Anda di halaman 1dari 11

BAB I PENDAHULUAN

Belakangan ini nasionalisme masyarakat di perbatasan mulai dipertanyakan. Mengapa demikian? Warga di perbatasan terutama yang berdekatan dengan negara tetangga seperti Malaysia, hampir setiap hari mengadakan kontak ekonomi dengan negeri jiran itu. Bahkan untuk bahan pokok sehari-hari, warga di perbatasan tetap bergantung ke Malaysia. Maklum saja, letak wilayah mereka pun begitu dekat. Saking dekatnya, perjalanannya bisa ditempuh lewat darat atau pun laut selama satu jam, bahkan lebih. Hal ini tergantung pada posisi wilayah masing-masing. Selain jaraknya dekat, warga di perbatasan juga mempunyai ikatan kekerabatan dengan Malaysia terutama di perbatasan Kalimantan. Ketergantungan warga di perbatasan begitu kuat, terbukti setelah pemberantasan kayu illegal logging di sekitar perbatasan dihentikan. Serta merta kegiatan ekonomi mereka terhenti karena cukong yang terlibat penebangan liar hengkang ke Malaysia, akhirnya pengangguran besar-besaran pun terjadi. Jelas ini sangat berpengaruh bagi kehidupan ekonomi di perbatasan. Sementara lapangan pekerjaan yang dijanjikan pemerintah sebagai kompensasi diberantasnya aktivitas illegal logging tidak pernah terwujud. Sebagai

konsekuensinya, ratusan bahkan ribuan warga bekerja di Sarawak, Malaysia Timur. Mereka diperkerjakan sebagai buruh kasar, pembantu rumah tangga, bahkan ada sebagian lagi bekerja di perkebunan karet milik warga Malaysia. Begitu terpuruknya ekonomi di perbatasan yang hanya menggantungkan hidup di negeri orang. Giliran keuntungan hasil penebangan kayu liar diambil oleh pemerintah dengan alasan dikembalikan untuk pendapatan daerah dan perbaikan jalan. Tapi apa realisasinya? Toh jalan yang rusak pasca illegal logging tetap saja tidak ada perbaikan, malah bertambah parah. Apa hubungannya dengan nasionalisme? Jelas ini sangat berkaitan.

Nasionalisme dan ekonomi adalah dua sisi mata uang yang sangat erat hubungannya.

Bagaimana mungkin rasa nasionalisme itu bisa terbangun jika kualitas hidup secara ekonomi rendah. Malah isu rekrutmen laskar Watania yang dilakukan pemerintah Malaysia beberapa bulan lalu agaknya bisa dibenarkan jika dilihat dari nihilnya lapangan pekerjaan yang diberikan pemerintah Indonesia. Apalagi dengan gaji yang ditawarkan cukup menggiurkan. Rasa nasionalisme bisa kalah hanya karena kebutuhan untuk bertahan hidup. Tidak hanya di perbatasan barangkali, bahkan keroposnya nasionalisme itu bisa jadi menyelimuti anak bangsa ini takkala harga bahan pokok bertambah naik, lapangan pekerjaan sulit, cari uang susah. Yang paling parah lagi harga diri bangsa di mata negara lain terinjak-injak. Sehingga tidak heran apabila berpergian ke Malaysia atau negara lainnya, banyak orang Indonesia malu mengakui identitas negaranya sendiri. Kondisi ini seolah-olah memberikan pembenaran bahwa nasionalisme bangsa ini mulai redup. WNI yang sering bepergian keluar negeri malu mengaku identitasnya. Apalagi warga diperbatasan yang pendidikannnya minim. Salah satu faktor keterbelakangan secara ekonomi di perbatasan adalah diskriminasi ekonomi yang dilakukan pemerintah. Kehidupan warga begitu kontras jika dibandingkan dengan daerah lain. Prioritas pembangunan yang dijanjikan pemerintah tidak sebanding dengan penghasilan kekayaan alam yang dikeruk. Warga perbatasan tetap saja menggantungkan hidupnya di Malaysia. Mereka lebih betah tinggal di Malaysia walaupun harga diri mereka terkadang terinjak-injak. Begitu juga semarak nasionalisme di telivisi yang dengan bangga mengaku sebagai anak bangsa Indonesia belum tentu selaras dengan nasionalisme warga yang tinggal di perbatasan. Sayangnya belum ada tayangan di televisi yang menayangkan komentar warga di perbatasan tentang nasionalisme mereka. Kalau pun berkomentar dan bangga sebagai warga negara Indonesia, itu sangat kontras dengan realitas hidup yang memprihatinkan. Lalu, apakah masyarakat ibukota memiliki rasa Nasionalisme yang lebih baik?

Masyarakat Pulau Batam, sejak dulu sudah terbiasa berniaga dengan masyarakat Singapura. Ketika itu mereka tidak perlu membawa paspor untuk sekadar berniaga dan berbarter barang dagangan. Karena masyarakat dari kedua negara saling membutuhkan dan mereka hidup damai berdampingan. Lalu, apakah karena itu kadar nasionalisme mereka patut dipertanyakan? Sebaliknya, apakah masyarakat ibukota atau mereka yang biasa hidup hedonis di kota-kota besar, mereka lebih nasionalis? Jika ukurannya adalah gaya hidup dan keperbihakan mereka pada produk dalam negeri, separtinya justru masyarakat ibukota atau pun mereka yang hidup di perkotaan yang patut dipertanyakan nasionalismenya? Bagaimanan tidak, untuk

sekadar menyeruput kopi saja, mereka sudah menghamburkan uang untuk disedot ke luar negeri. Ya, ngopi di Sturbuck atau kedai kopi sejenisnya. Atau, untuk memperbaiki penampilan diri, maka baju, calana, tas sampai dengan dompet dan perangkat daleman mereka pun bukan buatan anak negeri. Demi merek, mereka rela menggelontorkan uang untuk disedot keluar negeri. Sementara masyarakat

perbatasan, mereka memang menggunakan produk-produk luar. Karena memang itulah sumber satu-satunya produk yang mereka pergunakan sehari-hari. Saling barter antara sesama masyarakat perbatasan adalah lumrah dan sudah terjadi sejak lama sekali. Jadi, mereka menggunakan produk luar bukan demi gengsi atau penampilan diri. Tapi memang terjadi barter kebutuhan barang diantara mereka. Kini, setelah hukum dan aturan menjerat dan mensekat-sekat mereka, maka semuanya menjadi berbeda. Tidak bisa lagi, masyarakat Pulau Batam membawa kayu arang dan ikan bilis kering ke Singapura tanpa paspor untuk pulang membawa barang sekarung gula dan beberapa peralatan elektronik ala kadarnya. Begitu pula halnya dengan masyarakat lain di seluruh wilayah perbatasan di Indonesia. Kondisi ini sudah pasti membuat mereka harus menyesuaikan diri. Beras dari negeri Siam pun tak bisa lagi mereka bawa dari Singapura bersama gula dan kebutuhan lainnya, seperti dulu. Semuanya harus distop demi hukum dan aturan kepabeanan masing-masing negara. Ironisnya, setelah mereka tidak bisa lagi mendapatkan barang-barang kebutuhan

sehari-hari itu dari negeri tetangga, pasokan dari dalam negeri pun tersendat-sendat. Kalau pun ada, harganya sudah gila. Kondisi ini terjadi di sejumlah daerah perbatasan di Indonesia. Bayangkan, untuk mendapatkan satu sak semen, saudara kita di perbatasan di Nunukan Kalimantan Timur harus membayar hingga ratusan ribu rupiah, bahkan pernah menyentuh harga satu juta rupiah per sak. Kondisi ini juga berlaku untuk komoditi lainnya, seperti gula dan beras. Jadi, sesungguhnya problem utama masyarakat di perbatasan bukanlah soal nasionalisme. Tapi soal perut. Kebutuhan mendasar untuk tetap hidup, itulah yang membuat mereka harus terus berjuang untuk bertahan hidup. Maka, alangkah kejinya mereka yang mempertanyakan nasionalisme masyarakat perbatasan itu. Begitu pula halnya penguasa yang membiarkan mereka hidup dalam serba keterbatasan. Lalu melarang mereka untuk berniaga dengan masyarakat negara tetangga.

Gambar Sebaran Kawasan Perbatasan Strategis

BAB II PEMBAHASAN

Kawasan perbatasan menurut masyarakat merupakan kawasan yang tidak terpisahkan dengan Negara tetangganya bahkan memunculkan simbiosa mutualisma (saling membutuhkan dan saling menguntungkan). Mereka lebih memilih belanja ke Negara tetangga hal ini dirasakan karena harga murah dan jarak pencapaian tidak jauh. Begitu pula barang-barang kebutuhan sehari-hari maupun barang-barang lainnya yang diperdagangkan lebih banyak barang yang berasal dari negara tetangga (harga murah dan mudah didapat), daripada menunggu datangnya pasokan dan distribusi dari pusat koleksi barang yang tersendat (faktor aksesibilitas rendah) Masyarakat sudah antipati dengan program-program pembangunan yang dicanangkan baik oleh pemerintah pusat maupun daerah, kenyataanya sampai hari ini keadaan masyarakat kami tetap miskin dan merasa paling jauh dan terpinggirkan di Negara sendiri sementara sangat dekat dan merasa diperhatikan oleh Negara tetangga. Rasanya tidak ada pejabat yang tidak pernah mampir ke Entikong. Tapi, tak juga ada kemajuan di daerah ini. Cuma malaikat yang belum mampir ke Entikong (pendapat masyarakat perbatasan). Masyarakat sudah apatis dan tidak terlalu peduli dengan beragam dan bervariasinya acara kunjungan berbagai tamu terutama pejabat dari pemerintah pusat dengan mengumbar janji-janji dan retorika untuk membangun kawasan perbatasan yang hanya bersifat charity dan seremonial belaka. Dengan konsekuensi logis Pemda setempat berjibaku untuk melayani dan mempersiapkan segala sesuatunya demi kesempurnaan dan kesuksesan acara kunjungan tersebut, tetapi apa mau dikata semuanya tidak berjalan sesuai dengan acara yang telah direncanakan, padahal dari segi biaya, waktu persiapan jauh-jauh hari dijadwalkan bahkan mungkin ada

agenda/program pemda yang semestinya dalam waktu tersebut harus dilaksanakan bahkan selesai jadi tertunda. Pentingnya Pemberdayaan Masyarakat Perbatasan Wilayah perbatasan ibarat rumah merupakan terasnya, sehingga perlu dibangun seindah dan sebaik mungkin agar orang luar melihat rumah itu indah dan nyaman. Untuk itu, wilayah perbatasan Indonesia juga harus dibangun sebaik mungkin, terutama pembangunan ekonominya, agar negara tetangga melihat Indonesia tidak dengan sebelah mata. Tidak mudah memang, dalam membangun daerah perbatasan. Perlu kombinasi peran antara pemerintah dan masyarakatnya sendiri. Masyarakat tidak akan mampu jika hanya bermodalkan swadaya sendiri. Begitu juga dengan pemerintah jika tanpa dukungan masyarakat. Pemerintah baik pusat maupun daerah diharapkan mampu mendorong prakarsa dan peran aktif masyarakat di wilayah perbatasan dalam pembangunan di wilayahnya. Bila selama ini pengelolaan wilayah perbatasan cenderung masih dilakukan secara parsial, dimana masing-masing instansi berjalan sendiri-sendiri tanpa adanya koordinasi dan sinkronisasi, maka saat ini dan kedepan pengelolaan dan penanganan wilayah perbatasan harus dilakukan secara terpadu dan lintas sektoral serta adanya sinergi antar departemen. Dalam kaitan ini, maka Kementrian Pembangunan Daerah tertinggal harus melakukan koordinasi secara terpadu dengan kementrian lain, seperti Menkes, Men PU dan Mendiknas. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perbatasan. 1. Memanfaatkan potensi Sumber daya alam daerah perbatasan Tidak dapat dipungkiri bahwa Negara Indonesia ini dianugerahi potensi sumber daya alam yang cukup melimpah. Dari sabang sampai merauke, begitu juga dengan daerah perbatasan. Kawasan perbatasan, termasuk pulau-pulau

kecil terluar, memiliki potensi sumber daya alam (SDA) yang sangat besar yang dapat dioptimalkan pemanfaatannya untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, kawasan perbatasan merupakan kawasan yang sangat strategis bagi pertahanan dan keamanan negara. Potensi yang dimiliki oleh kawasan perbatasan bernilai ekonomis yang sangat besar, terutama potensi sumberdaya alam (hutan, tambang dan mineral, perikanan dan kelautan) yang terbentang di sepanjang dan di sekitar perbatasan. Sebagian besar dari potensi sumberdaya alam tersebut belum dikelola dan sebagian lagi merupakan kawasan konservasi atau hutan lindung yang memiliki nilai sebagai paru-paru dunia (world heritage) yang perlu dijaga dan dilindungi. Beberapa sumberdaya alam tersebut saat ini berstatus taman nasional dan hutan lindung yang perlu dijaga kelestariannya, seperti: Cagar Alam Gunung Nyiut, Taman Nasional Bentuang Kerimun, dan Suaka Margasatwa Danau Sentarum yang sangat indah di Kalimantan Barat. Selain itu terdapat pula Taman Nasional Kayan Mentarang di Kalimantan Timur dan Taman Nasional Wasur di Merauke, Papua. Potensi lainnya adalah kawasan perairan di Sangihe Talaud dan di Riau Kepulauan yang memiliki potensi perikanan yang sangat besar dan sering menjadi daerah tangkap tidak sah bagi nelayan Philipina dan Thailand. Namun demikian, hingga saat ini kondisi perekonomian sebagian besar wilayah di kawasan perbatasan tersebut masih relatif tertinggal jika dibandingkan dengan pembangunan di wilayah lain. Di beberapa kawasan terjadi kesenjangan pembangunan kawasan perbatasan dengan negara tetangga. Kondisi ini pada umumnya disebabkan oleh masih terbatasnya ketersediaan sarana dan prasarana sosial ekonomi seperti sarana dan prasarana perhubungan, telekomunikasi, permukiman, perdagangan, listrik, air bersih, pendidikan, dan kesehatan. Keterbatasan sarana dan prasarana sosial ekonomi di kawasan perbatasan tersebut menyebabkan minimnya kegiatan investasi, rendahnya optimalisasi pemanfaatan SDA, rendahnya penciptaan

lapangan pekerjaan, sulit berkembangnya pusat pertumbuhan, keterisolasian wilayah, ketergantungan masyarakat terhadap pelayanan sosial ekonomi dari negara tetangga, tingginya biaya hidup, serta rendahnya kualitas sumberdaya manusia. Pengembangan perekonomian kawasan perbatasan perlu dilakukan secara seimbang dengan pengelolaan aspek keamanan yang juga sering muncul sebagai isu krusial di kawasan ini. Kegiatan eksploitasi SDA secara ilegal oleh pihak asing, seperti illegal logging dan illegal fishing, masih marak terjadi dan menyebabkan degradasi lingkungan hidup. Adanya kesamaan budaya dan adat antara masyarakat di kedua negara serta faktror kesenjangan ekonomi menyebabkan munculnya mobilitas penduduk lintas batas yang memerlukan penanganan khusus. Lemahnya sistem pengawasan di kawasan perbatasan menyebabkan adanya potensi kerawanan kawasan ini terhadap transnasional crime. Permasalahan lain yang tidak dapat dilepaskan dalam pengelolaan kawasan perbatasan adalah belum disepakatinya penetapan wilayah negara di beberapa segmen batas darat dan laut melalui kesepakatan dengan negara tetangga. 2. Menciptakan Home Industry Buah-buahan seperti pisang, durian, terap, papaya, dan lain lainnya dinilai sebagai aset produksi lokal daerah perbatasan yang potensial untuk diolah menjadi produk pangan seperti keripik buah. Hal ini sangat mendukung untuk menciptakan sentra agroindustri produk pangan berbasis sumber daya alam. Peningkatan keahlian sumber daya manusia dalam pengelolaan sumber daya alam dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perbatasan. Melalui penguasaan teknologi pemanfaatan potensi buah lokal oleh masyarakat, mereka akan mulai memiliki tujuan yakni membangun industri rumah tangga. Kegiatan ini juga diharapkan membuka peluang kerja baru bagi masyarakat perbatasan, selain itu sangat berdampak positif bagi sumber daya manusia dan sumber daya alam yang ada di perbatasan tersebut, sehingga dengan

mengembangkan kemampuan diri serta memanfaatkan potensi sumber daya alam lokal, mereka dapat meningkatkan kesejahteraannya. 3. Pembangunan daerah perbatasan Perlunya penekanan pembangunan daerah tertinggal/terisolir tidak lain untuk menjaga perimbangan pembangunan dengan daerah lain yang lebih maju dan dinamis. Peningkatan peran pemerintah merupakan bagian dari upaya mendorong partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah, khususnya daerah pedesaan dalam upaya pengentasan kemiskinan. Kesan kurangnya perhatian dari Pemerintah terhadap kawasan perbatasan selalu dikaitkan dengan pendekatan pembangunan yang digunakan dimasa lampau, yang lebih menekankan pada keamanan (security) dibanding dengan peningkatan kesejahteraan (prosperity). Apabila kita memperhatikan kondisi sosial, politik, dan keamanan pada masa itu, terdapat kesan kuat bahwa dalam pengembangan kawasan perbatasan lebih menekankan aspek dan pendekatan keamanan. Namun pada saat ini dimana situasi kemanan yang semakin kondusif dan adanya proses globalisasi yang ditandai dengan berbagai kerjasama ekonomi baik regional maupun sub-regional, maka pendekatan keamanan perlu disertai dengan pendekatan kesejahteraan secara seimbang. Dipihak lain, beberapa negara tetangga yang berbatasan langsung dengan Indonesia telah mengembangkan daerah perbatasannya sebagai kawasan pertumbuhan ekonomi yang telah maju dengan berbagai sarana dan prasarana fisik yang lengkap serta sumberdaya manusia yang berkualitas.

Strategi pengembangan kawasan perbatasan secara umum meliputi: 1. 2. Menjadikan kawasan perbatasan sebagai pintu gerbang ke negara tetangga Membangun kawasan perbatasan dengan pendekatan kesejahteraan (prosperity), keamanan (security), dan lingkungan (environment) secara serasi.

3.

Mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di kecamatankecamatan yang langsung berbatasan secara selektif dan bertahap sesuai prioritas dan kebutuhan.

4.

Meningkatkan perlindungan sumberdaya alam hutan tropis (tropical forest) dan kawasan konservasi, serta mengembangkan kawasan budidaya secara produktif bagi kesejahteraan masyarakat lokal.

5.

Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia (SDM) melalui pembangunan di bidang pendidikan, kesehatan, perhubungan dan informasi.

6.

Meningkatkan kerjasama pembangunan di bidang sosial, budaya, keamanan dan ekonomi dengan negara tetangga.

BAB III PENUTUP

Pengembangan kawasan perbatasan merupakan upaya untuk mewujudkan hak kedaulatan NKRI sebagai sebuah negara yang merdeka.. Penyelesaian persoalan perbatasan secara damai dan upaya pengembangan kawasan perbatasan berikut penanganan masalahnya akan memperkuat efektivitas pelaksanaan politik luar negeri dan diplomasi untuk mencapai tujuannya sebagaimana yang ditetapkan dalam pembukaan UUD 1945. Pengembangan kawasan perbatasan juga diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan perbatasan, yang karena lokasinya yang terpencil dan jauh dari pusat-pusat pertumbuhan ekonomi, saat ini masih dalam kondisi keterbelakangan. Peningkatan kesejahteraan masyarakat local ini juga sangat penting ditinjau dari aspek ketahanan bangsa. Bumi Indonesia kaya akan sumberdaya alam dan budaya. Bangsa-bangsa lain banyak yang tidak mempunyai kekayaan sebesar yang dimiliki negara Indonesia. Melalui upaya pengembangan kawasan perbatasan ini, diharapkan berbagai bentuk pencurian kekayaan sumber daya alam dan budaya Indonesia tidak akan terjadi. Hal ini memerlukan kerjasama yang erat dari semua pihak secara sinergis, baik antar instansi di tingkat pusat maupun antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Masingmasing pihak mempunyai tugas dan tanggung jawab yang berbeda satu sama lain, namun secara bersama-sama semuanya menyatu pada upaya membangun wilayah Negara Kesatuan Repubik Indonesia yang kuat, berdaulat dan sejahtera.

Anda mungkin juga menyukai