Anda di halaman 1dari 29

BAB I PENDAHULUAN

Nyeri adalah gejala yang paling sering dikeluhkan oleh pasien yang membuat mereka datang ke pusat pelayanan kesehatan. Munculnya nyeri menunjukkan suatu proses patologis dan psikologis. Semua rencana penanganan harus ditujukan pada proses yang mendasari sehingga dapat mengontrol nyeri dengan baik. Nyeri sangat subyektif dan setiap orang belajar melalui pengalaman. Nyeri merupakan suatu pengalaman sensoris dan emosional tidak menyenangkan berhubungan dengan kerusakan jaringan aktual dan potensial, atau digambarkan seperti kerusakan tersebut.1 Jika dilihat dari definisi tersebut, nyeri adalah suatu sensasi dari bagian tubuh yang tidak menyenangkan dan juga merupakan suatu pengalaman emosional. Nyeri sendiri diklasifikasikan menurut lokasi, durasi, frekuensi, penyebab yang mendasari, dan intensitas. Berdasarkan lokasi, nyeri dihubungkan sesuai dengan anatomi yang spesifik pada bagian tubuh atau sistem. Nyeri juga dibagi menurut patofisiologi menjadi nyeri somatis, nyeri viseral, dan nyeri neuropatik. Pembagian nyeri berdasarkan intensitas merupakan klasifikasi yang jarang digunakan, karena nyeri pada setiap orang sangat unik dan subyektif. Pada seorang pasien mungkin mengalami nyeri dari kondisi patologis yang bernilai 10, sedangkan pada pasien lain dengan kondisi patologis yang sama mungkin menggambarkan nyeri bernilai 5. Selain itu, klasifikasi yang sering digunakan yaitu berdasarkan durasi nyeri. Durasi nyeri dibagi menjadi dua, yaitu akut dan persisten. Nyeri akut terbatas pada nyeri yang berdurasi kurang dari 30 hari, sedangkan nyeri kronik menetap dengan onset lebih dari 6 bulan.2,3 Nyeri persisten memberatkan penderita karena nyeri tersebut mendominasi, menekan, melemahkan, dan menurunkan kualitas hidup.2 Oleh karena itu, penanganan nyeri persisten tidak hanya pada pada proses fisiologis dari pasien saja,

tetapi juga dari psikologis dan sosial.3 Khususnya, penanganan nyeri persisten pada pasien yang telah menjalani operasi. Umumnya, nyeri yang muncul pasca operasi adalah nyeri akut. Namun apabila nyeri tersebut tidak ditangani dengan baik akan menyebabkan nyeri yang menetap. Nyeri pasca operasi berhubungan dengan penggunaan analgesik, pembatasan aktivitas sehari-hari, kualitas hidup, dan peningkatan dalam penggunaan pelayanan kesehatan. Sehingga menimbulkan beban ekonomi dan membutuhkan pelayanan kesehatan yang signifikan dan memadai.4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Definisi Nyeri Persisten

The International Association for the Study of Pain (IASP) mendefinisikan nyeri sebagai suatu pengalaman sensoris dan emosional tidak menyenangkan berhubungan dengan kerusakan jaringan aktual dan potensial, atau digambarkan seperti kerusakan tersebut.1 Sedangkan definisi nyeri persisten menurut IASP adalah nyeri pasca operasi yang tidak dapat dijelaskan oleh penyebab lain (penyakit rekuren, inflamasi, dan lainnya).5 Ada beberapa definisi dari nyeri persisten, yaitu nyeri muncul setelah suatu prosedur pembedahan, durasi nyeri minimal 2 bulan, penyebab lain nyeri harus dieksklusi, kemungkinan nyeri berlanjut dari masalah yang ada sebelumnya.6

2.2.

Klasifikasi Nyeri Persisten

Berdasarkan jenisnya nyeri kronik juga dapat diklasifikasikan menjadi:


A. Nyeri Nosisepsi7,8.

Nyeri nosisepsi menggambarkan terjadinya aktivasi atau sensitisasi reseptor nyeri (nosiseptor) yang menghasilkan impuls nyeri. Ada dua macam nyeri nosisepsi, yaitu: a. Nyeri somatik, terjadi akibat adanya eksitasi dan sensitisasi nosiseptor di jaringan seperti tulang, jaringan lunak peri-artikuler, sendi dan otot. Nyeri somatik ini sifatnya terlokalisir, intermiten atau terus menerus. Nyeri somatik ditandai dengan rasa nyeri yang tajam, sakit berdenyut atau seperti ditekan.
3

b.

Nyeri viseral, berawal dari nosiseptor-nosiseptor yang terdapat pada jaringan visceral, seperti jaringan kardiovaskuler, jaringan respirasi, jaringan gastrointestinal, dan jaringan genitourinaria. Berbeda dengan nyeri somatik, nyeri ini tidak terlokalisasi secara topografik, nyeri ini difus. Dan dapat bersifat intermiten atau konstan. Nyeri viseral ditandai dengan rasa perih dan kram.

B. Nyeri Neuropatik7,8.

Terjadi akibat trauma pada jaringan saraf, baik diperifer maupun pada susunan saraf pusat. Nyeri neuropati digambarkan sebagai nyeri terbakar, menusuk, seperti tersengat listrik. Terdapat tiga macam nyeri neuropatik :
a. Peripherally generated neuropathic pain.

Mencakup nyeri yang terjadi akibat lesi saraf tepi (dari radiks spinalis, pleksus sampai saraf tepi yang lain).
b. Centrally generated pain.

Meliputi nyeri yang terjadi akibat trauma pada susunan saraf pusat, baik pada level spinal maupun level diatasnya.
c. Sympathetically maintained pain.

