ekonomi. Oleh karena itu, dalam upaya mewujudkan suatu keadilan dan kemerataan (equity dan equality) dalam bidang kesehatan harus selalu mempertimbangkan determinandeterminan sosial dan ekonomi tersebut. Salah satu variabel di dalam determinan sosial dan ekonomi yang mempengaruhi status kesehatan adalah kemiskinan. Secara umum masyarakat miskin menghadapi permasalahan kesehatan yang jauh lebih nyata terkait dengan adanya ketidakadilan dan ketidakmerataan (inequity dan inequality) akibat status sosial dan ekonomi mereka. Hubungan di antara ketiga hal ini (sosial dan ekonomi, kemiskinan, serta kesehatan) merupakan suatu hubungan yang terkait dan saling mempengaruhi satu sama lain. Baik di skala global maupun nasional, persoalan yang timbul akibat hubungan ini amat beragam dan penyelesaiannya membutuhkan kerjasama dari banyak pihak. 1.2. Tujuan

1.2.1. Mengetahui inequity dan inequality sosial ekonomi khususnya kemiskinan yang berpengaruh dalam status kesehatan 1.2.2. Mengetahui masalah yang timbul akibat inequity dan inequality tersebut dan solusi yang bisa diambil untuk mengatasinya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Equity dan Equality Equity adalah keadilan berdasarkan kebutuhan, sedangkan equality maknanya lebih kepada persamaan manfaat yang diperoleh tanpa merujuk pada kebutuhan (Picket, 1990). Dalam bidang kesehatan, Kawachi menyatakan bahwa equity berarti pelayanan diberikan berdasarkan kebutuhan dan setiap orang dengan kebutuhan yang sama harus diperlakukan secara sama. Sedangkan equality lebih mengacu pada situasi dimana semua orang mendapat perlakuan yang sama (Maharani, 2009). Kebalikan dari equity dan equality adalah inequity dan inequality. Konsep inequity dipahami sebagai adanya perbedaan-perbedaan yang sesungguhnya tidak diperlukan dan dapat dihindari, dan ditunjukkan dengan adanya perasaan mendapat ketidakadilan (unfairness dan unjustness). Dengan kata lain istilah inequity memiliki dimensi moral dan etika. Sedangkan konsep inequality lebih mengacu pada kuantitas yang dapat diukur dari perbedaan-perbedaan dan variasi tersebut tanpa melibatkan penilaian moral. Menurut Shin dan Kim (2010) inequity menyangkut perbedaan dalam mendapatkan akses, jangkauan, dan kualitas pelayanan kesehatan sehingga timbul ketimpangan status kesehatan antara kelompok masyarakat yang berbeda. Inequality dalam kesehatan sebagian mengacu pada pemanfaatan pelayanan kesehatan yang timpang antara kelompokkelompok yang berbeda secara sosial demografi. 2.2. Determinan Sosial dan Ekonomi Kesehatan Determinan sosial dan ekonomi kesehatan adalah kondisi sosial ekonomi dimana masyarakat hidup yang menentukan status kesehatan mereka. Determinan ini lebih berupa kondisi-kondisi yang berisiko sosial

daripada faktor-faktor yang berisiko perseorangan. Kondisi-kondisi ini dapat meningkatkan maupun menurunkan risiko serangan penyakit. Raphael (2008) mengutarakan konsep mengenai determinan sosial kesehatan sebagai kondisi sosial dan ekonomi yang membentuk kesehatan individu, komunitas dan yuridiksinya secara menyeluruh. Determinan sosial kesehatan adalah determinan utama dalam menentukan apakah seseorang akan tetap sehat atau menjadi sakit. Tidak hanya itu, determinan sosial kesehatan juga meluas pada sumber daya fisik, sosial dan personal yang dimiliki seseorang untuk mengenali dan mencapai kepuasan akan kebutuhannya terkait dengan lingkungan. Determinan sosial kesehatan adalah juga tentang jumlah dan mutu dari berbagai sumber daya yang dimiliki masyarakat yang tersedia bagi anggotanya. Di dalam Social Determinants of Health: The Solid Facts (World Health Organization) disebutkan bahwa pada awalnya kebijakan kesehatan kebanyakan hanya menyinggung tentang peraturan dan pendanaan pelayanan kesehatan, sedangkan mengenai determinan sosial kesehatan hanya dibahas di dunia akademik. Namun sekarang hal ini telah berubah. Beberapa determinan sosial dan ekonomi kesehatan yang disebutkan di dalam Solid Facts tersebut antara lain stress, masa kehidupan awal, larangan sosial, pekerjaan, pengangguran, dukungan sosial, ketergantungan (addiction), pangan, dan transportasi. Sementara pelayanan kesehatan dapat memperpanjang ketahanan hidup dan meningkatkan prognosis (ramalan) beberapa penyakit serius, satu hal yang lebih penting di dalam kesehatan masyarakat sebagai suatu kesatuan adalah kondisi-kondisi sosial ekonomi yang membuat orang menjadi sakit dan membutuhkan pelayanan kesehatan. Dengan demikian jelaslah bahwa akses universal (tidak membeda-bedakan kondisi sosial ekonomi) ke berbagai pelayanan kesehatan merupakan salah satu determinan sosial kesehatan.

