Anda di halaman 1dari 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Komunikasi Manusia dalam kehidupannya harus berkomunikasi, dengan kata lain membutuhkan orang lain atau kelompok untuk saling berinteraksi. Hal ini merupakan sebuah hakekat bahwa sebagian besar pribadi manusia terbentuk dari integrasi sosial dengan sesama dalam kelompok dan masyarakat (Parwijanto 2008).

2.1.1

Fungsi Komunikasi Empat fungsi utama komunikasi di dalam kelompok atau organisasi adalah untuk pengendalian, motivasi, pengungkapan emosi dan informasi. Komunikasi berfungsi untuk mengendalikan perilaku anggota organisasi tersebut. Dalam setiap organisasi memiliki hierarki wewenang dan garis panduan formal yang harus dipatuhi oleh setiap pegawai yang termasuk dalam organisasi tersebut. Komunikasi dapat memperkuat motivasi melalui penjelasan yang diberikan atasan kepada bawahan mengenai apa yang harus mereka lakukan. Penjelasan sasaran yang spesifik, umpan balik terhadap

kemajuan dan dorongan perilaku yang diinginkan akan meningkatkan motivasi dan menuntut komunikasi. Komunikasi yang terjadi dalam sebuah orgnisasi merpakan mekanisme fundamental di mana para anggotanya dapat

mengungkapkan kekecewaan dan kepuasan. Oleh sebab itu, komunikasi memfasilitasi pengungkapan emosi perasaan dan kebutuhan sosial. Fungsi terakhir dari komunikasi adalah perannya dalam

pengambilan keputusan melalui pemberian informasi yang diperlukan individu dan organisasi. Agar berkinerja secara efektif, organisasi perlu mengendalikan perilaku anggotanya, merangsang motivasi anggota untuk meningkatkan kinerja mereka, menyediakan sarana untuk

mengungkapkan emosi perasaan dan memberikan informasi yang jelas mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan organisasi (Robbins 2003).

2.1.2

Proses Komunikasi Tujuan dalam komunikasi dinyatakan sebagai pesan yang harus kita sampaikan. Pesan tersebut disampaikan dari sumber (pengirim) ke penerima. Pesan dikodekan (diubah dalam bentuk simbolik) diteruskan melalui medium (saluran) ke penerima, yang menterjemahkan ulang (decoding) pesan dari pengirim.

Berikut ini adalah alur proses komunikasi : Pesan Sumber Pengkodean Pesan Saluran Pesan Decoding Pesan Penerima

Umpan Balik

Bagan 1. Alur Proses Komunikasi Sumber mengawali pesan dengan mengkodekan pikiran. Pesan adalah produk fisik dari sumber. Saluran adalah medium tempat pesan dihantarkan. Saluran diseleksi oleh sumber yang harus menentukan apakah menggunakan saluran formal atau informal. Salurang formal dibangun oleh organisasi dan berfungsi untuk mengirimkan pesan yang berhubungan dengan kegiatan profesional para anggotanya. Saluransaluran formal secara tradisional mengikuti rantai komando dalam organisasi. (Robbins, 2003). Penerima adalah objek yang menjadi tujuan penyampaian pesan. Tetapi sebelum diterima oleh penerima, pesan mengalami decoding sehingga dapat dimengerti oleh penerima. Umpan balik merupakan evaluasi seberapa sukses sumber menyampaikan pesan dan apakah pesan dapat dipahami atau tidak. 2.1.3 Arah Komunikasi Komunikasi dapat terjadi secara horizontal atau vertikal. Dimensi vertikal dapat dibagi menjadi ke arah bawah dan ke atas.

