Anda di halaman 1dari 21

PENDAHULUAN

Prevalensi penyakit hepar meningkat di Amerika Serikat. Sirosis merupakan terminal patologi pada mayoritas penyakit hepar, didapatkan + 5% pada otopsi pada seluruh insidens. Sirosis merupakan penyebab utama kematian pada laki-laki dekade ke 4 dan ke 5, serta mortality ratenya meningkat. Pasien dengan penyakit hepar, + 10% nya mendapatkan operasi dalam kurun waktu 2 tahun terakhir kehidupannya. Hepar memiliki fungsi yang luar biasa dan manifestasi klinik dari penyakit hepar sering tidak tampak sampai terjadi kerusakan yang luas. Sebagai akibatnya, ketika datang ke ruang operasi, beberapa efek dari anastesi dan pembedahan dapat memicu dekompensasi hepar yang lebih lenjut menuju ke arah gagal hepar.

Pasien dengan sirosis hepatis sering kali harus menjalani operasi. Diperkirakan 1 di antara 700 pasien yang masuk ke rumah sakit untuk menjalani operasi elektif memiliki gambaran fungsi hati yang abnormal. Penderita sirosis hati saat ini kelangsungan hidupnya menjadi lebih lama karena faktor penyulit seperti varises esofagus, koagulopati, masalah gizi dan asites relatif sudah dapat ditangani lebih baik. Sebelum klinisi memutuskan apakah pasien dengan gangguan sirosis hepatis layak atau tidak dilakukan operasi maka sebelumnya harus dilakukan penilaian preoperatif sehingga dapat diprediksi risiko morbiditas dan mortalitasnya. Masalah yang muncul adalah sampai saat ini belum ada parameter sensitif yang dapat menggambarkan korelasi yang kuat antara hasil pemeriksaan biokimiawi dengan derajat kerusakan hati. Penilaian preoperatif pada pasien dengan sirosis hepatis sangat penting karena semakin luas tingkat kerusakan hati semakin besar pula risiko kematian. Jenis tindakan operasi dan sifat operasi (emergensi atau tidak) juga sangat berpengaruh pada risiko mortalitas. Pasien dengan gangguan sirosis hepatis secara hemodinamik sangat rentan terhadap penurunan pasokan darah ke hati (hepatic blood flow). Tindakan operasi dan anestesi yang dapat menurunkan pasokan darah ke hati menimbulkan komplikasi pasca-operasi. Dengan demikian manajemen perioperatif yang optimal pada pasien dengan sirosis hepatis yang akan menjalani operasi sangat penting karena dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas. Penilaian preoperatif

yang baik dapat memprediksi kelangsungan hidup pasien dengan akurasi 90% pada pasien sirosis yang menjalani operasi abdomen. ISI Sirosis Hepatis Sirosis adalah penyakit yang serius dan progresif yang disebabkan oleh kegagalan hepar. Penyebab sirosis yang paling umum di Amerika adalah alcohol (Lachnacs cirrhosis). Penyebab lainnya termasuk hepatitis kronik aktif (postnecrosis cirrhosis), cardiac cirrhosis, hemochromatosis, penyakit Wilson, dan defesiensi a1-antitrypsin. Tanpa mengindahkan penyebabnya, necrosis hepatosit diikuti oleh regenerasi fibrosis dan nodular. Distorsi sel hepar normal dan susunan vascular menghalangi aliran vena portal yang menyebabkan hipertensi portal, sementara kerusakan pada sintesis normal hepar dan fungsi metabolisme berbeda lainnya disebabkan oleh penyakit multisystem. Secara klinis, tanda dan symptom tidak berhubungan dengan keganasan penyakit. Tanda-tanda nyata biasanya tidak terlihat pada awalnya, tapi ikterus dan asites pada akhirnya akan berkembang pada kebanyakan pasien. Tanda-tanda lain termasuk spidernevy, eritema palmaris, ginekomasti, dan splenomegali. Tiga komplikasi utama sirosis hepatis, yaitu ; (1) perdarahan varises, akibat hipertensi portal, (2) retensi cairan, dalam bentuk asites dan sindrom hepatorenal, (3) encephalopathy hepatic atau koma. + 10% pasien juga mengalami setidaknya satu rangkaian peritonitis bakteri spontan, dan beberapa akan mengalami carcinoma hepatoseluler pada akhirnya. Beberapa penyakit akan menghasilkan fibrosis hepar tanpa nekrosis hepatoseluler atau regenerasi nodular. Hal tersebut diakibatkan oleh hipertensi portal dan dihubungkan dengan komplikasi. Fungsi hepatoseluler tidak selalu dapat dipelihara. Kerusakan ini termasuk didalamnya schistosomiasis, fibrosis portal idiopatik (Sindrom Banti), dan fibrosis hepatic congenital. Obstruksi pembuluh darah hepar atau vena cava inferior (Budd-Chiari syndrome) juga dapat

menyebabkan hipertensi. Yang terakhir mungkin akibat dari trombosis vena (hypercoaguable state), tumor thrombus (renal carcinoma), atau penyakit oklusi pembuluh darah hepar sublobular.