2.4. Kemiskinan Dalam Chambers arti proper, kemiskinan dipahami sebagai keadaan

kekurangan uang dan barang untuk menjamin kelangsungan hidup. di dalam Suryawati (2005) mengatakan bahwa kemiskinan adalah suatu konsep terintergrasi yang memiliki lima dimensi, yaitu: 1) kemiskinan (proper), 2) ketidakberdayaan (powerless), 3) kerentanan menghadapi situasi darurat (state of emergency), 4) ketergantungan (dependence), dan 5) keterasingan (isolation) baik secara geografis maupun sosiologis. Hidup dalam kemiskinan bukan hanya hidup dalam kekurangan uang dan tingkat pendapatan rendah, tetapi juga banyak hal lain, seperti tingkat kesehatan dan pendidikan rendah, perlakuan tidak adil dalam hukum, kerentanan terhadap ancaman tindak kriminal, ketidak berdayaan dalam menentukan jalan hidupnya sendiri (Suryawati, 2005). Kemiskinan dibagi dalam empat bentuk, yaitu: 1. Kemiskinan absolut, kondisi dimana seseorang memiliki pendapatan di bawah garis kemiskinan atau tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan, kesehatan, perumahan, dan pendidikan yang dibutuhkan untuk bisa hidup dan bekerja. 2. Kemiskinan relatif, kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum menjangkau seluruh masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan pada pendapatan. 3. Kemiskinan kultural, mengacu pada persoalan sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya, seperti tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupan, malas, pemboros, tidak kreatif meskipun ada bantuan dari pihak luar. 4. Kemiskinan struktural, situasi miskin yang disebabkan oleh rendahnya akses terhadap sumber daya yang terjadi dalam suatu sistem sosial budaya dan sosial politik yang tidak mendukung pembebasan kemiskinan, tetapi seringkali menyebabkan suburnya kemiskinan.

Menurut Nasikun dalam Chriswardani Suryawati (2005), beberapa sumber dan proses penyebab terjadinya kemiskinan, yaitu: a. Policy induces processes, yaitu proses pemiskinan yang dilestarikan, direproduksi melalui pelaksanaan suatu kebijakan, di antaranya adalah kebijakan antikemiskinan, tetapi relitanya justru melestarikan. Contohnya, pada pola produksi kolonial, petani menjadi marjinal karena tanah yang paling subur dikuasai petani sekala besar dan berorientasi ekspor. b. Population growth, prespektif yang didasari oleh teori Malthus, bahwa pertambahan penduduk and yang seperti deret ukur sedangkan unsure seperti pertambahan pangan seperti deret hitung. c. Resaurces manajemen produktivitas. d. Natural cycle and processes, kemiskinan terjadi karena siklus alam. Misalnya tinggal di lahan kritis, dimana lahan tersebuut jika turun hujan akan terjadi banjir, akan tetapi jika musim kemarau kekurangan air, sehingga tidak memungkinkan produktivitas yang maksimal dan terus-menerus. e. The marginalization of woman, peminggiran kaum perempuan karena masih dianggap sebagai golongan kelas kedua, sehingga akses dan penghargaan hasil kerja yang lebih rendah dari laki-laki. f. Cultural and ethnic factors, bekerjanya faktor budaya dan etnik yang memelihara kemiskinan. Misalnya pada pola konsumtif pada petani dan nelayan ketika panen raya, serta adat istiadat yang konsumtif saat upacara adat atau keagamaan. g. Exploratif intermediation, keberadaan penolong yang menjadi penodong, seperti rentenir. h. Internal political fragmentation and civil stratfe, suatu kebijakan yang diterapkan pada suatu daerah yang fragmentasi politiknya kuat, dapat menjadi penyebab kemiskinan. management sumber pertanian the asal environment, dan tebang adalah mismanagement daya alam lingkungan, akan

menurunkan

i. International miskin.