Komunikasi

vertikal

ke

bawah

(downward

communication)

merupakan komunikasi yang terjadi dari tingkatan hierarki yang lebih tinggi ke tingkatan hierarki yang lebih rendah dalam sebuah organisasi atau dari atasan kepada bawahan. Pola ini digunakan untuk

menyampaikan sebuah instruksi mengenai pekerjaan, menginformasikan kebijakan dan prosedur pada bawahan, menunjukkan masalah,

mengemukakan umpan balik terhadap kinerja dan pemberian motivasi kerja (Prawiyanto, 2008). Komunikasi ini tidak harus berupa kontak lisan. Komunikasi vertikal ke atas (upward communication) merupakan aliran komunikasi dari tingkat yang lebih rendah ke tingkat yang lebih tinggi dalam sebuah organisasi. Komunikasi ini digunakan untuk memberikan umpan balik terhadap atasan, pelaporan hasil kerja, pengungkapan kesulitan yang dihadapi pekerja dan penyampaian informasi mengenai keluhan bawahan baik diri sendiri, pekerjaan atau teman sekerjanya. Atasan juga dapat menggunakan komunikasi ini untuk memperoleh gagasan mengenai cara memperbaiki kondisi. Komunikasi horizontal (horizontal communication) adalah

komunikasi yang terjadi di antara anggota kelompok kerja yang sama (satu tingkat dalam tingkatan organisasi). Makna penting dari komunikasi ini adalah komunikasi ini sering diperlukan untuk menghemat waktu dan memudahkan koordinasi. Seringkali hubungan komunikasi horizontal diciptakan secara informal untuk memangkas hierarki vertikal dan mempercepat tindakan. Komunikasi ini ditinjau dari sudut pandang manajemen, bisa baik bisa buruk. Kepatuhan yang ketat terhadap struktur vertikal formal untuk

semua komunikasi dapat menghambat transfer informasi yang efisien dan cermat, komunikasi ini terbukti bermanfaat jika didukung dan melalui sepengetahuan atasa. Jika tidak, maka komunikasi ini dapat

menyebabkan konflik disfungsional bila bawahan menyelesaikan masalah dengan mengabaikan atasan atau sejumlah tindakan atau keputusan telah diambil tanpa sepengetahuan atasan. 2.1.4 Komunikasi Antarpribadi Manusia pada dasarnya mengandalkan 3 (tiga) metode dasar dalam komunikasi, yaitu : Komunikasi Lisan Sarana utama untuk menyampaikan pesan adalah komunikasi lisan. Pidato, percakapan 2 orang, diskusi kelompok dan desas-desus informal adalah bentuk populer dari komunikasi lisan. Keuntungan komunikasi ini adalah cepat dan umpan balik yang dihasilkannya. Pesan verbal dapat diterima dan ditanggapi dalam waktu yang singkat. Kerugian dari komunikasi ini dalam organisasi adalah ketika pesan-pesan tersebut harus melewati sejumlah orang. Semakin banyak orang yang dilewati oleh pesan tersebut, semakin besar kemungkinan terjadinya distorsi pesan. Komunikasi Tertulis Komunikasi tertulis mencakup memo, surat, e-mail, pengiriman faksimili, laporan berkala organisasi, pengumuman atau alat lain yang dikirmkan via kata-kata atau simbol tertulis. Pesan yang tertulis dapat disimpan dan dijadikan sebuah referensi selanjutnya. Jenis ini sesuai untuk komunikasi yang panjang dan kompleks. Manfaat lain

komunikasi ini adalah sumber akan lebih berhati-hati dalam memilih kata-kata yang disampaikan sehingga lebih mungkin isi pesan lebih jelas dan logis. Kerugian komunikasi ini adalah memakan waktu yang lama untuk menyampaikan dan mendapatkan umpan balik. Komunikasi Nonverbal Setiap kali melakukan komunikasi secara verbal, sumber juga memberikan pesan nonverbal. Komunikasi nonverbal ini ditunjukkan melalui gerkana tubuh sehingga menggambarkan sebuah makna. Dua (2) pesan paling penting yang disampaikan bahasa tubuh adalah sejauh mana individu menyukai orang lain dan berminat terhadap pandangan pemikirannya dan status yang relatif diterima antara pengirim dan penerima. Komunikasi ini menambah, dan sering merumitkan, komunikasi verbal.