Pengaruh Operasi dan Anestesi Pada Pasien Sirosis Hepatis Hati merupakan salah satu organ vital tubuh. Fungsi utama hati terutama bertanggungjawab terhadap metabolisme glukosa dan lemak, sistesis protein (albumin, globulin, dan faktor koagulan), ekskresi bilirubin, metabolisme obat dan hormon dan detoksifikasi. Organ hati memegang peran penting dalam pengaturan sirkulasi darah karena sekitar 25% curah jantung akan bersirkulasi melalui hati. Aliran darah di hati melalui dua pembuluh darah, yaitu arteri hepatika bertanggungjawab terhadap 25 - 30% total aliran darah hati (namun memberikan 50% pasokan oksigen ke hati), dan vena porta menyumbangkan 75% dari total aliran darah ke hati. Aliran vena porta menerima darah dari lambung, limpa, pankreas dan usus yang kaya akan nutrien, namun pasokan oksigen ke hati tidak lebih dari 50 - 55%. Pada pasien yang tidak memiliki gangguan fungsi hati, pemberian obat anestesi, analgetik, sedatif, dan tindakan pembedahan dapat meningkatkan kadar transaminase, alkali fhosfhatase, dan kadar bilirubin, namun umumnya bersifat sementara. Sebaliknya pasien dengan penyakit hati penurunan pasokan darah ke hati akibat tindakan operasi maupun anestesi dapat memicu dekompensasi hati. Kerusakan hati yang berat pada sirosis hati dapat menimbulkan hipoalbuminemia, trombositopenia, koagulopati, menurunnya imunitas, intoksikasi, perubahan hemodinamik, ensefalopati dan sindrom hepatorenal. Keadaan tersebut menjadi faktor penyulit pada saat tindakan operasi dan anestesi. Hati berfungsi sebagai organ sintesis protein albumin dan globulin. Pada pasien dengan gangguan hati dapat terjadi hipoalbuminemia. Kondisi hipoalbuminemia sangat menghambat proses penyembuhan luka. Penurunan sintesis globulin di hati menyebabkan seseorang menjadi peka terhadap infeksi karena sistem imunitas tubuh secara fungsional kemampuannya menurun. Pada

disfungsi hati yang berat metabolisme glukosa juga terganggu. Terganggunya penggunaan glukosa dan meningkatnya kadar hormon pertumbuhan dan glukagon dapat memicu intoleransi glukosa. Sintesis faktor pembekuan darah yang diproduksi di hati mengalami penurunan pada pasien yang mengalami disfungsi hati. Koagulopati dan trombositopenia (akibat hipertensi portal) meningkatkan risiko perdarahan baik pre maupun pasca-operasi. Gangguan faktor pembekuan darah terjadi akibat menurunnya sintesis faktor prokoagulan dan antikoagulan, terganggunya pembersihan faktor koagulasi yang teraktifasi, defisiensi nutrisi (vitamin K, asam folat), splenomegali, defek kualitatif trombosit dan akibat penekanan trombopoiesis sumsum tulang. Pada pasien sirosis, umumnya mengalami perubahan pola hemodinamik yang bersifat hiperdinamik berupa peningkatan curah jantung, menurunnya resistensi vascular sistemik dan meningkatnya volume intravaskular. Perfusi jaringan menurun karena adanya shunting arterio-venosa. Respons sistem kardiovaskular terhadap simpatomimetik eksogen dan endogen menurun. Shunting intrapulmomal, meningkatnya cairan ekstravaskular, diafragma yang mengalami elevasi karena desakan asites menyebabkan timbulnya mismatch rasio ventilasi terhadap aliran darah, hipoksemia dan hipoventilasi. Aliran darah ke ginjal juga cenderung menurun sehingga risiko terjadinya sindrom hepatorenal meningkat. Hati berperan dalam metabolisme dan eliminasi berbagai jenis obat. Metabolisme obat pada pasien dengan disfungsi berat akan terganggu karena menurunnya jumlah hepatosit dan pasokan aliran darah hati. Waktu paruh beberapa obat menjadi meningkat dan eliminasi menurun. Risiko intoksikasi obat meningkat. Contohnya, kerja obat penyekat neuromuscular (neuromuscular blocking) menjadi lebih panjang karena aktivitas enzim pseudokolinesterase menurun pada pasien dengan gangguan fungsi hati. Morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan penyakit hati dipengaruhi oleh faktor stres tindakan operasi dan morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan penyakit hati dipengaruhi oleh faktor stres tindakan operasi dan anestesi. Tindakan operasi dan anestesi menurunkan pasokan aliran darah menuju hati. Pasien dengan sirosis sangat peka terhadap perubahan hemodinamik. Semakin banyak perdarahan semakin banyak penurunan pasokan darah ke hati. Pada

operasi abdomen, aliran darah hati regional menurun karena oklusi struktur vaskular, terutama apabila arteri hepatika atau vena porta diklem untuk mengurangi aliran darah selama reseksi hati. Penempatan refraktor di hati dan manipulasi visera abdominal dapat menurunkan pasokan darah ke hati mencapai 50-60%. Pemberian obat anestesi secara regional maupun general dapat menurunkan aliran darah hati sampai 30-50 %. Pada orang normal yang menjalani tindakan operasi dan anestesi penurunan aliran darah ke hati tidak menimbulkan iskemia hepatik karena mekanisme kompensasi berupa penurunan kebutuhan oksigen dan meningkatnya ekstraksi oksigen oleh sel hati. Pada seseorang yang mengalami gangguan fungsi hati, mekanisme autoregulasi terganggu sehingga penurunan aliran ke hati sedikit saja mempengaruhi fungsi dan integritas sel hati. Ketidakcukupan pasokan oksigen merupakan penyebab utama dekompensasi hati pasca-operatif. Risiko Pembedahan pada Penyakit Hati Luas disfungsi hati dan tipe operasi menentukan tingkat morbiditas dan mortalitas pasien dengan gangguan fungsi hati. Pasien dengan tingkat kerusakan hati minimal memiliki risiko mortalitas lebih kecil dibandingkan pasien yang mengalami sirosis yang berat. Tipe operasi dan sifat operasi (emergensi atau tidak) menentukan risiko mortalitas. Pada pasien sirosis hati yang menjalani operasi abdomen terbuka memiliki risiko lebih tinggi dibandingkan operasi laparoskopi. Seperti disebutkan sebelumnya, penempatan refraktor di hati dan manipulasi visera abdominal pada operasi abdomen terbuka dapat menyebabkan penurunan pasokan darah ke hati sebesar 50-60%. Operasi abdomen terbuka mortalitasnya dapat mencapai 57% dibandingkan laparoskopi yang hanya 20%.

