Anda di halaman 1dari 2

Gamelan dan spiritualitas

Posted on Desember 3, 2007 by triwidodo

1 Votes

Gamelan berasal dari kata dalam bahasa Jawa gamel, yang berarti melakukan, mengerjakan. Gamelan khas Jawa Tengah terdiri dari kendang, bonang, bonang penerus, demung, saron, peking, kenong dan ketuk, slenthem, gender, gong, gambang, rebab, siter dan suling. Dari beberapa sumber disebutkan bahwa Sri Paduka Maharaja Dewa Buddha membuat gamelan Lokananta pada tahun 167 berwujud wilahan yang terbuat dari gangsa sejenis bambu yang sekarang disebut demung. Selanjutnya seiring berjalannya waktu dilakukan penambahan alat berupa rebab, gong, kendang, ketuk kenong, kempul dan gambang. Sekitar abad ke 12, setelah meninggalnya Prabu Airlangga, Prabu Lembu Amiluhur yang berputra Raden Panji Inu Kertapati melengkapi dengan bonang dan saron serta menambah dasar-dasar nada atau laras. Pada zaman Majapahit, gamelan juga digunakan sebagai alat musik untuk pelaksanaan ritual. Selanjutnya pada zaman Mataram gamelan mulai dibuat menggunakan bahan dasar logam. Penalaan dan pembuatan gamelan adalah suatu proses yang kompleks. Gamelan di Jawa menggunakan cara penalaan slendro dan pelog. Gamelan selalu digunakan sebagai pengiring pagelaran wayang dan tari tradisional Jawa. Jenis gendhing yang dipakai untuk mengiringi wayang kulit tergantung dari tahapan dalam pagelaran wayang kulit yang dimulai sekitar jam 21.00 dan berakhir sekitar jam 06.00 pagi. Gendhing Pathet Nem disuarakan antara pukul 21.00-24.00, mengiringi gambaran yang melambangkan masa kanak-kanak Sang Satria pemeran utama. Gending Pathet Sanga digunakan antara pukul 24.00-03.00, mengiringi penggambaran Sang Satria yang mulai mencari Guru untuk belajar ilmu pengetahuan. Dalam tahapan ini disampaikan wejangan oleh Dewa, Prabu Kresno atau Semar. Gending Pathet Manyuro, dimunculkan antara pukul 03.00-06.00 mengiringi cerita yang memperlihatkan Sang Satria yang telah memiliki pengetahuan memberantas ketidakadilan sehingga kehidupannya berbuah kebahagiaan. Dalam mengiringi tarian sakral seperti tarian ritual agung Bedhaya Ketawang, pada waktu latihan tari yang diadakan pada hari Anggara Kasih (Selasa Kliwon) maupun pada waktu pergelaran, semua penari dan pemain gamelan beserta suarawatinya harus selalu dalam keadaan suci (tidak sedang haid). Hal-hal tersebut menunjukkan kesakralan musik gamelan. Ada beberapa perangkat gamelan yang dianggap sebagai pusaka, diantaranya adalah Kyai Sekati yang dipergunakan dalam acara Sekaten. Sekati sendiri berasal dari kata Suka Ati yang merupakan irama musik ritual yang sudah ada sejak zaman Majapahit. Oleh Sunan Kalijaga dimaknai sebagai Syahadat Ain (sekaten), sebagaimana kata Kalimasada yang berasal dari Kali Maha Usada dimaknai sebagai Kalimah Syahadat. Di dalam tubuh manusia terdapat irama yang harmonis, seperti halnya alam semesta yang juga berirama. Nada-nada alam semesta yang tertangkap oleh kepekaan rasa diungkapkan menjadi nada-nada Gamelan. Lewat nada-nada musik tersebut manusia melakukan pemujaan dan perenungan spiritual. Nada-nada musik bukan sekedar seni, tetapi merupakan bahasa jiwa, spirit kehidupan, musik Sang Maha Pencipta, bahasa pertama yang menjadi asal muasal kehidupan. Sebagai media dan bentuk komunikasi universal, nada-nada musik melewati bahasa verbal, diterima indera pendengaran, diteruskan ke hati, pusat rasa.

Karena Rasa itulah, maka nada-nada musik melewati batas-batas etnis, agama, komunitas dan negara. Dalam buku, Gamelan Stories: Tantrism, Islam, and Aesthetics in Central Java, Judith Becker menemukan bahwa pada zaman pertengahan, di Indonesia, elemen Gamelan digunakan sebagai pemujaan kedalam dan keluar diri. Dia mengutip Sastrapustaka yang mengungkapkan makna esoteris nada-nada Gamelan yang berhubungan dengan chakra, panca indera dan rasa. Musik Gamelan sebagai yantra, alat, dapat membantu tahapan meditasi sebelum mencapai keadaan samadhi. Lewat musik tersebut orang bisa melakukan penjernihan pikir, pembeningan hati dan pemurnian jiwa sehingga muncul penyembuhan psikologis. Dr. Masaru Emoto membuktikan bahwa musik dapat mempengaruhi air, sehingga musik yang indah akan membuat air membentuk kristal hexagonal yang indah. Memahami bahwa baik manusia, hewan dan tanaman mengandung air, maka suara musik akan mempengaruhi semua makhluk hidup. Organ-organ manusia mempunyai getaran dengan berbagai frekuensi. Walau frekuensi yang dapat didengar manusia berkisar 20 Hz-20 KHz, frekuensi suara berbagai alat gamelan sangat bervariasi dan memungkinkan terjadinya frekuensi yang sama dengan organ tubuh. Bila getaran suara Gamelan mempunyai frekuensi yang sama dengan suatu organ tubuh yang lemah, maka resonansi yang terjadi dapat memperkuat dan menyembuhkan organ yang bersangkutan. Musik yang harmonis juga akan mebuat sapi merasa tenang dan mempengaruhi sistem kelenjar yang berhubungan dengan susu. Selanjutnya, getaran frekuensi tinggi dari Gamelan akan merangsang stomata tanaman untuk tetap terbuka, meningkatkan proses pertumbuhan. Bunga-bunga yang beraneka warna pada umumnya mempunyai panjang gelombang sama seperti panjang gelombang warnanya. Suara alat-alat musik yang bervariasi panjang gelombangnya dapat mempengaruhi organ yang sama panjang gelombangnya. Dalam suatu pergelaran Gamelan, beragam alat dengan beragam nada mempunyai peranan yang sama, asalkan semuanya mengikuti satu irama kesepakatan, sehingga dapat menciptakan komposisi yang indah dan harmonis. Suatu pengimplementasian dari falsafah Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi satu kesatuan jua. Triwidodo Juli 2007.

Anda mungkin juga menyukai