Anda di halaman 1dari 58

Infark Miokard Akut Definisi Infark miokard akut (IMA) adalah nekrosis miokard akibat gangguan aliran darah

ke otot jantung. ManifestasiKlinis Nyeri dada serupa dengan angina tetapi lebih intensif dan menetap (lebih dari 30 menit), tidak sepenuhnya menghilang dengan istirahat ataupun pemberian nitrogliserin, sering disertai nausea, berkeringat, dan sangat menakutkan pasien. Pada pemeriksaan fisik didapatkan muka pucat, takikardi, dan bunyi jantung III (bila disertai gagal jantung kongestif). Distensi vena jugularis umumnya terdapat pada infark ventrikel kanan. Komplikasi Perluasan infark dan iskemia pasca infark, aritmia (sinus bradikardi, supraventrikular takiaritmia, aritmia ventrikular, gangguan konduksi), disfungsi otot jantung (gagal jantung kiri, hipotensi, dan syok), infark ventrikel kanan, defek mekanik, ruptur miokard, aneurisma ventrikel kiri, perikarditis, dan trombus mural. Diagnosis Pada EKG terdapat elevasi segmen ST diikuti dengan perubahan sampai inversi gelombang T, kemudian muncul peningkatan gelombang Q minimal di dua sadapan. Peningkatan kadar enzim atau isoenzim merupakan indikator spesifik infark miokard akut, yaitu kreatinin fosfoskinase (CPK/CK), SGOT, laktat dehidrogenase (LDH), alfa hidroksi butirat dehidrogenase (a-HBDH), troponin T, dan isoenzim CPK MP atau CKMB. CK meningkat dalam 4-8 jam kemudian kembali normal setelah 48-72 jam. Tetapi enzim ini tidak spesifik karena dapat disebabkan penyakit lain, seperti penyakit muskular, hipotiroid, dan strok. CKMB lebih spesifik terutama bila rasio CKMB : CK > 2,5% namun nilai kedua-duanya harus meningkat dan penilaian di secara serial dalam 24 jam pertama. CKMB mencapai puncak 20 jam setelah infark. Yang lebih sensitif adalah penilaian rasio CKMB2 : CKMB1 yang mencapai puncak 4-6 jam setelah kejadian. CKMB2 adalah enzim CKMB dari miokard, yang kemudian diproses oleh enzim karboksipeptidase menghasilkan isomernya, CKMB1. Dicurigai bila rasionya > 1,5, SGOT meningkat dalam 12 jam pertama, sedangkan LDH dalam 24 jam pertama. Cardiac specific troponin T (cTnT) dan Cardiac specific troponin I (cTnI) memiliki struktur asam amino berbeda dengan yang dihasilkan oleh otot rangka. Enzim cTnT tetap tinggi dalam 7- 10 hari, sedangkan cTnI dalam 10-14 hari.

Reaksi nonspesifik berupa leukositosis polimorfonuklear (PMN) mencapai 12.000-15.000 dalam beberapa jam dan bertahan 3-7 hari. Peningkatan LED terjadi lebih lambat, mencapai puncaknya dalam 1 minggu, dan dapat bertahan 1-2 minggu.

Pemeriksaan radiologi berguna bila ditemukan adanya bendungan paru (gagal jantung) atau kardiomegali. Dengan ekokardiografi 2 dimensi dapat ditentukan daerah luas infark miokard akut fungsi pompa jantung serta komplikasi.

Penatalaksanaan 1. Istirahat total. 2. Diet makanan lunak/saring serta rendah garam (bila ada gagal jantung). 3. Pasang infus dekstrosa 5% untuk persiapan pemberian obat intravena. 4. Atasi nyeri: a. Morfin 2,5-5 mg iv atau petidin 25-50 mg im, bisa diulang-ulang b. Lain-lain: nitrat antagonis kalsium, dan beta bloker 5. Oksigen 2-4 liter/menit. 6. Sedatif sedang seperti diazepam 3-4 x 2-5 mg per oral. Pada insomniadapat ditambah flurazepam 1530 mg. 7. Antikoagulan: a. Heparin 20.000-40.000 U/24 jam iv tiap 4-6 jam atau drip iv dilakukan atas indikasi b. Diteruskan asetakumarol atau warfarin 8. Streptokinase/trombolisis Pengobatan ditujukan untuk sedapat mungkin memperbaiki kembali aliran pembuluh darah koroner. Bila ada tenaga terlatih, trombolisis dapat diberikan sebelum dibawa ke rumah sakit. Dengan trombolisis, kematian dapat diturunkan sebesar 40%.

Tindakan pra rumah sakit 1. Sebagai obat penghilang rasa sakit dan penenang diberikan morfin 2,5-5 mg atau petidin 25-50 mg iv perlahan-lahan. Hati-hati pada penggunaan morfin pada IMA inferior karena dapat menimbulkan bradikardi dan hipotensi, terutama pada pasien asma bronkial dan usia tua. Sebagai penenang dapat diberikan diazepam 5 10 mg.

2. Diberikan infus dekstrosa 5% atau NaCl 0,9% dan oksigen 2-4 l/menit. Pasien dapat dibawa ke rumah sakit yang memiliki fasilitas ICCU. Bila ada tenaga terlatih beserta fasilitas konsultasi (EKG transtelfonik/tele-EKG) trombolisis dapat dilakukan. Pantau dan obati aritmia maligna yang timbul. Tindakan perawatan di rumah sakit Pasien dimasukkan ke ICCU atau ruang rawat dengan fasilitas penanganan aritmia (monitor). Lakukan tindakan di atas bila belum dikerjakan. Ambil darah untuk pemeriksaan darah rutin, gula darah, BUN, kreatinin, CK, CKMB, SGPT, LDH, dan elektrolit terutama K+ serum. Pemeriksaan pembekuan meliputi trombosit, waktu perdarahan, waktu pembekuan, Prothrombin Time (PT), danActivated Partial Thromboplastin Time (APTT). Pemantauan irama jantung dilakukan sampai kondisi stabil. Rekaman EKG dapat diulangi setiap hari selama 72 jam pertama infark.

Nitrat sublingual atau transdermal digunakan untuk mengatasi angina, sedangkan nitrat iv diberikan bila sakit iskemia berulang atau berkepanjangan. Bila masih ada rasa sakit dapat diberikan morfin sulfat 2,5 mg iv dan dapat diulangi setiap 5-30 menit, atau petidin HCl 25-50 mg iv dapat diulangi tiap 5-30 menit sampai rasa sakit hilang. Selama 8 jam pasien dipuasakan dan selanjutnya diberi makanan cair atau lunak dalam 24 jam pertama lalu dilanjutkan dengan makanan lunak. Laksan diberikan untuk mencegah konstipasi. Pengobatan trombolitik Obat trombolitik yaitu streptokinase, urokinase, aktivator plasminogen jaringan yang dikombinasi, disebut recombinant TPA (r-TPA), dan anisolylated plasminogen activator complex (ASPAC). Yang terdapat di Indonesia hanya streptokinase dan r-TPA. Recombinant TPA bekerja lebih spesifik pada fibrin dibandingkan streptokinase dan waktu paruhnya lebih pendek. Obat ini menyebabkan penyulit berupa perdarahan otak sedikit lebih tinggi dibandingkan streptokinase. Streptokinase dapat menyebabkan reaksi alergi dan hipotensi sehingga tidak boleh diulangi bila dalam 1 tahun sebelumnya telah diberikan, atau pasien dalam keadaan syok.

Indikasi trombolitik adalah pasien berusia di bawah 70 tahun nyeri dada dalam 12 jam, elevasi ST > 1 mm pada sekurang-kurangnya 2 sadapan. RecombinantTPA sebaiknya diberikan pada infark miokard kurang dari 6 jam (window time).

Kontraindikasi trombolitik adalah perdarahan organ dalam, diseksi aorta, resusitasi jantung paru yang traumatik dan berkepanjangan, trauma kepala yang baru atau adanya neoplasma intrakranial, retinopati diabetik hemoragik, kehamilan, tekanan darah di atas 200/120 mmHg, serta riwayat perdarahan otak. Sebelum pemberian trombolitik diberikan Aspirin 160 mg untuk dikunyah. Streptokinase diberikan dengan dosis 1,5 juta unit dalam 100 ml NaCl 0,9% selama 1 jam. Dosis r-TPA adalah 100 mg dalam 3

jam dengan cara 10 mg diberikan dulu bolus iv lalu 50 mg dalam infus selama 1 jam, dan sisanya diselesaikan dalam 2 jam berikutnya. Penelitian GUSTO (1993) menunjukkan, pemberian 15 mg r-TPA secara bolus diikuti dengan 0,75 mg/kg BB dalam jam dan sisanya 0,5 mg/kg BB dalarn 1 jam memberikan hasil lebih baik. Dosis maksimum 100 mg. Heparin diberikan setelah streptokinase bila terdapat infark luas, tanda-tandagagal jantung, atau bila diperkirakan pasien akan dirawat lama. Bila diberikan r-TPA, heparin diberikan bersama-sama sejak awal. Cara pemberian heparin adalah bolus 5.000 unit iv dilanjutkan dengan infus kurang lebih 1.000 unit perjam selama 4-5 hari dengan menyesuaikan APTT 1,5-2 kali nilai normal.

Prognosis Tiga faktor penting yang menentukan indeks prognosis, yaitu potensi terjadinya aritmia yang gawat, potensi serangan iskemia lebih jauh, dan potensi pemburukan gangguan hemodinamik lebih jauh. Elektrokardiografi Definisi Elektrokardiografi (EKG) adalah pencatatan potential bioelektrik yang dipancarkan jantung melalui elektroda-elektroda yang diletakkan pada posisi di permukaan tubuh. Sadapan Terdapat dua jenis sadapan pada EKG: 1. Sadapan bipolar: merupakan beda potential antara dua elektroda. Terdiri dari: EKG

o Sadapan I: berasal dari elektroda lengan kanan (Right Arm, RA) yang berkutub negatif dengan elektroda lengan kiri (Left Arm, LA) yang berkutub positif. o Sadapan II: berasal dari elektroda lengan kanan yang berkutub negatif dengan elektroda tungkai kiri (Left Leg, LL) yang berkutub positif o Sadapan III: berasal dari elektroda lengan kiri yang berkutub negatif dengan elektroda tungkai kiri (Left Leg, LL) yang berkutub positif 2. Sadapan unipolar: merupakan beda potensial antara satu elektroda aktif dan satu elektroda indiferen (potensial = 0). Terdiri dari: a. Sadapan ekstremitas unipolar. Sadapan ini meliputi: o aVR (augmented Voltage Right Arm). Elektroda (+) pada RA, elektroda (-) gabungan LL dan LA o aVL (augmented Voltage Left Arm). Elektroda (+) pada LA, elektroda (-) gabungan LL dan RA o aVF (augmented Voltage Foot). Elektroda (+) pada LL, elektroda (-) gabungan RA dan LA b. Sadapan prekordial

PemeriksaanEKG 1. Persiapan alat-alat yang dibutuhkan a. Elektrokardiografi dengan perlengkapannya: o Elektroda untuk pergelangan tangan dan kaki o Elektroda isap prekordial o Kabel untuk penghubung ke pasien dan kabel penghubung ke tanah(grounding) o Sumber listrik b. Kapas dan alkohol c. Tempat tidur pasien. Perhatikan bahwa tempat tidur tidak bersentuhan dengan dinding yang mengandung kabel beraliran listrik. d. Jeli atau pasta elektrolit. 2. Persiapan pasien a. Pasien disuruh berbaring terlentang di tempat tidur. Idealnya pasien dalam keadaan santai, tidak terlalu kenyang atau pun lapar. b. Kulit di kedua pergelangan tangan dan kaki dibersihkan dengan kapas beralkohol. 3. Persiapan ruangan a. Suasana tempat pemeriksaan sebaiknya sejuk, tenang dan nyaman. b. Alat-alat listrik yang ada dalam ruangan dapat mengganggu pemeriksaan. 4. Oleskan keempat elektroda pergelangan anggota gerak dan elektroda prekordial dengan jeli yang mengandung elektrolit secara merata dan pasanglah elektroda sesuai ketentuan yang berlaku. 5. Hubungkan kabel penghubung ke pasien dengan elektroda sebagai berikut: a. Umumnya kabel bertanda garis merah (RA, right arm) dihubungkan dengan elektroda di pergelangan lengan kanan.

b. Umumnya kabel bertanda garis kuning (LA, left arm) dihubungkan dengan elektroda di pergelangan tangan kiri. c. Umumnya kabel bertanda garis hijau (LL, left leg) dihubungkan dengan elektroda di pergelangan kaki kiri. d. Umumnya kabel bertanda garis hitam (RL, right leg) dihubungkan dengan elektroda di pergelangan kaki kanan. e. Kabel C1 -C6 dihubungkan dengan elektroda isap di V1 -V6. 6. Pencatatan EKG a. Mulailah dengan penetapan kecepatan (standar 25 mm/detik) dan peneraan kepekaan alat. b. Atur standar amplitudo pada 1 mV untuk semua sadapan, dan posisi tinta EKG di tengah-tengah kertas. c. Dengan menekan tombol yang sesuai, dicatat secara berturut-turut: o Sadapan standar Einthoven: I, II, III o Sadapan augmented extremity leads: aVR, aVL, dan aVF o Sadapan prekordial: V1 -V6 d. Bila terdapat perubahan amplitudo, tera alat untuk amplitudo yang diinginkan sehingga menunjukkan amplitudo yang seharusnya sebelum dimulai perekaman. e. Setiap sadapan dicatat 3-5 siklus. f. Apabila terdapat aritmia, dibuat rekaman pada sadapan II sepanjang 1 menit. g. Periksa kembali hasil pencatatan. h. Tera kembali 1 mV. i. Cantumkan identitas (nama dan umur) serta waktu pemeriksaan (tanggal dan jam) pada kertas EKG. 7. Setelah selesai pencatatan, tara kembali alat. Bersihkan pasta yang menempel, lepas semua elektroda yang terpasang, dan matikan sumber listrik Interpretasi Hasil EKG

Interpretasi hasil EKG tidak dapat dilepaskan dari keadaan klinis pasien. Berikut disampaikan interpretasi sederhana dan cepat. Beberapa kelainan EKG ditulis pada topik yang sesuai. A. Satuan dalam Grafik EKG GambarElektrokardiogram B. Sistematika 1. Irama (Rhythm) Tentukan irama sinus atau bukan. Irama sinus ditandai oleh adanya gelombang P yang diikuti oleh kompleks QRS. P di aVR biasanya negatif dan P di aVF positif a. Irama sinus Frekuensi atrium dan ventrikel yang sama dan teratur; gelombang P normal dan interval PR yang normal pula. o Sinus bradikardi irama sinus, frekuensi < 60. o Sinus takikardi irama sinus, frekuensi > 100. o Sinus aritmia irama sinus dengan variasi frekuensi, biasanya berhubungan dengan pernapasan. Frekuensi meningkat dengan inspirasi dan melambat dengan ekspirasi. 2. Laju QRS (frekuensi). Laju QRS berkisar antara 60-l00 kali/menit. Bila kurang dari 60 kali/menit disebut bradikardi, lebih dari 100 kali/menit disebut takikardi. Cara menghitung laju QRS (dalam satuan kali/menit) Frekuensi = 300/2 jumlah kotak besar = 1.500/kotak kecil = jumlah gelombang QRS dalam 30 kotak besar dikalikan 10. 3. Tentukan aksis EKG. Periksa kompleks QRS misalnya di I dan aVF. Aksis normal berkisar antara -30 derajat sampai +110 derajat. Lebih dari -30 derajat disebut deviasi aksis kiri (Left Axis Deviation, LAD), lebih dari +110 derajat disebut deviasi aksis kanan(Right Axis Deviation, RAD), dan bila lebih dari +180 derajat disebut aksis superior. 4. Periksa gelombang P. Gelombang P tegak (positif) di sadapan I, II, aVF, V2-6; terbalik di aVR; mungkin tegak, bifasik, atau terbalik (negatif) di III, aVL dan V 1.

5. Periksa gelombang Q a. Gelombang q kecil biasanya terlihat di sadapan I, II, aVF dan V4-6. Durasinya < 0,03 detik dan tinggi/dalam/amplitudo tidak lebih dari 25% tinggi gelombang R dalam satu kompleks QRS. Gelombang Q dalam ukuran bervariasi normal di sadapan aVR. b. Gelombang Q besar yaitu durasi 0,04 detik atau 25% lebih besar dari gelombang R dapat terlihat di III sendiri. Tidak dapat diambil kesimpulan dari hanya penemuan itu sendiri. Bila gelombang Q abnormal ditemukan juga di aVF, disamping pada sadapan III, bermakna untuk diagnosis. c. Gelombang Q besar di aVL dapat saja normal. Tidak dapat diambil kesimpulan dari hanya penemuan itu sendiri. Gelombang Q yang abnormal ditemukan disadapan I atau prekordial adalah diagnostik. d. Kompleks QS (seluruhnya negatif) seringkali normal di V1 dan kadang-kadang di V2. 6. Periksa gelombang R Gelombang R merupakan gelombang yang dominan (terbesar) di sadapan I dan V4-6. Gelombang ini merupakan gelombang di sadapan I, II dan aVF pada posisi jantung vertikal dan di sadapan I dan aVL pada posisi jantung horizontal. Gelombang r kecil di V1 dan membesar secara progresif di sadapan V2-4. 7. Periksa gelombang S Gelombang S merupakan gelombang yang dominan di sadapan V1-3. Gelombang ini menjadi kecil secara progresif mulai dari V3-6. Gelombang S mungkin ditemukan di sadapan I, II dan selalu lebih kecil daripada gelombang R pada masing-masing sadapan. Gelombang S merupakan gelombang yang dominan di sadapan III dan aVF pada posisi jantung horizontal dan di sadapan aVL poda posisi jantung vertikal. Gelombang ini dominan di aVR. 8. Periksa gelombang T Gelombang T tegak di I, II, aVF dan V2-6 dan di aVR. Gelornbang itu mungkin tegak, bifasik, atau di III, aVL dan V1. 9. Periksa gelombang U Gelombang U seringkali tidak terlihat. Apabila terlihat, gelombang ini merupakan gelombang defleksi tegak yang kecil dengan amplitudo rendah dibandingkan gelombang T pada sadapan yang sama. Gelombang ini biasanya terlihat di sadapan V2-4.