Operasi laparoskopi lebih aman dibandingkan operasi terbuka. Pada studi retrospektif yang melibatkan 226 pasien sirosis (Child Pugh A atau B) yang menjalani kolesistektomi laparoskopi, dilaporkan kematian hanya 2 orang (0,88%). Operasi bedah emergensi dibandingkan operasi elektif lebih memberikan risiko mortalitas. Pada pasien dengan sirosis hati operasi jantung emergensi menyebabkan mortalitas sebesar 80% dibandingkan operasi elektif (3-46 %). Tingkat kerusakan hati berkorelasi dengan mortalitas pasien. Pasien sirosis hati dengan nilai prothrombine time (PT) di atas normal, 47% di antaranya meninggal dibandingkan pasien yang memiliki PT normal yaitu 7%. Pasien sirosis dengan kategori Child kelas A yang meninggal hanya 10% dibandingkan Child kelas B 31% dan Child kelas C 76%.

Penilaian Preoperatif Tujuan penilaian preoperatif pada pasien dengan penyakit hati adalah untuk menentukan derajat disfungsi hati, menilai faktor risiko morbiditas dan mortalitas

berkaitan dengan tindakan operasi, sehingga penanganan preoperatif dapat diberikan secara lebih optimal dan komplikasi pascaoperasi dapat ditekan. Risiko morbiditas dan mortalitas pasien dengan penyakit hati tergantung pada derajat disfungsi hati dan tipe operasi. Pemeriksaan biokimiawi konvensional yang mencerminkan gangguan fungsi hati berkorelasi lemah dengan tingkat disfungsi hati. Salah satu contoh, pasien dengan sirosis awal parameter biokimiawinya masih mungkin dalam keadaan normal. Contoh lain, pada pasien dengan peningkatan transaminase masih sulit untuk menilai apakah perjalanan gangguan tersebut baru mulai atau sudah dalam perbaikan. Oleh sebab itu dalam memberikan penilaian preoperatif diperlukan pengumpulan dan penilaian data secara lebih teliti sehingga dapat direncanakan kapan saatnya tindakan operasi. Evaluasi preoperatif dimulai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Anamnesis selain menggali keluhan pasien juga diarahkan untuk mendapatkan faktor risiko penyakit hati, seperti riwayat transfusi darah, minum alkohol berlebih, penggunaan obat narkotika intravena dan hubungan seks yang berisiko tinggi. Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mendapatkan tanda-tanda hepatitis akut/kronis seperti: pruritus, ikterus, hepato-splenomegali, asites, palmar eritem, atrofi testis, spider nevi, dilatasi vena di dinding abdomen, ginekomasti, dan sebagainya. Temuan anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat lebih mengarahkan ada tidaknya disfungsi hati sehingga dapat digunakan sebagai pertimbangan perlu tidaknya pemeriksaan labortorium dan pemeriksaan pendukung lainnya. Faktor penyulit yang merupakan bentuk kegagalan fungsi hati primer, seperti asites, koagulopati, ensefalopati, hipoalbuminemia, peningkatan kadar bilirubin, asites dan malnutrisi harus diidentifikasi. Bentuk kegagalan fungsi hati sekunder yang dapat mempengaruhi sistem kardiovaskular, otak, sistem endokrin, ginjal dan sistem imunitas juga harus dinilai dengan teliti. Penilaian Resiko Operasi Pada Pasien Sirosis Hepatis Penilaian menggunakan Chil-Pugh classification atau Pugh scoring system dan Model of End State Liver Disease (MELD) score sering digunakan untuk menilai risiko operasi pada pasien sirosis hati. Klasifikasi Child-Pugh (klas A, B

atau C) menilai kombinasi 3 parameter biokimiawi (pro-thrombin time, albumin, bilirubin) dan 3 parameter klinis (status nutrisi, ada/tidak asites, ensefalopati). Sistem skor Pugh hampir sama dengan klasifikasi Child-Pugh hanya parameter nutrisi tidak dinilai. Penilaiannya hampir sama, yaitu: Child kelas A identik dengan skor Pugh 5-6, Child kelas B identiK dengan skor Pugh 7-9 dan Child C identik dengan skor Pugh 10-15. Makin tinggi kelas atau skor makin besar mortalitasnya. MELD score pada awalnya dikembangkan dan divalidasi untuk menilai prognosis pasien sirosis yang menjalani prosedur transjugular intrahepatic portosystemic shunt (TIPS). Nilai skor terdiri atas 3 parameter objektif, yaitu serum international normalized ratio (INR), bilirubin total dan kadar kreatinin. Berdasarkan beberapa studi, MELD score, yang merupakan parameter objektif dalam menilai derajat sirosis, sangat bermanfaat sebagai prediktor preoperatif risiko mortalitas pada pasien sirosis yang menjalani operasi. Pasien sirosis dengan skor >15 memiliki risiko mortalitas tinggi. Apabila operasi harus dilakukan maka perlu dipilih alternatif metode operasi (misalnya, laparotomi terbuka diganti dengan laparoskopi), atau operasi dilakukan secara hati-hati dan pasien dipantau secara ketat. Pasien sirosis hati mempunyai risiko mortalitas tinggi apabila (1) menjalani operasi emergensi, operasi abdomen (kolesistektomi, reseksi gaster, kolektomi), operasi jantung dan reseksi hati, (2). Pasien memiliki penampilan klinis seperti seperti: sirosis Child (C>B), asites, ensefalopati, infeksi, anemia, malnutrisi, ikterus, hipoalbuminemia, hipertensi portal, pemanjangan waktu protrombin >2,5 di atas normal yang tidak terkoreksi dengan vitamin K.

