Anda di halaman 1dari 10

PERWUJUDAN KOMITMEN OKI MELALUI KONFLIK ROHINGYA Organisasi internasional berkembang pesat semenjak berakhirnya perang dunia kedua

dan isu yang dibahas juga semakin kompleks. Berbagai jenis organisasi internasional muncul dari yang skala regional, internasional dan ada pula yang berdasarkan identitas tertentu salah satunya adalah Organisasi Konferensi Islam atau yang disingkat OKI. Dari namanya sudah dapat diidentifikasi bahwa anggota dari organisasi ini adalah negara-negara islam dan semenjak berdiri hingga sekarang OKI telah beranggotakan 53 negara islam di seluruh dunia. OKI merupakan organisasi non militer yang sangat ingin untuk membentuk sebuah organisasi dimana negara-negara islam dapat melakukan koordinasi dan kerjasama dalam hal untuk memajukan masyarakat islam diberbagai negara diseluruh dunia. Tidak dipungkiri bahwa islam menjadi isu yang cukup penting didunia internasional terutama karena adanya gerakan teroris yang sering dikaitkan dengan islam radikal. Selain teroris masalah yang krusial juga terjadi pada masyarakat islam yang menjadi minoritas dibeberapa negara meskipun masalah minoritas ini tidak dialami hanya oleh masyarakat islam. Salah satu konflik minoritas islam terjadi di Myanmar yakni etnik rohingya yang sampai sekarang penyelesaiannya belum ditemukan. Dalam esai ini penulis akan memaparkan bagaimana OKI sebagai sebuah organisasi yang menginginkan menciptakan masyarakat islam yang sejahtera harusnya mampu memperlihatkan bahwa keinginan mereka bukan hanya sekedar cita-cita kosong belaka. Melalui konflik rohingya OKI berupaya memperlihatkan bahwa pendapat yang beredar selama ini, dimana OKI hanya fokus dan menjadi semacam alat untuk mencapai kepentingan negara-negara Arab tidaklah benar. Melalui rohingya OKI berupaya memperlihatkan bahwa cita-cita untuk memperjuangkan masyarakat islam bukanlah omong kosong namun benar-benar dilaksanakan. LIBERAL INSTITUTIONALISM SEBAGAI CIKAL LAHIRNYA ORGANISASI

INTERNASIONAL Sebelum membahas OKI lebih dalam penting rasanya untuk kita lebih terdahulu mengetahui bangaimana perkembangan organisasi internasional hingga berkembang pesat sampai sekarang. Selain itu untuk menganalisa bagaimana OKI sebagai organisasi internasional penulis akan menggunakan kerangka berfikir dari teori neoliberalisme institusional dari Robert Keohane.

Penggunaan neoliberal institusional diharapkan nantinya akan mampu menjelaskan bagaimana harusnya peran OKI sebagai organisasi internasional yang mampu menjadi wadah bagi masyarakat islam dalam mewujudkan kemajuannya. Ada enam asumsi dasar yang menjadi fondasi neoliberalisme yakni neoliberalisme yakin bahwa negara merupakan aktor yang paling penting dalam hubungan internasional. Kedua, negara sebagai aktor utama dalam hubungan internasional adalah aktor yang rasional. Ketiga, politik internasiona; sering ditandai dengan masalah aksi bersama ( collective action problem). Keempat, politik internasional secara substansi ditentukan oleh struktut kepentingan negara. Kelima, politik internasional juga dipengaruhi oleh kedaan anarki system internasional. Keenam, dampak dari struktur kepentingan negara dan anarki dipengaruhi oleh banyak faktor dan diantaranya adalah jumlah aktor, institusi internasional dan tingkat ketergantungan. Dua tokoh neoliberal institusionalisme Robert Keohane dan Josep Nye mengatakan bahwa dengan adanya institusi internasional akan menolong memajukan kerjasama diantara negara-negara1. Kerjasama negara-negara dalam system internasional yang anarki dalam wadah institusi internasional menjadi kajian pokok dari teori ini. Kaum neoliberal memandang adanya sebuah institusi ditujukan sebagai mediator atau perantara untuk mencapai kerjasama diantara aktor dalam system internasional. Karena kompleksitas dan intensitas hubungan antara negara yang semakin tinggi, maka berbagai permasalahanpun muncul. Ditamabah pula dengan kepentingan yang beragam dari setiap negara memungkinkan terjadinya persinggungan kepentingan yang bisa berujung pada konflik. Oleh karena itulah peran sebuah institusi sangat penting dalam rangka menjamin kerjasama, atas dasar kepentingan yang saling menguntungkan. Pertanyaan kemudian muncul, jadi apa yang dimaksud organisasi internasional oleh liberal institusional. Robert Keohane memberikan definisi bahwa institusi internasional sebagai seperangkat peraturan (formal dan informal) yang saling berhubungan dan berkesinambungan yang akan menjelaskan pola tingkah laku negara, aktifitas yang memaksa, dan bentuk-bentuk harapan. Jadi dapat kita tarik kesimpulan bahwa organisasi internasional dapat berbentuk 2:

1 2

Robert Jackson dan Gorge Sorenhen, Pengantar Studi Hubungan Internasional, dalam publikasi.umy.ac.id Robert O keohane, international institution and state power dalam publikasi.umy.ac.id

1. Organisasi formal antara pemerintah atau organisasi antar negara non pemerintah. Sebagai sebuah organisasi yang memiliki tujuan khusus, oraganisasi ini bisa mengawasi aktifitas dan memberikan respon terhadap aktifitas tersebut. Organisasi ini dibentuk oleh negara-negara. 2. Rejim internasional adalah institusi yang memiliki peraturan eksplisit yang disetujui oleh negara-negara. Peraturan tersebut dihubungkan dengan beberapa isu-isu hubungan internasional. Contohnya saja rejim IMF yang dobentuk di Bretton Woods tahun 1944 3. Konvensi yang diartikan sebahai institusi informal yang memilki peraturan dan kesepahaman yang implicit yang membentuk harapan dari para aktor-aktor tersebut untuk memahamu aktor lain tanpa adanya peraturan yang eksplisit untuk mengkoordinasikan tindakan mereka. Setelah memahami apa itu oraganisasi internasional maka pertanyaan selanjutnya adalah kenapa organisasi internasional penting adanya. Untuk menjawab pertanyaan tersebut penulis akan memberikan peran penting dari organisasi internasional sehingga dari peran ini dapat nantinya ditarik kesimpulan betapa pentingya kehadiran organisasi internasional. Robert Keohane menyatakan bahwa peran institusi adalah3 1. Menyediakan aliran informs dan kesempatan bernegosiasi 2. Meningkatkan kemampuan pemerintah memonitor kekuatan lain dan

mengimplementasikan komitmennta sendiri, sehingga yang mampu membuat komitmen dapat dipercaya dan berapa diurutan pertama 3. Memperkuat harapan yang muncul tentang kesolidan dari kesepakatan internasional Persetujuan internasional memang tidak dapat dibuat dan dipertahankan dengan mudah dan liberal institusionalis menyadari itu. Neoliberalis percaya bahwa kemampuan negara berkomunikasi dan bekerjasam tergantung pada institusi yang dibentuk. Negara merupakan pusat interpretasi dari politik internasional, sama seperti realis namun bagi neoliberal baik aturan formal maupun informal memainkan peranan penting dalam membentuk tingkah laku negara4.

3 4

Ibid hal 10 Ibid hal 11

Perspektif yang diberikan neoliberal bisa dibilang relevan pada system internasional jika memenuhi dua kondisi. Pertama para kator harus mempuanyai kepentingan-kepentingan yang saling menguntungka, yang berari para aktor harus memiliki peluang untuk mendapatkan keuntungan dari kerjasama yang mereka lakukan. Kedua, relevansi dari pendekatan institusional adalah jenis-jenis dari tingkat istitusionalisasi yang membrtikan penagaruh substansial terhadap tingkah laku negara.5 Tingkat institusionalisasi dari sebuah lembaga dapar diukur dengan menggunakan tiga dimensi :6 a. Kebersamaan, dimana harapan-harapan terhadap perilaku dan pemahaman yang tepat mengenai bagaimana menginterpretasikan tindakan dibagi bersama oleh partisipasi dalam system tersebut. b. Kekhususan, dimana harapan-harapan jelas khusus dalam bentuk aturan-aturan c. Otonom, dimana institusi dapat mengubah aturannya sendiri daripada bergantung pada badan-badan dan agen-agen asing (negara).

