Anda di halaman 1dari 12

BAB I PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA Suatu hal yang sudah dimaklumi bersama, bahwa Pendidikan Islam di Indonesia telah

dimulai bersamaan dengan masuknya Islam di Indonesia, dan Pendidikan merupakan salah satu saluran proses Islamisasi. Oleh sebab itu, sejak kedatangannya di Indonesia Islam telah menggunakan Pendidikan informal sebagai sarana untuk mensosialisasikan di tengah-tengah masyarakat. Lain dari pada itu, Abuddin Nata menyatakah bahwa selain dilakukan oleh masrarakat sendiri, proses sosialisasi Islam juga dilakukan oleh Pemerintah. Namun demikian Pendidikan Islam juga pernah mengalami masa sulit ketika Pemerintah Kolonial Belanda. Sebelum abad ke 20, pondok pesantren umumnya hanya mengajarkan kitab-kitab fiqih, Tasawuf & Nahwu. Hal ini barangkali ada kaitannya dengan politik kolonial belanda yang sengaja menekan pondok pesantren agar tidak mengajarkan Al-Quran & Al-Hadits secara langsung, sehingga umat Islam tidak mengerti ruh dan hakikat ajaran Islam yang universal & meliputi segala aspek kehidupan. Pemerintah kolonial belanda berupaya menanamkan paham kepada umat Islam bahwa Agama Muhammad SAW ini adalah Agama ibadah an sich. Taktik ini sengaja dilakukan kolonial belanda lantaran pemahaman umat terhadap Universitas ajaran Islam & keterkaitannya dengan segala aspek kehidupan sangat berbahaya bagi kelangsungan penjajahan mereka di Indonesia. Pada masa ini pula pemeritah kolonial belanda mulai mendirikan dan memperkenalkan Pendidikan liberal di Indonesia. Sasaran dari Pendidikan model barat ini adalah sekelompok kecil dari masyarakat Indonesia, khususnya orang orang kaya. Bersamaan dengan itu sejak 1870 mulai tumbuh Pendidikan rakyat. Barulah pada abad 20 Pemerintah Belanda mengeluarkan kebijakan bekenaan dengan Pendidikan rakyat sampai pedesaan. Kebijakan itu bersamaan waktunya dengan polotik . Di sekolah sekolah tersebut Pendidikan Agama hanya diberikan di fakultas-fakultas Hukum berupa mata kuliah Islamologi yang pengajarnya bukan orang orang Islam, dan literatur yang

digunakan adalah buku-buku tentang Islam yang ditulis oleh para Orientalis yang cenderung memandang Islam secara negatif. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan lembaga Pendidikan oleh Pemerintah kolonial Belanda menjadi aspirasi bagi berdirinya lembaga pendidikan Islam modern.Seperti organisasi-organisasi Islam Jamiat Khoir, Al Irsyad, Muhammadiyah dan lain-lain. Dengan berdirinya lembaga Islam modern, maka pada masa sebelum kemerdekaan terdapat dua bentuk pendidikan Agama Islam yaitu : 1. Pendidikan Agama Islam yang bersifat Isolatif Tradisional, dalam arti tidak mau menerima apasaja yang berbau barat dan terhambatnya pengaruh pemikiran Modern dalam Islam / masuk ke dalamnya. 2. Pendidikan Agama Islam yang bersifat Sintetis, yakni mempertemukan antara corak pesantren Tradisional dan corak Pendidikan barat, yang terwujud dalam bentuk selolah Islam atau madrasah. Dengan demikian pada masa awal kemerdekaan, Pemerintah & bangsa Indonesia telah mewarisi Pendidikan dan pengajaran yang Dualistis, yaitu : 1 Sistem Pendidikan dan pengajaran pada sekolah sekolah umum dan tidak Mengenal ajaran Agama, yang merupakan warisan dari Pemerintah kolonial Belanda. 2. Sitem Pendidikan dan pengajaran yang tumbuh dan berkembang dikalangan masyarakat Islam sendiri, baik yang bercorak isolatif tradisional maupun yang bercorak isolatif tradisional maupun yang sintetis dengan variasi pola pendidikannya. Setelah bangsa Indonesia merdeka. Pendidikan agam telah mulai diberikan di sekolahsekolah negeri, seperti yang diusulkan oleh Ki Hajar Dewantoro: 1. 2. 3. 4. 5. Hendaknya pelajaran Agama diberikan pada semua sekolah, dimulai dari Guru Agama disediakan oleh kementerian Agama dan dibayar oleh Pemerintah. Guru Agama harus mempunyai pengetahuan umum. Pesantren dan madrasah haru dipertinggi mutunya. Tidak perlu bahasa arab. Pendidikan Agama Islam mencapai titik kemapanan pada saat ditetapkannya UU no 2 tahun 1989 tentang Pendidikan Nasional, yang mana sekolah rakyat kelas IV.