Penatalaksanaan Perioperatif Penyebab kematian utama pada pasien penyakit hati berat yang menjalani operasi adalah perdarahan, sepsis, kegagalan hati (ensefalopati) dan sindrom hepato-renal. Agar penanganan menjadi lebih optimal maka pasien penyakit hati sebaiknya dirawat oleh tim multi disiplin yang terdiri dari ahli bedah, anestesi, internist/hepatologist, cardiologist, ahli gizi medik, intencivist, dan disiplin ilmu lain sesuai keperluan. Penanganan faktor penyulit seperti malnutrisi, koagulopati, asites, ensefalopati, gangguan fungsi ginjal dan elektrolit, perdarahan varises, serta pemilihan teknik, obat anestesi dan pemantauan pasca-operasi harus dilakukan secara optimal agar dapat menurunkan komplikasi dan kematian pasca-operasi. I. Pertimbangan preoperatif Pasien dengan sirosis memiliki resiko tinggi mengalami penurunan fungsi hepar karena terbatasnya reservasi fungsional. Keberhasilan penanganan anestesi pada apsien tergantung pada pengenalan sifat/jenis multisistem dari sirosis dan mengontrol atau mencegah komplikasinya.

Manifestasi Sirosis dan Penatalaksanaan Preoperatifnya a. Manifestasi Gastrointestinal Hipertensi portal (>10mmHg) mengakibatkan berkembangnya saluran portalvena sistemik kolateral yang panjang. Secara umum telah diketahui 4 tempat kolateral utama : gastroesofageal, hemorrhoidal, periumbilical, dan retroperitoneal. Hipertensi portal sering muncul sebelum operasi seperti dibuktikan dengan melebarnya pembuluh darah pada dinding abdominal (caput medusa). Perdarahan yang banyak dari varises gastroesofageal adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada pasien sirosis. Selain itu, efek dari kehilangan banyak darah, peningkatan muatan nitrogen (tidak jalannya darah pada daerah intestinal) dapat mempercepat terjadinya encephalopathy hepatic. Endoskopi merupakan alat diagnosis dan terapi yang baik. Identifikasi terhadap tempat perdarahan sangat penting, karena pasien ini akan mengalami perdarahan dari ulkus peptic atau gastritis, yang membutuhkan terapi berbeda. Penanganan perdarahan varises umumnya secara suportif. Darah yang hilang harus digantikan dengan cairan intravena. Penanganan non bedah termasuk didalamnya vasopressin (0,1-0,9 u/min. secara intravena), propanolol, balloon tamponade (dengan tube Sengstaken Blakorhore), somatostatin (250 ug diikuti dengan 250 ug/jam), dan sclerosis endoskopik dari varises. Vasopressin, somatostatin, dan propanolol, mengurangi kehilangan darah. Vasopressin dalam dosis tinggi dapat dihasilkan dalam gagal jantung kongestif atau miokardial iskemik, infuse concomitant dari nitrogliserin intravena dapat mengurangi kemungkinan komplikasi, selain itu juga mengurangi pendarahan. Endoskopik sclerosis atau ligasi dari varises biasanya efektif untuk menghentikan perdarahan + 90% dari seluruh perdarahan. Percutaneus transjugular intrahepatic portosystemic shunts (TIPS) dapat menurunkan hipertensi portal dan perdarahan (tapi, dapat meningkatkan luasnya jangkitan encephalopathy). Pada saat perdarahan gagal dihentikan atau terjadi lagi, pembedahan darurat harus dilakukan. Resiko pembedahan telah diperlihatkan untuk menghubungkan dengan tingkat kerusakan hepar, berdasarkan penemuan klinis dan laboratorium. Prosedur shunting umumnya hanya dilakukan pada pasien dengan resiko rendah, sedangkan pembedahan ablasi, transreseksi esophageal, dan