ORGANISASI KONFERENSI ISLAM Setelah dijelaskan bagaimana organisasi internasional itu maka selanjutnya adalah memperkenalkan OKI secara lebih mendalam. Organisasi Konferensi Islam (OKI) merupakan organisasi internasional non militer yang didirikan di Rabat,Maroko pada tanggal 25 September 1969. Dipicu oleh peristiwa pembakaran Mesjid Al Aqsha yang terletak di kota Al Quds (Jerusalem) pada tanggal 21 Agustus 1969 yang juga menimbulkan reaksi keras dunia terutama dari kalangan umat Islam. Saat itu dirasakan adanya kebutuhan yang mendesak untuk mengorganisir dan menggalang kekuatan dunia Islam serta mematangkan sikap dalam rangka mengusahakan pembebasan Al Quds. Atas prakarsa Raja Faisal dari Arab Saudi dan Raja Hassan II dari Maroko, dengan Panitia Persiapan yang terdiri dari Iran, Malaysia, Niger, Pakistan, Somalia, Arab Saudi dan
5 6

Ibid hal 11 Ibid hal 12

Maroko, maka diselenggarakanlah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Islam yang pertama pada tanggal 22-25 September 1969 di Rabat, Maroko. Konferensi ini merupakan titik awal bagi pembentukan Organisasi Konferensi Islam (OKI). Sebenarnya ide untuk membentuk sutu organisasi internasional guna menghimpun kekuatan islam itu sendiri telah dimulai sejak tahun 1964 dalam KTT Arab di Mogadishu namun hanya masih sekedar ide. Dalam siding Liga Arab ide untuk membentuk organisasi internasional guna menjadikan umat islam sebagai suatu kekuatan yang menonjol serta menggalang solidaritas islamayah dalam usaha melindungi umat islam khususnya dari zionisme. Hingga 1967 pecahlah perang timur tengah melawan Israel dan puncaknya pada tahun 1969 Israel merusak Mesjid Al Agsha sehingga mau tidak mau umat muslim harus bertindak cepat dan jalan yang terbaik adalah membentuk suatu organisasi Islam Internasional. Secara umum OKI didirikan untuk mengumpulkan bersama sumber daya dunia Islam dalam mempromosikan kepentingan mereka dan mengkonsolidasikan segenap upaya negara tersebut untuk berbicara dalam satu bahasa yang sama guna memajukan perdamaian dan keamanan dunia muslim. Secara khusus, OKI bertujuan pula untuk memperkokoh solidaritas Islam diantara negara anggotanya, memperkuat kerjasama dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan iptek. Pada Konferensi Tingkat Menteri (KTM) III OKI bulan February 1972, telah diadopsi piagam organisasi yang berisi tujuan OKI secara lebih lengkap, yaitu : A. Memperkuat/memperkokoh : 1) Solidaritas diantara negara anggota; 2) Kerjasama dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan iptek. 3) Perjuangan umat muslim untuk melindungi kehormatan kemerdekaan dan hak- haknya. B. Aksi bersama untuk : 1) Melindungi tempat-tempat suci umat Islam;

