Anda di halaman 1dari 21

1

Bab I Pendahuluan

1.1 Latar Belakang Kesehatan adalah hak dan investasi. Setiap warga negara berhak atas kesehatannya termasuk masyarakat miskin, untuk itu diperlukan suatu sistem yang mengatur pelaksanaan bagi upaya pemenuhan hak warga negara untuk tetap hidup sehat. Kualitas kesehatan masyarakat Indonesia selama ini tergolong rendah, selama ini masyarakat terutama masyarakat miskin cenderung kurang memperhatikan kesehatan mereka. Hal ini dapat disebabkan karena rendahnya tingkat pemahaman mereka akan pentingnya kesehatan dalam kehidupan, padahal kesadaran rakyat tentang pemeliharaan dan perlindungan kesehatan sangatlah penting untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Disisi lain, rendahnya derajat kesehatan masyarakat dapat pula disebabkan oleh ketidakmampuan mereka untuk mendapatkan pelayanan kesehatan karena mahalnya biaya pelayanan yang harus dibayar. Tingkat kemiskinan menyebabkan masyarakat miskin tidak mampu memenuhi kebutuhan akan pelayanan kesehatan yang tergolong mahal. Jika tidak segera diatasi, kondisi tersebut akan memperparah kondisi kesehatan masyarakat Indonesia, karena krisis ekonomi telah meningkatkan naiknya biaya jumlah masyarakat miskin dan

mengakibatkan

pelayanan

kesehatan,

sehingga

semakin menekan akses mereka karena biaya yang semakin tak terjangkau.

Mengingat

kesehatan

merupakan

aspek

penting

dalam

kehidupan masyarakat, maka pemerintah harus menciptakan suatu pembangunan kesehatan yang memadai sebagai upaya perbaikan terhadap buruknya tingkat kesehatan selama ini. Dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) pada Pasal 28H, menetapkan bahwa kesehatan adalah hak dasar setiap individu dan semua warga negara berhak mendapatkan pelayanan kesehatan termasuk masyarakat miskin, dalam

implementasinya dilaksanakan secara bertahap sesuai kemampuan keuangan pemerintah dan pemerintah daerah. Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan disebutkan bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan UUD 1945, setiap hal yang menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan pada masyarakat Indonesia akan menimbulkan kerugian ekonomi yang besar bagi negara, dan setiap upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat juga berarti investasi bagi pembangunan negara, dan upaya pembangunan harus dilandasi dengan wawasan kesehatan dalam arti pembangunan nasional harus memperhatikan kesehatan masyarakat dan merupakan tanggung jawab semua pihak baik Pemerintah maupun masyarakat. Berdasarkan UUD 1945 Pasal 28H dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan tersebut mengisyaratkan bahwa setiap individu, keluarga dan masyarakat berhak memperoleh

perlindungan terhadap kesehatannya, dan Negara bertanggung jawab mengatur agar terpenuhi hak hidup sehat bagi penduduknya termasuk bagi masyarakat miskin dan tidak mampu. Upaya mewujudkan hak tersebut pemerintah harus menyelenggarakan pelayanan kesehatan

yang merata, adil dan terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat. Untuk itu pemerintah perlu melakukan upaya-upaya untuk menjamin akses penduduk miskin terhadap pelayanan kesehatan. Sebagaimana amanat pada perubahan UUD 1945 Pasal 34 ayat 2 yang menyebutkan bahwa negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan dimasukkannya Sistem Jaminan Sosial dalam perubahan UUD 1945, dan terbitnya UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), menjadi suatu bukti yang kuat bahwa pemerintah dan pemangku kepentingan terkait harus memiliki komitmen yang besar untuk mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyatnya. Karena melalui SJSN sebagai salah satu bentuk perlindungan sosial pada hakekatnya bertujuan untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Berdasarkan konstitusi dan undang-undang tersebut, pemerintah melakukan upaya-upaya pendanaan kesehatan untuk menjamin akses penduduk miskin terhadap pelayanan kesehatan, diantaranya adalah Program Jaringan Pengaman Sosial Kesehatan (JPS-BK) tahun 19982000, Program Dampak Pengurangan Subsidi Energi (PDSE) tahun 2001, dan Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM) tahun 2002-2004. Pada awal tahun 2005, melalui Keputusan Menteri Kesehatan 1241/Menkes/XI/04 pemerintah

menetapkan program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin (JPKMM) melalui pihak ketiga, yaitu, PT Askes (persero) Program ini lebih dikenal sebagai program Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin (Askeskin). Program Askeskin merupakan

kelanjutan dari PKPS-BBM yang telah dilaksanakan sebelumnya, dimana pembiayaannya didanai dari subsidi BBM yang telah dikurangi pemerintah untuk dialihkan menjadi subsidi di bidang kesehatan.

Program Askeskin (2005-2007) kemudian berubah nama menjadi program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) sejak tahun 2008 sampai dengan sekarang. JPKMM/Askeskin, maupun Jamkesmas kesemuanya memiliki tujuan yang sama yaitu melaksanakan

penjaminan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat miskin dan tidak mampu dengan menggunakan prinsip asuransi kesehatan sosial. Pelaksanaan program Jamkesmas mengikuti prinsip-prinsip

penyelenggaraan sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 903/Menkes/Per/V/2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat, yaitu dana amanat dan nirlaba dengan pemanfaatan untuk semata-mata peningkatan derajat kesehatan masyarakat miskin, menyeluruh

(komprehensif) sesuai dengan standar pelayanan medik yang cost effective dan rasional, pelayanan terstruktur, berjenjang dengan portabilitas dan ekuitas, serta efisien, transparan dan akuntabel. Pada Jamkesmas sebagai identitas warga miskin, puskesmas mengeluarkan kartu sehat agar warga miskin dapat mendapatkan pelayanan kesehatan gratis di puskesmas dan jajarannya, serta RSUD. Status kesehatan penduduk Indonesia setelah pembangunan kesehatan selama tiga dekade yang lalu mengalami kemajuan yang cukup pesat. Namun, masih jauh tertinggal bila dibandingkan dengan status Kesehatan Dunia. Menurut World Health Organization tahun 2010 kinerja system kesehatan Indonesia menduduki peringkat ke-92 yang jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan system kesehatan Negara tetangga seperti Malaysia pada urutan ke-49, Thailand urutan ke-47, dan Filipina urutan ke-60. Secara kasar laporan tersebut menunjukkan bahwa pendanaan kesehatan di Indonesia menurut nilai tukar yang berlaku tahun 2010 mencapai US$19 per kapita per tahun.

Sementara Negara-negara tetangga seperti Filipina, Malaysia, dan Thailand menghabiskan dana berturut-turut sebesar US$ 41, US$ 111, dan US$ 134 per kapita per tahun. Pembiayaan kesehatan di Indonesia masih rendah, yaitu hanya rata-rata 2,2% dari (GDP), masih jauh dari anjuran WHO yakni paling sedikit 5% dari GDP per tahun. Sementara dari total pembiayaan yang dibutuhkan pemerintah hanya mampu membiayai 30% saja selebihnya berasal dari swasta. Pengalokasian anggaran kesehatan dari pusat ke daerah, dengan adanya kebijakan desentralisasi melalui Dana Alokasi Umum (DAU) yang berbasis pada formula yang ditetapkan berdasarkan pada potensi penerimaan dan kebutuhan fiscal oleh suatu daerah. Dalam formula ini pembagian alokasi anggaran tidak hanya ke provinsi tetapi sampai ke sekitar 400-an kabupaten/kota di Indonesia. Hal ini merupakan perkembangan baru untuk fungsi pemerintahan daerah di sektor kesehatan, yaitu harus merencanakan dan menganggarkan program kesehatan dan bersaing dengan sektor lain untuk

mendapatkannya. Kecilnya alokasi dana untuk sektor kesehatan menunjukkan kecilnya perhatian pemerintah terhadap kesehatan masyarakat

termasuk kesehatan masyarakat miskin. Sistem pembiayaan program pelayanan kesehatan untuk masyarakat miskin di era desentralisasi, dapat mendorong peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat kearah positif dan negative sekaligus. Mengapa demikian? Karena dalam kerangka desentralisasi, pemerintah pusat telah memberikan kewenangan pada pemerintah daerah tingkat I dan II untuk

menjabarkan kebijakan tersebut. Termasuk mendapat kewenangan untuk mengalokasikan anggaran, merencanakan dan melaksanakan

program pembangunan kesehatan. Pemerintah Pusat hanya sebagai regulator penentu arah kebijakan. Permasalahnya adalah kemampuan pemerintah daerah tidak sama antara satu daerah dengan daerah lainya. Sehingga dalam mengalokasikan anggaran kesehatan bervariasi antar propinsi/kabupaten/kota tergantung kekuatan pembiayaan

daerahnya masing-masing. Dampaknya daerah yang sumber PAD-nya kecil, kesulitan untuk membiayai pelayanan kesehatan untuk

masyarakat miskin di daerahnya. Pada akhirnya akan mempengaruhi peningkatan derajat kesehatan masyarakat secara keseluruhan. Pendanaan kesehatan di Indonesia untuk tahun 2013 menurut Dewan Perwakilan Rakyat hanya Rp 25 triliun untuk 96,4 juta rakyat miskin, dimana DPR sangat menyesalkan kecilnya pendanaan untuk kesehatan. Dana tersebut juga sebagai dana awal yang disiapkan pemerintah untuk program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan. Anggota Komisi XI DPR, Okky Asokawati, menyatakan bahwa dana tersebut jauh lebih sedikit dibandingkan nilai subsidi yang Rp163 triliun. Padahal, tidak semua orang miskin bisa menikmati subsidi. Dana tersebut masih sangat kurang untuk kesehatan rakyat miskin ketika aturan BPJS mulai diimplementasikan. Dana Rp 25 triliun ini hanya sekitar 2 persen dari APBN. Sedangkan kebutuhan mencapai 5 persen dari APBN. Mengingat pentingnya kesehatan bagi masyarakat dan

kurangnya pendanaan kesehatan yang diberikan oleh pemerintah untuk masyarakat pada Jamkesmas, oleh karena itu perlu dilakukan studi kasus dan analisa mengenai pendanaan kesehatan di Indonesia pada Jamkesmas dan cara mobilisasi dana tersebut.

1.2 Tujuan Penulisan 1. Menganalisa pendanaan kesehatan bagi masyarakat Indonesia pada Jamkesmas. 2. Mengembangkan berbagai alternative pendanaan kesehatan yang dapat diterapkan di Indonesia dalam rangka meningkatkat keadilan pendanaan kesehatan. 3. Mengidentifikasi berbagai sumber dana yang dapat dimobilisasi, baik dari pemerintah maupun dari masyarakat. 4. Menganalisis berbagai alternatif sistem pendanaan kesehatan yang menjamin efisiensi, termasuk kekuatan, kelemahan dan system pelayanan.

Bab II Permasalahan

1. Pelayanan menghadapi

kesehatan masalah

saat

ini

khususnya sumber

pada

jamkesmas dari

rendahnya

pendanaan

masyarakat maupun pemerintah. 2. Mobilisai sumber pendanaan kesehatan dari masyarakat masih terbatas. Hasil Susenas melaporkan jumlah masyarakat yang tercakup Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) masih rendah (20%) 3. Sumber pendanaan kesehatan dari pemerintah relatife kecil (30%) masih ditandai oleh subsidi ke semua lini sehingga kurang terarah untuk menopang pengembangan jaringan kesehatan bagi penduduk daerah terpencil dan penduduk miskin. 4. Adanya ketidaktepatan pemberian kartu jamkesmas, dimana banyak masyarakat mampu yang menerima hjamkesmas dan banyak pula masyarakat miskin yang tidak menerima jamkesmas.

Bab III Tinjauan Pustaka

4.1 Prinsip dasar Pendanaan Kesehatan Pendanaan kesehatan merupakan kunci utama dalam suatu system kesehatan. Pendanaan kesehatan yang adil dan merata adalah pendanaan kesehatan dimana seseorang mampu mendapatkan

pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medisnya dan membayar pelayanan tersebut sesuai dengan kemampuannya

membayar (Handbook of Health Economies, VolII). Dalam http://www.jpkm-online.net, penyelenggaraan

Subsistem Pembiayaan Kesehatan mengacu pada prinsip-prinsip sebagai berikut: 1.Jumlah dana untuk kesehatan harus cukup tersedia dan dikelola secara berdaya-guna, adil dan berkelanjutan yang didukung oleh transparansi dan akuntabilitas. 2.Dana pemerintah diarahkan untuk pembiayaan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perorangan bagi masyarakat rentan dan keluarga miskin. 3.Dana masyarakat diarahkan untuk pembiayaan upaya kesehatan perorangan yang terorganisir, adil, berhasilguna dan berdaya-guna melalui jaminan pemeliharaan kesehatan baik berdasarkan prinsip solidaritas sosial yang wajib maupun sukarela, yang dilaksanakan secara bertahap. 4.Pemberdayaan masyarakat dalam pembiayaan kesehatan

diupayakan melalui penghimpunan secara aktif dana sosial untuk kesehatan (misal: dana sehat) atau memanfaatkan dana

10

masyarakat yang telah terhimpun (misal: dana sosial keagamaan) untuk kepentingan kesehatan. 5.Pada dasarnya penggalian, pengalokasian dan pembelanjaan pembiayaan kesehatan di daerah merupakan tanggung jawab pemerintah daerah. Namun untuk pemerataan pelayanan

kesehatan, Pemerintah menyediakan dana perimbangan (maching grant) bagi daerah yang kurang mampu.

3.2 Sumber Pendanaan Kesehatan Secara umum sumber biaya kesehatan dibedakan atas dua macam, yaitu: 1. Seluruhnya bersumber dari anggaran pemerintah Tergantung dari bentuk pemerintahan yang dianut, ada negara yang bersumber biaya kesehatannya sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah. Maka negara seperti ini tidak temukan pelayanan kesehatan swasta, sehingga seluruh pelayanan kesehatan diselenggarakan oleh pemerintah dan pelayanan kesehatan tersebut dilaksanakan secara cuma-cuma. Sistem pendanaan kesehatan pemerintah dapat dibagi menjadi dua menurut sumber datanya. Pertama, sumber pendanaan pemerintah pusat sumber datanya adalah Undang-Undang Perhitungan Anggaran Negara (PAN) dan

Undang-Undang APBN. Kedua, pendanaan pemerintah daerah provinsi maupun kabupaten dan kota sumber datanya adalah laporan perhitungan APBD yang disampaikan daerah kepada Direktorat Jenderal Pertimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Departemen Keuangan.

11

2. Sebagian ditanggung oleh masyarakat Suatu negara yang melibatkan masyarakat sebagai sumber dari pembiayaan

kesehatan di mana masyarakat diajak untuk berperan serta dalam penyelenggaraan upaya kesehatan ataupun pada waktu

memanfaatkan jasa pelayanan kesehatan, maka akan ditemukan pelayanan kesehatan swasta dan tentunya pelayanan kesehatan tersebut tidaklah cuma-cuma, karena masyarakat diharuskan membayar pelayanan kesehatan yang memanfaatkannya.

3.3 Unsur-Unsur Sistem Pendanaan Kesehatan Menurut Kebijakan Menteri Kesehatan Republik Indonesia yang terdapat dalam http://perpustakaan.depkes.go.id, subsistem

pembiayaan kesehatan terdiri dari tiga unsur utama, yakni penggalian dana, alokasi dana, dan pembelanjaan. 1. Penggalian dana adalah kegiatan menghimpuna dana yang diperlukan untuk penyelenggaraan upaya kesehatan dan atau pemeliharaan kesehatan. Terdapat dua jenis penggalian dana, yaitu: a. Penggalian dana untuk UKM Sumber dana untuk UKM (Unit Kesehatan masyarakat) terutama berasal dari pemerintah baik pusat maupun daerah, melalui pajak umum, pajak khusus, bantuan dan pinjaman, serta berbagai sumber lainnya. Sumber dana lain untuk upaya kesehatan masyarakat adalah swasta serta masyarakat. Sumber dari swasta dihimpun dengan menerapkan prinsip publik-private partnership yang didukung dengan pemberian sentif, misalnya keringanan pajak untuk setiap dana yang disumbangkan. Sumber dana dari masyarakat dihimpun secara aktif oleh masyarakat sendiri guna membiayai upaya kesehatan

12

masyarakat misalnya dalam bentuk dana sehat, atau dilakukan secara pasif, yakni menambahkan aspek kesehatan dalam rencana pengeluaran dari dana yang sudah terkumpul

dimasyarakam, misalnya dana sosial keagamaan. b. Penggalian dana untuk UKP Sumber dana untuk UKP (Unit Kesehatan Perorangan) berasal dari masing-masing individu dalam satu kesatuan keluarga. Bagi masyarakat rentan dan keluarga miskin, sumber dananya berasal dari pemerintah melalui mekanisme jaminan

pemeliharaan kesehatan wajib. 2. Alokasi dana adalah penetapan peruntukan pemakaian dana yang telah berhasil dihimpun, baik yang bersumber dari pemerintah, masyarakat, maupun swasta. Terdapat dua jenis pengalokasian dana: a. Alokasi dana dari pemerintah Alokasi dana yang berasal dari pemerintah untuk UKM dan UKP dilakukan melalui penyusunan anggaran pendapatan dan belanja, baik pusat maupun daerah, sekurang-kurangnya 5% dari PDB atau 15% dari total anggaran pendapatan dan belanja setiap tahunnya. b. Alokasi dana dari masyarakat Alokasi dana yang berasal dari masyarakat untuk UKM dilaksanakan berdasarkan asas gotong royong sesuai dengan kemampuan. Sedangkan untuk UKP dilakukan melalui

kepesertaan dalam program jaminan pemeliharaan kesehatan wajib dan atau sukarela. 3. Pembelanjaan adalah pemakaian dana yang telah dialokasikan dalam anggaran pendapatan dan belanja sesuai dengan

peruntukannya dana atau dilakukan melalui jaminan pemeliharaan

13

kesehatan wajib atau sukarela. Pembiayaan kesehatan dari pemerintah dan publik-private partnership digunakan untuk

membiayai UKM. Pembiayaan kesehatan yang terkumpul dari Dana Sehat dan Dana Sosial Keagamaan digunakan untuk membiayai UKM dan UKP.Pembelanjaan untuk pemeliharaan kesehatan masyarakat rentan dan kesehatan keluarga miskin dilaksanakan melalui Jaminan Pemeliharaan Kesehatan wajib. Sedangkan pembelanjaan untuk pemeliharaan kesehatan keluarga mampu dilaksanakan melalui Jaminan Pemeliharaan Kesehatan wajib dan atau sukarela. Di masa mendatang, biaya kesehatan dari pemerintah pembiayaan secara UKM bertahap dan digunakan seluruhnya untuk

jaminan

pemeliharaan

kesehatan

masyarakat rentan dan keluarga miskin. 3.4 Sistem Pendanaan Kesehatan pada Jamkesmas Pendanaan Jamkesmas merupakan jenis belanja bantuan sosial bersumber dari APBN Kementerian Kesehatan. Dana belanja bantuan sosial adalah dana yang dimaksudkan untuk mendorong pencapaian program dan peningkatan kualitas pelayanan kesehatan bagi peserta Jamkesmas serta bukan bagian dari dana yang ditransfer ke Pemerintah Kabupaten/Kota sehingga pengaturannya tidak melalui mekanisme APBD, dan dengan demikian tidak langsung menjadi pendapatan daerah. Dana Jamkesmas dan Jampersal terintegrasi secara utuh menjadi satu kesatuan. Dana Jamkesmas dan Jampersal untuk pelayanan kesehatan dasar disalurkan langsung dari rekening kas negara ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melalui bank. Dana Jamkesmas dan Jampersal untuk pelayanan kesehatan lanjutan disalurkan langsung dari rekening kas negara ke rumah

sakit/balkesmas melalui bank. Pembayaran biaya pelayanan kesehatan

14

dasar dan jaminan persalinan di Faskes tingkat pertama dibayar dengan pola klaim. Pertanggungjawaban untuk seluruh Faskes lanjutan menggunakan pola pembayaran dengan INA-CBGs. Peserta tidak boleh dikenakan urun biaya dengan alasan apapun. Dana Pelayanan Jamkesmas bersumber dari APBN sektor Kesehatan dan APBD. Pemerintah daerah melalui APBD berkontribusi dalam menunjang dan melengkapi pembiayaan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin dan tidak mampu di daerah masing- masing meliputi antara lain: 1) masyarakat miskin dan tidak mampu yang tidak masuk dalam pertanggungan kepesertaan Jamkesmas. 2) biaya transportasi rujukan dari rumah sakit yang merujuk ke pelayanan kesehatan lanjutan serta biaya pemulangan pasien menjadi tanggung jawab Pemda asal pasien. 3) biaya transportasi petugas pendamping pasien yang dirujuk. 4) dukungan biaya operasional manajemen Tim Koordinasi dan Tim Pengelola Jamkesmas Provinsi/Kabupaten/Kota. 5) biaya lain-lain di luar pelayanan kesehatan, sesuai dengan spesifik daerah dapat dilakukan oleh daerahnya. Adapun dana Operasional Manajemen Tim Pengelola di Provinsi bersumber dari APBN melalui dana dekonsentrasi, sedangkan untuk Tim Pengelola Kabupaten/Kota bersumber dari APBN melalui dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Besaran alokasi dana pelayanan Jamkesmas di pelayanan dasar untuk setiap kabupaten/kota dan pelayanan rujukan untuk rumah sakit/balkesmas ditetapkan

berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Kesehatan. Lingkup Pendanaan Pendanaan Jamkesmas terdiri dari: 1) Dana Pelayanan Kesehatan, adalah dana yang langsung diperuntukkan untuk pelayanan kesehatan di Faskes Tingkat

15

Pertama

dan

Faskes

Tingkat

Lanjutan.

Dana

Pelayanan

Kesehatan bagi peserta Jamkesmas meliputi seluruh pelayanan kesehatan di: (a) puskesmas dan jaringannya untuk pelayanan kesehatan dasar. (b) rumah sakit pemerintah/swasta termasuk RS khusus, TNI/POLRI, balkesmas untuk pelayanan kesehatan rujukan. 2) Dana Operasional Manajemen, adalah dana yang diperuntukkan untuk operasional manajemen Tim Pengelola dan Tim Koordinasi Jamkesmas dan BOK Pusat/Provinsi/Kabupaten/Kota dalam menunjang program Jamkesmas. 3.5 Masyarakat yang berhak mendapatkan Jamkesmas

16

Bab IV Pembahasan

4.1 Masalah Pendanaan Kesehatan Masyarakat Pada Jamkesmas 1. Rendahnya Dana untuk Pelayanan kesehatan pada jamkesmas Kecilnya alokasi dana untuk sektor kesehatan menunjukkan kecilnya perhatian pemerintah terhadap kesehatan masyarakat termasuk kesehatan masyarakat miskin. Sistem pembiayaan program pelayanan kesehatan untuk masyarakat miskin di era desentralisasi, dapat mendorong peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat kearah positif dan negative sekaligus. Mengapa demikian? Karena dalam kerangka desentralisasi, pemerintah pusat telah memberikan kewenangan pada pemerintah daerah tingkat I dan II untuk menjabarkan kebijakan tersebut. Termasuk mendapat kewenangan untuk mengalokasikan anggaran, merencanakan dan melaksanakan program pembangunan kesehatan. Pemerintah Pusat hanya sebagai regulator penentu arah kebijakan. Permasalahnya adalah

kemampuan pemerintah daerah tidak sama antara satu daerah dengan daerah lainya. Sehingga dalam mengalokasikan anggaran kesehatan bervariasi antar propinsi/kabupaten/kota tergantung

kekuatan pembiayaan daerahnya masing-masing. Dampaknya daerah yang sumber PAD-nya kecil, kesulitan untuk membiayai pelayanan kesehatan untuk masyarakat miskin di daerahnya. Pada akhirnya akan mempengaruhi peningkatan derajat kesehatan masyarakat secara keseluruhan.

17

2. Ketidaktepatan Sasaran Jamkesmas Prediksi membengkaknya jumlah penduduk miskin setiap

tahunnya mudah dipahami karena ketidakpastian ekonomi, seperti kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan bahan pangan yang akan membuat masyarakat yang berada dalam kelompok miskin terpuruk dalam katogeri kemiskinan absolut, yakni kelompok

masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan. Program JPKMM, dalam penetapan sasarannya menggunakan definisi

kemiskinan BPS, dimana BPS spesifik untuk melihat miskin dari sudut pandang ekonomi. Sedangkan Depkes sendiri mempunyai definisi yang berbeda untuk melihat kemiskinan, dengan lebih melihat miskin dari sudut pandang kemampuan akses terhadap pelayanan

kesehatan. Perbedaan ini sangat berpengaruh pada perbedaan besaran penduduk miskin. Perbedaan yang cukup besar ini akan berakibat fatal dalam kebijakan dan pendanaan penduduk miskin jika pemerintah salah menafsirkan data tersebut. Sebagai contoh adalah bila suatu keluarga diindikasikan tidak miskin menurut versi BPS (karena penghasilannya sedikit diatas ketentuan kriteria miskin BPS), maka bila keluarga tersebut sakit dan harus dirawat inap di rumah sakit, pasien tersebut sudah dipastikan tidak akan sanggup membayar biaya pengobatan dan membatalkan perawatannnya karena tidak ada jaminan bebas biaya. Kondisi seperti ini tentunya akan menghambat realisasi pencapaian target pemerintah dalam mewujudkan peningkatan derajat kesehatan masyarakat miskin. Setelah ditetapkan sasaran masyarakat miskin, permasalahan lain adalah keterlambatan distribusi, pengawasan distribusi yang lemah, adanya non-gakin yang meminta kartu sehat/askeskin,

penyalahgunaan kartu sehat pada saat berobat oleh non-gakin. Menurut penelitian Litbangkes dan Bappenas (2001), 20 % kartu

18

sehat yang salah sasaran. Semua permasalahan di atas akan berdampak pada inefisiensi penggunaan dana, untuk

menanggulanginya perlu ditingkatkan kualitas koordinasi dari pihakpihak yang terkait, perlu adanya sanksi-sanksi tegas bagi nongakin yang meminta kartu sehat/askeskin, serta perlu dibuat kebijakan yang mengatur besarnya kewajiban daerah (kabupaten/kota) dalam

mengalokasikan biaya untuk rakyat miskin di daerahnya, dan perlu dibuat kepastian yang jelas mengenai definisi miskin agar tidak berbeda definisi miskin yang diberikan pusat dan daerah.

3. Keterlambatan Penyaluran Dana Penyaluran puskesmas dana kesehatan jamkesmas dari pusat ke

sering

terlambat

sehingga

mempengaruhi

kualitas

pelayanan yang diberikan. Hal tersebut juga disebabkan oleh lemahnya pengawasan penyaluran dana.

4.2 Alternatif

Pendanaan

Kesehatan

Jamkesmas

dan

cara

Mobilisasinya

19

Bab V Penutup

5.1

Kesimpulan Pemerintah menyadari bahwa masyarakat, terutama masyarakat

miskin, sulit untuk mendapatkan akses pelayanan kesehatan. Kondisi tersebut semakin memburuk karena mahalnya biaya kesehatan, akibatnya pada kelompok masyarakat tertentu sulit mendapatkan akses pelayanan kesehatan. Untuk memenuhi hak rakyat atas kesehatan, pemerintah mengalokasikan dana bantuan sosial sektor kesehatan yang digunakan sebagai pembiayaan bagi masyarakat, khususnya masyarakat miskin, bantuan sosial tersebut direalisasikan dalam bentuk Jamkesmas yang penyelengaraannya dalam skema asuransi sosial. Namun pelaksanaan Jamkesmas banyak mengalami masalah pada pendanaannya.

5.2

Solusi

Mengatasi

Masalah

Pendanaan

Kesehatan

Bagi

Masyarakat pada Jamkesmas 1. Perlunya kebijakan yang mengatur tentang besarnya kewajiban daerah (kabupaten/kota) dalam mengalokasikan biaya kesehatan untuk rakyat miskin di daerahnya. Besarnya alokasi biaya akan berbeda tiap daerah. Mekanisme ini perlu diatur agar daerah kaya tidak mendapat porsi yang besar dari pusat. 2. Perlu dibentuknya suatu badan khusus yang mengelola pendanaan kesehatan masyarakat miskin secara professional. Badan terse

20

3. Perlu pengecekan ulang mengenai status warga apakah tergolong warga miskin yang berhak mendapat jamkesmas atau tidak. 4. Perlunya pendevinisian warga miskin yang jelas agar tidak terjadi salah sasaran pemberian jamkesmas.

21

Pustaka

Mahlil. 2000. Analisis Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat. Tesis, FKMUI, Depok. Thabrany, H. dan Pujianto. 2008. Asuransi Kesehatan dan Akses Pelayanan Kesehatan. Yogyakarta : UGM. WHO. World Health Report. 2012

Anda mungkin juga menyukai