2.1.5

Komunikasi Dokter Perawat Komunikasi berasal dari Bahasa Latin yaitu communis atau common yang dalam Bahasa Inggris berarti sama. Berkomunikasi dapat diartikan bahwa kita berusaha untuk mencapai kesamaan makna commonness. Istilah organisasi berasal dari bahasa Latin organizare, yang secara harafiah berarti paduan dari bagian-bagian yang satu sama lainnya saling bergantung. Di antara para ahli ada yang menyebut paduan itu sistem, ada juga yang menamakannya sarana (Parwijanto 2008). Komunikasi antara dokter dan perawat merupakan salah satu aspek kolaborasi antara dokter dan perawat, mengingat bahwa kedua profesi tersebut memiliki peran yang interdependen. Dokter memerlukan

perawat untuk melaksanakan tugas yang memang harus didelegasikan kepada perawat dan perawat juga perlu pendelegasian dari dokter terutama dalam hal penentuan penggunaan sediaan farmasi untuk pasien. Menurut Corser (2000) terdapat beberapa faktor yang

mempengaruhi kolaborasi antara dokter dan perawat. Faktor-faktor tersebut meliputi kesalahapahaman peran, perbedaan persepsi mengenai penggunaan wewenang, posisi dan rasa saling menghormati (Pallas 2005). Telah disebutkan sebelumnya bahwa dalam sebuah rumah sakit, dokter dan perawat merupakan ujung tombak terselenggaranya

pelayanan kesehatan. Komunikasi baik verbal maupun tulisan di antara kedua profesi tersebut sangat penting terutama menyangkut kondisi kesehatan pasien sehingga dapat mendukung kolaborasi yang baik juga. Menurut Fox (2000) dalam Pallas (2005) faktor-faktor yang mempengaruhi komunikasi antara dokter dan perawat adalah kesadaran (awareness), pengalaman (expirience), interaksi (interraction), profesi (profession) dan lingkungan (environment). Kewaspadaan terhadap panduan dalam komunikasi yang efektif tidak terlalu diketahui baik oleh perawat maupu oleh dokter. Hal tersebut menyebabkan hambatan dalam melakukan komunikasi di antara kedua profesi tersebut. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Fox (2000) perawat memang tampak lebih menguasai teknik-teknik komunikasi efektif dibandingkan dokter, terutama perawat-perawat senior. Sedangkan dalam intern profesi dokter sendiri, dokter senior lebih mampu

berkomunikasi dengan baik dibandingkan dokter-dokter yang masih muda. Dalam konsensus umum, komunikasi yang berjalan dengan baik antara dokter dan perawat menimbulkan kondisi kerja yang lebih baik. Bahkan disebutkan bahwa komunikasi antara dokter dan perawat merupakan proses komunikasi yang paling sulit terjalin dibandingkan dengan profesi-profesi yang lain. Hal tersebut diakibatkan hirarki yang membedakan kedua profesi tersebut. Perawat seringkali merasa bahwa komunikasi merupakan hal yang cukup penting, tetapi dokter memiliki persepsi yang berbeda mengenai komunikasi tersebut. Perbedaan persepsi ini memiliki dampak yang negatif terhadap jalannya proses komunikasi. Faktor yang terakhir adalah lingkungan kerja. Lingkungan kerja yang baik akan lebih mendukung terjalinnya komunikasi yang baik, tetapi sebaliknya komunikasi yang baik juga akan menciptakan lingkungan kerja yang nyaman dan kondusif untuk semua profesi yang ada di rumah sakit. 2.1.6 Hambatan Komunikasi Efektif Beberapa penghambat dalam komunikasi yang efektif adalah sebagai berikut : a. Penyaringan Penyaringan mengacu kepada pengirim yang melakukan manipulasi informasi sehingga lebih menguntungkan di mata penerima. Misalnya, seorang bawahan memberikan laporan yang dia (bawahan) rasa ingin didengar oleh atasannya, maka dia sedang menyaring informasi. Penentu utama penyaringan adalah