Gambarannya, selain nyeri, ada disregulasi otonom yang terlokalisasi di daerah yang terkena, disertai perubahan vasomotor, sudomotor, udema, keringat dan ada gangguan pertumbuhan otot (hipotropi atau atropi). Dulu sering disebut reflex sympathetic dystrophy atau causalgia. Sekarang gangguan ini disebut Complex Regional Pain Syndrome.
C. Nyeri psikogenik7,8

Nyeri ini berhubungan dengan adanya gangguan jiwa misalnya cemas dan depresi. Nyeri akan hilang apabila keadaan kejiwaan pasien tenang.

Secara tradisional nyeri persisten dibagi menjadi nyeri persisten malignant dan nyeri persisten nonmalignant. Nyeri persisten nonmalignant sering diklasifikasikan menjadi inflammatory (contohnya arthritis), muskuloskeletal (contohnya nyeri punggung), nyeri kepala, dan nyeri neuropatik (contohnya nyeri pasca herpetic, nyeri phantom, sindrom nyeri kompleks regional, neuropati diabetic).5 Tabel 2.1 karakteristik nyeri akut dan kronis

2.3.

Patofisiologi Nyeri Persisten


2.3.1.

Mekanisme Eksitasi

Nyeri dibagi menjadi dua kategori besar, yaitu nyeri fisiologis dan nyeri patologis. Nyeri fisiologis adalah peringatan awal yang biasanya berhubungan dengan reflek penarikan dan melindungi diri dari kerusakan
5

lebih jauh. Sedangkan nyeri patologis adalah ekspresi maladaptif pengoperasian sistem saraf. Nyeri fisiologis dimediasi oleh sistem sensoris yang terdiri dari saraf aferen primer, spinal interneuron dan ascending tracts, dan beberapa area supraspinal. Trigeminal dan akar ganglia dorsalis menimbulkan ambang tinggi serat A-delta dan C yang mensarafi jaringan perifer. Saraf aferen primer ini disebut juga nosiseptor yang mentransduksi rangsangan berbahaya menjadi aksi potensial dan menghantarkan sinyal tersebut ke kornu dorsalis tulang belakang.5

Gambar 2.1 Jalur nosiseptif Sensitisasi perifer

Sensitisasi perifer dapat terjadi pada terminal nosiseptor melalui rangsangan berulang. Ketika jaringan perifer mengalami kerusakan, akan timbul respon inflamasi dengan pelepasan ion potassium, substansi P, bradikinin, prostaglandin, dan substansi lain. Substansi ini meginduksi sensitisasi dari reseptor perifer dengan merubah karakteristik respon saraf aferen primer. Substansi tersebut mengaktivasi nosiseptor yang normalnya inaktif. Bradikinin mengurangi aktivitas peningkatan reseptor panas yang dimediasi oleh siklooksigenase. Nosiseptor yang teraktivasi kemudian dapat diaktivasi pada temperatur tubuh normal, yang dapat dijelaskan oleh nyeri radang spontan. Respon inflamasi menginduksi ekspresi gen dalam ganglion dorsalis, berakibat pada peningkatan sintesis reseptor perifer yang menyebabkan peningkatan sensitivitas nosiseptor.5,9 Setelah rangsangan nosiseptif yang lama, serat A mulai mensintesis reseptor yang normalnya ditemukan hanya di serat C. Hal ini meyebabkan hiperalgesia primer. Sensitisasi perifer dapat diinduksi secara eksperimental pada orang sehat pada capsaicin topikal. Capsaicin berfungsi pada reseptor vanilloid yang merupakan kanal ion eksitasi pada nosiseptor. Terbukanya kanal ini membuat masuknya ion Na+ dan Ca2+ ke dalam terminal nosiseptor. Jika arus depolarisasi ini mencukupi untuk mengaktivasi kanal Na+ voltage-gated, kanal tersebut akan terbuka kemudian mendepolarisasi membran dan memulai lonjakan aksi potensial yang selanjutnya dihantarkan melalui akson sensoris ke kornu dorsalis medula spinalis. Capsaicin berperan dalam deteksi dan integrasi rangsangan panas dan kimia yang memproduksi nyeri.5,9
Gambar 2.2. Peripheral

sensitization. AP = action potential; PKC = protein kinase C; SNS = sensory neuron-specific channel; EP

= epinephrine; H+ = proton; PGE2 = prostaglandin E2; BK = bradykinin; NGF = nerve growth factor; TyrK = tyrosine kinase TyrKA = tyrosine kinase receptor A; VR1 = vanilloid receptor 1.

Sensitisasi Sentral Sensitisasi juga muncul melalui mekanisme sentral. Fenomena wind-up penting dan digambarkan dengan jelas pada kornu dorsalis medula spinalis. Wind-up berkembang ketika serat C mengeluarkan rangsangan pada frekuensi tinggi. Saat ini dipercaya bahwa wind-up dapat dicegah dengan mengontrol input nosiseptif ke kornu dorsalis. Mekanisme molekuler pada kornu dorsalis berperan memperkuat transmisi nyeri pada kondisi patologis. Rangsangan frekuensi rendah dari nosiseptif mengeluarkan glutamate dari terminal sentral saraf aferen primer pada lamina I, II, dan V. Glutamat membuat potensial cepat eksitasi postsinaptik dan depolarisasi cepat pada sel postsinaptik. Pada keadaan istirahat, kanal reseptor NMDA tertutup dikarenakan blockade magnesium. Selama rangsangan intens, substansi P dan glutamate dikeluarkan kembali, menyebabkan EPSP lambat yang berkelanjutan, sumasi temporal, dan penghapusan blockade magnesium dari kanal kalsium NMDA. Akibat dari aktivasi reseptor NMDA, level kalsium intraseluler meningkat dan kalsium juga memasuki sel postsinaptik melalui kanal Kalsium Voltage-gated. Reseptor metabotropik glutamate juga terlibat dan berikatan dengan inositol trifosfat dan mengeluarkan kalsium. Sebagai konsekuensi depolarisasi yang panjang dan masuknya kalsium, protein kinase C yang teraktivasi memfosforilasi reseptor NMDA dan meningkatkan aliran reseptor NMDA. Keterkaitan reseptor NMDA digambarkan secara klinis, karena blockade reseptor NMDA mengurangi nyeri neuropatik dan nyeri persisten.