2) Memberi semangat dan dukungan kepada rakyat Palestina dalam memperjuangkan haknya dan kebebasan mendiami daerahnya. C. Bekerjasama untuk : 1) menentang diskriminasi rasial dan segala bentuk penjajahan; 2) menciptakan suasana yang menguntungkan dan saling pengertian diantara negara anggota dan negara-negara lain. Untuk mencapai tujuan diatas, negara-negara anggota menetapkan 5 prinsip, yaitu: 1) Persamaan mutlak antara negara-negara anggota 2) Menghormati hak menentukan nasib sendiri, tidak campur tangan atas urusan dalam negeri negara lain. 3) Menghormati kemerdekaan, kedaulatan dan integritas wilayah setiap negara. 4) Penyelesaian setiap sengketa yang mungkin timbul melalui cara-cara damai seperti perundingan, mediasi, rekonsiliasi atau arbitrasi. 5) Abstein dari ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap integritas wilayah, kesatuan nasional atau kemerdekaan politik sesuatu negara. OKI adalah organisasi islam terbesar di dunia jadi OKI diharapkan mampu menyelesaikan permasalahan umat islam diseluruh dunia. Ditambah lagi permasalah umat islam sekarang semakin komplek, tidak hanya masalah dengan Zionis namun berbagai masalah lain muncul dan salah satunya adalah Rohingya. KONFLIK ROHINGYA SEBAGAI BENTUK PEMBUKTIAN KOMITMEN OKI Dari awal esai ini penulis berusaha untuk meruntutkan penjelasan mulai dari bagaimana organisasi internasional itu muncul hingga kemunculan OKI sendiri sebagai Organisasi Islam terbesar di dunia yang mencita-citakan bahwa umat islam harus punya kekuatan untuk melawan

segala hal yang akan menghancurkan umat islam. Namun ada satu hal yang menjadi perhatian serius para pakar mengenai OKI. Di hadapan problema umat yang sedemikian kompleks OKI sebagai organisasi keislaman terbesar didunia harus mereformasi diri hingga problem-problem itu mendapatkan penyelesaian yang kontekstual. Reformasi OKI tersebut setidaknya menyangkut dua hal mendasar, yaitu visi dan keanggotaan. Dari segi visi OKI sebenarnya berwajah Islam politik. Sebab OKI (secara historis) lahir (25/1969 di Rabat, Maroko) untuk merespons peristiwa politik, yakni pembakaran Masjid Al-Aqsha (21/8/1969) oleh ekstremis Yahudi. Karena itu bisa dipahami bahwa permasalahan Palestina selalu menjadi agenda utama pada setiap pelaksanaan konferensi OKI. Baik yang berbentuk konferensi tingkat tinggi (KTT), konferensi tingkat Menlu (KTM), maupun konferensi luar biasa. Pada titik itu di satu sisi OKI tidak berbeda dari lembaga-lembaga politik berkelas dunia seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau Liga Arab. Perbedaannya OKI membatasi diri untuk negara-negara berpenduduk Islam. Di sisi lain OKI telah menjadikan Islam sebagai kekuatan seperti gerakan Islamis lainnya selama ini. OKI menjadikan Islam sebagai kekuatan untuk membentengi dan membela umat Islam di mana pun. Sementara itu gerakan Islamis bertujuan menerapkan syariat Islam atau negara Islam. Kesalahan paling fatal yang pernah dilakukan manusia adalah pemaknaan agama dengan kekuatan. Dan, diakui atau tidak, pemaknaan agama sebagai kekuatan terjadi hampir merata di semua agama. Sehingga suatu agama menjadi ancaman bagi agama yang lain. Relasi antarumat beragama pun terjebak dalam kecurigaan, ketegangan, bahkan kekerasan. Pada perkembangan berikutnya, pemaknaan tersebut melahirkan terma politik yang diagamakan. Misalnya istilah mayoritas dan minoritas kemudian disebut agama mayoritas dan agama minoritas. Karena pemaknaan tersebut Yahudi menjadi Zionis, Kristen menjadi asosial, dan Islam menjadi tak terpisahkan dari kekerasan. Keanggotaan OKI juga menjadi permasalahan tersendiri seperti yang dapat dilihat OKI menetapkan negara-negara berpenduduk muslim sebagai syarat utama menjadi anggota tetapnya dan hingga saat ini telah bergabung 53 negara anggota. OKI pun menjadi elitis dan eksklusif, elitis karena OKI hanya melibatkan pihak-pihak pengambil kebijakan seperti kepala negara dan menteri. Hal tersebut terlihat jelas dalam setiap konferensi OKI, baik yang bersifat reguler (tiga tahun sekali) maupun darurat. Kalaupun melibatkan pihak lain seperti Sekjen PBB, kalangan intelektual, dan lainnya, itu tak lebih sekadar

