Anda di halaman 1dari 2

UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ANTROPOLOGI PROGRAM PASCASARJANA Nama NPM : Enos

H. Rumansara : 8903710052 KORERI DALAM GERAKAN PERLAWANAN PAPUA MERDEKA : KAJIAN KASUS MENGENAI GERAKAN PERSEKUTUAN DOA FARKANKIN SANDIK DI BIAK, PAPUA [vii, 223 halaman, Bibliografi : 108, 5 Jurnal, 2 skripsi dan Thesis, 4 makalah, dan 2 internet )

ABSTRAK Kajian ini mengikuti rentetan gerakan perlawanan yang terjadi dalam kebudayaan orang Biak-Papua mulai dari gerakan Koreri (1938) yang melawan pengaruh asing terutama ajaran agama Kristen Protestan, sistem pemerintahan Belanda dan Jepang yang kemudian mengalami proses hingga tahun 1960-an muncul gerakan perlawanan Papua Merdeka dan pada tahun 1980-an muncul gerakan kelompok-kelompok Doa sebagai reaksi terhadap dominasi kekuasaan pemerintah pusat di Biak - Papua. Fokus kajiannya pada gerakan kelompok Doa Farkankin Sandik yang secara diam-diam melakukan kegiatannya dalam kebudayaan orang Biak dan kemudian muncul kepermukaan pada Era Reformasi (1998) sebagai bentuk perlawanan terhadap strategi dan kebijakan pemerintah pusat selama ini yang mengutamakan kepentingan pusat dan mengorbankan mereka. Kondisi sosial, ekonomi dan politik yang dialaminya mendorong mereka melakukan gerakan perlawanan yang dikenal dengan gerakan perlawanan Papua Merdeka termasuk kelompok doa Farkankin Sandik yang ikut berjuang untuk kebebasan orang Biak-Papua dari dominasi kekuasaan pemerintah pusat. Tujuan perlawanan mereka adalah ingin bebas dari strategi kebijakan pembangunan pemerintah pusat yang dianggap tidak adil bagi mereka, terutama pendekatan keamanan yang dikenal dengan militerisme di Papua yang merugikan orang Biak-Papua. Ingin bebas dari praktekpraktek kekuasaan yang dialaminya berupa pemaksaan, perampasan, penyiksaan, penangkapan, penahanan, pembunuhan, ketidakadilan dan pelanggaran HAM di Biak Tanah Papua yang membuat mereka kecewa, merasa tidak berdaya dan jatuh miskin. Penelitian ini merupakan penelitian antropologi yang bertujuan : (1) menggambarkan dan menganalisis Koreri sebagai dasar kekuatan dalam rentetan gerakan perlawanan terhadap dominasi kekuasaan di Biak-Papua, (2) menggambarkan hubungan antara gerakan kelompok doa Farkankin Sandik dengan gerakan perlawanan Papua Merdeka di Biak-Papua, terutama karakteristik dasar perlawanan yang terkait dengan arena dan bentuk-bentuk perlawanannya, (3) Menggambarkan hubungan antara gerakan kelompok doa Farkankin Sandik dengan agama Kristen Protestan di Biak-Papua terkait dengan ajaran dan organisasinya, serta pandangan orang Biak terhadap gerakan kelompok doa Farkankin Sandik di Biak. Pendekatan yang digunakan dalam kajian ini adalah pendekatan Kualitatif, sedangkan metode atau teknik pengumpulan data yang digunakan adalah metode 1

pengamatan terlibat ( participant observation ) sebagai utama dan metode pengumpulan data lain seperti ; pengamatan biasa, wawancara, dukumen dan gambar visual menjadi satu dalam proses pengumpulan data. Kelompok doa Farkankin Sandik bersifat singkretisme sehingga mendapat tantangan dari Gereja Kristen Injili di tanah Papua. Analis data menggunakan teori perlawanan yang dikemukakan James Scott (1985) dan Abu-Lughod (1990) disimpulkan bahwa janji Manarmakeri tentang Kembalinya Koreri Kankondo Mob Oser bagi orang Biak menjadi dasar ideologi gerakan perlawanan mulai dari gerakan Koreri (1938), gerakan perlawanan Papua Merdeka (1960-an) hingga gerakan kelompok doa Farkankin Sandik yang saat ini menjalankan kegiatannya sebagai kegiatan penantian tentang penggenapan janji tokoh mitologi mereka tentang Koreri Kan Kondo Mob Oser yang identik dengan kemerdekaan orang Papua. Dari kegiatan dalam kelompok doa tersebut ditemukan delapan arena atau bentuk perlawanan, yaitu : melalui wahyu yang diterima konoor, renungan khotbah, doa, syair nyanyian, himbauan dan kesaksian pada selebaran, simbol pada motif ukiran dan pemberian nama pada anak dalam keluarga dan fasilitas umum. Semua ini memberikan harapan, mengingatkan, menyampaikan permasalahan yang dihadapi dan bagaimana mengatasinya, mengisahkan perjuangan mereka, menyampaikan perlakuan yang tidak adil, menyampaikan kekerasan yang dilakukan militer, mengangkat harga diri, caci-maki, menyampaikan kekecewaan, serta ajakan untuk bersatu dalam melakukan perlawanan. Delapan arena atau bentuk perlawanan yang dikemukakan di atas merupakan senjata orang Biak-Papua untuk berontak (dalam skala kecil) melawan domonasi kekuasaan pemerintah pusat.

Anda mungkin juga menyukai