processes,

bekerjanya

sistem

internasional

(kolonialisme dan kapitalisme) membuat banyak negara menjadi

Indikator Kemiskinan Bank Dunia mengukur garis kemiskinan berdasarkan pada pendapatan seseorang. Seseorang yang memiliki pendapatan kurang dari US$ 1 per hari masuk dalam kategori miskin (Suryawati, 2005). Menurut BPS (Badan Pusat Statistik), tingkat kemiskinan didasarkan pada jumlah rupiah konsumsi berupa makanan yaitu 2100 kalori per orang per hari (dari 52 jenis komoditi yang dianggap mewakili pola konsumsi penduduk yang berada di lapisan bawah), dan konsumsi nonmakanan (dari 45 jenis komoditi makanan sesuai kesepakatan nasional dan tidak dibedakan antara wilayah pedesaan dan perkotaan). Patokan kecukupan 2100 kalori ini berlaku untuk semua umur, jenis kelamin, dan perkiraan tingkat kegiatan fisik, berat badan, serta perkiraan status fisiologis penduduk, ukuran ini sering disebut dengan garis kemiskinan. Penduduk yang memiliki pendapatan di bawah garis kemiskinan dikatakan dalam kondisi miskin. 2.5. Indikator Sehat Tantangan utama dalam pembangunan suatu bangsa adalah membangun sumber daya manusia yang bekualitas yang sehat, cerdas, dan produktif. Pencapaian pembangunan manusia yang diukur dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) belum menunjukkan hasil yang menggembirakan dalam tiga dasawarsa terakhir. Pada tahun 2003, IPM Indonesia masih rendah yaitu berada pada peringkat 112 dari174 negara, lebih rendah dari negara-negara tetangga. Tiga komponen yang digunakan untuk mengukur IPM yaitu faktor ekonomi (pendapatan per kapita), pendidikan (angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah), dan kesehatan (usia harapan hidup, angka kematian ibu dan angka kematian bayi).

Dari komponen kesehatan, dewasa ini Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia masih tinggi dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Menurut data Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007, AKI di Indonesia adalah 228 per 100.000 kelahiran hidup, AKB 34 per 1.000 Menurut data Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI), AKI di Indonesia masih tinggi jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, yaitu sebesar 228 per 100.000 kelahiran hidup. Upaya penurunan AKI harus difokuskan pada Tujuan Jaminan Persalinan(Jampersal) ini adalah meningkatnya akses terhadap pelayanan persalinan yang dilakukan oleh dokter atau bidan dalam rangka menurunkan AKI dan AKB melalui jaminan pembiayaan untuk pelayanan persalinan. Kemiskinan dan status kesehatan merupakan suatu fenomena yang saling terkait, oleh karena itu untuk meningkatkan status kesehatan suatu masyarakat erat kaitannya dengan upaya peningkatan ekonomi. Beberapa penelitian di banyak negara menunjukkan bahwa proporsi bayi dengan BBLR berkurang seiring dengan peningkatan pendapatan nasional suatu negara. Secara umum dapat dikatakan bahwa peningkatan ekonomi sebagai dampak dari berkurangnya kurang gizi dapat dilihat dari dua sisi, pertama berkurangnya biaya berkaitan dengan kematian dan kesakitan dan di sisi lain akan meningkatkan produktivitas. Paling kurang manfaat ekonomi yang diperoleh sebagai dampak dari perbaikan status gizi adalah: berkurangnya kematian bayi dan anak balita, berkurangnya biaya perawatan untuk neonatus, bayi dan balita, produktivitas meningkat karena berkurangnya anak yang menderita kurang gizi dan adanya peningkatan kemampuan intelektualitas, berkurangnya biaya karena penyakit kronis serta meningkatnya manfaat intergenerasi melalui peningkatan kualitas kesehatan.

2.6. Hubungan Kemiskinan dan Kesehatan Keadaan sosial ekonomi masyarakat mempengaruhi kesehatan secara keseluruhan. Di antara bermacam-macam faktor sosial ekonomi yang menentukan kesehatan masyarakat, pendapatan adalah determinan yang paling menonjol. Pendapatan yang lebih tinggi, terutama di negaranegara maju, akan memacu lingkungan yang lebih sehat (Vafei et al, 2010). Masyarakat dan berpenghasilan Kemiskinan rendah dan menghadapi permasalahan pendidikan kesehatan yang lebih nyata, yakni tingginya angka kelahiran, kematian dependency. rendahnya tingkat mempengaruhi dimensi biologis melalui malnutrisi dan residu dari penyakit-penyakit yang terakumulasi selama masa kehidupan seseorang. Selain itu, kemiskinan memiliki dampak yang kuat terhadap dimensi lingkungan, antara lain terkait dengan (1) kualitas pemukiman, (2) peningkatan risiko kecelakaan/luka-luka, dan (3) paparan berlebihan dari bahaya-bahaya lingkungan, seperti polutan dan hewan sebagai vektor penyakit. Kemiskinan juga dapat mengubah dimensi perilaku, contohnya, kebanyakan perokok adalah masyarakat miskin daripada masyarakat yang mampu. Masyarakat miskin cenderung mengabaikan dan kurang menghargai tindakan pencegahan (preventif) penyakit karena bagi mereka yang lebih penting adalah mampu bertahan hidup dari hari ke hari. Meskipun secara organisasi masyarakat miskin telah memiliki sejumlah sistem pendukung kesehatan yang disediakan pemerintah, secara umum akses terhadap sistem pelayanan kesehatan yang dibutuhkan tersebut dinilai kurang efektif (Picket and Handlon, 1990). Sebuah teori sederhana mengenai rendahnya perilaku sehat pada masyarakat sosial ekonomi rendah dapat disusun dengan asumsi sebagai berikut: 1. Ada faktor primer yang mempengaruhi secara langsung kesehatan masyarakat sosial ekonomi rendah yang tidak dapat dihindari karena mereka sering terpapar dengan lingkungan berbahaya sepanjang hidup mereka.