tamu kehormatan. Mereka tidak mempunyai hak untuk masuk lebih jauh ke dalam pembahasan konferensi dalam bentuk kebijakan. OKI juga menjadi eksklusif, tidak hanya bagi yang bukan islam melainkan juga terhadap umat Islam itu sendiri. Tokoh-tokoh muslim pada tingkat lokal (daerah) apalagi umat Islam tidak bisa ambil bagian dalam perumusan masalah serta pengambilan kebijakan. Dalam kondisi seperti ini OKI dirasakan gagal menjadi naungan umat Islam di ragam sekte, aliran, negara, suku, dan budayanya. Namun OKI berusaha untuk menghilangkan berbagai pendapat ini, salah satu langkah kongkrit OKI adalah membantu penyelesaian konflik Rohingya di Myanmar. Berita tentang Muslim Rohingya timbul menyusul konflik yang terjadi antara etnis Rohingya yang sebagian besar adalah Muslim dan etnis Rakhine yang mayoritas merupakan penganut Buddha. Penyebab konflik itu sendiri tak begitu jelas namun beberapa sumber menyebutkan bahwa kerusuhan itu merupakan buntut peristiwa perampokan dan pemerkosaan terhadap perempuan Rakhine bernama Ma Thida Htwe pada 28 Mei 2012. Kepolisian Myanmar sebenarnya telah menahan dan memenjarakan 3 orang tersangka pelaku yang kebetulan dua di antaranya adalah etnis Rohingya. Namun, tindakan itu ternyata tak cukup mencegah terjadinya kerusuhan di negara bagian Rakhine yang terletak di bagian barat Myanmar itu. Pada tanggal 4 Juni, terjadi penyerangan terhadap bus yang diduga ditumpangi pelaku pemerkosaan dan kerabatnya. Tercatat 10 orang Muslim Rohingya tewas. Semenjak kejadian itu kerusuhan semakin meluas. Sebenarnya konflik antara etnis Rohingya dan Rakhine kerap terjadi sejak puluhan tahun silam. Salah satu akar konflik itu adalah status etnis minoritas Rohingya yang masih dianggap imigran ilegal di Myanmar. Pemerintah Myanmar tak mengakui dan tak memberi status kewarganegaraan kepada mereka. Sebagai akibat tiadak adanya kewarganegaraan, etnis Rohingya tidak bisa mengakses pendidikan, layanan kesehatan, dan bahkan pekerjaan yang layak, mereka betul-betul terabaikan dan terpinggirkan. Pemerintah Myanmar tidak mengakui kewarganegaraan etnis Rohingya karena menganggap kelompok Muslim ini bukan merupakan kelompok etnis yang sudah ada di Myanmar sebelum kemerdekaan Myanmar pada 1948. Hal itu ditegaskan kembali oleh Presiden Myanmar, Thein Sein, dalam Al Jazeera, 29 Juli 2012 bahwa Myanmar tidak mungkin memberikan kewarganegaraan kepada kelompok Rohingya yang dianggap imigran gelap dan pelintas batas

