Anda di halaman 1dari 38

I. I.Identitas Nama Usia Jenis kelamin Pekerjaan Status Agama Alamat Tanggal masuk II.

Anamnesa Keluhan utama : keluar darah dari kemaluan : Ny. M : 21 tahun : Perempuan : Ibu Rumah Tangga : Menikah : Islam : way tenong lampung barat : 13 November 2012, pukul 18.40 WIB

RPP : 5 jam SMRS os mengeluh keluar darah dari kemaluan berwarna merah terang, os mengganti pembalut sebanyak 3x ganti pembalut, R/ keluar gumpalan seperti jaringan (-), R/ keluar gelembung seperti mata ikan (+),R/ perut terasa nyeri/ mules +, R/mual muntah +, R/ payudara tegang +. Os mengaku terlambat haid 2 bulan. Os mengaku tak pernah merasakan adanya gerakan janin dan perut cepat mmbesar. Os sudah berobat ke bidan .Setelah itu ke puskesmas dan dirujuk ke RSAM. R/ jantung berdebar debar(-), keringat dingin (-), sesask nafas (-) . Riwayat Haid Menarche Siklus haid Lamanya HPHT : 13 th : teratur : 7 hari : 29-08-2012

Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat Perkawinan Menikah Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat Obstetri Tahun 2012 hamil ini Riwayat Kontrasepsi: III.Pemeriksaan Fisik Status Present KU Kesadaran Tekanan Darah Nadi RR T Status Generalis : Kepala Leher Thoraks Abdomen Ekstremitas inferior Status Ginekologi : 2 : dbn : dbn : dbn : dbn : dbn : tampak sakit sedang : Compos mentis : 110/60 mmHg : 80 x/menit : 20x/menit : 36,70C

Ekstremitas superior : dbn

PL : abdomen cembung, fundus uteri sepusat, massa (-), nyeri tekan (-), tanda cairan bebas (-)ballottement eksterna (-) DJJ (-). Pemeriksaan inspekulo Porsio OUE Flour Fluksus Erosi Laserasi Polip : livide : tertutup : negatif : negatif : negatif : negatif : negatif

Pemeriksaan Dalam : Porsio lunak, posterior, OUE tertutup, CUT 24 ninggu, AP kanan/kiri lemas, CD tak menonjol. IV. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium Hb Hematokrit Leukosit Hitung jenis Trombosit Ureum Creatinin Gula darah sewaktu Hasil USG Hasil foto toraks Tes serum HCG : +, 1/32000 Tes Acosta sison : + V. Diagnosa Klinis : 7,8 g/dl 24% 8200/ul 0/2/0/70/22/6 309.000/ul 11mg/dl 0,4 mg/dl 79 mg/dl ::-

Suspek Mola Hidatidosa VI. Penatalaksanaan Terapi: -Perbaikan KU+ trasnsfusi - Obs. Tanda vital - Inj. Viccilin - Kuret hisap VII. Prognosis Quo ad Vitam dubia ad bonam Quo ad fungtionam dubia ad bonam Follow up post kuret hisap Tgl :14-11-2012 Pukul 08.00 Kel : perdarahan pervaginam (-), keluar jaringan seperti buah anggur (-), demam (-), BAB dan BAK normal (-) St Present : KU : TSS TD : 120/70, N : 80x/mnt, RR 20x/mnt, T 36,7 St generalis Kepala Mata Thorak Abdomen : dbn : konjungtiva tidak anemis : dbn : NT (-) Nyeri epigastrium (-)

Status ginekologi PL : abdomen datar , tifut 2 jari ats simpisis, massa (-), nyeri tekan (-), tanda cairan bebas (-) Insp : Portio livide, OUE tertutup, Fluksus (-), Fluor (-), Erosi (-), Laserasi (-), Polip(-) VT: portio lunak , posterior Terapi: amoxicillin 3x1 tab cek HCG kuantitatif Rencana setelah pasien pulang kontrol ke poli Kandungan dan kebidanan cek kdar HCG serum tiap minggu smpai HCG slama 3 minggu berurut turut tiap 2 minggu smpai bulan ke 2 dan 3 tiap bulan sampai bulan ke 4 tiap 3 bulan sampai 2 tahun.

II. Analisa Kasus A. Anamnesa : 5 jam SMRS os mengeluh keluar darah dari kemaluan berwarna merah terang, os mengganti pembalut sebanyak 3x ganti pembalut, R/ keluar gumpalan seperti jaringan (-), R/ keluar gelembung seperti mata ikan (+),R/ perut terasa nyeri/ mules +, R/mual muntah +, R/ payudara tegang +. Os mengaku terlambat haid 2 bulan. Os mengaku tak pernah merasakan adanya gerakan janin dan perut cepat mmbesar. Os sudah berobat ke bidan .Setelah itu ke puskesmas dan dirujuk ke RSAM. R/ jantung berdebar debar(-), keringat dingin (-), sesask nafas (-) 1. Apakah diagnosis kasus ini sudah tepat ? Berdasarkan anamnesa,Dikatakan suspek mola hidatidosa karena pada pasien hanya ditemukan gejala klinis yaitu amenore 2 bulan, hiperemesis, uterus lebih besar dari usia gestasi, dan tidak terdapat adanya tanda-tanda tirotoxicosis. Selain itu hal ini juga didukung oleh adanya hasil serum HCg yaitu +, 1/32000.

Sedangkan yang kita ketahui bahwa dapat kita katakan mola apabila terdapat peningkatan serum HCG sebanyak> 1/20000. Selain itu tes Acosta sison juga dilakukan, karena apabila kita memasukan sonde melalui kanalis servicalis secara perlahan-lahan, bila sonde dapat masuk lebih dari 10 cm tanpa tahanan maka mola dapat dipastikan dan dalam kasus ini hasil tes +. Selain itu penegakan mola juga dapat dilihat dari hasil USG dengan terlihatnya gambaran seperti badai salju. namun pada kasus diatas hal tersebut tidak dilakukan. Selain itu tes Acosta sison juga tidak dilakukan, hal ini seharusnya dilakukan karena apabila kita memasukan sonde melalui kanalis servicalis secara perlahan-lahan, bila sonde dapat masuk lebih dari 10 cm tanpa tahanan maka mola dapat dipastikan. Ditanyakan r/ dada berdegup kencang, berkeringat dingin, dsb. Hal ini ditanyakan apakah sudah terdapat tanda-tanda tirotokosikosis . Diagnosois anemia ditegakkan berdasarkan hb : 7,8 gr/dl 2.Apakah penatalaksanaan pada kasus ini sudah tepat ? Secara umum penatalaksaanaan kasus ini sudah tepat yaitu pada pneanganan mola meliputi dari evakuasi, pencegahan keganasan dan pengamatan lanjut. Evakuasi meliputi. 1 2 3 4 Perbaikan KU+ transfusi Obs. Tanda vital Inj. Viccilin Evakuasi dengan Kuret hisap

Pencegahan keganasaan : Histerektomi dianjurkan pada penderita yang berumur 35 tahun keatas atau lebih, yang telah mempunyai cukup anak. Pada pasien ini seharusnya dianjurkan, karena pasien telah berumur 48 dan telah mempunyai cukup anak. Pengamatan lanjut Tujuan pengamatan lanjut penderita molahidatidosa adalah untuk mendeteksi adanya infiltrasi sel-sel trofoblas dan untuk memberikan dasar bagi pengobatan 6

Hal ini telah dilakukan dengan melaksanakan rencana pengamatan lanjut yaitu dengan mmberikan jadwal terhadap pasien. kontrol ke poli Kandungan dan kebidanan cek kdar HCG serum tiap minggu smpai HCG slama 3 minggu berurut turut tiap 2 minggu smpai bulan ke 2 dan 3 tiap bulan sampai bulan ke 4 tiap 3 bulan sampai 2 tahun.

MOLA HIDATIDOSA A. DEFINISI Mola adalah kehamilan abnormal dengan ciri-ciri hampir seluruh villi chorialis mengalami degenerasi hidropik. Secara makroskopik dapat mudah dikenali berupa gelembung-gelembung putih, tembus pandang,berisis cairan cairan jernih dengan ukuran bervariasi. Gambaran histopatologik mola ialah edem dari vili, tidak terdapatnya pembuluh darah/ degenerasi hidrofik, dan proliferasi sel-sel trofoblas.

B. TERMINOLOGI HISTOPATOLOGIK 1. Penyakit trofoblas gestasional Suatu terminologi umum yang mencakup molahidatidosa, mola invasif, tumor tempat plasenta dan koriokarsinoma. Dengan demikian mencakup baik kelainan yang jinak maupun ganas. 2. Molahidatidosa Adalah kehamilan abnormal dimana vili korialis yang normal digantikan oleh gelembung-gelembung akibat degenerasi hidrofik vili korialis disertai proliferasi sel-sel trofoblas dengan atau tanpa mudigah-janin. 3. Molahidatidosa komplit Suatu kehamilan abnormal tanpa mudigah-janin, dengan pembengkakan hidrofik dari vili plasenta dan hiperplasia kedua lapisan trofoblas. Pembengkakan vili mengakibatkan terbentuknya gelembung-gelembung jaringan ikat yang telah kehilangan vaskularisasinya.