pengaturan mengenai Pendidikan Agama dalam undang-undang tersebut relatif lengkap. Pada sat ini Pendidikan Agama Islam semakin mapan dengan ditetapkannya UU no 20 tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional, walaupun dalam proses penetapannya terjadi tarik ulur, khususnya mengenai pasal pasal yang memuat pendidikan Agama.

BAB II POLA KAJIAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA A. SOSIO HISTORIS Pola kajian historis, meski sebenarnya belum menyeluruh dan komprehensif, agaknya merupakan pola yang paling awal dilakukan dalam kajian kajian kependidikan Islam di Indonesia. Pola histories ini mempunyai beberapa kekuatan. Kekuatan pokoknya terletak pada pengungkapan perkembangan histories dunia kependidikan Islam, khususnya perubahanperubanhan yang terjadi dalam sistem kelembagaan dan bahkan metodologi kependidikan Islam. Dari dini juga dapat diperoleh gsmbaran atau refleksi tentang keberhasilan dan kegagalan suatu sistem kelembagaan dan metodologi yang pernah dikembangkan dan diterpkan, yang pada gilirannya lebih lanjut dapat digunakn sebagai referensi untuk perkembangan dunia kependidikan di masa sekarang dan mendatang. Pola histories ini mula-mula dikembangkan oleh Mahmud Yunus dalam karyanya yang kini sudah menjadi klasik dalam bidangnya, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (cetakan pertama, 1960), yangmengalami cetak ulang pada tahun 1992. Buku ini meski dari sudut Metodologi sejarah kurang memadai, tetapi menjadi referensi yang tidak bias ditinggalkan dalam kajian sejarah perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia. Dari segi substansi dan kelanjutan periodisasi, buku Mahmud Yunus ini dilengkapi oleh karya Mulyanto Sumardi, sejarah singkat Pendidikan Islam di Indonesia. Kajian histories yang tak kalah baiknya dilakukan Elisabeth H. Graves tentang transisi-transisi yang terjadi dalam dunia Pendidikan, termasuk Pendidikan Islam di Sumatera Barat. Eksperimen belanda dalam mendirikan sekolah rakyat, yanglebih populer dengan nama Sekolah - Sekolah Nagari , di berbagai tempat di Minangkabau. Meski pada awalnya, sekolah-sekolah nagari ini sebagian besarnya tetap memekai kurikulum surau dalam perkembangan lebih lanjut mengadopsi sebagian besar sistem pendidikan belanda. Lebih lanjut lagi dddsebagai mana diisyaratkan di atas, diperlukan kajian

komprehensif untuk periode setelah itu sampai pada masa-masa paling akhir, bukan hanya karena telah terjadi banyak perkembangan baru baik dalalm sistem maupun kelembagaan Pendidikan Islam, khususnya dalam hubungan dengan sistem Pendidikan Nasional secara keseluruhan. B. PEMIKIRAN DAN TEORI KEPENDIDIKAN Suatu kecenderungan kuat juga terdapat dalam kajian kependidikan Islam di Indonesia, cecara sederhana dapat kita sebut sebagai pola pemikiran dan teori kependidikan. Polakajian ini muncul jauh lebih belakangan dari pola kajian Historis, tetapi ia terlihat lebih kuat dari pola histories. Ini terlihat dari banyaknya liberatur yang tersedia berkenaan dengan pemikiran dan teori kependidikan baik yang ditulis oleh ahli Pendidikan Indonesia sendiri maupun dari luar negeri. Pola kajian pemikiran dan teori kependidikan pada hakikatnya berusaha mengembangkan konsepsi kependidikan Islam secara menyeluruh dengan bertitik tolak dari sejumlah pandangan dasar Islam mengenai kependidikan dan mengkombinasikannya dengan pemikiran kependidikan modern. Dalam pengertian ini, maka pola kajian seperti ini secara Implisit menyarankan adanya aspirasi di kalangan pemikir Pendidikan Islam untuk melekukan semacam terobosan Intelektual guna merekonstrusi pemikiran dan teori kependidikan Islam dalam konteks tantangan dunia kontemporer. Pada pihak lain, pemikiran kependidikan Islam atau yang relevan dengannya, yang kikembangkan para Ulama , pemikir dan filosof muslim sedikit sekali diungkapkan dan dibahas. Dengan demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa dalam pola kajian kependidikan Islam ini, penggalian dan pembahasan tentang konsepsi kependidikan yang dihasilkan para pemikir Islam masih sedikit dilakukan para sarjana kita. Tentu saja dikalangan para pemikir Non Indonesia, kajian seperti ini telah cukup banyak dilakukan, dan bahkan beberapa karya yang tersedia semula dalam bahasa arab sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, misalnya tentang konsep pendidikan Al-Ghozali, Iqbal dan bahkan Ibnu Khaldun.