devaskularisasi gaster direncanakan untuk pasien dengan resiko tinggi. Shunt non selektif (portacaval dan proksimal splenorenal) umumnya ditinggalkan daripada shunt selektif (distal splenorenal). Yang terakhir ini menekan varises tapi tidak merusak aliran darah hepar cukup banyak dan mempunyai kecil kemungkinan untuk menyebabkan encephalopathy setelah operasi. Asites pada pasien sirosis harus dikendalikan, karena dapat mengganggu ekspansi paru, menyebabkan herniasi dinding abdomen dan mengganggu penyembuhan luka. Asites dapat dikurangi dengan pemberian diuretik atau parasentesis sebelum operasi, atau drainase pada saat laparotomi. Parasentesis 4-5 liter tanpa pemberian albumin relatif aman. Total parasentesis yang mencapai 810 liter perlu diimbangi dengan pemberian albumin infus. Cairan asites sebaiknya diperiksa untuk mengetahui peritonitis bacterial spontan. b. Manifestasi Hematologi Anemia, trombositopenia, dan jarang terjadi leucopenia, mungkin akan muncul. Penyebab anemia umumnya multifactor dan termasuk didalamnya kehilangan darah, meningkatkan destruksi sel darah merah, penekanan sum-sum tulang, dan defisiensi nutrisi. Splenomegali kongestif (dari hipertensi portal) memiliki peran yang sangat besar dalam trombositopenia dan leucopenia. Defisiensi factor koagulasi akibat penurunan sintesa hepar. Fibrinolisis yang bertambah setelah terjadi penurunan activator system fibrinolytic juga dapat berperan terhadap koagulopati (lihat bab 34). Kebutuhan akan transfusi darah sebelum operasi harus seimbang dengan peningkatan dalam muatan nitrogen. Protein yang tidak bekerja akibat transfusi darah yang sangat banyak dapat mempercepat encephalopathy. Tapi bagaimanapun, koagulopati harus disembuhkan sebelum pembedahan. Faktor-faktor pembekuan harus digantikan dengan produk darah yang tepat misalnya FFP dan kriopresipitat. Koagulopati dan trombositopenia pada pasien penyakit hati harus dikoreksi karena berisiko perdarahan durante atau setelah operasi. Koagulopati dikoreksi dengan pemberian vitamin K 10 mg secara parenteral, fresh frozen plasma (FFP) setiap 12 jam dengan dosis 10-15 ml/kg. Dosis >30 mL/kg dalam 24 jam berisiko terjadinya kelebihan volume (volume overload). Infus creopricipitate perlu

diberikan apabila kadar fibrinogen <75 mg/dL. Bila kadar trombosit < 50.000/mm3 transfusi trombosit perlu diberikan. c. Manifestasi sirkulasi Sirosis secara khas ditandai dengan keadaan sirkulasi yang hiperdinamik. Cardiac output sering meningkat, dan vasodilatasi perifer secara merata akan muncul. Shunting arteriovenous dapat muncul pada sirkulasi sistemik dan pulmonal. Shunting arteriovenous bersama dengan penurunan dalam viskositas darah karena anemia setidaknya berpengaruh 50% untuk cardiac output. Pasien dengan superimposed alcoholic cardiomyopathy dapat meningkatkan kegagalan jantung kongestif dengan mudah. d. Manifestasi respiratory Gangguan terhadap pertukaran udara pulmonal selain itu juga sering muncul ventilasi mekanis. Hiperventilasisudah umum dan dihasilkan dalam alkalosis respirasi. Umumnya terdapat hipoksemia dan diakibatkan oleh shunting (> 40% dari cardiac output). Shunting disebabkan oleh komunikasiarteriovenous pulmonary (absolute) dan kesalahan ventilasi/perfusi (relatif). Elevasi diafragma dari asites yang menurunkan volume paru-paru, khususnya kapasitas residu fungsional, dan predisposisi pada atelektasis. Terlebih lagi, jumlah yang sangat besar dari asites dapat menyebkan defek pada ventilatory restriktif yang meningkatkan kerja pernapasan. Dengan melihat foto thorax dan pengukuran gas darah artesi sangat berguna sebelum operasi karena atelektasis dan hipoksemia seringkali tidak tampak dalam gejala klinisnya. Paracentesis harus dipertimbangkan untuk pasien dengan asites massif dan pertimbangan pulmonary tapi harus dilakukan dengan sangat hati-hati karena perpindahan cairan yang terlalu banyak akan mengakibatkan kolaps sirkulasi. e. Manifestasi Renal dan Keseimbangan Cairan Pengaturan ulang keseimbangan cairan dan elektrolit bermanifestasi sebagai asites, edema, gangguan elektrolit, atau sindrom hepatorenal. Mekanisme penting yang berperan serta dalam timbulnya asites, yaitu :

1. Hipertensi potal, yang meningkatkan tekanan hidrostatik dan transudasi cairan melewati usus 2. Hipoalbuminemia, yang menurunkan tekanan onkotik plasma dan transudasi cairan 3. Perembesan cairan limfe yang kaya protein dari permukaan serosa hepar menjadi distorsi dan obstruksi saluran limfe di hepar 4. Retensi natrium renal (dan seringkali air). Kedua teori underfilling dan overflow telah diajukan untuk menjelaskan retensi natrium. Teori underfilling menyatakan bahwa meskipun total cairan ekstraseluleryang dapat diukur dan volume plasma pada pasien sirosis dengan asites meningkat, volume plasma efektif malah menurun; retensi natrium kurang penting untuk hipovolemia relatif dan hiperaldosteronisme sekunder. Ketidaksesuaian yang terlihat antara ukuran volume plasma efekstif dapat dijelaskan dengan peningkatan volume darah splanchnic. Sebaliknya teori overflow beranggapan bahwa abnormalitas yang utama adalah retensi natrium oleh ginjal asites merepresentasikan transudasi menengah ke volume plasma yang semakin meluas. Pasien dengan asites telah meningkatkan level sirkulasi katekolamin, yang dianggap disebabkan oleh aliran simpatetik. Sebagai tambahan untuk peningkatan rennin dan angiotensin II, pasien menunjukkan intensifitas pada sirkulasi atrial natriuretic peptide. Tanpa mengindahkan keterlibatan mekanisme, pasien sirosis dan asites telah mengurangi perfusi renal, merubah hemodinamik intrarenal, memperbesar reabsorbsi natrium di tubulus proksimal dan distal, dan gangguan pada klirens air bebas. Hiponatremia dan hipokalemia sudah umum terjadi. Hiponatremia adalah pengenceran, sedangkan hipokalemi disebabkan oleh kehilangan kalium melalui urin yang sangat banyak (hiperaldosteronisme sekunder atau diuresis). Manifestasi berkembangnya penyakit menuju yang lebih buruk dapat terlihat dengan berkembangnya sindroma hepatorenal. Sindrom hepatorenal adalah suatu gangguan fungsi renal pada pasien sirosis yang biasanya diikuti dengan perdarahan gastrointestinal, diuresis aggresif, sepsis atau pembedahan mayor. Hal ini ditandai oleh oligouria yang progresif dengan retensi natrium yang banyak, azotemia, intractable ascites, dan mortality rate yang