Gambar. 2.3 Kaskade setelah lesi sistem saraf perifer pada sensitisasi sentral

Plastisitas medula spinalis Sinyal input dari nosiseptor ke saraf spinal yang diproyeksikan ke orak dimediasi oleh kontak langsung monosinaptik atau oleh eksitasi multiple atau inhibisi interneuron. Terminal pusat nosiseptor terdiri dari transmiter eksitasi, seperti glutamate, substansi P, dan factor neuropatik yang mengakticasi pasca sinaptik N-methyl-D-aspartate (NMDA), neurokinin, dan reseptor tyrosinase kinase. Stimulasi nosiseptor yang lama dapat menginduksi peningkatan eksitabilitas saraf sensoris pusat yang reversibel. Sebagian besar melalui aktivasi reseptor NMDA yang berhubungan dengan ekspresi siklooksigenase-2 (COX-2) pada medula spinalis. Input aferen dari area sekitar ke daerah normal reseptif mungkin mendepolarisasi saraf kornu dorsalis yang dapat hiperaksitasi. Akibatnya, rangsangan perifer mengaktivasi jumlah besar saraf kornu dorsalis, dan hiperalgesia juga muncul pada area diluar daerah terluka.9 Sel glia yang awalnya dianggap murni suportif menjadi terlibat dalam memperberat kondisi nyeri. Sel-sel ini mungkin diaktivasi oleh luka perifer dan mempunyai kontribusi pada hipereksitasi sentral. Perubahan struktur mendalam termasuk penghancuran hambatan interneuron dan

penyimpangan hubungan eksitasi. Penghancuran hambatan interneuron yang diobservasi setelah trauma saraf memberikan kontribusi pada hipereksitabilitas dan dicegah oleh antagonis NMDA. Setelah trauma saraf, serat A normalnya berakhir di dalam kornu dorsalis mungkin tumbuh untuk membangun hubungan fungsional sinaptik pada lapisan superfisial kornu dorsalis dimana serat C nosiseptif berakhir. Trauma pada saraf perifer menginduksi regulasi subunit alpha-2-delta kanal kalsium di ganglion dorsalis dan postsinaptik pada kornu dosalis medulla spinalis. Peningkatan progresif output dalam respon pada eksitasi nosiseptor persisten dalam saraf spinal disebut wind-up. Kemudian, sensitisasi terus berlanjut oleh perubahan trankripsional dalam ekspresi kode gen untuk bermacam-macam neuropeptides, transmitter, kanal ion, reseptor, dan sinyal molekul pada nosiseptor dan saraf spinal.9 Modulasi supraspinal Hipereksitasi medulla spinalis diperoleh dari trauma, inflamasi, atau pembedahan berpengaruh pada jalur fasilitasi turun dan inhibisi. Substansi grisea periaquaductal dan peptide opioid endogen memiliki peran sentral dalam inhibisi respon saraf medula spinalis. Rangsangan berbahaya menginduksi pelepasan ensefalin yang merupakan opioid endogen pada supraspinal dan medula spinalis. Inhibisi selanjutnya diberikan oleh sistem menurun serotonergik dan adrenergik. Jalur fasilitasi turun penting dalam menjaga hipereksitasi. Serotonin terlihat berkaitan dengan inhibisi turun dan fasilitasi nyeri. Peningkatan dalam sensitivitas nyeri setelah kerusakan jaringan perifer diregulasi oleh neurokinin-1-yang diekspresi saraf di dalam medula spinalis yang diproyeksikan ke area otak. Setelah menerima informasi dari saraf medula spinalis, area otak yang berkaitan mengaktivasi jalur turun yang mengeksitasi reseptor 5-hydroxytryptamine-3(5-HT3) di medula spinalis.

10

Aktivasi 5-HT3 memberikan kontribusi pada hipereksitabilitas medula spinalis. Lingkaran spino-otak-spino termasuk area otak yang terlibat dalam respon emosi dan afektif pada nyeri. Aktivitas jalur ini berkaitan dengan reseptor 5-HT3 dapat digerakkan oleh cemas dan takut.5,9
2.3.2. Mekanisme Inhibisi

Mekanisme endogen menetralkan nyeri pada kedua sistem saraf pusat dan perifer. Pada kerusakan jaringan terjadi interaksi diantara peptide opioid derivate leukosit dan terminal nosiseptor perifer yang membawa reseptor opioid dan oleh aksi sitokin anti inflamasi. Inflamasi pada jaringan perifer menyebabkan peningkatan ekspresi, transpor aksonal dan meningkatkan kopel protein G reseptor opioid pada saraf di ganglia dorsalis. Fenomena ini bergantung pada aktivitas elektrik saraf sensoris, produksi sitokin anti inflamasi, dan keberadaan factor pertumbuhan saraf di dalam jaringan. Sel imun yang mengandung peptida opioid ekstravasasi dan berakumulasi pada jaringan yang meradang. Sel ini meregulasi ekspresi gen precursor peptida opioid dan mesin enzimatik untuk proses mereka dalam peptida aktif secara fungsional. Pada respon terhadap stres yang melepaskan faktor, sitokin, kemokin, atau katekolamin, leukosit yang memproduksi opioid, yang kemudian mengaktivasi reseptor opioid dan memproduksi analgesia dengan menghambat eksitasi nosiseptor atau melepaskan neuropeptida saraf.5 Pada tulang belakang, inhibisi dimediasi oleh dilepaskannya opioid, aminobitiric acid (GABA), atau gliserin dari interneuron yang kemudian mengaktivasi opioid presinaptik atau reseptor GABA di terminal nosiseptor pusat untuk menurunkan pelepasan transmitter eksitasi. Terbukanya kanal K+ postsinaptik atau kanal Cl- oleh opioid atau GABA membangkitkan potensial inhibisi hiperpolarisasi pada saraf kornu dorsalis. Selama stimulasi nosiseptif berlanjut, interneuron spinal
11