2. Karena faktor primer ini, pelaksanaan perilaku sehat berupa tindakan pencegahan akan berkurang karena mereka mau tidak mau terus terpapar. Ini akan menimbulkan efek sekunder dimana masyarakat sosial ekonomi rendah akan jarang berperilaku sehat. 3. Karena efek primer dan sekunder ini saling bergabung, maka perbedaan sosial ekonomi akan memiliki dampak pada kesehatan yang lebih besar dibandingkan dengan perbedaan kondisi lingkungan yang awal tadi. Ini merupakan lingkaran yang semakin memperburuk kondisi kemiskinan. Inequality pendapatan telah lama dihubungkan dengan perbedaan dalam dampaknya terhadap kesehatan, mencakup kematian, kesehatan fisik dan mental, serta efeknya pada reproduksi. Penelitian meyakini ada dua jalur dimana inequality pendapatan mempengaruhi kesehatan masyarakat: 1. Kurangnya investasi masyarakat pada infrastruktur yang diperlukan untuk peningkatan kesehatan di lingkungannya yang timpang secara ekonomi. 2. Dampak psikologis akibat inequality pendapatan pada mereka yang tidak mampu, seperti kurangnya ikatan sosial dan merasa mendapat perlakuan tidak adil. Inequality tingkat pendapatan dan inequity pemanfaatan pelayanan kesehatan berbeda antara masyarakat desa dan kota karena perbedaan yang besar dari komposisi demografi, status kesehatan penduduknya, distribusi pendapatan, serta pola penggunaan pelayanan kesehatan. Dibandingkan dengan nonpedesaan, penduduk desa lebih tua dan aktivitasnya terbatas, serta dilaporkan memiliki kesehatan yang lebih buruk (Shin & Kim, 2010). Sementara penelitian terhadap inequity di Indonesia dengan kesehatan gigi yang dilakukan oleh Maharani (2009) menyimpulkan bahwa pada penduduk dengan sosial ekonomi tinggi, tinggal di pulau

jawa, serta mempunyai asuransi, memiliki hubungan positif dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan gigi. Jika kemampuan membayar menjadi determinan pemanfaatan layanan kesehatan gigi, dapat disimpulkan bahwa individu dengan kebutuhan yang sama (equal) tapi memiliki kemampuan membayar yang berbeda, tidak akan mendapatkan perawatan gigi yang sama. Di Kanada, tingkat status kesehatan akan tinggi pada daerah dengan pendapatan tetap yang tinggi, banyaknya penduduk berpendidikan tinggi, serta sedikitnya peminum berat di wilayah tersebut. Kelas sosial, yang diukur dengan pekerjaan, pendapatan, atau pendidikan, juga memiliki dampak yang signifikan pada mortalitas dan morbiditas. Penggunaan ratio mortalitas standar Inggris dan Amerika menunjukkan bahwa ketimpangan antara manfaat yang didapat kelas sosial ekonomi tinggi dan kerugian yang diperoleh masyarakat sosial ekonomi rendah, termasuk kesehatan, semakin melebar dari tahun 1930 ke 1980. Penjelasan dari adanya inequality dalam status kesehatan karena status sosial ekonomi ini mengacu pada empat faktor: peradaban, seleksi sosial, budaya/perilaku, dan kondisi material/struktural. Kesimpulan dari beberapa referensi menyatakan bahwa ketimpangan materi dan sosial merupakan faktor penting utama yang berpengaruh pada inequality dalam kesehatan (Cornell, 1995). Dalam negara yang ekonominya sedang berkembang, terdapat perbedaan-perbedaan yang mencolok dalam efek kesehatan jangka panjang antara masyarakat dengan perbedaan status sosial ekonomi. Besarnya perbedaan bahwa tersebut tindakan tidak preventif lebih berubah seiring faktor waktu, yang jarang sedikit menjadikannya prioritas utama untuk kebijakan publik. Penelitian menunjukkan merupakan berpengaruh pada inequality status kesehatan. Orang-orang dari status sosial ekonomi (pengobatan), rendah jarang ditemukan sering merokok, kesehatan, berolahraga, memiliki diet yg buruk, kurang responsive terhadap terapi memanfaatkan layanan mengadopsi saran-saran keselamatan, sering mengabaikan saran-saran