C. KAJIAN METODOLOGIS Pola kajian yangperlu diungkapkan di sini adalah pola kajian metodologi yang berusaha mengembangkan hal-hal yang berkenaan dengan praktek atau pelaksanaan Pendidikan Islam di lapangan. Pembicaraan dalam kajian seperti ini, kadang-kadang sangat teknis, tetapi jelas sangat penting. Karena jelas bahwa keberhasilan Pendidikan Islam juga banyak ditentukan oleh kerangka metodologi yang jelas, yang dpt dipedomani dan dipegangi setiap insane pelaksana Pendidikan Islam. Untuk waktu sekarang ini pemikir yang paling menonjol dalam kajian pola ini adalah Ahmad Tafsir, seperti dalam karyanya Metodik Khusus Pendidikan Agama Islam dan Ilmu Pendidikan dalam Prekspetif Islam. Buku yang pertama secara rinci mengungkapkan beberapa hal penting dalam soal Metotologi I,ni termasuk tentang pembuatan atau perencanaan pengajaran, prinsip dan Metode mengajar dan belajar, prinsip evaulasi. Metode dasar Metode khusus Pendidikan agama Islam, dan metode CBSA. Sedangkan buku kedua mencakup perubahan lebih luas, seperti : Tujuan Pendidikan Islam, kurikulum Pendidikan Islam, guru dalam Pendidikan Islam, Pendidikan dalam keluarga dan Pendidikan Islam alternatif seperti Pesantren. Memandang berbagai perkembangam mutakhir dalam dunia kependidikan umumnya, maka kajian-kajian Metodologis kependidikan Islam memadai. Dengan kata lain kita masih memerlukan dan menunggu munculnya kajian kajian lain, yang dpt melengkapi apa yang diungkapkan misalnya, oleh Ahmad Tafsur tadi. Tulisan sederhana sedikit banyak telah mencoba mengungkapkan tentang pola-pola kajian kependidikan Islam di Indonesia. Penting dipahami pembagian diantara ketiga pola itu pada hakikatnya tidaklah terlalu ketat, bahkan dari segi-segi tertentu terdapat tumpang tindihdiantara mereka. Dalam upaya memajukan kependidikan Islam di Indonesia, seyogyanyalah ketiga pola kajian itu di- kembangkan secara simultan.