meregulasi ekspresi gen dan memproduksi peptide opioid. Jalur turun inhibisi yang kuat dari otak juga menjadi aktif oleh beroperasinya noradrenergic, serotonergik, dan sistem opioid. Daerah yang berperan adalah substansi grisea periaquaductal yang memproyeksi ke medulla cranial ventro-medial, yang kemudian memproyeksi sepanjang funikulus dorsolateral ke kornu dorsalis. Sinyal terintegrasi dari neurotransmitter eksitasi dan inhibisi dengan kognitif, emosional, dan faktor lingkungan menghasilkan persepsi nyeri sentral. Ketika keseimbangan antara biologis, psikologis, dan faktor social terganggu, nyeri persisten akan muncul.5 2.4. Nyeri Persisten Pasca Operasi

Awalnya perjalanan alamiah dari nyeri persisten pasca operasi dianggap nyeri neuropati, sekarang banyak diskusi bahwa pada beberapa pasien yang berperan adalah nosisepsi yang berlanjut. Gagasan awal bahwa nyeri persisten pasca operasi umumnya neuropatik yang didapatkan dari pengamatan pada operasi dengan kerusakan saraf seperti torakotomi, mastektomi, atau amputasi.10 Beberapa sindrom nyeri yang berbeda memiliki mekanisme yang berbeda. Sebagian besar berupa nyeri neuropatik dan hasil dari perubahan sistem saraf setelah operasi. Trauma saraf perifer adalah faktor penting pada etiologi nyeri neuropatik. Nyeri neutopatik berhubungan dengan nyeri persisten berat, menetap, dan memberikan efek yang besar pada hidup pasien. Menghindari trauma pada saraf mayor tidak mencegah terjadinya nyeri persisten pasca operasi dan tidak selalu menyebabkan nyeri persisten.11 Tidak seperti plastisitas yang dihasilkan oleh inflamasi, lesi pada sistem saraf perifer memproduksi plastisitas maladaptif persisten. Saraf sensoris primer yang terluka dan daerah sekitarnya mulai menembakkan aksi potensial secara spontan, sebagai akibat peningkatan ekpresi dan terhambatnya kanal natrium. Aktivitas
12

ektopik seperti pemacu ini berkontribusi pada nyeri spontan, dan dengan menginduksi sensitisasi sentra, meningkatkan sensitivitas nyeri lebih jauh dan memnyebabkan alodinia taktil. Ada beberapa perubahan dalam ekspresi transmitter sinaptik dan reseptor dan beberapa gen lainnya yang memodifikasi transmisi dan tanggapan. Dalam hal ini, termasuk regulasi dari subunit 2 kanal kalsium voltage-gated. Luka pada saraf perifer menyebabkan interaksi neuroimun. Ketika sebuah akson terpotong, dan bagian akhir distal degenerasi dan terbungkus oleh sel-sel inflamasi. Hal ini menyebabkan terlepasnya molekul yang memproduksi sinyal nyeri, seperti TNF yang berperan pada akson dalam meningkatkan aktivitas ektopik. Microglia teraktivasi pada medulla spinalis dan memproduksi molekul sinyal yang berperan pada saraf kornu dorsalis untuk memproduksi hipersensitivitas nyeri. Perubahan dalam ekspresi gen mengakibatkan perubahan dalam fungsi neuron yang berakhir cukup lama, tetapi sekali mRNA transkrip kembali ke tingkat basal, protein memiliki waktu paruh beberapa hari dan perubahan yang dihasilkan akan terbalik. Faktor resiko pada nyeri persisten pasca operasi dibagi menjadi faktor pasien dan faktor medis. Faktor pasien terdiri dari genotip, riwayat medis, pengalaman sebelumnya, kepercayaan, dan kondisi psikososial terhadap suatu masalah. Dari faktor demografi, pertambahan usia diketahui mempunyai resiko yang lebih rendah untuk timbul nyeri persisten. Pada umur yang lebih muda memiliki proses patologis yang yang lebih berat, prognosis lebih buruk, dan kejadian lebih sering. Faktor psikososial seperti kecemasan, perilaku yang ekstrovert, depresi, berhubungan dengan nyeri pasca operasi. Ketakutan terhadap operasi berhubungan dengan bertambahnya nyeri, menurunkan pemulihan, dan kualitas hidup dalam waktu 6 bulan. Sikap optimis berhubungan dengan pemulihan yang lebih baik dan kualitas hidup yang lebih tinggi, tetapi tidak mempengaruhi nyeri persisten ataupun fungsi fisik.11 Faktor genetik berperan dalam berkembangnya nyeri persisten pasca operasi, contohnya koding polimorfisme nukleotid tunggal

13

untuk enzim catecho-O-mehyl-transferase (COMT) berhubungan dengan perkembangan kondisi nyeri persisten. Aktivitas COMT yang tinggi berhubungan dengan resiko terbentuknya nyeri persisten. Kemungkinan berkembangnya nyeri neuropatik memiliki komponen kuat yang diwariskan, tetapi gen yang bersangkutan belum dapat diidentifikasi. Keanekaragaman genetik dalam ekspresi enzim berhubungan dengan sintesis neurotransmitter pada ganglion dorsalis yang berhubungan dengan nyeri persisten setelah disektomi lumbar.4

Gambar. 2.4 Faktor yang berperan dalam perkembangan nyeri persisten pasca operasi

2.5.

Pengukuran Intensitas Nyeri

Nyeri merupakan masalah yang sangat subjektif yang dipengaruhi oleh psikologis, kebudayaan dan hal lainnya, sehingga mengukur intensitas nyeri merupakan masalah yang relatif sulit. Ada beberapa metode yang umumnya digunakan untuk menilai intensitas nyeri, antara lain:
1.