medis, dan secara keseluruhan memiliki kesadaran akan kesehatan yang kurang dibandingkan kelompok lainnya yang lebih kaya. Beberapa perilaku tersebut pada intinya terkait dengan keterbatasan finansial, seperti misalnya pada diet yang sehat, akan mengeluarkan biaya lebih besar daripada makanan yang tidak sehat. Namun faktor sosial ekonomi tetap ada mengesampingkan perbedaan pendapatan sebagai penjelasannya. Inequity sosial ekonomi dalam berperilaku sehat tidak begitu saja diatasi dengan memberikan informasi. Pemberian informasi kesehatan cenderung hanya mengubah perilaku dari para sukarelawan dari kelas sosial ekonomi yang lebih tinggi saja, tidak pada yang lebih rendah, yang kemudian akan memperparah inequality sosial ekonomi dalam kesehatan. Pada intinya, masyarakat dari sosial ekonomi rendah mengalami lingkaran pemburukan kemiskinan: masyarakat menghadapi hambatan sosial ekonomi yang besar, jauh dari kemungkinan untuk mengurangi hambatan tersebut dengan perubahan pola hidupnya melainkan mereka berperilaku yang akan membuat kondisi semakin buruk, bahkan jika mereka diberikan kesempatan untuk berbuat sebaliknya. Perbedaan sosial ekonomi mempengaruhi sikap dan psikologi seseorang terhadap kesehatan. Mereka yang berasal dari sosial ekonomi rendah cenderung lebih pesimis, sangat meyakini pemikiran bahwa sehat dipengaruhi oleh kesempatan, dan lebih menekankan dampak yang terjadi saat ini daripada untuk masa mendatang (Nettle, 2010).
Secara keseluruhan, hubungan antara rendahnya status sosial ekonomi, kemiskinan, serta dampaknya pada inequity dan inequality kesehatan tampak pada bagan berikut:

Status Sosial Ekonomi Rendah Pendapatan Rendah/Kemiskinan (Determinan utama status sehat) Inequity & Inequality dalam Kesehatan (Dibandingkan status Sosek yang lebih tinggi)

Pemerintah - Jaminan kesehatan belum merata - Perbedaan perlakuan pelayanan kesehatan

Masyarakat - Sikap dan pemikiran tak sehat - Perilaku tidak sehat

Lingkungan - Lebih sering terpapar bahaya (lingkungan kerja, tempat tinggal)

Perbedaan Status Kesehatan IMR tinggi MMR tinggi

Life Expectancy rendah

BAB III PERMASALAHAN DAN PEMBAHASAN 3.1. Kemiskinan dan Kesehatan 3.1.1. Kemiskinan dan Penyakit Tak Terpisahkan Kemiskinan dan penyakit terjadi saling kait-mengkait, dengan hubungan yang tidak akan pernah putus terkecuali dilakukan intervensi pada salah satu atau kedua sisi, yakni pada kemiskinannya atau penyakitnya. Hal itu dapat dijelaskan dengan skema berikut.

Kemiskinan

mempengaruhi

kesehatan

sehingga

orang

miskin

menjadi rentan terhadap pelbagai macam penyakit, karena mereka mengalami gangguan sebagai berikut: 1. menderita gizi buruk 2. pengetahuan kesehatan kurang 3. perilaku kesehatan kurang 4. lingkungan pemukiman buruk 5. biaya kesehatan tidak tersedia Sebaliknya kesehatan mempengaruhi kemiskinan. Masyarakat yang sehat menekan kemiskinan karena orang yang sehat memiliki kondisi sebagai berikut: 1. produktivitas kerja tinggi 2. pengeluaran berobat rendah 3. Investasi dan tabungan memadai 4. tingkat pendidikan maju

5. tingkat fertilitas dan kematian rendah 6. stabilitas ekonomi mantap Beberapa data empiris global menemukan hubungan sebagai berikut: Kematian bayi keluarga miskin tiga kali lebih tinggi dari keluarga tidak miskin Kematian balita keluarga miskin lima kali lebih tinggi dari keluarga tidak miskin Pertumbuhan ekonomi negara dengan tingkat kesehatan lebih baik (IMR antara 50-100/1000 kelahiran hidup) adalah 37 kali lebih tinggi dibandingkan dengan negara dengan tingkat kesehatan lebih buruk (IMR>150/1000 kelahiran hidup) Keterkaitan yang erat antara penyakit dan kemiskinan adalah permasalahan kompleks yang sudah berlangsung sejak lama dan hingga saat ini belum ditemukan solusi yang paling efektif untuk memecahkan masalah tersebut. Solusi yang ada selama ini baru sebatas regulasi yang implementasinya belum berjalan optimal. Padahal dua komponen ini sangat menentukan terhadap status kesehatan masyarakat, karena salah satu cara untuk meningkatkan status kesehatan tersebut adalah dengan mengatasi kemiskinan sebagai akibat adanya ketidakadilan dan ketidakmerataan di bidang sosial ekonomi. Di sisi lain, saking erat keterkaitannya, kedua komponen ini sudah sangat sulit dipisahkan. Tidak jarang timbul persepsi orang miskin sudah sewajarnya sakit, dan orang miskin selayaknya untuk sakit. Sehingga jikan ingin dilakukan intervensi, tidak bisa hanya satu persatu, melainkan sekaligus keduanya. 3.1.2. Sikap Masyarakat miskin dan terutama yang tinggal di pedesaan memiliki sikap pesimis dan meyakini bahwa sehat terjadi karena adanya kesempatan, bukan atas usaha mereka sendiri. Inequity dan inequality sosial ekonomi yang terjadi sudah mereka anggap sebagai suatu