10. Periksa interval PR. Interval ini diukur dari awal gelombang P sampai ke awal gelombang q (atau gelombang R jika q tidak ditemukan). Normal 0,12-0,20 detik. Lebih dari 0,2 detik disebut blok AV derajat I. 11. Periksa interval QRS. Bila lebih dari 0,1 detik harus dicari apakah ada Right Bundle Branch Block (RBBB), Left Bundle Branch Block (LBBB) atau ventrikel ekstrasistolik. (Lihat kriteria RBBB, LBBB dan ventrikel ekstrasistolik). 12. Periksa segmen ST Pengukuran dimulai dari akhir kompleks QRS sampai awal gelombang T. Biasanya isoelektrik. Segmen ini dapat meningkat sampai 1 mm atau turun sampai 0,5 mm. Varian Normal EKG Ada beberapa faktor tertentu yang mempengaruhi gambaran normal, namun perubahan tersebut masih dalam variasi normal. Faktor-faktor tersebut adalah: A. Pernapasan Pada pernapasan kadang terlihat tendensi deviasi jantung ke kiri pada sadapan III. Gelombang Q pada hantaran III sering muncul dalam dan lebar, dapat dihilangkan dengan bernapas dalam. B. Bentuk tubuh Pada tubuh yang kurus sering dijumpai deviasi jantung ke kanan, karena letak diafragma yang rendah. Gelombang P pada hantaran II, III, dan aVF tampak lebih besar. Sebaliknya pada orang yang gemuk, hamil, atau asites (diafragma terangkat ke atas), sering ditemukan deviasi jantung ke kiri. C. Makan Gambaran EKG segera setelah makan sering menunjukkan gelombang T yang mendatar atau sedikit terbalik pada hantaran ekstremitas dan prekordial V2-V5. Hal ini terutama tampak pada anak-anak. D. Kerja fisik Pengaruh kerja fisik adalah meningkatkan aktivitas simpatis. Frekuensi denyut jantung meningkat, tampak gambaran sinus takikardi pada EKG. Selain itu dapat ditemukan amplitudo gelombang P di hantaran II, III, aVF yang meningkat, interval RR, PR, dan QT memendek sesuai dengan peningkatan frekuensi detak jantung, deviasi jantung ke kanan, dan gelombang T yang mendatar di hampir semua hantaran. Gambaran serupa dapat ditemukan pasien hipertiroid dan emosi yang meningkat.

E. Usia Frekuensi denyut jantung anak jauh lebih besar dibanding orang dewasa (usia 1 tahun 130-140 kali/menit, usia 6-9 tahun 100 kali/menit) sehingga semua interval akan memendek. Pada bayi baru lahir sering dijumpai deviasi ke kanan. Dengan meningkatnya usia, sumbu jantung bergeser menjadi vertikal danintermediate. Di atas usia 40 tahun jantung berdeviasi ke kiri, dan di atas usia 70 tahun sumbu listrik berputar ke arah posterosuperior, nilai interval memanjang, amplitudo QRS dan gelombang T mengecil atau mendatar.

Hipertensi Definisi Hipertensi adalah tekanan darah sistolik = 140 mmHg dan tekanan darah diastolik = 90 mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi. Etiologi Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi dua golongan, yaitu: 1. Hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya, disebut juga hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 95% kasus. Banyak faktor yang mempengaruhinya seperti genetik, lingkungan, hiperaktivitas susunan saraf simpatis, sistem renin-angiotensin, defek dalam ekskresi Na, peningkatan Na dan Ca intraselular, dan faktor-faktor yang meningkatkan risiko, sepertiobesitas, alkohol, merokok, serta polisitemia. 2. Hipertensi sekunder atau hipertensi renal. Terdapat sekitar 5% kasus. Penyebab spesifiknya diketahui seperti penggunaan estrogen. Penyakit ginjal, hipertensi vaskular renal, hiperaldosteronisme primer, dan sindrom Cushing, feokromositoma, koarktasio aorta, hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan, dan lain-lain. Manifestasi Klinis Peninggian tekanan darah kadang-kadang merupakan satu-satunya gejala. Bila demikian, gejala baru muncul setelah terjadi komplikasi pada ginjal, mata, otak, atau jantung. Gejala lain yang sering ditemukan adalah sakit kepala, epistaksis, marah, telinga berdengung, rasa berat di tengkuk, sukar tidur, mata berkunang-kunang, dan pusing. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium rutin yang dilakukan sebelum memulai tetapi bertujuan menentukan adanya kerusakan organ dan faktor risiko lain atau mencari penyebab hipertensi. Biasanya diperiksa urinalisa, darah perifer lengkap, kimia darah (kalium, natrium, kreatinin, gula darah, puasa, kolesterol total, kolesterol HDL), dan EKG. Sebagai tambahan dapat dilakukan pemeriksaan lain, seperti klirens kreatinin protein urin 24 jam, asam urat, kolesterol LDL, TSH, dan elektrokardiografi.

Diagnosis Diagnosis hipertensi tidak dapat ditegakkan dalam satu kali pengukuran, hanya dapat ditetapkan setelah setelah dua kali atau lebih pengukuran pada kunjungan yang berbeda, kecuali terdapat kenaikan yang tinggi atau gejala-gejala klinis. Pengukuran tekanan darah dilakukan dalam keadaan pasien duduk bersandar, setelah beristirahat selama 5 menit, dengan ukuran pembungkus lengan yang sesuai (menutupi 80% lengan). Tensimeter dengan air raksa masih tetap dianggap alat pengukur yang terbaik. Anamnesis yang dilakukan meliputi tingkat hipertensi dan lama menderitanya, riwayat dan gejala penyakit-penyakit yang berkaitan seperti penyakit jantung koroner, gagal jantung, penyakit serebrovaskular, dan lainnya. Apakah terdapat riwayat penyakit dalam keluarga, gejala-gejala yang berkaitan dengan penyebab hipertensi, perubahan aktivitas/kebiasaan (seperti merokok), konsumsi makanan, riwayat obat-obatan bebas, hasil dan efek samping terapi antihipertensi sebelumnya bila ada, dan faktor psikososial lingkungan (keluarga, pekerjaan, dan sebagainya). Dalam pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran tekanan darah dua kali atau lebih dengan jarak 2 menit, kemudian diperiksa ulang pada lengan kontralateral. Dikaji perbandingan berat badan dan tinggi pasien. Kemudian dilakukan pemeriksaan funduskopi untuk mengetahui adanya retinopati hipertensif, pemeriksaan leher untuk mencari bising karotid, pembesaran vena, atau kelenjar tiroid. Dicari tandatanda gangguan irama dan denyut jantung, pembesaran ukuran, bising, derap, dan bunyi jantung ketiga atau empat. Paru diperiksa untuk mencari ronki dan bronkospasme. Pemeriksaan abdomen dilakukan untuk mencari adanya massa, pembesaran ginjal, dan pulsasi aorta yang abnormal. Pada ekstremitas dapat ditemukan pulsasi arteri perifer yang menghilang, edema, dan bising. Dilakukan juga pemeriksaan neurologi. Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) memilih klasifikasi sesuai WHO/ISH karena sederhana dan memenuhi kebutuhan, tidak bertentangan dengan strategi terapi, tidak meragukan karena memiliki sebaran luas dan tidak rumit, serta terdapat pula unsur sistolik yang juga penting dalam penentuan. Hipertensi sistolik terisolasi adalah hipertensi dengan tekanan sistolik sama atau lebih dari 160 mmHg, tetapi tekanan diastolik kurang dari 90%. Keadaan ini berbahaya dan memiliki peranan sama dengan hipertensi diastolik, sehingga harus diterapi.

Klasifikasi pengukuran tekanan darah berdasarkan The Sixth Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure, 1997. Catatan: Pasien tidak sedang sakit atau minum obat antihipertensi. Jika tekanan sistolik dan diastolik berada dalam kategori yang berbeda, masukkan dalam kategori yang lebih tinggi.

Penatalaksanaan

Tujuan deteksi dan penatalaksanaan hipertensi adalah menurunkan risiko penyakit kardiovaskular dan mortalitas serta morbiditas yang berkaitan. Tujuan terapi adalah mencapai dan mernpertahankan tekanan sistolik di bawah 140 mmHg dan tekanan diastolik di bawah 90 mmHg dan mengontrol faktor risiko. Hal ini dapat dicapai melalui modifikasi gaya hidup saja, atau dengan obat antihipertensi. Kelompok risiko dikategorikan menjadi: A. Pasien dengan tekanan darah perbatasan, atau tingkat 1, 2, atau 3, tanpa gejala penyakit kardiovaskular, kerusakan organ, atau faktor risiko lainnya. Bila dengan modifikasi gaya hidup tekanan darah belum dapat diturunkan, maka harus diberikan obat antihipertensi. B. Pasien tanpa penyakit kardiovaskular atau kerusakan organ lainnya, tapi memiliki satu atau lebih faktor risiko yang tertera di atas, namun bukandiabetes melitus. Jika terdapat beberapa faktor maka harus langsung diberikan obat antihipertensi. C. Pasien dengan gejala klinis penyakit kardiovaskular atau kerusakan organ yang jelas. Faktor risiko: usia lebih dari 60 tahun, merokok, dislipidemia, diabetes melitus, jenis kelamin (pria dan wanita menopause), riwayat penyakit kardiovaskular dalam keluarga. Kerusakan organ atau penyakit kardiovaskular: penyakit jantung(hipertrofi ventrikel kiri, infark miokard, angina pektoris, gagal jantung, riwayat revaskularisasi koroner, strok, transient ischemic attack,nefropati, penyakit arteri perifer), dan retinopati.

Modifikasi gaya hidup cukup efektif, dapat menurunkan risiko kardiovaskular dengan biaya sedikit, dan risiko minimal. Tata laksana ini tetap dianjurkan meski harus disertai obat antihipertensi karena dapat menurunkan jumlah dan dosis obat. Langkah-langkah yang dianjurkan untuk: o Menurunkan berat badan bila terdapat kelebihan (indeks massa tubuh > 27). o Membatasi alkohol. o Meningkatkan aktivitas fisik aerobik (30-45 menit/hari). o Mengurangi asupan natrium (< 100 mmol Na/2,4 g Na/6 g NaCl/hari). o Mempertahankan asupan kalium yang adekuat (90 mmol/hari). o Mempertahankan asupan kalsium dan magnesium yang adekuat.

o Berhenti merokok dan mengurangi asupan lemak jenuh dan kolesterol dalam makanan. Penatalaksanaan dengan obat antihipertensi bagi sebagian besar pasien dimulai dengan dosis rendah kemudian ditingkatkan secara titrasi sesuai dengan umur, kebutuhan dan usia. Terapi yang optimal harus efektif selama 24 jam, dan lebih disukai dalam dosis tunggal karena kepatuhan lebih baik, lebih murah, dapat mengontrol hipertensi terus-menerus dan lancar, dan melindungi pasien terhadap berbagai risiko dari kematian mendadak, serangan jantung, atau strokakibat peningkatan tekanan darah mendadak saat bangun tidur. Sekarang terdapat pula obat yang berisi kombinasi dosis rendah dua obat dari golongan yang berbeda. Kombinasi ini terbukti memberikan efektivitas tambahan dan mengurangi efek samping. Setelah diputuskan untuk memakai obat antihipertensi dan bila tidak terdapat indikasi untuk memilih golongan obat tertentu, diberikan diuretik atau beta bloker. Jika respons tidak baik dengan dosis penuh, dilanjutkan sesuai algoritma. Diuretik biasanya menjadi tambahan karena dapat meningkatkan efek obat yang lain. Jika tambahan obat kedua dapat mengontrol tekanan darah dengan baik minimal setelah 1 tahun, dapat dicoba menghentikan obat pertama melalui penurunan dosis secara perlahan dan progresif Pada beberapa pasien mungkin dapat dimulai terapi dengan lebih dari satu obat secara langsung. Pasien dengan tekanan darah > 200/> 120 mmHg harus diberikan terapi dengan segera dan jika terdapat gejala kerusakan organ harus dirawat di rumah sakit.

Syok Kardiogenik Definisi Syok kardiogenik adalah ketidakmampuan jantung mengalirkan cukup darah ke jaringan memenuhi kebutuhan membolisme basal akibat gangguan fungsi pompa jantung. Definisi klinis mencakup curah jantung yang buruk dan bukti adanya hipoksia dengan adanya volume intravaskular yang cukup. Syok terjadi jika kerusakan otot jantung lebih dari 40% dan kematiannya lebih dari 80%.

untuk di sini darah angka

Bila dibandingkan dengan pasien infark miokard akut yang tidak mengalami syok, maka pasien yang mengalami syok biasanya berumur lebih tua, lebih sering mengalami infark miokard di anterior, seringkali dengan riwayat infark sebelumnya, dan lebih sering pada mereka yang mempunyai riwayat angina atau riwayat gagal jantung kongestif. Etiologi 1. Gangguan ventricular ejection o Infark miokard akut o Miokarditis akut o Komplikasi mekanik

Regurgitasi mitral akut akibat ruptur atau disfungsi otot papilaris Ruptur septuin interventrikulorum Ruptur free wall Aneurisma ventrikel kiri Stenosis aorta yang berat Kardiomiopati Kontusio miokard 2. Gangguan ventricular filling o Tamponade jantung o Stenosis mitral o Miksoma pada atrium kiri o Trombus ball valve pada atrium o Infark ventrikel kanan Faktor Pencetus 1. Iskemia atau infark miokard 2. Anemia: takikardi atau bradikardi 3. Infeksi: endokarditis, miokarditis, atau infeksi di luar jantung 4. Emboli paru. 5. Kelebihan cairan atau garam 6. Obat penekan miokard seperti penghambat 7. Lain-lain: kehamilan, tirotoksikosis, anemia, stres (fisik atau emosi), hipertensi akut. Manifestasi Klinis

Bila tersedia monitor hemodinamik, maka diagnosis ditegakkan dengan adanya kombinasi dari tekanan darah sistolik yang rendah (< 90 mmHg atau 30 mmHg di bawah darah basal), peningkatan arteriovenous oxygen difference (> 5,5 ml/dl), penurunan indeks jantung (< 2,2 l/menit/m2 luas permukaan tubuh), dan adanya peningkatan PCWP (> 15 mmHg). Perlu diketahui, kemampuan individu mengadakan toleransi terhadap perfusi jaringan yang buruk lebih bergantung pada akut tidaknya penyakit, sehingga pada beberapa pasien dengan penyakit katup atau miokard yang kronik didapatkan kriteria di atas tetapi mereka masih dapat berobat jalan.

Pada sebagian besar pasien syok kardiogenik, didapatkan sindrom klinis yang terdiri dari hipotensi seperti yang disebut di atas; tanda-tanda perfusi jaringan yang buruk, yaitu oliguria (urin < 30 ml/jam), sianosis ektremitas dingin, perubahan mental, serta menetapnya syok setelah dilakukan koreksi terhadap faktor-faktor nonmiokardial yang turut berperan memperburuk perfusi jaringan dan disfungsi miokard, yaitu hipovolemia, aritmia, hipoksia, dan asidosis. Frekuensi napas meningkat, frekuensi nadi biasanya > 100 x/menit bila tidak ada blok AV. Sering kali didapatkan tanda-tanda bendungan paru dan bunyi jantung yang sangat lemah walaupun bunyi jantung III seringkali dapat terdengar. Pasien dengan disfungsi katup akut dapat memperlihatkan adanya bising akibat regurgitasi aorta atau mitral. Pulsus paradoksus dapat terjadi akibat adanya tamponade jantung akut. Kriteria syok kardiogenik menurut Scheidt dkk (1973), adalah tekanan sistolik arteri < 80 mmHg (pengukuran intraarteri), produksi urin < 20 ml/hari atau gangguan status mental, tekanan pengisian ventrikel kiri > 12 mmHg, serta tekanan vena sentral > 10 mmH2O (menyingkirkan kemungkinan hipovolemia). Keadaan ini disertai manifestasi gelisah, keringat dingin, akral dingin, dan takikardi.

Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan foto toraks biasanya menunjukkan jantung normal atau membesar disertai tanda-tanda edema paru. Pada infark ventrikel kanan, didapatkan gambaran foto toraks normal. Pada sebagian besar kasus syok kardiogenik didapatkan tanda-tanda infark miokard akut, dengan atau tanpa gelombang Q. Amplitudo gelombang QRS yang rendah dapat ditemukan pada keadaan efusi perikardial dengan tanda-tandatamponade jantung. Pada infark ventrikel kanan, dapat ditemukan adanya gambaran elevasi segmen ST pada sadapan V4R. Pemeriksaan EKG pada syok kardiogenik akibat infark miokard akut menunjukkan tanda-tanda hipokinetik yang nyata dari ventrikel kiri yang difus atau segmental. Pemeriksaan ini juga penting untuk mengetahui adanya efusi perikardial, kelainan katup, dan adanya ruptur septum interventrikel. Sebelum ada kateter Swan-Ganz, monitor hemodinamik diperoleh dengan pemasangan CVP dengan nilai normal 4-8 cmH2O. Sebelum dapat mengukur PCWP, CVP digunakan untuk mengukur tekanan atrium kiri dan tekanan vena pulmonalis dengan anggapan tekanan ini akan dihantarkan tanpa mengalami perubahan ke arteri pulmonalis, jantung kanan, dan vena sentral. Dengan kateter Swan-Ganz, dapat

diukur tekanan darah jantung kanan, tekanan darah arteri pulmonalis, PCWP, curah jantung, dan tekanan parsial O2 dari mixed venous atau tekanan saturasi O2 dari mixed venous. Pasien dengan keadaan hemodinamik tidak stabil tidak dapat dinilai secara klinis, sehingga kemampuan kateter ini merupakan prosedur yang penting. Secara umum kateter ini sebaiknya digunakan bila analisis hemodinamik yang akurat tidak dapat diperoleh secara noninvasif

Bila penyebab edema paru hanya karena tekanan hidrostatik yang meningkat, maka nilai PCWP mempunyai korelasi yang baik dengan gambaran foto toraks. Bila PCWP < 18 mmHg, edema paru belum terjadi. Edema paru mulai terjadi bila PCWP 18-25 mmHg. Bila PCWP > 25 mmHg, maka gambaran edema paru akan jelas terlihat pada foto toraks. Umumnya didapatkan korelasi yang baik antara PCWP dengan tekanan atrium kiri dan tekanan pengisian ventrikel kiri (left ventricle end diastolic pressure,LVEDP), sehingga dapat digunakan sebagai pedoman terapi. Tetapi perubahan LVEDP (dan juga PCWP) tidak dapat menunjukkan secara akurat perubahanpreload ventrikel kiri. Kadar asam laktat darah arteri merupakan cara tidak langsung untuk mengetahui adanya perfusi jaringan yang tidak adekuat. Kadar normal adalah < 1,5 mEq/1 (5-15 mg/100 ml). Bila asarn laktat meningkat sampai > 8 mEq/1 pada pasien infark miokard akut, maka mortalitasnya 90% atau lebih. Pada pasien yang mengalami syok, pengukuran tekanan darah dengan sfigmomanometer seringkali tidak akurat, sehingga pengukuran memerlukan penggunaan kateter intraarteri. Tekanan darah intraarteri diperoleh dengan menggunakan indwelling catheter yang dimasukan secara retrograd melalui arteri brakialis atau arteri femoralis sampai ke aorta sentralis. Curah jantung ditentukan besarnya dengan menggunakan metode Fick, metodedye dilution, atau metode hemodilusi. Pengukuran aliran darah splanknikus akan berguna dalam monitoring hemodinarnik pasien. Karena tidak mungkin dilakukan secara langsung, maka dapat digunakan pengukuran diuresis tiap jam. Penatalaksanaan Semua pasien syok kardiogenik akibat infark miokard akut sebaiknya dikirim segera ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas untuk kateterisasi, angioplasti, dan operasi kardiovaskular. Tindakan resusitasi dan suportif harus segera diberikan bersamaan pada saat evaluasi diagnosis. 1. Pastikan jalan napas tetap adekuat, bila tidak sadar sebaiknya dilakukan intubasi. 2. Berikan oksigen 8- 15 liter/menit dengan menggunakan masker untuk mempertahankan PO2 70-120 mmHg. 3. Rasa nyeri akibat infark akut yang dapat memperberat syok yang ada harus diatasi dengan pemberian morfin.

4. Koreksi hipoksia, gangguan elektrolit, dan keseimbangan asam basa yang terjadi. 5. Bila terdapat takiaritmia, harus segera diatasi: o Takiaritmia supraventrikular dan fibrilasi atrium dapat diatasi dengan pemberian digitalis. o Sinus bradikardi dengan frekuensi jantung < 50 x/menit harus diatasi dengan pemberian sulfas atropin. 6. Pastikan tekanan pengisian ventrikel kiri adekuat. Prioritas pertama dalam penanganan syok kardiogenik adalah pemberian cairan yang adekuat secara parenteral dengan menggunakan pedoman dasar PCWP atau pulmonary artery end diastolic pressure (PAEDP) atau CVP. Jenis cairan yang digunakan tergantung keadaan klinisnya, tetapi dianjurkan untuk memakai cairan salin isotonik. Intravenous fluid tolerance test merupakan suatu cara sederhana untuk menentukan apakah pemberian cairan infus bermanfaat dalam penanganan syok kardiogenik. Caranya: o Bila PCWP atau PAEDP < 15 mmHg (atau CVP < 12 cmH2O), sulit untuk mengatakan adanya pump failure dan sebelum penanganan lebih lanjut, volume cairan intravaskular harus ditingkatkan hingga LVEDP mencapai 18 mmHg. Pada keadaan ini, diberikan initial test volume sebanyak 100 ml cairan melalui infus dalam waktu 5 menit. Bila ada respons, berupa peningkatan tekanan darah, peningkatan diuresis, perbaikan syok secara klinis, tanda-tanda kongesti paru tidak ada atau tidak semakin berat dan bila PCWP atau PAEDP tidak berubah atau tidak meningkat > 2 mmHg di atas nilai awal (atau jika CVP tetap atau tidak meningkat > 2-3 mmHg di atas nilai awal), maka diberikan cairan tambahan sebanyak 200 ml dalam waktu 10 menit. o Bila selanjutnya PCWP atau PAEDP tetap stabil atau tidak meningkat > 2 mmHg atau tidak melebihi 16 mmHg (atau jika CVP tetap < 15 cmH2O), tekanan darah tetap stabil atau meningkat, atau tanda-tanda kongesti paru tidak timbul atau semakin bertambah, maka infus dilanjutkan dengan memberikan cairan 500-1.000 ml/jam sampai tekanan darah dan gejala klinis syok lain menghilang. Periksa PCWP atau PAEDP (atau CVP), tekanan darah, dan paru setiap 15 menit. Diharapkan PCWP atau PAEDP akan meningkat sampai 15-18 mmHg (atau CVP meningkat sampai15 cmH2O). o Jika pada awal pemeriksaan didapatkan nilai PCWP atau PAEDP antara 15-18 mmHg (atau nilai CVP awal 12-18 cmH2O), maka diberikan infus cairan 100 ml dalam waktu 10 menit. Pemberian cairan selanjutnya tergantung dari peningkatan PCWP atau PAEDP (atau CVP), perubahan tekanan darah, dan ada tidaknya gejala klinis kongesti paru. o Jika nilai PCWP atau PAEDP pada awalnya 20 mmHg atau lebih (atau jika nilai awal CVP 20 cmH 2O atau lebih), maka tidak boleh dilakuken tes toleransi cairan intravena, dan pengobatan dimulai dengan pemberian vasodilator. o Jika PCWP atau PAEDP menunjukkan nilai yang (< 5 mmHg), atau jika nilai CVP < 5 cmH 2O, infus cairan dapat diberikan walaupun didapatkan edema paru akut. o Jika pasien menunjukkan adanya edema paru dengan nilai PCWP atau PAEDP yang rendah dan dalam penanganan dengan pemberian infus cairan menyebabkan peningkatan kongesti paru serta perburukan keadaan maka keadaan klinis, maka infus cairan harus dihentikan dan keadaan pasien dievaluasi kembali.

7. Pada pasien dengan perfusi jaringan yang tidak adekuat dan volume intravaskular yang adekuat harus dicari kemungkinan adanya tamponade jantung sebelum pemberian obat-obat inotropik atau vasopresor dimulai. Tamponade jantung akibat infark miokard memerlukan tindakan volume expansion untuk mempertahankan preload yang adekuat dan dilakukan perikardiosentesis segera. 8. Penanganan pump failure dibagi berdasarkan subset hemodinamik dan pasien dapat berpindah dari satu subset ke subset lainnya dan memerlukan perubahan dalam regimen terapi. o Subset 1: LVEDP > 15 mmHg, tekanan sistolik arteri > 100 mmHg, dan indeks jantung < 2,5 liter/menit/m2. Keadaan ini menunjukkan adanya gagal jantung kiri dengan tekanan arteri cukup tinggi, sehingga pengurangan afterloaddilakukan sebagai terapi pertama. Ada dua vasodilator yang sering digunakan, yaitu nitrogliserin dan nitroprusid. Pada waktu pemberian nitroprusid harus dilakukan monitor terhadap tekanan darah dan tekanan pengisian ventrikel kiri. Pemberian nitropusid di mulai dengan dosis 0,4 mg/kg BB/menit (dosis awal jangan lebih dari 10 mg/menit), kemudian dosis ditingkatkan 5 mg/menit setiap 10 menit sampai tercapai efek hemodinamik yang diinginkan. Bila curah jantung meningkat dan gejala syok berkurang, maka terapi diteruskan. Bila tekanan darah menurun, terjadi takikardi, dan bila peningkatan curah jantung tidak mencukupi maka ditambahkan dobutamin dengan dosis awal 5 mg/kg BB/menit dan ditingkatkan sampai maksimal 15 mg/ kg BB/menit. Bila tekanan darah menurun lebih cepat, maka dobutamin diganti dengan doparnin. Pemberian nitrogliserin mempunyai peranan lebih kecil dalam penanganan syok kardiogenik ringan. Terutama diberikan bila proses iskemia masih berlangsung dan didapatkan adanya kongesti paru yang berat. Nitrogliserin diberikan dengan dosis awal 5 mg/menit dan ditingkatkan 5 mg/menit setiap 10 menit. Bila ada perbaikan gejala syok dan pump failure, maka nitrogliserin dilanjutkan selama 24-28 jam. Bila tekanan darah menurun dengan tekananpreload yang tinggi, maka dosis nitrogliserin diturunkan dan ditambahkan dobutamin dengan dosis 2-5 mg/kg BB/menit. Bila tekanan darah lebih cepat menurun, maka dobutamin diganti dengan dopamin. Selama periode ini, pemasangan intraaortic ballon pump (IABP)counterpulsation harus dipertimbangkan, karena hanya dengan tindakan ini aliran darah koroner dapat ditingkatkan, dan secara bersamaan kerja ventrikel kiri dapat dikurangi. Bila hemodinamik pasien sudah stabil dan tanda-tanda kongesti paru masih tetap, maka pemberian diuretik secara perlahan dapat dipertimbangkan. o Subset 2: Tekanan arteri sistolik < 90 mmHg, LVEDP > 15 mmHg, dan indeks jantung < 2,5 liter/menit/m2. Keadaan ini menunjukkan tanda klasik adanya syok akibat hipotensi pada pasien infark miokard akut, di mana tim ballonperlu digerakkan dan sarana untuk kateterisasi harus dipersiapkan untuk menerima pasien ini. Jika pasien dalam keadaan hipotensi berat, norepinefrin merupakan pilihan utama dengan dosis 2-15 mg/menit sampai tekanan darah sistolik mencapai 80-90 mmHg, kemudian diusahakan untuk mengganti dengan dopamin. Jika tekanan darah sistolik 70-90 mmHg, dopamin dapat digunakan untuk terapi awal dengan dosis 515 mg/kg BB/menit. Bila untuk mempertahankan tekanan darah diperlukan dosis dopamin hingga 20-30 mg/kg BB/menit, di mana efek utamanya merangsang adrenergik perifer, lebih baik digunakan norepinefrin.

Bila tekanan darah pasien sudah stabil, maka terapi selanjutnya yang terbaik adalah dobutamin yang dapat diberikan bersama-sama dopamin untuk mengurangi kebutuhan dosis dopamin. Dobutamin tidak dapat digunakan secara tunggal pada pasien dengan hipotensi berat. o Subset 3: Infark ventrikel kanan, peningkatan tekanan diastolik atrium kanan dan ventrikel kanan (> 10 mmHg), indeks jantung < 2,5 liter/menit/m2, tekanan sistolik < 100 mmHg, LVEDP normal atau meningkat. Pasien dalam keadaan ini sangat sensitif terhadap kekurangan volume cairan dan sering menunjukkan respons dengan terapi cairan. Prinsip terapi: tekanan pengisian ventrikel kanan harus ditingkatkan dengan pemberian cairan secara cepat sampai tekanan darah stabil, tekanan pengisian ventrikel kiri > 20 mmHg, atau tekanan atrium kanan > 20 mmHg. Pemakaian vasodilator dan diuretik harus dihindarkan dan pada keadaan ini pemberian dobutamin lebih dianjurkan daripada dopamin. Jika dengan terapi cairan dan obat inotropik tidak ada perubahan, maka dianjurkan pemasangan IABP counterpulsation. 9. Penggunaan trombolitik pada awal terapi infark miokard akan mengurangi jumlah miokard yang mengalami nekrosis, sehingga insidens sindrom syok kardiogenik akan berkurang. 10. Sementara menunggu uji yang membandingkan angioplasti dan terapi medis, saat ini dianggap bahwa angioplasti direk lebih superior daripada terapi suportif semata-mata maupun terapi trombolitik. Keberhasilan percutaneus transluminal coronary angioplasty (PTCA) terutama bila dilakukan pada 24 jam pertama setelah timbulnya gejala syok kardiogenik, pada pasien berusia < 65 tahun, dan dengan single-vessel disease. Kegagalan PTCA terutama dikaitkan dengan usia pasien yang lanjut (>70 tahun) dan riwayat infark sebelumnya.

11. Harapan hidup jangka panjang yang mengecewakan dari penanganan syok kardiogenik akibat infark miokard dengan terapi medis telah mendorong dilakukannya tindakan bedah revaskularisasi dini pada pasien yang telah stabil dengan terapi farmakologis dan IABP. Guyton menyimpulkan bahwa coronaryartery bypass surgery (CABS) merupakan terapi pilihan pada semua pasien syok kardiogenik akibat infark miokard, kecuali pada kelompok oktogenarian. CABS juga dianjurkan pada pasien yang mengalami kegagalan dengan tindakan angioplasti. Tindakan operasi dilakukan apabila didapatkan adanya kontraksi dari segrnen yang tidak mengalami infark dengan pembuluh darah yang stenosis. Bedah revaskularisasi sebaiknya tidak dilakukan pada pasien oktogenarian, pasien dengan LVEDP > 24 mmHg, skor kontraktilitas ventrikel kiri > 13, dan adanya kerusakan pada organ sistemik yang ireversibel. Pada pasien dengan kerusakan mekanik, misalnya robeknya otot papilaris, robeknyaseptum interventrikel, maka tindakan operasi akan efektif terutama bila revaskularisasi juga dapat dilaksanakan. 12. Pada pasien syok kardiogenik dengan disfungsi miokard akibat kerusakan miokard ireversibel, mungkin diperlukan tindakan transplantasi.

Syok Septik Definisi Syok septik adalah suatu kegagalan sirkulasi perifer dengan perfusi jaringan yang tidak adekuat akibat septikemia. Syok akibat sepsis merupakan penyakit yang amat kompleks. Syok septik merupakan sindrom yang mengenai jantung, sistem vaskular, dan hampir semua organ. Etiologi Dapat disebabkan oleh berbagai jenis mikroorganisme dan sejumlah besar mediator berperan dalam patogenesisnya. Umumnya disebabkan kuman Gram negatif. Insidensnya meningkat, antara lain karena pemberian antibiotik yang berlebihan, meningkatnya penggunaan obat sitotoksik dan imunosupresif, meningkatnya frekuensi penggunaan alat-alat invasif seperti kateter intravaskular, meningkatnya jumlah pasien penyakit rentan infeksi yang dapat hidup lama, serta meningkatuya infeksi yang disebabkan organisme yang resisten terhadap antibiotik. Tempat infeksi yang tersering adalah saluran kemih, saluran napas, dan saluran cerna. Kulit dan luka juga merupakan sumber infeksi. Patogenesis Sumber infeksi (pneumonitis, peritonitis, selulitis, dll) menyebabkan kuman masuk aliran darah. Mikroorganisme ini menghasilkan berbagai macam mediator berupa toksin eksogen, yaitu eksotoksin, endotoksin, dan komponen struktur keganasan. Mediator yang berasal dari tubuh sendiri berupa mediator endogen, yaitu sitokinase, interleukin 1-6, faktor tumor nekrosis, faktor aktivasi trombosit, metabolit asam arakidonat; sistem pertahanan humoral, yaitu komplemen, kinin, dan koagulasi; serta lain-lain seperti Myocardial depressant substance (MDS), endorfin, dan histamin. Mediator-mediator ini dapat menimbulkan perubahan hemodinamik karena dapat menimbulkan efek terhadap jantung dan pembuluh darah. Mediator ini dapat menyebabkan kultur kuman Gram negatif menjadi negatif di samping akibat pengeluaran kuman yang secara intermiten dari sumber infeksi. Manifestasi Klinis Reaksi sistemik terhadap sumber infeksi ditandai dengan demam atau hipotermia, takikardi, dan takipnea. Hipotermia sering terlihat pada pasien tua dengan kondisi lemah. Bila keadaan di atas berhubungan dengan bukti hipoperfusi organ dan manifestasi gangguan fungsi serebral, hipoksemia, oliguria, atau asidosis laktat, pasien disimpulkan mendapat sindrom sepsis. Gejala klinis dapat dibagi dalam 3 kelompok yang praktis dan berguna pada tatalaksana pasien syok septik, yaitu: 1. Tekanan darah. Secara klinis, untuk menghasilkan aliran darah yang adekuat pada sirkulasi koroner dan serebral, tekanan darah harus di atas nilai tertentu, yaitu tekanan arteri rata-rata (mean arterial pressure, MAP) 60 mmHg atau tekanan arteri sistolik 90 mmHg. 2. Tanda-tanda gangguan perfusi organ/jaringan yang terkena, yaitu:

o Kulit: dingin dan sianosis. o Ginjal: produksi urin menurun dan mungkin mengarah ke gagal ginjal. o Hati: mungkin menyebabkan hiperbilirubinemia. o Otak: kekacauan/kebingungan dan bila menetap dapat menyebabkan koma. o Paru: menimbulkan gejala sindrom gawat napas dewasa. Bila mengenai multi organ dapat menimbulkan asidosis metabolik oleh asam laktat yang tertumpuk dalam darah. Peningkatan kadar asam laktat darah merupakan tanda buruk. 3. Tanda/gejala infeksi sistemik serius yang mendasari terjadinya syok septik yaitu tanda klinis sepsis berat (demam, menggigil, lesu, mual, muntah), dan pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis dengan pergeseran ke kiri, kadang trombositopenia atau neutropenia.