Verbal Rating Scale (VRSs)

14

Digunakan beberapa daftar kata untuk mendeskripsikan nyeri yang dirasakan oleh penderita. Kata-kata atau kalimat tersebut dipilih untuk mendeskripsikan secara subketif karakteristik nyeri yang dirasakan. Metode ini dapat digunakan untuk mengetahui intensitas nyeri dari saat pertama kali muncul sampai tahap penyembuhan. Penilaian ini menjadi beberapa kategori nyeri yaitu: tidak nyeri (none), nyeri ringan (mild), nyeri sedang (moderate), nyeri berat (severe) dan nyeri sangat berat (very severe).3,7
2.

Numerical Rating Scale (NRSs)

Dalam mendeskripsikan intensitas nyeri, digunakan rentangan angka dari 0 sampai 10. Angka 0menggambarkan tidak ada nyeri sedangkan 10 menggambarkan nyeri yang hebat.3,7

Gambar 2.5 Numeric Rating Scale (NRSs)

3.

Visual Analogue Scale (VASs)

Metode ini paling sering digunakan untuk mengukur intensitas nyeri. Metode ini menggunakan garis sepanjang 10 cm yang menggambarkan keadaan tidak nyeri sampai nyeri yang sangat hebat. Pasien menandai angka pada garis yang menggambarkan intensitas nyeri yang dirasakan. Keuntungan menggunakan metode ini adalah sensitif untuk mengetahui perubahan intensitas nyeri, mudah dimengerti dan dikerjakan, dan dapat digunakan dalam berbagai kondisi klinis. Kerugiannya adalah tidak dapat digunakan pada anak-anak dibawah 8 tahun dan mungkin sukar diterapkan jika pasien sedang berada dalam nyeri hebat.3,7

15

No Pain

The most intense pain imaginable Gambar 2.6 Visual Analog scale

4.

McGill Pain Questionnaire (MPQ)

Berupa check list untuk mendiskripsikan gejala-gejala nyeri yang dirasakan. Metoda ini menggambarkan nyeri dari berbagai aspek antara lain sensorik, afektif dan kognitif. Intensitas nyeri digambarkan dengan merangking dari 0 sampai 3.3,7

5.

The Faces Pain Scale

Metode ini dengan cara melihat mimik wajah pasien dan biasanya untuk menilai intensitas nyeri pada anak-anak.3,7

Gambar 2.7. Faces Pain Scale

2.6.

Penatalaksanaan Nyeri Persisten Pasca Operasi

Ada 2 tujuan utama dalam mengobati pasien dengan nyeri persisten yaitu mengurangi nyeri sebanyak mungkin dan memfasilitasi pemulihan fungsional. Perlu juga untuk mengetahui pengharapan pasien dalam memberikan terapi. Pengobatan terhadap keluhan nyeri tidaklah selalu sama pada setiap pasien dan harus memperhatikan aspek fisik, emosi, neurofisiologi, biokimia, prilaku,

16

kognitif dan lingkungan pasien. Latihan terapeutik, terapi fisik formal, mengurangi stress, terapi relaksasi, biofeedback, modifikasi gaya hidup, dan akupuntur diantara pendekatan nonfarmakologis mempunyai potensi untuk membantu pasien dalam mengobati nyeri persisten.8,12 Farmakoterapi memiliki peran penting dalam tata laksana nyeri persisten, karena obat-obatan membantu untuk mematikan stimulus noxious atau mengurangi gangguan neuropatik sehingga mengurangi nyeri. Perang penting farmakoterapi dalam penanganan nyeri persisten untuk membantu fasilitasi pemulihan fungsional melalui pemberian analgesia yang mencukupi untuk menghentikan siklus nyeri dan kemudian membantu menjaga nyeri agar tetap dalam tingkat yang dapat diterima. Praktik dalam tatalaksana nyeri, secara garis besar mengikuti WHO Three Step Analgesic Ladder yaitu7,13
1. Tahap pertama dengan menggunakan obat analgetik nonopiat seperti NSAID

atau COX2 spesific inhibitors. 2. Tahap kedua, dilakukan jika pasien masih mengeluh nyeri. Maka diberikan obat-obat seperti pada tahap 1 ditambah opiat secara intermiten.
3. Tahap ketiga, dengan memberikan obat pada tahap 2 ditambah opiat yang

lebih kuat.

17

Gambar 2.8 WHO three step analgesic ladder Ada beberapa golongan zat farmakologis yang dapat digunakan dalam penanganan nyeri persisten, antara lain nonsteroidal anti-inflamatory drugs (NSAIDs), opioid, dan analgesia nonopioid, antikonvulsan, antidepresan, adrenegic agonists, pelumpuh otot, obat-obat topikal, anestesi lokal, antagonis reseptor NMDA, dan racun botulinum. Dalam memberikan penanganan farmakoterapi harus berdasarkan bukti-bukti dari khasiat suatu obat dengan keamanan dan kemudahan dalam penggunaan. Selain itu, patofisiologi yang mendasari dari gejala tertentu membantu dalam mengarahkan dalam pemilihan obat.8,12 Berikut adalah penjelasan dari obat yang digunakan sebagai analgesia sesuai dengan ketentuan WHO, antara lain: Analgesik nonnarkotik

Untuk nyeri persisten, analgesik yang sering digunakan adalah non-steroidal antiinflammatory drugs (NSAID) dan acetaminophen. NSAID memiliki kemampuan antiinflamasi yang poten, sangat berguna untuk nyeri tulang yang berkaitan dengan metastase kanker. Obat jenis ini mudah didapat, tidak terlalu mahal, dan tidak menyebabkan depersi fisiologis. Pemberian obat ini dapat dengan oral, parenteral (intravena dan intramuskular) serta supositoria.8,14,15,16 NSAID diketahui memiliki banyak aksi dalam system saraf perifer dan sistem saraf pusat. Beberapa dari efek tersebut berhubungan dengan penghambatan sintesis prostaglandin melalui penghambatan pada enzim cyclooxygenase (COX). Ada dua bentuk COX yang diketahui, yaitu COX-1