BAB III KONTINUITAS DAN PERUBAHAN A. MODERNISASI PENDIDIKAN DAN PESANTREN Modernisasi paling awal dari sistem Pendidikan di Indonesia, harus diakui, tidak bersumber dari kalangan kaum muslimin sendiri. Sistem Pendidikan modern pertama kali, yang pada gilirannya mempengaruhui Pendidikan Islam, justru diperkenalkan oleh pemerintah kolonial belanda. Ini bermula dengan perluasan kesempatan bagi peribumi dalam paroan ke dua abad 19 untuk mendapatkan Pendidikan. Program ini dilakukan pemerintah kolonial belanda dengan mendirikan sekolah rakyat atau Sekolah desa Negaridengan masa belajar 3 tahun. Tetapi sekolah desa ini, setidak-tidaknya dalam perkembangan awalnya cukup mengecewakan. Bagi pemerintah kolonial belanda, sekolah desa ini tidak berhasil mencapai hasil yang mereka hapapkan, karena tingkat putus sekolah yang sangat tinggi dan nafsu pengajaran yang amat rendah. Selain mendapatkan tantangan dari system Pendidikan Belanda, Pendidikan tradisional Islam harus berhadapan dg system Pendidikan moderm Islam. Dl konteks pesantren, tantangan pertama datang dari system Pendidikan belanda spt dikemukakan di atas. Bagi para Eksponen system Pendidikan Belanda, seperti Sutan Takdir Alisyahbana, system Pendidikan pesantren harus ditinggalkan atau setidaknya di transformasikan shg mampu mengantarkan kaum muslimin ke gerbang rasionalitas dan kemajuan, jika pesantren dipertahankan, menurutnya berarti mempertahankan keterbelakangan kaum muslimin. Tetapi sebagai mana kita ketahui pesantren tidak bergeming, tetap bertaahan dl kesendiriannya. Pengalaman pesantren dl memberikan responnya pada masa pasca proklamasi kemerdekaan lagi-lagi memperlihatkan kealotan pesantren. Pada periode ini pesantren menghadapi tantangan lebih berat lagi, khususnya disebabkan ekspansi system pendidikan umum dan madrasah modern. Tetapi kesulitan ekonomi dihadapi Indonesia pada waktu itu membuat Pendidikan

pesantren amat murah itu kelihatan menjadi alternatif terbaik banyak kalangan muslimin. Nanun penting dikemukakan, pada pihak lain, pesantren-pesantren besar terus mengalami pertambahan yang konstan dl jumlah para santri mereka. Pesantren besar ini bahkan menarik semakin banyak santri, tidak hanya dari wilayah saja, tetapi juga dari lar jawa. Termasuk diantara pesantren mengalami perkembangan semacam ini adalah pesantren Tebuireng, Lirboyo, Tambak Beras dan pondok modern Gontor. Lebih jauh lagi, beberapa pesantren tidak berhenti dg eksperimen madrasahnya. Beberapa pesantren bahkan mendirikan lembaga-lembaga Pendidikan umum berada di bawah system Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Diantara pesantren-pesantren yang dapat dipandang sebagai perintis dalam eksperimen ini adalah pesantren Darul Ulum, Rejoso, Peterongan Jombang terdaftar pada Departemen P&K. Pada saat sama juga terdapat kecenderungan kuat pesantren untuk melekukan konsolidasi organisasi kelembagaan, khususnya pada aspek kepemimpinan dan manajemen. Secara tradisional, kepemimpinan pesantren dipegang oleh Kyai biasanya merupakan pendiri pesantren bersangkutan. Untuk menyimpulkan, respon pesantren terhadap modernisasi Pendidikan Islam dan perubahan-perubahan sosial ekonomi berlangsung dl masyakat Indonesia sejak awal abad ini mencakup : pertama, pembaharuan substansi atau isi Pendidikan pesantren dg memasukkan subyek-subyek umum. Kedua pembaharuan metodologi, seperti system klasial, perjenjangan. Ketga, pembaharuan kelembagaan seperti kepemimpinan pesantren, diversifikasi lembaga pendidikan dan keempat, perubahan fungsi, dari fungsi kependidikan juga mencakup fungsi social ekonomi.

B. EKSPANSI PESANTREN Dg demikian jelas bahwa pesantren bukan hanya mampu bertahan. Tetapi lebih baru dari itu, dg penyesuaian akomodasi mengembangkan diri, dan bahkan kembali menempatkan diri pada posisi penting dl system Pendidikan Nasional Indonesia secara keseluruhan. Secara fisik pesantren mengalami kemajuan cukup fenomental. Berkat kamajuan peningkatan ekonomi umat

Islam, sekarang ini tidak sedikit mencari pesantren memiliki gedung-gedung dan fasilitas lainnya cukup megah. Ekspensi Pesantren juga bisa dilihat dengan perubahan Pesantren menjadi lembaga Pendidikan Urban. Dengan demikian Pesantren tidak lagi identik dengan kelembagaan Pendidikan Islam khas jawa, tetapi juga diadopsi oleh wilayah-wilayah lain. Istilah Pesantren itu sendiri sudah cukup lama digunakan seperti di sulawesi atau kalimantan.Tak kurang pentingnya dalam pembicaraan tentang Ekspansi Pesantren adalah pengapdosian aspek aspek tertentu system Pesantren oleh lembaga Pendidikan umum. Sebagai contoh adalah pengapdosian system pengasramaan murid SMU Unggulan yang berkembang dalam beberapa tahun terakhir, walau dengan menggunakan Inggris Boarding School, seperti yang dilakukan SMU Madania di Parung. Sistem Boarding tentu saja merupakan salah satu karakteristik dasar system pendidikan Pesantren, yang dikenal sebagai system santri muslim.