Gejala dan Tanda Kilnis Umum o Demam, menggigil, nyeri otot o Takikardi o Takipnea (alkalosis respiratorik), hipoksemia o Proteinuria o Leukositosis (pargeseran ke kiri, granula toksik), eosinopenia o Hipoferemia, iritabilitas, lemah, fungsi hati abnormal ringan, hiperglikemia pada DM. Jarang atau hanya terlihat pada sepsis yang berat o Hipotermia, syok

o Asidosis laktat, sindrom gagal napas dewasa, azotemia, oliguria, leukopenia, reaksi leukemoid, trombositopenia, KID, anemia, koma, stupor, perdarahan saluran cerna bagian atas berlebihan, hipoglikemia. Penatalaksanaan Diagnosis dini syok septik sangat menentukan karena pengobatan akan lebih efektif pada tahap awal syok. Pasien harus mendapat terapi yang optimal dan harus dirawat di ruang rawat intensif, sehingga dapat diberikan pengobatan yang lebih agresif dengan pemantauan hemodinamik yang ketat. Pengobatan terdiri dari: 1. Pemberian regimen antibiotik spektrum luas tanpa menunggu hasil pemeriksaan biakan dan uji resistensi kuman. Pemberian sebaiknya sesuai dengan pola kuman di masing-masing rumah sakit. Biasanya digunakan 2-3 macam kombinasi antibiotik agar dapat menjangkau segala infeksi kuman patogen. Penelitian terbaru menyatakan bahwa pengobatan tahap awal syok septik adalah menggunakan sefalosporin generasi ketiga. Kombinasi aminoglikosid dengan penisilin yang diperluas (tikarsillin, karbenisilin, dll) dapat mengobati infeksi Pseudomonas aeruginosa. Pada 48-72 jam pertama syok septik, antibiotik yang digunakan dapat membunuh kuman sampai steril, tetapi efek lain yang dapat ditimbulkannya adalah meningkatnya produksi endotoksin lebih banyak, sehingga syok septik menjadi lebih berat. 2. Terapi cairan untuk memperbaiki konsumsi oksigen menggunakan cairan kristaloid (NaCl, Ringer laktat) atau koloid. Plasma ekspander dan albumin diperlukan bila Ht kurang dari 30 vol% dan kadar albumin serum kurang dan 2 g%. Dalam pemberian infus cairan, tidak boleh melebihi 18 mmHg pada monitor PAWP atau 12-14 cmH2O pada CVP. Teknik pemberian: o Infus dekstrosa 5% dalam salin 10-20 ml/menit selama 10-15 menit. o Jika CVP/PAWP tidak meningkat sampai 5 cmH2O atau 2 mmHg, maka pemberian cairan diteruskan o Bila setelah pemberian cairan PAWP sudah mencapai 18 mmHg dan pasien tetap hipotensif, sebaiknya dimulai terapi dopamin (vasopresor) dosis rendah 3. Dopamin diberikan bila sudah tercapai target terapi cairan, yaitu MAP 60 mmHg atau tekanan sistolik 90-110 mmHg. Dosis awal adalah 2-5 mg/kg BB/menit. Bila dosis ini gagal meningkatkan MAP sesuai target, maka dosis dapat ditingkatkan sampai 20 mg/kg BB/menit. Bila masih gagal, dosis dopamin dikembalikan pada 2-5 mg/kg BB/menit, tetapi dikombinasi dengan levarterenol (norepinefrin). Bila kombinasi kedua vasokonstriktor masih gagal, berarti prognosisnya buruk sekali. Dapat juga diganti dengan vasopresor lain (fenilefrin atau epinefrin). 4. Kortikosteroid. Pengobatan ini masih kontroversial. Berdasarkan beberapa penelitian, deksametason merupakan kortikosteroid yang memiliki indeks terapetik tertinggi.

5. Imunoglobulin. Pemberian HA-1A Human monoclonal antibody sebaiknya dipertimbangkan pada pasien sepsis yang penyebabnya dicurigai bakteri Gram negatif, terutama pada sumber infeksi saluran cerna dan saluran kemih yang sering disebabkan kuman Gram negatif. 6. Memperbaiki asidosis metabolik dengan natrium bikarbonat sampai pH normal dan memperbaiki gangguan elektrolit dengan pemberian elektrolit. 7. Memperbaiki hipoksia dengan pemberian oksigen tetap. Bila timbul sindrom gagal napas dewasa, maka diperlukan ventilator, dan bila PO2 turun terus secara progresif, maka dilakukan PEEP (positive end expiratory pressure). Pada saat pemasangan PEEP, saturasi O2 darah vena perlu diperhatikan karena PEEP dapat menyebabkan hipotensi bertambah berat, pengangkutan O2 berkurang, dan risiko terjadinya barotrauma meningkat. 8. Memperbaiki hiperglikemia atau hipoglikemia. 9. Memperbaiki azotemia dan oliguria karena nekrosis tubular akut akibat hipotensi, kekurangan cairan, penggunaan aminoglikosid, dan sepsis sesuai penyebabnya tersebut. 10. Bila terjadi pembekuan intravaskular meluas (KID), pengobatan dilakukan cukup dengan mengobati penyakit dasarnya saja. KID diterapi bila menimbulkan gejala yang nyata. Heparin berguna bila terjadi komplikasi trombosis dan perdarahan. Manifestasi Terapi Demam, menggigil, nyeri otot Antipiretik, selimut pendingin, ganti cairan Hipotensi Dopamin Hipoksemia Pamberian oksigen Gagal napas Ventilasi mekanik (PEEP, steroid) Asam metabolik Pemberian natrium bikarbonat Azotemia, oliguria Penanganan cairan dan elektrolit, mengurangi dosis obat-obat yang dikeluarkan ginjal Trombositopenia Transfusi trombosit dan/atau sel darah merah jika terjadi perdarahan aktif

Pembekuan intravaskular meluas (KID) Sesuai terapi dasarnya, transfusi sel darah merah bila terdapat perdarahan aktif Perdarahan saluran cerna Bilas lambung, transfusi sel darah merah bila perlu, antasid/antagonis reseptor H2 Hipergikemia Pemberian insulin Hipoglikemia Infus dekstrosa 10% konstan Selama pengobatan, dilakukan pemantauan hemodinamik, yaitu: o Pemasangan monitor EKG. o Pemasangan kateter arteri/vena untuk mengukur keseimbangan cairan. o Pemasangan kateter urin untuk mengukur jumlah urin. o Pemasangan manset untuk mengukur tekanan darah. o Pemeriksaan analisis gas darah, elektrolit, asam laktat, uji pembekuan darah untuk menilai fungsi metabolik. o Pemeriksaan serial fungsi ginjal dan hati. o Pemasangan infus cairan, O2, dan bila diperlukan oksigen agresif dapat dipasang PEEP.

Syok Hipovolemik Etiologi a. Perdarahan (syok hemoragik), misalnya akibat trauma. b. Kehilangan plasma, misalnya akibat luka bakar peritonitis. c. Kehilangan air dan elektrolit, misalnya pada muntah dan diare. Penyebab yang paling umum adalah perdarahan mukosa saluran cerna dantrauma berat. Penyebab perdarahan terselubung, antara lain traumaabdomen dengan ruptur aneurisma aorta, ruptur limpa, ileus obstruktif, dan peritonitis.

Manifestasi Klinis Volume cairan intravaskular yang berkurang bersama-sama dengan penurunan tekanan vena sentral, hipotensi arterial, dan peningkatan vaskular sistemik. Respons jantung yang umum berupa takikardi. Gejala yang ditimbulkan bergantung pada tingkat kegawatan syok. Penatalaksanaan 1. Perdarahan akut o Pasang 2 jalur infus intravena. Berikan 1-2 liter kristaloid, seperti NaCl 0,9% atau Ringer laktat (RL), atau koloid, seperti dekstran secara iv dalam 30-60 menit, pantau kemungkinan terjadinya edema paru. Pada orang dewasa, cairan garam berimbang (RL) dapat diberikan sebanyak 2-3 liter selama 20-30 menit untuk memulihkan tekanan darah, tekanan vena sentral, dan diuresis. o Berikan packed red cell (PRC) bila diperlukan hingga Ht > 30%. Beri l-2 unitfresh frozen plasma (FFP) untuk tiap 4 unit darah. o Kegagalan resusitasi dengan cairan kristaloid hampir selalu disebabkan oleh perdarahan masif, karena itu harus dipikirkan untuk segera mengambil tindakan hemostasis dengan pembedahan. 2. Kehilangan cairan gastrointestinal o Berikan 1-2 liter NaCl 0,9% dalam 30-60 menit, lalu lanjutkan dengan cairan tambahan sambil memonitor tanda-tanda vital, CVP, dan PCWP. o Cek elektrolit dan koreksi kelainan. o Tentukan penyebab diare dan muntah, lalu diobati. Trombosis Vena Definisi Penyumbatan sistem pembuluh darah vena biasanya menghasilkan trombosis. Faktor risiko sama dengan pada trombosis sistem pembuluh darah arteri. Trombus merupakan proses kompleks yang mengikutsertakan interaksi dinding pembuluh darah dengan trombosit dan protein antikoagulan. Pasien tanpa penyakit penyerta kadang-kadang dapat pula terkena kelainan ini. Manifestasi Klinis Termasuk nyeri dan bengkak/benjolan pada paha atau tungkai atau keduanya dengan perabaan lunak pada daerah tersebut. Pada penyakit ini pemeriksaan fisik saja kurang akurat, prosedur diagnostik adalah pemeriksaan venografi, yang dapat menggambarkan adanya filling defect pada vena yang terkena.

Penatalaksanaan Pada trombosis vena superfisial hanya diperlukan istirahat, peninggian letak tungkai, dan pemanasan lokal. Pengobatan yang lebih serius ditujukan pada trombosis vena dalam.

Pada trombosis vena dalam diperlukan terapi dengan antikoagulan sistemik seperti heparin dan warfarin. 1. Terapi heparin o Terapi heparin harus diberikan dengan loading dose dari 10.000 unit diikuti dengan infus continuous yang awalnya berkecepatan 1.000 unit/jam. Dosis ini harus dapat mempertahankan Partial Thromboplastin Time (PTT) antara 1,5 dan 2 kontrol waktu. Manfaat setelah pemberian heparin ini adalah menjaga tingkat kesamaan dari antikoagulan dan memperkecil manifestasi perdarahan. Pada pasien yang tidak dapat menerima terapi warfarin, heparin dapat diberikan 10.000 unit subkutan selama > 12 jam untuk mempertahankan PTT 1,5 kontrol waktu, 6 jam setelah pemberian heparin. o Komplikasi termasuk perdarahan, osteopenia, reaksi hipersensitivitas, trombositopenia, dan trombosis. Reaksi heparin dapat dinetralisir/dihambat oleh pemberian protamin sulfat iv; 1 mg protamin sulfat akan menetralisir sekitar 100 unit heparin. 2. Terapi warfarin o Warfarin diberikan pada dosis 10 mg/hari sampai waktu protrombin memanjang. Kemudian dosis dapat diturunkan menjadi 5 mg/hari diberikan untuk mempertahankan waktu protrombin pada 1,2-1,5 kontrol waktu untuk trombosis vena. Warfarin biasanya dilanjutkan penggunaannya selama 3 bulan, namun sebaliknya pada kasus yang tanpa komplikasi. o Monitoring farmakologi obat sangat diperlukan pada pasien yang memakai warfarin, karena banyak obat-obat lain yang dapat mempengaruhi efek warfarin baik, yang menghambat maupun yang memperkuat, seperti antibiotik, barbiturat, salisilat, rifampisin, kontrasepsi oral, dll. Komplikasi berupa perdarahan harus diterapi dengan mengganti faktor antikoagulan dengan fresh frozen plasma. Apabila antikoagulan masih harus digunakan setelah episode perdarahan berhenti, maka vitamin K tidak boleh diberikan karena dapat membuat pasien refrakter terhadap warfarin dalam waktu yang lama. Kontraindikasi penggunaan antikoagulan Kontraindikasi relatif adalah perdarahan susunan saraf pusat, metastasistumor, pada pembedahan, hipertensi berat, perikarditis, atauendokarditis, dan perdarahan aktif atau kecenderungan untuk mengalami perdarahan. Kontraindikasi relatif pada penggunaan antikoagulan jangka panjang adalah alkoholisme dan kehamilan trimester pertama karena warfarin bersifat teratogenik.

Profilaksis untuk pasien trombosis vena dalam

Trombosis vena dalam mempunyai risiko besar untuk mengalami kekambuhan, terutama dalam situasi predisposisi khusus, seperti pembedahan. Oleh karena itu perlu dilakukan pencegahan, yaitu dengan pemberian heparin dosis mini 2 x 5.000 unit/hari subkutan. Kontraindikasi relatif pada penggunaan dosis mini heparin ini sama dengan pada penggunaan dosis penuh. Heparin dosis mini dapat dilanjutkan sampai pasien dapat rawat jalan. Defek Septum Atrium Definisi Defek septum atrium (DSA) adalah kelainan anatomik jantung akibatkan terjadinya kesalahan pada jumlah absorbsi dan proliferasi jaringan pada tahap perkembangan pemisahan rongga atrium menjadi atrium kanan dan atrium kiri. Defek septum atrium merupakan lebih-kurang 10% dari seluruh PJB. Kelainan ini lebih sering ditemukan pada anak perempuan dibanding pada anak lelaki (rasio perempuan : lelaki = 1,5 sampai 2:1 ). Hemodinamik Akibat adanya celah patologis antara atrium kanan dan atrium kiri, pasien dengan defek septum atrium mempunyai beban pada sisi kanan jantung, akibat pirau dari atrium kiri ke atrium kanan. Beban tersebut merupakan beban volume (volume overload). Manifestasi Klinis Sebagian besar asimtomatik, terutama pada bayi dan anak kecil. Sangat jarang ditemukan gagal jantung pada defek septum atrium. Bila pirau cukup besar, pasien mengalami sesak napas, sering mengalami infeksi paru, dan berat badan akan sedikit kurang. Jantung umumnya normal atau hanya sedikit membesar dengan pulsasi ventrikel kanan teraba. Komponen aorta dan pulmonal bunyi jantung II terbelah lebar (wide split) yang tidak berubah saat inspirasi maupun ekspirasi (fixed split). Pada defek sedang sampai besar bunyi jantung I mengeras dan terdapat bising ejeksi sistolik. Selain itu terdapat bising diastolik di daerah trikuspid akibat aliran darah yang berlebihan melalui katup trikuspid pada fase pengisian cepat ventrikel kanan. Pemeriksaan Penunjang Pada defek dengan pirau yang bermakna, foto toraks AP menunjukkan atrium kanan yang menonjol dan konus pulmonalis yang menonjol. Jantung biasanya hanya sedikit membesar dengan vaskularisasi paru yang bertambah sesuai dengan besarnya pirau. Pada elektrokardiogram tampak gambaran right bundle branch block (RBBB). Pada jenis defek septum atrium sekundum terdapat deviasi sumbu QRS ke kanan, yang membedakan dari jenis defek primum yang memperlihatkandeviasi sumbu ke kiri. Dapat pula terdapat blok AV derajat I (pemanjangan interval PR) dan hipertrofi ventrikel kanan. Seperti pada kelainan jantung bawaan lainnya, pemeriksaan ekokardiografi berguna untuk menentukan letak dan besar septum serta kemungkinan kelainan anatomis yang dapat menyertai. Kateterisasi tidak perlu dilakukan kecuali ada tanda-tanda hipertensi pulmonal.