18

yang diperlukan untuk homeostasis normal di endothelium dan COX-2 yang berfungsi memproduksi prostaglandin selama proses inflamasi. Selain itu, COX-2 memiliki efek menghambat aktifitas dari reseptor NMDA. NSAID digunakan untuk penanganan jangka pendek dan jangka panjang dengan variasi yang luas dari nyeri musculoskeletal sampai sindrom nyeri lain seperti nyeri dental, nyeri kepala akut dan persisten.8,12,14,15,16 Terdapat beberapa efek damping dari penggunaan NSAID. Efek samping tersebut, antara lain:

Dispepsia, peptic ulcer Diare, perdarahan gastrointestinal Disfungsi dan gagal ginjal (nekrosis papiler akut, nefritis interstial persisten, penurunan aliran darah ginjal, penurunan kecepatan filtrasi glomerulus, retensi air dan garam.

Penghambatan agregasi platelet dan peningkatan waktu pendarahan Gangguan fungsi hati, jaundice Menghambat perbaikan tulang rawan pada osteoartirtis.

Berdasarkan efek samping tersebut, terdapat kontraindikasi penggunaan NSAID, adalah sebagai berikut:

Riwayat peptic ulcer atau intoleransi NSAID Mengalami perdarahan atau sedang dalam terapi antikoagulan. Pasien gagal ginjal Tidak boleh sebagai profilaksis pada pembedahan mayor karena

resiko perdarahan tinggi. Dehidrasi atau hipovolemia

19

Terapi dengan furosemide

Tabel 2.2 Pemberian non-opiod analgesia Jika terdapat kontraindikasi pemakaian NSAID digunakan acetaminophen sebagai alternatif karena tidak adanya efek anti radang perifer seperti NSAID. Cara kerjanya memblok hiperalgesia spinal yang diinduksi mediator seperti substansi P dan N-methyl-d-aspartate (NMDA). Penggunaan NSAID untuk nyeri persisten dapt dibedakan pada pasien nonkanker dan kanker. Untuk nyeri

20

nonkanker biasanya digunakan untuk nyeri sendi, myalgia dan sakit kepala. Pada pasien kanker NSAID dan acetaminophen biasanya digunakan sebagai terapi lini pertama untuk nyeri derajat sedang (bila nyeri derajat berat sering dikombinasi dengan opiod). Pemberian NSAID dalam jangka lama cenderung menimbulkan efek samping daripada pemberian singkat pada periode perioperatif. Antagonis H2 (misal ranitidin) yang diberikan bersama NSAID bisa melindungi lambung dari efek samping. NSAID dibagi menjadi 3 golongan; yaitu grup salisilat, derivat asam indoleacetic, derivat asam pyrrolacetic, dan derivat asam propionic. Beberapa obat NSAID grup salisilat, antara lain aspirin, choline magnesium trisalicylate, dan diflunisal. Analgesik opiod Opioid meupakan pilihan esensial dalam mengobati nyeri derajat sedang sampai berat yang berkaitan dengan pembedahan atau trauma dan untuk nyeri akibat kanker. Opioid berikatan pada reseptor spesifik yang terletak di sistem saraf pusat, spinal cord dan jaringan lain. Empat tipe mayor reseptor opioid yaitu , , , dan . Eliminasi secara utama oleh hati dan tergantung dari aliran darah hepatik. Kebanyakan opiod memiliki metabolit inaktif yang diekskresi dalam urin. Walaupun opioid menimbulkan sedikit efek sedasi, opioid lebih efektif sebagai analgesia. Opioid secara selektif mengurangi atau menghilangkan nyeri tanpa mempengaruhi modalitas sensoris yang lain. Pasien sering merasakan euforia atau disforia. Tetapi hambatan dalam pemakaian obat ini adalah pada pasien dengan nyeri persisten dengan penggunaan cukup lama akan menimbulkan toleransi pada obat ini sehingga efek analgesia yang diharapkan akan berkurang.14,15 Opioid dapat diberikan dengan beberapa cara antara lain: oral, supositoria, injeksi intravena, subkutan, trasndermal, dapat juga diberikan secara epidural

21

atau intra tekal, baik bolus maupun infuse (epidural infus). Saat ini, dipertimbangkan pemberian analgesia opioid menggunakan intravenous Patient-Controlled Analgesia. Dengan kombinasi obat-obat ini, akan didapat efek analgesia yang sangat adekuat serta durasi yang lebih panjang, sedangkan dosis yang diperlukan menjadi sangat kecil.14,15

Tabel 2.3 Pemberian opiod analgesia Efek samping tersering dari opiod adalah konstipasi, mual dan muntah, sedasi, gatal, kesadaran berkabut. Beberapa orang juga mengalami rasa ngantuk, sulit kencing, depresi pernafasan. Analgesik adjuvan Obat ini sebenarnya digunakan untuk mengobati penyakit yang lain, tetapi dapat juga mempunyai efek sekunder untuk mengobati beberapa jenis nyeri. Obat ini meliputi anti depresan, anti kejang, anestetik lokal, antispasmodik dan kortikosteroid. Analgesik adjuvan biasanya digunakan untuk mengobati nyeri neuropatik.5,13,17
22