jumlah hierarki dalam sebuah struktur organisasi. Semakin vertikal akan semakin tinggi kemungkinan terjadi penyaringan. Tetapi atasan yang cukup jeli dapat memperkirakan sejumlah

penyaringan jika terdapat perbedaan status. b. Persepsi Selektif Persepsi selektif lebih kepada penafsiran penerima

berdasarkan kebutuhan, motivasi, pengalaman, latar belakang dan karakteristik personal lainnya. Sehingga penerima tidak melihat sebuah realitas melainkan menafsirkan pesan sebagai sebuah realitas. c. Informasi Berlebih Setiap orang memiliki kemampuan yang terbatas untuk mengolah data. Kecenderungan individu yang memiliki lebih banyak informasi daripada yang dapat mereka gunakan adalah individu tersebut akan melakukan seleksi, pengabaian, melewati atau melupakan informasi tersebut. Tidak peduli apakah akibatnya adalah kehilangan informasi dan komunikasi yang efektif. d. Emosi Perasaan penerima pada saat menerima informasi dalam sebuah komunikasi mempengaruhi caranya untuk

menginterpretasikan informasi tersebut. Pesan serupa yang diterima pada saat marah akan memiliki arti yang berbeda jika diterima pada saat senang. Pada saat itulah rentan untuk tidak menghiraukan proses pemikiran yang rasional dan objektif serta menggantikannya dengan penilaian emosional.

e. Bahasa Bahasa dapat memiliki arti yang berbeda-beda bagi orang yang berbeda pula. Usia, pendidikan dan latar belakang budaya merupakan variabel yang mempengaruhi budaya. Dalam

organisasi, pengelompokkan-pengelompokkan jenis pekerjaan yang berbeda akan mengembangkan bahasa teknis yang berbeda-beda antar kelompok. Masalahnya adalah f. Kegelisahan Komunikasi Kegelisahan komunikasi merupakan hambatan untuk

terjadinya komunikasi yang efektif. Kecemasan dan ketegangan pada saat berkomunikasi baik lisan, tulisan atau keduanya mempengaruhi seluruh teknik komunikasi.

2.2 Patient Safety (Keselamatan Pasien) Keselamatan pasien (patient safety) rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Sistem tersebut meliputi pengenalan resiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan resiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden, tindak lanjut dan implementasi solusi untuk meminimalkan resiko (Depkes 2008). Tujuan dilakukannya kegiatan Patient Safety di rumah sakit adalah untuk mencipatakan budaya keselamatan pasien di rumah sakit, meningkatkan akuntabilitas rumah sakit, menurunkan KTD dan KNC di rumah sakit,

terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan kejadian tidak diharapkan. Mengingat masalah keselamatan pasien merupakan masalah yang penting dalam sebuah rumah sakit, maka diperlukan standar keselamatan pasien rumah sakit yang dapat digunakan sebagai acuan bagi rumah sakit di Indonesia. Standar keselamatan pasien rumah sakit yang saat ini digunakan mengacu pada Hospital Patient Safety Standards yang dikeluarkan oleh Join Commision on Accreditation of Health Organization di Illinois pada tahun 2002 yang kemudian disesuaikan dengan situasi dan kondisi di Indonesia. Penilaian keselamatan yang dipakai Indonesia saat ini dialakukan dengan menggunakan instrumen Akreditasi Rumah Sakit yang dikeluarkan oleh KARS. Standar yang digunakan ada 7 macam standar yang terdiri dari hak pasien, mendidik pasien dan keluarga, keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan, penggunaan metodemetode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program peningkatan keselamatan pasien, peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien, mendidik staf tentang keselamatan pasien, komunikasi sebagai kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien. Menurut (Millar 2004) terdapat beberapa indikator yang dapat digunakan untuk penilaian insiden patient safety di rumah sakit, sesuai dengan ruanganruangan tempat pasien dirawat. Berikut ini adalah indikator-indikator tersebut : Tabel 1. Indikator Patient Safety Area Hospital acquierd infection Indikator Ventilator pneumonia Luka infeksi Infection due to medical care Decubitus ulcer Komplikasi anestesi Fraktur pinggul post operasi Emboli paru post operasi atau