Penatataksanaan Pengobatan definitif adalah operasi penutupan defek pada usia 4-5 tahun. Pasien pascabedah tidak memerlukan tindakan profilaksis terhadap endokarditis infektif. Pada defek tertentu dapat dilakukan penutupan dengan kateterisasi jantung, dilanjutkan dengan antibiotik profilaksis selama 6-9 bulan. Defek Septum Ventrikel Definisi Defek septum ventrikel (DSV) merupakan PJB yang paling sering ditemukan, yaitu 30% dari semua jenis PJB. Pada sebagian besar kasus, diagnosis kelainan ini ditegakkan setelah melewati masa neonatus, karena pada minggu-minggu pertama bising yang bermakna biasanya belum terdengar oleh karena resistensi vaskular paru masih tinggi dan akan menurun setelah 8-10 minggu. Hemodinamik Pada defek septum ventrikel kecil hanya terjadi pirau dari kiri ke kanan yang minimal sehingga tidak terjadi gangguan hemodinamik yang berarti. Pada defek sedang dan besar terjadi pirau yang bermakna dari ventrikel kiri ke ventrikel kanan. Pada hari-hari pertama pasca lahir belum terdapat pirau kiri ke kanan yang bermakna karena resistensi vaskular paru masih tinggi. Hal inilah yang menyebabkan bising baru terdengar beberapa hari sampai beberapa minggu setelah bayi lahir. Pirau kiri ke kanan yang besar menyebabkan meningkatnya tekanan ventrikel kanan, yang bila tidak terdapat obstruksi jalan keluar ventrikel kanan akan diteruskan ke arteri pulmonalis. Pada defek besar dapat terjadi perubahan hemodinamik akibat peningkatan tekanan terus-menerus pada ventrikel kanan yang diteruskan ke a. pulmonalis. Pada suatu saat terjadi perubahan dari pirau kiri ke kanan menjadi kanan ke kiri sehingga pasien menjadi sianosis. Hal ini disebut sebagai sindrom Eisenmenger.

Manifestasi Klinis o DSV Kecil. Biasanya asimtomatik. Jantung normal atau sedikit membesar dan tidak ada gangguan tumbuh kembang. Bunyi jantung biasanya normal, dapat ditemukan bising sistolik dini pendek yang mungkin didahului early systolic click. Ditemukan pula bising pansistolik yang biasanya keras disertai getaran bising dengan pungtum maksimum di sela iga III-IV garis parasternal kiri dan menjalar ke sepanjang sternum kiri, bahkan ke seluruh prekordium. o DSV Sedang. Gejala timbul pada masa bayi berupa sesak napas saat minum atau memerlukan waktu lebih lama/tidak mampu menyelesaikan makan dan minum, kenaikan berat badan tidak memuaskan, dan sering menderita infeksi paru yang lama sembuhnya. Infeksi paru ini dapat mendahului terjadinya gagal jantung yang mungkin terjadi pada umur 3 bulan. Bayi tampak kurus dengan dispnu, takipnu, serta retraksi. Bentuk dada biasanya masih normal. Pada pasien yang besar, dada mungkin sudah menonjol. Pada auskultasi terdengar bunyi getaran bising dengan pungtum maksimum di sela iga III-IV garis parasternal kiri yang menjalar ke seluruh prekordium. o DSV Besar. Gejala dapat timbul pada masa neonatus. Pada minggu I sampai III dapat terjadi pirau kiri ke kanan yang bermakna dan sering menimbulkan dispnu. Gagal jantung biasanya timbul setelah minggu

VI, sering didahului infeksi saluran napas bawah. Bayi sesak napas saat istirahat, kadang tampak sianosis karena kekurangan oksigen akibat gangguan pernapasan. Gangguan pertumbuhan sangat nyata. Biasanya bunyi jantung masih normal, dapat didengar bising pansistolik, dengan atau tanpa getaran bising, melemah pada akhir sistolik karena terjadi tekanan sistolik yang sama besar pada kedua ventrikel. Bising mid-diastolik di daerah mitral mungkin terdengar akibat flow murmur pada fase pengisian cepat. Tindakan imunisasi pada semua jenis penyakii jantung bawaan harus dilakukan seperti pada anak sehat, dan bila terjadi infeksi saluran napas diatasi dengan pemberian antibiotik dini dan adekuat.

Pada DSV besar dapat terjadi perubahan hemodinamik dengan penyakit vaskular paru/sindrom Eisenmenger. Pada fase peralihan antara pirau kiri ke kanan dan kanan ke kiri, seringkali pasien tampak lebih aktif, dengan toleransi latihan yang relatif lebih baik dibanding sebelumnya. Saat terjadi pirau terbalik dari kanan ke kiri, pasien tampak sianotik dengan keluhan dan gejala yang lebih berat dibanding sebelumnya. Anak gagal tumbuh, sianotik, dengan jari-jari tabuh (clubbing fingers). Dada kiri membonjol dengan peningkatan aktivitas ventrikel kanan yang hebat. Bunyi jantung I normal, akan tetapi bunyi jantung II mengeras dengan split yang sempit. Bising yang sebelumnya jelas menjadi berkurang intensitasnya; kontur bising yang semula pansistolik berubah menjadi ejeksi sistolik. Tak jarang bising menghilang sama sekali. Hati menjadi teraba besar akibat bendungan sistemik, namun edema jarang ditemukan. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan foto dada pasien dengan DSV kecil biasanya memperlihatkan bentuk dan ukuran jantung yang normal dengan vaskularisasi paru normal atau hanya sedikit meningkat. Pada defek sedang, tampak kardiomegali sedang dengan konus pulmonalis yang menonjol, peningkatan vaskularisasi paru, serta pembesaran pembuluh darah di sekitar hilus. Pada defek besar tampak kelainan yang lebih berat, dan pada defek besar dengan hipertensi pulmonal atau sindrom Eisenmenger gambaran vaskularisasi paru meningkat di daerah hilus namun berkurang di perifer.

Penilaian EKG pada bayi dan anak pada penyakit apa pun harus dilakukan dengan hati-hati karena nilai normal sangat bergantung pada umur pasien. Pada bayi dan anak dengan defek kecil gambaran EKG sama sekali normal atau sedikit terdapat peningkatan aktivitas vertrikel kiri. Gambaran EKG pada neonatus dengan defek sedang dan besar juga normal, namun pada bayi yang lebih besar serta anak pada umumnya menunjukkan kelainan. Pemeriksaan ekokardiografi, yang pada saat ini hanya dapat dilakukan di tempat-tempat tertentu dengan tenaga ahli yang masih sangat terbatas, perlu untuk menentukan letak serta ukuran defek septum ventrikel di samping untuk menentukan kelainan penyerta. Kateterisasi jantung dilakukan pada kasus DSV sedang atau besar untuk menilai besarnya pirau (flow ratio) yaitu perbandingan antara sirkulasi pulmonal dan sirkulasi sistemik. Operasi harus dilakukan bila rasio tersebut sama dengan atau lebih besar dari 2.

Penatalaksanaan Pasien dengan defek kecil tidak memerlukan pengobatan apapun, kecuali pemberian profilaksis terhadap terjadinya endokarditis infektif terutama bila akan dilakukan tindakan operatif di daerah rongga mulut atau tindakan pada traktus gastrointestina/urogenital. Tidak diperlukan pembatasan aktivitas pada pasien dengan defek kecil, namun perlu dipertimbangkan pada defek yang sedang dan besar sesuai dengan derajat keluhan yang timbul. Gagal jantung pada pasien dengan defek septum ventrikel sedang atau besar biasanya diatasi dengan digoksin (dosis rumat 0,01 mg/kgBB/hari, dalam 2 dosis), kaptopril(ACE inhibitor), dan diuretik seperti furosemid atau spironolakton. Tidak semua pasien dengan DSV harus dioperasi. Tindakan operasi terindikasi pada kasus-kasus dengan gejala klinis yang menonjol terutama pada DSV sedang atau besar yang tidak mempunyai respons yang baik terhadap pengobatan. Oleh karena itu diperlukan pemantauan klinis yang seksama dan cermat terhadap pasien DSV sebelum mengirim pasien tersebut ke ahli bedah jantung. Selain itu yang sangat penting adalah memberikan penjelasan yang benar dan hati-hati kepada orang tua pasien mengenai perjalanan penyakit dan komplikasi yang mungkin terjadi.

Prognosis Kemungkinan penutupan spontan defek kecil cukup besar, terutama pada tahun pertama kehidupan. Kemungkinan penutupan spontan sangat berkurang setelah pasien berusia 2 tahun, dan umumnya tidak ada kemungkinan lagi di atas usia 6 tahun. Secara keseluruhan penutupan spontan berkisar 40 50% kasus. Gagal Jantung Definisi Gagal jantung adalah suatu keadaan patofisiologis berupa kelainan fungsi jantung sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan dan/atau kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian volume diastolik secara abnormal.

Faktor predisposisi gagal jantung adalah penyakit yang menimbulkan penurunan fungsi ventrikel (seperti penyakit arteri koroner, hipertensi,kardiomiopati, penyakit pembuluh darah, atau penyakit jantung kongenital) dan keadaan yang membatasi pengisian ventrikel (stenosis mitral,kardiomiopati, atau penyakit perikardial). Faktor pencetus termasuk meningkatnya asupan garam, ketidakpatuhan menjalani pengobatan anti gagal jantung, infark miokard akut (mungkin yang tersembunyi), seranganhipertensi, aritmia akut, infeksi atau demam, emboli paru, anemia, tirotoksikosis, kehamilan, dan endokarditis infektif Manifestasi Klinis Berdasarkan bagian jantung yang mengalami kegagalan pemompaan, gagal jantung terbagi atas gagal jantung kiri, gagal jantung kanan, dan gagal jantung kongestif. Gejala dan tanda yang timbul pun berbeda, sesuai dengan pembagian tersebut.

Pada gagal jantung kiri terjadi dyspneu deffort, fatig, ortopnea, dispnea nokturnal paroksismal, batuk, pembesaran jantung, irama derap, ventricular heaving, bunyi derap S3 dan S4, pernapasan Cheyne Stokes, takikardi, pulsus alternans, ronki dan kongesti vena pulmonalis. Pada gagal jantung kanan timbul fatig, edema, liver engorgement, anoreksia dan kembung. Pada pemeriksaan fisik bisa didapatkan hipertrofi jantung kanan, heaving ventrikel kanan, irama derap atrium kanan, murmur, tandatanda penyakit paru kronik, tekanan vena jugularis meningkat, bunyi P2 mengeras, asites, hidrotoraks, peningkatan tekanan vena, hepatomegali, dan edema pitting. Sedang, pada gagal jantung kongestif terjadi manifestasi gabungan gagal jantung kiri dan kanan. New York Heart Association (NYHA) membuat klasifikasi fungsional dalam 4 kelas: Kelas 1. Bila pasien dapat melakukan aktivitas berat tanpa keluhan Kelas 2. Bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas lebih berat dari aktivitas sehari-hari tanpa keluhan Kelas 3. Bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa keluhan Kelas 4. Bila pasien sama sekali tidak dapat melakukan aktivitas apa pun dan harus tirah baring Diagnosis Gagal Jantung Kongestif (Kriteria Framingham) Kriteria mayor 1. Dispnea nokturnal paroksismal atau ortopnea 2. Peningkatan tekanan vena jugularis 3. Ronki basah tidak nyaring 4. Kardiomegali 5. Edema paru akut 6. Irama derap S3 7. Peningkatan tekanan vena > 16 cm H20 8. Refluks hepatojugular Kriteria minor 1. Edema pergelangan kaki 2. Batuk malam hari 3. Dyspneu deffort 4. Hepatomegali

5. Efusi pleura 6. Kapasitas vital berkurang menjadi 1/3 maksimum 7. Takikardi (> 120 x/menit) Kriteria mayor atau minor Penurunan berat badan > 4,5 kg dalarn 5 hari setelah terapi. Diagnosis ditegakkan dari 2 kriteria mayor; atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor harus ada pada saat yang bersamaan.

Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan foto toraks dapat mengarah ke kardiomegali, corakan vaskular paru menggambarkan kranialisasi, garis Kerley A/B, infiltrat prekordial kedua paru, dan efusi pleura. Fungsi elektrokardiografi (EKG) untuk melihat penyakit yang mendasari seperti infark miokard dan aritmia. Pemeriksaan lain seperti Hb, elektrolit, ekokardiografi, angiografi, fungsi ginjal, dan fungsi tiroid dilakukan atas indikasi.

Penatalaksanaan 1. Meningkatkan oksigenasi dengan pemberian oksigen dan menurunkan konsumsi O2 melalui istirahat pembatasan aktivitas. 2. Memperbaiki kontraktilitas otot jantung. 1. Mengatasi keadaan yang reversibel, termasuk tirotoksikosis, miksedema, dan aritmia. 2. Digitalisasi: a. Dosis digitalis: o Digoksin oral untuk digitalisasi cepat 0,5-2 mg dalam 4-6 dosis selama 24 jam dan dilanjutkan 2 x 0,5 mg selama 2-4 hari o Digoksin iv 0,75-l mg dalam 4 dosis selama 24 jam. o Cedilanid iv 1,2-1,6 mg dalam 24 jam

b. Dosis penunjang untuk gagal jantung: digoksin 0,25 mg sehari. Untuk pasien usia lanjut dan gagal ginjal dosis c. Dosis penunjang digoksin untuk fibrilasi atrium 0,25 mg. d. Digitalisasi cepat diberikan untuk mengatasi edema pulmonal akut yang berat: o Digoksin: 1-1,5 mg iv perlahan-lahan. o Cedilanid 0,4-0,8 mg iv perlahan-lahan.

Cara pemberian digitalis Dosis dan cara pemberian digitalis bergantung pada beratnya gagal jantung. Pada gagal jantung berat dengan sesak napas hebat dan takikardi lebih dari 120/menit, biasanya diberikan digitalisasi cepat. Pada gagal jantung ringan diberikan digitalisasi lambat. Pemberian digitalisasi per oral paling sering dilakukan karena paling aman. Pemberian dosis besar tidak selalu perlu, kecuali bila diperlukan efek maksimal secepatnya, misalnya pada fibrilasi atrium rapid response. Dengan pemberian oral dosis biasa (pemeliharaan), kadar terapeutik dalam plasma dicapai dalam waktu 7 hari. Pemberian secara intravena hanya dilakukan pada keadaan darurat, harus dengan hati-hati, dan secara perlahan-lahan. Tabel cara pemberian digitalis

Kontraindikasi penggunaan digitalis o Keadaan keracunan digitalis berupa bradikardi, gangguan irama, dan konduksi jantung berupa blok AV derajat II dan III, atau ekstrasistolik ventrikular lebih dari 5 kali per menit. Gejala lain yang ditemui pada intoksikasi digitalis adalah anoreksia, mual, muntah, diare, dan gangguan penglihatan. o Kontraindikasi relatif: penyakit kardiopulmonal, infark miokard akut (hanya diberi per oral), idiopathic hypertrophic subaortic stenosis, gagal ginjal (dosis obat lebih rendah), miokarditis berat, hipokalemia, penyakit paru obstruksi kronik, dan penyertaan obat yang menghambat konduksi jantung.

Tabel farmakokinetik preparat digitalis Dalam pengobatan intoksikasi digitalis digunakan dilantin 3 x 100 mg sampai tanda-tanda toksik mereda. 3. Menurunkan beban jantung o Menurunkan beban awal dengan diet rendah garam, diuretik, dan vasodilator. a. Diet rendah garam.

Pada gagal jantung dengan NYHA kelas IV, penggunaan diuretik, digoksin, dan penghambat angiotensin converting enzyme (ACE) diperlukan mengingat usia harapan hidup yang pendek. Untuk gagal jantung kelas II dan III diberikan: 1. Diuretik dalam dosis rendah atau menengah (furosemid 40-80 mg) 2. Digoksin pada pasien dengan fibrilasi atrium maupun kelainan irama sinus 3. Penghambat ACE (kaptopril mulai dari dosis 2 x 6,25 mg atau setara penghambat ACE yang lain, dosis ditingkatkan secara bertahap dengan memperhatikan tekanan darah pasien); isosorbid dinitrat (ISDN) pada pasien dengan kemampuan aktivitas yang terganggu atau adanya iskemia yang menetap, dosis dimulai 3 x 10-15 mg. Semua obat ini harus dititrasi secara bertahap. b. Diuretik. Yang digunakan furosemid 40-80 mg. Dosis penunjang rata-rata 20 mg. Efek samping berupa hipokalemia dapat diatasi dengan suplai garam kalium atau diganti dengan spironolakton. Diuretik lain yang dapat digunakan antara lain hidroklorotiazid, klortalidon, triamteren, amilorid, dan asam etakrinat. Dampak diuretik yang mengurangi beban awal tidak mengurangi curah jantung atau kelangsungan hidup, tapi merupakan pengobatan garis pertama karena mengurangi gejala dan perawatan di rumah sakit. Penggunaan pengbambat ACE bersama diuretik hemat kalium maupun suplemen kalium harus berhatihati karena memungkinkan timbulnya hiperkalemia. c. Vasodilator o Nitrogliserin 0,4-0,6 mg sublingual atau 0,2-2 ug/kg BB/menit iv o Nitroprusid 0,5-1 ug/kg BB/menit iv o Prazosin per oral 2-5 mg o Penghambat ACE: kaptopril 2 x 6,25 mg Dosis ISDN adalah 10-40 mg peroral atau 5-15 mg setiap 4-6 jam. Pemberian nitrogliserin secara intravena pada keadaan akut harus dimonitor ketat dan dilakukan di ICCU.