Antidepresan Trisiklik. Merupakan salah satu analgesik yang paling sering digunakan. Obat ini digunakan bukan karena efek antidepresan spesifiknya tetapi lebih karena berkaitan dengan aktivasi jalur inhibisi nyeri.5,13,18 Antikonvulsan diketahui efektif untuk penatalaksanaan nyeri terutama nyeri neuropatik yang meurpakan nyeri yang berhubungan langsung dengan sistem saraf pusat atau perifer. Terdapat enam jenis anti kejang yang berguna dalam pengobatan nyeri neuropatik, antara lain: gabapentin, carbamazepine, valproic acid, clonazepam, phenytoin dan lamotrigine. Indikasi pemberian anti kejang pada pasien nyeri persisten5,13,18: Neuralgia, primer (trigeminal,glosofaringeal dan postherpetic),

sekunder (infiltrasi kanker pada sistem saraf pusat dan perifer) Nyeri sentral (sindrom nyeri thalamic dan nyeri pasca stroke) Nyeri pasca simpatektomi Phantom limb pain Sakit kepala migrain

Lokal anestetik. Berfungsi sebagai agen blok nyeri pada subkutan, serabut saraf atau pada spinal cord. Pemakaiannya belum begitu dikenal. Mekanisme pemulihan dari rasa nyeri timbul karena terjadinya stabilisasi membran saraf. Hal ini terjadi melalui blok saluran natrium sehingga tidak terjadi depolarisasi serabut saraf dalam proses penghantaran nyeri. Contohnya yaitu dengan lidokain intravena dapat mengurangi keluhan nyeri neuropatik, biasanya juga ditambahkan dengan bloker saluran natrium oral (mexiletine).8 Kortikosteroid. Dapat digunakan dengan atau tanpa opioid. Mekanisme kerja obat ini dalam pengobatan nyeri kurang jelas. Kemungkinan efek perifer dikarenakan reduksi peradangan dan efek sentral melalui perubahan kadar neurotransmiter. Disamping
23

itu,

kortikosteroid

menurunkan

eksitabilitas neuronal dengan secara langsung mempengaruhi membran sel. Steroid digunakan terutama untuk manajemen nyeri pada penyakit rematik dan kanker. Jika tidak ada respon positif, terapi sebaiknya dihentikan. Jika berefek, maka terapi dilanjutkan dengan tapering dose untuk pemeliharaan efek. Prednison (100mg) metilprednisolon (100 mg) atau prenisolon (7,5 mg) tiap hari dapat digunakan selama 1 minggu dan selanjutnya dosis diturunkan perlahan. Efek samping steroid adalah terutama osteoporosis, infeksi terhadap ulkus gaster, perforasi dan penyakit cushing.8 Clonidine. Menstimulasi reseptor -adrenoreseptor dalam batang otak, menurunkan aliran simpatis dari SSP, menimbulkan penurunan tahanan perifer, denyut jantung dan tekanan darah. Pemberian obat ini biasanya berguna untuk nyeri akibat perangsangan saraf simpatis.8 Anti spasmodik. Dua jenis anti spasmodik adalah lioresal (baclofen) dan cyclobenzaprine (flexeril). Tizadine (zanaflex) merupakan agen relatif baru dengan mekanisme kerja sama dengan clonidine, sebagai ajuvan analgesik untuk terapi nyeri simpatis.4 Fisioterapi, Chiropractic, dan Teknik Manipulatif Fisioterapi dalam bentuk program latihan bermanfaat dalam penanganan nyeri kronik. Program rehabilitasi fungsional bertujuan untuk mengembalikan kelenturan dan fungsi otot memberikan manfaat untuk jangka waktu lama. Manipulasi chiropractic bermanfaat pada sebagian kasus. Pemilihan jenis teknik terapi yang diberikan sangat bervariasi dan tidak dapat disamaratakan pada semua pasien.14,15 Teknik Stimulasi Akupunktur dan TENS hingga saat ini masih merupakan kontroversi dalam dunia kedokteran Barat. Hal ini disebabkan karena kurangnya bukti yang menunjukkan efektifitas dari metode ini meskipun sudah lama digunakan
24

dalam penatalaksanaan nyeri persisten. Kedua teknik ini sederhana, aman di tangan yang tepat, dan biayanya lebih murah15. Akupunktur dikatakan bekerja pada jalur inhibisi nyeri desendens dan juga menstimulasi endorfin. Terdapat juga efek plasebo dan komponen analgesik yang signifikan meskipun untuk jangka waktu yang pendek. Perbaikan yang dialami oleh pasien diduga karena reduksi stres dan diasbilitas pada pasien akibat interaksi dengan terapis. Bukti tentang efektifitas TENS juga masih sangat sedikit tetapi memberikan manfaat pada pasien dlam jumlah yang signifikan. Efek yang diduga ditimbulkan oleh TENS adalah stimulasi pada kolumna dorsalis dari medula spinalis.15 Blok Saraf Dapat digunakan pada kondisi nyeri persisten akibat proses patologis dan kurang baik pada nyeri persisten akibat faktor psikis. Blok saraf menggunakan obat obatan, zat kimia, atau teknik pembedahan untuk menghambat penghantaran nyeri antara area tempat stimulus nyeri pada tubuh dengan otak. Jenis pembedahan untuk blok saraf antara lain neurektomi, rhizotomi spinal dorsal, kranial, dan trigeminal, dan simpatektomi (blok simpatis).8,13,17 Pembedahan Pada umumnya dilakukan untuk nyeri yang diakibatkan oleh masalah pada punggung atau trauma muskuloskeletal yang serius. Pembedahan yang dilakukan dapat berupa pembedahan untuk blok saraf atau dapat juga pembedahan pada diskus yang mengalami cedera. Pembedahan untuk mengatasi masalah pada punggung dapat berupa: diskektomi/mikrodiskektomi (mengambil seluruh diskus), laminektomi (dokter bedah hanya mengambil satu fragmen diskus, membuat akses dengan membuat lubang pada bagian melengkung vertebra, dan fusi spinal

25

di mana seluruh diskus diangkat dan diganti dengan

bone graft).