tinggi. Penanganannya secara suportif dan sering tidak berhasil kecuali jika dilakukan transplantasi hepar. Terapi cairan preoperative yang bijaksana pada pasien dengan pasien penyakit hepar tingkat lanjut. Pentingnya perawatan fungsi renalsebelum operasi tidak dapat terlalu mendapatkan penekanan. Diuresis pre operasi yang sangat berlebihan harus dihindari, dan deficit cairan intravaskuler akut harus dikoreksi denagn infuse koloid. Diuresis dari asites dan cairan edema harus diselesaikan setelah beberapa hari. Diuresis Loop hanya dapat diberikan setelah pemberian tindakan seperti bedrest, retriksi natrium (<2 g NaCl/d), dan terapi spironolakton dianggap tidak efektif. Pengukuran berat badan setiap hari sangat penting untuk mencegah pengosongan volume intravascular selama diuresis. Untuk pasien yang menderita asites dan edema perifer, tidak lebih dari 1 kg/d harus dihilangkan selama diuresis, sementara mereka yang hanya memiliki asites saja, yang harus dihilangkan lebih dari 0,5 kg/d. Hiponatremia (serum Na+ < 130 meq/L) juga harus diretriksi cairan, sedangkan deficit kalium harus diganti melalui preoperasi. Infus manitol propilaktif perioperasi mungkin efektif untuk mencegah kerusakan renal, tapi hal ini belum dibuktikan secara pasti. Menghindari obat-obatan yang bersifat nefrotoksik (obat anti inflamasi nonsteroid, antibiotik golongan aminoglikosid) dan selalu memperhatikan keseimbangan cairan tubuh dapat mengurangi risiko gagal ginjal akut. Tindakan dialisis preoperatif perlu dilakukan apabila dengan cara konvensional azotemia tidak terkoreksi. f. Manifestasi Sistem Saraf Pusat Encephalopaty hepatic ditandai dengan perubahan pada status mental dengan tanda-tanda neurologist yang tidak tetap (asterixis, hiperfleksi, atau refleks plantar yang abnormal) dan perubahan electroencephalographie khusus ( tekanan tinggisimetris, aktivitas gelombang yang lemah). Beberapa pasien juga mengalami peningkatan tekanan intracranial. Encephalopaty metabolic berhubungan dengan jumlah kerusakan hepatoseluler yang muncul maupun derajat shunting dari daerah portal jauh dari hepar dan langsung masuk ke sirkulasi sistemik. Akumulasi substansi yang berasal dari daerah gastrointestinal tetapi dimetabolisme secara normal oleh hepar telah di libatkan. Toksin, termasuk didalamnya ammonia,

methionine metabolit (mercaptans), rangkaian pendek nasam lemak, dan phenol. Keabnormalan lainnya termasuk naiknya level darah dari asam amino aromatic, menurunnya level darah dari asam amino rantai cabang, peningkatan penyerapan oleh sawar darah otak, dan level tinggi yang abnormal dari g-aminobutiric acid dalam otak. Faktor-faktor yang diketahui mempercepat encephalopathy hepatic termasuk perdarahan gastrointestinal, meningkatkan pemasukan diet protein, alkalosis hipokalemi (dari muntah-muntah atau diuresis), infeksi dan memburuknya fungsi hepar. Encephalopaty seharusnya ditangani secara agresif preoperative. Hal-hal yang bias memicunya harus dikoreksi. Laktulosa oral 30-50 ml 98h atau neomycin 500 mg 96h berguna untuk menurunkan penyerapan ammonia intestinal. Laktulosa berperan sebagai osmotic laxative dan seperti neomycin mungkin menghalangi produksi ammonia dan bakteri intestinal. Pencegahan sedative pada pasien dengan encephalopathy dianjurkan. g. Manifestasi Malnutrisi Pasien dengan sirosis yang mengalami malnutrisi memiliki risiko mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan yang tidak mengalami gangguan nutrisi. Malnutrisi meningkatkan kebutuhan transfusi sel darah merah, FFP, memperlama penyembuhan dan perawatan. Pada pasien penyakit hati tingkat lanjut, pemberian nutrisi parenteral atau enteral harus segera dimulai pada preoperatif karena pascaoperatif terjadi peningkatan kebutuhan nutrisi. Pemilihan nutrisi harus mengandung karbohidrat dan lemak lebih tinggi serta mengurangi asam amino aromatik. II. Pertimbangan Intraoperatif a. Respon Obat Respon terhadap obat anestesi tidak dapat ditebak pada pasien dengan sirosis. Perubahan pada kepekaan system saraf pusat, volume distribusi, ikatan protein, metabolisme obat, dan eliminasi obat sudah umum. Banyak pasien yang menunjukkan peningkatan kepekaan system saraf pusat ke thiopental, sementara beberapa dengan sejarah alkoholik akan terlihat menunjukkan toleransi.