Kaptopril sebaiknya dimulai dari dosis kecil 6,25 mg. Untuk dosis awal ini perlu diperhatikan efek samping hipotensi yang harus dimonitor dalam 2 jam pertama setelah pemberian. Jika secara klinis tidak

ada tanda-tanda hipotensi maka dosis dapat ditingkatkan secara bertahap sampai 3 x 25-100 mg. Kaptopril dapat menimbulkan hipoglikemia dan gangguan fungsi ginjal. Dosis awal enalapril 2 x 2,5 mg dapat dinaikan perlahan-lahan sampai 2 x 10 mg. o Menurunkan beban akhir dengan dilator arteriol. Abnormalitas EKG Gangguan Irama A. Aritmia atrial o Denyut atrial prematur (ektopik). Gelombang P terjadi prematur dan diikuti oleh gambaran normal QRS-T. Interval PR pada denyut prematur tidak berbeda, lebih panjang atau lebih pendek daripada denyut konduksi sinus. o Takikardi atrium. Aktivitas atrium teratur, interval PP konstan dan frekuensi atrium + 160-220. o Flutter atrium. Didapatkan aktivitas atrium yang teratur, interval PP konstan, dan frekuensi atrium 260-320. Gelombang P merupakan konfigurasi gigi gergaji (sawtooth), biasanya menghilang dan terbalik di sadapan II, III, dan aVF. Blok AV dapat terlihat tersering 2:1 atau 4:1, menghasilkan irama ventrikel yang lebih lambat dan teratur. Kadang-kadang derajat blok AV bervariasi (2:1, 3:1, 4:1, dst) menghasilkan respons ventrikel yang iregular. o Fibrilasi atrium. Aktivitas atrium amat cepat dan tidak teratur; terdapat multidefleksi pada gambaran EKG dasar. Irama ventrikel iregular. Fibrilasi atrium dengan irama ventrikel yang teratur menunjukkan adanya disosiasi lengkap dari AV. Frekuensi ventrikel biasanya dalam kisaran 50-100. Bila kompleks QRS lebar, bersambung atau bertakik, menunjukkan adanya irama idioventrikular dan frekuensi ventrikel biasanya < 50. B. Aritmia ventrikel o Denyut ventrikel prematur (ektopik). Ditunjukkan dengan adanya kompleks QRS yang lebar, bertakik atau bersambung di mana tidak didahului oleh gelombang P dan terjadi prematur dalam hubungannya dengan interval RR. o Takikardi ventrikel. Frekuensi ventrikel biasanya dalam kisaran 140-200 dan biasanya sedikit iregular. Biasanya tidak terlihat adanya gelombang P atau terdapat disosiasi AV. o Irama idioventrikel. Irama ventrikel teratur atau sedikit tidak teratur, frekuensi 30-40. o Irama akselerasi idioventrikular. Sama seperti irama idioventrikular, kecuali frekuensi ventrikel 60-120. o Fibrilasi ventrikel. Pencatatan gelombang EKG yang cepat dan tidak teratur. Keadaan ini merupakan henti jantung (cardiac arrest) karena praktis tidak terdapat sistolik ventrikel yang efektif o Ventrikel asistolik. Tidak terdapat kompleks ventrikel selama beberapa detik sampai menit. Keadaan ini merupakan henti jantung.

Gangguan A. Right Bundle Branch Block (RBBB) Kriteria untuk RBBB:

Hantaran

1. Interval QRS = 0,12 detik atau lebih (RBBB lengkap); 0,1-0,12 detik merupakan RBBB tidak lengkap. 2. Lebar, bersambung, dengan gelombang S di sadapan I, V5-6 3. Lebar, bertakik, atau bersambung, sering disertai gelombang R di sadapan V1-2 (kadang-kadang V3, RSR). 4. Depresi ST dan gelombang T terbalik di V1 -2. B. Left Bundle Branch Block (LBBB) Kriteria untuk LBBB: 1. Interval QRS = 0,12 detik atau lebih (LBBB lengkap); 0,1-0,12 detik adalah LBBB tidak lengkap. 2. Tidak ditemukan gelombang Q di sadapan I, V5-6. 3. Kompleks QRS lebar, bertakik, atau bersambung, terutarna di V5-6. 4. QRS tegak (positif) di sadapan I, V5-6. 5. Depresi ST dan gelombang T terbalik di sadapan I, V5-6. C. Bilateral Bundle Branch Block 1. RBBB + blok fasikular anterior kiri a. Semua kriteria untuk RBBB ditambah b. Aksis bidang frontal QRS > -30o 2. RBBB + blok fasikular posterior kiri a. Semua kriteria untuk RBBB ditambah b. Aksis bidang frontal QRS > + 110o

c. Tidak terdapat bukti klinis adanya hipertrofi ventrikel kanan/infark dinding jantung lateral. 3. RBBB + blok AV derajat 1 4. LBBB + blok AV derajat 1 5. RBBB + LBBB yang ditemukan bergantian pada pencatatan tunggal/serial D. Blok AV B. Derajat 1 irama sinus, interval P-R > 0,21 detik C. Derajat 2 interval dapat teratur atau tidak teratur. Terdapat gelombang P yang tidak diikuti dngan kompleks QRS. Interval P-P konstan. Mobitz I (Wenckebach) dalam siklusnya terdapat pemanjangan progresif dari interval PR sampai gelombang P tidak diikuti dengan kompleks QRS. Mobitz II pada sekuensial yang teratur (2:1, 3:1) atau sekuensial yang tidak teratur (3:2, 4:3, dst), gelombang P tidak diikuti dengan QRS. Interval PR dalam hantarannya adalah konstan. D. Derajat 3 disosiasi lengkap antara irama atrium dan ventrikel. Irama atrium mungkin sinus normal atau aritmia ventrikel, tetapi tiap aktivitas atrium tidak berhubungan dengan aktivitas ventrikel. E. AV junctional rhythm irama atrial yang teratur dengan hantaran AV 1:1 dengan kecepatan 50-l00. Gelombang T terbalik disadapan II, III, dan aVF. Interval PR biasanya pendek, namun mungkin normal/gelombang P terletak sesudah kompleks QRS. Kadang-kadang gelombang P tersembunyi pada kompleks QRS, sehingga tidak terlihat. F. Blok SA bila tidak didapatkan adanya gelombang P dan aktivitas listrik total untuk waktu yang merupakan kelipatan bilangan bulat dari PP interval. G. Ventrikel ekstrasistolik Kriteria untuk ventrikel ekstrasistolik: 1. Interval RS melebihi 0,12 detik. 2. Beramplitudo besar. 3. Gelombang T berlawanan arah dengan kompleks QRS.

4. Terdapat masa kompensasi penuh, yaitu jarak antam dua siklus jantung termasuk denyut ekstrasistolik adalah sama dengan jarak antara 2 siklus. 5. Timbulnya QRS ini prematur atau lebih cepat dari seharusnya.

Kelainan A. Kelainan gelombang P 1. Kelainan bentuk atau konfigurasi

Gelombang

a. Luas, gelombang P bertakik di sadapan I, aVL, dan V4-6. Gelombang P bifasik dengan defleksi negatif yang lebar dan dalam di sadapan VI. Kelainan ini terjadi pada hipertrofi atrium kiri. b. Gelombang P tinggi dan runcing disadapan II, III, dan aVF. Gelombang P runcing/bifasik di sadapan V1. Kelainan ini terjadi pada hipertrofi atrium kanan. 2. Kelainan arah a. Gelombang P terbalik disadapan I. Gelombang P tegak (positif) disadapan aVR. Kelainan ini terjadi pada dekstrokardia. b. Gelombang P terbalik di sadapan aVF (juga di II dan III); gelombang P tegak (positif) di aVR. Kelainan ini terjadi pada AV junction atau gelombang atrium ektopik dan low AV junctional rythm. B. Kelainan kompleks QRS 1. Kelainan dalam arah bidang frontal dengan durasi QRS normal. a. Kompleks QRS tegak lurus disadapan I. QRS bifasik; S>R disadapan IIdeviasi aksis kiri (atau superior) (blok fasikular anterior kiri). Kelainan ini terjadi pada penyakit pembuluh darah koroner, hipertrofi ventrikel kiri, dan emfisema. b. Kompleks QRS tegak lurus, bifasik, atau terbalik di sadapan aVF. QRS bifasik; S>R di sadapan I (deviasi aksis kanan/RAD). Hal ini dapat normal pada bayi dan anak-anak. Kelainan ini terjadi pada hipertrofi ventrikel kanan, infark dinding posterior dengan blok fasikular posterior kiri. 2. Kelainan durasi QRS (> 0,12 detik) a. Gelombang S lebar di sadapan I dan V4-6. Getombang R lebar di sadapan V1. Kelainan ini terjadi pada RBBB.

b. Interval RR atau RSR yang lebar dan bertakik di sadapan I dan V4-6 dengan tidak ditemukannya gelombang Q. Kelainan ini terjadi pada LBBB. c. Kompleks QRS yang lebar di seluruh sadapan. Kelainan ini terjadi pada hiperkalemia. C. Kelainan gelombang Q Gelombang Q dianggap abnormal bila berdurasi 0,04 detik atau lebih, dan > 25% dari gelombang R. 1. Kelainan gelombang Q di sadapan II, III dan aVF. Kelainan ini terjadi pada jantung inferior, emfisema pulmonal, atau hipertrofi ventrikel kanan. 2. Kelainan gelombang Q di sadapan I, aVL dan V4-6. Kelainan ini dapat terjadi pada infark jantung anterior. 3. Kelainan gelombang Q di sadapan V3R-V1, V1-2, V1-3, atau V1-4. Kelainan ini dapat terjadi pada infark jantung anteroseptal, hipertrofi ventrikel kirihipertrofi ventrikel kanan, dan LBBB. D. Kelainan gelombang R 1. Gelombang R > 13 mm di sadapan aVL, atau > 27 mm di sadapan V5 atau V6, atau > 35 mm di sadapan V5 (atau V6) ditambah gelombang S di sadapan V1. Kelainan ini dapat terjadi pada hipertrofi ventrikel kiri (dengan pengecualian). 2. Gelombang R > S pada sadapan V1 atau V2. Kelainan ini terjadi pada dekstrokardia. 3. Gelombang R > S di sadapan V1. Kelainan ini terjadi pada hipertrofiventrikel kanan (terutama jika terdapat deviasi aksis kanan), dan infark jantung posterior. E. Kelainan kompleks QS 1. Kompleks QS di sadapan V1-2, VI-3, atau V1-4. Kelainan ini dapat terjadi pada infark anteroseptal, hipertrofi ventrikel kiri, LBBB, dan hipertrofiventrikel kanan. 2. Kompleks QS di sadapan I dan V1-3(4). Kelainan ini dapat terjadi pada infark jantung anterior, emfisema, dan hipertrofi ventrikel kanan. 3. Kompleks QS di sadapan II, III, dan aVF. Kelainan ini dapat terjadi pada infark jantung inferior, emfisema atau hipertrofi ventrikel kanan.

F. Kelainan segmen ST 1. Elevasi segmen ST 1 mm atau lebih. a. Elevasi segmen ST pada semua sadapan, kecuali di aVR dan V1, dan sadapan aVL pada posisi jantung vertikal. Kelainan ini dapat terjadi pada perikarditis. b. Elevasi segmen ST di sadapan II, III, dan aVF. Kelainan ini terjadi pada infark jantung inferior dan aneurisma ventrikel. c. Elevasi segmen ST di sadapan I, aVL dan V4-6. Kelainan ini dapat terjadi pada infark jantung anterior, angina pektoris, dan aneurisma ventrikel. 2. Depresi segrnen ST a. Depresi seginen ST oblik dan horizontal pada banyak sadapan, kecuali di sadapan aVR dan aVL dengan posisi jantung vertikal. Kelainan ini dapat terjadi pada angina (iskemia), infark subendokardial, obat-obatan seperti digitalis, dan tembakau. b. Depresi segmen ST oblik dan horizontal pada sadapan V1, V2, dan V3. Kelainan ini dapat terjadi pada iskemia, hipertrofi ventrikel kanan, dan RBBB. c. Depresi segmen ST oblik dan horizontal pada sadapan I, aVL, dan V4-6. Kelainan ini dapat terjadi pada iskemia, hipertrofi ventrikel kiri, LBBB, elevasi ST resiprokal dengan infark jantung inferior. d. Depresi segmen ST oblik dan horizontal pada sadapan II, III, dan aVF. Kelainan ini dapat terjadi pada iskemia dan elevasi ST resiprokal dengan infark anterior. G. Kelainan gelombang T 1. Inversi dalam dari gelombang T. a. Gelombang T simetris pada banyak sadapan, kecuali di aVR dan aVL pada posisi jantung vertikal. Kelainan ini dapat terjadi pada infark, iskemia, dan perikarditis. b. Gelombang T inversi yang simetris pada sadapan I, aVL, dan V4-6. Kelainan ini dapat terjadi pada infark jantung anterior. c. Gelombang T simetris di sadapan II, III, dan aVF. Kelainan ini dapat terjadi pada infark jantung inferior.

2. Gelombang T tegak lurus a. Gelombang T yang tinggi, runcing dan ramping terjadi pada semua sadapan, kecuali aVR dan aVL pada posisi jantung vertikel. Kelainan ini dapat terjadi pada hiperkalemia. b. Gelombang T yang tinggi dan simetris disadapan V1-4. Kelainan ini dapat terjadi pada infark jantung posterior. H. Kelainan gelombang U 1. Gelombang U tegak lurus, lebih tinggi dibanding gelombang T pada sadapan yang sama, terutama pada sadapan V2-4. Kelainan ini dapat terjadi pada hipokalemia. Hipertrofi Jantung: A. Hipertrofi atrium kiri Gelombang P yang lebar, tegak, dan bertakik dapat ditemukan pada banyak sadapan bidang frontal dan V4-6. Hal terpenting adalah gelombang P bifasik di mana bagian terminal gelombang P adalah negatif (minimal 1 mm) dan lebar (minimal 0,04 detik). B. Hipertrofi atrium kanan Ditandai dengan gelombang P yang tinggi (lebih dari 2,5 mm) dan runcing di sadapan II, III, dan aVF. C. Hipertrofi ventrikel kiri 1. Kriteria tegangan (voltage criteria) hanya dapat digunakan untuk umur > 35 tahun. o RI + SIII > 26 mm. o RaVL > 11 mm. o RV5 / RV6 > 26 mm. o SV1 + RV5 atau RV6 > 35 mm. 2. Depresi ST dan inversi gelombang T pada sadapan tersebut dengan tegangan QRS yang tinggi. 3. Aksis superior QRS pada bidang frontal -30 derajat; hal ini dapat saja ditemukan, tapi tidak terlalu esensial untuk menentukan diagnosis.

4. Perpanjangan ringan sampai sedang interval QRS (0,1-0,12 detik) mungkin dapat terlihat. D. Hipertrofi ventrikel kanan 1. Deviasi aksis ke kanan (right axis deviation, RAD): rata-rata aksis QRS pada bidang frontal lebih dari +110 derajat pada bayi dan anak-anak, dan > +90 derajat pada dewasa > 40 tahun. 2. Gelombang R tinggi di V1 (dan V2); RV-1 > 5 mm dan rasio R:S di V1 > 1. Hal ini lebih sering terlihat pada anak-anak dan dewasa muda dengan penyakit jantung kongenital atau didapat yang dapat mengakibatkan hipertrofiventrikel kanan. 3. Depresi ST dan gelombang T terbalik di V1 -3. 4. Kebalikan dari B di atas, hipertrofi ventrikel kanan didapat terlambat, seperti kor pulmonal pada dewasa > 60 tahun, biasanya mempunyai karakteristik yaitu gelombang R kecil atau tidak ada di V1 -3 dan EKG mirip dengan keadaan infark miokard anterior. 5. Penggabungan kriteria untuk hipertrofi atrium pengenalan hipertrofi ventrikel kanan. kiri atau kanan membantu dalam

Iskemia Miokardium Iskemia miokardium secara klinis ditunjukkan sebagai angina pektoris, dengan perubahan segmen ST sesaat dan reversibel. Lebih umum dimanifestasikan dengan satu dari kriteria di bawah ini: 1. Depresi segmen ST > 1 mm pada satu atau lebih sadapan. 2. Depresi segmen ST horizontal atau menurun landai dan mempunyai durasi minimal 0,08 detik. 3. Penting untuk membedakan keadaan di atas dengan depresi J point yang normal. Keadaan ini dimulai 1-3 mm di bawah garis isoelektrik, tetapi segmen ST langsung naik tajam pada arah ke atas. 4. Kriteria di atas juga digunakan untuk menentukan aktivitas EKG yang positif Catatan: o Jarang ditemukan EKG pada iskemia miokardium sualu elevasi segmen ST dengan angina spontan atau karena tes latihan. Elevasi segmen ST lebih dari 10 mm dapat saja ditemukan. Gambaran ini menghilang dalam hitungan menit bila nyeri atau latihan dihentikan. Keadaan di atas sering disertai aritmia ventrikel. o Inversi gelombang T sesaat dapat terlihat selama periode-periode dari iskemia miokardium. Bagaimanapun, pada evaluasi aktivitas EKG, gelombang T dapat berubah sendiri. Bila tidak ditemukan keadaan di atas kriteria gambaran seamen ST- tidak dapat dijamin bahwa interpretasi tes adalah positif.