kewajaran, tertanam dalam sikap mental, sehingga berpengaruh pada rendahnya status kesehatan masyarakat miskin itu sendiri. Pemerintah sendiri merasa kesulitan merubah pola pikir masyarakat tersebut; namun di lain sisi ini bisa menjadi keuntungan karena pemerintah belum mampu menjadikan kesehatan sebagai prioritas akibat kurangnya dana untuk mewujudkan equity tersebut. 3.1.3. Sosial dan Ekonomi Walau diprioritaskan pada kemiskinan dalam mewujudkan equity dan equality di bidang kesehatan, namun tidak semata-mata hanya faktor ekonomi yang menjadi perhatian, faktor sosial juga sangat berperan menentukan baik itu secara langsung kepada inequity dan inequality kesehatan ataupun secara tidak langsung kepada ekonomi individu atau masyarakat. Determinan sosial ekonomi termasuk kemiskinan merupakan faktorfaktor utama dalam pendistribusian kesempatan masyarakat untuk memperoleh kesehatan. Di pihak lain, ada yang berpendapat bahwa ekonomi berkaitan erat dengan kemampuan seseorang membiayai dan mendapatkan pelayanan kesehatan, sehingga solusi-solusi mengenai permasalahan ekonomi termasuk kemiskinan masyarakat yg diutamakan, karena pada akhirnya ketika kondisi ekonomi membaik maka tingkat sosial orang tersebut akan meningkat juga. 3.2. Sistem Kesehatan 3.2.1. Kebijakan Besaran perbedaan sosial ekonomi pada dampaknya terhadap kesehatan bervariasi antar masyarakat yang berbeda, dan juga berbeda dari satu waktu ke waktu. Hal ini yang menjadi kendala dalam mengatasi permasalah inequity dan inequity sosial ekonomi khususnya kemiskinan pada kesehatan karena solusi yang dilakukan oleh masyarakat dan

terutama pemerintah hampir selalu sama dari tahun ke tahun, meneruskan program yang sudah ada sebelumnya. Apakah program jamkesmas masih sesuai di masa sekarang dengan semakin berubahnya pola pikir masyarakat mengenai kelayakan pelayanan kesehatan yang ingin masyarakat terima? Ataukah program tersebut tidak mengalami kendala saat diterapkan di daerah yang berbeda? Pertanyaan-pertanyaan ini kemudian memunculkan investigasi mengenai faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap status sosial ekonomi dan kesehatan, juga dengan cara apa faktor tersebut mempengaruhinya. Jawaban atas hal ini akan menjadi dasar dalam penurunan inequality kesehatan. Bagi yang setuju dengan masalah ini, mereka akan menyetujui bahwa kondisi masyarakat yang berpengaruh pada status sosial ekonomi akan berbeda dari waktu ke waktu, dan akan berbeda pula dari satu kelompok dengan kelompok lain, sehingga program-program terkait peningkatan status kesehatan baik oleh kelompok itu sendiri atau oleh pemerintah harus selalu disesuaikan. Kelompok yang tidak setuju menyatakan bahwa satu program tidak akan mempunyai dampak apabila hanya diterapkan sesaat, melainkan harus dalam jangka waktu lama supaya efek atau tujuannya terhadap kesehatan masyarakat akan lebih terasa. 3.2.2. Pembiayaan Kesehatan Secara organisasi masyarakat miskin telah memiliki sejumlah sistem pendukung kesehatan yang disediakan oleh pemerintah, namun secara umum akses terhadap sistem pelayanan kesehatan yang dibutuhkan tersebut dinilai kurang efektif. Salah satu bagian terpenting di dalam sistem kesehatan masyarakat adalah pembiayaan kesehatan. Di Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 H dan UndangUndang Nomor 23/ 1992 tentang Kesehatan, menetapkan bahwa setiap orang berhak mendapatkan pelayanan kesehatan. Karena itu setiap individu, keluarga dan masyarakat berhak memperoleh perlindungan terhadap kesehatannya, dan negara bertanggungjawab mengatur agar