4.

Molahidatidosa parsial

Suatu kehamilan abnormal dengan suatu mudigah-janin yang biasanya cepat mati, dengan suatu plasenta dimana sebagian vilinya membengkak membentuk gelembung -gelembung, dan dengan fokal-fokal hiperplasia trofoblas, biasanya hanya sinsisiotrofoblas saja. Vili yang tidak terkena tampak normal dan vaskularisasi vili menghilang setelah kematian janin. 5. Mola invasif

Suatu tumor atau proses seperti tumor yang menyebuk ke dalam miometrium dan bercirikan hiperplasia trofoblas dan tetap adanya struktur vili plasenta. Biasanya timbul dari molahidatidosa komplit tapi dapat juga dari molahidatidosa parsialis. Jarang tapi berkembang tidak menjadi koriokarsinoma. Dapat bermetastasis menunjukkan

perkembangan dari suatu kanker dan dapat mengalami regresi spontan. Terminologi berikut adalah sinonim yang tidak dianjurkan untuk dipakai lagi: mola maligna, mola destruens, korioadenoma destruens. 6. Penyakit trofoblas ganas Dapat timbul dari suatu Suatu karsinoma yang timbul dari epitel trofoblas yang menunjukkan elemen sitotrofoblas dan sinsisiotrofoblas. konsepsi yang berakhir dengan suatu kelahiran hidup, lahir mati, abortus, kehamilan ektopik atau molahidatidosa. Korioepitelioma adalah sinonim yang tidak dianjurkan untuk dipakai lagi. 7. Placental site trophoblastic tumor Suatu tumor yang berasal dari jaringan trofoblas pada tempat implantasi plasenta dan terdiri terutama dari sel-sel trofoblas intermediet dan sebagian kecil sitotrofoblas serta sedikit sekali sinsisiotrofoblas. Sinonimnya adalah pseudotumor trofoblas yang tidak dianjurkan untuk dipakai lagi. 8. Tumor trofoblas gestasional Kategori ini selanjutnya dibagi menurut kehamilan Suatu keadaan penyakit dimana terdapat bukti klinik adanya invasif atau koriokarsinoma. sebelumnya sebagai pascamola, pascaabortus, pascapersalinan atau kehamilan yang tidak diketahui. Dianjurkan bahwa terminologi tumor

trofoblas gestasional dipakai untuk menggantikan neoplasia trofoblas gestasional, karena mola invasif tidak dianggap sebagai neoplasma sejati. 9. Tumor trofoblas bermetastase Suatu keadaan penyakit dimana terdapat bukti adanya mola invasif atau koriokarsinoma yang telah menyebar ke luar dari korpus uteri. C. EPIDEMIOLOGI Telah diketahui bahwa insidens molahidatidosa di berbagai negara berlainan, bahkan perbedaannya sangat menyolok. dibandingkan negara maju. Sedangkan frekuensi tertinggi molahidatidosa meningkat pada penderita berumur 20 30 tahun. . Beberapa penulis mendapatkan hubungan molahidatidosa dengan paritas. Mathieu mendapatkan frekuensi tertinggi pada primigravida, sedangkan Tan dan Lean mendapatkan frekuensi tertinggi pada paritas 6 atau lebih. Penderita dengan kehamilan mola mempunyai risiko untuk terjadinya kehamilan mola juga pada kehamilan berikutnya. Insiden molahidatidosa ulangan tersebut dilaporkan sebesar 0,6-2,0% dari seluruh kehamilan yang terjadi setelahnya di Amerika Utara dan Asia. Penderita dengan kehamilan molahidatidosa ulangan tersebut mempunyai risiko yang meningkat menjadi penyakit trofoblas ganas yang persisten pada fase penyakit mola berikutnya. D. KLASIFIKASI PENYAKIT TROFOBLAS Kelompok ilmiah WHO (WHO scientific group on gestational trophoblastic disease), dalam sidangnya di Geneva pada tahun 1982 mengajukan rekomendasi mengenai terminologi histopatologik dan klinik, agar dapat dilakukan standardisasi pelaporan data. Klasifikasi atau terminologi histopatologik terdiri dari a. Molahidatidosa komplit dan molahidatidosa parsial b. Mola invasif c. Koriokarsinoma gestasional d. Tumor trofoblas asal tempat implantasi plasenta Di Indonesia dan negara sedang berkembang terutama Asia dan Afrika insidensnya masih sangat tinggi bila

10

Terminologi klinik terdiri dari a. Penyakit trofoblas gestasional b. Tumor trofoblas gestasional c. Tumor trofoblas bermetastasis20 E. ETIOLOGI Etiologi penyakit trofoblas sampai saat ini belum juga diketahui dengan pasti. Namun ada beberapa teori yang mencoba menerangkan terjadinya penyakit trofoblas yaitu teori desidua, teori telur, teori infeksi dan teori hipofungsi ovarium. 1. Teori desidua Menurut teori ini terjadinya molahidatidosa ialah akibat perubahanperubahan degeneratif sel-sel trofoblas dan stroma vili korialis. Dasar teori ini adalah selalu ditemukan desidual endometritis, pada binatang percobaan dapat terjadi molahidatidosa bila pembuluh darah uterus dirusak sehingga terjadi gangguan sirkulasi pada desidua. 2. Teori telur Menurut teori ini molahidatidosa dapat terjadi bila terdapat kelainan pada telur, baik sebelum diovulasikan maupun setelah dibuahi. 3. Teori infeksi Bagshawe, melaporkan bahwa ada sarjana yang dapat mengisolasi sejenis kemudian virus pada molahidatidosa. perubahan-perubahan Virus khas ini kemudian menyerupai ditransplantasikan pada selaput korioalantoin mudigah ayam, ternyata terjadi molahidatidosa, baik secara makroskopik maupun mikroskopik. Selain itu molahidatidosa diduga disebabkan oleh toksoplasmosis, teori ini dikemukakan oleh Bleier. molahidatidosa. 4. Teori hipofungsi ovarium Teori ini dikemukakan oleh Hasegawa, berdasarkan penelitian beberapa orang ahli yaitu Courrier dan Gros yang melakukan kastrasi pada Teori ini didasarkan pada penemuan toksoplasmosis Gondii dalam jumlah besar pada darah penderita

11

seekor kucing, 1517 hari setelah pembuahan. Ternyata kemudian pada plasentanya ditemukan perubahan-perubahan bahwa yang 60% menyerupai penderita molahidatidosa. Karzafina melaporkan

molahidatidosa yang ditelitinya berumur 1821 tahun, disertai oleh hipofungsi ovarium. pada perempuan Smalbreak melaporkan bahwa dari hasil penelitiannya ditemukan angka kejadian molahidatidosa yang tinggi muda, dimana fungsi seksualnya masih imatur. Menurut Hasegawa molahidatidosa diduga disebabkan oleh teori defisiensi estrogen, yang didukung oleh data-data penelitian yang melaporkan bahwa 60% penderita molahidatidosa berumur 1821 tahun dan disertai hipofungsi ovarium. Serta insidens molahidatidosa yang tinggi pada perempuan muda dan pada perempuan tua dimana fungsi ovarium telah menurun. 5. Faktor lain Selain teori-teori tersebut di atas, masih ada beberapa teori lain yang menghubungkan dengan faktor-faktor yang diduga mempunyai peranan dalam etiologi penyakit trofoblas. Faktor-faktor tersebut ialah faktor malnutrisi, faktor golongan darah dan faktor sitogenetik. a. Faktor nutrisi Penelitian-penelitian awal yang dilakukan pada tahun 1960 di Meksiko dan Filipina menggambarkan bahwa frekuensi penyakit trofoblas gestasional yang terjadi diantara kelompok sosial rendah di negara-negara berkembang dapat dijelaskan dengan keadaan malnutrisi dan terutama rendahnya asupan protein.36 Dikatakan bahwa malnutrisi memegang peranan dalam terjadinya molahidatidosa. dimana banyak kasus Terlihat di negara-negara miskin defisiensi protein, angka kejadian

molahidatidosa jauh lebih tinggi. Tetapi penelitian-penelitian di Iran, Alaska, Jepang dan Malaysia mendapatkan angka kejadian molahidatidosa yang tinggi dengan makanan sehari-hari mereka yang tinggi protein, atas dasar ini maka diragukan defisiensi protein sebagai faktor yang berperan dalam timbulnya

12

molahidatidosa.

Akhir-akhir ini diduga bahwa penderita

molahidatidosa kurang mengkonsumsi makanan yang merupakan sumber vitamin A dan lemak hewani. Dikatakan bahwa terjadinya penyakit ini berbanding terbalik dengan konsumsi beta karoten. Juga dikatakan risiko untuk mendapat molahidatidosa pada perempuan dengan konsumsi beta karoten di atas rata-rata adalah 0,6 kali. Andrijono dkk, dalam penelitiannya mendapatkan bahwa walaupun secara statistik tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna, terbukti bahwa persentase defisiensi vitamin A pada penderita molahidatidosa (43,33%) lebih tinggi dibanding kelompok kontrol (23,33%). Juga dikatakan bahwa risiko molahidatidosa akan meningkat 6,29 kali jika terjadi pada perempuan kurang dari 24 tahun, hamil dan mengalami defisiensi vitamin A yang berat.34,38 b. Faktor golongan darah Bagshawe mengemukakan bahwa perempuan dengan golongan darah A, mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk terjadinya koriokarsinoma bila mempunyai suami golongan darah O, dibandingkan dengan perempuan golongan darah A, tetapi dengan suami golongan darah A. Faktor golongan darah Rhesus juga dianggap berperan, berdasarkan kenyataan bahwa angka kejadian molahidatidosa lebih tinggi pada orang Timur yang hampir seluruhnya mempunyai faktor Rhesus positif.14 c. Faktor sitogenetik Penelitian tentang sitogenetik pada molahidatidosa mulai berkembang pada pertengahan tahun enam puluhan, dipelopori oleh Carr, Baggish dan Pattillo. Beberapa peneliti melakukan kariotipe pada molahidatidosa komplit dan molahidatidosa parsial, mereka melaporkan bahwa molahidatidosa komplit umumnya (95%) mempunyai kromosom diploid 46 XX, hanya 5% yang

13

mempunyai kariotipe 46 XY, hasil dari fertilisasi sperma 23 X dengan telur kosong yang kemudian membelah diri/homozigot/monospermik atau fertilisasi telur kosong oleh 2 spermatosoon yang heterozigot/dispermik. Mola dispermik lebih sering berkembang menjadi ganas. Pada molahidatidosa parsial sering dijumpai kromosom triploidi/trisomi yang terdiri dari dua set kromosom paternal dan satu set kromosom maternal yang terjadi karena telur yang normal oleh dua buah sperma. Mola parsial jarang menjadi ganas. Telah banyak penulis melaporkan bahwa molahidatidosa secara genetik umumnya berjenis kelamin perempuan , dengan kata lain bahwa kromatin seks positif banyak ditemukan pada molahidatidosa dibandingkan dengan abortus. Moegni dan kawan-kawan melaporkan semakin besar jumlah sel sitotrofoblas yang mengandung kromatin seks, semakin besar pula kemungkinan menjadi ganas. F. PATOGENESIS Hertig dan Mansel mengatakan bahwa sebelum terjadinya molahidatidosa terdapat gangguan sirkulasi mudigah. hilang pada umur 35 minggu. Hal ini didapatkan pada ovum patologik yang dibuahi, kemudian mudigah hasil pembuahan ini mati atau Seharusnya pada saat ini sirkulasi darah Tetapi pada molahidatidosa tidak Sel-sel trofoblas biasanya korion dari mudigah sudah sempurna.

terjadi hal yang demikian, sirkulasinya rusak.

mendapat makanan dari ibu melalui cairan dalam ruang intervili masuk ke dalam vili. Karena sirkulasi vili tidak berfungsi dengan baik, maka terjadi penimbunan cairan dalam vili, sehingga kemudian terbentuk gelembunggelembung kecil berisi cairan pada vili tersebut. Perubahan ini berlangsung sehingga pada akhirnya terbentuklah jaringan molahidatidosa yang khas berupa vili-vili sembab dan kistik, sel-sel trofoblas yang berproliferasi serta tidak mengandung pembuluh darah. Mudigah tidak ada atau mati, sedangkan sirkulasi darah dari ibu masih ada yang memungkinkan molahidatidosa tumbuh terus. Namun demikian beberapa ahli menolak teori ini. Dasar

14

penolakan ialah bila gangguan sirkulasi dan kematian mudigah dianggap sebagai permulaan terjadinya molahidatidosa, maka seharusnya jenis kelamin molahidatidosa itu sesuai dengan rasio seks primer. Sedangkan dalam kenyataannya jenis kelamin molahidatidosa pada umumnya perempuan . Park mengajukan teori neoplastik sebagai pengganti teori di atas dan menganggap molahidatidosa terjadi akibat proses neoplastik. Karena sel-sel trofoblas berfungsi menyerap cairan, maka terjadi penumpukan cairan dalam stroma vili korialis, sehingga vili korialis akan berubah menjadi gelembunggelembung yang penuh berisi cairan. Pertanyaan bagaimana terjadinya molahidatidosa dan kenapa jenis kelamin molahidatidosa perempuan , dijawab oleh Tominaga dan Page sebagai berikut: Trofoblas dengan kromosom XX lebih bersifat neoplastik dibandingkan dengan yang berkromosom XY, gen kromosom Y dapat menghambat terjadinya neoplasia, setelah matinya mudigah, plasenta dengan kromosom XY lebih sering diabortuskan dengan yang berkromosom XX. Walaupun sampai sekarang belum dapat dipastikan teori mana yang benar, molahidatidosa dimasukkan ke dalam golongan neoplasia trofoblas pada klasifikasi internasional.25,26,27,41 Faktor-faktor risiko untuk terjadinya molahidatidosa komplit dan parsial telah dianalisis melalui penelitian terbesar yang dilakukan di daerah Milan pada 139 mola komplit dan 49 mola parsial dengan kontrol 410 kasus obstetri. Didapatkan bahwa penderita cenderung nulipara, dilaporkan pernah mengalami abortus spontan, mempunyai masalah infertilitas atau kesulitan konsepsi, dan adanya riwayat baik pribadi maupun keluarga dengan molahidatidosa sebelumnya.29,42 G. PATOLOGI ANATOMI 1. Makroskopik Molahidatidosa mempunyai gambaran makroskopik yang sangat khas, yaitu berupa gelembung-gelembung berisi cairan dengan dinding tipis, kenyal dan tembus pandang. Gelembung-gelembung tersebut ialah vili korialis yang berisi cairan jernih, dengan diameter 1 sampai 30 mm. Sebagian besar vili korialis berukuran cukup besar, bergerombol seperti buah anggur, mempunyai tangkai yang melekat pada endometrium dengan

15

jumlah seluruhnya dapat mencapai 2000 ml atau lebih. musin, garam anorganik, NaCl dan asam fosfat natron. kantung amnion yang kadang-kadang berisi janin.6,10,42,43,44 2. yaitu: a. b. c. Proliferasi abnormal sel-sel trofoblas Stroma vili korialis hidrofik Mikroskopik

Menurut Pada

Hasegawa, cairan dalam vili korialis tersebut terdiri dari air, albumin, molahidatidosa parsial, selain gelembung-gelembung ditemukan juga

Secara mikroskopik molahidatidosa juga mempunyai gambaran yang khas

Pembuluh darah di dalam stroma vili korialis sangat Pendapat dan penelitian yang meramalkan keganasan pasca

sedikit sampai tidak ada sama sekali. molahidatidosa dari sudut histologik: 1. Kasus-kasus molahidatidosa dengan gelembung-gelembung yang relatif kecil, disertai proliferasi abnormal sel-sel sinsisiotrofoblas, senderung menjadi koriokarsinoma. 2. Bila ditemukan proliferasi hebat sel-sel sinsisiotrofoblas dengan hiperkromasi pada inti, molahidatidosa tersebut menunjukkan keganasan yang bermakna. 3. Suatu molahidatidosa cenderung menjadi ganas bila pada hasil kerokannya ditemukan juga vili korialis dengan proliferasi abnormal sel-sel trofoblas. 4. Molahidatidosa sekunder jarang menjadi ganas bila dibandingkan dengan molahidatidosa primer. 5. Hasegawa berpendapat bahwa bila lebih banyak sel-sel sinsisiotrofoblas yang berproliferasi abnormal, kemungkinan molahidatidosa tersebut menjadi ganas lebih besar. 6. Hertig dan Sheldon menyatakan bahwa ada hubungan antara gambaran histologik molahidatidosa dengan keganasan yang terjadi. Tetapi hal ini tidak disetujui oleh Novak. Ia mengemukakan bahwa pada kehamilan normal pun sel-sel

16

trofoblas memiliki sifat-sifat seperti tumor ganas, antara lain berproliferasi abnormal dan dapat menembus jaringan ibu. Pada tahun 1957, klasifikasi menurut Hertig dan Sheldon, disederhanakan oleh Hertig dan Mansell menjadi 3 tingkat: Tingkat I : Tampak jinak, sama dengan kelompok I yaitu gambaran mikroskopik sesuai dengan molahidatidosa, dengan tanda atau proliferasi ringan sel-sel trofoblas. Tingkat II : Potensial ganas, sama dengan kelompok II, III dan IV yaitu gambaran mikroskopik sesuai dengan molahidatidosa, dengan proliferasi sedang dan anaplasia sel-sel trofoblas. Tingkat III : Tampak ganas, sama dengan kelompok V dan VI dengan yaitu gambaran mikroskopik sesuai molahidatidosa, dengan proliferasi berat

sel-sel trofoblas. H. HORMON GONADOTROPIN KORIONIK MANUSIA Hormon gonadotropin korionik manusia (GKM) merupakan suatu hormon glikoprotein yang bervariasi dalam hal peptida atau karbohidratnya dengan berat molekul sekitar 36.700 yang merupakan rantai peptide yang terdiri dari rantai subunit alfa () dan rantai subunit beta () yang bergabung secara nonkovalen. Struktur umum dari hormon glikoprotein sub unit alfa yaitu terdiri dari 82-92 asam amino, bentuk ini homolog dengan bentuk rantai luteinizing hormone (LH), follicle stimulating hormone (FSH), tyroid stimulating hormone (TSH). Susunan asam amino pada -GKM dapat dilihat pada gambar 1. Sedangkan subunit beta merupakan hal yang unik dan membedakan GKM dengan hormon-hormon yang lain. Morgan dkk menggambarkan struktur primer dari -GKM yang tersusun dari 145 asam amino (gambar 1). GKM ini ditemukan dalam jumlah besar pada kehamilan normal, tumor trofoblas dan tumor non-trofoblas. Berat molekul GKM diperkirakan 37.000, terdiri dari berat molekul -GKM 15.000

17

dan -GKM 22.000. Perbedaan susunan asam amino hormon glikoprotein subunit beta ini yang akan menyebabkan perbedaan aktifitas biologi dan aktifitas imunologi dari masing-masing hormon.

Gambar 2. Struktur dari hormon GKM : subunit dan subunit Dikutip dari Speroff 46 Struktur GKM yang utuh, tersusun dari 92 asam amino subunit alfa dengan dua rantai samping gula, berhubungan dengan 145 asam amino subunit beta dengan 6 rantai samping gula. Selain itu pada GKM yang utuh ada variasi sub unit alfa N terminal, GKM nicked, GKM nicked yang telah hilang subunit beta segmen terminal dan subunit bebas dan fragmen dapat juga dideteksi pada sampel urin atau serum. Dengan banyaknya molekulmolekul yang heteromer yaitu molekul-molekul nicked, molekul-molekul yang pecah dan degradasi mempersulit pengukuran GKM pada penyakit trofoblast dari wanita hamil normal. GKM pertama kali ditemukan oleh Ascheim dan Zondek pada tahun 1927, dimana hormon ini dapat diisolasi dari urin wanita hamil. GKM dihasilkan oleh sinsitiotrofoblas dari plasenta dan tumor trofoblas, tetapi selain itu GKM juga dihasilkan oleh tumor lainnya, misalnya tumor hepar, seperti yang telah 18

dilaporkan oleh Reeves dkk, dan pada tumor ganas payudara, tumor ganas ovarium dan tumor ganas serviks. Bahkan juga didapatkan pada tumor ganas paru-paru, usus besar, lambung, ginjal dsb. 1. Sel trofoblas dan GKM Pembuahan sel telur oleh sperma terjadi pada tuba pars ampularis. Beberapa jam setelah pembuahan terjadi, mulailah pembuahan zigot yang akan berlangsung terus. Setelah 3 hari terbentuklah stadium morula. Kemudian hasil konsepsi akan disalurkan ke pars ismika, pars intersisialis dan akhirnya masuk ke dalam kavum uterus. Hal ini terjadi karena gerakan silia pada permukaan sel tuba dan kontraksi tuba. Dalam kavum uterus ini hasil konsepsi mencapai stadium blastula. Dalam stadium ini sel kecil akan membentuk dinding blastula yang kemudian menjadi trofoblas. Sel trofoblas ini mempunyai kemampuan untuk menghancurkan dan mencairkan jaringan desidua. Sel trofoblas ini terdiri dari 2 lapisan yang tidak sama tebal, di bagian dalam membentuk lapisan sinsitiotrofoblas. Lapisan sitotrofoblas terdiri dari sel mononukleus, sedang lapisan sinsitiotrofoblas terdiri dari sel dengan vakuola yang tersebar tidak rata dalam sitoplasma. Sel-sel sinsitiotrofoblas inilah yang menghasilkan GKM yang berfungsi mempertahankan korpus luteum untuk merangsang steroidogenesis pada awal kehamilan sampai terbentuknya plasenta yang akan mengambil alih tugas dari korpus luteum. Dalam darah ibu hamil, GKM sudah dapat diketahui dengan pemeriksaan tera radioimunologik 6-8 hari setelah terjadinya pembuahan. Kadar hormon ini akan terus meningkat dan akan mencapai puncaknya pada minggu ke 11-12,dan akan tetap stabil sampai minggu ke 18. mulai minggu ke 18-40,kadarnya akan bergelombang sedikit, tetapi perbedaan ini tidak bermakna. Setelah 2 minggu pasca persalinan, kadar GKM akan normal lagi, yaitukurang dari 5 mSI/ml. 2. Penentuan kadar GKM Seperti telah diketahui, kadar GKM pada mola hidatidosa lebih tinggi daripada kehamilan biasa, terutama setelah hari ke 100 dari haid terakhir. Bila dilakukan sebelumnya, hasilnya kurang dapat dipercaya karena pada

19

saat ini kehamilan-kehamilan lainnya dapat menunjukkan kadar GKM yang tinggi. Bila titer GKM sebelum hari ke 100 rendah, diagnosis mola hidatidosa dapat dihilangkan. Nilai pemeriksaan GKM untuk diagnosis tidak begitu menentukan bila dibandingkan dengan ultrasonografi, tetapi kenaikan yang berulang-ulang setelah hari ke 100,dibandingkan dengan kurve yang normal, sering mempunyai arti diagnosis yang definitif. Curry dari penelitiannya sebanyak 347 kasus tidak menceritakan pemeriksaan GKM sebagai cara diagnostikyang patognomonik. Tetapi Ratnam menganggap, bila setelah hari ke 100, kadar GKM darah lebih dari 320.000 SI/l,dengan haemagglutination inhibition test, diagnosis mola hidatidosa sudah dapat dipastikan. Walaupun ada perbedaan pendapat, penentuan kadar GKM sebelum mola keluar,tetap harus dilakukan karena ada kaitannya dengan pemeriksaan tindak lanjut. Pengukuran GKM dalam urine atau serum dapat dilakukan dengan cara kualitatif dan kuaantitatif, yaitu dengan cara: a. Tera biologik Pemeriksaan tera biologik berdasarkan efek biologik yang ditimbulkan oleh GKM terhadap alat/organ tertentu pada binatang percobaan. Ascheim dan Zondek yang pertama kali menguraikan pemeriksan tera biologik terhadap GKM. Mereka menggunakan tikus putih sebagai binatang percobaannya. Dalam pemeriksaan ini digunakan lima ekor tikus putih betina berumur 21 hari dengan berat badan antara 6-8 g. urine yang dipakai pada pemeriksaan ini adalah urine pagi hari. Disuntikkan 2 kali sehari sebanyak 0,4 ml subkutan pada setiap ekor tikus selama 3 hari berturut-turut. Ovarium tikus tersebut lallu dinilai 96 jam setelah suntikan pertama diberikan. Hasil dinyatakan positif jika ditemukan korpus luteum atau folikel hemoragik pada 3 ekor tikus atau lebih. Friedman menggunakan kelinci betina sebagai binatang percobaannya, kelinci yang digunakan harus tidak hamil dan telah diasingkan selama 3 minggu dari kelinci jantan. Disuntikkan 10 ml ke

20

dalam vena marginalis kelinci yang akan diperiksa. Ovarium kelinci diperiksa setelah 48-72 jam kemudian. Hasil dinyatakan positif jika ditemukan folikel hemoragik. Frank dan Berman menggunakan 2 ekor tikus betina yang beratnya antara 35-75 g. lalu secara intraperitoneal disuntikkan 2 ml urine atau 1 ml serum yang akan diperiksa. Ovarium tikus diperiksa setelah 4-24 jam kemudian.hasil dinyatakan positif jika ditemukan hiperemi pada ovarium tikus tersebut. Galli-Mainini melakukan tera biologik yang sederhana menggunakan kodok jantan sebagai binatang percobaannya. Disuntikkan urine yang akan diperiksa ke dalam kantong limfe pada bagian dorsal atau lateral dan setelah 2-4 jam kemudian dicari sperma kodok di dalam urine. Hasil dinyatakan positif bila ditemukan sperma di dalam urine kodok tersebut yaitu bila kadar GKM dalam urine lebih dari 20.000 mSI/ml. Diantara semua uji tersebut yang paling peka ialah uji berat uterus tikus. Penilaian kadar GKM pada mola hidatidosa dengan tera biologik harus hati-hati oleh karena pada kehamilan normal pun, pada mingguminggu tertentu kadar GKM mencapai puncaknya. b. Tera imunologik Dalam garis besarnya terdapat 2 macam tera imunologik,yaitu tera radioimunologik (radioimunoassay) dan enzim imunologik.Tera imunologik berdasarkan reaksi hemaglutinasi atau lateks aglutinasi. 1). Tera imunologik sederhana Pada umumnya tera imunologik sederhana ini ditujukan untuk uji kehamilan secara kualitatif. Akan tetapi dengan melakukan pemariksaan secara serial, dapat diperoleh kadar semikuantitatif. Salah satu kelemahan tera imunologik ini adalah dapat terjadi reaksi silang dengan beberapa hormon lain yang mempunyai sifat seperti GKM misalnya LH, FSH, dan TSH. Ada beberapa metode imunologik sederhana, yaitu : a). uji fiksasi komplemen, mempunyai kepekaan 1,0 SI/ml b). uji aglutinasi lateks, mempunyai kepekaan 1,5 SI/ml

21

c). uji inhibisi hemaglutinasi, mempunyai kepekaan 0,6-1,0 SI/ml 2). Enzim imunoasai (EIA) atau enzym linked immunosorbent assay (ELISA) Prinsipnya serupa dengan tera radioimunologik tetapi menggunakan enzim untuk melabel antigen atau antibodi, dimana kepekaannya dapat mencapai 2 mSI/ml. Kelebihan teknik ELISA yaitu: cukup sensitif, reagennya mempunyai half life cukup panjang, dapat menggunakan spektrofotometer biasa dan mudah dilakukan untuk automatisasi, dan tidak mengandung bahaya radioaktif. Pada teknik ELISA dikenal metode kompetitif seperti radioimunoasai -GKM nonkompetitif atau sandwich. Metode kompetitif untuk pengujian antigen dapat dilakukan sebagai berikut : a). Antibodi spesifik dilekatkan pada permukaan partikel b). Spesimen yang akan diuji, bersama-sama dengan antigen yang berlabel, direaksikan dengan antibodi tersebut. Antigen dalam spesimen (-) apabila ada akan bersaing dengan antigen yang berlabel untuk mengikat antibodi c). Setelah reaktan yang tidak bereaksi dibuang dengan pencucian, dimasukkan substrat, kemudian dilakukan inkubasi. Hidrolisis substrat oleh enzim yang terikat pada kompleks akan menyebabkan perubahan warna, dan intensitas perubahan warna merupakan ukuran untuk konsentrasi antigen berlabel yang terikat dan sekaligus juga merupakan parameter untuk antigen yang berada dalam spesimen. Sedangkan metode ELISA indirek atau sandwich dapat digunakan untuk menguji dan dilakukan sebagai berikut: 1). Antigen dilekatkan pada permukaan partikel 2). Spesimen yang mengandung antibodi direaksikan dengan antigen tersebut, setelah itu kelebihan spesimen dicuci

22

3). Antiimunoglobulin yang dilabel enzim dimasukkan kemudian diinkubasi dan kelebihannya dicuci 4). Setelah itu dimasukkan substrat kromogenik yang selanjutnya dihidrolisis oleh enzim yang terdapat pada kompleks antigenantibodi-antiimunoglobulin berlabel. Banyaknya substrat yang dihidrolisis sesuai dengan banyaknya enzim yang terdapat pada kompleks, sehingga hal itu dipakai sebagai parameter kadar antibodi dalam spesimen. c. Tera radioimunologik (TRI) Tera radioimunologik mulai dikembangkan pada tahun 1963 untuk pemeriksaan growth hormon dan insulin. Pada saat ini TRI digunakan untuk menera semua hormon. Prinsip kerja tera radioimunologik ini adalah adanya kompetisi untuk bereaksi dengan anti GKM yang ditandai dengan iodium radioaktif dengan GKM dari serum yang diperiksa dan kemudian membentuk kompleks antigen antibodi. Yalow dan Berson memperkenalkan cara pemeriksaan dengan teknik TRI yang dapat mendeteksi kadar GKM sampai 5 SI/l. Tetapi cara ini masih mempunyai kelemahan karena memberikan reaksi silang dengan LH yang terdapat dalam serum yang diperiksa. Vaitukaitis dkk memperbaiki cara ini dengan menggunakan antiserum khusus terhadap -GKM, sehingga tidak memberikan reaksi silang dengan LH.

23

H. GEJALA DAN TANDA Pada permulaan gejala molahidatidosa tidak berbeda dengan kehamilan biasa, yaitu berupa amenorea, mual-mual, pusing dan menurunnya nafsu makan, tetapi keluhan-keluhan tersebut lebih sering dan lebih hebat. Gejala klinis molahidatidosa : 1. Perdarahan pervaginam Perdarahan timbul biasanya mulai kehamilan 8 minggu, dan biasanya berwarna merah segar karena terlepasnya jaringan mola dari dinding uterus. Kadang-kadang timbul bekuan darah yang tersimpan dalam kavum uterus dan kemudian ia akan mencair dan keluar berwarna merah ungu karena terjadi proses oksidasi. Koagulopati dapat terjadi oleh karena bahan serupa tromboplastin dari jaringan plasenta dapat masuk kedalam sirkulasi ibu. 2. Uterus besar Lebih dari separuh penderita dengan uterus yang lebih besar dari usia kehamilannya. Uterus pada perabaan lembek karena miometrium teregang oleh gelembung-gelembung mola, bekuan darah. Besarnya uterus ini ada hubungan dengan proliferasi trofoblas, maka biasanya disertai juga dengan kadar GKM yang tinggi. 3. Preeklampsia Kejadian preeklampsia cukup tinggi yaitu 20-26%. Preeklampsia ini biasanya pada kehamilan normal timbul sesudah kehamilan 20 minggu, tetapi pada molahidatidosa dapat timbul lebih dini. Biasanya terdapat pada pasien dengan uterus yang sangat besar dan kadar GKM yang tinggi. Jadi bila preeklampsia timbul pada kehamilan muda maka molahidatidosa sudah harus dipikirkan. 4. Hiperemesis Keadaan ini juga biasa terdapat pada pasien dengan uterus yang sangat besar dan dengan sendirinya kadar GKM juga tinggi. Keluhan hiperemesis ditemukan pada 14-80% kasus. Pritchard menemukan tanda-tanda preeklampsia pada kehamilan kurang dari 24 minggu dan keluhan mual-

24

mual terutama pada molahidatidosa dengan tinggi fundus uteri lebih dari 24 minggu. 5. Hipertiroidea Hipertiroidea pada molahidatidosa tidak banyak, hanya 2-7%. GKM yang dihasilkan oleh sel trofoblas ternyata mempunyai aktifitas merangsang tiroid. Biasanya hipertiroid timbul bila kadar GKM mencapai 300.000 mIU/ml. Dengan kadar yang sedemikian tinggi maka ia dapat berikatan dengan reseptor tirotropin sehingga merangsang aktivitas tiroid. Peningkatan ini terlihat dengnan meningkatnya kadar T3 dan T4. Hormon ini bersifat meningkatkan kepekaan terhadap perangsangan katekolamin dan menyebabkan hipermetabolik. a. Fungsi tiroid dalam kehamilan Kehamilan berhubungan dengan perubahan konsentrasi hormon tiroid dan tiroksin binding globulin (TBG) dalam serum. Level estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan konsentrasi TBG dua sampai tiga kali lipat dan peningkatan sintesis TBG di hepar. Hal ini mengakibatkan lebih banyak pengikatan T3 dan T4 sehingga meningkatkan kebutuhan produksi T3 dan T4 untuk memelihara status eutiroid. Level T3 dan T4 total meningkat tajam pada kehamilan awal dan mendatar selama trimester II. Level T3 dan T4 bebas tetap dalam batas normal, meskipun levelnya mungkin lebih tinggi daripada kondisi tidak hamil. Meskipun volume kelenjar tiroid meningkat, goiter tampak hanya pada 5-15% wanita hamil yang aterm di Amerika Serikat, mungkin karena sufisiensi iodida. Meskipun kebutuhan hormon tiroid meningkat, konsentrasi TSH serum lebih rendah pada awal kehamilan (khususnya 10-14 minggu) daripada kondisi tidak hamil dan respon TSH terhadap tirotropin releasing hormon juga terbatas. TSH serum disupresi di bawah jangkauan normal pada 18% wanita pada trimester pertama 5% pada trimester kedua dan 2% pada trimester ketiga. GKM merupakan glikoprotein 36.700 Da yang disekresikan oleh sinsitiotrofoblas yang dapat dideteksi dalam serum pada saat implantasi. Kemudian, konsentrasi GKM dapat mencapai

25

30.000-120.000 U/L pada akhir trimester I. Selanjutnya level GKM menurun dan mendatar pada level yang lebih rendah yang dipelihara selama kehamilan. Konsentrasi TSH serum berbanding terbalik dengan GKM dan titik terendah TSH berhubungan dengan puncak kadar hCG, menunjukkan bahwa GKM dibandingkan dengan TSH mungkin menyebabkan peningkatan konsentrasi T3 dan T4 selama kehamilan awal. Peningkatan GKM dengan supresi TSH tampak pada kehamilan ganda dan peningkatan tes fungsi GKM dan tiroid dilaporkan pada wanita yang hiperemesis gravidarum. Hubungan ini menyatakan bahwa level GKM yang tinggi mungkin bertanggung jawab terhadap beberapa perubahan yang berhubungan dengan kehamilan yang terjadi pada hormone tiroid dan TSH. b. Hipertiroidisme dalam Penyakit Trofoblastik Nilai GKM meningkat secara ekstrim dengan tumor trofoblastik seperti mola hidatidiform dan khorio karsinoma, kondisi yang berhubungan dengan hipertiroidisme biokomia dan klinik. Beratnya penyakit trofoblastik yang berhubungan dengan hipertiroidisme dapat bervariasi dari peningkatan hormon tiroid yang asimptomatis secara klinis menjadi krisis tiroid. Hipertiroidisme dapat teratasi dengan cepat setelah evakuasi mola hidatidiform dan terapi tumor trofoblastik. Presentasi yang paling ringan adalah peningkatan level T3 dan T4 minimal dengan supresi TSH ringan dan respon TSH subnormal terhadap tirotropin releasing hormone (TSH). Peningkatan level T3 dan T4 moderat (sedang) dapat terjadi tanpa gejala hipertiroidisme, tapi peningkatan level T3 dan T4 biasanya berhubungan dengan tirotoksikosis klinik yang berat dan jarang, krisis tiroid. Kelenjar tiroid berukuran normal atau mengalami pembesaran minimal, biasanya kurang dari 2 kali ukuran normal dan tidak optalmopati. Hipertiroidisme pada penyakit trofoblastik diyakini sebagai akibat aktivasi reseptor TSH oleh GKM. GKM memiliki aktivitas tirotropik pada bioassay tikus, garis sel tiroid tikus besar, sel-sel ovarium tupai Cina yang secara stabil disuntikkan dengan reseptor TSH manusia dan

26

kultur folikel tiroid manusia. Varian GKM dengan peningkatan aktivitas tirotropik telah dilaporkan pada beberapa wanita dalam beberapa kondisi. Peningkatannya dalam aktivitas tirotropik serum dan urin pada awal kehamilan berhubungan dengan level hCG serum dan T4 bebas dan dinetralkan dengan antiserum hCG. Selanjutnya, fraksi diekstraksi dari mola hidatidiform dan khorio karsinoma yang mengandung aktivitas tirotropik yang dimurnikan oleh GKM. Pada bioassay sel tiroid manusia, 1 U GKM kotor memiliki potensi tirotropik yang sama dengan 0,041 U TSH manusia dan 1 U GKM yang benar-benar murni sama dengan 0,0013 U TSH manusia. Apabila konsentrasi GKM serum mencapai level yang cukup tinggi selama awal kehamilan, hiperemesis atau kehamilan ganda, reaktivitas silang ini mungkin bermakna, meskipun hipertiroidisme klinik jarang timbul. Pada penyakit trofoblastik gestasional, level GKM dapat menjadi 300.0002.000.000 U/L. Pada konsentrasi ini, hipertiroidisme klinik mungkin timbul. Glinoer memperkirakan bahwa setiap peningkatan 10.000 U/L hCG serum menyebabkan peningkatan T4 bebas dalam serum 0,1 ng/dl dan menurunkan TSH serum 0,1 mU/L. Berdasarkan perkiraan ini, konsentrasi GKM yang lebih dari 2 juta IU/L pada pasien ini dapat berpotensi meningkatkan T4 bebas 20 ng/dl. Aksi tirotropik GKM berakar pada persamaan strukturnya dengan TSH. TSH, FSH, LH dan GKM semuaanya merupakan keluarga hormon glikoprotein yang memiliki subunit biasa dan subunit yang spesifik terhadap hormon. Subunit dari LH paling homolog dengan - GKM dengan homolog pada 114 asam amino dan 12 residu sistein, sehingga struktur tersiernya sama. LH yang benar-benar murni memiliki aktivitas tirotropik 10 kali GKM, mungkin karena perbedaan dalam residu terminalnya. Meskipun LH memiliki ekor 7-AA hidrofobik karboxy, GKM memiliki rantai peptida terminal karboxy 31-AA yang lebih panjang, dikenal sebagai ekor -CTP. GKM rekombinan yang kekurangan ekor -CTP memiliki potensi tirotropik 27

yang hampir identik dengan LH. Adanya ekor -CTP tampaknya menyembunyikan ikatan hCG terhadap reseptor TSH, sehingga menghindari timbulnya hipertiroidisme selama kehamilan normal. Pada tumor trofoblastik, konsentrasi GKM serum lebih dari 100.000 U/L dan sering meningkat 300.000 U/L. Meskipun level GKM umumnya berhubungan dengan beratnya hipertiroidisme, variabilitas individu masih diamati. Teorinya baik pada kehamilan normal maupun yang disertai dengan tumor trofoblastik, isoform hCG dihasilkan dengan aktivitas tirotropik yang berbeda. Perubahan struktur menyebabkan heterogenitas substansial pada struktur GKM dan mempengaruhi bioaktivitasnya. Kandungan asam sialat pada subunit penting dalam menentukan afinitas reseptor TSH, sehingga GKM dengan kandungan asam sialat yang lebih rendah memiliki potensi tirotropik yang lebih besar daripada persiapan GKM standar. Deglikosilasi GKM yang terdiri dari 30% berat karbohidrat menyebabkan hilangnya bioaktivitas GKM (pada membrane sel ovarium dan sel-sel Leydig), tapi meningkatkan pengikatan terhadap reseptor TSH dan meningkatkan aktivitas tirotropik. Satu miligram GKM kotor setara dengan 127 mU TSH dimana 1 mg GKM yang mengalami deglikosilasi dapat dibandingkan dengan 588 U TSH dan 1 GKM asialo sama dengan 468 mU TSH. Varian GKM yang mengalami deglikosilasi atau mengandung penurunan asam sialat terdapat pada kehamilaan normal dan pada tumor trofoblastik. Isoform GKM yang lebih kuat yang kekurangan ekor -CTP juga diidentifikasi pada wanita dengan penyakit trofoblastik, karena bagian molekul GKM ini memiliki tempat glikosilasi yang berikatan dengan 40 dan juga kaya dengan kandungan asam sialat, tak adanya ekor -CTP mengakibatkan GKM mengalami deglikosilasi dan desialilasi yang menandai peningkatan aktivitas yang distimulasi oleh tiroid. Krisis metabolik dapat terjadi karena infeksi, tindakan pembedahan, anestesi dan toksemia bila hipertiroidnya tidak diobati secara adekuat atau tidak terkontrol. Krisis tiroid ditandai dengan fibrilasi atrium, delirium,

28

koma, konvulsi, hiperemi dan kolaps kardiovaskuler. Hipertiroid dapat juga diketahui secara klinis terutama bila tidak ada fasilitas pemeriksaan T3 dan T4 yaitu dengan menggunakan indeks Wayne. Tabel 3. Indeks Wayne Gejala yang baru terjadi dan bertambah berat Sesak pada kerja Berdebar-debar Lekas lelah Lebih suka hawa panas Lebih suka dingin Berkeringat banyak Gugup Nafsu makan berlebih Nafsu makan kurang Berat badan menurun + +1 +2 +2 -5 +5 +3 +2 +3 -3 -3 Tanda Tiroid teraba Bising pembuluh Eksoftalmus Retraksi palpebra Kelambatan palpebra Hiperkinesis Tremor jari Tangan panas Tangan lembab Denyut nadi sewaktu <80/menit 80-90/menit >90/menit Fibrilasi atrium + +3 +2 +2 +2 +1 +4 +1 +2 +1 -3 +3 +4 -3 -2 -2 -2 -1 -

Dikutip dari Kariadi. Kesimpulan yang dapat diambil dari indeks tersebut adalah: >19 <11 : Toksik : Bukan toksik 11.19 : Meragukan Sedangkan indeks Kariadi: D= -8,37612800+ (0,52508700 x tifut dalam minggu) - (0,01926897 x nadi) Bila hasil D negatif atau lebih kecil dari 0 menunjukkan tirotoksikosis.

6.

Emboli trofoblas

Emboli trofoblas ini memberikan gambaran sindroma insufisiensi paru yang akut, dan terjadi biasanya dalam 4 jam pascaevakuasi dan hanya terjadi pada penderita dengan uterus yang besarnya 16 minggu atau lebih.

29

Dengan pengobatan suportif maka umumnya pasien pulih dalam waktu 72 jam. 7. Kista Lutein akut karena torsi atau pecah. Kista berisi cairan Terdapat terutama bila kadar GKM tinggi dan dapat menimbulkan gejala abdominal serosanguineous dan strukturnya adalah multilokulare. Kalau uterusnya besar maka kista ini sukar diraba tetapi dapat diketahui dari pemeriksaan ultrasonografi. Kista menjadi normal dalam waktu 2-4 bulan sesudah evakuasi. I. DIAGNOSIS Diagnosis pasti molahidatidosa adalah keluarnya gelembung-gelembung mola. Tetapi molahidatidosa sudah dapat disangka sebelumnya sebanyak lebih kurang 50%, walaupun gelembung molanya belum keluar. Pemeriksaan penunjang yang saat ini banyak dilakukan ialah pemeriksaan ultrasonografi. Pada gambaran USG mola tampak sebagai gambaran badai salju. Dengan cara ini molahidatidosa sudah dapat didiagnosis pada kehamilan 12 minggu. Penulis lain menyatakan pada kehamilan 8 minggu. Molahidatidosa biasanya didiagnosis selama kehamilan trimester pertama, dengan perdarahan pervaginam sebagai keluhan utamanya. Gejala lainnya adalah pembesaran uterus dibanding usia kehamilan sebenarnya, tidak adanya denyut jantung janin, pembesaran kistik ovarium, hiperemesis, dan adanya abnormalitas kadar serum GKM yang tinggi. Secara klinik, Acosta Sicon menggunakan sonde uterus untuk membedakan molahidatidosa dengan kehamilan normal. Prinsipnya bila pada kehamilan normal dalam kavum uteri ada janin yang dilindungi oleh selaput ketuban, sedang pada molahidatidosa hanya ada gelembung-gelembung yang lunak tanpa selaput ketuban. Bila kita memasukkan sonde melalui kanalis servikalis secara perlahan-lahan, bila sonde dapat masuk lebih dari 10 cm ketengah-tengah kavum uteri tanpa tahanan, maka diagnosis molahidatidosa hampir dapat dipastikan. Pada kehamilan normal, sonde akan tertahan oleh ketuban. Syarat melakukan sondase ini, uterus harus lebih besar dari

30

kehamilan 20 minggu. Sonde dapat masuk juga tanpa tahanan pada kematian janin dalam uterus dimana tonus jaringan sudah sedemikian lembeknya sehingga tidak memberikan tahanan. Untuk membedakan ini Wikjosastro mengadakan modifikasi dari cara Acosta Sicon, yaitu dengan memutar sonde yang sudah ada dalam kavum uterus, pada molahidatidosa sonde dapat berputar 360 derajat tanpa tahanan, sedang pada kehamilan normal sonde akan tertahan. Tetepi percobaan ini hanya dilakukan di Indonesia dan Filipina saja, dinegara lain tidak dilakukan karena bahaya dan mengandung risiko. Penentuan kadar GKM dengan reaksi GM positif tidak patognomonik. Molahidatidosa dicurigai bila reaksi GM positif pada pengenceran 1/200. Titer GKM lebih banyak dipakai sebagai faktor prognosis. Titer GKM lebih dari 100.000 mIU/ml dikatakan sebagai salah satu kriteria risiko tinggi untuk terjadinya keganasan pascamolahidatidosa. J. PENANGANAN Pada dasarnya penanganan kasus-kasus molahidatidosa terdiri dari evakuasi, pencegahan keganasan dan pengamatan lanjut. 1. Evakuasi

Umumnya penderita datang dalam keadaan yang kurang baik. Tidak jarang penderita datang dalam keadaan syok akibat perdarahan dan atau komplikasi. Setelah keadaan diperbaiki, sebaiknya segera dilakukan evakuasi. Biasanya pada kasus molahidatidosa yang belum terjadi abortus, dilakukan dilatasi terlebih dahulu dengan busi atau dengan laminaria stiff. Kemudian dipasang infus oksitosin selama evakuasi. Frost melakukan induksi abortus molahidatidosa dengan penyuntikan NaCl hipertonik. Tetapi ternyata terjadi komplikasi yang dapat mengakibatkan kematian karena pada bedah mayat ditemukan emboli sel-sel trofoblas yang multipel dalam pembuluh darah paru-paru. Dahulu tindakan evakuasi dilakukan dengan cunam abortus dan dilanjutkan dengan kuret. Semua tindakan evakuasi dengan cara-cara tersebut telah ditinggalkan . Sekarang lebih disukai evakuasi dengan kuret isap. Karena lebih praktis, cepat aman dan

31

jumlah perdarahan lebih sedikit, bila dibandingkan dengan cara-cara lain. Menurut Goldstein evakuasi dengan kuret isap ini dapat dilakukan pada kasus molahidatidosa dengan uterus sebesar kehamilan 28-30 minggu, dan jaringan mola sebanyak 1500 ml atau lebih dapat dikeluarkan hanya dalam waktu 3 sampai 5 menit saja. Setelah semua gelembung molahidatidosa dikeluarkan dengan kuret isap, dilanjutkan dengan kuret tajam. Pada umumnya banyak literatur tidak lagi mengemukakan tindakan kuretase kedua, karena pada pemeriksaan patologi tidak ditemukan lagi sisa jaringan molahidatidosa. Kuretase kedua tidak perlu dilakukan, kecuali masih terjadi perdarahan atau kadar GKM tetap tinggi. Bila dengan USG kavum uteri sudah bersih, kuretase kedua tidak diperlukan lagi. Dengan demikian kemungkinan terjadinya infeksi dan trauma akibat kuretase kedua dapat dihindarkan. Sebelum dilakukan evakuasi, sebaiknya dilakukan pemeriksaan Rontgen toraks sebagai dasar untuk evaluasi pada pengamatan lanjut. 2. Penatalaksanaan hipertiroidisme Pengangkatan mola hidatiform dan kemoterapi yang sesuai untuk khorio karsinoma menyebabkan resolusi hipertiroidisme yang cepat dan harus diawali secepat mungkin. Jika gejala tirotoksikosis berat, terapi dengan obat-obatan antitiroid, bloker dan pengukuran suportif (pemberian cairan, perawatan respirasi) penting untuk menghindari presipitasi krisis tiroid selama evakuasi. Komplikasi yang mengancam nyawa ini terjadi pada 1-2% pasien-pasien hipertiroid yang terpapar stress, termasuk induksi anastesi, bedah dan persalinan. Ada eksaserbasi klinik akut dari gejala adrenergic dengan demam, tremor, agitasi, iritabilitas, perubahan status mental, jantung berdebar (palpitasi), gambaran gagal jantung kongestif, takiaritmia, mual, muntah dan diare. Tujuan terapi adalah untuk mencegah pelepasan T4 yang terus menerus dan menghambat konversi menjadi T3 untuk memblok aksi perifer hormone tiroid dan untuk mengobati faktor-faktor presipitasi. Agen-agen antitiroid dapat menurunkaan level T3 dan T4 serum dengan cepat seperti sodium ipodoat (orografin, suatu kontras yang mengandung iodine), lebih

32

disukai daripada propiltiourasil dan metimazole yang efektif lebih lama. Dosis iodine yang besar menurunkaan uptake iodide dan organifikaasinya, menghambat skresi T4 melalui kelenjar tiroid dan menurunkan konversi T4 menjadi T3. Sodium ipodoat pada dosis 1 gram perhari atau 3 gram tiap 3 hari memiliki jadwal dosis yang lebih jarang dibandingkan iodide. Ia merupakan terapi pilihan dalam mencegah badai tiroid setelah hipertiroidisme yang diinduksi oleh kehamilan mola karena Ca mengurangi konsentrasi T3 dan T4 serum dengan cepat. Apabila sodium ipodoat tak tersedia, PTU harus digunakan dan dikombinasikan dengan iodide. PTU berbeda dengan metimazol, menghambat konversi T4 menjadi T3 di perifer dan karenanya lebih disukai daripada metimazol. Loading dose 300-600 mg PTU diikuti oleh 150-300 mg setiap 6 jam (perrektal atau melalui NGT). Kalium iodide oral (3-5 tetes 3 x sehari, 35 mg iodida/tetes) atau iodine lugol (30-60 tetes perhari dibagi dalam 4 dosis, 8 mg iodide/tetes) atau natrium iodide iv 90,25-0,5 g tiap 8-12 jaam) menginduksi penurunan level T3 dan T4 yang cepat. Sebagai tambahan, steroid 92 mg dexametasone iv atau im tiap 6 jam) juga mencegah konversi T4 menjadi T3 di perifer.

-bloker harus digunakan untuk mengontrol takikardi dan gejala lain


diaktivasi simpatis. Propanolol mungkin dimulai pada dosis 1-2 mg tiap 5 menit iv (total 6 mg) diikuti dengan propanolol oral pada dosis 20-40 mg tiaap 4-6 jam. Esmolol hidroklorida (agen blok jangka pendek) dibandingkan dengan propanolol kurang berhubungan dengan potensi perburukan gagal jantung kongestif pada pasien-pasien dengan badai tiroid. Obat-obatan harus dilanjutkan sampai terapi definitif menunjukkan kemajuan status hipertiroid. Selimut dingin daan asetaminophen dapat digunakan untuk menurunkan temperatur pasien. Aspirin dikontraindikasikan karena ia melepaskan T3 dan T4 dari protein pengikatnya dan meningkatkan konsentrasi hormone bebas dalam serum. Penggantian cairan perlu pengawasan ketat dan pengawasan hemodinamik sentral mungkin diperlukan karena gagal jantung kongestif seringkali menyertai krisis tiroid.

33

3.

Pencegahan keganasan

Didaerah-daerah dimana banyak kasus molahidatidosa dan dimana sulit melakukan pengamatan lanjut yang baik, banyak yang menganjurkan untuk melakukan histerektomi atau kemoterapi sebagai usaha untuk mencegah terjadinya keganasan pascamolahidatidosa. Histerektomi dianjurkan pada penderita yang berumur 35 tahun keatas atau lebih, yang telah mempunyai cukup anak. Walaupun demikian, histerektomi tidak mengurangi pentingnya pengamatan lanjut karena ternyata keganasan tidak seratus persen dapat dicegah. Pemberian kemoterapi profilaksis telah banyak dilakukan oleh para ahli akan tetapi masih merupakan kontroversi. Banyak penulis yang melaporkan keberhasilannya, baik dengan ametopeterin / metotreksat atau aktinomisin-D. tetapi harus diingat bahwa hanya sekitar 20% kasus yang benar-benar memerlukan obat tersebut, sedangkan obat-obat sitostatika umumnya toksik dan kemungkinan bersifat mutagenik dan karsinogenik. Cara lain untuk mencegah timbulnya keganasan pascamola adalah dengan imunoterapi atau imunoprofilaksis. Sutoto dan kawan-kawan memberikan vaksinasi BCG pada penderita pascamola sejak tahun 1979 dan mendapatkan penurunan keganasan menjadi 9,8% dibandingkan dengan 39,2% sebelum 1979. 4. Pengamatan lanjut Tujuan pengamatan lanjut penderita molahidatidosa adalah untuk mendeteksi adanya infiltrasi sel-sel trofoblas dan untuk memberikan dasar bagi pengobatan. Sel-sel trofoblas yang berkembang menjadi ganas biasanya tidak dapat dicapai dengan kuretase dan pemeriksaan histopatologi. Dengan demikian, usaha mendeteksi adanya aktifitas sel-sel trofoblas sangat tergantung pada pemeriksaan GKM. GKM dikeluarkan melalui ginjal dan dibutuhkan kira-kira 10 sampai 20 hari pascapersalinan normal untuk mencapai titer yang tidak terdeteksi. Waktu yang diperlukan untuk mencapai titer tidak terdeteksi dipengaruhi oleh titer awalnya, makin tinggi titer awalnya, makin lama waktu yang diperlukan.

34

Pada awalnya pemeriksaan bioassay digunakan untuk membedakan GKM urine, dengan nilai normal kurang dari 20 IU/L. Setelah tahun 1968, radioimunoassay untuk kadar GKM serum tersedia dengan nilai normal kurang dari 2 mIU/ml. Mengenai protokol pengamatan lanjut, banyak ahli yang menganjurkan pemeriksaan setiap minggu sampai GKM tidak terdeteksi. WHO menganjurkan pemeriksaan setiap 2 minggu sekali sampai GKM tidak terdeteksi, setelah itu setiap bulan sekali sampai setahun pasca evakuasi dan kemudian 3 bulan sekali pada tahun kedua pasca evakuasi. Sangat dianjurkan bahwa pemeriksaan GKM tetap dilakukan setidaknya 6 bulan setelah GKM tak terdeteksi. Setelah itu, apabila menginginkan, ia boleh hamil lagi.50 Selain pemeriksaan GKM, pada pengamatan lanjut dilakukan pula pemeriksaan ginekologi. Yang terutama harus diperhatikan adalah gejalagejala perdarahan, uterus yang masih besar dan lembek dan adanya metastasis di vagina dan vulva yang berupa benjolan kebiru-biruan. Pemeriksaan Rontgen toraks dapat dilakukan untuk mencari tandatanda metastasis di paru-paru 8 minggu setelah evakuasi. Kriteria yang digunakan oleh para ahli untuk menyatakan adanya keganasan atau penyakit trofoblas persisten berbeda-beda. Pada umumnya semua mengandalkan pada pengamatan lanjut titer GKM dan adanya peningkatan atau pendataran titer GKM merupakan salah satu kriteria yang penting. Perbedaan hanya pada berapa lama pascaevakuasi titer GKM harus mencapai tingkat normal atau tidak terdeteksi. Faktor-faktor yang berhubungan dengan berkembangnya molahidatidosa menjadi resisten terhadap pemberian kemoterapi adalah kadar GKM sebelum terapi yang bernilai lebih besar atau sama dengan 50.000 mIU/ml (36%, < 0,001), kehamilan nonmolar

sebelumnya (26%, < 0,02) dan diagnosis klinikopatologi koriokarsinoma (20,5%, = 0,02). Walaupun penatalaksanaan standar keganasan pascamolahidatidosa adalah dengan pemberian kemoterapi baik tunggal maupun kombinasi,

35

adanya elemen epitelioid trofoblas mungkin menyebabkan penyakit menjadi invasif secara lokal dimana hal ini tidak memberikan respon terhadap kemoterapi. Indikasi pemberian kemoterapi pada penderita pascamolahidatidosa adalah sebagai berikut : a. b. c. d. pencernaan. e. Terdapat metastasis ke ginjal, susunan saraf pusat, gastrointestinal, hepar atau metastasis ke paru-paru dengan diameter lebih dari 2 cm atau terdapatnya 3 buah metastasis. f. g. K. FUNGSI Perdarahan uterus yang menetap atau berulang, bersama dengan terdeteksinya GKM di urine atau plasma. Secara histopatologik terbukti koriokarsinoma. REPRODUKSI DAN KEGANASAN PASCA Kadar GKM urine diatas 30.000 SI/24 jam atau kadar GKM serum diatas 20.000 SI/24 jam pada 4 minggu pascaevakuasi. GKM pascaevakuasi. Kadar GKM naik secara progresif setiap waktu pascaevakuasi. Terdapat tanda-tanda metastasis pada otak atau saluran tetap terdeteksi pada 4 sampai 6 bulan

MOLAHIDATIDOSA Menurut Waltden dan Bagshawe, tidak ada perbedaan fungsi reproduksi pada pascamolahidatidosa. Beberapa ahli telah melakukan penelitian. Pastorfide tidak menemukan kenaikan dalam prematuritas, cacat bawaan, kematian maupun kesakitan pada neonatal, tetapi pada golongan penderita yang mendapat sitostatika tampak kenaikan jumlah abortus. Dilaporkan bahwa penderita pascamolahidatidosa mempunyai riwayat obstetri yang lebih baik dibandingkan dengan penderita koriokarsinoma yang diobati dengan sitostatika.

36

Adapun penderita yang berkembang menjadi keganasan dan mendapatkan kemoterapi maka pada penderita disarankan untuk tidak hamil 1 tahun setelah pemberian kemoterapi secara lengkap. Pada 92% kasus, terjadi regresi GKM menjadi negatif tanpa pemberian kemoterapi. Ada sedikit perbedaan regresi kadar GKM pada penderita yang dilakukan dan tidak dilakukan histerektomi. Terapi radikal dengan histerektomi yang dilakukan terhadap molahidatidosa mengurangi angka kematian tetapi tidak mencegah penyakit invasif, dan dapat memprovokasi penyebaran jaringan trofoblas intra vaskuler. Beberapa institusi menyarankan memberikan payung kemoterapi untuk melindungi penyebaran penyakit selama pembedahan.55 Komplikasi yang mungkin terjadi selama tindakan terhadap molahidatidosa baik kuret isap maupun histerektomi adalah perdarahan. Penatalaksanaan tradisional yang biasa dilakukan adalah tampon vagina, dilatasi dan kuretase, histerektomi dan ligasi arteri hipogastrik. Disamping itu dapat dipertimbangkan untuk dilakukan embolisasi transkateter sebagai operasi alternatif untuk mengatasi perdarahan akibat penyakit trofoblas gestasional.

37

38

Anda mungkin juga menyukai