Komplikasi operasi post operasi

Bangsal perawatan

Obstetri/ kebidanan dan kandungan

KTD/ KNC

trombus vena Sepsis post operasi Kesulitan teknik operasi Reaksi transfusi Kesalahan tipe darah Kesalahan area pembedahan Benda asing yang tertinggal di tubuh saat operasi Penggunaan peralatan medis yang menyebabkan KTD Medical error Trauma neonatus saat persalinan Trauma obstetri (vagina) Trauma obstetri (luka operasi cesar) Penyulit persalinan lain Pasien jatuh Fraktur panggul karena pasien jatuh

Selain indikator-indikator keselamatan pasien di atas terdapat kerangka kerja (framework) penilaian patient safety menurut Wakefield & Jorm (2009). Berikut ini adalah bagan kerangka kerja penilaian patient safety :

Patient Expirience Patient feel safe and trust the system

Safety Learning Understanding why incidents occur

Staff attitudes and behavior

Safety Performance

Safety Action

Bagan 2 : Patient Safety Measurements Framework Bagan di atas menunjukkan kerangka kerja yang dilakukan

untukmendapatkan pengukuran patient safety yang akurat sehingga tidak terdapat kesalahan atau bias dalam melakukan pengukuran tersebut.

2.3 Hubungan Antara Komunikasi Dokter Perawat Terhadap Insiden Patient Safety Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh Manojlovich (2007) dan Vazirani (2005) disebutkan bahwa komunikasi antara dokter dan perawat memegang peranan yang penting dalam menentukan derajat kesehatan pasien dan kualitas pelayanan kesehatan yang mereka berikan. Semakin baik komunikasi yang terjadi di antara kedua profesi tersebut maka semakin baik pula hasil perawatan yang mereka berikan. Bahkan dapat menurunkan biaya yang harus dikeluarkan oleh pasien. Bahkan dalam penelitian Vazirani (2005) semakin tinggi pendidikan perawat maka semakin baik pula komunikasi yang dapat mereka lakukan dengan dokter dan semakin tinggi tingkat pendidikan perawat maka dokter juga akan semakin menaruh rasa hormat kepada perawat tersebut.

Depkes 2008, Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Patient Safety), 2 edn, Bakti Husada, Jakarta. Manojlovich, M, et al 2007, 'Healthy Work Environment, Nurse-Phycisian Communication, and Patient's Outcomes', American Journal of Critical Care vol. 16, pp. 536-43. Millar, J, et al 2004, 'Selecting Indicators for Patient Safety at the Health Systems Level in OECD Countries'. DELSA/ELSA/WD/HTP, Paris, OECD Health Technical Paper. Pallas, LOB, et al 2005, Nurse-Physician Relationship Solutions and Recomendation for Change, Nursing Health Services Research Unit, Ontario. database. Parwijanto, H 2008, 'Kajian Komunikasi Dalam Organisasi', in Perilaku Organisasi. uns.ac.id, Jakarta, 10 Desember 2009. Robbins, SP 2003, Perilaku Organisasi, 10 edn, PT. Indeks Gramedia, Jakarta.

Vazirani, S, et al 2005, 'Effect of A Multidicpinary Intervention on Communication and Collaboration', American Journal of Critical Care, Proquest Science Journal, vol. 14, p. 71. Wakefield, JG & Jorm, CM 2009, 'Patient Safety - a balanced measurements framework', Australian Health Review, vol. 33, no. 3.

Anda mungkin juga menyukai