Anda di halaman 1dari 3

Cheng Ho, Penyebar Islam di Nusantara Jurnal Nasional | Jum'at, 20 Jan 2012 Nuswantoro Meski masih ada yang

memperdebatkan di mana letak makamnya, namun banyak ahli sejarah yang sepakat soal sumbangan Cheng Ho bagi penyebaran agama Islam di Nusantara. Setidaknya ada dua buku yang membahas soal itu. Misalnya buku tulisan Tan Ta Seng, seorang sinolog Malaysia, yang mengambil gelar doktor di Universitas Indonesia. Disertasinya kemudian dibukukan dengan judul Cheng Ho, Penyebar Islam dari China ke Nusantara (2010). Buku lainnya adalah karangan Kong Yuanzhi berjudul Muslim Tionghoa Cheng Ho, Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara, penyunting Hembing Widjaya Kusuma (2007). Sementara Buya Hamka, seorang intelektual Islam Indonesia, juga pernah menyatakan bahwa penyebaran agama Islam di Indonesia terkait erat dengan Laksamana Cheng Ho. Dengan Damai Cheng Ho (1371-1433), Zheng He atau Ma Sanbao, juga mendapat julukan Arab Haji Mahmud Shamsuddin. Ia dikenal sebagai pelaut tangguh, penjelajah, diplomat, sekaligus penyebar agama Islam. Wilayah yang pernah ia singgahi meliputi kawasan Asia Tenggara, Asia Selatan, Timur Tengah, hingga Afrika Timur. Dalam Cheng Ho, Penyebar Islam dari China ke Nusantara disebutkan ia datang ke wilayah yang dikunjunginya dengan damai. Jikapun terjadi perang, itu adalah karena mempertahankan diri. Bahkan Cheng Ho bersama pasukannya turut membantu mengatasi aksi perompakan di Selat Malaka. Dalam bukunya itu, Tan Ta Seng meneguhkan apa yang disebut sebagai teori gelombang ketiga penyebaran Islam di Nusantara. Gelombang pertama adalah yang berasal dari Gujarat (India), dan gelombang kedua berasal dari Timur Tengah. Gelombang ketiga berasal dari China, atau juga disebut gelombang China. Penyebaran dengan jalan damai ini mendapat dukungan dan melibatkan umat Islam lainnya yang berasal dari daratan China, Champa, Melayu, Jawa, Arab, dan India. Sementara China nonmuslim bisa tetap mempertahankan budaya aslinya.

A Dahana, guru besar studi China dari UI dalam pengantar di buku itu yang merupakan disertasi doktor jurusan Sejarah UI menyebutkan berdasarkan catatan Ma Huan, Cheng Ho selama 27 tahun telah memimpin tujuh kali pelayaran ke arah Selatan. Dari tujuh kali pelayaran itu, lima kali di antaranya singgah di Nusantara yaitu Sumatera dan Jawa. Lokasi yang dikunjungi antara lain Samudera Pasai (Aceh), Palembang, Semarang, dan Cirebon. Keluarga Muslim Cheng Ho sendiri adalah laksamana laut dari dinasti Ming (1368-1644). Terlahir sebagai Ma Hen, Cheng Ho adalah anak kedua dari sebuah keluarga muslim China dari Jinning, Provinsi Kunming, Yunnan. Penelusuran dari internet didapat keterangan, moyang Chen Ho adalah orang Persia yang bekerja pada kekaisaran Mongolia pada awal masa Dinasti Yuan. Pada saat kaisar Ming menguasai Yunnan, Ma Hen yang kala itu masih berumur 11 tahun ditangkap dan dibawa untuk dijadikan kasim. Sumber-sumber China menyebutkan bahwa ia adalah putra kedua dari Ma Hazhi (Haji Ma). Ia memiliki satu saudara pria dan empat lainnya saudara perempuan. Saat dewasa ia dipercaya untuk memimpin ekspedisi yang melibatkan banyak kapal beserta ratusan awaknya. Pada pelayaran pertamanya (1405), tak kurang dari 200 kapal yang lebih kecil ikut bersamanya, dengan membawa sekitar 28 ribu awak kapal. Kapal yang digunakan terbuat dari kayu, digerakkan oleh layar raksasa yang dijadikan sebagai kapal induk. Disebutkan bahwa kapal ini menjadi kapal kayu terbesar yang pernah dibuat dalam sejarah. Kapal-kapal yang lebih kecil yang menyertainya digunakan untuk mendukung pelayaran. Kapal untuk mengangkut perbekalan, terdapat sebuah catatan yang menyebut besarnya kurang lebih seluas lapangan sepak bola. Bisa dibayangkan betapa besar kapal induknya sendiri jika kapal pendampingnya saja sebesar itu. Kapal-kapal lain digunakan antara lain untuk mengangkut tentara, para tukang berikut perlengkapannya, air minum, juga kapal perang. Sejumlah tempat yang pernah disinggahi Cheng Ho akhirnya menjadi lokasi komunitas muslim pertama di daerah itu. Misalnya yang terdapat di Palembang, Kalimantan Barat, pesisir Utara Pulau Jawa. Di Surabaya juga terdapat masjid dengan arsitektur China yang kental. Umumnya kemudian didirikan kelenteng yang sebagian lalu menjadi tempat peribadatan Kong Hu Chu.

Seperti yang terjadi di Kelenteng Gedung Batu Sam Po Kong, Semarang. Meski digunakan untuk pemujaan penganut Kong Hu Chu, namun di dalamnya terdapat tulisan China berbunyi ajakan untuk tenang mendengarkan bacaan Al Quran. Buku berjudul Muslim Tionghoa Cheng Ho, Misteri Muhibah di Nusantara menelusuri jejakjejak Cheng Ho di Nusantara hingga ke China. Sejumlah bukti keberadaannya antara lain ada di kelenteng Sam Po Kong di Semarang, sebuah kelenteng di Ancol, keramik di Cirebon, kelenteng Mbah Ratu di Surabaya, peninggalan-peninggalan di Aceh, Bangka, hingga Bali. Hembing menulis ayah Cheng Ho yang seorang haji kerap bercerita tentang perjalanannya berhari-hari menggunakan perahu menuju Mekkah. Cerita ini lantas menggelorakan semangatnya untuk menjadi pelaut, mengarungi samudra luas, pergi ke negeri-negeri seberang. Menurutnya tidak ada catatan yang jelas mengenai asal-usul atau moyang Cheng Ho. Hanya ada sedikit tulisan yang menyebut bahwa ia adalah kasim seng Bo. Cheng Ho dilahirkan dari marga Ma, suku Hui yang mayoritas beragama Islam dan berasal dari daerah Yunan. Meski di China terdapat sebuah makam Cheng Ho, namun ahli sejarah memperkirakan ia tidak dikuburkan di sana. Diduga ia meninggal dalam perjalanan terakhirnya dan dimakamkan di laut. Untuk mengenang jasa besarnya, setiap 11 Juli Pemerintah China memperingatinya sebagai hari Maritim yang bertepatan dengan pelayaran pertama Cheng Ho.

Anda mungkin juga menyukai