C. DAYA TAHAN DAN KONTINUTAS PESANTREN Dunia Pesantren dengan meminjam kerangka Hussein Nars, adalah dunia tradisional Islam yakni dunia yang mewarisi dan memelihara kontinuitas tradisi Islam yang dikembangkan ulama dari masa ke mas, tidak terputus pada periode tertentu dalam sejarah Islam, seperti periode kaum salaf yaitu para sahabat nabi Muhammad dan tabiin senior. Anehnya istilah salaf juga digunakan oleh kalangan Pesantren, misalnya Pesantren salafiyah, walaupun dengan pengertian yang jauh berbeda, jika tidak bertolak belakang dengan pengertian umum mengenai salaf seperti baru saja dikemukakan. Istilah salaf bagi kalangan pesantren mengacu kepada pengertian Pesantren tradisional yang justru syarat dengan pandangan dunia dan praktek Islam sebagai warisan sejarah, khususnya dalam bidang syariah dan tasawuf. Pada pihak lain, dalam pengertian umum, kaum salafi adalah mereka yang memegang paham tentang Islam yang murni pada masa awal yang belum dipengaruhi bid ah dan khurafat.Karena istilah kaum salaf di Indonesia sering menjadikan Pesantren dan dunia Islam tradisional lainnya dengan sasaran kritik keras mereka, setidaknya karena keterkaitan lingkungan

Pesantren atau kyai dengan tasawuf atau thoriqot. Bagi kaim salafi umumnya tasawuf dan toriqot merupakan pandang dunia dan pengamalan Islam yang bercampur dengan bid ah dan khurofat. Meski kritik ini masih terdengar smpai sekarang. Tetapi pesantren tetap bertahan. Pesantren mampu bertahan bukan hanya karena kemampuannya untuk melakukan adjustmen dan readjustmen seperti terlihat di atas. Tetapi juga karena karakter eksistensinya yang dalam bahasa Nur Cholois Majid disebut sebagai lembaga yang tidak hanya identik dengan makna keIslaman, tetapi juga mengandung maknakeaslian Indonesia. Dengan kata lain Pesantren mempunyaiketerkaitan erat yang tiddak terpisahkan dengan komunitas lingkungannya tetapi, keterkaitan erat antara Pesantren yang komunitas lingkungannya yang dalam banyak hal terus bertahan hingga kini, pada segi lain justru dapat menjadi beban bagi Pesantren itu sendiri. Terlepas dari perubahan-perubahan sosio cultural & keagamaan yang terus berlangsung dari kaum muslimin Indonesia sekarang ini, harapan masyarakat kepada Pesantren tidak berkurang. Bahkan sesuai dengan gelombang santrinisasi yang terus berlangsung dalam masyarakat muslim Indonesia belakangan ini, harapan terhadap Pesantren semakin meningkat. Pesantren diharapkan bukan hanya mampu menjalankan fungsi tradisionalnya dan menjadi pusat pemberdayaan social akonomi masyarakat, tetapi bahkan juga peran peran social lain seperti menjadi Pusat Rehabilitasi Sosial. Dalam konteks terakhir ini, bagi banyak keluarga yang mengalami kegoncangan atau krisis social keagamaan, Pesantren merupakan alternatif terbaik untuk menyelamatkan mereka.