terpenuhi hak hidup sehat bagi penduduknya termasuk bagi masyarakat miskin dan tidak mampu. Derajat kesehatan masyarakat miskin berdasarkan indikator Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia, masih cukup tinggi, yaitu AKB sebesar 26,9 per 1000 kelahiran hidup dan AKI sebesar 248 per 100.000 kelahiran hidup serta Umur Harapan Hidup 70,5 Tahun (BPS 2007). Derajat kesehatan masyarakat miskin yang masih rendah tersebut diakibatkan karena sulitnya akses terhadap pelayanan kesehatan. Kesulitan akses pelayanan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti tidak adanya kemampuan secara ekonomi dikarenakan biaya kesehatan memang mahal. Untuk menjamin akses penduduk miskin terhadap pelayanan kesehatan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, sejak tahun 2005 telah diupayakan untuk mengatasi hambatan dan kendala tersebut melalui pelaksanaan kebijakan Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin. Meskipun Negara telah menetapkan program Jaminan kesehatan bagi warga miskin, masih banyak penduduk yang belum memiliki jaminan pembiayaan kesehatan tersebut dikarenakan belum tepatnya data sasaran sehingga tidak mampu mengakses pelayanan kesehatan yang ada. Undang-undang Sistem Jaminan Sosial Nasional pun baru sebatas kebijakan yang implementasi belum optimal. Jaminan kesehatan sangat dibutuhkan sehingga tidak akan terjadi individu dengan kebutuhan yang sama (equal) tapi memiliki kemampuan membayar yang berbeda, tidak akan mendapatkan perawatan yang sama pula. Sedangkan pendapat lain menyatakan bahwa jaminan sosial menyeluruh belum dibutuhkan karena masyarakat Indonesia yang besar dan majemuk sulit untuk menerapkannya segera, namun begitu pemerintah berargumen bahwa mereka sudah memberikan jaminan kesehatan khusus bagi warga yang tidak mampu dalam rangka mewujudkan equality pelayanan kesehatan.

3.2.3. Fasilitas dan Tenaga Kesehatan Semakin miskin daerahnya maka fasilitas dan tenaga kesehatan di daerah itu akan lebih sedikit dibanding daerah dengan penduduk kelas sosial ekonomi lebih tinggi, padahal di daerah miskin itulah masalahmasalah kesehatan paling banyak timbul, sehingga masuk akal apabila status kesehatan warga di daerah miskin lebih rendah. Ketika sumber daya sosial didistribusikan tidak sama rata berdasarkan kelas dan ras, maka kesehatan populasi akan terdistribusi pula secara tidak merata berdasar garis sebelumnya. Permasalahan di sini adalah pemerintah belum mampu memberikan pemerataan kesehatan ke semua daerah, padahal peran pemerintah adalah yang paling utama dalam menentukan kebijakan untuk membuat pemerataan pembangunan, akses, cakupan, kualitas dan pemberian jaminan kesehatan bagi masyarakat. Namun beberapa berpendapat supaya masyarakat sendiri yang harus proaktif mengusahakan sarana kesehatan masing-masing apabila belum disediakan pemerintah seperti yang dilakukan beberapa daerah atau orang yang menjadi sukarelawan kesehatan, karena pemerintah sendiri belum mampu untuk secara cepat mewujudkan pembangunan fisik dan psikis yang merata dan menyeluruh. 3.2.4. Inequity dan Inequality Pelayanan Kesehatan bagi Masyarakat Miskin Uraian tentang alasan pentingnya pelayanan kesehatan bagi masyarakat upaya miskin, merupakan status dorongan untuk mempercepat Apalagi, penanggulangan kemiskinan dan keharusan mutlak untuk melaksanakan peningkatan kesehatan penduduk miskin. memasuki era globalisasi ini, untuk pertumbuhan ekonomi suatu negara dituntut daya saing yang memerlukan sumberdaya manusia dengan kuantitas dan kualitas tinggi. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin mempunyai arti penting karena 3 alasan pokok:

1. Menjamin terpenuhinya keadilan sosial bagi masyarakat miskin, sehingga pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin mutlak mengingat kematian bayi dan kematian balita 3 kali dan 5 kali lebih tinggi dibanding pada keluarga tidak miskin. Di sisi lain penyelenggaraan tahun 2010. 2. Untuk kepentingan politis nasional yakni menjaga keutuhan integrasi bangsa dengan meningkatkan upaya pembangunan (termasuk kesehatan) di daerah miskin dan kepentingan politis internasional untuk menggalang kebersamaan dalam memenuhi komitmen global guna mnurunkan kemiskinan melalui upaya kesehatan bagi keluarga miskin. 3. Hasil studi menunjukan bahwa kesehatan penduduk yang baik, pertumbuhan ekonomi akan baik pula dengan demikian upaya mengatasi kemiskinan akan lebih berhasil. Upaya-upaya pelayanan kesehatan penduduk miskin, memerlukan penyelesaian menyeluruh dan perlu disusun strategi serta tindak pelaksanaan pelayanan kesehatan yang peduli terhadap penduduk miskin. Pelayanan kesehatan peduli penduduk miskin meliputi upayaupaya sebagai berikut: 1. Membebaskan biaya kesehatan dan mengutamakan masalahmasalah kesehatan yang banyak diderita masyarakat miskin seperti TB, malaria, kurang gizi, PMS dan pelbagai penyakit infeksi lain dan kesehatan lingkungan. 2. Mengutamakan penanggulangan penyakit penduduk tidak mampu 3. Meningkatkan penyediaan serta efektifitas pelbagai pelayanan kesehatan masyarakat yang bersifat non personal seperti penyuluhan kesehatan, regulasi pelayanan kesehatan termasuk penyediaan obat, keamanan dan fortifikasi makanan, pelayanan kesehatan yang baik bagi masyarakat miskin, dapat mencegah 8 juta kematian sampai

