Anda di halaman 1dari 42

ASKEP PADA KLIEN DENGAN STROKE DAN PENINGKATAN TEKANAN INTRAKRANIAL

OLEH: SGD 5 NI LUH PUTU SHINTA DEVI (0802105010) I MADE ARYA KAMASUTA (0802105014) NI WAYAN BUDI ARTHINI (0802105023) LUH PUTU JUNIARI LISTUAYU (0802105024) WAYAN WIRA ADNYANA (0802105037) NI NYM. PRADNYA PARAMITHA D. (0802105038) NI PUTU ARYSTA K.D. (0802105039) I.A. EKA JAYANTHI (0802105048) I GST. AYU SIKHA PERMATA A.S. (0802105049) NI PUTU WINDA IRMALIA DEWI (0802105062)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA 2009 TINJAUAN PENYAKIT

1. PENGERTIAN Menurut WHO stroke adalah adanya tanda-tanda klinik yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (atau global) dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih yang menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler. (Hendro Susilo, 2000). Stroke dapat didefinisikan sebagai defisit neurologi yang yang mempunyai awitan mendadak dan berlangsung 24 jam sebagai akibat dari Cerebrovaskular Disease ( CVD), yaitu gangguan neurology yang sering terjadi pada orang dewasa (Huddak & Gallo, 1996). Sedangkan menurut Neil F Gordon stroke adalah gangguan potensial yang fatal pada suplai darah bagian otak. Peningkatan tekanan intrakranial (PTIK) adalah suatu peningkatan tekanan yang terjadi dalam rongga tengkorak. Tekanan intracranial merupakan jumlah total dari tekanan yang mewakili volume jaringan otak, volume darah intrakranial dan cairan serebrospinalis. Apabila volume dari salah satu faktor tadi meningkat dan tidak dapat dikompensasi oleh kedua faktor yang lain, maka terjadilah tekanan tinggi intrakranial. PTIK terjadi pada penderita cedera kepala, stroke hemorrhagic dan trombotik, serta lesi desak ruang seperti tumor otak. Massa intracranial bersama pembengkakkan otak meninggikan TIK dan mendistorsikan otak. 2. EPIDEMIOLOGI Stroke dan peningkatan TIK dapat menyerang kapan saja, mendadak, siapa saja, baik laki-laki atau perempuan, tua atau muda. Diperkirakan satu sampai tiga orang akan mengalami stroke dan satu dari tujuh orang meninggal karena stroke. Insiden stroke timbul bervariasi, tergantung tempat atau negara, waktu, serta penderitanya. Insiden stroke yang disebabkan oleh peningkatan TIK di negara berkembang masih meningkat sedangkan di negara maju cenderung menurun. Penurunan ini mungkin disebabkan karena manajemen hipertensi, penyakit jantung dan penyakit metabolik di negara maju telah makin baik. Memang sebagian besar dari kasus stroke dapat diakatakan merupakan bukti kegagalan pengobatan hipertensi, penyakit jantung, dan penyakit metabolik. Insiden stroke meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Setelah umur 55

tahun risiko stroke iskemik meningkat 2 kali lipat tiap dekade. Menurut Schutz penderita yang berumur antara 70-79 tahun banyak menderita perdarahan intrakranial (Junaidi, 2004). Laki-laki cenderung untuk terkena stroke lebih tinggi dibandingkan wanita, dengan perbandingan 1,3 : 1, kecuali pada usia lanjut laki-laki dan wanita hampir tidak berbeda. Laki-laki yang berumur 45 tahun bila bertahan hidup sampai 85 tahun kemungkinan terkena stroke 25%, sedangkan risiko bagi wanita hanya 20%. Pada laki-laki cenderung terkena stroke iskemik, sedangkan wanita lebih sering menderita perdarahan subarachnoid dan kematiannya 2 kali lebih tinggi dibandingkan wanita (Junaidi, 2004). Sampai sekarang faktor keturunan masih belum dapat dipastikan gen mana penentu terjadinya stroke, menurut Brass dkk., yang meneliti lebih dari 1200 kasus kembar monozygot dibandingkan 1100 kasus kembar dizygot, berbeda bermakna antara 17,7% dan 3,6%. Tingkat kejadian stroke di seluruh dunia tertinggi dialami oleh orang Jepang dan Cina, menurut Broderick dkk., melaporkan orang negro Amerika cenderung berisiko 1,4 kali lebih besar mengalami stroke perdarahan intrakranial, sedang orang kulit putih cenderung terkena stroke iskemik, akibat sumbatan ekstrakranial yang lebih banyak (Junaidi, 2004). 3. ETIOLOGI Penyebab PTIK antara lain : 1. Tumor primer atau metastasis 2. Hemoragia otak 3. Hematoma subdural 4. Abses otak 5. Hidrosefalus akut 6. Tumor serebri 7. Infark yang luas 8. Trauma 9. Hematoma ekstraserebral 10. Acute brain swelling 11. Nekrosis otak yang diinduksi oleh radiasi

12. Edema serebral 13. Hipoksia Penurunan PaO2 menyebabkan vasodilatasi serebral kurang dari 60 mmHg. 14. Hiperkapnia (peningkatan CO2) yang menyebabkan vasodilatasi. 15. Kerusakan aliran balik vena yang eningkatkan volume darah serebral. 16. Peningkatan tekanan abdomen atau intratorakal 17. Meningginya tekanan vena karena kegagalan jantung atau karena obstruksi mediastinal superior. 18. Gangguan absorpsi cairan serebrospinalis. Penyebab stroke antara lain : 1. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi
-

Usia Dari berbagai penelitian, diketahui bahwa semakin tua usia, semakin besar pula risiko terkena stroke. Hal ini berkaitan dengan adanya proses degenerasi (penuan) yang terjadi secara alamiah dan pada umumnya pada orang lanjut usia, pembuluh darahnya lebih kaku oleh sebab adanya plak (atherosklerosis).

Jenis kelamin Laki-laki memiliki risiko lebih besar untuk terkena stroke dibandingkan dengan perempuan. Hal ini mungkin terkait bahwa laki-laki cenderung merokok. Dan rokok itu sendiri ternyata dapat merusak lapisan dari pembuluh darah tubuh.

Herediter Hal ini terkait dengan riwayat stroke pada keluarga. Orang dengan riwayat stroke pada kelurga, memiliki risiko yang lebih besar untuk terkena stroke dibandingkan dengan orang tanpa riwayat stroke pada keluarganya.

Ras/etnik Dari berbagai penelitian diyemukan bahwa ras kulit putih memiliki

peluang lebih besar untuk terkena stroke dibandingkan dengan ras kulit hitam. 2. Faktor yang dapat dimodifikasi - Hipertensi (darah tinggi) Orang-orang yang tekanan darahnya tinggi memiliki peluang besar untuk mengalami stroke. Bahkan hipertensi merupakan penyebab terbesar (etiologi) dari kejadian stroke itu sendiri. Hal ini disebabkan karena pada kasus hipertensi, dapat terjadi gangguan aliran darah tubuh dimana diameter pembuluh darah pada nantinya akan mengecil (vasokontriksi) sehingga darah yang mengalir ke otak pun akan berkurang. Dengan pengurangan aliran darah otak (ADO) maka otak akan akan kekurangan suplai oksigen dan juga glukosa (hipoksia), karena suplai berkurang secara terus menerus, maka jaringan otak lama-lama akan mengalami kematian. - Penyakit jantung Adanya penyakit jantung seperti penyakit jantung koroner, infak miokard (kematian otot jantung) juga merupakan faktor terbesar terjadinya stroke. Seperti kita ketahui, bahwa sentral dari aliran darah di tubuh terletak dijantung. Bilamana pusat mengaturan aliran darahnya mengalami kerusakan, maka aliran darah tubuh pun akan mengalami gangguan. Termasuk aliran darah yang menuju ke otak. Karena adanya gangguan aliran, jaringan otak pun dapat mengalami kematian secara mendadak ataupun bertahap.
-

Diabetes mellitus

Diabetes melitus atau disebut juga sebagai kencing manis, memiliki risiko untuk mengalami stroke. Hal ini terkait dengan pembuluh darah penderita DM yang umumnya menjadi lebih kaku. Adanya peningkatan ataupun penurunan kadar glukosa

darah secara tiba-tiba juga dapat menyebabkan kematian jaringan otak. Hiperkolesterolemia merupakan akan keadaan dimana kadar Hiperkolesterolemia terutama jenis

kolesterol didalam darah berlebih. Kolesterol yang berlebih LDL mengakibatkan terbentuknya plak/kerak pada pembuluh darah, yang lama-lama akan semakin banyak dan menumpuk sehingga lama-lama akan mengganggu aliran darah. Peningkatan kolesterol (lipid total) Kolesterol tubuh yang tinggi dapat menyebabkan aterosklerosis dan terbentuknya embolus dari lemak.
-

Obesitas

Kegemukan juga merupakan salah satu faktor risiko terjadinya stroke. Hal tersebut terkait dengan tingginya kadar lemak dan kolesterol dalam darah pada orang dengan obesitas, dimana biasanya kadar LDL (lemak jahat) lebih tinggi dibandingkan dengan kadar HDLnya (lemak baik/menguntungkan).
-

Merokok

Dari penelitian didapatkan, bahwa orang-orang yang merokok ternyata memiliki kadar fibrinogen darah yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang tidak merokok. Peningkatan kadar fibrinogen ini dapat mempermudah terjadinya penebalan pembuluh darah sehingga pembuluh darah menjadi sempit dan kaku dengan demikian dapat menyebabkan gangguan aliran darah. Beberapa keadaan dibawah ini dapat menyebabkan stroke antara lain: 1. Thrombosis Cerebral. Thrombosis ini terjadi pada pembuluh darah yang mengalami oklusi sehingga menyebabkan iskemi jaringan otak yang dapat

menimbulkan oedema dan kongesti di sekitarnya. Thrombosis biasanya terjadi pada orang tua yang sedang tidur atau bangun tidur. Hal ini dapat terjadi karena penurunan aktivitas simpatis dan penurunan tekanan darah yang dapat menyebabkan iskemi serebral. Tanda dan gejala neurologis seringkali memburuk pada 48 jam setelah thrombosis. Beberapa keadaan di bawah ini dapat menyebabkan thrombosis otak: a. Atherosklerosis Atherosklerosis adalah mengerasnya pembuluh darah serta berkurangnya kelenturan atau elastisitas dinding pembuluh darah. Manifestasi klinis atherosklerosis bermacam-macam. Kerusakan dapat terjadi melalui mekanisme berikut:
-

Lumen

arteri

menyempit

dan

mengakibatkan

berkurangnya aliran darah.


-

Oklusi mendadak pembuluh darah karena terjadi Merupakan tempat terbentuknya thrombus dan Dinding arteri menjadi lemah, terjadi aneurisma

thrombosis.
-

kemudian melepaskan kepingan thrombus (embolus). kemudian robek dan terjadi perdarahan. b. Hypercoagulasi pada polysitemia Darah bertambah kental, peningkatan viskositas/hematokrit meningkat dapat melambatkan aliran darah serebral. c. Arteritis (radang pada arteri) 2.Emboli Emboli serebral merupakan penyumbatan pembuluh darah otak oleh bekuan darah, lemak dan udara. Pada umumnya emboli berasal dari thrombus di jantung yang terlepas dan menyumbat sistem arteri serebral. Emboli tersebut berlangsung cepat dan gejala timbul kurang dari 10-30 detik. Beberapa keadaan dibawah ini dapat menimbulkan emboli:

a. Katup-katup jantung yang rusak akibat Rheumatik Heart

Desease (RHD). b. Myokard infark


c.

Fibrilasi,. Keadaan aritmia menyebabkan berbagai bentuk pengosongan ventrikel sehingga darah terbentuk gumpalan kecil dan sewaktu-waktu kosong sama sekali dengan mengeluarkan embolus-embolus kecil.

d. Endokarditis oleh bakteri dan non bakteri, menyebabkan terbentuknya gumpalan-gumpalan pada endocardium. 3. Haemorhagi Perdarahan intrakranial atau intraserebral termasuk perdarahan dalam ruang subarachnoid atau kedalam jaringan otak sendiri. Perdarahan perembesan ini dapat terjadi karena atherosklerosis darah kedalam parenkim otak yang dan dapat hypertensi. Akibat pecahnya pembuluh darah otak menyebabkan mengakibatkan penekanan, pergeseran dan pemisahan jaringan otak yang berdekatan ,sehingga otak akan membengkak, jaringan otak tertekan. 4. Iskhemik Stroke yang terjadi sebagai akibat dari adanya sumbatan pada arteri sehingga menyebabkan penurunan suplay oksigen pada jaringan otak ( iskhemik ) hingga menimbulkan nekrosis. Adanya penimbunan lemak pada pembuluh darah otak (aterosklerosis) akan meningkatkan resiko terjadinya stroke iskhemik. 4. PATOFISIOLOGI Edema otak merupakan sebab yang paling lazim dari peningkatan tekanan intrakranial dan memiliki banyak penyebab antara lain peningkatan cairan intrasel, hipoksia, ketidak seimbangan cairan dan elektrolit, iskemia serebral, meningitis, dan tentu saja cedera. Tekanan intrakranial pada umumnya bertambah secara berangsur-angsur. Setelah cedera kepala, timbulnya edema memerlukan waktu 36 sampai 48

jam untuk mencapai maksimum. Peningkatan tekanan intrakranial sampai 33 mmHg mengurangi aliran darah otak secara bermakna. Iskemia yang timbul merangsang pusat motor, dan tekanan darah sistemik meningkat, Rangsangan pada pusat menjadi inhibisi jantung mengakibatkan bradikardia dan pernapasan lambat. Mekanisme kompensasi ini, dikenal sebagai refleks

Cushing, membantu mempertahankan aliran darah otak. Akan tetapi, menurunnya pernapasan mengakibatkan retensi Co2 dan mengakibatkan vasodilatasi otak yang membantu menaikkan tekananan intrakranial. Trauma otak menyebabkan fragmentasi jaringan dan kontusio, merusak sawar darah orak (SDO), disertai vasodilatasi dan eksudasi cairan sehingga timbul edema. Edema menyebabkan peningkatan tekanan pada jaringan dan akhirnya menngkatkan TIK, yang pada gilirannya akan menurunkan aliran darah otak, iskemia, hipoksia, asidosis (penurunan pH dan penigkatan PCo2), dan kerusakan SDO lebih lanjut. Siklus ini akan terus berlanjut sehingga terjadi kematian sel dan edema bertambah secara progresif kecuali bila dilakukan intervensi. Otak sendiri merupakan 2% dari berat tubuh total. Dalam keadaan istirahat otak menerima seperenam dari curah jantung. Otak mempergunakan 20% dari oksigen tubuh. Otak sangat tergantung kepada oksigen, bila terjadi anoksia seperti yang terjadi pada CVA di otak mengalami perubahan metabolik, kematian sel dan kerusakan permanen yang terjadi dalam 3 sampai dengan 10 menit (non aktif total). Pembuluh darah yang paling sering terkena ialah arteri serebral dan arteri karotis Interna. Adanya gangguan peredaran darah otak dapat menimbulkan jejas atau cedera pada otak melalui empat mekanisme, yaitu: :
1. Penebalan dinding arteri serebral yang menimbulkan penyempitan atau

penyumbatan lumen sehingga aliran darah dan suplainya ke sebagian otak tidak adekuat, selanjutnya akan mengakibatkan perubahan-perubahan iskemik otak. Bila hal ini terjadi sedemikian hebatnya, dapat menimbulkan nekrosis. 2. Pecahnya dinding arteri serebral akan menyebabkan bocornya darah ke kejaringan (hemorrhage).

3. Pembesaran sebuah atau sekelompok pembuluh darah yang menekan jaringan otak. 4. Edema serebri yang merupakan pengumpulan cairan di ruang interstitial jaringan otak. Konstriksi lokal sebuah arteri mula-mula menyebabkan sedikit perubahan pada aliran darah dan baru setelah stenosis cukup hebat dan melampaui batas kritis terjadi pengurangan darah secara drastis dan cepat. Oklusi suatu arteri otak akan menimbulkan reduksi suatu area dimana jaringan otak normal sekitarnya yang masih mempunyai pendarahan yang baik berusaha membantu suplai darah melalui jalur-jalur anastomosis yang ada. Perubahan awal yang terjadi pada korteks akibat oklusi pembuluh darah adalah gelapnya warna darah vena, penurunan kecepatan aliran darah dan sedikit dilatasi arteri serta arteriole. Selanjutnya akan terjadi edema pada daerah ini. Selama berlangsungnya perisriwa ini, otoregulasi sudah tidak berfungsi sehingga aliran darah mengikuti secara pasif segala perubahan tekanan darah arteri. Di samping itu reaktivitas serebrovaskuler terhadap PCO2 terganggu. Berkurangnya aliran darah serebral sampai ambang tertentu akan memulai serangkaian gangguan fungsi neural dan terjadi kerusakan jaringan secara permanen. (PATHWAY TERLAMPIR)
5.

KLASIFIKASI Stroke dapat diklasifikasikan menurut patologi dan gejala kliniknya, yaitu: a. Stroke Haemorhagi Merupakan perdarahan serebral dan mungkin perdarahan subarachnoid. Disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak pada daerah otak tertentu. Biasanya kejadiannya saat melakukan aktivitas atau saat aktif, namun bisa juga terjadi saat istirahat. Kesadaran pasien umumnya menurun. b. Stroke Non Haemorhagi Dapat berupa iskemia atau emboli dan thrombosis serebral, biasanya terjadi saat setelah lama beristirahat, baru bangun tidur atau di pagi

hari.

Tidak

terjadi

perdarahan

namun

terjadi

iskemia

yang

menimbulkan hipoksia dan selanjutnya dapat timbul edema sekunder. Kesadaran umummnya baik. Menurut perjalanan penyakit atau stadiumnya: i. Transient Ischemic Attack (TIA) Merupakan gangguan pembuluh darah otak yang menyebabkan timbulnya defisit neurologis akut yang berlangsung kurang dari 24 jam. Stroke ini tidak akan meninggalkan gejala sisa sehingga pasien tidak terlihat pernah mengalami serangan stroke. Akan tetapi adanya TIA merupakan suatu peringatan akan serangan stroke selanjutnya sehingga tidak boleh diabaikan begitu saja. ii. Reversible Ischemic Neurological Deficit (RIND) Kondisi RIND hampir sama dengan TIA, hanya saja berlangsung lebih lama, maksimal 1 minggu (7 hari). iii. Complete stroke Merupakan gangguan pembuluh darah otak yang menyebabkan deficit neurologist akut yang berlangsung lebih dari 24 jam. iv. Stroke in Evolution (Progressive Stroke) Stroke ini merupakan jenis yang terberat dan sulit ditentukan prognosanya. Hal ini disebabkan kondisi pasien yang cenderung labil, berubah-ubah, dan dapat mengarah ke kondisi yang lebih buruk. 6. MANIFESTASI KLINIS Gejala-gejala klinis yang muncul tergantung berat ringannya gangguan pembuluh darah dan lokasinya. Gambaran klinis stroke dapat berupa (Junaidi,2004) : Adanya serangan defisit neurologis fokal, berupa kelemahan atau kelumpuhan lengan atau tungkai, atau salah satu sisi tubuh. Hilangnya rasa atau adanya sensasi abnormal pada lengan, tungkai atau salah satu sisi tubuh. Mati rasa sebelah, terasa kesemutan, terasa seperti terbakar.

Mulut, lidah mencong bila diluruskan. Gangguan menelan : sulit menelan, minum sering tersedak. Bicara tidak jelas, sulit berbahasa, kata yang diucapkan tidak sesuai keinginan, pelo, sengau, bicaranya ngaco, kata-katanya tidak dapat dipahami (afasia). Bicara tidak lancar, hanya sepatah-sepatah kata yang terucap. Sulit memikirkan atau mengucapkan kata-kata yang tepat. Tidak memahami pembicaraan orang lain. Tidak mampu membaca dan menulis, dan tidak memahami tulisan. Tidak dapat berhitung, kepandaian menurun. Tidak mampu mengenali bagian dari tubuh. Hilangnya kendali terhadap kandung kemih, inkontinensia. Berjalan menjadi sulit, langkahnya kecil-kecil. Menjadi pelupa (demensia). Vertigo (pusing), atau perasaan berputar yang menetap saat tidak beraktifitas. Awal terjadinya penyakit (onset) cepat, mendadak, dan biasanya terjadi pada saat beristirahat atau bangun tidur. Hilangnya penglihatan berupa penglihatan yang terganggu, sebagian lapang pandang tidak terlihat, gangguan pandangan tanpa rasa nyeri, penglihatan gelap atau ganda sesaat. Kelopak mata sulit dibuka. Pendengaran hilang atau gangguan pendengaran, berupa tuli satu telinga atau pendengaran berkurang. Menjadi lebih sensitif, menjadi mudah menangis atau tertawa Kebanyakan tidur atau selalu ingin tidur. Kehilangan keseimbangan, gerakan tubuh tidak terkoordinasi dengan baik, sempoyongan, atau terjatuh. Gangguan kesadaran, pingsan sampai tidak sadarkan diri (koma). Manifestasi klinik peningkatan tekanan intrakranial banyak dan bervariasi dan dapat tidak jelas. Perubahan tingkat kesadaran penderita merupakan indikator

yang paling sensitif dari semua tanda peningkatan tekanan intracranial. Trias klasik peningkatan tekanan intrakranial adalah: 1. Nyeri kepala karena regangan dura dan pembuluh darah 2. Papiledema yang disebabkan oleh tekanan dan pembengkakan diskus optikus. 3. Muntah sering proyektil Tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial lainnya; 1. Hipertermia 2. Perubahan motorik dan sensorik 3. Perubahan berbicara 4. Kejang 7. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan pada stroke : A. Pemeriksaan radiologi
CT scan didapatkan

hiperdens fokal, kadang-kadang masuk

ventrikel, atau menyebar ke permukaan otak.


MRI untuk menunjukkan area yang mengalami infark,hemoragik. Angiografi cerebral membantu menentukan penyebab stroke secara

spesifik seperti perdarahan atau obstruksi arteri.


Pemeriksaan foto thorax dapat memperlihatkan keadaan jantung,

apakah terdapat pembesaran ventrikel kiri yang merupakan salah satu tanda hipertensi kronis pada penderita stroke. B. Pemeriksaan laboratorium
Pungsi lumbal: menunjukan adanya tekanan Normal dan cairan tidak

mengandung darah. Pemeriksaan darah rutin


Pemeriksaan

kimia darah

pada stroke akut dapat terjadi

hiperglikemia. Gula darah dapat mencapai 250 mg dalam serum dan kemudian berangsur-angsur turun kembali.
Pemeriksaan darah lengkap untuk mencari kelainan pada darah itu

sendiri

Pemeriksaan diagnostik pada PTIK :


Scan otak : meningkat isotop pada tumor. Angiografi serebral : mengetahui adanya deviasi pada pembuluh

darah.
X-ray

tengkorak : erosi posterior atau adanya kalsifikasi

intracranial.
X-ray dada : mendeteksi tumor paru primer atau penyakit metastase. CT scan atau MRI : mengidentfikasi vaskuler tumor, perubahan

ukuran ventrikel serebral.


Ekoensefalogram : melihat peningkatan pada struktur midline.

8. PENATALAKSANAAN Untuk mengobati keadaan akut perlu diperhatikan faktor-faktor kritis sebagai berikut: 1. Berusaha menstabilkan tanda-tanda vital dengan:
a) Mempertahankan

saluran

nafas

yang

paten

yaitu

lakukan

pengisapan lendir yang sering, oksigenasi, kalau perlu lakukan trakeostomi, membantu pernafasan.
b) Mengontrol tekanan darah berdasarkan kondisi pasien, termasuk

usaha memperbaiki hipotensi dan hipertensi. 2. Berusaha menemukan dan memperbaiki aritmia jantung. 3. Merawat kandung kemih, sedapat mungkin jangan memakai kateter. 4. Menempatkan pasien dalam posisi yang tepat, harus dilakukan secepat mungkin pasien harus dirubah posisi tiap 2 jam dan dilakukan latihanlatihan gerak pasif. Pengobatan Konservatif 1. Vasodilator meningkatkan aliran darah serebral (ADS) secara percobaan, tetapi maknanya pada tubuh manusia belum dapat dibuktikan. 2. Dapat diberikan histamin, aminophilin, asetazolamid, papaverin intra arterial.

3. Anti agregasi thrombosis seperti aspirin digunakan untuk menghambat reaksi pelepasan agregasi thrombosis yang terjadi sesudah ulserasi alteroma.

Pengobatan Pembedahan Tujuan utama adalah memperbaiki aliran darah serebral:


1. Endosterektomi karotis membentuk kembali arteri karotis, yaitu

dengan membuka arteri karotis di leher.


2. Revaskularisasi terutama merupakan tindakan pembedahan dan

manfaatnya paling dirasakan oleh pasien TIA.


3. Evaluasi bekuan darah dilakukan pada stroke akut. 4. Ligasi arteri karotis komunis di leher khususnya pada aneurisma.

9. PROGNOSIS Prognosis stroke ditentukan oleh banyak parameter dan prediktor klinis. Pada kasus stroke perdarahan, angka mortalitas relatif lebih tinggi. Penelitian Larsen, dkk (1984) pada 53 pasien stroke perdarahan menunjukkan bahwa angka mortalitas akut adalah 27%. Faktor prognosis yang utama adalah tingkat kesadaran dan volume hematoma. Penelitian Fieschi, dkk (1988) pada 104 pasien stroke menunjukkan angka kematian pada bulan pertama adalah 30%. Faktor prognosis yang paling signifikan adalah usia, tingkat kesadaran saat masuk RS, dan ukuran heatoma. Penelitian Kiyohara, dkk (2003) pada 1621 pasien stroke di Jepang memperlihatkan hasil serupa, angka kematian pada perdarahan serebral di 30 hari pertama adalah 63,3% dibanding infark serebral sebesar 9%. Faktor demografik, penyakit penyerta, dan keparahan gejala stroke berkontribusi terhadap luaran stroke. Penelitian kohort Kernan, dkk (2000) memperlihatkan prognosis stroke dipengaruhi oleh usia, komorbiditas gagal jantung, riwayat stroke sebelumnya, diabetes, hipertensi, dan penyakit jantung koroner. Adanya komorbiditas, usia tua, riwayat stroke sebelumnya akan memberikan prognosis yang lebih buruk.

ASUHAN KEPERAWATAN 1. Pengkajian Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan proses keperawatan untuk mengenal masalah klien, agar dapat memberi arah kepada tindakan keperawatan. Tahap pengkajian terdiri dari tiga kegiatan, yaitu pengumpulan data, pengelompokkan data dan perumusan diagnosis keperawatan. (Lismidar, 1990) a. Pengumpulan data Pengumpulan data adalah mengumpulkan informasi tentang status kesehatan klien yang menyeluruh mengenai fisik, psikologis, sosial budaya, spiritual, kognitif, tingkat perkembangan, status ekonomi, kemampuan fungsi dan gaya hidup klien. (Marilynn E. Doenges et al, 1998) 1. Identitas klien Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor register, diagnose medis. 2. Keluhan utama Biasanya didapatkan kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, dan tidak dapat berkomunikasi. (Jusuf Misbach, 1999) 3. Riwayat penyakit sekarang Serangan stroke hemoragik seringkali berlangsung sangat mendadak, pada saat klien sedang melakukan aktivitas. Biasanya terjadi nyeri kepala, mual, muntah bahkan kejang sampai tidak sadar, disamping gejala kelumpuhan separoh badan atau gangguan fungsi otak yang lain. (Siti Rochani, 2000) 4. Riwayat penyakit dahulu Adanya riwayat hipertensi, diabetes militus, penyakit jantung, anemia, riwayat trauma kepala, kontrasepsi oral yang lama, penggunaan obat-obat anti koagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif, kegemukan. (Donna D. Ignativicius, 1995) 5. Riwayat penyakit keluarga Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi ataupun diabetes militus. (Hendro Susilo, 2000)

6. Riwayat psikososial Stroke memang suatu penyakit yang sangat mahal. Biaya untuk pemeriksaan, pengobatan dan perawatan dapat mengacaukan keuangan keluarga sehingga faktor biaya ini dapat mempengaruhi stabilitas emosi dan pikiran klien dan keluarga. 7. Pola-pola fungsi kesehatan
a.

Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat. Biasanya ada riwayat Pola nutrisi dan metabolism. Adanya keluhan kesulitan menelan, Pola eliminasi. Biasanya terjadi inkontinensia urine dan pada pola Pola aktivitas dan latihan. Adanya kesukaran untuk beraktivitas

perokok, penggunaan alkohol, penggunaan obat kontrasepsi oral.


b.

nafsu makan menurun, mual muntah pada fase akut, muntah proyektil.
c.

defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus.


d.

karena kelemahan, kehilangan sensori atau paralise/ hemiplegi, mudah lelah.


e.

Pola tidur dan istirahat. Biasanya klien mengalami kesukaran untuk Pola hubungan dan peran. Adanya perubahan hubungan dan peran

istirahat karena kejang otot/nyeri otot.


f.

karena klien mengalami kesukaran untuk berkomunikasi akibat gangguan bicara.


g.

Pola persepsi dan konsep diri. Klien merasa tidak berdaya, tidak Pola sensori dan kognitif. Pada pola sensori klien mengalami penglihatan/kekaburan pandangan, perabaan/sentuhan

ada harapan, mudah marah, tidak kooperatif.


h.

gangguan

menurun pada muka dan ekstremitas yang sakit. Pada pola kognitif biasanya terjadi penurunan memori dan proses berpikir, nyeri pada kepala dan tulang belakang terutama saat membungkuk.
i.

Pola reproduksi seksual. Biasanya terjadi penurunan gairah seksual

akibat dari beberapa pengobatan stroke, seperti obat anti kejang, anti hipertensi, antagonis histamin.

j.

Pola penanggulangan stress. Klien biasanya mengalami kesulitan

untuk memecahkan masalah karena gangguan proses berpikir dan kesulitan berkomunikasi.
k.

Pola tata nilai dan kepercayaan. Klien biasanya jarang melakukan

ibadah karena tingkah laku yang tidak stabil, kelemahan/kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh. 8. Pemeriksaan Fisik a. Keadaan umum
i. ii.

Kesadaran : umumnya mengelami penurunan kesadaran. Suara bicara : kadang mengalami gangguan yaitu sukar dimengerti, kadang tidak bisa bicara Tanda-tanda vital : tekanan darah meningkat, denyut nadi bervariasi

iii.

b. Pemeriksaan integument
i. Kulit : jika klien kekurangan O2 kulit akan tampak pucat dan jika

kekurangan cairan maka turgor kulit kan jelek. Di samping itu perlu juga dikaji tanda-tanda dekubitus terutama pada daerah yang menonjol karena klien CVA Bleeding harus bed rest 2-3 minggu.
ii. iii.

Kuku : perlu dilihat adanya clubbing finger, cyanosis Rambut : umumnya tidak ada kelainan Kepala : bentuk normocephalik Muka : umumnya tidak simetris yaitu mencong ke salah satu sisi. Leher : kaku kuduk jarang terjadi (Satyanegara, 1998).

c. Pemeriksaan kepala dan leher


1. 2. 3.

4. Mata : selama tidur untuk pergerakan mata REMs yang akan berakibat penurunan pernafasan akibat akumulasi berlebihan karbondioksida d. Pemeriksaan dada Pada pernafasan kadang didapatkan suara nafas terdengar ronchi, wheezing ataupun suara nafas tambahan, pernafasan tidak teratur akibat penurunan refleks batuk dan menelan. e. Pemeriksaan abdomen Didapatkan penurunan peristaltik usus akibat bed rest yang lama, dan kadang terdapat kembung.

f. Pemeriksaan inguinal, genetalia, anus Kadang terdapat incontinensia atau retensio urine. g. Pemeriksaan ekstremitas Pergerakan volunteer dan sering didapatkan kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh. h. Pemeriksaan neurologi
a) Pemeriksaan nervus cranialis. Umumnya terdapat gangguan nervus

cranialis VII dan XII central. b) Pemeriksaan motorik Hampir selalu terjadi kelumpuhan/kelemahan pada salah satu sisi tubuh. c) Pemeriksaan sensorik Dapat terjadi hemihipestesi. d) Pemeriksaan reflex Pada fase akut reflek fisiologis sisi yang lumpuh akan menghilang. Setelah beberapa hari refleks fisiologis akan muncul kembali didahuli dengan refleks patologis.(Jusuf Misbach, 1999) Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan radiologi :
1. CT scan : didapatkan hiperdens fokal, kadang-kadang masuk ventrikel,

atau menyebar ke permukaan otak. (Linardi Widjaja, 1993)


2. MRI : untuk menunjukkan area yang mengalami hemoragik. (Marilynn

E. Doenges, 2000)
3. Angiografi serebral : untuk mencari sumber perdarahan seperti

aneurisma atau malformasi vaskuler. (Satyanegara, 1998)


4. Pemeriksaan foto thorax : dapat memperlihatkan keadaan jantung,

apakah terdapat pembesaran ventrikel kiri yang merupakan salah satu tanda hipertensi kronis pada penderita stroke. (Jusuf Misbach, 1999) Pemeriksaan laboratorium 1. Pungsi lumbal : pemeriksaan likuor yang merah biasanya dijumpai pada perdarahan yang masif, sedangkan perdarahan yang kecil biasanya

warna likuor masih normal (xantokhrom) sewaktu hari-hari pertama. (Satyanegara, 1998) 2. Pemeriksaan darah rutin 3. Pemeriksaan kimia darah : pada stroke akut dapat terjadi hiperglikemia. Gula darah dapat mencapai 250 mg dalajm serum dan kemudian berangsur-angsur turun kembali. (Jusuf Misbach, 1999) 4. Pemeriksaan darah lengkap : unutk mencari kelainan pada darah itu sendiri. (Linardi Widjaja, 1993). 2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1.

Perfusi jaringan Cerebral tidak efektif berhubungan dengan aliran

arteri ke cerebral terhambat ditandai dengan perubahan tingkat kesadaran, kehilangan memori, perubahan dalam respon motorik/sensorik, gelisah, perubahan tanda-tanda vital.
2.

Risiko cedera berhubungan dengan perubahan fungsi serebral Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan

sekunder akibat hipoksia jaringan. 3. (+).


4.

kesadaran ditandai dengan ketidakmampuan mengeluarkan secret, ronchi Syndrome defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan

otot sekunder akibat penyakit neurologis (stroke) ditandai dengan kelemahan otot yang berlebih, ketidakmampuan dalam melakukan hygine diri, makan, dan toileting secara mandiri.
5.

Nyeri akut berhubungan dengan pembuluh darah pada otak Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan keletihan,

tertekan ditandai dengan sakit kepala. 6. penurunan motivasi, dan nyeri ditandai dengan keterbatasan rentang gerak, penurunan kemampuan untuk bergerak dengan sengaja. 7. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan motoris otot otot bicara sekunder akibat penyakit neurologis (stroke) ditandai dengan kerusakan kemampuan untuk berbicara, berbicara tidak sesuai.

8.

Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan kesalahan

interpretasi sekunder akibat perubahan neurologis (stroke) ditandai dengan tidak akuratnya interpretasi stimulus lingkungan, perubahan negative dalam jumlah atau pola stimulus yang datang, perubahan perilaku atau pola komunikasi. 9. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kelemahan otot dan tirah baring lama.
10.

Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

berhubungan dengan disfagia sekunder akibat paralisis serebral ditandai dengan menurunnya asupan makanan, penurunan berat badan, kelemahan otot otot mengunyah, muntah proyektil, albumin menurun.
11.

Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan penurunan isyarat

kandung kemih atau gangguan kemampuan untuk mengenali isyarat kandung kemih sekunder akibat cedera cerebrovaskular (stroke) ditandai dengan inkontinensia, sering berkemih, nokturia. 3. INTERVENSI Menentukan Prioritas 1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan kesadaran ditandai dengan ketidakmampuan mengeluarkan secret, ronchi (+). 2. Perfusi jaringan Cerebral tidak efektif berhubungan dengan aliran arteri ke cerebral terhambat ditandai dengan perubahan tingkat kesadaran, kehilangan memori, perubahan dalam respon motorik/sensorik; gelisah, perubahan tanda-tanda vital. 3. Risiko cedera berhubungan dengan perubahan fungsi serebral sekunder akibat hipoksia jaringan.
4. Nyeri akut berhubungan dengan pembuluh darah pada otak tertekan

ditandai dengan sakit kepala.


5. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan

dengan disfagia

sekunder akibat paralisis serebral ditandai dengan

menurunnya asupan makanan, penurunan berat badan, kelemahan otot otot mengunyah, muntah proyektil, albumin menurun. 6. Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan kesalahan interpretasi sekunder akibat perubahan neurologis (stroke) ditandai dengan tidak akuratnya interpretasi stimulus lingkungan, perubahan negative dalam jumlah atau pola stimulus yang datang, perubahan perilaku atau pola komunikasi. 7. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan penurunan isyarat kandung kemih atau gangguan kemampuan untuk mengenali isyarat kandung kemih sekunder akibat cedera cerebrovaskular (stroke) ditandai dengan inkontinensia, sering berkemih, nokturia. 8. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan motoris otot otot bicara sekunder akibat penyakit neurologis (stroke) ditandai dengan kerusakan kemampuan untuk berbicara, berbicara tidak sesuai. 9. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan keletihan, penurunan motivasi, dan nyeri ditandai dengan keterbatasan rentang gerak, penurunan kemampuan untuk bergerak dengan sengaja. 10. Syndrome defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan otot sekunder akibat penyakit neurologis (stroke) ditandai dengan kelemahan otot yang berlebih, ketidakmampuan dalam melakukan hygine diri, makan, dan toileting secara mandiri. 11. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kelemahan otot dan tirah baring lama. Intervensi Keperawatan 1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan kesadaran ditandai dengan ketidakmampuan mengeluarkan secret, ronchi (+). Tujuan : Setelah diberikan askep selama x 24 jam, diharapkan bersihan jalan nafas efektif, dengan criteria hasil : Klien mampu batuk dan mengeluarkan sputum dengan efektif.

-Bunyi napas klien normal -Ronchi (-) -

Frekuensi, irama, dan kedalaman pernapasan normal dengan RR : Pola napas normal. Pergerakan dada simetris, bunyi napas normal.

12-20 x/menit. -

Mandiri : a. Auskultasi suara napas klien Rasional : Mengetahui suara napas klien, untuk tindakan keperawatan selanjutnya. b. Kaji status pernafasan meliputi respiratory rate, penggunaan otot bantu nafas, warna kulit. Rasional : Tachipnea, pernafasan dangkal, dan gerakan otot dada tidak simetris sering terjadi karena ketidak nyamanan gerakan dinding dada/cairan paru. c. Berikan cairan (khususnya yang hangat) sedikitnya 2500 ml/hari. Rasional : Cairan (khususnya yang hangat) dapat memobilisasi dan mencairkan sekret. d. Lakukan suction jika terdapat sekret di jalan nafas Rasional : Merangsang batuk atau pembersihan jalan nafas secara mekanik pada pasien yang tak mampu melakukan karena batuk tak efektif atau penurunan tingkat kesadaran. e. Posisikan kepala lebih tinggi Rasional : Posisi kepala yang lebih tinggi memungkinkan upaya nafas lebih dalam dan lebih kuat. Tindakan ini meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan pengeluaran secret untuk memperbaiki ventilasi. f. Bantu pasien mempelajari melakukan batuk yang efektif, misalnya menekan dada dan batuk efektif sementara posisi duduk tinggi. Rasional : Nafas dalam memudahkan ekspansi maksimum paruparu. Batuk adalah pembersihan jalan nafas alami, membantu silia

untuk mempertahankan jalan nafas paten. Penekanan menurunkan ketidaknyamanan dada dan posisi duduk memungkinkan upaya nafas lebih dalam dan lebih kuat. Kolaborasi: a. Kolaborasi dengan fisiotherapist untuk melakukan fisiotherapi dada Rasional : Memudahkan pengenceran dan pembuangan sekret. Koordinasi pengobatan/jadwal dan masukan oral menurunkan muntah karena batuk, pengeluaran sputum. b. Berikan bronkodilator, obat sesuai indikasi : mukolitik, ekspektoran, analgesik.

Rasional : Alat untuk menurunkan spasme broncus dengan mobilisasi sekret. Analgesik diberikan untuk memperbaiki batuk dengan menurunkan ketidaknyamanan tetapi harus digunakan secara hati-hati, karena dapat menekan upaya pernafasan. 2. Perfusi jaringan Cerebral tidak efektif berhubungan dengan aliran arteri ke cerebral terhambat ditandai dengan perubahan tingkat kesadaran, Tujuan : Setelah diberikan askep selama 2x24 jam diharapkan perfusi jaringan serebral adekuat, dengan out come :
-

kehilangan

memori,

perubahan

dalam

respon

motorik/sensorik; gelisah, perubahan tanda-tanda vital.

Tingkat kesadaran meningkat. Tidak ada perubahan dalam respon motorik/sensorik. TD dalam batas normal (120/80mmHg). Klien tidak gelisah. Intervensi : Mandiri 1. Tentukan faktor-faktor yang berhubungan dengan keadaan/penyebab khusus selama koma/penurunan perfusi serebral dan potensial terjadinya peningkatan TIK.

Rasional: memperbaikinya

mempengaruhi setelah fase

penetapan awal memerlukan

intervensi. tindakan

Kerusakan/kemunduran tanda/gejala neurologis atau kegagalan pembedahan dan/atau pasien harus dipindahkan ke ruang perawatan kritis (ICU) untuk melakukan pemamtauan terhadap peningkatan TIK. 2. Pantau tanda-tanda vital: a. Adanya hipertensi/hipotensi, bandingkan tekanan darah yang terbaca pada kedua lengan Rasional: hipertensi/hipotensi postural dapat menjadi faktor pencetus. b. Frekuensi dan irama jantung; auskultasi adanya murmur Rasional: Adanya bradikardi dapat terjadi sebagai akibat adanya kerusakan otak c. Catat pola dan irama dari pernapasan. Rasional: ketidakteraturan pernapasan dapat menggambarkan lokasi kerusakan serebral/peningkatan TIK dan kebutuhan untuk intervensi lainnya. 3. Evaluasi pupil, catat ukuran, bentuk, kesamaan dan reaksinya terhadap cahaya Rasional: reaksi pupil diatur oleh saraf kranial okulomotor (III) dan berguna dalam menentukan apakab batang otak masih baik. 4. Letakkan kepala dengan posisi agak ditinggikan dan dalam posisi anatomis Rasional: menurunkan tekanan arteri dengan meningkatkan drainase dan meningkatkan sirkulasi. Kolaborasi: 1. Berikan oksigen sesuai indikasi menurunka hipoksia yang dapat menyebabkan Rasional: 2.

vasodilatasi serebral dan tekanan meningkat/terbentuknya edema. Berikan obat sesuai indikasi:

a. Antikoagulasi seperti Natrium warfarin (Coumadin); heparin, antitrombosit (ASA); dipiridamol (Persantine) Rasional: dapat digunakan untuk meningkatkan / memperbaiki aliran darah serebral dan selanjutnya dapat mencegah pembekuan saat embolus/trombus merupakan faktor masalahnya. b. Antihipertensi Rasional: menurunkan tekanan darah c. Fenitoin, fenobarbital Rasional: dapat digunakan untuk mengontrol kejang dan/atau untuk aktifitas sedative. 3. Risiko cedera berhubungan dengan perubahan fungsi serebral sekunder akibat hipoksia jaringan. Tujuan: Setelah dilaksakan asuhan keperawatan selama ... x 24 jam diharapkan cidera tidak terjadi dengan kriteria hasil : Intervensi : Mandiri : a) Orientasikan pasien pada kondisi di sekelilingnya. terjadinya cidera. b) Lakukan kewaspadaan keamanan pada pasien dapat menghindarkan pasien dari kemungkinan mengalami cidera. c) Gunakan tempat tidur rendah, dengan pagar yang terpasang terpasang dapat menghindari terjatuhnya pasien dari tempat tidur. d) Gunakan matras pada lantai Rasional : Penggunaan tempat tidur yang rendah dengan pagar Rasional: Kewaspadaan Rasional : Mengetahui kondisi sekeliling membantu mencegah Tidak ada luka Pasien tidak terjatuh

Rasional : Mencegah pasien mengalami cidera dan mengantisipasi kemungkinan pasien terjatuh ke lantai.

4. Nyeri akut berhubungan dengan pembuluh darah pada otak tertekan ditandai dengan sakit kepala. Tujuan: Setelah diberikan asuhan keperawatan x24 jam diharapkan klien melaporkan nyeri berkurang/dapat terkontrol dengan outcome : Menunjukkan postur rileks Mampu tidur/istirahat dengan tepat.

Intervensi: Mandiri: 1. indikasi. Rasional: Menurunkan reaksi terhadap stimuli dari luar atau sensitivitas pada cahaya dan meningktkan istirahat atau relaksasi. 2. Tingkatkan tirah baring, bantulah kebutuhan perawatan diri yang penting. Rasional: Menurunkan gerakan yang dapat meningkatkan nyeri. 3. mata. Rasional: Meningkatkan vasokontriksi penumpulkan resepsi sensori yang selanjutnya akan menurunkan nyeri. 4. Dukung untuk menemukan posisi yang nyaman, seperti kepala agak tinggi sedikit. Rasional: Melancarkan aliran darah dalam Kranial. 5. Berikan latihan rentang gerak aktif/pasif secara tepat dan masase otot daerah leher/bahu. Rasional: Dapat membantu merelaksasikan ketegangan otot yang meningkatkan reduksi nyeri atau rasa tidak nyaman tersebut. Kolaborasi: Letakkan kantung es pada kepala, pakaian dingin di atas Berikan lingkungan yang tenang, ruangan agak gelap sesuai

1. Berikan analgetik seperti asetaminofen, kodein. Rasional: Untuk menghilangkan nyeri yang berat. 5. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

berhubungan dengan disfagia

sekunder akibat paralisis serebral

ditandai dengan menurunnya asupan makanan, penurunan berat badan, kelemahan otot otot mengunyah, muntah proyektil, albumin menurun. Tujuan : Setelah diberikan askep selama x24 jam diharapkan kebutuhan nutrisi klien adekuat dengan kriteria hasil : Klien menghabiskan 1 porsi makanan yang disediakan Berat badan klien dalam rentang normal Klien tidak tampak lemah Klien tidak muntah

Intervensi : Mandiri : a) Kaji kemampuan klien untuk mengunyah, menelan, batuk, dan mengatasi sekresi. Rasional : Faktor ini menentukan pemilihan terhadap jenis makanan sehingga pasien harus terlindungi dari aspirasi. b) Berikan makanan dalam jumlah kecil namun sering dan teratur. Rasional : Meningkatkan proses pencernaan dan toleransi klien terhadap nutrisi yang diberikan. c) Tingkatkan kenyamanan, yang disukai pasien. Rasional : Meskipun proses pemilihan klien memerlukan bantuan makan dan atau menggunakan alat bantu, sosialisasi waktu makan dengan orang terdekat dapat menormalkan fungsi makan klien. d) Sajikan makanan yang hangat pada klien. lingkungan yang santai termasuk saat sosialisasi makanan. Anjurkan orang terdekat untuk membawa makanan

Rasional : makanan yang hangat dapat menurunkan rasa mual klien sehingga meningkatkan pemasukan nutrisi. Kolaborasi: a) Konsultasi dengan ahli gizi. Rasional : Merupakan sumber yang efektif untuk mengidentifikasi kebutuhan nutrisi klien. b) Libatkan terapi wicara, terapi okupasi/fisioterapi jika masalah mekanis masih ada, seperti gangguan menelan, efek kaku rahang, kontraktur pada tangan dan paralisis. Rasional : Strategi / peralatan khusus mungkin diperlukan untuk meningkatkan kemampuan makan klien. 6. Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan kesalahan

interpretasi sekunder akibat perubahan neurologis (stroke) ditandai dengan tidak akuratnya interpretasi stimulus lingkungan, perubahan negative dalam jumlah atau pola stimulus yang datang, perubahan perilaku atau pola komunikasi. Tujuan : Setelah diberikan askep selama x24 jam diharapkan gangguan persepsi sensori teratasi dengan kriteria hasil : akuratnya interpretasi stimulus lingkungan tidak adanya perubahan negative dalam jumlah atau pola stimulus yang dating tidak adanya perubahan perilaku atau pola komunikasi Intervensi: Mandiri: a) Evaluasi / pantau secara teratur perubahan orientasi , kemampuan bicara, alam perasaan/ afektif, sensorik, dan proses piker. Rasional : Fungsi serebral bagian atas biasanya terpengaruh lebih dulu dengan adanya gangguan sirkulasi, oksigenasi.

b)

Hilangkan suara bising / stimulus yang berlebihan sesuai kebutuhan. Rasional : Menurunkan ansietas, respon emosi yang berlebihan/ bingung yang berhubungan dengan sensorik yang berlebihan.

c) Bicara dengan suara lembut dan pelan. Gunakan kalimat yang pendek dan sederhana. Pertahankan kontak mata. Rasional :. Pasien mungkin mengalami keterbatasan perhatian selama fase akut dan penyembuhan, tindakan ini dapat membantu pasien dalam memunculkan komunikasi. d) Buat jadwal istirahat yang adekuat/ periode tidur tanpa gangguan. Rasional : Mengurangi kelelahan, mencegah kejenuhan, memberikan klien kesempatan untuk tidur. e) Gunakan penerangan siang atau malam hari. Rasional :. Memberikan perasaan normal tentang pola perubahan waktu dan pola tidur/bangun. f) Berikan kesempatan lebih banyak untuk berkomunikasi dan melakukan aktivitas. Rasional : Menurunkan frustasi yang berhubungan dengan perubahan kemampuan / pola respon yang memanjang. Kolaborasi a) Rujuk pada ahli fisioterapi, terapi okupasi, terapi wicara, dan kognitif. Rasional :. Pendekatan rencana didasarkan antardisiplin atas dapat menciptakan yang / unik penatalaksanaan terintegrasi individu yang

kombinasi

kemampuan

ketidakmampuan secara

dengan berfokus pada peningkatan evaluasi dan fungsi fisik, kognitif, dan keterampilan perceptual.

7. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan penurunan isyarat kandung kemih atau gangguan kemampuan untuk mengenali isyarat kandung kemih sekunder akibat cedera cerebrovaskular (stroke) ditandai dengan inkontinensia, sering berkemih, nokturia. Tujuan : Setelah diberikan askep selama x24 jam diharapkan eliminasi urine klien tidak mengalami gangguan dengan kriteria hasil : Klien tidak mengalami inkontinensia Klien tidak mengalami nokturia Klien dapat berkemih dengan normal

Intervensi : Mandiri : a) Kaji pola berkemih seperti frekuensi dan jumlahnya. Bandingkan haluaran urine dan masukan cairan dan catat berat jenis urine. Rasional : Mengidentifikasikan fungsi kandung kemih, fungsi ginjal, dan keseimbangan cairan. b) Mulailah latihan kandung kemih jika diperlukan, contoh dengan pemberian cairan diantara beberapa jam, lakukan stimulasi digital pada tubuh yang sensitive, kontraksi otot abdomen. Rasional : Waktu dan jenis latihan kandung kemih tergantung pada jenis trauma. c) Bersihkan daerah perineum dan jaga agar tetap kering, lakukan perawatan kateter bila perlu. Rasional : Menurunkan risiko terjadinya iritasi kulit/ kerusakan kulit atau infeksi ke atas menuju ginjal. Kolaborasi : a) Jangan biarkan kandung kemih penuh. Jika awalnya memakai kateter mulai melakukan program kateterisasi secara intermiten jika diperlukan. Rasional : Kateter digunakan selama fase akut untuk mencegah retensi urine dan untuk memantau haluaran urine.

b) Berikan pengobatan sesuai indikasi, seperti vitamin dan atau antiseptic urinarius, contohnya mendelamine. Rasional : Mempertahankan lingkungan asam dan menghambat pertumbuhan bakteri. 8. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan motoris otot otot bicara sekunder akibat penyakit neurologis (stroke) ditandai dengan kerusakan kemampuan untuk berbicara, berbicara tidak sesuai. Tujuan: Setelah diberikan asuhan keperawatan selama x 24 jam diharapkan kerusakan komunikasi verbal klien dapat teratasi, dengan kriteria hasil : Menerima pesan-pesan melalui metode alternatif (mis; komunikasi tertulis, bahasa isyarat, bicara dengan jelas pada telinga yang baik). Memperlihatkan suatu peningkatan kemampuan berkomunikasi. Meningkatkan kemampuan untuk mengerti. Mengatakan penurunan frustrasi dalam berkomunikasi. Mampu berbicara yang koheren. Mampu menyusun kata kata/ kalimat.

Intervensi: Mandiri: a. Kaji tipe/derajat disfungsi, seperti pasien tidak tampak memahami kata atau mengalami kesulitan berbicara atau membuat pengertian sendiri. Rasional : Membantu menentukan daerah dan derajat kerusakan serebral yang terjadi dan kesulitan pasien dalam beberapa atau seluruh tahap proses komunikasi. Pasien mungkin mempunyai kesulitan memahami kata yang

diucapkan; mengucapkan kata-kata dengan benar; atau mengalami kerusakan pada kedua daerah tersebut. b. Bedakan antara afasia dengan disartria. Rasional : Intervensi yang dipilih tergantung pada tipe kerusakannya. Afasia adalah gangguan dalam menggunakan dan menginterpretasikan simbol-simbol bahasa dan mungkin melibatkan komponen sensorik dan/atau motorik, seperti ketidakmampuan untuk memahami tulisan/ucapan atau menulis kata, membuat tanda, berbicara. Seseorang dengan disartria dapat memahami, membaca, dan menulis bahasa tetapi mengalami kesulitan membentuk/mengucapkan kata sehubungan dengan kelemahan dan paralisis dari otot-otot daerah oral. c. Perhatikan kesalahan dalam komunikasi dan berikan umpan balik. Rasional : Pasien mungkin kehilangan kemampuan untuk memantau ucapan yang keluar dan tidak menyadari bahwa komunikasi yang diucapkannya tidak nyata. Umpan balik membantu pasien merealisasikan kenapa pemberi asuhan tidak mengerti/berespon sesuai dan memberikan kesempatan untuk mengklarifikasikan isi/makna yang gterkandung dalam ucapannya. d. Mintalah pasien untuk mengikuti perintah sederhana (seperti buka mata, tunjuk ke pintu) ulangi dengan kata/kalimat yang sederhana. Rasional : Melakukan penilaian terhadap adanya kerusakan sensorik (afasia sensorik) e. Tunjukkan objek dan minta pasien untuk menyebutkan nama benda tersebut. Rasional : Melakukan penilaian terhadap adanya kerusakan motorik (afasia motorik), seperti pasien mungkin mengenalinya tetapi tidak dapat menyebutkannya.

f. Mintalah pasien untuk mengucapkan suara sederhana seperti Sh atau Pus Rasional : Mengidentifikasikan adanya disartria sesuai komponen motorik dari bicara (seperti lidah, gerakan bibir, kontrol napas) yang dapat mempengaruhi artikulasi dan mungkin juga tidak disertai afasia motorik. g. Minta pasien untuk menulis nama dan/atau kalimat yang pendek. Jika tidak dapat menulis, mintalah pasien untuk membaca kalimat yang pendek Rasional : Menilai kemampuan menulis (agrafia) dan kekurangan dalam membaca yang benar (aleksia) yang juga merupakan bagian dari afasia sensorik dan afasia motorik. h. Tempatkan tanda pemberitahuan pada ruang perawat dan ruangan pasien tentang adanya gangguan bicara. Berikan bel khusus bila perlu. Rasional : Menghilangkan ansietas pasien sehubungan dengan ketidakmampuannya untuk berkomunikasi dan perasaan takut bahwa kebutuhan pasien tidak akan terpenuhi dengan segera. Penggunaan bel yang diaktifkan dengan tekanan minimal akan bermanfaat ketika pasien tidak dapat menggunakan system bel regular. i. Berikan metode komunikasi alternative, seperti menulis di papan tulis, gambar. Berikan petunjuk visual (gerakan tangan, gambar-gambar, daftar kebutuhan, demonstrasi). Rasional : Memberikan komunikasi tentang kebutuhan berdasarkan keadaan/deficit yang mendasarinya. j. Katakan secara langsung dengan pasien, bicara perlahan, dan dengan tenang. Gunakan pertanyaan terbuka dengan jawaban ya/tidak, selanjutnya kembangkan pada pertanyaan yang lebih kompleks sesuai dengan respons pasien. Rasional : Menurunkan kebingungan/ansietas selama proses komunikasi dan berespons pada informasi yang lebih banyak

pada satu waktu tertentu. Sebagai proses latihan kembali untuk lebih mengembangkan komunikasi lebih lanjut dan lebih kompleks akan menstimulasi memori dan dapat meningkatkan asosiasi ide/kata. k. Hargai kemampuan pasien sebelum terjadi penyakit; hindari pembicaraan yang merendahkan pada pasien atau membuat hal-hal yang menentang kebanggaan pasien. Rasional : Kemampuan pasien untuk merasakan harga diri, sebab kemampuan intelektual pasien seringkali tetap baik Kolaborasi a. Konsultasikan dengan/rujuk kepada ahli terapi wicara. 9. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan keletihan, penurunan motivasi, dan nyeri ditandai dengan keterbatasan rentang gerak, penurunan kemampuan untuk bergerak dengan sengaja. Tujuan: Setelah diberikan askep ....x 24 jam diharapkan mobilisasi klien mengalami peningkatan, dengan kriteria hasil: - mempertahankan posisi optimal, - mempertahankan/meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang terserang hemiparesis dan hemiplagia. - mempertahankan perilaku yang memungkinkan adanya aktivitas. Intervensi: Mandiri: a. Kaji kemampuan secara fungsional/luasnya kerusakan awal dan dengan cara yang teratur. Rasional : Mengidentifikasi kekuatan/kelemahan dan dapat memberikan informasi mengenai pemulihan. Bantu dalam pemilihan terhadap intervensi sebab teknik yang berbeda digunakan untuk paralisis spastik dengan flaksid.

b. Ubah posisi minimal setiap 2 jam (telentang,miring) dan sebagainya dan jika memungkinkan bisa lebih sering jika diletakkan dalam posisi bagian yang terganggu. Rasional : Menurunkan risiko terjadinya trauma/iskemia jaringan. Daerah yang terkena mengalami perburukan/sirkulasi yang lebih jelek dan menurunkan sensasii dan lebih besar menimbulkan kerusakan pada kulit/ dekubitus. c. Letakkan pada posisi telungkup satu kali atau dua kali sekali jika pasien dapat mentoleransinya. Rasional : Membantu mempertahankan akan ekstensi pinggul ansietas fungsional;tetapi kemungkinan meningkatkan

terutama mengenai kemampuan pasien untuk bernapas. d. Mulailah melakukan latihan rentang gerak aktif dan pasif pada semua ekstremitas saat masuk. Anjurkan melakukan latihan sepeti latihan quadrisep/gluteal, meremas bola karet, melebarkan jari-jari kaki/telapak. Rasional : Meminimalkan atrofi otot, meningkatkan sirkulasi, membantu mencegah kontraktur. Menurunkan risiko terjadinya hiperkalsiuria dan osteoporosis jika masalah utamanya adalah perdarahan. Catatan: Stimulasi yang berlebihan dapat menjadi pencetus adanya perdarahan berulang. e. Sokong ekstremitas dalam posisi fungsionalnya, gunakan papan kaki (foot board) seelama periode paralisis flaksid. Pertahankan posisi kepala netral. Rasional : Mencegah kontraktur/footdrop dan memfasilitasi kegunaannya jika berfungsi kembali. Paralisis flaksid dapat mengganggu kemampuannya untuk menyangga kepala, dilain pihak paralisis spastik dapat meengarah pada deviasi kepala ke salah satu sisi. f. Tempatkan bantal di bawah aksila untuk melakukan abduksi pada tangan. Rasional : Mencegah adduksi bahu dan fleksi siku.

g. Tempatkan handroll keras pada teelapak tangan dengan jari jari dan ibu jari saling berhadapan. Rasional : Alas/dasar yang keras menurunkan stimulasi fleksi jarijari, mempertahankan jari-jari dan ibu jari pada posisi normal (posisi anatomis). h. Posisikan lutut dan panggul dalam posisi ekstensi. Rasional : Mempertahankan posisi fungsional. i. Bantu untuk mengembangkan keseimbangan duduk (seperti meninggikan bagian kepala tempat tidur, bantu untuk duduk di sisi tempat tidur, biarkan pasien menggunakan kekuatan tangan untuk menyokong berta badan dan kaki yang kuat untuk memindahkan kaki yang sakit; meningkatkan waktu duduk) dan keseimbangan dalam berdiri (seperti letakkan sepatu yang datar;sokong bagian belakang bawah pasien dengan tangan sambil meletakkan lutut penolong diluar lutut pasien;bantu menggunakan alat pegangan paralel dan walker). Rasional : Membantu dalam melatih kembali jaras saraf, meningkatkan respon proprioseptik dan motorik. j. Anjurkan pasien untuk membantu pergerakan dan latihan dengan menggunakan ekstremitas yang tidak sakit untuk menyokong/ menggerakkan daerah tubuh yang mengalami kelemahan. Rasional : Mungkin diperlukan untuk menghilangkan spastisitas pada ekstremitas yang terganggu. Kolaborasi a. Konsultasikan dengan ahli fisioterapi secara aktif, latiahn resistif, dan ambualsi pasien. b. Bantulah dengan stimulasi elektrik, seperi TENS sesuai indikasi. d. Berikan obat relaksan otot, antispasmodik sesuai indikasi seperti baklofen dantrolen. 10. Syndrome defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan otot sekunder akibat penyakit neurologis (stroke) ditandai dengan

kelemahan otot yang berlebih, ketidakmampuan dalam melakukan hygine diri, makan, dan toileting secara mandiri. Tujuan : Setelah dilaksakan asuhan keperawatan selama ... x 24 jam diharapkan mengalami peningkatan perawatan diri dengan kriteria hasil : pasien mampu untuk makan sendiri, mandi sendiri dan mengenakan pakaian sendiri, Intervensi : a) Kaji faktor penyebab atau yang berperan melakukan intervensi yang tepat b) Tingkatkan partisipasi optimal pasien terlatih dalam perawatan dirinya. c) Evaluasi kemampuan untuk berpartisipasi dalam setiap aktivitas perawatan. Rasional : mengetahui sejauh mana keberhasilan pasien dalam partisipasi yang dilakukan. d) Dorong mengekspresikan menumbuhkan perasaan kesadaran tentang pasien kurang tentang perawatan diri Rasional :untuk e) pentingnya perawatan diri. Tingkatkan partisipasi optimal pasien Rasional : dengan partisipasi optimal diharapkan pasien dapat terlatih dalam perawatan dirinya. f) Hindari tingkat ketergantungan individu dengan tidak campur tangan saat pasien menunjukkan kemampuan. Rasional : dapat memberikan pasien kesempatan untuk melatih diri dalam melakukan hygine secara mandiri dan meningkatkan rasa percayadiri klien. Rasional : dengan partisipasi optimal diharapkan pasien dapat Rasional : dengan mengetahui penyebab, memudahkan untuk

11. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kelemahan otot dan tirah baring lama. Tujuan: Setelah dilaksakan asuhan keperawatan selama ... x 24 jam diharapkan kerusakan integritas kulit tidak terjadi dengan kriteria hasil : Tidak ada lesi, eritema, pruritus, abrasi ( lecet ) Tidak adanya gangguan jaringan epidermis dan dermis

Intervensi : Mandiri: 1. Dorong latihan rentang gerak pasif pada bagian ekstremitas yang mengalami Rasional : Latihan menggerakkan kepala mencegak penekanan pada area tertentu yang dapat mengakibatkan kerusakan integritas kulit. 2. Ubah posisi atau instruksikan anak untuk berbalik dan menggerakkan kepala. Rasional : Membantu mengurangi tekanan pada hanya pada area tertentu saja. 3. Amati adanya eritema dan kepucatan, dan lakukan palpasi untuk mengetahui adanya area yang hangat dan jaringan seperti spon pada setiap perubahan posisi. Rasional : Eritema, kepucatan dapat mengindikasikan adanya kerusakan integritas kulit.

5. EVALUASI No. Dx 1. Diagnosa Keperawatan Bersihan jalan nafas Evaluasi

tidak Bersihan jalan nafas efektif : - Klien mampu batuk dan mengeluarkan sputum dengan efektif.
- Bunyi napas klien normal

efektif berhubungan dengan penurunan kesadaran ditandai dengan ketidakmampuan mengeluarkan secret, ronchi

- Ronchi (-)

(+).

- Frekuensi,

irama,

dan

kedalaman

pernapasan normal dengan RR : 1220x/menit. - Pola napas normal. - Pergerakan dada simetris, bunyi napas 2. Gangguan perfusi normal. jaringan Tercapainya perfusi jaringan serebral

serebral berhubungan dengan adekuat : peningkatan TIK.


- Tingkat kesadaran meningkat.

- Klien tidak sakit kepala.


- TD

dalam

batas

normal

(120/80

mmHg). 3. Risiko dengan serebral 4. cedera berhubungan fungsi akibat - Klien tidak gelisah. Cidera tidak terjadi dengan kriteria hasil : - Tidak ada luka - Pasien tidak terjatuh Nyeri berkurang/dapat terkontrol dengan outcome : - Menunjukkan postur rileks - Mampu tidur/istirahat dengan tepat. Kebutuhan nutrisi klien adekuat dengan kriteria hasil : - Klien menghabiskan 1 porsi makanan yang disediakan - Berat badan klien dalam rentang normal - Klien tidak tampak lemah - Klien tidak muntah

perubahan sekunder

hipoksia jaringan. Nyeri akut berhubungan dengan pembuluh darah pada otak tertekan ditandai dengan sakit

5.

kepala. Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan disfagia sekunder serebral penurunan kelemahan akibat ditandai berat otot paralisis dengan badan, otot

menurunnya asupan makanan,

mengunyah, muntah proyektil, 6. albumin menurun. Gangguan persepsi interpretasi sekunder sensori akibat Gangguan persepsi sensori teratasi dengan kriteria hasil : - akuratnya interpretasi stimulus

berhubungan dengan kesalahan

perubahan neurologis (stroke) ditandai lingkungan, dengan tidak perubahan akuratnya interpretasi stimulus negative dalam jumlah atau pola stimulus yang datang, perubahan perilaku atau pola 7. komunikasi. Gangguan eliminasi berhubungan penurunan kemih isyarat sekunder isyarat atau kandung akibat urine dengan kandung gangguan kemih cedera (stroke)

lingkungan - tidak adanya perubahan negative dalam jumlah atau pola stimulus yang dating - tidak adanya perubahan perilaku atau pola komunikasi

Eliminasi urine klien tidak mengalami gangguan dengan kriteria hasil : - Klien inkontinensia - Klien tidak mengalami nokturia - Klien normal dapat berkemih dengan tidak mengalami

kemampuan untuk mengenali

cerebrovaskular

ditandai dengan inkontinensia, 8. sering berkemih, nokturia. Hambatan komunikasi verbal berhubungan bicara ditandai sekunder dengan dengan akibat kerusakan kerusakan motoris otot otot penyakit neurologis (stroke) kemampuan untuk berbicara, berbicara tidak sesuai. Kerusakan komunikasi verbal klien dapat teratasi: - Menerima pesan-pesan melalui metode alternatif (mis; komunikasi tertulis, bahasa isyarat, bicara dengan jelas pada telinga yang baik). - Memperlihatkan - Meningkatkan mengerti. - Mengatakan penurunan frustrasi dalam berkomunikasi. - Mampu berbicara yang koheren. 9. Hambatan mobilitas - Mampu menyusun kata kata/ kalimat. fisik Mobilisasi klien mengalami peningkatan, suatu peningkatan untuk kemampuan berkomunikasi. kemampuan

berhubungan dengan keletihan, dengan kriteria hasil: penurunan motivasi, dan nyeri ditandai dengan keterbatasan rentang gerak, untuk penurunan bergerak diri dengan otot ditandai sekunder neurologis dengan dalam kemampuan - mempertahankan posisi optimal, - mempertahankan/meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang terserang hemiparesis dan hemiplagia. mempertahankan perilaku yang memungkinkan adanya aktivitas. Peningkatan perawatan diri dengan kriteria hasil : pasien mampu untuk makan sendiri, mandi sendiri dan mengenakan pakaian sendiri

dengan sengaja. 10. Defisit kelemahan akibat (stroke) perawatan

berhubungan penyakit

kelemahan otot yang berlebih, ketidakmampuan melakukan hygine diri, makan, 11. dan toileting secara mandiri. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan otot dan dengan tirah kelemahan baring lama. Kerusakan integritas kulit tidak

terjadi dengan kriteria hasil : Tidak ada lesi, eritema, Tidak adanya gangguan pruritus, abrasi (lecet) jaringan epidermis dan dermis.

Anda mungkin juga menyukai