10

BAB IV TRADISI DAN EPISTEMOLOGI KEILMUAN ISLAM DI INDONESIA A. TRADISI KITAB KUNING Harus diakui, sulit untuk melacak kapan waktu persis mulai terjadinya penyebaran dan pembentukan awal tradisi kitabkunung di Indonesia. Pnelitian Van Den Berg tentang buku-buku yang digunakan di lingkungan Pesantren di jawa dan madura pada abad 19 memang mendaftar adanya kitab-kitab yang ditulis para ulama Timur Tengah, tetapi tidak berarti bahwa kitab-kitab itu telah beredar di Indonesia tak lama setelah kitab-kitab tersebut ditulis pengarangnya di timur tengah. Nama-nama pengarang kitab kuning lengkap dengan judul kitab-kitabnya baru muncul di Indonesia ketika para murid jawi yang belajar di Haramayn kembali ke tanah air, khususnya sejak abad 17 Masa dimana para pelajar jawi mulai semakin banyak belajar di tanah suci. Ketika mereka menamatkan pelajaran tatkalakembali ke tanah air, mereka membawa kitab-kitab tersebut dan mengedarkannya di lingkungan terbatas, yang mampu membaca dan memahami bahasa arab. Nama-nama pengarang kitab kitab kuning tersebut lengkap dengan kitab-kitabnya semakin popular ketika para murid jawi tersebut merujuk kepada mereka dalam kitab-kitab mereka sendiri. Penyebaran kitab kuning secara lebih luas berkaitan dengan dua hal : Pertama, semakin lancarnya transportasi ke timur-tengah, Kedua, mulainya pencetakan besar-besaran kitab-kitab beraksara arab pada waktu yang bebarengan. Semakin banyaknya kitab kuning cetakan yang tersedia di pasaran timur tengah memungkinkan bagi jamaah Haji Indonesia yang jumlahnya terus meningkat itu untuk membawa kitab kuning ketika mereka pulang ke tanah air. Bisa dipastikan sebagian besar kitab kuning itu kemudian digunakan di lingkungan Pesantren dan lembaga lembaga Pendidikan Islam lainnya.

11

B. EPISTEMOLOGI KITAB KUNING Epistemologi secara sederhan dapat kita artikan sebagai ilmu yang membahas tentang keaslian, pengertian, struktur, metode dan validitas ilmu pengetahuan. Dalam konteks kitab kuning, pembahasan mengenai semua hal ini sangat kompleks dan rumit Titik esensi dan sumberpokok dari kitab kuning sebagai literature keagmaan Islam adalah wahwu Allah SWT yang disampaikan kepada Nabi Muhammad yang berwujud Al-Quran. Esensi dan sumberpokok ini kemudian dilengkapi dengan sumber kedua yakni Sunnah dan Hadits . Wahyu dari Allah SWT adalah sumber pengetahuan yang mutlak dan hanya Nabi Muhammad SAW yang dilimpahi rahmat untuk menrima wahyu. Pada pihak lain Hadits sebagai sumber kitab kuning berada pada level kedua dari segi kemutlakannya, khususnya hadits Shahih Mutawatir. Secara esensial seluruh kitab kuning mendasarkan diskursusnya pada Epistemologi ini. Namun pda tingkat yang lebih praktis, hampir selurus kitab kuning yang ditulis para ulama atau pemikir asli Indonesia selain mendasarkan pada ketiga sumber tersebut juga berpijan pada hasil-hasil pemikiran ulama yang diakui otoritasnya. Tetapi dengan penggunaan otoritas karya ulama asal Indonesia, bisa muncul persoalan tentang keaslian yang mereka kemukakan. Sehingga karya-karya keilmuan yangdatang belakangan terlihat seolah-olah hanya mengulangi apa yang pernah ditulis dan disampaikan para ulamapenulis terdahulu. Hampir tidak diragukan lagi kitab kuning mempunyai peran besar tidak hanya dikalangan komunitas santri tetapi juga di tengah masyarakat muslim Indonesia secara keseluruhan. Lebih jauh lagi kitab kuning, khususnya yang ditulis para ulama dan pemikir Islam di kawasan imi merupakan refleksi perkembangnan intelektual dan tradisi keilmuan Islam Indonesia. Tetapi masih banyak yang harus dilakukan dalam upaya memahami kitab kuning. Kajian kajian mendalam, lebih secara filologis, hermenetik, histories, baik pada tingkat lingkungan Pesantren sendiri maupun pada tingkat perguruan tinggi Islam misalnya. Dengan begitu kita akan mempunyai pemahaman yang lebih akurat tidak hanya tentang tradisi kitab kuning, tetapi lebih luas lagi, tentang tradisi intelektual dan keilmuan Islam di Indonesia.

12

Anda mungkin juga menyukai