dariBangladesh. Sebenarny Rohingya tidak tepat disebut etnis karena kata itu merupakan label politis yang digunakan untuk memperjuangkan keberadaan kelompok tersebut di Myanmar. Beberapa sejarawan Myanmar mengatakan bahwa nama Rohingya baru muncul pada tahun 1950-an, setelah kemerdekaan Myanmar. Dalam catatan PBB, Rohingya hanya disebut sebagai penduduk Muslim yang tinggal di Arakan, Rakhine, Myanmar. Dari sudut kebahasaan, bahasa yang diklaim sebagai bahasa Rohingya sebenarnya termasuk ke dalam rumpun bahasa Indo-Eropa, khususnya kerabatb ahasa Indo-Arya. Lebih detail lagi, bahasa Rohingya dikategorikan sebagai bahasa-bahasa Chittagonia yang dituturkan oleh masyarakat di bagian tenggara Bangladesh. Sementara itu, kebanyakan bahasa di Myanmar tergolong rumpun Tai Kadal, Austroasiatik, atau Sino-Tibetan. Jadi jelas bahwa kelompok etnis Rohingya merupakan keturunan etnis Bengali, khususnya sub-etnis Chittagonia yang tinggal di Bangladesh tenggara. Kemunculan pemukiman Muslim di Arakan sebagai cikal bakal kelompok Rohingya terlacak sejak zaman Kerajaan Mrauk U, khususnya pada zaman Raja Narameikhla (1430-1434). Setelah dibuang ke Bengal, Narameikhla lalu menguasai kembali Mrauk U berkat bantuan Sultan Bengal. Seiring dengan berkuasanya Narameikhla, masuk pula penduduk Muslim dari Bengal kewilayah Arakan, Rakhine. Dalam perkembangannya, jumlah pemukim Muslim dari Bengal terus bertambah, terutama ketika Inggris menguasai Rakhine. Karena kurangnya populasi di Rakhine, Inggris memasukkan banyak orang Bengali ke Rakhine untuk bekerja sebagai petani. Oleh karena itu, sampai saat ini pula, kebanyakan orang Rohingya bekerja di sector agraris. Ketika Inggris melakukan sensus penduduk pada 1911, pemukim Muslim di Arakan sudah berjumlah 58 ribu orang. Jumlah itu terus bertambah pada tahun 1920-an ketika Inggris menutup perbatasan India, sehingga orang Bengali memilih masuk ke Rakhine. Sejak tahun-tahun ini pulalah mulai timbul konflik dengan penduduk local yang mayoritas merupakan penganut Buddha. Konflik rohingya sebenarnya tidak dapat lagi disebut konflik etnis namun telah masuk dalam kejahatan kemanusian dimana banyak etnis rohingya yang dibunuh dan dibantai. Permasalah utama dalam konflik rohingya adalah pemerintah Myanmar sendiri seakan-akan tidak peduli dan sepertinya tidak mau untuk menyelesaikan masalah ini. Maka haruslah Organisasi internasional mengambil perannya terutama menekan Myanmar secara diplomatik.

Lankah pertama OKI dalam membantu penyelesaian konflik rohingya adalah melakukan KTT negara-negara anggota OKI dalam rangka membahas langkah apa yang akan diambil untuk membantu penyelesaian masalah ini. Dalam Konferensi tinggkat tinggi (KTT) luar biasa OKI ke 4 memberikan penegasan bahwa OKI akan bekerja sama dengan ASEAN dalam penyelesaian konflik rohingya, dimana ASEAN sendiri sedang memberikan bantuan Myanmar dalam rangka melakukan reformasi dan demokrasi. Dengan adanya demokrasi di Myanmar diharapkan akan ada penghormatan atas hak-hak penduduk dan berbagai komunitas yang ada dimyanmar termasuk Rohingya. Upaya diplomatik juga dilaksanakan OKI dengan membujuk Myanmar agar mengizinkan negara-negara islam dan organisasi kemanusiaan memberikan bantuan kepada muslim rohingya. Pada 10 agustus 2012 delegasi OKI melakukan pertemuan dengan presiden Myanmar Thein Sein yang membahas situasi kemanusiaan didalam negara bagian Rakhine dan Myanmar setuju dengan usulan OKI. OKI juga menekankan kesemua negara-negara terutama negara islam serta organisasi internasional lainnya untuk melakukan upaya diplomatic terhadap Myamar dalam menyelesaikan masalah rohingya karena diketahui sendiri bahwa Myanmar merupakan negara ynag cukup tertutup, sehingga upaya-upaya selain diplomasi ditakutkan akan membuat kondidi semakin memburuk. OKI tidak hanya menyerukan negara lain ataupun organisasi internasional lain untuk ikut membantu, OKI sendiri telah memberikan bantuan lansung kepada pengungsi Rohinya pada tahun 2012 ini. OKI telah berupa memperlihatkan bahwa OKI tidak hanya fokus pada masalahmasalah timur tengah terutama Palestina dan Zionis namun juga fokus pada setiap masalah yang dihadapi oleh umat islam diseluruh dunia. OKI sebagai organisasi islam terbesar didunia sudah mampu memperlihatkan bahwa pendapat-pendapat salah mengenai OKI tidaklah benar. Kedepannya OKI diharapkan lebih agresif dan peka melihat berbagai isu dan masalah yang menyangkut umat islam

Anda mungkin juga menyukai