Anda di halaman 1dari 96

BASTIAN TITO

TIGA DALAM SATU

LIMA LAKNAT MALAM KLIWON


Sumber: Bastian Tito
EBook: Fujidenkikagawa

WIRO SABLENG

LIMA LAKNAT MALAM KLIWON

MENUNGGU EMPAT PULUH SEMBILAN TAHUN

UKU ini merupakan sisi lain dari serial Wiro Sableng yang terbit sebelumnya, berjudul "Munculnya Sinto Gendeng". Dalam seri tersebut dikisahkan bagaimana Pendekar 212 Wiro Sableng dan Eyang Sinto Gendeng bersama seorang kakek sakti bernama Ki Rana Wulung menyelamatkan Sri Baginda dan menghancurkan kaum pemberontak yang didalangi oleh keponakan Raja sendiri yaltu Pangeran Jingga. Tugas ke tiga orang itu dalam membantu menyelamatkan Kerajaan tidak mudah. Kaum pemberontak dibantu oleh beberapa tokoh silat kelas tinggi, antara lain Bergola Ijo (mati), Suto Abang (melarikan diri), Si Tangan Besi (mati), Malaikat Serba Biru (mati), dan Nenek Kelabang Merah (mati). Keadaan bertambah ricuh karena ternyata beberapa pejabat tinggi Kerajaan berkhianat dan ikut membantu kaum pemberontak. Mereka di antaranya adalah Raden Aryo Braja yang Kepala Balatentara Kerajaan (mati) dan Turonggo Wesi (Perwira Tinggi Balatentara Kerajaan, mati). Sebagai balas budi jasa besar ke tiga orang itu, walau mereka menolak namun Raja memaksa menyerahkan sebuah peta yang menunjukkan letak sebuah telaga rahasia yang penuh dengan kandungan emas. Kisah telaga rahasia ini kemudian dituturkan dalam serial Wiro Sableng ke-37 berjudul "Telaga Emas Berdarah".

Ketika Eyang Sinto Gendeng berkelahi hidup mati melawan Nenek Kelabang Merah, guru Pendekar 212 itu mengeluarkan satu ilmu sakti yang mampu memancarikan dua larik sinar biru dari sepasang matanya. Pendekar 212 terkejut melihat kejadian itu. Dua larik sinar biru itu ternyata luar biasa hebatnya. Wiro menyadari, selama digembleng di puncak Gunung Gede sang guru tidak pernah mewariskan ilmu kesaktian itu padanya. Diam-diam sang pendekar merasa kecewa. Apa betul ucapan orang bahwa seorang guru tidak pernah mengajarkan atau mewariskan semua ilmu kepandaiannya pada seorang murid? Karena tidak suka memendam hati yang membuatnya merasa tidak enak, di sebuah sungai kecil Wiro berkata pada sang guru. "Eyang, rupanya benar ucapan orang. Bahwa tidak ada guru yang mengajarkan seluruh kepandaian pada muridnya!" Saat itu Sinto Gendeng hentikan larinya, berpaling pada sang murid dengan wajah merah dan membentak. "Apa maksudmu anak sableng?" "Tadi kulihat Eyang mengeluarkan ilmu aneh. Dua larik sinar biru melesat keluar dari mata dan merontokkan tubuh kelabang sakti!" "Hemm... begitu?"si nenek bergumam. "Ucapan orang itu mungkin benar. Tapi aku mau tanya. Berapa usiamu sekarang, anak sableng...?" "Dua... dua puluh satu Eyang!" "Betul! Itu berarti kau harus menunggu empat puluh sembilan tahun lagi untuk dapat menguasai ilmu itu!" Wiro garuk-garuk kepalanya. "Mengapa begitu, Eyang?" "Selama sepasang matamu masih terpikat pada keindahan dunia, selama kedua matamu masih suka

melihat wajah perempuan cantik dan tubuh yang bagus mulus, selama kau suka melihat aurat perempuan yang terlarang yang bukan istrimu, selama itu pula kau tak bakal dapat menguasal ilmu itu!" Mendengar ucapan sang guru Pendekar 212 Wiro Sableng jadi tertegun diam. Sambil garuk-garuk kepala dia membuka mulut untuk mengatakan sesuatu. Tapi sang guru ternyata sudah berkelebat lenyap dari hadapannya. "Ah... nenek-nenek itu mungkin benar. Aku masih suka melihat wajah cantik, melihat dada kencang dan paha putih. Ha... ha ha.... Biarlah aku tidak menguasai ilmu itu! Ha... ha... ha!"

WIRO SABLENG

LIMA LAKNAT MALAM KLIWON DIKURUNG JARING LIMA PENJURU JAGAD

IRO memandang ke langit. Sang surya dilihatnya telah menggelincir jauh ke barat. Sebentar lagi sang mentari ini akan segera tenggelam. Siang akan berganti dengan malam. Setelah merenung sesaat Pendekar 212 segera tinggalkan tempat itu. Untuk menghibur hati dia berjalan sambil bersiul-siul membawakan lagu tak menentu. Di satu tempat Wiro hentikan siulannya. Telinganya menangkap suara gemericik kucuran air. Mendadak saja pemuda ini merasa haus. Maka diapun melangkah ke jurusan datangnya suara. Tidak sampai berjalan sejauh sepuluh tombak, Wiro hentikan langkah. Di depan sana ada sebuah pancuran bambu yang airnya mengucur jatuh ke atas bebatuan lalu tersebar kemana-mana dalam bentuk aliran-aliran kecil. Di sebuah batu tak seberapa besar di dekat pancuran, Wiro melihat si nenek duduk sambil bertopang dagu, menatap ke arah air yang mengucur dari mulut pancuran bambu. "Sedang apa nenek ini berada di sini," berpikir Wiro. Lalu senyumnya menyeruak. Kembali dia membatin. "Janganjangan dia sengaja menunggu aku di sini. Jangan-jangan dia berubah pikiran hendak mengajarkan ilmu dua larik sinar biru yang bisa melesat keluar dari mata itu!" Berpikir begitu Wiro segera dekati Eyang Sinto Gendeng dan menegur. "Eyang, aku kira kau sudah pergi jauh. Ternyata nongkrong di sini. Apakah kau hendak mandi mem-

bersihkan diri dengan air pancuran?" "Anak sableng! Jangan kau berani menghina aku! Siapa yang mau mandi? Apa kau kira aku tidak pernah mandimandi?!" Si nenek bicara dengan suara keras mata melotot. Tapi pandangannya tidak beralih dari arah pancuran. Sang murid kembali tersenyum. Dalam hati dia berkata. "Nek, kalau kau sering mandi, tubuhmu tidak dekil begitu dan pakaianmu tidak bau pesing!" "Anak setan! Apa yang barusan kau ucapkan dalam hati?!" Hardikan si nenek membuat Wiro Sableng tergagau. "Celaka, mungkin dia tahu apa yang tadi kubilang dalam hati!" Wiro cepat berkata. "Maafkan aku Nek, aku tidak berucap apa-apa. Cuma aku heran melihat kau ada di sini. Kau seperti tengah memikirkan sesuatu. Seolah ada ganjalan dalam hatimu. Eyang, mungkin juga kau mendadak berubah pikiran?" "Anak setan! Apa maksudmu?! Pikiran aku yang mana yang berubah? Atau kau mau bilang aku berubah jadi setengah waras atau mendadak jadi sinting?!" Sinto Gendeng kembali membentak. Dua matanya tetap saja menatap ke arah pancuran bambu. "Maksudku, mungkin aku tidak usah menunggu empat puluh sembilan tahun. Kau mau mengajarkan ilmu dua jalur sinar biru itu sekarang juga...." "Benar-benar anak setan! Bertahun-tahun kau ikut aku di puncak Gunung Gede! Apa selama itu kau pernah melihat aku berubah pikiran?!" "Memang tidak pernah Eyang," jawab Wiro masih senyum dan kali ini sambil garuk kepala. "Tapi pertimbangan tertentu bisa membuat seseorang berubah. Misal, kau menyadari tantangan dan bahaya di dalam

rimba persilatan semakin besar. Hingga...." "Hingga aku merasa perlu membekalimu dengan ilmu dua larik sinar biru itu! Begitu?!" "Kira-kira begitu Nek," jawab Wiro lalu tertawa lebar. Lima tusuk kundai perak yang menancap di kulit kepala si nenek berjingkrak. Mulutnya yang kempot digembungkan. "Anak setan! Lekas angkat kaki dari sini! Jangan sampai aku menggebukmu karena muak!" "Eyang, maafkan aku. Bukan maksudku membuatmu marah. Aku tidak memikirkan lagi soal ilmu itu. Juga tidak untuk masa empat puluh sembilan tahun mendatang. Apa perlunya kepandaian di usia sudah bau tanah. Justru ilmu itu harus dimanfaatkan selagi muda untuk menolong sesama.... " Sinto Gendeng cemberut sebentar lalu tertawa mengekeh. "Anak sableng! Kau pandai memilih kata-kata agar hatiku bisa terenyuh! Hik... hik... hik! Sekalipun angin sejuk atau angin api mendera hatiku, jangan harap Sinto Gendeng bisa berubah pikiran! Sudah! Pergi sana! Jangan mengganggu diriku lebih lama!" Wiro membungkuk hormat. "Jika begitu kehendak Eyang, aku minta diri sekarang. Tapi kalau boleh aku memberi nasihat sebaiknya Eyang jangan lama-lama berada di tempat ini...." "Eh, memangnya kenapa? Siapa yang berani melarang?!" Sinto Gendeng pelototkan mata ke arah air pancuran. "Tidak ada yang melarang Eyang. Setahuku di sekitar sini ada binatang buas aneh berkepala macan tapi cuma punya dua kaki. Makhluk ini jahat sekali, paling suka menggeragot benda jelek dan bau-bau!" "Anak setan jahanam! Mentang-mentang aku jelek dan

bau! Kau sengaja menghina mempermainkan diriku! Makhluk apapun yang ada di sekitar sini siapa takut! Kau memang minta digebuk!" Saking marahnya Sinto Gendeng gerakkan tangan kiri hendak memukul sang murid. Tapi sambil tertawa gelak-gelak Wiro sudah melompat. Pemuda ini lambaikan tangannya. "Selamat tinggal Eyang.... " Wiro menyelinap ke balik serumpunan pohon bambu hutan. Baru berjalan belasan langkah tiba-tiba di belakangnya terdengar si nenek berseru. "Anak setan! Tunggu! Lekas kau kembali ke sini!" Wiro tersenyum sendiri. "Ah, pasti dia benar-benar berbalik hati. Pasti dia memanggilku untuk mengajarkan ilmu kesaktian dahsyat itu. Mulutnya yang perot itu memang suka bicara kasar. Tapi aku tahu hatinya seperti emas...." Sambil tertawa-tawa Wiro kembali ke tempat gurunya. Si nenek masih duduk di tempat tadi dan tetap menatap ke arah pancuran bambu. "Nek, aku sudah di sini. Ada sesuatu yang hendak kau sampaikan padaku?" "Malam ini malam apa?!" Sinto Gendeng tiba-tiba ajukan pertanyaan. Wiro jadi garuk-garuk kepala. Sebelumnya dia menduga si nenek akan bicara soal ilmu kesaktian itu. Ternyata malah mengajukan pertanyaan aneh. "Aku bertanya, kau tidak menjawab! Apa mulutmu mendadak gagu?! Atau kupingmu tiba-tiba budek?!" Sinto Gendeng membentak. Sang murid garuk kepala, cepat-cepat menjawab. "Hari ini hari Kamis, Nek. Malam nanti jelas malam Jum'at...." "Bocah tolol! Aku juga tahu kalau hari ini hari Kamis dan nanti malam Jum'at! Yang aku ingin tanya malam nanti malam apa? Apa malam Legi, Pahing, Pon, Wage atau Kliwon?! Dasar anak setan! Sudah dua puluh satu tahun masih saja konyol dan geblek!"

Pendekar 212 mau tak mau jadi garuk-garuk kepala. Dia berpikir-pikir. "Kalau aku tidak salah, mungkin sekali malam nanti adalah malam Jum'at Kliwon, Nek...." Untuk pertama kalinya si nenek alihkan pandangannya dari air pancuran yang sejak tadi diperhatikannya. "Jangan bicara kalau atau mungkin! Aku ingin yang pasti!" Si nenek menghardik. Wiro perhatikan wajah sang guru. Seperti ada perubahan di muka si nenek yang hanya tinggal kulit pembalut tulang itu. "Aku... aku yakin malam nanti adalah malam Jum'at Kliwon," kata Wiro setelah berpikir lagi. "Kau yakin?!" "Yakin sekali Nek," jawab Wiro. Dalam hati dia merasa heran, mengapa sang guru bertanya begitu. Ketika dia memperhatikan lagi-lagi Wiro melihat wajah si nenek berubah. "Kalau kau yakin sebentar malam adalah malam Jum'at Kliwon ya sudah! Pergi sana...." "Jadi kau memanggilku hanya untuk bertanya itu Nek? Jadi sekarang aku pergi saja?" "Apa kau tuli?!" sentak Sinto Gendeng. "Aku segera pergi Nek. Apa ada hal lain yang bisa kulakukan untuk Eyang sebelum pergi?" tanya Wiro. "Tidak ada! Aku hanya ingin kau tinggalkan tempat ini!" jawab Sinto Gendeng lalu kembali dia memandang ke arah pancuran bambu. Melihat sikap sang guru begitu rupa sambil tersenyum Pendekar 212 segera tinggalkan tempat itu. Lupa kalau sebelumnya dia merasa haus. Sesaat kemudian sang surya sudah lenyap di kaki katulistiwa sebelah barat. Siang berganti malam. Kegelapan mulai merayap pekat. Sinto Gendeng tarik nafas panjang. Dia ulurkan dua tangannya untuk rnenampung air pancuran yang sejuk. Maksudnya hendak minum beberapa teguk. Namun

gerakannya tertahan ketika telinganya yang tajam mendengar suara-suara berkelebat. Nenek sakti ini melirik. Lima bayangan hitarn berpencar. disekelilingnya "Mereka sudah datang..." kata si nenek dalam hati. "Mereka sengaja mengurungku dengan Jaring Lima Penjuru Jagat. Selama ini mereka mengagulkan tak ada yang mampu menembus kurungan itu. Weehhhhh! Aku mau lihat apa benar begitu! Hik... hik... hik." ***

WIRO SABLENG

LIMA LAKNAT MALAM KLIWON DENDAM DELAPAN TAHUN

INTO GENDENG!" satu suara membentak dalam kegelapan. Orangnya tegak mende kam di sebelah kanan si nenek. "Delapan tahun mencarimu! Akhirnya kau kami temui juga! Kelahiran kehendak Yang Kuasa! Kematian kehendak takdir! Sebelum kami bantai kami masih memberi kesempatan padamu untuk bertobat minta ampun!" Di tempatnya si nenek tampak tidak bergerak. Lalu terdengar suara tawanya cekikikan. Mula-mula perlahan saja tapi lama-lama tambah keras dan dahsyat. Lima orang dalam gelap kerenyitkan kening karena telinga mereka menjadi sakit laksana dicucuk. Kelimanya saling pandang lalu berusaha tutup jalan pendengaran masing-masing. Ada yang mengerahkan tenaga dalam, ada pula yang menempelkan telapak tangan ke telinga kiri kanan. "Delapan tahun rupanya singkat sekali! Langkah dan pertemuan memang bukan manusia yang mengatur! Tetapi ada banyak manusia yang merasa seolah pandai dan berkuasa! Padahal kebodohan mereka terkadang berakhir di pinggir comberan liang kubur! Hik... hik... hik!" Kata-kata Sinto Gendeng itu membuat lima orang yang mengurung dalam gelap menjadi marah. Namun mereka masih bisa mengendalikan diri. "Sinto Gendeng, apakah saat ini kau masih membawa Kapak Maut Naga Geni 212 dan batu hitam sakti

pasangannya?" orang di sebelah kiri bertanya. "Weehhhh! Kalian masih saja menanyakan senjata mustika itu. Apa selama ini tidak sanggup membuat senjata sendiri?!" "Kami bukan sengaja serakah untuk dapatkan senjata orang lain!" orang di sebelah belakang menjawab. "Tapi jika kau mau menyerahkan senjata itu mungkin kami masih mau memilihkan cara mati yang paling enak bagimu! Ha... ha... ha! "Ucapanmu polos juga! Tapi aku tidak percaya kalau hatimu juga polos! Delapan tahun kau menguntit aku! Apa hanya karena inginkan kapak sakti itu? Pasti ada maksud lain yang tidak terpuji! Bicara saja terang-terangan agar kalau kubunuh kalian satu persatu aku tidak penasaran lagi! Hik... hik... hik!" Sinto Gendeng balas tertawa. Orang di samping kanan Sinto Gendeng mendengus marah. Dia bergerak melangkah. Tapi segera dibentak oleh si nenek sambil jentikkan tangan kanannya. "Bicara tetap di tempat! Jangan berani mendekat!" "Wuuussss!" Jentikan si nenek menimbulkan satu gelombang angin yang membuat sebuah batu serta tanah di depan orang yang barusan bergerak terbongkar besar! Orang ini cepat bersurut dan tegak diam di tempatnya. "Nah, begitu lebih baik. Sekarang silahkan bicara! Dan awas! Aku tidak begitu suka melihat orang bicara ngawur!" "Kami datang membekal dendam!" orang di sebelah kanan berucap datar. "Weehhh! Dendam yang mana? Delapan tahun kemanamana membawa dendam pasti kau repot keberatan! Hik... hik!" "Malam ini dendam itu akan kutumpas habis dengan nyawa dan darahmu!"

"Aku bersyukur kalau kau bisa melakukan itu! Sekarang majulah mendekat. Biar kulihat tampangmu!" Orang di sebelah kanan melangkah maju. Empat temannya melakukan hal yang sama walau tidak terlalu mendekati si nenek karena mereka tahu bagaimana berbahayanya Sinto Gendeng. "Wallaahhh! Kau ternyata pakai topeng seperti muka barong! Mana aku bisa mengenali dirimu!" Sinto Gendeng geleng-gelengkan kepala. Sambil berbuat begitu dia melirik empat orang lainnya. Mereka semua berjubah hitam dan juga mengenakan topeng menutupi wajah masing-masing. "Walau kami menutupi muka dengan topeng! Tapi orang rimba persilatan mana yang tidak tahu siapa kami! Sinto Gendeng! Jangan berpura-pura tidak tahu dendam apa yang kami bawa!" "Kau betul, siapa tidak tahu diri kalian! Lima manusia berjubah hitam yang separoh dari usianya sengaja menjalani hidup dengan menutup muka! Hik... hik... hik. Lima Laknat Malam Kliwon! Begitu rimba persilatan menggelari kalian karena selalu muncul menebar maut hanya pada malam-malam Kliwon! Banyak orang menganggap kalian angker dan hebat! Tapi jangan menjual nama dan tampang di depan Sinto Gendeng!" . "Bagus! Ternyata kau sudah tahu siapa kami jadi tidak perlu susah payah berikan keterangan!" Orang di sebelah kanan ini lalu memberi tanda dengan goyangan kepala pada empat kawannya. Dalam gelap, lima sosok berjubah hitam itu segera melesat menyerbu si nenek yang sampai saat itu masih tetap duduk di atas batu di depan pancuran bambu. "Hilang!" dua diantara lima orang itu berseru kaget ketika mereka dapatkan Sinto Gendeng tidak ada lagi di atas batu dan mereka hanya melompati tempat kosong. Di belakang mereka tiba-tiba terdengar suara tawa

cekikikan. "Jaring Lima Penjuru Jagat! Kalian agulkan sebagai tidak bisa ditembus lawan! Nyata nya aku bisa molos! Hik... hik... hik! Sungguh memalukan!" ' Lima orang yang dalam rimba persilatan dijuluki sebagai Lima Laknat Malam Kliwon kertakkan rahang sama menggeram. Kelimanya serentak berbalik. Lima tangan serta merta menghantam. "Kraakkkk!" Sebatang pohon patah dan tumbang. "Braakkk!" Serumpunan semak belukar setinggi dada mental berantakan. "Byaaarr!" Sebuah batu besar ikut amblas hancur di hantam lima pukulan tangan kosong yang mengandung tenaga dalam tinggi. "Hik... hik... hik! Kalian menyerang siapa? Aku ada di sini!" Kaget lima orang bertopeng itu bukan alang kepalang. Mereka berpaling! Gila betul! Si nenek yang tadi ada di belakang dan sama-sama mereka hantam dengan pukulan yang bisa mencerai beraikan sekujur tubuhnya kini tahutahu terlihat duduk enak-enakan di atas batu di depan air pancuran. Malah saat itu enak saja dia kelihatan keluarkan susur lalu dimasukkan ke dalam mulut dan mengunyah terkempot-kempot! "Perempuan tua bangka jahanam! Serbu dia dengan jurus Lima Bintang Jatuh!" salah seorang dari lima orang bertopeng berteriak marah. Lima sosok berjubah hitam melesat dua tombak ke udara. Lalu benar-benar seperti bintang jatuh ke limanya kemudian menukik ke arah Sinto Gendeng. Lima tangan laksana palu godam diayunkan ke lima bagian tubuh Sinto Gendeng!

WIRO SABLENG

LIMA LAKNAT MALAM KLIWON LAKNAT BERNASIB MALANG

ARI cepatnya alur serangan serta sambaran angin yang menerpa tubuhnya Sinto Gendeng sadar kalau lawan telah mengeluarkan jurus yang tak bisa dibuat main. Karenanya nenek sakti ini juga tak mau berlaku ayal. Di atas batu tubuhnya berputar setengah lingkaran. Dua tangan dihantamkan ke atas. Kaki kiri ditendangkan ke depan. "Bukkk!" "Bukkk!" "Dukkkk!" Dua lengan Sinto Gendeng bergetar hebat begitu bentrokan dengan dua lengan lawan. Tubuhnya terhenyak jatuh ke bawah. Dua lawan terpental beberapa langkah. Satu jotosan melanda bahunya sebelah kiri membuat si nenek menggeram kesakitan. Di sebelah depan, satu dari lima lawannya yang berhasil ditendangnya mencelat sambil mengeluarkan jeritan. Orang ini terhampar di tanah, menggeliat-geliat sambil pegangi perut. Kelihatannya dia cukup kuat karena sesaat kemudian dia bangkit berdiri kembali dan bergabung dengan empat temannya. Perkelahian lima lawan satu itu berkecamuk semakin hebat. Lima Laknat Malam Kliwon lancarkan serangan sambil mengurung rapat. Walau sampai enam jurus di muka mereka masih belum mampu mendaratkan serangan di tubuh lawan namun keadaan Sinto Gendeng saat itu

benar-benar berbahaya. Seolah hanya tinggal menunggu waktu saja. Gilanya si nenek menghadapi serbuan lima pengeroyok dengan tenang. Mulutnya yang dipenuhi susur terkempot-kempot dan termonyong-monyong. Memasuki jurus ke sembilan serangan Lima Laknat Malam Kliwon bertambah gencar laksana air bah. Sinto Gendeng mainkan jurus-jurus pertahanan Tameng Sakti Menerpa Hujan, Benteng Topan Melanda Samudera, Dinding Angin Berhembus Tindih Menindih. Jurus-jurus pertahanan itu diselingnya dengan jurusjurus menyerang Segulung Ombak Menerpa Karang, Membuka Jendela Memanah Rembulan, Di Balik Gunung Memukul Halilintar serta Kepala Naga Menyusup Awan. Lalu tidak lupa pula dia hantamkan pukulan-pukulan sakti Orang Gila Mengebut Lalat, Kunyuk Melempar Buah, dan Angin Puyuh. Lima pengeroyok lambat laun menjadi leleh juga nyali mereka. Dikeroyok lima ternyata si nenek bukan saja mampu bertahan tapi malah balas menyerang dengan ganas. Yang bisa mereka lakukan hanyalah menjaga diri masing-masing dan mengurung rapat agar lawan tidak lolos. Disamping itu mereka terus memutar otak bagaimana bisa merobohkan Sinto Gendeng. Di jurus ke dua puluh sembilan satu celah tipis, untuk mendaratkan serangan terlihat oleh tiga dari lima pengeroyok. Mereka bersirebut cepat untuk susupkan jotosan ke dada, kepala dan ulu hati lawan. Hampir serangan itu akan mengenai sasaran tiba-tiba Sinto Gendeng keluarkan pekik keras. Tubuhnya bergelung seperti ular menggeliat lalu melesat ke udara. Bersamaan dengan itu kaki kanannya menendang. Inilah jurus yang disebut Ular Naga Menggelung Bukit. Sebenarnya jurus ini mempergunakan gerakan tangan untuk melibas tubuh lawan. Tapi si nenek gantikan tangan dengan kaki dan

bukan untuk merangkul melainkan untuk menendang! "Braaakkk!" Tendangan kaki kanan Sinto Gendeng bersarang di dada lawan paling depan. Orang ini adalah yang sebelumnya juga telah terluka di dalam akibat tendangan Sinto Gendeng. Melihat kawan mereka terkapar mengerang di tanah dan ada darah meleleh keluar dari bawah topengnya, empat anggota Lima Laknat Malam Kliwon menjadi leleh nyalinya. Salah seorang dari mereka berbisik pada kawan di sebelahnya. "Delapan tahun memburu tidak sangka kita hanya menemui kesia-siaan! Jahanam betul! Ternyata nenek ini sangat tinggi ilmu kepandaiannya! Beri tanda pada kawankawan, agar segera tinggalkan tempat ini!" "Bagaimana dengan teman yang satu itu?" sang kawan bertanya. "Tidak ada waktu untuk mengurusnya. Melihat keadaannya nyawanya tak bisa ditolong! Kalau kita menghabiskan waktu menolongnya salah-salah kita bakal kena digebuk nenek keparat itu! Apa kau tidak sadar. Sampai saat ini dia masih belum mengeluarkan Pukulan Sinar Matahari! Apa lagi kalau dia sampai menyerang dengan Sepasang Sinar Inti Roh, kita semua bisa celaka!" "Kalau cuma pukulan Sinar Matahari mengapa perlu ditakutkan? Lagi pula kita belum pasti apa benar dia memiliki ilmu kesaktian bernama Sepasang Sinar Inti Roh itu!" "Sudah! Jangan banyak cerita! Kalau kau mau mampus lebih dulu silahkan tinggal di sini!" Setelah saling memberi tanda empat dari lima manusia berjubah dan bertopeng hitam itu akhirnya segera berkelebat melarikan diri. Sinto Gendeng cabut susurnya lalu meludah ke tanah. Dia tiada niat hendak mengejar empat orang yang kabur

itu. Dia memasukkan kembali susur ke dalam mulutnya lalu segera dekati orang yang ditinggalkan kawankawannya. Setelah pandangi sebentar wajah bertopeng itu Sinto Gendeng tertawa cekikikan. "Laknat bernasib malang! Kawan-kawanmu sudah pada kabur! Kalian biasa membunuh orang di malam Kliwon! Kini justru kau sendiri yang bakal menerima mampus di malam Kliwon ini! Hik... hik... hik!" Dari balik topeng orang berjubah hitam yang tergeletak di tanah terdengar suara bergumam. Dia seperti hendak mengatakan sesuatu namun yang keluar justru lelehan darah, mengucur semakin banyak dari bawah topengnya. Dengan mempergunakan ujung kaki kirinya yang kurus hanya tinggal tulang serta kotor, enak saja Sinto Gendeng tanggalkan topeng di muka orang. Begitu wajahnya tersingkap kagetlah si nenek, sampal dia keluarkan suara seruan tertahan dan tersurut dua langkah. "Kau!" ***

WIRO SABLENG

LIMA LAKNAT MALAM KLIWON BAHALA DARI TELUK AKHIRAT

RANG yang tergeletak di tanah keluarkan suara mengerang. Darah semakin banyak keluar dari mulutnya. Matanya menatap sayu pada Sinto Gendeng. Orang ini ternyata adalah seorang kakek berambut dan berkumis kelabu. Walau sudah tua serta dalam derita menahan sakit luar biasa, wajahnya masih kelihatan gagah. "Suro Ageng!" berseru Sinto Gendeng. "Apa mataku tidak salah melihat? Benar kau...?!" Sepasang mata si nenek melotot tak berkesip. Si kakek kedipkan matanya satu kali. "Kau tidak salah melihat Sinto. Ini memang aku... Suro Ageng...." Sinto Gendeng jatuhkan dirinya dan duduk di samping kakek bernama Suro Ageng itu. "Belasan tahun kita tidak bertemu, mengapa tahu-tahu jadi begini...? Ah! Kalau aku tahu siapa dirimu tentu aku tidak akan menurunkan tangan jahat...." "Kau tidak salah Sinto! Berani berbuat berani menerima akibat! Itu nasib diriku!" "Suro...." Sinto Gendeng perbaiki letak kepala si kakek hingga lebih tinggi. "Mengapa kau melakukan ini? Mengapa kau sampai jadi anggota Lima Laknat Malam Kliwon?" "Aku terjebak Sinto. Pimpinan mereka meracuniku dengan tuba sejak sepuluh tahun silam. Jika aku dan kawan-kawan berhasil membunuhmu baru dia akan

memberikan obat penawar!" "Jahanam! Siapa orang yang jadi biang racun pimpinan Lima Laknat Malam Kliwon itu?" "Aku sendiri tidak tahu. Lagi pula percuma untuk menyelidik. Apakah selama belasan tahun berpisah kau selalu balk-baik Sinto?" Si nenek tidak menjawab. Matanya menatap pada wajah yang tengah sekarat menahan sakit itu. Dua mata si nenek tampak berkaca-kaca. "Sinto, apakah masih ada rasa cinta dalam dirimu terhadapku seperti di masa muda dulu.... " "Gila! Kau bicara apa ini!" sentak Sinto Gendeng. Tapi kemudian dia merasa menyesal berkata kasar begitu dan gigit bibirnya. Tengkuknya terasa dingin. "Ah, kau masih galak seperti dulu saja..." kata Suro Ageng menyeringai lalu mengerang kesakitan. Sinto Gendeng tersenyum dan usap kepala si kakek. "Aku akan mengobatimu! Kau pasti bisa sembuh dan hidup lagi di jalan yang benar!" Si nenek meraba ke balik pakalan bututnya. Namun Suro Ageng gelengkan kepala dan berkata. "Aku berterima kasih mendengar ucapanmu. Satu pertanda kau masih mengasihiku. Tapi tak ada gunanya Sinto. Lukaku sangat parah. Salah satu sisi jantungku agaknya sudah remuk...." "Aku yang menyebabkan! Aku yang menendangmu tadi!" kata Sinto Gendeng sesenggukan. Lalu pukul-pukul kepalanya sendiri. Suro Ageng tersenyum. "Kau tahu Sinto, betapa aku merasa bahagia. Karena tidak pernah menyangka bakal menemui ajal di sampingmu...." Darah mengucur lagi dari mulut si kakek. "Jangan berkata begitu Suro. Kau akan sembuh! Kau pasti sembuh!" Kembali si nenek meraba ke balik

pakaiannya di mana dia menyimpan sejenis obat sangat ampuh. Kali ini Suro Ageng diam saja, memperhatikan apa yang dilakukan Sinto Gendeng. Namun belum sempat nenek sakti itu mengeluarkan bungkusan obat dari balik pakaiannya sekonyong-konyong dari kegelapan melesat satu bayangan aneh menebar bau busuknya binatang hutan. "Sinto awas! Aku merasa ada bahaya mengancam dirimu..." kata Suro Ageng. "Siapa berani mencari mati! Apa lagi dalam keadaan aku hendak menolongmu!" "Makhluk yang katanya mencari mati itu bernama Kelelawar Pemancung Roh!" satu suara menjawab lalu orang yang bicara ini melangkah mendekati Sinto Gendeng dan Suro Ageng. Orang ini bertubuh besar tinggi dengan sepasang kuping mencuat ke atas. Dia memiliki dua buah tangan panjang menjela sampal ke bawah lutut, hitam berbulu. Dua matanya sangat kecil dan sipit, seolah terpejam. Baik Sinto Gendeng maupun Suro Ageng sama-sama terkejut melihat munculnya orang ini. Si kakek cepat berbisik. "Sinto, ingat. Empat puluh tahun silam kau pernah mengobrak-abrik sarang kaum pemberontak di selatan. Delapan diantara orang yang kau basmi itu punya pertalian darah sangat erat dengan Kelelawar Pemancung Roh dari Teluk Akhirat ini. Hati-hati Sinto...." "Aku ingat. Siapa takut...!" "Baiknya segera kau tinggalkan tempat ini. Bukan menganggap enteng dirimu. Tapi manusia ini punya ilmu jahat berupa hawa beracun yang bisa membunuh siapa saja dalam waktu singkat! Hawa itu tidak berwarna dan tidak berbau!" "Kau tenang saja Suro. Biar aku yang menghadapi monyet tangan panjang ini!"

Sinto Gendeng bergerak bangkit. Gerakannya tertahan ketika dia melihat satu keanehan terjadi dengan sosok orang bernama Kelelawar Pemancung Roh itu. Bersamaan dengan gerakan mengangkat ke dua tangannya ke atas tiba-tiba tubuhnya yang tinggi besar menciut pendek sampai hanya tinggal setinggi lutut. Sebaliknya dua tangannya yang hitam berbulu semakin besar dan panjang. "Plaakkk!" "Plaakkk!" Ada suara seperti kepakan sayap. Dua buah benda lebar memayungi tempat itu hingga suasana menjadi sangat gelap. Dalam kegelapan itu Sinto Gendeng mendongak ke atas. Si nenek tercekat! Di ujung-ujung tangan orang yang tubuhnya mengecil itu kini kelihatan dua ekor kelelawar raksasa mengepakkan sayap tiada henti. Dua matanya yang memancarkan sinar merah memandang membersitkan maut pada Sinto Gendeng. Mulutnya terbuka lebar memperlihatkan gigi-gigi runcing pertanda beringas. Sepasang kaki dua kelelawar raksasa ini ternyata menjadi satu dengan tangan orang yang memegangnya. "Sinto!" seru Suro Ageng. "Lekas tinggalkan tempat !nil" Tapi si nenek mana mau perduli. Malah dia sudah alirkan tenaga dalam ke tangan kanan. Sosok kerdil gerakkan dua lengannya. Tiba-tiba dua kelelawar jejadian menguik dahsyat. Sebelum Sinto Gendeng sempat pentang tangannya untuk menghantam mendadak dari mulut dua kelelawar itu menderu tiupan angin kencang. "Seribu Hawa Kematian!" teriak Suro Ageng. "Sinto! Lekas menyingkir!" Walau sudah diperingati begitu Sinto Gendeng tetap saja pasang kuda-kuda siap untuk menghantam dengan pukulan sakti. Melihat hal ini Suro Ageng kumpulkan

semua tenaga yang ada lalu melompat. Ketika hawa beracun dari dua mulut kelelawar menerpa, sosok si kakek berada di depan Sinto Gendeng, menghalangi membentenginya. Namun perbuatannya sia-sia belaka karena hawa beracun yang tidak terlihat dan tidak berbau itu telah menyungkup di sekitar mereka! Saat itu juga ke dua orang itu megap-megap roboh ke tanah. "Plaakk!" "Plaakk!" Dua kelelawar raksasa kepakkan sayapnya. Sosok orang yang memegangnya membesar kembali. Begitu sampai pada ukuran sebelumnya dua kelelawar serta merta lenyap. Orang ini turunkan tangannya lalu setelah tertawa bergelak dia tinggalkan tempat itu. ***

WIRO SABLENG

LIMA LAKNAT MALAM KLIWON PENGORBANAN DI AKHIR HAYAT

I SATU jalan mendaki Pendekar 212 hentikan larinya. Memandang berkeliling dia hanya melihat kegelapan. Hatinya gelisah. Bukan kegelapan itu yang membuatnya gelisah. Dia merasa tidak enak karena ingat akan gurunya yang ditinggalkan sendirian. Memang si nenek tidak kurang suatu apa. Tapi sikapnya tidak seperti biasa. Lalu apa pula maksudnya menanyakan malam itu malam apa. Selagi dia berpikir-pikir begitu rupa tiba-tiba dia melihat empat bayangan hitam berkelebat di antara rerumpunan semak belukar. Wiro cepat menyelinap, mendekam di satu tempat gelap dan mengintai. "Jangan-jangan para tokoh silat kaki tangan pemberontak," pikir Wiro. "Kita kembali saja ke Kotaraja! Sialan, tidak sangka setan satu itu tinggi sekali ilmunya!" Salah seorang dari rombongan di dalam gelap berkata. Wiro memperhatikan. "Mereka mengenakan jubah hitam. Muka memakai topeng hitam seperti barong. Siapa gerangan orang-orang ini..." pikir Wiro. Lalu didengarnya salah seorang dari mereka berkata menyahuti ucapan kawannya tadi. "Kotaraja sedang tidak aman. Apa kau tidak dengar riwayat seorang pemuda sakti mandraguna yang menghabisi pentolan pemberontak? Kita jangan sampai terlibat! Urusan kita ada yang lebih penting." "Kalau begitu kita segera saja menuju ke puncak Merapi

menemui Pimpinan!" Tiga kawan yang lain menyetujui. Maka saat itu juga ke empat orang itu berkelebat ke arah timur dan lenyap dalam kegelapan. Wiro keluar dari balik tempat pengintaiannya sambil usap-usap dagu, coba menduga-duga siapa adanya ke empat orang itu. "Dari pembicaraan mereka agaknya mereka bukan pentolan pemberontak. Lalu siapa yang disebut setan satu yang tinggi sekali ilmunya itu?" Setelah berpikir beberapa saat lagi akhirnya Wiro memutuskan untuk kembali ke tempat dia meninggalkan Eyang Sinto Gendeng. Mungkin dia tidak perlu menemui sang guru. Asal melihat si nenek berada dalam keadaan tak kurang suatu apa hatinya baru lega dan dia lantas akan lanjutkan perjalanan. Karena mempergunakan ilmu lari cepat dan me nempuh jalan yang sebelumnya sudah dilewati maka dalam waktu singkat Wiro sampai kembali ke tempat dia meninggalkan Eyang Sinto Gendeng. Namun betapa kejutnya setengah mati ketika melihat sang guru tergeletak di tanah dengan mata nyalang tak berkesip dan mulut mengeluarkan busah. Di sebelahnya terkapar seorang kakek yang juga mengeluarkan busah serta darah dari mulutnya. Meskipun megap-megap sekarat tapi matanya kelihatan nyalang. "Guru! Eyang!" teriak Wiro lalu jatuhkan diri dan letakkan kepala si nenek di atas pangkuannya. Sosok kakek di sebelah Sinto Gendeng bergerak sedikit. "Anak muda, siapapun kau adanya lekas ambil sebuah sapu tangan hitam dalam saku pakaianku...." "Katakan apa yang terjadi?! Kau siapa?!" Wiro memotong ucapan orang. "Jangan bertanya menghabiskan waktu! Sinto Gendeng dalam bahaya besar. Dia bisa mati dalam beberapa kejapan kalau tidak segera ditolong. Didalam lipatan sapu

tangan hitam ada empat butir obat. Dua berwarna putih, dua berwarna hitam. Masukkan obat itu ke dalam mulut Sinto Gendeng! Lekas, lakukan segera! Jangan sampai terlambat!" Sesaat Wiro masih bingung. Tapi kemudian dia segera lakukan apa yang dikatakan orang. Di dalam saku kanan pakaian hitam si kakek memang dia menemukan sehelai sapu tangan hitam. Dalam gulungan sapu tangan itu ada empat butir benda bulat sebesar ujung jari kelingking. Dua berwarna putih, dua berwarna hitam. Seperti yang dikatakan kakek tak dikenal itu Wiro masukkan obat itu ke dalam mulut gurunya. Lalu dia mengurut tenggorokan Sinto Gendeng hingga empat butir obat tertelan dan melewati tenggorokan lalu masuk ke dalam perut. Begitu masuk ke dalam usus besar, Sinto Gendeng menggeliat dan keluarkan suara erangan keras. Dari mulutnya mengepul asap aneh. Matanya yang tadi mendelik perlahan-lahan menutup. Lalu sosok si nenek tidak bergerak lagi. "Jahanam! Kau menipu! Guruku menemui ajal akibat obat yang ditelannya!" teriak Wiro marah. Tangan kanannya siap hendak menggebuk batok kepala si kakek. "Anak muda! Jangan cepat salah sangka! Jangan keburu menduga buruk. Gurumu hanya pingsan tanda obat tengah bekerja. Walau tidak sembuh menyeluruh tapi yang penting Sinto Gendeng sudah lolos dari lobang jarum kematian. Coba kau periksa lengannya. Kau akan merasakan denyutan nadi tanda dia masih hidup...." Wiro cepat meraba pergelangan tangan kanan Sinto Gendeng. Hatinya lega. Ternyata memang masih ada denyutan pada urat besar si nenek. "Orang tua, harap kau menerangkan apa yang terjadi. Dan kau sendiri siapa?" "Dua pertanyaanmu tidak penting. Sebelum aku meregang nyawa ada beberapa hal yang perlu aku beri

tahu.... Pertama, Sinto Gendeng walaupun selamat dari kematian tapi seumur hidup tubuhnya sebelah pinggang ke bawah akan mengalami kelumpuhan. Hal kedua, satusatunya cara untuk mengobati kelumpuhan itu adalah mencari sekuntum Bunga Matahari yang tumbuh menghadap matahari terbit dan hanya mengembang pada saat terjadi gerhana matahari. Jika kau berhasil mendapatkan bunga itu pada saat mengembang dan dimakan oleh Sinto Gendeng maka dia akan sembuh dari kelumpuhan...." "Aku sudah mendengar ucapanmu Kek! Sekarang katakan apa yang terjadi! Siapa yang melakukan malapetaka ini atas diri guruku? Lalu kau sendiri siapa?" "Orangnya dikenal dengan julukan Kelelawar Pemancung Roh. Sarangnya di Teluk Akhirat. Dia menghantam Sinto Gendeng dengan racun Seribu Hawa Kematian. Tidak ada satu orangpun yang mampu lolos dari kematian jika diserang. Racun itu berupa hawa yang tidak kelihatan dan juga tidak berbau. Karena keadaannya lebih berat dari udara maka hawa beracun ini selalu mengambang dari atas ke bawah. Akibatnya tidak ada yang bisa lolos dari kematian...." "Aku pernah mendengar nama Kelelawar Pemancung Roh itu. Akan kucari dan kucincang sampai lumat manusia keparat itu!" Pendekar 212 geram bukan kepalang. "Hai! Kau belum menerangkan siapa dirimu!" "Aku Suro Ageng. Sahabat Sinto Gendeng di masa muda.... Aku...." "Kalau kau benar sahabat guruku kau harus kutolong.... Kau masih memiliki obat seperti yang kau berikan pada Eyang Sinto Gendeng?" "Sebenarnya obat itu bisa dibagi dua, untukku dan untuk gurumu. Tapi jika dibagi dua daya kekuatannya jadi berkurang. Gurumu mungkin tidak banyak tertolong. Aku

memutuskan menolongnya agar bisa hidup. Sedang diriku sendiri sudah pasrah menghadapi maut...." "Pasti ada cara menolongmu Kek!" kata Wiro seraya memandang berkeliling. Tiba-tiba matanya membentur topeng yang sebelumnya dipakai Suro Ageng. Wiro lantas ingat pada empat orang dalam gelap yang ditemuinya sebelumnya. Ketika dia memperhatikan pula pakaian si kakek, berdesirlah darahnya. Kakek ini mengenakan jubah hitam seperti yang dipakai orang-orang itu! Murid Eyang Sinto Gendeng jadi curiga. "Kek, sebelumnya aku melihat empat orang mengenakan topeng dan jubah hitam seperti yang kau kenakan. Apakah kau punya sangkut paut dengan mereka...?" "Anak muda, kau pernah mendengar nama Lima Laknat Malam Kliwon?" "Pernah..." jawab Wiro. Lalu dia ingat. "Sebelumnya guruku pernah bertanya malam ini malam apa! Bukankah malam ini malam Jum'at Kliwon? Berarti...!" Sepasang mata sang pendekar mendelik. Tubuhnya bergeletar. "Kau salah satu dari mereka!" Suro Ageng mengangguk perlahan. Rahang Pendekar 212 menggembung. "Bukankah jika Lima Laknat Malam Kliwon muncul di malam Kliwon berarti ada orang yang bakal menjadi korbannya?! Jangan-jangan kalian sebelumnya punya maksud keji terhadap guruku!" "Kau benar anak muda! Tapi maksud kami tidak kesampaian. Aku sendiri sangat menyesal...." "Kesampaian atau tidak, menyesal atau tidak aku tidak perduli! Biar kupecahkan dulu batok kepalamu!" Wiro lalu angkat tangan kanannya untuk menggebuk batok kepala Suro Ageng. Si kakek diam saja. Tidak bergerak, berkedippun tidak seolah pasrah. Tiba-tiba dari samping terdengar ucapan Sinto Gendeng.

"Anak setan! Kakek itu telah selamatkan nyawaku dengan nyawanya! Mengapa kau hendak membunuhnya?!" "Eyang!" seru Wiro. Saat itu si nenek sudah bergerak bangkit dan duduk di tanah. Ketika dia mencoba berdiri ternyata dia tidak mampu menggerakkan kedua kakinya. Dia pergunakan tangan meraba dua kaki itu. Kaki itu tidak merasa apa-apa. Maka menjeritlah si nenek! Lalu terkulai pingsan. Di saat yang sama kepala Suro Ageng terkulai pula ke kiri. Orang ini tak bergerak lagi bertanda nyawanya melayang sudah. ***

WIRO SABLENG

LIMA LAKNAT MALAM KLIWON SINTO GENDENG LUMPUH

OSOK Sinto Gendeng bergerak. Dari mulutnya keluar erangan halus. "Nek, kau sudah siuman Nek?" tanya Wiro yang duduk memangku kepala gurunya. "Kepalaku berat.... Mataku sulit dibuka. Tapi aku mendengar suaramu. Anak setan.... Apa yang terjadi dengan diriku. Aku... aku tidak mampu menggerakkan dua kakiku. Aku tak mampu bergerak duduk...." "Eyang, kau tiduran saja dulu. Jangan terlalu banyak bicara...." "Anak setan! Berani kau melarang aku bicara?!" bentak Sinto Gendeng. Mukanya yang hanya tinggal kulit pembalut tulang kelihatan pucat. "Nek, biar aku ceritakan apa yang terjadi denganmu. Aku ingin ingatanmu pulih dan tabah menerima kenyataan...." "Tabah menerima kenyataan? Eh, apa maksudmu anak sableng?! Memangnya apa yang terjadi?!" tanya Sinto Gendeng pula. "Dua kakimu lumpuh Nek. Akibat racun Seribu Hawa Kematian...." Perlahan-lahan dua mata si nenek terbuka sedikit, makin lebar, tambah lebar dan akhirnya memandang mendelik pada sang murid. Dia usap dua kakinya dengan tangan kanan. Tidak terasa apa-apa. Dia coba gerakkan dua kaki itu. Dia tidak mampu melakukan. Sinto Gendeng hendak menjerit tapi akhirnya sadar dan hanya bisa pasrah.

"Kelelawar Pemancung Roh dari Teluk Akhirat.... Dia yang mencelakaiku. Dia melampiaskan dendam empat puluh tahun lalu!" Rahang si nenek menggembung. Mukanya yang seperti tengkorak tampak tambah angker. "Dendam akan berkelanjutan. Kelelawar Pemancung Roh benar-benar telah menanam racun! Dia kelak akan memetik dan menelan buah racunnya! Selama bumi terhampar, selama langit berkembang aku akan mencari dan membunuhnya...." "Eyang, untuk sementara harap kau tidak memikirkan segala dendam kesumat. Kita harus mencari jalan bagaimana bisa menyembuhkan dirimu. Menurut kakek bernama Suro Ageng itu...." "Suro Ageng!" Sinto Gendeng menyebut nama itu setengah menjerit. "Mana dia?!" Sepasang mata si nenek berputar. "Dia ada di sebelahmu Nek. Tapi sudah mendahuluimu. Mati akibat Seribu Hawa Kematian." Dua mata Sinto Gendeng mendelik. Dia gerakkan kepalanya ke kiri. Sosok Suro Ageng tergeletak di sebelahnya. Tangan kirinya diulurkan memegang tangan si kakek. Dia hendak menjerit namun yang keluar hanya sesenggukan. "Suro.... Kalau saja dulu aku menerima lamaranmu dan kawin denganmu. Kau tidak akan mengalami nasib seperti ini. Ah...." Wiro jadi terkesiap mendengar ucapan sang guru. Sambil garuk-garuk kepala dia berkata. "Eyang, jadi kakek ini dulunya adalah kekasihmu di masa muda...?" Si nenek tidak menjawab. Dalam hati Wiro bertanyatanya, di masa mudanya dulu sebenarnya berapa banyak si nenek ini punya kekasih. Mungkin karena begitu banyaknya hingga dia bingung memilih, akhirnya tak pernah kawin-kawin. Kalau bukan dalam keadaan seperti itu pemuda konyol ini tentu sudah menggoda sang guru.

Sinto Gendeng usap-usap mukanya yang pucat beberapa kali. Dari mulutnya kemudian meluncur ucapan. "Aku pantas bangga padanya. Dia sengaja mengorbankan nyawanya untuk menyelamatkan jiwaku! Suro.... Sungguh tinggi budimu...." "Eyang, sebelum menghembuskan nafas kakek itu menerangkan bahwa satu-satunya obat yang bisa menyembuhkan kelumpuhanmu adalah Bunga Matahari yang tumbuh menghadap matahari terbit dan mekar pada saat gerhana matahari...." Kulit muka Sinto Gendeng mengerenyit. "Orang bisa berkata begitu. Tapi Gust! Allah menjadikan obat bukan cuma satu macam! Pasti ada obat lain yang lebih mudah dari bunga matahari celaka itu! Kalau mengalami kesulitan kita harus cari kawanku Si Raja Obat! Anak setan! Apakah kau sudah siap?!" "Siap apa maksud Eyang?" tanya Wiro heran. "Saat ini juga kita harus berangkat ke Teluk Akhirat! Mencari manusia berjuluk Kelelawar Pemancung Roh itu!" "Eyang.... Keadaanmu belum pulih. Lagi pula kau.... Kau tak bisa berjalan sendiri...." "Aku tidak menyuruhmu mencari keledai atau kuda, apa lagi onta tunggangan!" jawab si nenek. "Aku tahu Nek, maksudku kau harus istirahat dulu yang cukup. Jika kesehatanmu pulih baru kita pikirkan apa yang harus kita lakukan...." "Weehhhhh! Kau tahu apa mengenai diri dan kesehatanku! Jangan kau mengatur diriku, anak sableng!" Wiro garuk-garuk kepala. Tak ada jalan lain. Ketika dia hendak membantu si nenek berdiri pandangannya membentur sebuah benda tergeletak di tanah dekat kaki Suro Ageng. Wiro segera mengambilnya. "Benda apa itu...?" Sinto Gendeng bertanya.

Sambil memperhatikan benda yang dipegangnya Wiro menjawab. "Sebuah kalung kepala srigala. Terbuat dari perak. Rantainya sudah putus...." "Kepunyaan siapa menurutmu?" tanya si nenek. "Sulit kuduga Nek. Mungkin salah seorang dari komplotan Lima Laknat Malam Kliwon. Mungkin juga punya makhluk kelelawar dari Teluk Akhirat itu.... " "Simpan baik-baik. Benda itu bisa kita jadikan bahan pelacak dimana sarangnya Lima Laknat Malam Kliwon serta Kelelawar Pemancung Roh!" Wiro mengiyakan sambil mengangguk lalu masukkan kalung kepala srigala itu ke balik pakaiannya. "Sekarang kita harus segera tinggalkan tempat ini!" kata Sinto Gendeng. "Apa tidak menunggu dulu sampai pagi hari Nek? Lagi pula bukankah kita harus mengurus mayat kakek bernama Suro Ageng In!?" "Mayat Suro Ageng memang menjadi ganjalan. Tapi kalau kita melewati sebuah desa, kita bisa upahkan orang untuk mengurusnya. Sekarang jangan banyak membantah. Kita harus tinggalkan tempat ini. Teluk Akhirat cukup jauh dari sini!" "Tapi Nek, kau tak bisa berjalan sendiri. Apa lagi berlari!" ujar Wiro pula. "Siapa bilang aku akan jalan kaki sendiri?!" ujar si nenek seraya menyeringai. "Memangnya kau bisa terbang, Nek?" "Weehhhh! Kau yang menerbangkan aku, anak setan!" Wiro keheranan tak mengerti. "Dukung aku di pundakmu! Kau boleh berjalan biasa, berlari atau terbang! Suka-sukamulah! Hik... hik... hik...." "Nek! Kau...." "Jangan berani membantah perintah seorang guru!"

"Aku tidak membantah Eyang. Tapi bayangkan saja kalau aku harus membawamu kemana-mana. Di dukung di atas bahu!" "Lalu apa kau mau mendukung aku seperti membedung bayi di depan dada? Hik... hik... hik!" "Kita harus mencari binatang untuk tungganganmu..." kata Wiro pula. "Aku gamang kalau menunggangi binatang. Aku cuma mau didukung belakang. Nangkring di atas pundakmu! Ayo tunggu apa lagi! Naikkan aku ke atas pundakmu Wiro!" Pendekar 212 garuk-garuk kepala. "Celaka benar! Bagaimana aku bisa mendukung nenek yang sekujur badannya bau pesirfg begini rupa!" "Jangan kau mengumpat atau memaki dalam hatimu anak setan! Jika kau tidak rela mendukungku, cepat kau tinggalkan aku sekarang juga! Lalu mulai saat ini putus hubungan kita sebagai murid dan guru!" Wiro memaki panjang pendek dalam hati. Namun dia memang tidak bisa menolak. Tubuh sang guru diangkatnya lalu dinaikkannya di atas pundaknya. Leher dan pundaknya kiri kanan langsung terasa dingin oleh rembesan air kencing yang menempeli kain panjang butut yang dikenakan Sinto Gendeng. Rahang Pendekar 212 menggembung. Kuping hidungnya bergerak-gerak. Celakanya si nenek duduk sambil goyang-goyangkan badannya seperti anak kacil keenakan. "Uh.... Kau berat sekali Nek!" kata Wiro masih belum melangkah. "Jangan macam-macam Wiro. Tubuhku cuma tinggal tulang belulang! Apanya yang berat?!" Si nenek lalu jambak rambut gondrong muridnya.

"Tubuhmu memang tidak berat Eyang. Tapi yang berat mungkin dosamu karena terlalu banyak kekasih di masa muda!" jawab Pendekar 212 pula. Tangan kiri Sinto Gendeng menyambar telinga kiri Wiro lalu dipuntir lumat-lumat hingga Wiro menjerit kesakitan. "Anak setan! Aku tahu kau tidak suka mendukungku seperti ini! Tapi seandainya aku seorang gadis cantik jelita, weehhhhh! Pasti kau akan bawa kemana saja dan tanganmu akan menggerayang kesana-sini!" Sinto Gendeng tertawa mengekeh. Dia puntir lagi telinga kiri Wiro. "Ayo jalan!" "Aduh Eyang! Ampun! Jangan dipuntir telingaku! Aku segera jalan!" teriak Wiro kesakitan. "Nah bagus kalau begitu! Hik... hik... hik...." Belum jauh berjalan tiba-tiba Sinto Gendeng pegang tagi telinga kiri Wiro. "Nek...!" "Anak setan! Kau mau bawa aku kemana?! Aku tidak bodoh! Teluk Akhirat letaknya di sebelah selatan sana. Mengapa kau menuju ke arah timur?" "Anu Nek.... Ada baiknya kita lebih dulu menemui Kakek Segala Tahu di bukit kapur tempat kediamannya. Siapa tahu dia ada di sana. Kita bisa minta petunjuk bagaimana caranya kau bisa disembuhkan dengan cepat...." "Kau murid baik dan pintar!" Si nenek elus-elus rambut gondrong muridnya. "Berjalan biasa-biasa saja. Tak usah kesusu. Tubuhku letih sekali. Aku mau tidur barang beberapa lama...." Sinto Gendeng rangkapkan dua tangannya di depan dada. Matanya dipejamkan. Sesaat kemudian terdengar suara ngoroknya sepanjang jalan. "Nenek bau pesing sialan!" memaki Pendekar 212. "Dia enak-enakan ngorok di atas pundakku sementara aku sengsara. Kalau saja kau bukan guruku dari tadi-tadi kau sudah kubanting ke tanah!" Saat itu bernafaspun sang

pendekar takut rasanya. Karena setiap dia menarik nafas, yang masuk ke dalam rongga hidungnya adalah bau pesing tubuh dan kain panjang butut si nenek!

TAMAT

Segera terbit: SERIBU HAWA KEMATIAN

ARIO BLEDEK

PETIR DI MAHAMERU KI SURO GUSTI BENDORO

ARI Jum'at Pahing, tepat tengah hari ketika sang surya berada di titik tertinggi. Tidak seperti biasanya, di puncak Gunung Mahameru sama sekali tidak kelihatan awan putih menggantung. Sinar matahari yang tidak terhalang menebar terik mulai dari puncak sampai ke lereng bahkan kaki gunung. Angin tidak sedikitpun berhembus. Udara terasa panas luar biasa dan kesunyian mencekam hampir di setiap penjuru. Ketika serombongan burung pipit melayang di langit sebelah utara, sayup-sayup dari arah lereng gunung sebelah tenggara terdengar sesuatu berkelebat disertai suara mendesis panjang tiada henti-hentinya. Tanah bergetar seolah ada sesuatu menjalar melewatinya sepanjang lereng. Rombongan burung pipit lenyap di kejauhan. Suara berkelebat dan suara mendesis terdengar semakin keras. Tak selang berapa lama di satu jalan setapak di antara kerapatan pepohonan kelihatan seorang kakek berjubah putih berlari laksana angin menuju puncak Gunung Mahameru. Rambut dan janggutnya yang putih panjang melambai-lambai. Wajahnya yang lanjut dimakan usia walau penuh keriput namun tampak jernih, membayangkan satu pribadi yang bersih. Di tangan kanannya ada sebatang tongkat bambu berwarna kuning. Ujung jubah sebelah bawah dan lengan jubah putih lebar

yang bergesek dengan udara itulah sumber suara yang terdengar sejak tadi. Lalu suara mendesis tak berkeputusan, inilah yang hampir sulit dipercaya kalau tidak menyaksikan sendirl. Ternyata di belakang kakek berjubah putih itu, meluncur ratusan ular berbagai bentuk dan warna. Binatang ini meluncur di tanah jalan setapak mengikuti larinya si orang tua yang tengah menuju ke puncak gunung sambil tiada hentinya mengeluarkan suara mendesis. Sosok tubuh mereka yang ratusan banyaknya itu menimbulkan suara menggemuruh di tanah. Sesekali kakek ini berpaling ke belakang. Mulutnya tersenyum melihat binatang-binatang itu. Namun dalam hati dia merasa sedih. Suara hatinya berkata. "Tuhan memberi akal pikiran dan perasaan hati pada manusia. Yang membuatnya lebih agung dan membedakannya dengan binatang. Tetapi terkadang binatang memiliki alam pikiran dan hati sanubari yang lebih jernih dan polos dari manusia. Ular-ular itu, mereka menunjukkan kesetiaan yang tidak semua manusia memilikinya...." Semakin tinggi ke puncak gunung semakin berkurang pepohonan dan semak belukar. Sengatan sinar matahari tambah membakar. Di mana-mana kini tampak berhamparan batu-batu hitam berbagai ukuran. Sekonyong-konyong dari lereng sebelah atas terdengar suara langkah-langkah kaki kuda, bergerak ke arah orang tua berjubah putih yang sementara mendaki ke jurusan berlawanan. Orang tua ini segera hentikan langkahnya dan menatap ke depan. "Tidak sembarang kuda mampu menaiki puncak gunung. Apa lagi gunung tinggi seperti Mahameru ini. Binatang itu pasti kuda yang sangat terlatih. Bukan kuda sembarangan. Mungkin sekali kuda yang biasa dipergunakan dalam peperangan.... Keadaan di Demak

masih sangat kacau. Bukan mustahil.... " Belum selesai orang tua itu berucap dalam hati dua ekor kuda besar, satu berwarna coklat, satunya hitam berkilat muncul di atasnya. Dari ladam-ladam kaki kuda yang tebal dan bergerigi jelas bahwa dua ekor binatang ini memang sengaja diperuntukkan untuk ditunggangi di puncak gunung atau kawasan berbatu-batu. Di atas kuda berwarna coklat duduk seorang bertubuh besar, berkulit sangat hitam. Dari pakaian dan bentuk gagang pedang yang terselip di pinggangnya jelas dia adalah seorang Perwira Kerajaan. Yang anehnya orang ini memegang sebuah obor besar di tangan kirinya sementara tangan kanan menahan tali kekang kuda tunggangannya. Di samping si Perwira, di atas kuda besar hitam yang kelihatan garang duduk gagah seorang kakek berjubah kuning. Jubah ini terbuat dari bahan tebal dan mahal. Di tangan kirinya dia memegang sebatang tombak besi. Pada ujung tombak terikat sebuah bendera berbentuk segi tiga berwarna kuning. Di belakang kakek berjubah putih, ratusan ular mendadak tegakkan kepala dan mendesis keras. Kakek itu angkat tangan kanannya. Binatang-binatang yang tadi kelihatan galak kini tundukkan kepala, tak ada yang bersuara tapi tetap menatap ke depan dengan pandangan tidak berkesip. Binatang-binatang yang dalam perasaan dan tinggi tingkat kewaspadaannya ini rupanya sudah mencium sesuatu akan terjadi. Setelah pandangi dua orang itu sejenak, orang tua berjubah putih segera memaklumi ada sesuatu dibalik kernunculan mereka. Walau hatinya merasa tidak enak sambil tersenyum orang tua ini menegur. "Perwira Brajanala, sahabatku Ki Dalem Sleman, ini sungguh satu pertemuan yang tidak disangka-sangka. Aku tak bisa menutupi kegembiraanku. Tapi juga merasa

aneh dan ingin bertanya. Gerangan apakah sebabnya hingga Perwira Brajanala bersuluh obor besar di bawah terang benderangnya sinar matahari?" Orang tua berjubah putih ini ajukan pertanyaan walau sebenarnya dia sudah tahu apa kegunaan obor besar itu. Yakni untuk melindungi diri dari ratusan ular jika binatang-binatang itu menyerang. Orang tua berjubah kuning bernama Ki Dalem Sleman melirik pada Perwira di atas kuda coklat lalu berkata. "Brajanala, kau tak perlu menjawab pertanyaannya. Karena kitalah yang akan mengajukan banyak pertanyaan padanya!" Kakek jubah putih kerenyitkan kening. Sepasang alisnya naik sesaat. Lalu kembali dia tersenyum. "Kalau sampeyan mempunyai kepentingan mengapa tidak mengajukannya sewaktu kita masih sama-sama di Demak. Mengapa sampai-sampai menghabiskan waktu dan mencapaikan diri menemuiku di lereng Mahameru ini?" "Sebabnya lain tidak karena kau melarikan diri ketika Kerajaan dilanda kekacauan. Padahal kau adalah salah seorang penasihat Sultan yang dibutuhkan kehadirannya. Tapi kau menghilang begitu saja. Untung kami masih bisa menemuimu di sini!" Yang berkata adalah Perwira Kerajaan bernama Brajanala yang berkulit hitam liat itu. "Aku tidak melarikan diri. Tidak pula menghilang. Aku memang penasihat Kerajaan. Tapi hanya sampai saat aku dibutuhkan. Saat Sultan dan Kerajaan tidak memerlukan diriku lagi, aku merasa tidak ada gunanya lagi berada lebih lama di Demak. Keluarga dan turunan Sultan saling membantai memperebutkan tahta. Sampeyan tahu sendiri apa yang terjadi sejak Sultan Trenggono mangkat. Pangeran Sekar Seda Lepen adik Sultan yang seyogianya menjadi Raja menggantikan kakaknya mati dibunuh orang. Pangeran Prawoto, putera Sultan Trenggono yang siap-siap hendak dinobatkan sebagai Sultan Demak dibantai habis

bersama seluruh keluarganya secara keji oleh Arya Penangsang, putera Pangeran Sekar Seda Lepen. Aku sendiri tidak lagi ingin terlibat dengan segala urusan dunia dan kekuasaan. Apa lagi segala daya upayaku untuk mendamaikan mereka tidak diperdulikan. Saat ini Adiwijoyo, menantu mendiang Sultan Trenggono tengah menyusun kekuatan untuk melakukan pembersihan. Mudah-mudahan Tuhan membimbing dan melindunginya. Aku mendoakan semoga dia berhasil, agar Kerajaan kembali aman dan rakyat yang selama bertahun-tahun ini hidup menderita bisa kembali menikmati hidup tenteram...." Ki Dalem Sleman, kakek berjubah hitam yang memegang tombak sunggingkan senyum sinis. "Ucapanmu seolah satu filsafat yang lebih tinggi dari langit, lebih dalam dari dasar samudera. Namun kami berdua tahu kau berada di Mahameru ini bukan karena tidak ingin lagi terlibat dengan segala urusan dunia, melainkan karena ada satu hal lain...." "Sampeyan benar Ki Dalem Sleman," kata Ki Suro Gusti Bendoro pula. "Aku sengaja naik ke puncak Mahameru ini karena menurut petunjuk yang aku terima dari Gusti Allah melalui tiga kali mimpi, setelah lima puluh tahun menunggu, puncak Mahameru ini merupakan ujung atau akhir perjalanan hidupku...." "Rupanya kau manusia luar biasa sekali, Ki Suro Gusti Bendoro. Sampai-sampai tahu dimana dan kapan akan menemui ajal! Kau manusia murtad! Karena soal mati hidupnya manusia hanya Tuhan yang mengetahui...." "Aku tidak akan berdebat mengenai hidup matiku dengan sampeyan Ki Dalem Sleman...." "Baik! Karena kami berdua mencarimu memang bukan untuk bicara berpanjang lebar. Kami mengetahui kau meninggalkan Demak dengan membawa Bendera Pusaka

milik Kerajaan yang bernama Kanjeng Kiai Pujoanom. Itu sebabnya kami mengejarmu sampai ke sini. Kau harus menyerahkan Bendera Pusaka itu segera. Saat ini juga!" Ki Suro Gusti Bendoro sangat terkejut mendengar katakata Ki Dalem Sleman itu. "Ki Dalem Sleman, aku yakin sampeyan bukan orang yang suka berburuk sangka. Namun apa yang barusan sampeyan katakan sungguh mengejutkan. Bagaimana sampeyan bisa menuduh aku membawa Bendera Pusaka Kanjeng Kiai Pujoanom?" "Kau bukannya membawa tapi mencuri Bendera Pusaka itu!" kata Perwira Brajanala dengan suara keras dan tampang garang. "Astagfirullah." Ki Suro mengucap. "Seumur hidupku aku tidak pernah mencuri. Apa lagi sampai mencuri Pusaka Kerajaan yang sangat kujunjung tinggi. Sampeyan berdua pasti menyirap kabar salah. Atau mungkin ada pihak yang memfitnah...." "Tidak ada kabar yang salah! Tidak ada orang yang memfitnah...." "Kalau begitu sampeyan berdua kupersilahkan menggeledah diriku..." kata Ki Suro Gusti Bendoro dengan suara tetap tenang. "Buat apa menggeledah. Kau pasti sudah menyembunyikan Bendera Pusaka itu di satu tempat rahasia!" tukas Brajanala. "Kami ingin kau mengantar kami ke tempat kau menyembunyikan Bendera itu!" Kakek berjubah putih gelengkan kepala lalu berkata. "Apa yang aku katakan adalah suara kebenaran. Aku tidak mencuri Bendera Pusaka itu...." "Kalau begitu terpaksa kau menggantikan Bendera Pusaka itu dengan kau punya nyawa!" ujar Brajanala pula. Lalu "sreettt!" Perwira Kerajaan ini hunus pedangnya. Pedang telanjang itu berkilauan ditimpa sinar matahari. Sang Perwira lalu sentakkan tali kekang kudanya. Binatang

ini melangkah maju mendekati Ki Suro Gusti Bendoro yang tetap berdiri dengan tenang bahkan wajah tidak berubah sama sekali. ***

ARIO BLEDEK

PETIR DI MAHAMERU SEBELUM AJAL BERPANTANG MATI

EGITU pedang keluar dari sarungnya, ratusan ular yang ada di belakang Ki Suro Gusti Bendoro serta merta mendesis keras dan serentak melesat ke depan. Kuda hitam dan kuda coklat meringkik tinggi sambil angkat dua kaki depan masing-masing. Brajanala cepat kuasai kudanya lalu babatkan obor besar di tangan kiri. Puluhan ular bersurut mundur tapi puluhan lainnya tetap melesat ke depan. Ki Dalem Sleman gerakkan tangannya yang memegang tombak. Siap menggebuk. Tombak ini bukan senjata biasa melainkan satu senjata mustika yang bisa menebas batang pohon dan menghancurkan batu besar. Ketika ular-ular itu hampir melewati orang tua berjubah putih, Ki Suro segera angkat tangannya dan berkata. "Sahabat-sahabatku, tenanglah. Kembali ke tempatmu di belakangku...." Luar biasa sekali! Seperti mengerti apa yang diucapkan si orang tua, ratusan ular itu bersurut ke belakang. Brajanala melintangkan pedangnya di depan dada. "Ki Suro! Apa kau lebih suka mati dengan kepala terbelah dari pada memberi tahu dimana kau sembunyikan Bendera Pusaka itu?!" "Soal Bendera Pusaka sudah aku katakan, aku tidak memilikinya. Soal kematian aku hanya berserah diri pada Yang Maha Kuasa Maha Pencipta. Aku merasa bahagia

setelah menunggu lima puluh tahun untuk menghadap Sang Pencipta akhirnya ada orang memberi jalan menuju pintu akhirat. Sampeyan hendak membunuhku, aku sangat berterima kasih. Semoga Tuhan mengampuni dosa sampeyan. Tapi izinkan aku lebih dulu menghadap ke Kiblat...." Habis berkata begitu Ki Suro Gusti Bendoro putar tubuhnya menghadap ke arah matahari tenggelam. Di atas kuda coklat Perwira bernama Brajanala kertakkan rahang. Tangan kanannya menggenggam gagang pedang erat-erat. Lalu wuuut! Senjata itu berkelebat menyilaukan di udara. Membacok dari atas ke bawah. Sasarannya adalah batok kepala kakek berjubah putih yang tegak dengan kepala agak tertunduk, pasrah menunggu ajal. Ratusan ular di belakang si kakek tegakkan kepala, mendesis keras tapi tak ada yang berani bergerak. "Traanggg!" Pedang besar di tangan Perwira Brajanala laksana menghantam benda terbuat dari baja atos. Senjata itu patah dua begitu membentur batok kepala Ki Suro Gusti Bendoro. Kepala si kakek sedikitpun tidak bergeming bahkan rambutnya yang putih tidak ada yang putus barang sehelaipun! Di atas kuda coklat Brajanala terhuyunghuyung. Tak terasa obor besar di tangan kirinya jatuh ke tanah. Minyak yang tumpah segera disambar nyala api. Kebakaran besar di tempat yang kering gersang dan panas itu akan segera terjadi kalau kakek berjubah putih tidak lekas melakukan sesuatu. Sekali dia meniup, padamlah kobaran api. Untuk sesaat Brajanala masih memegang gagang pedang namun kemudian senjata yang telah patah itu terpaksa dilepaskannya karena tangannya terasa panas dan pedas. Ketika diperhatikannya, terkejutlah Perwira

Demak ini karena telapak tangannya ternyata telah terkelupas melepuh! Perlahan-lahan Ki Suro Gusti Bendoro angkat kepalanya. Sesaat dia menatap sang Perwira yang memandang padanya dengan mata membeliak dan rahang menggembung. Ki Suro tersenyum dan berkata dengan suara lembut. "Tuhan tidak mengizinkan sampeyan membunuhku. Ajalku tidak berada di tangan sampeyan. Ini satu bukti bahwa ajal manusia tidak berada di tangan manusia lainnya kecuali dengan kehendakNya. Perwira Brajanala, semoga Gusti Allah mengampuni kesalahan sampeyan...." Muka hitam Perwira Kerajaan itu kelam membesi. Dua tangannya terkepal, matanya mendelik tak berkesip dan gerahamnya bergemeletakan. "Ilmu kebalmu sungguh mengagumkan Ki Suro Gusti Bendoro!" Tiba-tiba Ki Dalem Sleman membuka mulut. "Aku mau lihat, apakah kesaktianmu bisa menahan Tombak Kiai Sepuh Plered milikku ini!" Begitu selesai berucap Ki Dalem, Sleman langsung tusukkan tombak besi yang ujungnya ada bendera kecil kuning berbentuk segitiga ke leher Ki Suro Gusti Bendoro. "Desss!" Tombak besi tembus sampai ke tengkuk si kakek. Darah menyembur lalu membasahi leher, dada dan jubah putih yang dikenakannya. Ratusan ular mendesis keras dan tegakkan kepala. Namun seperti tadi tak ada bergerak. Ki Dalem Sleman tertawa bergelak. "Ki Suro! Ternyata ilmu kebalmu tidak sanggup menghadapi tombak saktiku! Ha... ha... ha! Kau harus berterima kasih padaku karena telah menolongmu menemui kematian lebih cepat!" Sepasang mata Ki Suro Gusti Bendoro menatap tak berkesip ke arah kakek berjubah kuning. Tidak ada

bayangan rasa sakit di wajah orang tua ini. Hal ini mungkin tidak terperhatikan oleh Ki Dalem Sleman. Puas tertawa dia lalu cabut tombak Kiai Sepuh Plered dari leher Ki Suro. Baik Ki Dalem Sleman maupun Perwira Brajanala mengira begitu tombak dicabut, Ki Suro akan segera roboh ke tanah walau tangan kanannya masih bersitopang pada tongkat bambu kuning. Tapi bukan saja sosok kakek itu tetap tegak tak bergerak di tempatnya. Malah terjadilah satu hal luar biasa. Darah yang mengucur dari luka tembusan tombak sakti di leher Ki Suro, yang meleleh membasahi leher, dada serta jubahnya bergerak surut, naik ke atas, masuk kembali ke dalam lobang luka. Lalu luka itu menutup dengan sendirinya. Tak ada cacat atau bekas yang tertinggal. Sedang noda darah di jubah si kakek lenyap sama sekali. Jubah itu kembali putih bersih seperti sebelumnya! Selain itu noda darah yang membasahi tombak dan bendera kuning juga ikut sirna tanpa bekas! Dinginlah tengkuk Ki Dalem Sleman dan Brajanala. "Sahabatku Ki Dalem Sleman...." Ki Suro Gusti Bendoro berkata sambil mengulas senyum. "Ternyata Tuhan juga tidak mengizinkan sampeyan membunuhku...." Dua orang di atas kuda putus sudah nyali mereka. Keduanya sentakkan tali kekang kuda masing-masing lalu menghambur lenyap ke arah lereng timur Gunung Mahameru. Ki Suro Gusti Bendoro hela nafas dalam lalu berucap. "Ya Tuhan, ampuni dosa dan kesalahan ke dua orang itu. Sesungguhnya mereka tidak tahu apa yang mereka telah perbuat." Ki Suro Gusti Bendoro berpaling ke belakang. Ratusan ular tegakkan kepala. Orang tua ini tersenyum yang dibalas oleh desisan halus oleh ratusan ular. Begitu Ki Suro memutar tubuh dan melanjutkan perjalanan menuju puncak gunung, binatang-binatang itu segera pula

mengikuti. Sosok-sosok mereka yang menjalar di tanah menimbulkan suara bergemuruh. Semakin tinggi ke atas semakin terik sinar sang surya seolah membakar puncak Mahameru. Ki Suro terus melangkah. Ular-ular terus pula mengikutinya. Di satu tempat di mana terdapat dua batu besar membentuk celah kakek ini hentikan langkahnya. Ratusan ular ikut berherti. Kembali binatang ini tegakkan kepala. Telinga si kakek menangkap satu suara. Telapak kakinya terasa bergetar. Ada langkah-langkah berat di balik dua batu besar di depannya. Tiba-tiba menggelegar satu auman dahsyat. Tanah dan batu-batu besar di tempat itu bergetar. Sesaat kemudian muncullah kepala seekor harimau besar. Matanya yang hijau menyorot tajam membersitkan hawa pembunuhan. Mulutnya menguak lebar memperlihatkan barisan gigi-gigi besar dan taring-taring runcing serta lidah merah haus darah. Sepasang kaki depan bergeser merendah. Kepala perlahan-lahan dirundukkan. Pertanda raja rimba belantara penguasa puncak Mahameru ini siap menerkam. Di sebelah belakang ratusan ular mendesis keras. Sebaliknya kakek yang hendak dijadikan mangsa harimau gunung itu tetap berdiri tenang. Malah diwajahnya menyeruak senyum. Tongkat bambunya dimelintangkan di dada. Lalu orang tua ini membungkuk sedikit. Dari mulutnya keluar ucapan. "Kita sesama makhluk hidup ciptaan Tuhan. Tidak sepantasnya memiliki hati dan rasa ingin menguasai. Apa lagi berniat jahat hendak menumpahkan darah melakukan pembunuhan. Aku berjalan di jalanku, tidak mengusik tidak mengganggu. Engkau berjalan di jalanmu tidak mengusik tidak mengganggu. Persahabatan adalah sesuatu yang agung. Tetapi terkadang makhluk melupakannya karena dorongan yang datang dari dalam diri sendiri serta tekanan

yang datang dari luar. Aku ingin bersahabat tetapi jika nasib menakdirkan bahwa kematianku ada di tanganmu, aku akan merelakan selembar nyawaku. Lima puluh tahun aku menunggu kematian yang tak kunjung datang. Agaknya saat ini kau muncul tepat pada waktunya. Dengan kehendak Yang Maha Kuasa apa yang akan terjadi, terjadilah...." Kakek itu lalu duduk bersila di tanah. Tongkatnya diletakkan di atas pangkuan. Dua tangannya ditumpahkan di ujung lutut. "Harimau raja rimba belantara. Jika kau datang membawa takdir bagi akhir nasibku aku ikhlas menerima karena aku memang sudah menunggu. Lakukanlah apa yang hendak kau lakukan...." Dengan senyum masih membayang di wajah orang tua itu menatap pada harimau gunung di depannya. Di sebelah belakang, ratusan ular yang telah rnengangkat kepala siap melesat menyerang harirnau besar. Tapi orang tua berjubah putih angkat tangan kanannya dan berkata lembut. "Sahabatku, kalau takdir datang tidak ada satu kekuatanpun bisa menghalang. Tetaplah berada di tempat kalian. Kematian bagian setiap makhluk hidup. Tubuh tua dan lapuk ini sudah sejak lama mendambakannya...." Ratusan ular keluarkan suara mendesis namun sikap mereka tidak segalak tadi lagi. Satu persatu tundukkan kepala, menatap tak berkesip ke depan. Harimau besar tiba-tiba mengaum lalu melompat ke atas batu besar. Dari atas batu besar inilah binatang itu menyergap si kakek, langsung mengarah kepala. Namun masih dua jengkal sebelum mencapai sasarannya, dari tubuh orang itu keluar satu hawa mengandung kekuatan dahsyat. Harimau besar terpental ke udara. Meraung keras. Jatuh terbanting dan terguling-guling. Si orang tua kelihatan terkejut melihat apa yang terjadi.

Wajahnya kemudian berubah seperti menyesali diri. "Harimau besar pembawa takdir. Aku tidak bermaksud mencelakai dirimu. Aku lupa kalau dalam diriku masih tersimpan sisa-sisa kekuatan tak berguna di masa muda. Lakukanlah kembali. Serang diriku. Terkam. Aku menginginkan kematian sebagaimana kau menginginkan tubuhku...." Harimau gunung bangkit berdiri. Sepasang matanya berkilat-kilat. Didahului gerengan keras binatang ini kembali menyerang mangsanya. Kali ini mulutnya langsung menerkam kepala si kakek. "Kraaakk... kraakkk.... kraakkk!" Harimau besar itu seperti menggigit batu besar. Hunjaman giginya yang besar-besar serta taringnya yang runcing-runcing jangankan melukai, menggores kepala orang tua itupun tidak sanggup. Dua kaki depannya menyambar ke depan. "Breettt... breettt!" Jubah putih Ki Suro Gusti Bendoro robek besar di dua tempat di bagian dada. Namun kulit tubuhnya tidak tergores barang sedikitpun. Harimau gunung bermata hijau itu mengaum keras. Kibaskan ekornya lalu melompat lagi ke batu besar sebelah kiri. Dari sini binatang ini melompat lagi ke batu lain di sebelah sana lalu menghambur pergi melenyapkan diri. Untuk beberapa lamanya Ki Suro Gusti Bendoro masih duduk bersila di tanah. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri, berpaling ke belakang menatap ratusan ular yang masih ada di tempat itu. Sambil melintangkan tongkat bambu kuningnya di depan dada orang tua ini berkata. "Para sahabatku, kiranya cukup sampai di sini kalian mengantarku. Bagaimanapun setiap perjalanan ada akhirnya. Kehidupan di dunia ini ada batasnya. Seratus lima puluh tahun aku menjalani kehidupan. Lima puluh

tahun aku menunggu. Akhirnya saat penantian tiba juga. Aku telah mendapat firasat melalui mimpi tiga kali berturutturut. Aku akan segera meninggalkan dunia fana ini. Walau aku manusia dan kalian binatang tapi karena kita samasama makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa Maha Pengasih aku yakin satu saat di alam baka kita akan berjumpa lagi dalam ujud yang tidak kita ketahui. Selamat tinggal sahabat-sahabatku...." Ratusan ular memenuhi jalan setapak itu keluarkan suara mendesis halus seolah sedih dan serentak rundukkan kepala, melata sama rata dengan tanah seolah memberi penghormatan terakhir. Mata mereka yang biasanya tajam tak berkesip kini tampak redup lalu teteskan air mata! Kakek berjubah putih tundukkan kepala dan bungkukkan badannya dua kali berturut-turut lalu dengan menindih rasa berat di dalam hatinya dia memutar tubuh. Sekali berkelebat dia telah berada beberapa tombak di atas sana. Ratusan ular baru bergerak pergi setelah si orang tua tak kelihatan lagi. ***

ARIO BLEDEK

PETIR DI MAHAMERU TUJUH PETIR DARI LANGIT

ANPA menghiraukan teriknya sengatan sinar, matahari yang seolah mau melelehkan batok kepalanya Ki Suro Gusti Bendoro melangkah cepat menuju puncak Mahameru. Sesekali tongkat bambu kuningnya dipukulkan ke batu-batu yang dilewatinya hingga mengeluarkan suara bergetar keras. Di satu tempat orang tua yang memiliki kesaktian tinggi ini dan melakukan perjalanan dalam mencari akhir kehidupannya hentikan langkah. Memandang berkeliling matanya membentur sebuah batu besar yang salah satu sisinya ada sebuah lobang sebesar kepalan tangan. Dada si kakek berdebar. "Batu permata..." katanya dalam hati. "Tepat seperti yang aku lihat dalam mimpi." Dia menatap ke langit lalu membungkuk. Selesai membungkuk laksana terbang dia melesat dan sesaat kemudian telah duduk bersila di atas batu, sengaja menghadap ke arah matahari tenggelam. Sejak pagi sang surya telah membakar batu itu dengan sinarnya yang sangat terik. Batu besar yang diduduki si kakek tidak beda dengan bara menyala. Tapi orang tua ini duduk bersila dengan tenang, seolah duduk di satu tempat yang sejuk dan nyaman. Kepalanya didongakkan ke atas langit. Tongkat bambu kuning diletakkan di atas pangkuan sedang dua tangan ditumpahkan di atas lipatan lutut. Setelah berdiam diri sesaat orang tua ini pejamkan dua

matanya lalu dengan suara perlahan dan bergetar dia berkata. "Ya Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Mengetahui. PentunjukMu sudah hamba terima. Batu permata telah hamba temui. Mohon kiranya masa penantian selama lima puluh tahun menjadi kenyataan. KehendakMu terjadilah. Hamba Ki Suro Gusti Bendoro sudah siap Ya Tuhan untuk datang menghadapMu dengan segala kerendahan. Petir pertama datanglah padaku, sampaikan kehendak Yang Kuasa, aku siap menerima deramu!" Di tempat yang tadinya sunyi senyap itu, disekitar batu besar tiba-tiba bertiup angin aneh yang mengeluarkan suara seperti puluhan puput ditiup secara bersamaan. Pada saat suara itu lenyap tiba-tiba di langit sebelah utara berkiblat satu sinar terang menyilaukan. Bersamaan dengan itu terdengar suara menggelegar seolah hendak meruntuh langit mengoyak bumi. Kiblatan sinar terang menghunjam ke bumi, menghantam ke arah batu besar di mana orang tua berjubah putih duduk bersila. Batu besar hancur terbelah hangus. Orang tua yang duduk di atasnya mencelat sampai lima tombak. Dari mulutnya keluar jeritan setinggi langit. Ketika tubuhnya melayang jatuh dan terkapar di tanah gunung, tangan kanannya sebatas bahu tak ada lagi di tempatnya. Petir yang menghantam dari langit membabat putus dan hangus tangan itu. Potongan tangan terlempar ke udara lalu jatuh dekat sebuah batu, perlahan-lahan berubah bentuk, leleh menjadi seonggok bubuk pasir berwarna hitam dan mengepulkan asap panas! Sosok orang tua itu terkapar di tanah tak bergerak. Jubah putihnya hangus. Mungkin nyawanya sudah putus. Ternyata tidak. Perlahan-lahan tubuh, itu bergerak bangkit. Tangan kirinya masih memegang tongkat bambu. Sesaat

dia duduk bersimpuh di tanah lalu berkata. "Ya Tuhan, dera petir pertama telah hamba terima. Beri petunjuk agar hamba segera mendapatkan petir ke dua dan selanjutnya sampai ke tujuh." Ki Suro Gusti Bendoro sekilas melirik ke arah kutungan tangan kanannya yang telah berubah menjadi pasir besi hitam dan panas. Dengan pertolongan tongkat yang dipegang di tangan kiri orang tua berjubah putih itu melangkah meneruskan perjalanan. Sikapnya masih tetap gagah. Dia terus mendaki menuju puncak gunung. Tangan kanannya yang buntung disambar petir dan sakit luar biasa seolah tidak dirasakanrtya. Di satu tempat kembali kakek ini hentikan langkah ketika matanya melihat batu besar bertanda dua buah lobang sebesar kepalan. "Batu ke dua, tanda ke dua..." membatin orang tua berusia 150 tahun ini. Dia cucukkan tongkat bambu di tangan kirinya ke sebuah batu. Batu berlubang ditembus tongkat. Si kakek sendiri kemudian melesat ke udara dan turun di atas batu bertanda dua buah lobang sebesar kepalan. Seperti tadi orang tua ini duduk bersila di atas batu besar yang amat panas itu. Karena tangan kanannya sudah buntung, kini hanya tangan kirinya yang diletakkan di atas lipatan lutut. Sambil mendongak ke langit, orang tua ini berucap. "Petir ke dua, aku Ki Suro Gusti Bendoro siap menerima deramu. Datanglah padaku, sampaikan kehendak Yang Kuasa!" Baru saja kalimat itu selesai diucapkan, muncul suara angin menyerupai bunyi puput. Untuk ke dua kalinya kemudian dari langit melesat sinar putih menyilaukan menyambar ke bawah disertai gelegar yang menggetarkan puncak Gunung Mahameru. Batu yang diduduki Ki Suro Gusti Bendoro pecah hangus

berkeping-keping. Sosok si kakek mencelat tinggi ke udara dibarengi jeritannya yang keras luar biasa. Sosoknya kemudian terbanting jatuh di celah antara dua buah batu hitam. Dari mulutnya keluar suara mengerang. Darah mengucur dari telinga dan hidungnya. Dua kakinya melejang beberapa kali. Saat itu ternyata dia tidak lagi memiliki tangan kiri. Seperti tangan kanan, tangan kirinya juga telah buntung hangus dihantam petir yang menyambar dahsyat dari langit! Lalu keanehan terulang kembali. Potongan tangan kiri Ki Suro Gusti Bendoro yang tercampak di tanah perlahanlahan berubah menjadi setumpuk debu kasar menyerupai pasir besi berwarna hitam dan mengepulkan asap. Di sela batu, tubuh Ki Suro berguling ke kiri. Dua kakinya menggapai-gapai. Dengan bersandar ke salah satu batu di dekatnya dia berusaha bangkit. Tongkat bambu kuningnya masih menancap di atas batu hitam. Dia melesat ke atas batu. Dengan mulutnya dia menyambar tongkat bambu itu. Lalu dengan langkah terhuyung-huyung dia kembali mendaki menuju puncak gunung. Sekali ini dia bergerak tidak semudah sebelumnya. Sesekali dia hentikan langkah, menarik nafas panjang dan menatap ke langit. Di satu pendakian kakinya tersandung. Tubuhnya tersungkur di hadapan sebuah batu. Ketika dia memandang ke depan dia melihat tiga buah lubang pada batu itu. "Batu ke tiga..." membatin Ki Suro. Sepasang matanya membesar. Dia segera kerahkan tenaga dalam ke bawah lalu menjejakkan kaki. Kemudian tubuhnya melayang dan tegak di atas batu. Sesaat dia tegak tergontai-gontai. Lalu perlahan-lahan dia dudukkan diri bersila. "Petir ke tiga. Datanglah. Aku Ki Suro Gusti Bendoro siap menerima deramu!" Angin bertiup menimbulkan suara seperti puput. Di

langit menggelegar suara petir. Cahaya menyilaukan menyambar panas dan ganas untuk ke tiga kalinya. Kali ini kaki kanan si kakek amblas putus sebatas pangkal paha, mencelat bersama hancuran batu. Lalu seperti yang kejadian dengan dua tangannya, kutungan paha yang gosong hangus ini berubah menjadi pasir besi berwarna hitam. Sosok Ki Suro Gusti Bendoro sendiri saat itu setengah terpendam di tanah. Orang lain dalam keadaan buntung tiga anggota tangannya disambar petir pasti sudah menemui ajal. Namun kakek satu ini sungguh luar biasa. Beringsut-ingsut dia mampu keluar dari pendaman tanah. Lalu dengan hanya mempergunakan satu kaki dia melompat berjingkat-jingkat menuju ke bagian gunung sebelah atas. Setiap jatuh dia berusaha bangkit lalu melompat lagi. Di satu tempat orang tua ini seperti kehabisan nafas dan sandarkan dirinya pada satu batu berbentuk pilar. Tenggorokannya seperti tercekik. Sekujur tubuhnya terutama yang putus dihantam petir sakit dan panas bukan main. Darah makin banyak mengalir dari hidung serta telinganya, malah kini juga dari mulut. Tongkat bambu kuning yang masih digigit dimulutnya kini tampak ikut basah oleh noda darah. "Masih empat petir..." membatin Ki Suro. Dia memandang berkeliling, mencari-cari. Akhirnya dia melihat empat lubang di sebuah batu berbentuk pilar enam langkah di sebelah depan sana. Dengan berjingkrakjingkrak dia dekati batu setinggi tiga tombak itu. Ki Suro atur jalan nafas. Kerahkan tenaga dalam ke kaki kiri lalu begitu dia hentakkan kaki itu ke tanah tubuhnya melesat ke udara dan seperti seekor burung bangau dia hinggap di ujung batu berbentuk pilar! "Petir ke empat! Datanglah! Aku Ki Suro Gusti Bendoro siap menunggu!" Si kakek berteriak tapi suara teriakannya

tidak sekeras sebelumnya. Apa lagi mulutnya kini dipenuhi darah dan setengah tersumbat oleh tongkat bambu yang digigitnya. Suara angin menyerupai lengkingan tiupan puput menggema di seputar pilar batu. Lalu. "Blaaarrr!" Di angkasa melesat sinar terang, menghunjam ke puncak Gunung Mahameru disertai gelegar yang membuat nyawa serasa terbang. Sebelum petir ke empat menghantam kaki kirinya, Ki Suro menyembur ke depan. Tongkat bambu kuning melesat ke udara lalu menancap di sebuah batu. Dari mulut Ki Suro sendiri kemudian keluar jeritan setinggi langit serta semburan darah. Tubuhnya terlempar jauh lalu jatuh terbanting di atas batu rata. Saat itu keadaannya sungguh mengerikan karena kaki kirinya telah putus dan hangus dibabat hantaman petir. Kutungan kaki ini seperti anggota tubuh terdahulu berubah menjadi bubuk pasir berwarna hitam mengepul. Untuk beberapa lamanya tubuh tanpa anggota badan itu terkapar tak bergerak. Lalu ada erangan halus. Kepala yang berselemotan darah bergerak ke kiri. Sepasang mata bergerak-gerak. "Batu ke lima.... Di mana batu kelima...." Dalam menanggung sakit yang amat sangat Ki Suro Gusti Bendoro mencari-cari. Rasa takut muncul. Tanpa tangan dan kaki bagaimana mungkin dia mencari batu ke lima. Dia tidak tahu kalau batu di mana dia terkapar saat itu justru adalah batu kelima karena di salah satu sudut yang tidak terlihat oleh mata si kakek ada lima buah lubang sebesar kepalan. "Batu kelima.... Aku harus menemukan batu ke lima! Tuhan tolong hambaMu ini! Beri petunjuk...." Di bawah sinar terik matahari tanpa didahului lagi oleh suara angin menyerupai tiupan puput, untuk ke lima kalinya di langit berkiblat cahaya putih menyilaukan mata.

Gelegar dahsyat lagi-lagi mengguncang Gunung Mahameru. "Blaaarrr! Craaasss!" Tubuh Ki Suro Gusti Bendoro putus tepat di bagian pusar. Jeritan orang tua ini lebih menyerupai raungan binatang. Sisa tubuhnya dari pinggang ke atas hangus menghitam sementara bagian bawah yang terputus begitu terbanting ke tanah serta merta berubah menjadi bubuk hitam! Sepasang mata Ki Suro membeliak. Bagian hitamnya seolah lenyap dan hanya bagian putihnya saja yang terlihat. Namun sulit dipercaya, dalam keadaan tubuh terkutung-kutung seperti itu orang tua ini masih belum menemui ajal. Kepalanya, walau sangat lemah masih bisa digerakkan ke kiri dan ke kanan. "Ya Tuhan, beri hambamu ini kekuatan mendapatkan batu ke enam dan ke tujuh...." Tak dapat dipastikan dari mana keluarnya suara itu. Entah dari mulut atau liang perut si kakek. Saat itu tubuhnya terjepit antara celah dua kepingan batu besar bekas hancuran batu datar di mana sebelumnya dia jatuh terkapar. Ternyata pada masingmasing belahan batu terdapat lubang-lubang sebesar kepalan. Pada belahan sebelah kanan berjumlah enam lubang sedang pada batu sebelah kiri ada tujuh lubang. "Petir ke enam, petir ke tujuh! Datanglah! Datanglah berbarengan! Aku ingin masa penantian lima puluh tahun ini segera berakhir! Aku ingin roh ini segera melayang ke alam baka! Petir ke enam! Petir ke tujuh! Aku siap menerima deramu!" Bagi orang yang berada di tempat itu dan mendengar suara Ki Suro Gusti Bendoro maka yang terdengar hanyalah suara bergumam menggidikkan. Dan di puncak semua kengerian itu dari atas langit, satu cahaya terang diikuti cahaya ke dua menyambar dahsyat. Puncak Gunung Mahameru laksana mau runtuh.

"Blaaar!" "Blaaarr!" Untuk ke sekian kalinya tubuh Ki Suro amblas putus. Kali ini di bagian dada, dihantam petir ke enam. Lalu petir ke tujuh menyudahi segala-galanya. Kepala orang tua itu hangus mengerikan. Setelah itu semua potongan tubuh dan kepala berubah menjadi gundukan pasir hitam yang mengepulkan asap panas! Keanehan tidak terhenti sampai di situ. Onggokanonggokan pasir besi hitam dan panas yang bertebaran di beberapa tempat dan berasal dari potongan-potongan tubuh Ki Suro Gusti Bendoro berubah menjadi cairan hitam lalu bergerak meluncur di tanah seolah binatang melata, menuju ke satu tempat. Begitu saling bertemu mendadak udara yang tadi terang benderang kini menjadi redup. Di langit gumpalan-gumpalan awan hitam berarak cepat menutupi puncak Gunung Mahameru. Lalu gelegar guntur mengumandang beberapa kali. Udara menjadi gelap sesaat namun tidak ada hujan yang turun. Ketika tak selang berapa lama gumpalan-gumpalan awan hitam lenyap dan keadaan kembali terang, di tanah tempat bersatunya cairan aneh yang berasal dari sosok tubuhtubuh Ki Suro Gusti Bendoro kini tergeletak sebilah keris tanpa sarung. Keris aneh ini berwarna hitam kebiru-biruan, memiliki luk sebanyak tujuh buah. Pada dua sisinya ada tujuh jalur memanjang berwarna kuning emas berkilauan. Keris aneh ini bergagang terbuat dari besi, berbentuk menyerupai angka 7, berkilau-kilau terkena sinar matahari. Sungguh aneh. Bagaimana hal seperti ini bisa terjadi kalau bukan dengan kehendak dan kuasaNya Tuhan Seru Sekalian Alam? ***

ARIO BLEDEK

PETIR DI MAHAMERU EMPU BONDAN CIPTANING

EBELUM menuturkan apa yang terjadi selanjutnya dengan jazad Ki Suro Gusti Bendoro yang telah berubah menjadi keris itu kita kembali dulu pada satu rangkaian peristiwa yang berlangsung beberapa waktu sebelumnya. Di tepi telaga berair jernih, sejuk dan sunyi itu Empu Bondan Ciptaning duduk bersila tengah melaksanakan samadi penuh khusuk. Sampai dengan pagi itu telah tiga malam empat hari dia melakukan samadi. Agaknya dia tidak akan berhenti sebelum maksud tujuannya tercapai. Beberapa malam yang lalu orang tua ini bermimpi bahwa dia bakal kedatangan seorang tamu sangat penting. Tamu itu akan mengunjunginya di tepi telaga tersebut. Jadi itulah sebanya Empu Bondan tidak beranjak dari telaga, melakukan samadi sambil menunggu kedatangan orang. Empu yang terkenal memiliki keahlian membuat berbagai macam senjata ini, terutama keris konon mampu membuat sebilah keris tanpa menempanya, tapi dengan mengandalkan jari-jari tangannya yang akan dijadikan senjata menjadi besi tempaan dan membakar besi yang akan dijadikan senjata mustika. Tidak mengherankan banyak sekali orang yang ingin minta dibuatkan berbagai macam senjata sakti pada sang Empu. Mulai dari prajurit sampai raja, mulai dari orang baik-baik sampai para penjahat. Namun tidak mudah untuk bisa mencari dan

bertemu dengan Empu Bondan Ciptaning. Menjelang tengah hari seorang kakek berjubah putih bertongkat bambu kuning muncul di tepi telaga. Dari debu yang melekat di pakaiannya jelaslah dia baru saja melakukan perjalanan jauh. Orang tua ini mengusap wajahnya lalu tersenyum. Walau tubuhnya terasa letih namun hatinya gembira karena orang yang dicarinya sejak dua purnama lalu akhimya ditemuinya juga. Melihat sang Empu tengah khusuk bersamadi, sambil menunggu orang tua berjubah putih memutuskan untuk melakukan sholat Zuhur terlebih dulu. Maka dia mengambil air wudhu di telaga lalu mencari tempat yang bersih untuk sembahyang. Selesai sembahyang kakek ini berzikir. Dia baru menghentikan zikirnya ketika melihat dua mata Empu Bondan Ciptaning perlahan-lahan terbuka, menatap ke arahnya. Dua pasang mata saling bertemu pandang. Dua wajah sama-sama menyeruakkan senyum. "Saudaraku Kiai Suro Gusti Bendoro!" berucap Empu Bondan Ciptaning. "Rupanya dirimulah yang kulihat dalam bayangan samadiku. Sungguh aku tidak menyangka. Aku merasa berbahagia dapat bertemu dengan dirimu. Orang tua ini lalu bangkit berdiri, menghampiri kakek berjubah putih. Keduanya lalu saling berpeluk-pelukan lama sekali, melepaskan kerinduan karena paling tidak selama dua lima tahun mereka tidak pernah bertemu. "Saudaraku Empu Bondan Ciptaning, aku tak kalah gembira bertemu dengan dirimu. Sudah berapa tahun senjata yang sampeyan ciptakan selama dua puluh lima tahun kita tak pernah bertemu?" Empu Bondan Ciptaning tertawa lebar. Ke dua orang tua itu lalu mencari tempat yang enak untuk duduk berhadaphadapan di tepi telaga. "Belakangan ini aku jadi malas. Sudah jarang sekali aku membuat senjata. Apa lagi yang namanya keris...."

"Mengapa begitu sahabatku? Mengapa sampeyan jadi malas" bertanya Ki Suro Gusti Bendoro. "Kupikir-pikir, buat apa aku membuat keris, menciptakan berbagai senjata sakti kalau pada akhirnya hanya dipergunakan untuk menumpahkan darah. Dipakai untuk saling membunuh...." "Sampeyan sebagai pembuat tidak salah, senjatasenjata itu juga tidak salah. Yang salah justru orang-orang yang mempergunakannya secara keliru..." kata Ki Suro Gusti Bendoro pula. "Mungkin begitu, saudaraku. Namun paling tidak aku merasa ikut bertanggung jawab. Kalau tidak kubuat senjata itu, tidak akan ada yang mati terbunuh. Karenanya aku putuskan untuk tidak membuat keris atau apapun lagi!" "Lalu apa kerja sampeyan? Hanya bersunyi diri di tepi telaga sejuk ini?" "Aku sengaja memilih tempat ini sejak sepuluh tahun silam. Karena suasana di dunia luar sangat merisaukan diriku. Kerajaan selalu dilanda kekacauan. Aku mendapat firasat ditahun-tahun mendatang kekacauan akan tambah menjadi-jadi. Aku tak ingin campur tangan. Aku juga tahu ada orang-orang Kerajaan yang diutus untuk mencariku. Jangan-jangan kau adalah salah seorang dari mereka. Bukankah kau salah seorang kepercayaan Sultan Demak?" "Sampeyan dan aku sama. Sudah sejak lama aku mengundurkan diri dari kehidupan Kerajaan. Jadi sampeyan tidak usah merisaukan siapa diriku. Aku adalah sahabatmu, saudaramu...." "Aku bahagia mendengar ucapanmu itu, Ki Suro. Hatiku benar-benar terasa sejuk. Apa lagi kalau aku ingat aku seorang Hindu, kau seorang Muslim...." Ki Suro Gusti Bendoro tersenyum dan pegang bahu sahabatnya itu. "Walau kita berlainan kepercayaan, tapi

perbedaan agama tidak bisa memutuskan tali persahabatan dan tali persaudaraan. Itulah keagungan Yang Maha Kuasa...." Empu Bondan Ciptaning tersenyum dan anggukanggukkan kepalanya. "Sekarang ceritakan padaku, gerangan apa yang membuatmu mencariku. Sampaisampai bayanganmu muncul dalam samadiku. Aku merasa ada sesuatu yang penting...." "Sangat penting," sahut Ki Suro Gusti Bendoro pula. "Ada sesuatu yang harus aku serahkan padamu sebelum aku melakukan perjalanan menuju puncak Gunung Mahameru...." "Tunggu dulu..." kata Empu Bondan Ciptaning. "Kau menyebut niat hendak naik ke puncak Mahameru. Hal ini mengingatkan aku akan sesuatu. Apakah...?" Sang Empu tidak teruskan ucapannya. Wajahnya mendadak berubah redup tanpa ada kesedihan di lubuk hatinya. Ki Suro anggukkan kepala dengan perlahan. Wajahnya juga ikut larut dalam perasaan. "Lima puluh tahun aku menunggu. Aku sudah mendapat petunjuk dari Yang Maha Kuasa. Saatnya bakal datang tidak lama lagi. Itu sebabnya aku harus mempersiapkan diri dari sekarang...." "Kiai, saudaraku.... Apakah ini berarti kali terakhir kita bertemu?" Empu Bondan Ciptaning ulurkan tangannya memegangi lengan Ki Suro Gusti Bendoro. "Jangan bertanya seperti itu saudaraku..." jawab Ki Suro walau hatinya semakin ikut tenggelam dalam kesedihan. "Kita sama-sama tahu bahwa kehidupan di dunia ini hanyalah sementara saja. Merupakan satu persinggahan sebelum kita sampai ke hidupan yang abadi, yaitu alam akhirat, alam baka. Berpisah di dunia, dengan kehendak Yang Maha Kuasa kelak kita akan bertemu di alam akhirat" Empu Bondan Ciptaning akhirnya tersenyum luruh. "Saudaraku, belum pernah aku bertemu orang yang

mengadapi akhir hidupnya penuh senyum dan ketabahan...." "Ketabahan, bukankah itu dasar dari tawakal dan keimanan dalam agama kita...?" ujar Ki Suro pula. "Kau benar Kiai. Nah sekarang beritahu saudaramu ini. Gerangan apa yang hendak kau serahkan padaku?" "Sebuah kitab. Sebuah kitab yang usianya hampir dua kali usia kita berdua." jawab Ki Suro Gusti Bendoro pula. Lalu tangannya bergerak ke balik jubah putihnya. ***

ARIO BLEDEK

PETIR DI MAHAMERU KITAB HIKAYAT KERATON KUNO

ARI dalam jubah putihnya Ki Suro Gusti Bendoro keluarkan sebuah kitab terbuat dari daun lontar. Orang tua ini memegang kitab itu dengan sangat hati-hati. Karena selain daun lontarnya sudah sangat tua dan rapuh, agaknya kitab itu juga merupakan sebuah benda langka dan sangat berharga bahkan mungkin merupakan sebuah kitab sakti atau keramat. Ki Suro letakkan kitab tipis yang terdiri hanya dari beberapa halaman itu di atas pangkuan sahabatnya. Sesaat Empu Bondan Ciptaning pandangi kitab daun lontar di atas pangkuannya itu dengan air muka tidak percaya. Lalu dia menatap wajah sahabatnya. Walau kitab tersebut tidak memiliki sampul dan judul namun sang Empu sudah maklum kitab apa itu adanya karena dia telah pernah mendengar keberadaan buku ini sejak puluhan tahun silam. "Kiai Suro, apa tidak salah aku menduga. Bukankah kitab yang hendak kau berikan ini adalah Kitab Hikayat Keraton Kuno yang pernah dibicarakan orang sejak setengah abad silam?" ' "Tidak salah dugaanmu, saudaraku." kata Ki Suro pula. "Memang itu adalah kitab Hikayat Keraton Kuno yang banyak dibicarakan orang. Banyak yang ingin memilikinya walau menempuh jalan sulit. Bahkan dengan darah dan nyawa!"

"Dari mana kau mendapatkan kitab in! Kiai Suro? Bukankah seharusnya berada di Keraton Demak? Bukankah ini salah satu benda pusaka keraton?" Ki Suro Gusti Bendoro gelengkan kepala. "Begitu banyak orang yang menginginkan kitab ini. Termasuk para petinggi di beberapa Keraton. Hingga muncul semacam kepercayaan bahwa kitab ini adalah milik atau benda pusaka Keraton. Entah Keraton yang mana...." "Aneh, lalu bagaimana kitab ini sampai di tanganmu. Lalu mengapa pula hendak kau berikan padaku?" Kembali Empu Bondan Ciptaning bertanya. "Peristiwanya sekitar empat puluh tahun lalu," Ki Suro memulai keterangannya. "Saat itu aku berada di selatan pedataran pasir Tengger. Udara panas bukan main. Matahari seolah hanya satu jengkal di atas ubun-ubun. Bahkan hembusan anginpun laksana kobaran api membakar jagat. Dalam perjalanan itu aku membekal satu kantong kulit berisi sisa air yang mungkin cuma sebanyak dua atau tiga teguk. Walau haus aku tak mau meminumnya karena perjalananku masih jauh. Aku harus menemukan mata air dulu baru berani meneguk air dalam kantong kulit. Selain itu aku juga membekal sepotong ubi rebus. Aku juga tidak memakan ubi itu sebelum mendapat makanan pengganti. Pada saat aku berada dipuncak rasa lapar dan rasa haus yang luar biasa itulah di satu tempat ketinggian aku melihat seseorang duduk bersila di atas pasir. Kepalanya dilindungi sebuah caping lebar. Karena heran, lagi pula sudah sekian lama tidak berjumpa orang lain maka aku naik ke pedataran pasir itu menemui orang tadi. Maksudku ingin bertutur sapa barang sepatah dua patah. Orang ini ternyata seorang pengemis tua, berpakaian compang camping, penuh robek dan tambalan. Kulitnya

ditumbuhi koreng di mana-mana. Badannya mengeluarkan hawa busuk. Aku jadi tertegun dan tak tahu mau berbuat apa. Padahal sebelumnya ingin sekali aku berkenalan dan bertegur sapa. Pengemis tua itu sendiri tampaknya seolah tidak perduli akan kehadiranku di tempat itu. Dan sahabatku Empu Bondan Ciptaning. Tahukah sampeyan apa yang tengah dilakukan pengemis tua itu di atas pedataran pasir yang panas itu? Dia duduk khidmat tengah berzikir!" Empu Bondan Ciptaning kerutkan kening. "Luar biasa..." katanya sambil gelengkan kepala. "Karena aku tidak ingin mengganggu ibadahnya maka setelah membungkuk memberikan penghormatan aku berniat hendak meninggalkan tempat itu...." Ki Suro lanjutkan kisahnya. Namun tiba-tiba pengemis tua itu buka capingnya. Aku lihat wajahnya. Astagafirullah, pengemis itu ternyata memiliki sepasang mata putih semua. Dia buta. Dalam keadaan seperti itu si pengemis lalu sodorkan capingnya dalam keadaan terbalik ke arahku. Aku terperangah. Bagaimana mungkin, di pedataran pasir luas seperti itu, orang tua itu masih hendak mengemis minta sedekah. Apa lagi saat itu aku tidak membawa uang barang sekepingpun. Tetapi sepertinya tahu apa yang ada dalam benak dan hatiku, pengemis itu tiba-tiba berkata. "Insan berjubah. Aku tidak inginkan uangmu. Kalau kau membawa makanan itulah yang aku minta. Sudah dua hari aku di pedataran pasir ini. Tak sepotong makananpun pernah masuk ke dalam perutku." Hatiku hiba. Aku memang membawa sepotong kecil ubi rebus. Aku sendiripun tengah menahan lapar luar biasa. Tapi melihat keadaannya yang seperti itu, hatiku menjadi luluh tak tega. Ubi yang tinggal sepotong aku serahkan padanya. Dia tidak mengatakan apa-apa, langsung saja memakan habis ubi rebus itu tanpa mengupas kulitnya.

Setelah kulihat pengemis itu memakan habis ubi dan wajahnya tampak segar, kembali aku membungkuk dan hendak meninggalkannya. Namun seperti tadi dia ulurkan lagi caping bambunya lalu berkata. "Insan berjubah, ubi yang kau berikan sudah kumakan habis. Walau cuma sepotong kecil tapi masih ada gunanya sebagai penangsal perutku. Kau sungguh baik, hatimu sungguh mulia. Namun makan tanpa minum sungguh tidak sedap. Apa lagi aku haus sekali. Dua hari aku berada di pedataran pasir ini. Tidak setetes airpun pernah melewati tenggorokanku. Aku tahu kau ada membawa air. Kiranya kau mau memberikannya padaku." Aku terkejut mendengar ucapan pengemis tua itu. Matanya buta tapi aneh dia tahu aku membawa air. Bagaimana ini? Hendak kuberikan persediaanku sangat terbatas dan aku sendiri sudah dilanda haus yang sangat hebat. Kulitku sekering pedataran pasir Tengger. Namun lagi-lagi aku merasa tidak tega jika aku tidak memenuhi permintaannya. Aku mungkin saja masih bisa bertahan, pengemis itu mungkin tidak. Saat itu si pengemis telah mengulurkan capingnya kembali. Mau tak mau akhirnya kuberikan kantong kulit berisi air kepadanya. Kuletakkan di dalam caping yang ditengadahkannya itu. Aku berharap dia tidak akan menghabiskan semua air yang cuma sedikit itu. Pengemis tua itu mengambil kantong kulit yang ada dalam capingnya. Di luar dugaanku dia meneguk air dalam kantong sampai habis! Dalam keadaan kosong kantong dikembalikannya padaku. Aku membalik-balikkan kantong itu berulang kali, menekannya di sana-sini namun tidak setetes airpun yang masih tersisa. Selagi aku kebingungan kulihat pengemis tua itu malah tersenyum padaku. Lalu dia berucap. "Kau sungguh balk, hatimu sungguh mulia. Tuhan akan memberkahimu. " Setelah berkata begitu pengemis ini tiba-tiba ulurkan

lagi capingnya. Membuat aku terkejut. Apa lagi yang hendak dimintanya dariku, pikirku. Mungkin dia inginkan jubah putihku? Karena aku tidak memperhatikan ke arah caping, melainkan memandangi wajah si pengemis sambil menunggu apa yang akan diucapkannya, pengemis tua itu lalu acungkan capingnya sambil digoyang-goyang. Aku lalu memperhatikan ke arah caping yang dipegangnya. Mendadak aku jadi terkejut. Di dalam caping itu kulihat ada sebuah kitab terbuat dari daun lontar yang sudah rapuh. Pastilah kitab itu sangat tua sekali. Aku membungkuk sedikit, memperhatikan kitab itu. Si pengemis kembali menggoyangkan capingnya lalu berkata. "Ambillah. Kitab itu untukmu karena memang berjodoh dengan dirimu...." Aku tidak mengerti. Kembali si pengemis menyuruh aku mengambil kitab itu. Sampai tiga kali akhirnya kuulurkan tangan mengambil kitab itu. Begitu kitab berada dalam tanganku si pengemis berkata. "Menghadaplah ke kiblat dan mulailah membaca kitab itu." Walau hatiku merasa heran tapi entah mengapa aku mengikuti apa yang diucapkan si pengemis tua. Begitu aku menghadap ke arah yang dikatakan pengemis itu, saat itu juga aku merasakan satu keanehan. Serta merta aku tidak lagi merasa kepanasan, lapar ataupun haus. Sang surya yang tadinya serasa seperti hanya satu jengkal di atas kepala kini seperti berubah menjadi rembulan yang memancarkan cahaya indahnya di malam yang sejuk. Rasa lapar dan dahaga yang kuderita hebat mendadak lenyap dan tubuhku terasa segar bugar. Seolaholah aku ini baru saja selesai mandi di dalam satu telaga yang jernih dan berair sejuk. Penuh perasaan heran aku membalikkan badan ke arah si pengemis tadi. Tetapi, astagafirullah. Pengemis tua itu tak ada lagi di tempat tadi dia duduk! Aku mencari dan memandang seantero pedataran pasir. Orang itu tidak kelihatan. Aku berteriak

memanggil-manggil. "Ki sanak.... Ki sanak pengemis!" Suaraku lenyap ditelan udara kawasan pedataran pasir. Kemana lenyapnya pengemis aneh itu, pikirku. Lalu kuperhatikan pasir di sekitarku. Kalau dia memang sudah meninggalkan tempat itu pasti ada jejak-jejak kakinya di atas pasir. Tapi aku tidak melihat apa-apa! Kupejamkan ke dua mataku. Dalam hati dan pikiranku aku menduga. Jangan-jangan pengemis tua tadi adalah Malaikat. Tapi kemudian kusadari mana mungkin Malaikat akan menemui diriku yang rendah dan hina ini. Walau demikian aku langsung ingat pada Tuhan Yang Maha Kuasa. Yang mampu melakukan apa saja yang mustahil bagi kita manusia. Langsung saja aku menjatuhkan diri dan bersujud. Menyebut nama Tuhan berulang kali dan memohon petunjuk serta bimbinganNya. Lalu aku berdiri. Setelah memandang berkeliling akhirnya kutinggalkan tempat itu dengan mengepit erat kitab kuno itu. Aku tahu betul saat itu aku berada jauh di tengah-tengah Pedataran Pasir Tengger. Namun sungguh aneh, seolah ada yang membimbing, langkahku ringan dan cepat. Sebelum sang surya condong ke barat aku sudah sampai di satu jalan menurun menuju ke sebuah desa. Padahal jika tidak terjadi sesuatu keanehan atas diriku dengan pengemis tua itu, niscaya menjelang Magrib baru aku bisa sampai di tempat itu. Aku tidak segera memasuki desa itu tetapi mencari tempat yang enak di bawah kerindangan sebuah pohon dan duduk di situ. Dari balik jubah kukeluarkan kitab yang kuperoleh dari pengemis aneh itu. Namun belum sempat kitab kubuka, mendadak berkelebat satu bayangan. Tahutahu di hadapanku berdiri seorang nenek berwajah angker. Sekujur muka dan kulit ubuhnya berlapis sisik hitam kebiru-biruan. Ketika dia menyeringai kulihat deretan gigigiginya panjang dan merah. Waktu dia menjulurkan lidahnya, lidah itu juga berwarna merah, basah seperti

bergelimang darah. Selain itu lidah si nenek ternyata bercabang dua. Aku segera mengenali siapa adanya nenek ini. Dia adalah tokoh silat dari timur yang dijuluki Si Lidah Bangkai. Siapa saja yang sampai tersentuh lidah bercabangnya serta merta akan berubah menjadi bangkai alias menemui ajal!" Empu Bondan Ciptaning yang mendengar penuturan sahabatnya itu tampak terkejut. "Si Lidah Bangkai..." ujar sang Empu. "Nenek ular yang sepanjang hidupnya selalu gentayangan berbuat kejahatan dan keonaran. Kalau tidak salah kabar yang aku sirap, dia terlibat dalam pembantaian keluarga Pangeran Prawoto yang dilakukan oleh Ario Penangsang. Heran, usia sudah begitu lanjut, Malaikat Maut sudah siap untuk menjemput, mengapa masih maumaunya berbuat kejahatan menumpah darah menebar kematian...." Empu Bondan Ciptaning hela nafas panjang, menanti Ki Suro Gusti Bendoro melanjutkan penuturannya. ***

ARIO BLEDEK

PETIR DI MAHAMERU SI LIDAH BANGKAI

ENEK yang muka dan badannya bersisik hitam kebiru-biruan itu sesaat menatap dengan matanya yang besar berkilat ke arah Ki Suro Gusti Bendoro yang juga memandang kepadanya dengan air muka tenang walau dalam hati sudah merasa kurang enak. "Setiap muncul nenek satu ini selalu mendatangkan malapetaka. Bahala apa yang hendak diperbuatnya terhadapku," kata Ki Suro dalam hati. Perlahan-lahan nenek yang dijuluki Si Lidah Bangkai itu angkat kepalanya, mendongak ke langit. Dia julurkan lidah merah bercabangnya dua kali berturut-turut lalu tertawa melengking seperti suara kuda meringkik. Ki Suro yang belum pernah mendengar suara tawa seperti itu mau tak mau jadi tercekat. Namun orang tua ini tetap duduk dengan tenang, menatap penuh waspada ke arah si nenek. "Orang tua berjubah putih, apa benar kau orangnya yang bernama Ki Suro Gusti Bendoro? Yang konon menjadi kepercayaan Keraton Demak?" Tiba-tiba si nenek ajukan pertanyaan dengan suara lantang. Ki Suro tersenyum lalu menjawab. "Sampeyan benar. Aku memang Ki Suro Gusti Bendoro. Tapi aku sudah sejak lama tidak lagi punya sangkut paut dengan Keraton Demak. Saat ini aku tidak lebih dari seorang musafir yang tengah melakukan perjalanan pengembaraan...." Si Lidah Bangkai tatap lekat-lekat wajah Ki Suro lalu

seperti tadi kembali dia tertawa meringkik. Lidahnya yang besar merah dan bercabang menjulur-julur keluar. "Kalau orang sepentingmu tidak lagi berada di Keraton Demak, tentu ada apa-apanya! Apakah kau mau menerangkan?" Ki Suro gelengkan kepala. Sambil tersenyum dia berkata. "Tidak ada yang perlu kuterangkan. Sampeyan orang berkepandaian tinggi dan luas pengalaman tentu sudah tahu apa yang terjadi di Kesultanan Demak...." Si nenek tertawa panjang. "Ki Suro, kau pandai memuji. Tapi aku kurang percaya pada orang yang suka memuji. Karena apa yang dikatakan mungkin tidak sama dengan apa yang ada di dalam hatinya...." Walau disindir orang seperti itu, Ki Suro tetap tersenyum. Dengan suara tenang dia berucap. "Aku setuju dengan pendapat sampeyan. Dalam hidup ini kepercayaan adalah hal paling utama. Karenanya tidak salah kalau orang-orang tua kita membuat ujarujar yang berbunyi Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tidak percaya." Wajah bersisik si nenek yang berjuluk Si Lidah Bangkai itu tampak berubah ungu. Ini satu pertanda bahwa dia sedang dalam keadaan marah karena merasa tersinggung oleh ucapan Ki Suro tadi. Seperti diketahui nenek ini adalah momok nomor satu yang paling ditakuti sekaligus dibenci dikawasan timur. Orang-orang persilatan dari kalangan tertentu bukan saja tidak menyukainya tetapi juga tidak mempercayainya. Itu sebabnya dia merasa kena tempelak oleh ucapan Ki Suro tadi. Walau telinga dan hatinya terasa panas tapi dengan cepat dia kuasai diri. Mukanya yang tadi ungu perlahan kembali berubah menjadi hitam kebiruan. Malah kembali dia tertawa melengking-lengking. Lalu dia meludah ke tanah. Ludahnya kental dan berwarna merah seperti darah. Ludah itu jatuh

di tanah hanya satu langkah dari hadapan Ki Suro. "Hemmm.... Nenek ini mulai berbuat olah mencari perkara. Dia sengaja meludah untuk memancing kemarahanku. Aku harus waspada dan bersabar diri," kata Ki Suro Gusti Bendoro dalam hati. "Ki Suro, tapi kau berkata bahwa saat ini kau tak lebih sebagal seorang musafir yang tengah melakukan pengembaraan. Jika orang sepentingmu merelakan diri meninggalkan kehidupan senang di Keraton lalu melakukan perjalanan pengembaraan, pasti ada sesuatu yang tengah kau cari...." "Sampeyan sungguh tajam pandangan dan pikiran," kata Ki Suro lagi-lagi dengan tersenyum. "Bagiku kehidupan Keraton bukanlah satu kehidupan yang menyenangkan. Dimanapun aku berada tujuan hidupku bukanlah untuk mencari kesenangan. Aku mengembara untuk menghabiskan sisa hidup ini agar bisa lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, Tuhan Seru Sekalian Alam...." "Sungguh satu ucapan yang mencerminkan ketinggian budi dan kemuliaan jiwa!" memuji Si Lidah Bangkai tapi lalu tertawa panjang seolah mengejek. "Ki Suro, jika aku tidak salah menduga. Bukankah kaubarusan mengadakan perjalanan ke kawasan pedataran pasir Tengger?" "Sampeyan benar. Memang aku barusan dari sana..." jawab Ki Suro polos. "Kau menjawab dengan jujur. Tapi aku ingin tahu apakah kau juga akan memberikan jawaban jujur untuk pertanyaanku berikutnya.... Apa yang kau cari di gurun pasir Tengger?" "Pertanyaan sampeyan sebenarnya sudah terangkum dalam keteranganku sebelumnya. Aku ingin mendekatkan diri pada Illahi sebelum aku kembali menghadapNya." "Tapi tentunya kau tidak menemukan Illahi di gurun

pasir itu, bukan?!" ujar si nenek. Dia keluarkan suara tercekik lalu tertawa meringkik. "Kau boleh menghina diriku Lidah Bangkai! Tapi jangan sekali-kali berani mempermainkan Gusti Allah di hadapanku! Aku akan menyabung nyawa untuk hal yang satu itu!" Ki Suro Gusti Bendoro jadi marah besar karena merasa si nenek mempermainkan nama Tuhan. Si Lidah Bangkai cepat goyang-goyangkan tangan kanannya. "Sabar, seorang Kiai sepertimu harus sabar. Jangan terlalu cepat berprasangka buruk dan marah. Sekarang aku mau bertanya secara baik-baik. Siapa yang kau temui di gurun Tengger itu? Dan apa yang kau dapatkan di sana? Apakah kau mau menjawab?!" Ki Suro Gusti Bendoro merenung sejenak. Setelah dia bisa menenangkan darahnya yang tadi sempat bergejolak baru dia menjawab. "Nenek, walau aku merasa kau keliwat memaksa dan seperti tengah memeriksa aku sebagai seorang pesakitan, tapi aku akan menjawab pertanyaanmu dengan jujur," kata Ki Suro Gusti Bendoro pula. "Di gurun pasir Tengger, aku secara kebetulan bertemu dengan seorang pengemis bermata buta. Aku tidak tahu siapa namanya atau apakah dia mempunyai semacam gelar dan julukan. Dia menyerahkan kitab tua terbuat dari daun lontar ini padaku." Ki Suro Gusti Bendoro lalu perlihatkan kitab daun lontar yang ada di tangan kanannya, lalu meletakkan kitab itu di atas pangkuannya. Sepasang mata si nenek membesar, menatap tajam pada kitab yang ada di tangan kanan Ki Suro. "Kau memang manusia paling jujur dan polos di atas bumi ini. Karenanya tidak salah kalau aku juga ingin polos dan terus-terang...." "Apa maksud sampeyan dengan ucapan itu?" bertanya Ki Suro.

"Aku ingin agar kau menyerahkan kitab itu padaku!" kata Si Lidah Bangkai sambil acungkan telunjuk tangan kanan, menunjuk tepat-tepat ke arah kitab yang ada di atas pangkuan Ki Suro. Lalu dia mendongak ke langit, kemudian tertawa seperti kuda meringkik. Lidahnya yang basah merah dan bercabang kembali menjulur-julur. "Hemm... tak salah dugaanku. Nenek satu ini memang sengaja muncul untuk mencari perkara," membatin Ki Suro. Karena memang sudah menduga kemunculan si nenek memang tidak bermaksud baik maka Ki Suro tidak begitu terkejut mendengar kata-kata Si Lidah Bangkai itu. Masih dengan tersenyum dia berkata. "Tak mungkin kitab ini kuserahkan pada sampeyan. Kitab ini adalah titipan pengemis di gurun pasir Tengger itu. Aku harus menjaga dan memeliharanya baik-baik." "Katamu kau tengah menghabisi sisa hidup. Kalau memang sudah mau mati mengapa masih menginginkan memiliki kitab itu?" "Kalau aku sudah mati itu perkara lain. Bagaimana jadinya nanti dengan kitab ini tentu tidak akan kuketahui lagi. Tetapi selagi aku masih hidup, kitab ini tetap akan berada di tanganku dan kujaga baik-baik." "Kalau begitu, untuk mempercepat urusan, biar kau kubunuh saja saat ini juga! Begitu kau mati kau tak ada urusan lagi dengan kitab itu. Begitu maumu, bukan? Hik... hik... hik!" Si nenek tertawa panjang. Tiba-tiba tawanya lenyap. Dari mulutnya keluar suara seperti meniup. Lalu lidahnya yang merah basah bercabang dua melesat keluar. Secara aneh lidah ini berubah panjang dan ujungnya menyambar ke arah leher Ki Suro Gusti Bendoro!

(Bersambung Ke Episode berikutnya)

KUNGFU SABLENG

JENDERAL SLEBOR

PERGURUAN Bintang Muncrat memang bukan merupakan satu perguruan kungfu terkenal. Apa lagi memiliki pendekar-pendekar kondang lihay kawakan. Letak perguruannyapun di desa Khan Cut, sebuah desa terpencil di kaki gunung. Perguruan silat yang dianggap "kampungan" itu dipimpin oleh seorang guru kungfu bernama Tay Kun Ing. Kabarnya dia pernah menjadi anak murid Siauw Lim Pay sekitar selusin tahun yang silam, tapi dikeluarkan secara tidak hormat gara-gara ketahuan mengintip juru masak, yakni seorang encim-encim gembrot yang sedang kencing pagi di pinggir got. Tay Kun Ing bertubuh kerempeng. Kepalanya botak plontos macam pentol geretan. Dia memiliki wajah dan kepala berwarna kuning karena selalu diplitur dengan kunyit campur kencur dan minyak jelantah. Mungkin itulah pangkal sebabnya orang sedesa memanggilnya dengan nama Tay Kun Ing. Siapa nama sebenarnya konon tidak satu orang pun yang tahu. Meski tidak punya nama besar, namun perguruan silat Bintang Muncrat menjadi buah bibir pemuda-pemuda sedesa Khan Cut bahkan tembus sampai puluhan lie di luar desa. Sebabnya lain tidak di perguruan itu terdapat seorang murid perempuan berkulit mulus berwajah imutimut. Namanya Giok Ngek. Dia merupakan murid kesayangan Tay Kun Ing dan kabarnya masih keponakan sang guru silat.

Kecantikan Giok Ngek inilah yang membuat perguruan kungfu Bintang Muncrat menjadi tersohor dan dipergunjingkan orang dimana-mana. Telah banyak pula pemuda-pemuda coba memikat sang dara. Yang ingin kenal secara sopan dan baik-baik saja dipandang sebelah mata oleh Giok Ngek. Apa lagi yang secara kurang ajar. Dianggap kentut basi oleh sang dara. Kejelitaan Giok Ngek itu akhirnya sampai pula ke telinga besar tebal dan mablang seorang Jenderal bernama King No Kong yang tinggal di kota Tu Lie, di Propinsi Wong Siet, sekitar 130 lie dari desa Khan Cut. Jenderal ini memiliki tubuh tinggi besar dan kekar. Bibirnya tebal, giginya malang melintang tidak karuan seperti pagar dicabut maling. Perwira tinggi ini bukan saja terkenal sebagai Jenderal Pantat Botol alias Jenderal Slebor, suka menenggak minuman keras dan jadi pemabok nomor satu, tapi sekaligus juga tersohor sebagai Jenderal Mata Bongsang alias Mata Keranjang! Walau terlahir kedua matanya tidak sebesar bongsang tapi justru menyembul bengkak seperti mata ikan Maskoki dan juling pula! Begitulah sang Jenderal dikenal sebagai manusia tidak boleh melihat jidat licin dan betis mulus alias tak boleh melihat perempuan cantik. Baik yang sudah punya suami apa lagi yang masih muda dan masih gadis tentunya! Telah banyak gadis-gadis dan istri-istri orang yang jatuh ke tangan Jenderal King No Kong ini. Dan agaknya dia masih belum merasa puas. Ketika mendengar dari salah seorang anak buahnya bahwa di desa Khan Cut ada seorang gadis anak murid perguruan kungfu Bintang Muncrat memiliki kecantikan serta potongan tubuh selangit tembus bernama Giok Ngek, langsung saja badan sang Jenderal menjadi angot panas dingin ingin ketemu. Siang terbayang-bayang malam terkenang-kenang waktu tidur jadi impian. Dia ingin

menyaksikan sendiri dengan mata maskokinya yang juling. Sampai di mana kecantikan wajah dan kebagusan potongan tubuh sang dara. Jika nanti ternyata memang seperti yang diceritakan anak buahnya, daun muda satu itu pasti tidak boleh dibiarkan begitu saja. Akan diboyongnya ke gedung kediamannya yang punya dua puluh satu kamar di Tu Lie! Maka bersama tiga orang pengawal Jenderal Slebor King No Kong pada suatu pagi buta selagi orang dan binatang masih pada terpulas nyenyak, dia berangkat menuju desa Khan Cut dengan menunggang kuda. Sepanjang perjalanan sang Jenderal tidak henti-hentinya meneguk minuman keras dari buli-buli tanah yang dibawa para pengiringnya. Sambil menenggak minuman dia tertawa-tawa sendiri membayangkan kecantikan wajah serta kebagusan dan kemulusan tubuh Giok Ngek hingga sepintas Jenderal ini kelihatan tidak beda dengan orang yang agak rada-rada alias kurang wajar! ***

KUNGFU SABLENG

JENDERAL SLEBOR

URU kungfu Tay Kun Ing sedang duduk-duduk santai di serambi rumah. Tangan kanannya asyik mengupil sedang tangan kiri memegang kitab komik terlaris pada masa itu yaitu serial "Super Amoy" jilid ke 32. Tentu saja manusia kerempeng muka kuning ini sangat terkejut ketika melihat seorang tinggi besar bertampang garang berpakaian kebesaran Jenderal Kerajaan beserta tiga pengawalnya tahu-tahu muncul memasuki pekarangan rumah, melewati pintu pagar yang sudah doyong. Sambil bertanya-tanya dalam hati apa gerangan maksud tujuan sang Jenderal datang ke tempat kediamannya, guru kungfu Tay Kun Ing letakkan kitabnya lalu berdiri dan cepat-cepat turun dari serambi rumah, menyambut kedatangan tetamu penting itu. Begitu sampai di hadapan sang Jenderal, Tay Kun Ing langsung menjura dalam-dalam memberi penghormatan. Begitu patah pinggangnya membungkuk hingga dia hampir keluarkan kentut. Jenderal King No Kong pencongkan bibirnya yang tebal monyong. Kedua matanya yang juling berputar beberapa kali. Lalu sambil menunjuk pada papan nama perguruan Bintang Muncrat yang tergantung di bawah talang air rumah dia menegur. "Tuyul kerempeng muka tai! Kau kacung penjaga perguruan kungfu ini?!" Seumur hidupnya baru sekali itu Tay Kun Ing dipanggil dengan sebutan tuyul! Apa lagi sebutan muka tai! Hatinya

langsung panas dan dia jadi tambah marah karena dia dianggap sebagai kacung perguruan! Kalau saja bukan seorang Jenderal yang dihadapinya, pasti sudah sejak taditadi dia menghantam dengan jurus "sayap kampret lapar menggebrak puncak Taysan" yaitu satu jurus tamparan yang bisa membuat mulut lawan pecah berdarah! Dengan menahan sakit hati guru kungfu Tay Kun Ing kembali menjura dan berkata. "Jenderal Yang Mulia, saya bernama Tay Kun Ing. Pemilik dan ketua perguruan Bintang Muncrat ini. Jadi bukan kacung seperti yang Jenderal bilang tadi...." "Hemmmmm, begitu...?" Dua mata maskoki Jenderal Slebor kembali berputar. Dia melirik kian kemari, mencaricari kalau-kalau tersembul wajah gadis cantik bernama Giok Ngek itu. "Jenderal Yang Mulia, ada gerangan keperluan apakah sampai Jenderal dan para pengawal datang dari jauh, berkunjung ke tempat saya ini?" Tay Kun Ing ajukan pertanyaan. "Pertama sekali ketahuilah, Jenderalmu yang mulia ini bernama King No Kong. Jenderal Kaisar yang paling tercemar. Eh! Maksudku paling terkenal di seantero daratan Tiongkok!" "Hay ya! Jadi pinceng berhadapan dengan Jenderal Kong No King yang kesohor itu!" Kembali Tay Kun Ing menjura dalam-dalam (pinceng = saya yang rendah). "Bangsat kurang ajar!" bentak Jenderal Slebor. "Namaku King No Kong! Jangan dibalik Kong No King! Apa tubuhmu mau ke balik kaki ke atas kepala ke bawah?!" "Maaf Jenderal! Mohon maaf dan ampunmu! Pinceng tidak biasa berhadapan dengan orang besar seperti Jenderal. Jadi...." "Jadi apa jidatmu mau kuletakkan di pantat dan

pantatmu kutaruh di jidat hah?!" menghardik sang Jenderal. "Hay ya! Ampun Jenderal," kata Tay Kun Ing sambil membungkuk berulang kali. "Kalau pinceng punya pantat ditaruh di jidat dan jidat ditaruh di pantat bagaimana mau makan dan buang air! Bisa-bisa salah kamar!" Guru kungfu Tay Kun Ing diam-diam mulai merasa tidak enak. Dia sudah pernah mendengar nama Jenderal satu ini. Jenderal pemabuk yang suka mengganggu anak istri orang. "Jangan-jangan kedatangan si pantat botol ini mau menyatroni pinceng punya murid si Giok Ngek!" Di atas kudanya Jenderal Slebor King No Kong meneguk buli-buli arak hingga mengeluarkan suara menyiplak dan minuman keras itu berlelehan di dagunya yang ditutupi berewok tebal kotor berdebu. "Aku ampuni kesalahanmu Tay Kun Ing!" berkata Jenderal Slebor. "Sekarang lekas kau suruh keluar murid keponakanmu yang bernama Giok Ngek itu! Aku mau lihat apa kecantikan serta kebagusan tubuhnya benar-benar seperti yang disohorkan orang selama ini! Apa kecantikan dan potongan tubuhnya benar-benar bisa membuat aku jadi ngek" "Cialat! Cialat muridku!" keluh Tay Kun Ing dalam hati. Untuk sesaat dia hanya bisa tertegun bingung. "Tuyul muka kuning! Apa kau tuli atau budek hingga tidak menjalankan apa yang diperintahkan Jenderal kami!" Salah seorang pengawal sang Jenderal tiba-tiba menghardik. Guru kungfu Tay Kun Ing menyumpah panjang pendek dalam hati. "Ba... baik Jenderal Yang Mulia. Pinceng akan panggil gadis itu keluar. Harap mau bersabar dan sudi menunggu..." Tay Kun Ing putar tubuhnya yang kerempeng. Tapi belum lagi dia sempat melangkah tiba-tiba dari pintu

depan rumah muncul seorang perempuan muda bertubuh gemuk-gendut luar biasa. Pakaiannya yang berwarna berbunga warna-warni kelihatan ketat kesempitan hingga bagian-bagian tubuhnya menyembul seperti berserabutan yaitu bagian dada yang gembrot ayun-ayunan, lalu perut yang gendut menonjol, kemudian bagian pantat yang melembung seperti ada boncengannya serta dua paha yang gebyar-gebyor! Dara super gemuk ini memiliki rambut hitam diponi di bagian depan dan dikonde besar di sebelah belakang. Rambutnya hitam berkilat dan bau apak karena diberi minyak jelantah! Wajahnya ditemploki bedak tebal tak karuan. Pada bagian pipi kiri kanan diberi pemerah mencolok sedang bibirnya yang tebal berselomotan dengan gincu berwarna merah mencorong, berlepotan sampai ke dagu dan atas bibir. Wajahnya yang bulat dan selalu keringatan itu tentu saja jauh dari cantik! ***

KUNGFU SABLENG

JENDERAL SLEBOR

URU kungfu Tay Kun Ing terpaku bengong keheranan. Dia tidak kenal siapa adanya gadis gendut melembung berdada gembrot ini. Bahkan dia tidak pernah melihatnya sebelumnya. Sungguh aneh kalau tahu-tahu gadis ini muncul begitu saja di dalam rumah! Lain halnya dengan Jenderal Slebor King No Kong. Sepasang mata maskokinya semakin membeliak dan bertambah juling ketika memandang sang dara. Dengan mulut termonyong-monyong sang Jenderal berpaling pada anak buahnya yang ada di samping kiri. "Jadi ini dia gadis bernama Giok Ngek yang katamu wajah serta potongan tubuhnya selangit tembus!" Belum lagi si anak buah menjawab, gadis gemuk dengan dandanan kacau balau seperti kampung dilanda angin puting beliung itu, melangkah menuruni tangga serambi. Setiap langkah yang dibuatnya membuat sekujur tubuhnya mulai dari dada sampai ke pinggul bergoyang ayun-ayunan. "Betul sekali Jenderal Yang Mulia," si gadis berucap sambil lontarkan senyum genit manja. "Saya memang Giok Ngek. Bintang perguruan Bintang Muncrat dan rembulan desa Khan Cut. Jenderal Yang Mulia, apakah kau datang mencari saya untuk minta dingek?!" Muka jelek Jenderal King No Kong menjadi merah padam. Bukan saja dia merasa tertipu, tapi juga diejek dan dihina di hadapan para pengawalnya. Dia sengaja datang

jauh-jauh untuk melihat kecantikan dan kebagusan tubuh yang disohorkan itu. Ternyata setelah berhadapan muka, wajah dan potongan tubuh Giok Ngek berbeda seperti siang dengan malam, seperti susu dengan tuba, seperti madu dengan racun! "Keparat sialan! Ada yang berani menipuku! Ratusan lie datang dari jauh ternyata hanya untuk menyaksikan seekor kuda nil yang diberi baju serta didandani seperti barongsay mabok begini rupa! Guru kungfu Tay Kun Ing! Terima dulu hadiah kejengkelanku!" Habis berkata begitu Jenderal Slebor King No Kong hantamkan buli-buli arak yang terbuat dari tanah di tangan kirinya ke kepala botak guru kungfu Tay Kun Ing. Buli-buli tanah itu hancur berantakan sedang guru kungfu bertubuh kerempeng itu menjerit kesakitan, pegangi kepalanya sementara tubuhnya melintir mata mendelik melihat bintang-bintang kacau balau di atasnya. Tubuh kerempeng itu kemudian terjerongkang ambruk di tanah, setengah pingsan setengah semaput! Jenderal Slebor itu kini berpaling pada tiga pengawalnya. Lalu membentak. "Keparat! Kalian bertiga menipuku!" "Plaakk! Plaaakk! Plaaak!" Tiga kali tangan kanan sang Jenderal bergerak pulang balik. Tiga pengawal terhuyung-huyung di atas kuda, merintih kesakitan terkena tamparan Jenderal King No Kong. Salah seorang dari mereka sambil pegangi mukanya yang bengab masih mengoceh. "Wajahnya mungkin tidak menarik Jenderal Yang Mulia. Memang benar seperti barongsay mabok! Tapi lihat dadanya. Besar luar biasa. Kelapa saja masih kalah besar!" "Setan alas! Kau makanlah kelapa muda barongsay mabok itu!" teriak sang Jenderal. Dicekalnya leher pakaian pengawal yang barusan berani membuka mulut itu lalu dilemparkannya ke arah gadis gemuk berbaju warna warni.

Tabrakan yang keras membuat kedua orang itu samasama jatuh terjengkang. Si pengawal pegangi kepalanya yang benjut sambil mengerang kesakitan. Dia tak habis pikir. Jelas-jelas tadi kepalanya menumbuk dada gemuk si gadis. Dia menyangka akan jatuh di atas bagian tubuh yang montok itu tentu lembut-lembut enak. Tapi ternyata dada sang gadis keras seperti batu! Kepalanya seperti menghantam tembok! "Hay ya! Geger otakku!" keluh si pengawal masih terduduk di tanah keliangan. Apa sebenarnya yang ada di balik dada gadis gembrot itu? "Jenderal pantat botol doyan perempuan!" Tiba-tiba satu suara membentak. Yang membentak ternyata adalah si gadis gembrot. Suaranya yang tadi halus seperti suara perempuan kini mendadak berubah, keras dan serak! "Susah-susah dicari kini kau malah datang sendiri! Hari ini tiba saatnya aku membalaskan sakit hati suhu!" (suhu = guru). Dengan kecepatan luar biasa si gadis yang mengaku bernama Giok Ngek itu menerjang ke arah Jenderal King No Kong. ***

KUNGFU SABLENG

JENDERAL SLEBOR

ENDERAL King No Kong yang sejak tadi sudah muak melihat tampang dan tingkah laku si gadis gembrot segera ambil buli-buli arak yang tergantung di kantong pelana kuda. Dengan benda ini hendak dikepruknya kepala barongsay betina itu. Namun seorang anak buahnya cepat melompat dari kuda seraya berseru. "Jenderal! Biar aku yang menghajar kuda nil betina ini!" Jenderal King No Kong hentikan gerakannya. Si pengawal cepat memapaki sang dara gembrot hendak memberi hajaran. Tapi entah bagaimana tangan kanannya yang hendak dipakai menjotos tahu-tahu kena dicekal orang, dibetot lalu dipuntir ke belakang punggung hingga dia menjerit keras kesakitan. "Monyet jelek tak berguna! Makan dulu kakiku ini!" hardik si gadis. Kaki kanannya melayang ke pantat si pengawal. "Bukkkk!" Anak buah Jenderal King No Kong mencelat lalu tersungkur jungkir balik di tanah. Mukanya berkelukuruan diparut tanah! "Kurang ajar!" teriak Jenderal Slebor marah sekali. Dia tidak menyangka sama sekali kalau gadis gemuk itu demikian lincah dan cepat gerakannya. Dia berpaling pada anak buahnya yang di sebelah kanan. "Lekas kau hajar kuda nil kesurupan itu! Cincang kalau perlu!" Mendengar perintah sang Jenderal pengawal itu segera

"sreett!" Cabut goloknya. Lalu melompat turun dari atas kuda. Tapi begitu berhadapan dengan sang dara dia tidak segera menyerang. Sambil melintangkan golok di depan dada, pengawal yang ada tompel di pipi kirinya ini cengarcengir lebih dulu. Bahkan kedap-kedipkan matanya lalu berkata. "Nonaku manis, walau tuan besarku marah selangit tembus padamu, tapi aku tauke-mu ini bisa memintakan pengampunan bagi dirimu. Asal saja kau ehem! Tau kan apa yang aku maksudkan? Ya... ya... ya! " "Tidak, aku tidak tahu apa yang kau maksudkan!" jawab Giok Ngek pura-pura tidak mengerti tapi sambil balas kedipkan mata dan lontarkan senyum genit. Merasa mendapat pasaran, menyangka si gadis suka padanya maka setengah berbisik dia berkata. "Kau purapura takut dan serahkan diri. Nanti ikut aku. Kita bersenang-senang di atas ranjang. Kau tahu, aku paling suka pada perempuan bertubuh dan berdandan amburadul sepentimu!" "Oh, begitukah?" Gadis gemuk tersenyum lalu cibirkan bibirnya. Lalu dia mendamprat. "Kacung tak tahu diri! Sama saja dengan majikanmu! Tampang seperti kodok! Mulut bau jamban! Biar aku tuanmu ini memberi pelajaran padamu!" Lalu Giok Ngek hantamkan satu jotosan ke muka pengawal tompel itu. Merasa sangat terhina oleh caci maki si gadis, pengawal itu serta merta babatkan golok besarnya. Yang di arah langsung leher Giok Ngek! Guru kungfu Tay Kun Ing yang menyaksikan semua kejadian itu dalam keadaan masih keliangan pejamkan mata saking ngerinya. Tebasan golok si pengawal datangnya laksana kilat. Si gadis gemuk tampaknya susah untuk berkelit selamatkan batang lehernya. Namun apa yang kemudian terjadi sukar dipercaya sang guru kungfu

maupun sang Jenderal. Dara berbadan super gemuk itu menyambut serangan golok dengan melompat ke kiri. Lalu tangan kanannya menyelinap berputar menempel pergelangan tangan lawan. Di lain kejap golok di tangan si pengawal tadi telah berpindah tangan. Malah kini gagang golok itu dipergunakan lawannya untuk mengemplang kepala lawan berulang kali hingga kepala itu bukan saja benjat-benjut tapi juga luka mengucurkan darah. Dalam keadaan babak belur pengawal ini akhirnya melosoh jatuh ke tanah tak sadarkan diri! Rahang Jenderal King No Kong menggelembung. Gerahamnya bergemeletakan. Ditenggaknya arak dalam buli-buli tanah sampai habis. Buli-buli yang kosong kemudian dibantingkannya ke tanah. Dengan mata membelalak merah dia melompat turun dari kuda. Langsung menyerang dara gemuk. Gerakan sang Jenderal enteng dan cepat serta mengeluarkan suara angin berkesiuran pertanda dia memiliki kepandaian kungfu yang tinggi. Sebaliknya si gadis gemuk berdiri tenang-tenang saja. Malah berkacak pinggang dengan sikap mengejek ketika Jenderal pemabuk itu menyerangnya dan berkata: "Jenderal Slebor! Kau memang harus dingek!" "Giok Ngek! Aku bersumpah akan mengekmu sampai mampus!" teriak sang Jenderal kalap. Tinju kanannya berkelebat menderu ke arah pipi kanan gadis bertubuh gemuk itu. Yang diserang gerakkan badannya secara aneh. Pukulan sang Jenderal hanya mengenai tempat kosong. Nyaris tubuhnya ikut terpelintir karena daya dorong pukulan yang kuat tadi. Dengan penuh geram dan beringas Jenderal King No Kong balikkan tubuh. Kaki kanannya mencelat kirimkan satu tendangan ke arah perut lawan. Tapi lagi-lagi serangan kedua ini hanya mengenai

tempat kosong. Malah kini gadis gemuk itu menghampirinya sambil rentangkan ke dua tangan bersikap seperti orang hendak merangkul mesra sedang bibirnya dimonyongkan ke depan seolah hendak mencium sang Jenderal penuh nafsu! Karuan saja Jenderal King No Kong tambah menggelegak amarahnya. Dia benar-benar dibuat malu, diejek dan dihina! Begitu tendangannya tidak mengenai sasaran dia susul dengan hantaman tangan ke muka si gembrot! Apa yang terjadi kemudian membuat terkejut semua orang. Serangan Jenderal itu bukan saja kembali hanya mengenai tempat kosong namun saat itu terdengar suara "plaaakk!" Jenderal King No Kong menjerit keras sambil pegangi mukanya yang barusan kena ditampar Giok Ngek. Bibirnya pecah dan kucurkan darah! Sang Jenderal membentak garang. Seperti kalap dia ingin merobek-robek tubuh gadis gemuk itu. Tapi tiba-tiba dia tegak tak bergerak. Dengan sekujur tubuh bergeletar dia bertanya. "Barongsay betina! Tadi kau mengatakan hendak membalaskan sakit hati suhumu! Suhumu yang mana? Siapa! Yang botak bermuka kuning itu?! Siapa kau sebenarnya?!" ***

KUNGFU SABLENG

JENDERAL SLEBOR

IOK NGEK menyeringai. Setelah awasi tampang Jenderal itu sejenak dia lalu berkata. "Jenderal pantat botol mata maskoki! Kau dengar baik-baik ucapanku! Hari ini jika kau tidak bersumpah dan bertobat tidak akan mengganggu lagi anak gadis dan istri orang, lalu minta ampun karena telah menyiksa suhuku selama bertahun-tahun, maka aku akan buat nyawamu tidak betah tinggal dalam tubuh busukmu itu!" "Kentut busuk! Siapa sih suhumu?!" bentak Jenderal Slebor. "Suhuku Dewi Ngong Kong!" jawab gadis gembrot setengah berteriak. Jenderal King No Kong tersentak kaget. Dia tadi memang sudah curiga bahwa dara gemuk itu bukanlah murid Tay Kun Ing. Tapi dia sama sekali tidak menyangka kalau si gadis ternyata mengaku sebagal murid Dewl Ngong Kong! Walau kaget tapi Jenderal Slebor cepat kuasa diri. "Hemmm... jadi kau adalah murid si nenek lihay yang bergelar Dewi Ngong Kong itu! Bagus! Bagus! Suhunya tidak tahu diuntung! Muridnya tidak tahu diri! Hari ini biar aku tuan besarmu memberi pelajaran matematika... eh salah! Maksudku pelajaran sopan santun!" Jenderal Slebor tutup ucapannya dengan mencabut golok panjang yang terselip di pinggang. Sang Jenderal memang terkenal hebat ilmu goloknya. Begitu golok berkelebat satu kali terdengar suara "cras!" Si gadis gemuk

terpekik. Untung dia cepat melompat mengelak hingga kepalanya tidak jadi sasaran babatan golok. Rambutnya berbusaian dan kini tanpa konde - yang ternyata konde palsu - kelihatanlah rambut serta wajahnya yang asli! Ternyata sang dara super gemuk ini adalah seorang lelaki! "Banci kalengan!" teriak Jenderal Slebor marah besar sampai ke dua matanya seperti mau melompat dari rongganya. "Kau akan kucincang sampai lumat! Lalu kujadikan perkedel dan kukirim ke neraka! Rohmu akan jadi setan banci penasaran!" "Jongos Gie Le!" berseri guru kungfu Tay Kun Ing ketika penuh rasa tak percaya dia mengenali dara gemuk itu bukan lain adalah jongos di tempat kediamannya yang selama ini dikenal sebagai pemuda pendiam dan dungu. "Cuma jongos rupanya! Jahanam betul! Berani menghina mengerjaiku!" Jenderal King No Kong mendamprat marah. Untuk ke dua kalinya golok besar di tangan kanannya membabat ke arah dada jongos Gie Le. "Breett!" Jongos Gie Le melompat ke belakang dengan muka sepucat kertas. Dada pakaiannya robek besar dan keluarlah potongan-potongan kain pel serta dua mangkok besar terbuat dari porselen! Mangkok porselen inilah yang tadi dihantam kepala salah seorang pengawal Jenderal Slebor hingga kepalanya jadi benjut! "Banci tengik! Jangan harap kau bisa lolos!" 'teriak Jenderal Slebor. Sesekali tangannya bergerak maka golok itu menabur serangan berantai. Jongos Gie Le terpaksa berlompatan kian kemari cari selamat. Beberapa jurus berlalu tanpa sang Jenderal mampu melukai lawannya. Tiba-tiba terdengar seruan si jongos. "Jenderal juling! Cukup kau jual lagak! Sekarang pinjamkan dulu golokmu padaku!" Kepandaian silat jongos yang bekerja di perguruan silat

Bintang Muncrat itu ternyata tidak berada di bawah tingkat kepandaian Jenderal King No Kong. Karena begitu seruannya tadi lenyap, terdengar suara "kraakk!" Disusul suara jeritan sang Jenderal. Tulang sambungan siku tangan kanan Jenderal Slebor ternyata telah remuk dihajar jotosan si gemuk Gie Le dan goloknya yang terlepas mental ke udara secepat kilat disambar oleh jongos Itu. Lalu golok itu berkelebat menderu-deru memutari sekujur tubuh bagian bawah Jenderal Slebor. Tali celananya putus! Celana yang jebol robek di sana-sini itu melorot turun bersama celana dalamnya! Akibatnya sebatas pinggang ke bawah Jenderal King No Kong berubah menjadi King No Celana alias setengah telanjang! Selagi sang Jenderal kalang kabut menutupi auratnya, jongos Gie Le ketok kepalanya dengan gagang golok hingga perwira tinggi itu terhuyung-huyung kelojotan macam orang teler. "Jenderal hidung belang!" berseru jongos Gie Le. "Sekarang aku perkenalkan padamu jurus kungfu bernama Dewa Cebok!" Pemuda gemuk ini buang golok yang dipegangnya lalu tangan kanannya berkelebat cepat ke bagian bawah perut sang Jenderal. Terdengar suara ceplak-ceplok seperti orang cebok sungguhan. Jeritan Jenderal Slebor itu menggelegar berkepanjangan. "Ampun! Tobat! Ampun!" jerit sang Jenderal. Dia berusaha lindungi bagian tubuh paling berharga yang dimilikinya. Tapi sia-sia belaka. Setelah puas mengerjai Jenderal itu, jongos Gie Le hadiahkan satu tendangan keras ke pantatnya hingga tubuh tinggi besar itu mencelat mental melewati pagar halaman. "Sekarang kau boleh pergi! Bawa begundal-begundalmu! Ingat! Jika kau masih berani mengganggu suhuku Dewi Ngong Kong berarti liang kubur hanya tinggal sejengkal dari

tenggorokanmu! Ayo lekas angkat kaki dari hadapanku!" Jenderal King No Kong melangkah terbungkuk-bungkuk. Sambil melangkah pergi dia pegangi auratnya sebelah bawah. "Aku akan pergi! Ampun! Aku bersumpah tidak akan mengganggu gurumu lagi! Tidak akan mengganggu anak gadis dan istri orang! Tapi anuku ini! Ampun! Bonyok berat! Remuk semua! Acak-acakkan! Tak bisa dipakai lagi! Cialat...! Benar-benar cialat!" Diikuti tiga anak buahnya Jenderal Slebor tinggalkan perguruan Bintang Muncrat dengan kuda tunggangan masing-masing. Sambil pegangi kepalanya yang benjut besar akibat dikepruk dengan buli-buli arak guru kungfu Tay Kun Ing melangkah sempoyongan mendekati jongos Gie Le. Kalau dulu sikapnya selalu kasar terhadap jongos itu kini berubah total, hormat dan kagum. "Gie Le, tidak kusangka kau sebenarnya adalah seorang pendekar kungfu berkepandaian tinggi!" Guru kungfu itu terdiam sejenak. Lalu melanjutkan. "Juga tidak kusangka kau adalah muridnya Dewi Ngong Kong yang terkenal di daerah Tiongkok itu. Jika aku boleh tanya perbuatan apakah yang telah dilakukan oleh Jenderal King No Kong terhadap suhumu?" Jongos Gie Le usap-usap keningnya yang keringatan. Sambil membuka pakaian perempuan yang dikenakannya di atas baju dan celana panjangnya, jongos ini menerangkan. "Dulu sewaktu masih muda dan Jenderal King No Kong baru berpangkat Kopral, dia naksir berat sama suhuku malah sampai-sampai ajukan lamaran. Tapi suhu menolak dijadikan istri karena sudah tahu sifat lelaki itu. Mata keranjang suka mengganggu anak istri orang serta pemabuk berat. Kopral King No Kong marah dan malu besar pinangannya ditolak. Karena sebelumnya dia sudah sesumbar pasti akan dapat menggaet suhu sebagai

istrinya. Rasa malu berubah menjadi marah lalu menjadi dendam. Maka dia mulai mengganggu suhu. Dia mencuri setiap celana dalam yang dimiliki suhu. Pokoknya di mana saja dia menemui celana dalam suhu, mungkin di bakul tempat kain kotor, atau di tempat cucian, di tali jemuran bahkan sampai-sampai ke lemari pasti diambilnya! Akibatnya dapat dibayangkan bagaimana penderitaan suhu. Selama belasan tahun beliau hidup sebagai perempuan yang tidak pernah bisa punya celana dalam. Tidak pernah memakai celana dalam.... " Untuk beberapa lamanya guru kungfu Tay Kun Ing tertegun tak bisa bicara. Lalu sambil tersenyum dia keluarkan kocek kain yang tergantung dl balik pakaiannya. Dari dalam kocek ini diambilnya dua tail perak dan diserahkannya pada jongos Gie Le. "Ambillah. Pergi ke pasar. Beli sepuluh lusin celana dalam untuk suhumu!" "She... she! Kamsia kamsia!" kata jongos Gie Le seraya menjura berulang kali. "Mulai hari ini kau kuangkat jadi Wakilku di perguruan Bintang Muncrat!" menambahkan Tay Kun Ing. "Terima kasih atas kepercayaan guru! Tapi untuk jadi wakilmu aku tidak perlu memplitur muka dan kepalaku dengan kunyit serta kencur bukan?" Guru kungfu Tay Kun Ing tertawa mengekeh. Dari balik pintu muncul satu wajah cantik jelita. Itulah wajah gadis bernama Giok Ngek, murid dan keponakan sang guru kungfu. Si gadis ulurkan tangannya nya menarik lengan Gie Le. Tawa Tay Kun Ing langsung berhenti. "Hay ya! Naga-naganya pinceng bakal kehilangan keponakan!" Guru kungfu itu garuk-garuk kepalanya lalu mengambil komik "Super Amoy" yang tercampak di serambi rumah dan melanjutkan bacaannya!

TAMAT

Anda mungkin juga menyukai