Infark Miokard Gambaran khas yang terdapat pada EKG sebagai akibat dari infark transmural miokard diikuti oleh: 1. Elevasi segmen ST: hal ini merupakan tanda paling awal dari infark miokardium dan menetap selama beberapa hari sampai 2 minggu. 2. Besar (giant, hyperacute) gelombang T tegak lurus dapat dijumpai di banyak sadapan yang memperlihatkan adanya elevasi ST. Gambaran ini biasanya menghilang dalam 24 jam. 3. Setelah 1-3 hari, gelombang T menjadi terbalik. Hal ini biasanya mencapai puncaknya dalam 1-2 minggu, selama waktu tersebut gelombang T menjadi dalam dan terbalik simetris. 4. Dalam 1-3 hari, timbul gelombang Q abnormal yang menunjukkan adanya infark transmural. Gelombang Q abnormal ditentukan dari kriteria sebagai berikut: a. Durasi Q = 0,04 detik atau lebih. b. Rasio Q:R = 25% atau lebih. c. Kompleks QS dapat dipertimbangkan ekuivalen dengan gelombang Q. Catatan: Kriteria di atas, jika ditemukan hanya di sadapan III, aVL, atau V1, tidak dapat digunakan untuk menentukan diagnostik infark. Lokasi infark Sadapan Anterior V2-4 Inferior aVF Lateral I,V6 Posterior R tinggi, T tegak, V1 -2

Perikarditis 1. Pertama kali terdapat elevasi segmen ST pada semua sadapan, kecuali aVR, aVL (posisi jantung vertikal), V1, dan V2. 2. Setelah beberapa hari, segmen ST kembali kepada garis isoelektris dan gelombang T menjadi terbalik. 3. Aritmia atrium biasa ditemukan.

4. Tidak ada perubahan pada kompleks QRS dan konduksi intraventrikular (AV) tidak terganggu. 5. Keadaan perubahan ST-T di atas tidak terjadi pada keadaan perikarditis uremia.

Pengaruh A. Digitalis

Obat-obatan

1. Pengaruh: perubahan yang mengikuti EKG menunjukkan bahwa pasien memakai digitalis. Ini tidak memberikan tanda dari adanya toksisitas atau berkorelasi dengan derajat dari efektivitas klinis: a. Depresi segmen ST, kadang terdapat scooped appearance b. Frekuensi ventrikel melambat, terutama pada fibrilasi atrial c. Interval QT memendek. 2. Toksisitas: hal-hal di bawah ini adalah tanda-tanda dari adanya keracunan digitalis: a. Terdapat tanda-tanda sinus bradikardi, frekuensi di bawah 50. b. Blok AV derajat 1, interval PR yang lebih dari 0,21 detik. c. Blok AV derajat 2,3. d. Takikardi atrial, biasanya dengan konduksi AV 2 : 1. e. Denyut ventrikel ektopik; bigeminus. f. Takikardi ventrikel. B. Kuinidin 1. Pengaruh: hal-hal yang berpengaruh pada EKG dapat/tidak dapat menunjukkan adanya toksisitas. Evaluasi klinis penting dalam membuat keputusan: a. Depresi ST dan gelombang T mendatar (flattening). b. Repolarisasi ventrikel memanjang dengan gelombang U prominen. 2. Toksisitas. Hal-hal di bawah ini tanda pasti EKG untuk toksisitas kuinidin, yaitu:

a. Interval QRS memanjang: 50% peningkatan di atas terjadi pada intervalpretreatment. b. Blok AV derajat 1,2,3. c. Disosiasi AV. d. Denyut ventrikel ektopik. e. Takikardi ventrikel. Kecuali blok jantung derajat 1, gambaran di atas adalah kontraindikasi absolut untuk meneruskan terapi kuinidin. C. Obat-obat lain seperti prokainamid, fenotiazin, dan antidepresan trisiklik mempunyai gambaran EKG yang mirip dengan kuinidin.

Gangguan 1. Hiperkalemia. Peningkatan kalium dalam serum, perubahan yang dapat terlihat: a. Gelombang T yang tinggi, ramping, dan runcing. b. Defek konduksi AV. c. Gelombang P menghilang. d. Interval QRS melebar. e. Takikardi ventrikel, fibrilasi. 2. Hipokalemia Perubahan yang dapat terlihat: a. Depresi ST dan gelombang T yang rendah.

Elektrolit

b. Repolarisasi ventrikel yang memanjang, diikuti dengan gelombang U yang besar dan tegak, terbaik dilihat pada sadapan V2-4, U/T rasio > 1,0. Penemuan ini identik dengan yang dihasilkan oleh kuinidin.

3. Hiperkalsemia Kadar kalsium serum > 12 mg/l00ml. a. Ditandai dengan interval Q-T yang memendek. b. Segmen ST yang merupakan periode isoelektris yang nyata, menghilang (tereliminasi), sehingga gelombang T langsung terdapat pada akhir kompleks QRS. 4. Hipokalemia Ditandai dengan interval QT yang memanjang, terutama segmen ST. Angina Pektoris Definisi Angina pektoris adalah suatu sindrom klinis berupa serangan sakit dada yang khas, yaitu seperti ditekan atau terasa berat di dada yang sering kali menjalar ke lengan kiri. Hal ini biasa timbul saat pasien melakukan aktivitas dan segera hilang saat aktivitas dihentikan.

Angina pektoris biasanya berkaitan dengan penyakit jantung koroner aterosklerotik, tapi dalam beberapa kasus dapat merupakan kelanjutan daristenosis aorta berat, insufisiensi atau hipertrofi kardiomiopatitanpa/disertai obstruksi, aortitis sifilitika, peningkatan kebutuhan metabolik (seperti hipertiroidisme atau pascapengobatan tiroid), anemia yang jelas, takikardi paroksismal dengan frekuensi ventrikular cepat, emboli, atau spasme koroner.

Manifestasi Klinis Perasaan seperti diikat atau ditekan yang bermula dari tengah dada yang secara bertahap menyebar ke rahang bawah, permukaan dalam tangan kiri, dan permukaan ulnar jari manis dan jari kelingking. Secara garis besar, ciri khas tanda dan gejala terjadinya angina pektoris dapat dilihat dari letaknya (daerah yang terasa sakit), kualitas sakit, hubungan timbulnya sakit dengan aktivitas, dan lama serangannya. Sakit biasanya timbul di daerah sternal, substernal, atau dada sebelah kiri dan menjalar ke lengan kiri. Kualitas sakit yang timbul beragam dapat seperti ditekan benda berat, dijepit atau terasa panas. Sakit dada biasanya timbul saat melakukan aktivitas dan hilang saat berhenti, dengan lama serangan berlangsung antara 1-5 menit.

Komplikasi Komplikasi utama dari angina (stable) adalah unstable angina, infark miokard, aritmia, dan sudden death. Diagnosis Dengan EKG, didapatkan depresi segmen ST lebih dari 1 mm pada waktu melakukan latihan/aktivitas dan biasanya disertai sakit dada mirip seperti saat serangan angina. Penatalaksanaan 1. Pengobatan terhadap serangan akut, berupa nitrogloserin sublingual -1 tablet yang merupakan obat pilihan yang bekerja sekitar 1-2 menit dan dapat diulang dengan interval 3-5 menit. 2. Pencegahan serangan lanjutan: 1. Long-acting nitrate, yaitu ISDN 3 x 10-40 mg oral. 2. Beta bloker: propanolol, metoprolol, nadolol, atenolol, dan pindolol. 3. Kalsium antagonis: verapamil, diltiazem, nifedipin, nikardipin, atau isradipin. 3. Tindakan invasif: Percutaneus transluminal coronary angioplasty (PTCA), laser coronary angioplasty, Coronary artery bypass grafting (CABG). 4. Olahraga disesuaikan. Kardiomiopati Definisi Kelainan otot jantung yang tidak diketahui sebabnya. Menurut Goodwin, berdasarkan kelainan patofisiologinya, terbagi atas kardiomiopati kongestif/dilatasi, kardiomiopati hipertrofik, dan kardiomiopati restriktif. Kardiomiopati Dilatasi/Kongestif Penyakit miokard yang ditandai dengan dilatasi ruangan-ruangan jantung dangagal jantung kongestif akibat berkurangnya fungsi pompa sistolik secara progresif serta peningkatan volume akhir diastolik dan sistolik. Etiologi Sebagian besar tidak diketahui, namun mungkin berhubungan dengan virus, penggunaan alkohol yang berlebihan, penyakit metabolik, kelainan gen, dan sebagainya. Manifestasi Klinis Gejala yang muncul sesuai dengan gejala gagal jantung kiri diikuti gejala gagal jantung kanan. Dapat terjadi nyeri dada karena peningkatan kebutuhan oksigen. Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda gagal jantung kongestif. Biasanya terdapat bunyi derap dan bising akibat regurgitasi mitral.

Pemeriksaan

Penunjang

Pada EKG ditemukan hipertrofi ventrikel kiri, kelainan gelombang ST dan T, atau left bundle branch block. Dari foto toraks terdapat pembesaran jantung dan bendungan paru. Pada ekokardiografi terlihat pembesaran dan disfungsi ventrikel kiri, kelainan pergerakan katup mitral saat diastolik. Dengan pemeriksaan radionuklir tampak fungsi ventrikel kiri berkurang. Dengan kateterisasi dapat dibedakan antara kardiomiopati kongestif dengan penyakit jantung iskemik.

Diagnosis Penyakit jantung iskemik atau disfungsi ventrikel kiri.

Banding

Penatalaksanaan Tidak ada pengobatan spesifik. Bila diketahui etiologinya diberikan terapi sesuai penyebab. Namun jika idiopatik, dilakukan terapi sesuai gagal jantungkongestif. Yang terbaik adalah transplantasi jantung. Prognosis Kemungkinan hidup hanya 5-6 tahun. Kardiomiopati Hipertrofik Suatu penyakit di mana terjadi hipertrofi septum interventrikular secara berlebihan sehingga aliran darah keluar dari ventrikel kiri terhambat. Etiologi Penyebabnya tidak diketahui namun sebagian diturunkan autosomal dominan. Manifestasi Klinis Pasien mengeluh nyeri dada yang tak berhubungan dengan aktivitas. Sinkop dan dispnea dapat terjadi setelah beraktivitas. Terdapat gejala-gejala gagal jantung kongestif Pada pemeriksaan fisik ditemukan pembesaran jantung ringan dan bising ejeksi sistolik yang berubahubah, bisa hilang atau berkurang bila pasien berubah posisi dari berdiri lalu jongkok.

Pameriksaan Penunjang Dari EKG didapatkan hipertrofi ventrikel, kelainan gelombang T dan ST nonspesifik, dan pembesaran atrium kiri. Diagnosis pasti ditegakkan dengan ekokardiografi.

Penatalaksanaan Yang utama adalah penggunaan penghambat beta adrenergik, misalnya propanolol, yang memiliki efek menurunkan kekuatan kontraksi ventrikel dan mencegah aritmia. Golongan antagonis kalsium seperti verapamil, dapat pula dipakai meski harus berhati-hati pada pasien dengan gagal jantung kongestif. Dapat pula dilakukan miomektomi, penggantian katup mitral, dan pemasanganpacemaker

Digitalis, diuretik, nitrat dan agonis beta adrenergik harus dihindarkan dari pemakaiannya, terutama pada pasien dengan perbedaan tekanan alur keluar ventrikel kiri karena dapat meningkatkan obstruksi alur keluar.

Kardiomiopati Restriktif Suatu penyakit di mana terjadi kelainan komposisi miokardium sehingga menjadi lebih kaku sehingga pengisian ventrikel kiri terganggu, mengurangi curah jantung dan meningkatkan tekanan pengisian ventrikel kiri. Etiologi Penyakit-penyakit yang menginfiltrasi miokardium, seperti amiloidosis, hemokromatosis, sarkoidosis, dan sebagainya. Manifestasi Biasanya ditemukan gejala dan tanda gagal jantung kanan dan kiri. Klinis

Pemeriksaan Penunjang Pada foto toraks terlihat pembesaran jantung dan hipertensi vena pulmonal. Dari EKG didapatkan kelainan gelombang T dan ST nonspesifik serta voltase QRS yang rendah. Ekokardiografi menunjukkan penebalan ventrikel kanan dan kiri. Ruangan ventrikel normal sedangkan atrium bertambah ukurannya. Dalam pemeriksaan radionuklir terlihat adanya infiltrasi pada otot jantung. Ventrikel kiri normal atau mengecil, fungsi sistolik normal.

Diagnosis Perikarditis restriktif.

Banding

Penatalaksanaan Sulit diobati, tergantung penyakit yang mendasarinya. Dapat diberikan obat simtomatik berupa diuretik untuk mengurangi kongesti. Bila terdapat gangguan irama diberikan obat antiaritmia. Insufisiensi Mitral Etiologi dibagi atas reumatik dan nonreumatik (degeneratif, endokarditis,penyakit jantung koroner, penyakit jantung bawaan, trauma, dan lain-lain). Di Indonesia penyebab terbanyak adalah demam reumatik. Sekitar 30% tidak mempunyai riwayat demam reumatik yang jelas. Patofisiologi Insufisiensi mitral akibat reuma terjadi karena katup tidak bisa menutup sempurna waktu sistolik. Perubahan pada katup meliputi kalsifikasi, penebalan, dan distorsi daun katup. Hal ini mengakibatkan koaptasi yang tidak sempurna waktu sistolik. Selain pemendekan korda tendinea mengakibatkan katup

tertarik ke ventrikel, terutama bagian posterior, dapat juga terjadi dilatasi anulus atau ruptur korda tendinea. Selama fase sistolik, terjadi aliran regurgitasi ke atrium kiri, mengakibatkan gelombang V yang tinggi di atrium kiri, sedangkan aliran ke aorta berkurang. Pada saat diastolik, darah mengalir dari atrium kiri ke ventrikel. Darah tersebut, selain yang berasal dari paru-paru melalui vena pulmonalis, juga terdapat darah regurgitan dari ventrikel kiri waktu sistolik sebelumnya. Ventrikel kiri cepat distensi, apeks bergerak ke bawah secara mendadak, menarik katup, korda, dan otot papilaris. Hal ini menimbulkan vibrasi membentuk bunyi jantung ketiga. Pada insufisiensi mitral kronik, regurgitasi sistolik ke atrium kiri dan vena-vena pulmonalis dapat ditoleransi tanpa meningkatnya tekanan baji dan aorta pulmonal. Manifestasi Klinis Regurgitasi mitral dapat ditoleransi dalam jangka waktu lama tanpa keluhan pada jantung, baik saat istirahat maupun beraktivitas. Sesak napas dan lekas lelah merupakan keluhan awal secara berangsurangsur menjadi ortopnea, dispnea nokturnal paroksismal, dan edema perifer. Pada pemeriksaan fisik, fasies mitral lebih jarang terjadi dibandingkan denganstenosis mitral. Pada palpasi tergantung derajat regurgitasinya, mungkin didapatkan peningkatan aktivitas jantung kiri. Pada auskultasi terdengar bising pansistolik yang bersifat meniup (blowing) di apeks, menjalar ke aksila, dan mengeras pada ekspirasi. Bunyi jantung pertama melemah, katup tidak menutup sempurna pada akhir diastolik. Pada saat tersebut tekanan atrium dan ventrikel kiri sama. Terdengar bunyi jantung ketiga akibat pengisian cepat ke ventrikel kiri pada awal diastolik dan diikuti diastolic flow murmur karena volume atrium kiri yang besar mengalir ke ventrikel kiri. Pemeriksaan Penunjang Pada insufisiensi mitral yang ringan mungkin hanya terlihat gainbaran P mitral dengan aksis dan kompleks QRS yang masih normal. Pada tahap lanjut terlihat aksis yang bergeser ke kiri dan disertai hipertrofi ventrikel kiri. Blok berkas kanan yang tidak komplit (rsR di V1) didapatkan pada 5% pasien. Semakin lama penyakit, kemungkinan timbulnya aritmia atrium semakin besar. Kadang-kadang timbul ekstrasistolik, takikardi, dan flutter atrium, paling sering fibrilasi, yang awalnya paroksismal dan akhimya menetap. Pada pemeriksaan foto toraks, kasus ringan tanpa gangguan hemodinamik yang nyata, besar jantung biasanya normal. Pada keadaan lebih berat terlihat pembesaran atrium kiri dan ventrikel kiri, serta mungkin tanda-tanda bendungan paru. Kadang-kadang terlihat perkapuran pada anulus mitral. Fonokardiografi dilakukan untuk mencatat konfirmasi bising dan mencatat adanya bunyi jantung ketiga pada insufisiensi mitral sedang sampai berat. Ekokardiografi digunakan untuk mengevaluasi gerakan katup, ketebalan, serta adanya perkapuran pada mitral. Ekokardiografi Doppler dapat menilai derajat regurgitasi. Pemeriksaan laboratorium untuk menentukan ada tidaknya reuma aktif/reaktivasi.