Pembedahan lainnya dapat berupa: rhizotomi (serat saraf yang dekat dengan medula spinalis dipotong), cordotomi (pemotongan bundel saraf di dalam medula spinalis untuk nyeri kanker terminal), dan dorsal root entry zone operation/DREZ (neuron spinal yang berhubungan dengan nyeri pada pasien dihancurkan lewat pembedahan).8,13,17 Terapi Psikologis Terapi psikologis dilakukan pada pasien secara individual dan menyeluruh. Terapi kognitif dilakukan dengan memberikan penjelasan kepada pasien mengenai penyebab nyeri yang dideritanya dalam bahasa yang dipahami oleh pasien. Pengetahuan mengenai riwayat kondisi yang diderita oleh pasien sangat penting karena persepsi yang salah dapat menimbulkan kebingungan dan mispersepsi untuk waktu yang lama. Juga dapat dikombinasikan dengan terapi perilaku (behavioural) serta partisipasi keluarga untuk menunjang efektifitas terapi.15,17

26

BAB III KESIMPULAN

Nyeri sebagai suatu pengalaman sensoris dan emosional tidak menyenangkan berhubungan dengan kerusakan jaringan aktual dan potensial, atau digambarkan seperti kerusakan tersebut. Sedangkan definisi nyeri persisten nyeri tanpa tanda biologis yang jelas yang menetap melewati penyembuhan jaringan normal umumnya membutuhkan waktu lebih dari 3 bulan. Nyeri persisten diklasifikasikan menjadi nyeri nosisepsi, nyeri neuropatik, dan nyeri psikogenik. Nyeri persisten pasca operasi dianggap nyeri neuropati yang memiliki mekanisme yang berbeda. Sebagian besar berupa nyeri neuropatik dan hasil dari perubahan sistem saraf setelah operasi. Trauma saraf perifer adalah faktor berhubungan dengan nyeri persisten. Faktor resiko pada nyeri persisten pasca operasi dibagi menjadi faktor pasien dan faktor medis. Faktor pasien terdiri dari usia, genotip, riwayat medis, pengalaman sebelumnya, kepercayaan, dan kondisi psikososial terhadap suatu masalah. Faktor psikososial seperti kecemasan, perilaku yang ekstrovert, depresi, berhubungan dengan nyeri pasca operasi. Tujuan utama dalam mengobati pasien dengan nyeri persisten yaitu mengurangi nyeri sebanyak mungkin dan memfasilitasi pemulihan fungsional. Pengobatan terhadap keluhan nyeri memperhatikan aspek fisik, emosi, neurofisiologi, biokimia, prilaku, kognitif dan lingkungan pasien. Latihan terapeutik, terapi fisik formal, mengurangi stress, terapi relaksasi, biofeedback, modifikasi gaya hidup, dan akupuntur diantara pendekatan nonfarmakologis mempunyai potensi untuk membantu pasien dalam mengobati nyeri persisten.8,12

27

DAFTAR PUSTAKA
1.

IASP. Pain Terms. 2011. Tersedia di: http://www.iasp-pain.org. Diakses 21 April 2012.

2.

Cole BE. Pain Management: Classifying, Understanding, and Treating Pain. Hospital Physician. 2002. p. 23-30.

3.

Morgan G.E, Pain Management, Dalam: Clinical Anesthesiology 4th ed. USA. McGraw-Hill; 2006. Hal 359-73.

4.

Searle RD, Simpson KH. Chronic Post-surgical Pain. British Journal of Anesthesia. 2010; 10: 12-14.

5.

Kehlet H, Rathmell JP. Persistent Postsurgical Pain. Anesthesiology. 2010; 112: 514-5.

6.

Stein C, Kopt A. Anesthesia and Treatment of Chronic Pain. Dalam: Miller RD. Millers Anesthesia. USA. Churchill Livingstone; 2010. Hal 1797-1817.

7.

Macrae W. Chronic Pain After Surgery. British Journal of Anaesthesia. 2001; 87: Hal 88-98.

8.

Benzon, et. al., The Assesment of Pain, In Essential of Pain Medicine and Regional Anaesthesia, 2nd ed, Philadelphia, 2005

9.

Ballantyne J, et. al. The Massachusetts General Hospital Handbook of Pain Management 2nd ed. Lippincott Williams & Wilkins Publishers. 2002. chapter 12

10.

Curatolo M, Arendt-Nielsen L, Petersen-Felix S. Central Hypersensitivity in Chronic Pain: Mechanism and Clinical Implication. Physical Medicine and Rehabilitation Clinics of North America. 2006; 17: Hal. 287-302

11.

Ballantyne J, et. al. Chronic Pain after Surgery or Injury. International Association for Study of Pain. 2011; XIX: Issue 1 Hal. 1-6

28

12.

Macrae WA. Chronic Post-surgical Pain: 10 years on. British Journal of Anaesthesia. 2008; 101: Hal. 77-86

13.

Argoff CE. Pharmacologic Management of Chronic Pain. JAOA. 2002; 102: S21-S26.

14.

Hurford W, et. al. Clinical Anesthesia Procedures of Massachusetts General Hospital. 6th ed. Lippincott Williams & Wilkins Publishers. 2002. Chapter 37

15.

Ballantyne J, Mao JR. Review Article: Opioid Therapy for Chronic Pain. New England Journal of Medicine. Vol 20 No 349, 2003, 1943-1953

16.

American Pain Foundation. Treatment Options: A Guide for People Living with Pain. Tersedia di: www.painfoundation.org. Diakses: 21 April 2012

17.

Ritchey RM. Optimizing Postoperative Pain Management. Cleveland Clinic Journal of Medicine. 2006; 73: Hal. S72-S76

18.

Loeser J, et. al. Bonicas Management of Pain. 3rd ed. Lippincott Williams & Wilkins Publishers. 2001.

19.

Barash PG, et. al. Clinical Anesthesia. 4th ed. Lippincott Williams & Wilkins Publishers. 2001. Chapter 55

29

Anda mungkin juga menyukai