Peningkatan volume distribusi untuk obat-obatan dengan ion tinggi, misalnya neuromuscular blocking agent (disebut juga muscle relaxan), disebabkan oleh meluasnya tempat cairan ekstraseluler, resisten yang terlihat dapat diobservasi, membutuhkan dosis yang lebih besar dari yang normal. Bagaimanapun, dosis yang lebih kecildari yang dibutuhkan oleh anti neuromuscular blocking agent bergantung pada eliminasi di hepar (pancuronium, recuroniam, dan vecuronium) juga diperlukan. Ini merupakan jarang bermanifestasi klinis. b. Teknik Anestesi Anestesi regional maupun umum menurunkan aliran darah hati sampai 3050%. Penurunan aliran darah ke hati disebabkan pengaruh intermittent positive presure ventilation dan efek obat anestesi yang mempengaruhi tekanan darah serta curah jantung dapat memicu dekompensasi hati dan ensefalopati. Pada induksi anastesi apabila diperlukan dosis tiopental harus diturunkan. Pemberian ketamine drip pada 151 pasien yang mengalami gangguan fungsi hati bersifat aman dan tidak mengganggu fungsi hati. Tidak jelas manakah yang lebih baik antara anestesi regional atau umum, namun anestesi regional sebaiknya dihindari pada pasien yang mengalami trombositopeni terkait hipersplenik. Apabila menggunakan anestesi umum dosis sebaiknya dititrasi. Penggunaan isofluran relatif memberikan risiko lebih kecil dibandingkan preparat lain karena efek penurunan aliran darah ke hati lebih minimal. Aliran darah vena porta berkurang pada kasus sirosis. Hepar menjadi sangat bergantung pada perfusi arteri hepatic. Pemeliharaan aliran darah arteri hepatic dan pencegahan terhadap agen yang memiliki kemungkinan memberikan efek yang merugikan fungsi hepar harus kritis. Anestesi regional bisa dilakukan pada pasien tanpa trombositopenia atau koagulopati, tapi perawatan yang lebih diatas normal harus diarahkan untuk menghindari hipotensi. Induksi barbiturate diikuti dengan isofluran dalam oksigen atau campuran oksigen-nitrous oxide adalah yang paling umum digunakan dalam anestesi pada umumnya. Penggunaan halotan biasanya dihindari supaya tidak mengacaukan diagnosis jika tes hepar memburuk post operasi. Penambahan opioid mengurangi dosis anestesi inhalasi yang waktu penanganan yang lama untuk succinilcholine sebagai akibat dari pengurangan level pseudocholinesterase, tapi

dibutuhkan, tapi waktu paruh opioid cenderung lama. Cisatracurium bisa jadi agen yang memblok neuromuscular yang dipilih, karena metabolisme hepaticnya yang unik. Mual sebelum operasi, muntah, perdarahan gastrointestinal atas, distensi abdomen yang diakibatkan oleh asites yang sangat banyak, membutuhkan induksi yang terencanakan dengan baik. Preoksigenasi dan rangkaian induksi yang sering dengan tekanan cricoid sangat sering dijalankan. Untuk pasien yang tidak stabil dan mereka dengan perdarahan aktif sangat disarankan, intubasi sadar atau induksi yang sering dengan tekanan cricoid menggunakan ketamine (ethiomidate) dan succyniocholine. c. Monitoring Monitoring yang teliti terhadap system respirasi dan kardiovaskular penting bagi pasien yang menjalani prosedur abdominal. Monitoring EKG five lead pada pasien yang diberi infuse vasopressin penting untuk mendeteksi iskemik miokard, vasokonstriksi koroner. Oksimetri denyut nadi harus ditambahkan dengan pengukuran gas darah arteri untuk mengevaluasi status asam basa. Pasien dengan shunt intrapulmonary dari kanan ke kiri yang besar tidak dapat mentoleransi penambahan nitrous oxide dan akan membutuhkan tekanan positif akhir ekspirasi (PEEP) untuk mengatasi ketidakcukupan ventilasi/perfusi dan hipoksemia yang mungkin akan terjadi. Monitoring terhadap tekanan intraarterial umum dilakukan terhadap kebanyakan pasien. Perubahan yang cepat pada tekanan darah munculsebagai akibat dari perdarahan yang sangat banyak, pergantian cairan intercomparemental yang sering dan manipulasi pembedahan. Status volume intravascular seringkali sulit ditentukan tanpa ada monitoring, juga pada vena sentral atau tekanan arteri pulmonary. Monitoring yang seperti ini mungkin kritis untuk mencegah sindrom hepatorenal. Urinary output juga harus diawasi dengan cermat, mannitol atau dopamine dalam dosis rendah harus dipertimbangkan agar bias diperoleh urinary output yang sedikit meskipun perpindahan cairan intravaskuler memenuhi syarat.

d. Pemberian cairan Sebelum operasi, sebagian besar pasien mengalami retriksi natrium, namun pada intraoperatif, nperawatan terhadap volume intravascular dan urinary output lebih diprioritaskan. Penggunaan cairan koloid intravena lebih dipilih untuk menghindari berlebihnya muatan natrium dan untuk meningkatkan tekanan onkotik. Pemberian cairan intravena harus dipertimbangkan karena perdarahan hebat dan perpindahan cairan yang sering muncul pada pasien dengan prosedur abdominal. Venous engorgement dari hipertensi portal, lisis dan adhesi setelah pembedahan sebelumnya, dan koagulopati yang menyebabkan perdarahan hebat selama pembedahan, sementara evakuasi asites dan prosedur pembedahan yang berkepanjangan mengakibatkan perpindahan cairan dalam jumlah besar. Pemberian cairan koloid intravena sering penting untuk mencegah hipotensi yang dalam dan gagal ginjal yang menikuti perpindahan sejumlah besar cairan asites. Karena sebagian besar pasien mengalami anemia dan koagulopati sebelum operasi, transfusi merupakan hal yang sering dilakukan. Transfusi penting, bisa memberi hasil dalam toksisitas sitrat. Sitrat, merupakan antikoagulan dalam persiapan penyimpanan sel darah merah, dapat dimetabolisme dalam hepar dengan mudah. Toksisitas dapat muncul pada pasien denga sirosis karena mengalami gangguan metabolisme. Sitrat berikatan dengan serum kalsium mengakibatkan hipokalsemia lanjutan. Kalsium intravena sering penting untuk menghilangkan efek negative inotropik dalam satu tetes konsentrat kalsium berion darah. III. Pertimbangan Post operatif Pasca-operasi pasien dengan gangguan fungsi hati harus dipantau secara ketat. Jika preoperatif pasien memiliki faktor risiko tinggi maka pemantauan di ICU diperlukan. Pasien harus dipantau secara teliti adanya tanda - tanda dekompensasi hati, yaitu peningkatan kadar bilirubin dibandingkan preoperasi, koagulopati, tanda - tanda disseminated intravascular coagulation (DIC), ensefalopati dan asites. Fungsi renal harus dipantau untuk mengantisipasi risiko sindrom hepato-renal. Kadar glukosa juga perlu dipantau karena pada dekompensasi hati sering terjadi hipoglikemia. Tidak kalah penting adalah selalu

menjaga stabilitas hemodinamik dan melakukan tindakan medis secara steril untuk mengurangi risiko infeksi. KESIMPULAN Pasien dengan sirosis hepatis, yang mengalami gangguan sintesis, metabolisme, perubahan hemodinamik dan koagulopati memiliki risiko tinggi mengalami morbiditas dan mortalitas akibat stres tindakan bedah dan anestesi. Tipe operasi dan luasnya disfungsi hati menentukan tingkat morbiditas dan mortalitas pasien dengan gangguan sirosis hati. Pasien dengan operasi abdomen terbuka dan bersifat emergensi memiliki risiko mortalitas yang tinggi. Penatalaksanaan perioperatif mulai dari pre, intra, dan post operatif sangat penting diperhatikan. Penilaian preoperatif dan persiapan yang optimal pada pasien sirosis dapat menurunkan risiko komplikasi atau kematian pascaoperasi. Penanganan faktor penyulit (malnutrisi, koagulopati, asites, ensefalopati, hipoalbuminemia, perdarahan varies), penanganan intraoperatif, dan pemantauan pasca-operasi harus dilakukan secara optimal agar dapat menurunkan risiko komplikasi atau kematian pascaoperasi.

DAFTAR PUSTAKA Garrison RN, Cryer HM, Howard DA, Polk HC. Clarification of risk factors for abdominal operations in patients with hepatic cirrhosis. Ann Surg 1984;199(6):648-54. Haranath SP. Perioperative management of the patient with liver disease. Loist updated: 2006. Acsessect February 2007. Available from http://www.emedicine.com. Ziser A, Plevak DJ. Morbidity and mortality in cirrhotic patients undergoing anesthesia and surgery. Current Opinion in Anaesthesiology 2001;14:707-11. Pannen BHJ. Hepatic blood flow during anaesthesia and surgery. Europian Society of Anaesthesiologist 2000. Available from http:/www.euroanesthesia.org/rc-vienna/04rcl.HTM. Friedman L.S. The risk of surgery in patients with liver disease. Hepatology 1999; 29(6):1617-23. Sallah S., Bobzien B. Bleeding problem in patients with liver disease. Postgrad Med 1999;106(4):187-95. Malde AD. Viral hepatitis and anaesthesiologist. Indian J Anaesth 2004;48:26475. Yeh CN, Chen MF, Jan YY. Laparoscopic cholecystectomy in 226 cirrhotic patients. Experience of a single center in Taiwan. Surg Endosc 2002;16: 1583-7. Suman A., Carey W. Assessing the risk of surgery in patients with liver disease. Cleveland Clinic J of Medicine 2006;73(4):398-404. Patel T. Surgery in he patient with liver disease. Mayo Clin Prac 1999;74:593-9. Wiklund RA. Preoperative preparation of patients with advanced liver disease. Crit Care Med 2004;32(4,Suppl):S106-S115. Northup PG, Wanamaker RC, Lee VD, Adams RB, Berg CL. Ann Surgery 2005; 242:244-51. Lu W, Wai CT. Surgery in patients with advanced liver cirrhosis : a Pandoras box. Singapore Med J 2006;47(2):152-5.

Keegan MT, Plevak DJ. Preoperative assessment of the patient with liver disease. Am J Gastroeterol 2005;100:2116-27 Heidelbaugh JL, Sherbondy M. Cirrhosis and chronic liver failure: Part II. Complication and treatment. Am Fam Physician 2006;74(5):767-76. Clarke P, Bellamy MC. Anaesthesia for patients with liver disease. Bulletin 4 The Royal College of Anaesthetists 2000;158-61.

Anda mungkin juga menyukai