Penatalaksanaan Pemberian antibiotik untuk mencegah reaktivasi reuma dan timbulnyaendokarditis infektif

Stenosis Mitral Definisi Secara etiologi, stenosis mitral dibagi atas reumatik (> 90%) dan nonreumatik. Di negara berkembang manifestasi stenosis mitral sebagian terjadi pada usia di bawah 20 tahun, yang disebut Juvenile Mitral Stenosis. Patofisiologi Stenosis mitral terjadi karena adanya fibrosis dan fusi komisura katup mitral pada waktu fase penyembuhan demam reumatik. Terbentuknya sekat jaringan ikat tanpa pengapuran mengakibatkan lubang katup mitral pada waktu diastolik lebih kecil dari normal. Berkurangnya luas efektif lubang mitral menyebabkan berkurangnya daya alir katup mitral. Hal ini akan meningkatkan tekanan di ruang atrium kiri sehingga timbul perbedaan tekanan antara atrium kiri dan ventrikel kiri waktu diastolik. Jika peningkatan tekanan ini tidak berhasil mengalirkan jumlah darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh, akan terjadi bendungan pada atrium kiri dan selanjutnya akan menyebabkan bendungan vena dan kapiler paru. Bendungan ini akan menyebabkan terjadinya sembab interstisial kemudian mungkin terjadi sembab alveolar. Pecahnya vena bronkialis akan menyebabkanhemoptisis. Pada tahap selanjutnya tekanan arteri pulmonal akan meningkat, kemudian terjadi pelebaran ventrikel kanan dan insufisiensi pada katup trikuspid atau pulmonal. Akhimya vena-vena sistemik akan mengalami bendungan pula. Bendungan hati yang berlangsung lama akan menyebabkan gangguan fungsi hati. Kompensasi pertama tubuh untuk menaikkan curah jantung adalah takikardia. Tetapi kompensasi ini tidak selamanya menambah curah jantung karena pada tingkat tertentu akan mengurangi masa pengisian diastolik. Regangan pada otot-otot atrium dapat menyebabkan gangguan elektris sehingga terjadi fibrilasi atrium. Hal ini akan mengganggu pengisian ventrikel dari atrium dan memudahkan pembentukan trombus di atrium kiri.

Manifestasi Klinis Sebagian besar pasien menyangkal riwayat demam rematik sebelumnya. Keluhan berkaitan dengan tingkat aktivitas fisik dan tidak hanya ditentukan oleh luasnya lubang mitral, misalnya wanita hamil. Keluhan dapat berupa takikardi, dispnea, takipnea, atau ortopnea, dan denyut jantung tidak teratur. Tak jarang terjadi gagal jantung, batuk darah, atau tromboemboli serebral maupun perifer.

Jika kontraktilitas ventrikel kanan masih baik sehingga tekanan arteri pulmonalis belum tinggi sekali, keluhan lebih mengarah pada akibat bendungan atrium kiri, vena pulmonalis,dan interstisial paru. Jika ventrikel kanan sudah tak mampu mengatasi tekanan tinggi pada arteri pulmonalis, keluhan beralih ke

arah bendungan vena sistemik, terutama jika sudah terjadi insufisiensi trikuspid dengan atau tanpa fibrilasi atrium. Pada pemeriksaan fisik didapatkan bising mid diastolik yang bersifat kasar, bising menggerendang (rumble), aksentuasi presistolik dan mengerasnya bunyi jantung satu. Jika terdengar bunyi tambahan opening snap berarti katup terbuka masih relatif lemas (pliable) sehingga waktu terbuka mendadak saat diastolik menimbulkan bunyi menyentak (seperti tali putus). Jarak bunyi jantung kedua dengan snap memberikan gambaran beratnya stenosis. Makin pendek jarak ini berarti makin berat derajat penyempitan.

Komponen pulmonal bunyi jantung kedua dapat disertai bising sistolik karena adanya hipertensi pulmonal. Jika sudah terjadi insufisiensi pulmonal, dapat terdengar bising diastolik katup pulmonal. Penyakit penyerta bisa terjadi pada katup-katup lain, misalnya stenosis trikuspid atau insufisiensi trikuspid. Bila perlu, untuk konfirmasi hasil auskultasi dapat dilakukan pemeriksaan fonokardiografi yang dapat merekam bising tambahan yang sesuai. Pada fase lanjutan, ketika sudah terjadi bendungan interstisial dan alveolar paru, akan terdengar ronki basah atau mengi pada fase ekspirasi. Jika hal ini berlanjut terus dan menyebabkan gagal jantung kanan, keluhan dan tanda-tanda edema paru akan berkurang atau menghilang dan sebaliknya tanda-tanda bendungan sistemik akan menonjol (peningkatan tekanan vena jugularis, hepatomegali, asites, dan edema tungkai). Pada fase ini biasanya tanda-tanda gagal hati akan mencolok, seperti ikterus, menurunnya protein plasma, hiperpigmentasi kulit (fasies mitral), dan sebagainya. Pemeriksaan Penunjang Pada kasus ringan, EKG mungkin hanya akan memperlihatkan gambaran P mitral berupa takik (notching) gelombang P dengan gambaran QRS yang masih normal. Pada tahap lebih lanjut, akan terlihat perubahan aksis frontal yang bergeser ke kanan dan kemudian akan terlihat gambaran rs atau RS pada hantaran prekordial kanan. Bila terjadi perputaran jantung karena dilatasi/hipertrofi ventrikel kanan, gambaran EKG prekordial kanan dapat menyerupai gambaran kompleks intrakaviter kanan atau infark dinding anterior (qR atau qr di V1). Pada keadaan ini, biasanya sudah terjadi regurgitasi trikuspid yang berat karena hipertensi pulmonal yang lanjut. EKG normal jika terjadi keseimbangan listrik karena stenosis katup aorta yang menyertainya. Pada stenosis mitral reumatik, sering dijumpai adanya fibrilasi/flutter atrium. Gambaran foto toraks dapat berupa pembesaran atrium kiri, pelebaran arteri pulmonal, aorta yang relatif kecil (pada pasien dewasa dan fase lanjut), dan pembesaran ventrikel kanan. Kadang-kadang terlihat perkapuran di daerah katup mitral atau perikardium. Pada paru-paru, terlihat tanda-tanda bendungan vena.

Pemeriksaan ekokardiografi M-mode dan 2D-Doppler sangat penting dalam penegakkan diagnosis. Pemeriksaan laboratorium tidak ada yang khas, ditujukan untuk penentuan adanya reaktivasi reuma.

Penatalaksanaan Prinsip dasar penataksanaan adalah melebarkan lubang katup mitral yang menyempit. Tetapi indikasi intervensi ini hanya untuk pasien kelas fungsional III (NYHA) ke atas. Intervensi dapat bersifat bedah dan nonbedah. Pengobatan farmakologis hanya diberikan apabila ada tanda-tanda gagal jantung, aritmia, ataupun reaktivasi reuma. Profilaksis reuma harus diberikan sampai umur 25 tahun, walaupun sudah dilakukan intervensi. Bila sesudah umur 25 tahun masih terdapat tanda-tanda reaktivasi, maka profilaksis dilanjutkan 5 tahun lagi. Pencegahan terhadap endokarditis infektif diberikan pada setiap tindakan operasi misalnya pencabutan gigi, luka dan sebagainya. Kor Pulmonal Definisi Kor pulmonal merupakan penyakit paru dengan hipertrofi dan atau dilatasi ventrikel kanan akibat gangguan fungsi dan atau struktur paru (setelah menyingkirkan panyakit jantung kongenital atau penyakit lain yang primernya pada jantung kiri). Etiologi Penyakit ini disebabkan oleh: 1. Penyakit paru obstruksi kronik. 2. Emfisema 3. Obstruksi pembuluh darah: emboli paru, atau penyakit yang menyebabkan kompresi perivaskular atau destruksi jaringan pada fibrosis paru, granulomatosis, kanker paru. 4. Hipertensi pulmonal primer. 5. Vasokonstriksi pulmonal menyeluruh: dapat disebabkan oleh hipoksia, pirau intrapulmonal kanan ke kiri.

Manifestasi Klinis Perlu dilakukan ananmesis yang teliti ada tidaknya penyakit paru yang mendasari dan jenis kelainan paru seperti batuk kronik yang produktif, sesak napas waktu beraktivitas, napas yang berbunyi, mudah fatig, dan kelemahan. Pada fase awal berupa pembesaran ventrikel kanan, tidak menimbulkan keluhan, jadi lebih banyak keluhan akibat penyakit parunya. Keluhan akibat pembesaran ventrikel kanan baru timbul bila sudah ada gagal jantung kanan, misalnya edema dan nyeri perut kanan atas. Infeksi paru sering mencetuskan gagal jantung, hipersekresi bronkus, edema alveolar, serta bronkospasme yang menurunkan ventilasi paru lalu timbul gagal jantung kanan.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan sianosis, jari tabuh, peningkatan tekanan vena jugularis, heaving ventrikel kanan atau irama derap, pulsasi menonjol di sternum bagian bawah atau epigastrium (parasternal lift), pembesaran hepar dan nyeri tekan, asites, dan edema. Pemeriksaan Penunjang Pada foto toraks, tampak kelainan paru disertai pembesaran ventrikel kanan, dilatasi arteri pulmonal, dan atrium kanan yang menonjol. Kardiomegali sering tertutup oleh hiperinflasi paru yang menekan diafragrna sehingga jantung tampaknya normal. Pembesaran ventrikel kanan lebih jelas pada posisi oblik atau lateral. Harus diteliti adanya kelainan parenkim paru, pleura atau dinding, dan rongga toraks. Pada EKG terdapat tanda-tanda hipertrofi ventrikel kanan dan pembesaran atrium kanan, P pulmonal, aksis QRS ke kanan, atau right bundle branch block(RBBB), voltase rendah karena hiperinflasi, RST sagging II, III, aVF, tetapi kadang-kadang EKG masih normal. Gelombang S yang dalam pada V6. EKG sering menyerupai infark miokard yaitu adanya gelombang Q pada II, III, aVF namun jarang dalam dan lebar seperti pada infark miokard inferior. Sering ditemukan kelainan tes faal paru (spirometri) dan analisis gas darah. Ada respons polisitemik terhadap hipoksia kronik. Tes faal paru dapat menentukan penyebab dasar kelainan paru. Pada analisis gas darah bisa ditemukan saturasi O2 menurun PCO2 biasanya normal. Bila kor pulmonal disebabkan penyakit vaskular paru, PCO2 biasanya normal. Bila kor pulmonal akibat hipoventilasi alveolar (misalnya karena penyakit paru obstruktif menahun dengan emfisema), PCO2 meningkat. Pada ekokardiogafi, dimensi ruang ventrikel kanan membesar, tapi struktur dan dimensi ventrikel kiri normal. Pada gambaran ekokardiografi katup pulmonal gelombang a hilang, menunjukkan hipertensi pulmonal. Kadang-kadang dengan pemeriksaan ekokardiografi sulit terlihat katup pulmonal karenaaccoustic window sempit akibat penyakit paru. Pada kateterisasi jantung ditemukan peningkatan tekanan jantung kanan dan tahanan, pembuluh paru. Tekanan atrium kiri dan tekanan baji kapiler paru normal, menandakan bahwa hipertensi pulmonal berasal dari prakapiler dan bukan berasal dari jantung kiri.

Diagnosis Banding Hipertensi vena pulmonal, yang biasa diderita pasien stenosis katup mitral danperikarditis konstriktif, dapat dibedakan dengan tes fungsi paru dan analisis gas darah.

Penatalaksanaan Pada dasarnya adalah mengobati penyakit dasarnya. Pengobatan terdiri dari: 1. Tirah baring, diet rendah garam, dan medikamentosa berupa diuretik, digitalis, terapi oksigen, dan pemberian antikoagulan. Digitalis diberikan terutama bila terdapat gagal jantung kanan, tetapi yang paling penting adalah mengobati penyakit paru yang mendasarinya. Terapi oksigen sangat penting, bahkan kadang-kadang perlu ventilator mekanik bila terjadi retensi CO2 yang berbahaya (gagal napas).

Pada kasus eksaserbasi akut insufisiensi paru, sering pasien perlu dirawat intensif untuk aspirasi sekret bronkus, pengobatan infeksi paru, bronkodilator, kortikosteroid, keseimbangan cairan, dan pengawasan penggunaan sedatif. Kadang-kadang diperlukan trakeostomi untuk membantu aspirasi sekret dan mengurangi ruang mati. Antikoagulan dapat mencegah trombosis yang memperberat penyakit paru obstruktif kronik 2. Preventif, yaitu berhenti merokok olahraga dan teratur, serta senam pernapasan sangat bermanfaat walaupun harus dalam jangka panjang.

Prognosis Sangat bervariasi, tergantung penjalanan alami penyakit paru yang mendasari dan ketaatan pasien berobat. Penyakit bronkopulmonal simtomatik angka kematian rata-rata 5 tahun sekitar 40-50%. Juga obstruksi vaskular paru kronik dengan hipertrofi ventrikel kanan mampunyai prognosis yang buruk. Biasanya pasien hipertensi pulmonal dengan obstruksi vaskular kronik hanya bertahan hidup 2-3 tahun sejak timbulnya gejala.

Hipotensi dan Syok Definisi Syok adalah suatu sindrom klinis yang terjadi jika sirkulasi darah arteri tidak adekuat untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan. Perfusi jaringan yang adekuat tergantung pada 3 faktor utama, yaitu curah jantung, volume darah, dan tonus vasomotor perifer. Jika salah satu dari ketiga faktor penentu ini kacau dan faktor lain tidak dapat melakukan kompensasi, maka akan terjadi syok. Awalnya tekanan darah arteri mungkin normal sebagai kompensasi peningkatan isi sekuncup dan curah jantung. Jika syok berlanjut, curah jantung menurun dan vasokonstriksi perifer meningkat. Jika hipotensi menetap dan vasokonstriksi berlanjut, hipoperfusi mengakibatkan asidosis laktat, oliguria, dan ileus. Jika tekanan arteri cukup rendah, terjadi disfungsi otak dan otot jantung. Etiologi 1. Syok hipovolemik o Kehilangan darah/syok hemoragik Hemoragik eksternal: trauma, perdarahan gastrointestinal Hemoragik internal: hematoma, hematotoraks/hemoperitoneum o Kehilangan plasma Luka bakar Dermatitis eksfoliatif

o Kehilangan cairan dan elektrolit Eksternal: muntah, diare, keringat yang berlebihan, keadaan hiperosmolar (ketoasidosis diabetik, koma hiperosmolar nonketotik) Internal: pankreatitis, asites, obstruksi usus 2. Syok kardiogenik o Disritmia o Kegagalan pompa jantung o Disfungsi katup akut o Ruptur septum ventrikel 3. Syok obstruktif o Tension pneumothorax o Penyakit perikardium (tamponade, konstriksi) o Penyakit pembuluh darah paru (emboli paru masif, hipertensi pulmonal) o Tumor jantung (miksoma atrial) o Trombus mural atrium kiri o Penyakit katup obstruktif (stenosis aorta atau mitral) 4. Syok distributif o Syok septik o Syok anafilaktik o Syok neurogenik o Obat-obat vasodilator

o Insufisiensi adrenal akut

Manifestasi Klinis o Tekanan darah sistemik rendah dan takikardi; puncak tekanan darah sistolik < 100 mmHg atau lebih dari 10% di bawah tekanan darah yang telah diketahui. o Hipoperfusi perifer, vasokonstriksi; kulit dingin, lembab, dan sianosis. o Status mental terganggu; kebingungan, agitasi, koma. o Oliguria atau anuria; < 0,5 ml/kg BB/jam. o Asidosis metabolik. Pemantauan hemodinamik A. Tekanan darah arteri. B. Tekanan vena sentral. C. Tekanan arteri pulmonal, dimonitor dengan kateter Swan-Ganz untuk pengukuran Pulmonary Catheter Wedge Presure (PCWP). D. Pengukuran tambahan. Pemantauan sensorium, jumlah urin, dan suhu kulit. Penatalaksanaan Pasien diletakkan dalam posisi Trendelenburg atau telentang dengan kaki ditinggikan. Untuk syok yang tidak terdiagnosis: 1. Bebaskan jalan napas dan yakinkan ventilasi yang adekuat o PaO2 (tekanan yang ditimbukan oleh O2 yang terlarut dalam darah) minimal 60 mmHg o Intubasi jika PaO2 < 60 mmHg pada FlO2 (konsentrasi oksigen inspirasi) maksimal dengan masker muka atau PaCO2 > 55 mmHg (tekanan yang ditimbulkan oleh CO2 yang terlarut dalam darah). o Semua pasien harus mendapat suplemen oksigen untuk meyakinkan oksigenasi yang adekuat 2. Pasang akses ke intravena

o Pasang 2 jalur kateter intravena ukuran besar (< no. 16) jika diduga syok hipovolemik o Central venous pressure (CVP) harus dipasang jika syok berat. o Kateter Swan-Ganz dimasukkan jika tekanan bagian kanan tidak mencerminkan tekanan bagian kanan, hipotensi yang menetap setelah diterapi, atau diduga syok kardiogenik. 3. Mengembalikan cairan o Awalnya diberikan bolus 250-500 ml dalam 15 menit, diikuti pemeriksaan tekanan darah, denyut jantung, vena jugularis, dan paru. Jika tidak terjadi kelebihan cairan, berikan 1-2 liter NaCl dalam 30-60 menit, dilanjutkan dengan pemberian cairan berdasarkan tanda-tanda vital, CVP, atau PCWP. o Jika hipotensi menetap setelah penggantian cairan yang adekuat, berikan dopamin 400 mg dalam 500 ml glukosa 5%, mulai dengan 2-5 mg/kg BB/menit dan titrasi dosis untuk menjaga tekanan sistolik > 90 mmHg. 4. Pertahankan produksi urin > 0,5 ml/kgBB/jam.

Anda mungkin juga menyukai