pengawasan

kesehatan

lingkungan

serta

kesehatan

dan

keselamatan kerja. 4. Meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan penduduk tidak mampu 5. Realokasi pelbagai sumber daya yang tersedia dengan memprioritaskan pada daerah miskin 6. Meningkatkan partisipasi dan konsultasi dengan masyarakat miskin. Masalah kesehatan masyarakat bukan masalah pemerintah saja melainkan masalah masyarakat itu sendiri karena perlu dilakukan peningkatan pemberdayaan masyarakat miskin. Sudah bukan issue baru lagi jika masyarakat miskin kurang mendapatkan pelayanan dalam kesehatan sebagaimana mestinya. Dari kesulitan mengakses pelayanan kesehatan itu sendiri, pembedaan dalam perlakuan oleh petugas kesehatan, hingga mutu pelayanan yang rendah. Padahal sesuai dengan prinsip equity dan equality, semua orang dengan kebutuhan kesehatan yang sama berhak mendapatkan perlakuan yang sama dan sesuai. Namun belum semua menerima pemahaman mengenai equity dan equality tersebut. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pembedaan pelayanan kesehatan karena status sosial ekonomi tampak begitu jelas, dan tidak ada usaha untuk memperbaikinya, karena baik dari si penyedia dan penerima layanan seolah-olah sudah menerima persepsi yang menyatakan bahwa hak orang miskin dalam mendapat pelayanan tidak sebesar orang yang status sosial ekonominya lebih tinggi.

BAB IV PENUTUP 4.1. Kesimpulan Kemiskinan merupakan salah satu determinan sosial ekonomi yang sangat mempengaruhi status kesehatan masyarakat. Oleh karena itu dalam upaya mewujudkan equity dan equality di bidang kesehatan, faktor ini harus menjadi pertimbangan yang penting. Kemiskinan dan kesehatan memiliki kaitan yang sangat erat, terutama dalam hal hubungan kemiskinan dengan penyakit, faktor sosial ekonomi dan sikap terhadap kesehatan. Pada sistem penyelenggaraan kesehatan bagi masyarakat miskin, dalam rangka mewujudkan equity dan equality di dalam bidang kesehatan terdapat empat hal yang harus diperhatikan yakni kebijakan kesehatan, fasilitas dan tenaga kerja kesehatan, pembiayaan kesehatan dan pelayanan kesehatan.

4.2. Saran
Komitmen dari pemerintah untuk segera menyiapkan perangkat implementasi UU SJSN meliputi regulasi jaminan kesehatan untuk semua, pengalokasian anggaran, BPJS, serta mekanisme pengumpulan dana Premi. Komitmen dari pemerintah untuk pengentasan kemiskinan melalui program yang mempunyai daya ungkit dengan masyarakat miskin dengan melibatkan berbagai pihak (Akademisi, LSM), seperti : KUR, KUKM, PNPM, P2WKSS.

DAFTAR PUSTAKA Anwar, A. Masalah Gizi dan Kesehatan serta Tantangan di Masa Depan. Dirjen Binkesmas Kementerian Kesehatan: Jakarta. Fein, O. 1995. The influence of social class on health status: American and British research on health inequalities. J Gen Intern Med. 1995 Oct;10(10):577-86. Maharani, D.A. 2009. Inequity in Dental Care Utilization in the Indonesian Population with a Self-Assessed Need for Dental Treatment. Tohoku J. Exp. Med., 2009, 218 (3), 229-239. Marmot, M., Feeney, A. General Explanations for Social Inequalities in Health. IARC Sci Publ. 1997;(138):207-28. Mortality in the Whole Population of Scania, Sweden. BMC Public Health 2006, 6:79. Nettle, D. 2010. Why Are There Social Gradients in Preventative Health Behavior? A Perspective from Behavioral Ecology. PLoS ONE 5(10): e13371. Pickett, G., Hanlon, J.J. 1990. Public Health: Administration and Practice. Times Mirror/Mosby College Publishing: St. Louis. Rosvall, M., et al. 2006. Contribution of main causes of death to social inequalities in Shin, H., Kim, J. 2010. Differences in income-related inequality and horizontal inequity in ambulatory care use between rural and nonrural areas: using the 1998-2001 U.S. National Health Interview Survey data. International Journal for Equity in Health 2010, 9:17. Siregar, H., Wahyuniarti, D. 2008. Dampak Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Penurunan Jumlah Penduduk Miskin. Suryawati, C. 2005. Memahami Kemiskinan Secara Multidimensional. Tobias, M.I., Cheung, J. 2003. Monitoring health inequalities: life expectancy and small area deprivation in New Zealand. Public Health Directorate, Ministry of Health, Wellington, New Zealand. Population Health Metrics 2003, 1:2.

Yoon, C.K., Kim, J.K.1987. A study on health indicator and health affecting factors]. Ingu Pogon Nonjip. 1987 Jul;7(1):89-107. http://www.who.int/social_determinants World Bank. 2006. Era baru dalam Pengentasan Kemiskinan di Indonesia. The World Bank Office: Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai