Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN DISKUSI KELOMPOK PEMICU 1 MODUL SARAF DAN JIWA

Disusun Oleh : Kelompok Diskusi 1 Jefri Kurniawan Dedi Santoso Ratih Hemiarista Ariza Zakia Imani Bakri Baykuni N. Qory Irsan Ferawati Sri Nowo M. Erika Fitriani Wastri G. Manik Asep Nurman H. I11110004 I11110005 I11110006 I11110009 I11110010 I11110028 I11110041 I11110042 I11110046 I11110052 I11110054

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TANJUNGPURA PONTIANAK 2012

Pemicu 1 (Patofisiologi)

Ny S, 56 tahun, ditemukan pingsan saat tidur malam oleh suaminya. Kemudian suami memanggil tetangga sebelah rumah, seorang dokter, saat diperiksa pasien tidak sadar. Pasien kemudian dibawa ke rumah sakit, dalam pemeriksaan status generalis tidak didapatkan adanya kelainan. Pasien tidak memberikan kontak yang adekuat selama 1 hari dalam perawatan. Hari kedua perawatan pasien mulai mengenali keluarganya, tetapi tidak dapat berbicara karena lidah terasa kaku dan tertarik ke belakang. Pada hari ketiga perawatan, pasien mulai dapat berbicara kembali dengan lancar. Pemeriksaan neurologis pada hari kedua, tidak dijumpai adanya tanda rangsang meningeal, pupil bulat diameter 3 mm, isokor, refleks cahaya langsung dan tak langsung (+/+), tidak ada kelumpuhan saraf kranialis, fungsi motorik dengan kekuatan 5 pada keempat ekstremitas, refleks fisiologis dalam batas normal, tidak dijumpai adanya refleks patologis, sistem sensorik dalam batas normal, serta fungsi otonom dalam batas normal. Dalam riwayat penyakitnya didapatkan informasi bahwa empat bulan terakhir ini pasien sibuk mengurus cucu pertamanya yang tinggal 300 m dari rumah pasien. Pasien merasakan sangat repot karena harus mengurus 2 rumah sehingga ia merasa kelelahan dan tidak dapat mengikuti pengajian lagi seperti biasanya (sebelum dia mempunyai cucu), serta tidak mempunyai waktu untuk mengurus keuangan pengajian.

1. Klarifikasi, definisi dan kata kunci -Pingsan: hilangnya kesadaran secara transien dan tonus postural akibat berkurangnya darah ke serebral. -Isokor: perbedaan diameter kedua pupil lebih dari 1 mm, normal 3-5 mm. -Refleks cahaya langsung: kontriksi pupil akibat terkena sinar. -Refleks cahaya tidak langsung: kontriksi pupil kontra lateral walaupun tidak ada sinar yang mengenai mata. Kata Kunci: Pingsan, kelelahan.

2. Analisis masalah Ny. S yang berusia 56 tahun mengalami gangguan pusat kesadaran pada sistem saraf pusat akibat peningkatan aktivitas fisik.

3. Hipotesis Ny. S mengalami Reversible Ischemic Neurology Deficit (RIND).

4. Pertanyaan Diskusi 4. 1. Bagaimana pemeriksaan neurologis dilakukan? 4. 2. Bagaimana plastisitas otak? 4. 3. Bagaimana penuaan pada sistem saraf? 4. 4. Apa itu konsep bio-psiko-sosial? 4. 5. Bagaimana gangguan orientasi, bahasa dan memori? 4. 6. Bagaimana fisiologi kesadaran? 4. 7. Bagian otak mana yang mengatur pusat kesadaran? 4. 8. Bagaimana cara pemeriksaan kesadaran? 4. 9. Penyebab penurunan kesadaran? 4. 10. Bagaimana hubungan kelelahan dan stres terhadap kesadaran? 4. 11. Bagaimana patofisologi sinkop? 4. 12. Apa saja DD 4. 13. sinkop?Bagaimana tatalaksana yang diberikan pada pasien sinkop? 4. 14. Apa yang menyebabkan lidah pasien terasa kaku dan tertarik ke belakang? 4. 15. Apa itu transcient ischemic attack (TIA)? 4. 16. Apa itu Reversible Ischemia Neurology Deficit (RIND)? 4. 17. Bagaimana proses pemulihan pada Ny. S? 2

5. Mind Mapping

Pemeriksaan Fisik: Status generalis normal rangsang meningeal (-) diameter pupil 3mm pupil isokor refleks pupil langsung(+) refleks pupil tidak langsung (+) kelumpuhan saraf kranial (-) kekuatan ekstremitas = 5 refleks fisiologis (+) refleks patologis (-) sistem sensorik dan otonom normal

Kelelahan: mengurus cucu. Stres: Tidak dapat ikut pengajian dan tidak pny waktu mengurus keuangan pengajian

GEJALA: Pingsan tdk bisa bicara Lidah kaku Lidah tertarik ke belakang hari ke 3 pasien dapat bicara kontak tdk adekuat hari pertama kontak tdk adekuat hari kedua mulai kenali kluarga

Reversible Ischemic Neurology Deficit

Diagnosis Banding

Tatalaksana

Patofisiologi

Kegawatdaruratan

Farmakologi Sinkop Kekakuan pada lidah Lidah tertarik ke belakang gangguan orientasi bahasa dan memori Penuaan sistem saraf

6. Pembahasan Pertanyaan Diskusi: 6. 1. Bagaimana pemeriksaan neurologis dilakukan? A. ANAMNESA Perlu ditanyakan keluhan utama pasien. Pada setiap keluhan ditanyakan: Sejak kapan timbul, sifat serta beratnya, lokasi serta penjalarannya, hubungannya dengan waktu (pagi, siang, malam, sedang tidur, waktu haid, habis makan, dsb), keluhan lain yang ada kaitannya, pengobatan sebelumnya dan bagaimana hasilnya, faktor yang memperberat atau memperingan keluhan, perjalanan keluhan (apakah menetap, bertambah berat/ringan, datang dalam bentuk serangan, dsb), nyeri kepala, muntah, vertigo, gangguan penglihatan, gangguan pendengaran, gangguan syaraf otak lainnya, gangguan fungsi luhur, gangguan kesadaran, gangguan motorik, gangguan sensibilitas, gangguan saraf otonom B. PEMERIKSAAN TINGKAT KESADARAN C. PEMERIKSAAN RANGSANGAN MENINGEAL Bila ada peradangan selaput otak atau di rongga sub arachnoid terdapat benda asing seperti darah, maka dapat merangsang selaput otak 1. Kaku kuduk Untuk memeriksa kaku kuduk dapat dilakukan dengan cara : a. Tangan pemeriksa ditempatkan di bawah kepala pasien yang sedang berbaring b. Kemudian kepala ditekukkan (fleksi) dan diusahakan agar dagu mencapai dada. c. Selama penekukan ini diperhatikan adanya tahanan. d. Bila terdapat kaku kuduk kita dapatkan tahanan dan dagu tidak mencapai dada. e. Kaku kuduk dapat bersifat ringan atau berat. Pada kaku kuduk yang berat, kepala tidak dapat ditekuk, malah sering kepala terkedik ke belakang. f. Pada keadaan yang ringan, kaku kuduk dinilai dari tahanan yang dialami waktu menekukkan kepala. 2. Tanda Laseque Pemeriksaan dilakukan sebagai berikut : a. Pasien berbaring lurus. b. Lakukan ekstensi pada kedua tungkai. c. Kemudian salah satu tungkai diangkat lurus, di fleksikan pada sendi panggul. d. Tungkai yang satu lagi harus berada dalam keadaan ekstensi / lurus. 4

e. Normal : Jika kita dapat mencapai sudut 70 derajat sebelum timbul rasa sakit atau tahanan. f. Laseq (+) = bila timbul rasa sakit atau tahanan sebelum kita mencapai 70 derajat 3. Tanda Kernig Pemeriksaan dilakukan sebagai berikut : a. Pasien berbaring lurus di tempat tidur. b. Pasien difleksikan pahanya pada sendi panggul sampai membuat sudut 90 derajat. c. Setelah itu tungkai bawah diekstensikan pada persendian lutut. d. Biasanya dapat dilakukan ekstensi sampai sudut 135 derajat, antara tungkai bawah dan tungkai atas. e. Tanda kernig (+) = Bila terdapat tahanan dan rasa nyeri sebelum tercapai sudut 135 derajat. 4. Tanda Brudzinsky I Pemeriksaan dilakukan sebagai berikut : a. Pasien berbaring di tempat tidur. b. Dengan tangan yang ditempatkan di bawah kepala pasien yang sedang berbaring, kita tekukkan kepala sejauh mungkin sampai dagu mencapai dada. c. Tangan yang satunya lagi sebaiknya ditempatkan di dada pasien untuk mencegah diangkatnya badan. d. Brudzinsky I (+) ditemukan fleksi pada kedua tungkai. 5. Tanda Brudzinsky II Pemeriksaan dilakukan seagai berikut : a. Pasien berbaring di tempat tidur. b. Satu tungkai difleksikan pada sendi panggul, sedang tungkai yang satu lagi berada dalam keadaan lurus. c. Brudzinsky II (+) ditemukan tungkai yang satu ikut pula fleksi, tapi perhatikan apakah ada kelumpuhan pada tungkai. D. PEMERIKSAAN KEKUATAN MOTORIK 1. Inspeksi - Perhatikan sikap pasien waktu berdiri, duduk, berbaring dan bergerak - Perhatikan bentuknya apakah ada deformitas - Perhatikan ukuran nya apakah sama bagian tubuh kiri dan kanan - Perhatikan adanya gerakan abnormal yang tidak dapat dikendalikan seperti tremor, khorea, atetose, distonia, ballismus, spasme, tik, fasikulasi dan miokloni 5

2. Palpasi - Pasien disuruh mengistirahatkan ototnya - Palpasi otot untuk menentukan konsistensi dan nyeri tekan, tonus otot 3. Pemeriksaan gerakan aktif - Pasien disuruh menggerakan bagian ekstremitas atau badannya dan kita pemeriksa menahan gerakan tersebut - Kita pemeriksa menggerakkan bagian ekstremitas atau badan pasien dan disuruh ia menahan. Penilaian status motorik dilakukan dengan melihat fungsi motoris dengan menilai : Besar dan bentuk otot, tonus otot dan kekuatan otot ekstremitas (skala 0 5) 1) 0 = tidak ada gerakan 2) 1 = kontraksi otot minimal terasa tanpa menimbulkan gerak 3) 2 = otot dapat bergerak bila gaya berat dihilangkan 4) 3 = gerakan otot dapat melawan gaya berat tapi tidak bisa thd tahanan pemeriksa 5) 4 = gerakan otot dg tahanan ringan pemeriksa dan dapat melawan gaya berat 6) 5 = gerakan otot dg tahanan maksimal pemeriksa 4. Pemeriksaan gerakan pasif 5. Koordinasi gerak E. PEMERIKSAAN SENSORIK 1. Pemeriksaan sensibilitas : Pemeriksaan raba, nyeri dan suhu 2. Pemeriksaan rasa gerak dan sikap 3. Pemeriksaan rasa getar 4. Pemeriksaan rasa tekan 5. Pemeriksaan rasa interoseptif : perasaan tentang organ dalam 6. Nyeri rujukan F. PEMERIKSAAN NERVUS CRANIALIS 1. Pemeriksaan N. I : Olfaktorius Fungsi : Sensorik khusus (menghidu, membau) Cara Pemeriksaan : a. Periksa lubang hidung, apakah ada sumbatan atau kelainan setempat, misalnya ingus atau polip, karena dapat mengurangi ketajaman penciuman. b. Gunakan zat pengetes yang dikenal sehari-hari seperti kopi, teh, tembakau dan jeruk. c. Jangan gunakan zat yang dapat merangsang mukosa hidung (N V) seperti mentol, amoniak, alkohol dan cuka. 6

d. Zat pengetes didekatkan ke hidung pasien dan disuruh pasien menciumnya e. Tiap lubang hidung diperiksa satu persatu dengan jalan menutup lobang hidung yang lainnya dengan tangan. 2. Pemeriksaan N. II : Optikus Fungsi : Sensorik khusus melihat Tujuan pemeriksaan : a. Mengukur ketajaman penglihatan / visus dan menentukan apakah kelaianan pada visus disebabkan oleh kelaianan okuler lokal atau kelaianan syaraf. b. Mempelajari lapangan pandangan c. Memeriksa keadaan papil optik Cara Pemeriksaan : Jika pasien tidak mempunyai keluhan yang berhubungan dengan nervus II dan pemeriksa juga tidak mencurigai adanya gangguan, maka biasanya dilakukan pemeriksaan nervus II , yaitu : a. Ketajaman penglihatan b. Lapangan pandangan Bila ditemukan kelainan, dilakukan pemeriksaan yang lebih teliti. Perlu dilakukan pemeriksaan oftalmoskopik. a. Pemeriksaan Ketajaman Penglihatan : 1. Dilakukan dengan cara memandingkan ketajaman penglihatan pasien dengan pemeriksa yang normal. 2. Pasien disuruh mengenali benda yang letaknya jauh, misalnya jam dinding dan ditanyakan pukul berapa. 3. Pasien disuruh membaca huruf-huruf yang ada di koran atau di buku. 4. Bila ketajaman penglihatan pasien sama dengan pemeriksa, maka dianggap normal. 5. Pemeriksaan ketajaman penglihatan yang lebih teliti dengan pemeriksaan visus dengan menggunakan gambar snellen. 6. Pemeriksaan snellen chart a. Pasien disuruh membaca gambar snellen dari jarak 6 m b. Tentukan sampai barisan mana ia dapat membacanya. c. Bila pasien dapat membaca sampai barisan paling bawah, maka ketajaman penglihatannya norma (6/6) d. Bila tidak normal : 7

i. Misal 6/20, berarti huruf yang seharusnya dibaca pada jarak 20 m, pasien hanya dapat memaca pada jaral 6 m, namun bila pasien dapat melihat melalui lubang kecil (kertas yang berluang, lubang peniti), huruf bertambah jelas, maka pasien mengalami kelainan refraksi. ii. 1/300 = Pasien dapat melihat gerakan tangan / membedakan adanya gerakan atau tidak iii. 1/~ = pasien hanya dapat membedakan gelap dan terang b. Pemeriksaan Lapangan Pandangan : Dilakukan dengan jalan membandingkan dengan penglihatan pemeriksa yang dianggap normal., dengan menggunakan metode konfrontasi dari donder.

1. Pasien disuruh duduk atau berdiri berhadapan dengan pemeriksa dengan jarak kirakira 1 m. 2. Jika kita hendak memeriksa mata kanan, maka mata kiri pasien harus ditutup, misalnya dengan tangan atau kertas, sedangkan pemeriksa harus menutup mata kanannya. 3. Kemudian pasien disuruh melihat terus pada mata kiri pemeriksa dan pemeriksa harus selalu melihat mata kanan pasien. 4. Setelah itu pemeriksa menggerakkan jari tangannya di bidang pertengahan antara pemeriksa dan pasien. 5. Lakukan gerakan dari arah luar ke dalam 6. Jika pasien mulai melihat gerakan jari-jari pemeriksa, ia harus memberi tahu dan dibandingkan dengan pemeriksa, apakah pemeriksa juga melihatnya 7. Bila sekiranya ada gangguan kampus penglihatan, maka pemeriksa akan lebih dahulu melihat gerakan tersebut. 8. Lakukan pemeriksaan pada masing-masing mata pasien. 3. Pemeriksaan N. III Okulomotorius Fungsi : Sematomotorik, visero motorik Meninervasi m. Rektus internus (medialis), m. Rektus superior dan m. Rektus inferior, m levator palpebra, serabut visero motorik mengurus m. Sfingter pupil dan m. Siliare (lensa mata). 4. Pemeriksaan N. IV Trokhlearis Fungsi : Somatomotorik Menginervasi m. Obliqus superior. Kerja otot ini menyebabkan mata dapat dilirikkan ke bawah dan nasal. 5. Pemeriksaan N. V Trigeminus 8

Fungsi : Somatomotorik, somatosensorik Bagian motorik mengurus otot-otot untuk mengunyah, ayitu menutup mulut, menggerakkan rahang ke bahwa dan samping dan membuka mulut. Bagian sensorik cabang oftalmik mengurus sensibilitas dahi, mata, hidung, kening, selaput otak, sinus paranasal dan sebagian mukosa hidung. Bagian sensorik cabang maksilaris mengurus sensibilitas rahang atas, gigi atas, bibir atas, pipi, palatum durum, sinus maksilaris dan mukosa hidung. Bagian sensorik cabang mandibularis mengurus sensibilitas rahang bawah, bibir bawah, mukosa pipi, 2/3 bagian depan lidah dan sebagian telinga, meatus dan selaput otak. Cara pemeriksaan fungsi motorik : a. Pasien disuruh merapatkan giginya sekuat mungkin dan kita raba m. Masseter dan m. Temporalis, perhatikan besarnya, tonus serta bentuknya. b. Kemudian pasien disuruh membuka mulut dan perhatikan apakah ada deviasi rahang bawah. c. Bila ada parise, maka rahang bawah akan berdeviasi ke arah yang lumpuh Cara pemeriksaan fungsi sensorik : a. Diperiksa dengan menyelidiki rasa raba, rasa nyeri dan suhu daerah yang dipersyarafi. b. Periksa reflek kornea 6. Pemeriksaan N. VI Abdusen Fungsi : Somatomotorik Meninervasi m. Rektus eksternus (lateralis). Kerja mata ini menyebabkan lirik mata ke arah temporal. Untuk N. III, IV dan VI fungsinya saling berkaitan. Fungsinya ialah menggerakkan otot mata ekstra okuler dan mengangkat kelopak mata. Searbut otonom N III, mengatur otot pupil. Cara pemeriksaannya bersamaan, yaitu : 1. Pemeriksa melakukan wawancara dengan pasien 2. Selama wawancara, pemeriksa memperhatikan celah matanya, apakah ada ptosis, eksoftalmus dan strabismus/ juling dan apakah ia cendrung memejamka matanya karena diplopia. 3. Setelah itu lakukan pemeriksaan yang lebih teliti mengenai ptosis, besar pupil, reaksi cahaya pupil, reaksi akomodasi, kedudukan bola mata, gerakan bola mata dan nistagmus. 4. Untuk menilai m. Levator palpebra, pasien disuruh memejamkan matanya, kemudia disuruh ia membuka matanya. 9

5. Waktu pasien membuka matanya, kita tahan gerakan ini dengan jalan memegang / menekan ringan pada kelopak mata. 6. Dengan demikian dapat dinilai kekuatan kelopak mata. 7. Untuk menilai pupil, perhatikan besarnya pupil pada kiri dan kanan, apakah sama ukurannya, apakah bentuknya bundar atau tidak rata tepinya. Miosis = pupil mengecil, midriasis = pupil membesar 8. Reflek cahaya pupil terdiri dari reaksi cahaya langsung atau tidak langsung., caranya : i. Pasien disuruh melihat jauh. ii. Setelah itu pemeriksa mata pasien di senter/diberi cahaya dan lihat apakah ada reaksi pada pupil. Normal akan mengecil iii. Perhatikan pupil mata yang satunya lagi, apakah ikut mengecil karena penyinaran pupil mata tadi disebut dengan reaksi cahaya tak langsung iv. Cegah reflek akomodasi dengan pasien disuruh tetap melihat jauh. 7. Pemeriksaan N. VII Fasialis Fungsi : Somatomotorik, viseromotorik, viserosensorik, pengecapan, somatosensorik Cara Pemeriksaan fungsi motorik : a. Perhatikan muka pasien, apakah simetris atau tidak, perhatikan kerutan dahi, pejaman mata, plika nasolabialis dan sudut mulut. b. Bila asimetris muka jelas disebabkan kelumpuhan jenis perifer. c. Pada kelumpuhan jenis sentral, kelumpuhan nyata bila pasien disuruh melakukan gerakan seperti menyeringai dan pada waktu istirahat, muka simetris. d. Suruh pasien mengangkat alis dan mengkerutkan dahi e. Suruh pasien memejamkan mata f. Suruh pasien menyeringai (menunjukkan gigi geligi) g. Gejala chvostek, dengan mengetuk N. VII di bagian depan telinga. (+) bila ketokan menyebabkan kontraksi otot mata yang di persyarafi. Fungsi pengecapan : a. Pasien disuruh menjulurkan lidah b. Taruh bubuk gula, kina, asam sitrat atau garam secara bergiliran c. Pasien tidak boleh menarik lidahnya ke dalam mulut. d. Pasien disuruh menyatakan pengecapan yang dirasakan dengan isyarat. 8. Pemeriksaan N. VIII Akustikus Fungsi : Sensorik khusus pendengaran dan keseimbangan Cara Pemeriksaan syaraf kokhlerais : 10

a. Ketajaman pendengaran b. Tes swabach c. Tes Rinne d. Tes weber Cara untuk menilai keseimbangan : a. Tes romberg yang dipertajam : - Pasien berdiri dengan kaki yang satu di depan kaki yang lain, tumit kaki yang satu berada di depan jari-jari kaki yang lain - Lengan dilipat pada dada dan mata kemudian ditutup - Orang normal mampu berdiri dalam sikap romberg yang dipertajam selama 30 detik atau lebih b. Tes melangkah di tempat - Pasien disuruh berjalan di tempat dengan mata ditutup, sebanyak 50 langkah dengan kecepatan berjalan seperti biasa - Suruh pasien untuk tetap di tempat - Tes abnormal jika kedudukan pasien beranjak lebih dari 1 m dari tempat semula atau badan berputar lebih 30 o c. Tes salah tunjuk - Pasien disuruh merentangkan lengannya dan telunjuknya menyentuh telunjuk pemeriksa - Kemudian pasien disuruh menutup mata, mengangkat lengannya tinggi-tinggi dan kemudian kembali ke posisi semula - Gangguan (+) bila didapatkan salah tunjuk 9. Pemeriksaan N. IX Glossofaringeus Fungsi : Somatomotorik, viseromotorik, viserosensorik, pengecapan, somatosensorik 10. Pemeriksaan N. X Vagus Fungsi : Somatomotorik, viseromotorik, viserosensorik, somatosensorik N IX dan N X diperiksa bersamaan. Cara Pemeriksaan Fungsi motorik : - Pasien disuruh menyebutkan aaaaaa - Perhatikan kualitas suara pasien, apakah suaranya normal, berkurang, serak atau tidak sama sekali. - Pasien disuruh memakan makanan padat, lunak dan menelan air - Perhatikan apakah ada kesalahan telan / tidak bisa menelan / disfagia - Pasien disuruh membuka mulut 11

- Perhatikan palatum mole dan faring, perhatikan sikap palatum mole, arkus faring dan uvula dalam keadaan istirahat dan bagaimana pula waktu bergerak, misalnya waktu bernafas atau bersuara. Abnormal bila letaknya lebih rendah terhadap yang sehat. 11. Pemeriksaan N. XI aksesorius Fungsi : Somatomotorik Cara Pemeriksaan : a. Untuk mengukur kekuatan otot sternocleidomastoideus dilakukan dengan cara : - pasien disuruh menggerakkan bagian badan yang digerakkan oleh otot ini dan kita tahan gerakannya. - Kita gerakkan bagian badan pasien dan disuruh ia menahannya. - Dapat dinilai kekuatan ototnya. b. Lihat otot trapezius - apakah ada atropi atau fasikulasi, - apakah bahu lebih rendah, - apakah skapula menonjol - Letakkan tangan pemeriksa diatas bahu pasien - Suruh pasien mengangkat bahunya dan kita tahan. - Dapat dinilai kekuatan ototnya. 12. Pemeriksaan N. XII Hipoglosus Fungsi : Somatomotorik Cara Pemeriksaan : a. Suruh pasien membuka mulut dan perhatikan lidah dalam keadaan istirahat dan bergerak b. Dalam keadaan istirahat kita perhatikan : - besarnya lidah, - kesamaan bagian kiri dan kanan - adanya atrofi - apakah lidah berkerut c. Apakah lidahnya mencong bila digerakkan atau di julurkan G. PEMERIKSAAN REFLEK FISIOLOGIS 1. Reflek tendon dalam (bisep dan trisep) Derajatnya : 0 = absen reflek 1= Menurun 12

2 = Normal 3 = Hiperreflek 4 = Hiperreflek dengan klonus 2. Reflek kulit perut : epigastrium T 6-9, abdomen tengah T 9-11, Hiogastrium T 11-L1. Abdomen digores dari arah luar menuju umbilikus --- kontraksi dinding perut 3. Kremaster ( L 1-2) Paha bagian dalam digoreskontraksi kremaster dan penarikan testis ke atas 4. Reflek anus ( S3-4-5) Pakai sarung tangan ujung jari dimaasukkan kedalam cincin anus terasa kontraksi spingter ani 5. Reflek bulbokavernosus Kulit penis atau glan dicubit terlihat kontraksi bulbokavernosus 6. Reflek Plantar ( L 5, S 1-5) Telapak kaki dirangsang akan timbul fleksi jari kaki seperti pemeriksaan Babinski H. PEMERIKSAAN REFLEK PATOLOGIS 1. Babinski Telapak kaki digores dari tumit menyusur bagian lateral menuju pangkal ibu jari, timbul dorso fleksi ibu jari dan pemekaran jari-jari lainnya. 2. Chadock Tanda babinski akan timbul dengan menggores punggung kaki dari arah lateral ke depan 3. Openheim Mengurut tibia dengan ibu jari, jario telunjuk, jari tengah dari lutut menyusur kebawah (+ = babinski) 4. Gordon Otot gastroknemius ditekan (+ sama dengan Babinski) 5. Scahaefer Tanda babinski timbul dengan memijit tendon Achiles 6. Rosollimo Mengetok bagian basis telapak jari kaki (+) fleksi jari-jari kaki 7. Mendel Rechterew Mengetok bagian dorsal basis jari kaki. (+) fleksi jari kaki 8. Hoffman Trommer Positif timbul gerakan mencengkram pada petikan kuku jari telunjuk atau jari tengah 13

6. 2. Bagaimana plastisitas otak? Otak manusia menunjukkan adanya suatu plastisitas, yaitu suatu kemampuan untuk berubah atau mengalami remodelisasi secara fungsional sebagai respons terhadap adanya suatu kebutuhan fungsional. Istilah plastisitas digunakan untuk menggambarkan kemampuan yang dimilikinya karena plastik dapat dimanipulasi menjadi bentuk apa saja yang diinginkan dengan tujuan tertentu. Kemampuan otak untuk bermodifikasi sesuai kebutuhan paling banyak terjadi pada tahun-tahun pertama kehidupan, namun orang dewasa masih memiliki sedikit aktivitas plastisitas ini. Ketika suatu area di otak yang berkaitan dengan suatu aktivitas tertentu mengalami kerusakan, maka area lain akan bekerja lebih untuk mengganti fungsi area yang rusak. Peneliti, awalnya, hanya menemukan adanya mekanisme molekular yang berperan dalam plastisitas otak. Penelitian terbaru menunjukkan adanya pembentukan jaras saraf baru (bukan pembentukan neuron baru, namun koneksi baru antara neuron yang telah ada) sebagai respon terhadap perubahan pengalaman yang dimediasi oleh perubahan bentuk dendrit yang diakibatkan oleh modifikasi elemen sitoskeleton. Dendrit menjadi lebih bercabang dan memanjang, sehingga kemampuan neuron untuk menerima dan

mengintegrasikan sinyal dari neuron lain meningkat. Koneksi sinapsis antar neuron tidak terfiksasi tetapi dapat diubah berdasarkan pengalaman. Modifikasi perlahan pada tiap otak manusia karena pengalaman yang unik menyediakan dasar biologis pada setiap individu. Walaupun otak terus-menerus mengalami perubahan yang dipengaruhi oleh pengalaman unik, sangat penting untuk menyadari bahwa hal yang telah dilakukan tidak dapat mengubah bentuk organisasi korteks dan bagian otak lainnya secara total. Sebagian plastisitas otak dibatasi genetik dan lainnya dibatasi oleh batasan perkembangan. Sebagai contoh, beberapa area korteks tetap mengalami plastisitas sepanjang hayat, khususnya kemampuan untuk belajar dan menambah memori baru, tetapi sebagian area korteks lainnya dapat diubah hanya dalam kurun waktu tertentu setelah kelahiran sebelum benar-benar berhenti berkembang. Panjang periode plastisitas otak bervariasi tergantung area korteks masing-masing.

6. 3. Bagaimana penuaan pada sistem saraf? Lansia mengalami penurunan koordinasi dan kemampuan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Penuaan menyebabkan penurunan persepsi sensorik dan respon motorik pada susunan saraf pusat dan penurunan reseptor proprioseptif.hal ini terjadi karena susunan saraf pusat pada lansia mengalami perubahan morfologis dan biokimia. Struktur dan fungsi sistem saraf berubah dengan bertambahnya usia. Berkurangnya massa otak progresif akibat 14

berkurangnya sel saraf yang tidak bisa diganti. Perubahan structural yang paling terlihat terjadi pada otak itu sendiri, walaupun bagian dari system saraf pusat (SSP) juga terpengaruh.perubahan ukuran otak yang diakibatkan oleh atrofi girus dan dilatasi sulkus dan ventrikel otak. Korteks cerebral adalah daerah otak yang paling besar dipengaruhi oleh kehilangan neuron. Penurunan aliran darah cerebral dan penggunaan oksigen dapat pula terjadi dengan penuaan. Perubahan dalam sistem neurologis dapat termasuk kehilangan dan penyusutan neuron, dengan potensial 10% kehilangan yang diketahui pada usia 80 tahun. Distribusi neuron kolinergik, norepinefrin, dan dopamine yang tidak seimbang, dikompensasi oleh hilangnya sel-sel, menghasilkan sedikit penurunan intelektual. Namun parkinsonisme ringan mungkin dialami ketika reseptor penghambat dopamine dipengaruhi oleh penuaan. Peningkatan kadar monoamine oksidase dan serotonin dan penurunan kadar norepinefrin telah diketahui, yang mungkin dihubungkan dengan depresi pada lansi. Perubahan-perubahan ini menunjukkan variasi yang luas diantara individu-individu. Penurunan dopamine dan beberapa enzim dalam otak pada lansia berperan terhadap terjadinya perubahan neurologis fungsional. Kehilangan jumlah dopamine yang lebih besar terjadi pada klien dengan penyakit Parkinson. Defisiensi dopamine mengakibatkan ganglia basalis menjadi terlalu aktif, sehingga menyebabkan terjadinya bradikinesia, kekakuan, dan hilangnya mekanisme postural yang sering dilihat pada mereka yang menderita penyakit Parkinson. Secara fungsional, mungkin terdapat suatu perlambatan reflex tendon profunda. Terdapat kecenderungan kearah tremor dan langkah yang pendek-pendek atau gaya berjalan dengan langkah kaki melebar disertai dengan berkurangnya gerakan yang sesuai. Peningkatan tonus otot juga diketahui, dengan kaki yang lebih banyak terlibat dengan lengan, lebih kearah proksimal daripada distal.Selain itu penurunan kekuatan otot juga terjadi, dengan kaki yang menunjukkan kehilangan yang lebih besar lebih kearah proksimal daripada distal.Penurunan konduksi saraf perifer mungkin dialami oleh klien.Walaupun reaksi menjadi lebih lambat, dengan penurunan atau hilangnya hentakan pergelangan kaki dan pengurangan reflex lutut, bisep dan trisep, terutama karena pengurangan dendrite dan perubahan pada sinaps, yang memperlambat konduksi. Perubahan fungsional termasuk penurunan diskriminasi rangsang taktil dan peningkatan ambang batas nyeri. Hal ini khususnya dapat secara nyata pada perubahan baroreseptor. Namun, perubahan pada otot dan tendon mungkin merupakan factor yang memiliki konstribusi lebih besar dibanding dengan perubahan yang nyata ini dalam arkus reflex. 15

Fungsi sistem saraf otonom dan simpatis mungkin mengalami penurunan secara keseluruhan.Plak senilis dan kekusutan neurofibril berkembang pada lansia dengan dan tanpa dimensia.Akumulasi pigmen lipofusin neuron menurunkan kendali system saraf pusat terhadap sirkulasi.kongesti system saraf diperkirakan dapat menurunkan aktivitas sel dan sel kehilangan kemampuannya untuk mempertahankan dirinya sendiri. semakin aktif sel tersebut, semakin sedikit lipofusin yang disimpan. Manifestasi klinis yang berhubungan dengan defisit neurologis pada klien lansia mungkin dipandang dari berbagai perspektif: fisik, fungsional, kognisi-komunikasi, persepsi sensori dan psikososial. Kerusakan tertentu tampak ketika fokal dan sistem neural di dalam otak rusak karena masalah vascular. Manifestasi spesifik pada setiap kategori sangat bermanfaaat dalam mengkaji dan mengembangkan suatu rencana perawatan untuk klien lansia yang mengalami gangguan neurologis. a. Fisik Dampak dari penuaan pada SSP sukar untuk ditentukan, karena hubungan fungsi sistem ini dengan sistem tubuh yang lain. Dengan gangguan perfusi dan terganggunya aliran darah serebral, lansia beresiko lebih besar untuk mengalami kerusakan serebral tambahan, gagal ginjal, penyakit pernafasan, dan kejang. Terdapat suatu pengurangan aliran darah sel saraf serebral dan metabolisme yang telah diketahui. Dengan penurunan kecepatan konduksi saraf, refleks yang lebih lambat, dan respon yang tertunda untuk berbagai stimulasi yang dialami, maka terdapat pengurangan sensasi kinestetik. Karena perubahan fisiologis dalam system persarafan yang terjadi selama proses penuaan, siklus tidur-bagun mungkin berubah. Secara spesifik, gangguan tidur mempengaruhi 50% orang yang berusia 65 tahun ke atas yang tinggal di rumah dan 66% yang tinggal di fasilitas perawatan jangka panjang. Perubahan tidur yang diketahui adalah meningkatnya fase laten tidur, bagun pada dini hari, dan meningkatnya jumlah waktu tidur pada siang hari. Hilangnya pengaturan sirkadian tidur efektif yang diketahui berhubungan dengan peningkatan keadaan terbagun selama tidur dan gabungan jumlah waktu terbangun sepanjang malam.
b. Fungsi

Defisit fungsional pada gangguan neurologis mungkin berhubungan dengan penurunan mobilitas pada klien lansia, yang disebabkan oleh penurunan kekuatan, rentang gerak, dan kelenturan. Dengan berkurangnya kebebasan gerak, lansia mungkin memiliki kesukaran untuk berdandan, toileting, dan makan. Penurunan pergerakan mungkin merupakan akibat dari kifosis, pembesaran sendi-sendi, kejang dan penurunan tonus otot. Atrofi dan penurunan jumlah serabut otot, dengan jaringan fibrosa secara berangsur-angsur 16

menggantikan jaringan otot dengan penurunan massa otot, kekuatan, dan pergerakan secara keseluruhan, lansia mungkin memperlihatkan kelemahan secara umum. Tremor otot mungkin dihubungkan dengan degenerasi system ektrapiramida. Kejang dapat diakibatkan oleh cedera motor neuron di dalam SSP. Kejang yang berat dapat mengakibatkan berkurangnya fleksibilitas, postur tubuh, dan mobilitas fungsional, juga nyeri sendi, kontraktur, dan masalah dengan pengaturan posisi untuk memberikan kenyamanan dan hygiene. Tendon dapat mengalami sklerosis dan penyusutan, yang menyebabkan suatu penurunan hentakan tendon. Refleks pada umumnya tetap ada pada lutut, berkurang pada lengan, dan hamper secara total hilang pada bagian abdomen. Kram otot mungkin merupakan suatu masalah yang sering terjadi. Defisit mobilitas fungsional dan pergerakan membuat lansia menjadi sangat rentan untuk mengalami gangguan integritas kulit dan jatuh. c. Kognisi-Komunikasi Perubahan kognisi-komunikasi mungkin bervariasi dan berat. Gaya komunikasi premorbit, kemampuan intelektual, dan gaya belajar merupakan data yang penting untuk menyiapkan suatu rencana keperawatan yang realistis untuk klien lansia. Indera kita merupakan hal yang penting dalam komunikasi. Sejumlah hambatan komunikasi mungkin terjadi sebagai akibat dari stroke atau penyakit Parkinson. Perubahan sensasi dan persepsi dapat mengganggu penerimaan pengungkapan informasi dan perasaan. Gangguan pengecapan, penciuman, nyeri, sentuhan, temperature, dan merasakan posisi-posisi sendi dapat mengubah komunikasi yang kita alami. Dengan disorientasi dan konfusi, kesadaran kita terhadap kenyataan menurun secara nyata. Penurunan ini mungkin progresif, permanen, atau temporer, bergantung pada sifat dan tingkat kerusakan cerebral. Memori mungkin berubah dalam proses penuaan. Pada umumnya, memori untuk kejadian masa lalu lebih banyak diretensi dan lebih banyak diingat dari pada informasi yang masih baru. Deprivasi sensori dapat diakibatkan oleh kerusakan pada pusat cerebral yang bertnggung jawab umtuk memproses stimulus. Halusinasi, disorientasi, dan konfusi mungkin menyebabkan deprivasi sensori, bukan gangguan kemampuan mental.Sensasi dan persepsi dapat berkurang lebih jauh lagi ketika obat depresan SSP digunakan dalam terapi farmakologis. Agnosia, afasia, dan apraksia mungkin terlihat pada klien dengan stroke atau demensia progresif. Agnosia adalah ketidak mampuan untuk mengenali objek yang umum (sisir, sikat gigi, cermin) dengan menggunakan salah satu indra, walaupun indra tersebut masih utuh. Agnosia penglihatan, pengengaran, dan taktil terkadi ketika ada kerusakan pada lobus parietal dan oksipital, girus presental, daerah perieto-oxipital dan korpus kolosum. 17

Afasia adalah ketidakmampuan untuk menggunakan kata-kata yang memiliki arti dan kehilangan kemampuan mengerti bahasa lisan.Terdapat disintegrasi fonetik, semantic, atau sintaksis yang diketahui pada tingkat produksi atau tingkat pemahaman dalam berkomunikasi. Afasia mungkin dicerminkan dalam kata-kata klien yang samar-samar, bicara ngelantur, kesukaran dalam berbicara dan kesulitan dalam menemukan kata-kata yang benar untuk menyatakan suatu gagasan. Apraksia adalah suatu ketidakmampuan untuk menunjukkan suatu aktivitas yang dipelajari yang memiliki fungsi motorik yang diperlukan.Misalnya kesalahan pengguanaan kata-kata dalam menyebutkan hal-hal tertentu dan ketidakmampuan untuk mengenali dan menyebutkan objek umum dan orang-orang yang dikenal.Gangguan citra tubuh, ruang, jarak dan persepsi pergerakan sering terjadi pada orang dengan stroke. Klien mungkin mengalami distorsi dalam memandang diri-sendiri dan mungkin mengalami kekurangan kesadaran dalam menggunakan komponen-komponen tubuh tertentu. Karena distorsi cara memandang dirisendiri dan anggota tubuh yang tidak digunakan ini, lansia mungkin mengalami cedera, kelemahan, kurang perhatian, dan kurangnya perawatan pada ekstremitas. d. Persepsi-Sensori Panca indera mungkin menjadi kurang efisien dengan proses penuaan, bahaya bagi keselamatan, aktivitas, kehidupan sehari-hari (AKS) yang normal dan harga diri secara keseluruhan. Meskipun semua lansia mengalami kehilangan sensorik dan sebagai akibatnya berisiko mengalami deprivasi sensorik, namun tidak semua akan mengalami deprivasi sensorik. Salah satu indra dapat mengganti indera dalam mengobservasi dan menerjemahkan ransangan. e. Psikososial Defisit neurologis yang dapat menyebabkan penarikan diri, isolasi, dan rasa asing mungkin menyebabkan klien lansia lebih bingung dan mengalami disorientasi. Hilangnya fungsi tubuh dan gangguan gambaran diri mungkin turut berperan terhadap hilangnya harga diri klien. Perubahan fisik dan social yang terjadi bersamaan tidak dapat dipisahkan dari perubahan psikologis selama proses penuaan. Sebagai contoh, perubahan organ sensoris dapat menghalangi interaksi dengan lingkungan, serta memengaruhi kesejahteraan psikologis. Status kesehatan umum, faKtor genetic, dan pencapaian pendidikan dan vokasional juga berpengaruh dalam fungsi psikologis seseorang.

18

6. 4. Apa itu konsep bio-psiko-sosial? Konsep biopsikososial memberikan suatu gambaran yang menyeluruh tentang munculnya suatu kondisi sakit yang dihubungkan dengan faktor lingkungan dan stres yang terkait di dalamnya. Kondisi lingkungan, dalam hal ini dukungan sosial, dapat juga memberikan perbaikan kondisi. Salah satu contoh penerapan konsep tersebut adalah ilmu kedokteran jiwa. Kondisi kesehatan jiwa seseorang dapat dilihat sebagai suatu keadaan yang melibatkan faktor biologis, psikologis, dan sosial orang tersebut. Secara biologis, gangguan pada kondisi kesehatan jiwa seseorang diakibatkan karena ketidakseimbangan sistem hormon dan neurotransmiter di otak. Secara psikologis, gangguan kondisi kesehatan jiwa disebabkan oleh mekanisme adaptasi psikis individu yang tidak bekerja dengan baik. Sementara, secara sosial, kondisi gangguan kesehatan jiwa dapat dipicu oleh lingkungan yang tidak nyaman, serta penuh dengan tekanan dan ketakutan. Ketiga faktor tersebut akan berkontribusi secara sinergis dalam terjadinya gangguan kesehatan jiwa seseorang. Dengan mengetahui kondisi tersebut maka penatalaksanaan gangguan kesehatan jiwa juga melibatkan ketiga faktor di atas. Biologis dengan menggunakan obat, psikologis dengan menggunakan psikoterapi, sosial dengan

menggunakan dukungan dan modifikasi sosial.

6. 5. Bagaimana gangguan orientasi, bahasa dan memori? Termasuk dalam gangguan mental dalam kognisi, yang termasuk selain ketiga itu antara lain gangguan konsentrasi/ perhatian, berhitung, visual-spatial fungsi eksekutif, abstraksi dan taraf intelegensi. 1. Gangguan orientasi

Orientasi adalah kemampuan individu untuk mengenali objek/situasi sebagaimana adanya. Dibedakan atas orientasi personal/orang, yaitu kemampuan untuk mengenali orang yang sudah dikenalnya. Orientasi ruang/ spatial, yaitu kemampuan individu untuk mengenali tempat dimana ia berada. Orientasi waktu yaitu kemampuan individu untuk mengenali secara tepat waktu dimana individu berada. Gangguan orientasi sering terjadi pada kerusakan organik di otak. Bila orientasi pasien terganggu, hal ini dapat merupakan petunjuk bahwa memori jangka pendeknya mungkin terganggu.

19

2.

Gangguan bahasa

Gangguan bahasa dapat ditinjau dari aspek gangguan modalitas bahasa (berbicara, menyimak, menulis dan membaca), untuk membedakan afasia dari agnosia dan apraksia. Sedangkan dari aspek gangguan "berpikir" dan "cara penggunaan bahasa" dapat dibedakan demensia, kusut pikir (confusion) dan kasus psikiatrik. gangguan multimodalitas bahasa : Afasia adalah gangguan bahasa yang meliputi semua modalitas yaitu berbicara, menyimak, menulis dan membaca. Tidak ada afasia yang salah satu modalitasnya masih sempurna. Biasanya semua terkena, hanya yang satu lebih berat daripada yang lain. gangguan modalitas tunggal : Sering dijumpai pasien tidak dapat berbicara dan menyimak bahasa, tetapi masih dapat menulis dan membaca. Pasien ini menderita agnosia auditif. Sebaliknya pasien yang menderita apraksia tidak mampu menulis, tetapi mampu berbicara. gangguan "berpikir" : Penggunaan bahasa yang tidak benar dapat juga disebabkan oleh gangguan cara berpikir dan salah menggunakan bahasa. Hal ini membedakan dari afasia, agnosia dan apraksia yang disebabkan oleh gangguan modalitas bahasa. Contoh dari gangguan "berpikir" adalah demensia, kusut pikir (confusion) dan kasus psikiatrik. 3. Gangguan memori

Memori merupakan terminologi umum untuk status mental yang memungkinkan seseorang menyimpan informasi untuk dipanggil kembali di kemudian hari. a. Amnesia Umumnya melukiskan defek pada fungsi memori. Rentang waktu amnesia dapat sesingkat beberapa detik sampai selama beberapa tahun. Kejadian ini paling sering dijumpai pasca trauma kepala, tapi dapat juga terjadi setelah jejas otak mayor (misalnya strok). Namun juga dapat disebabkan faktor psikologis misalnya pada gangguan stress pasca trauma. 1. Amnesia anterograd dan retrograd

Contoh dari amnesia adalah amnesia anterograd dan retrograd. Ketidakmampuan mempelajari materi baru setelah jejas otak disebut amnesia anterograd. Amnesia retrograd berarti amnesia terhadap kejadian sebelum terjadi jejas atau insult otak. 2. Amnesia psikogenik

Dalam hal ini pasien memblok suatu kurun waktu. Pasien ini tidak menunjukkan defisit memori baru; ia dapat mempelajari item baru sewaktu periode amesia dan setelah periode amnesia berlalu dan tidak menderita defek pada memori jangka panjang dan pendek (recent) bila di tes. Hilangnya memori yang berdasarkan keadaan psikologis mengakibatkan lubanglubang pada memori terhadap kejadian sewaktu adanya amnesia. 20

b. Paraamnesia Sering disebut sebagai ingatan palsu, yakni terjadinya distorsi ingatan dari

informasi/pengalaman yang sesungguhnya. Penyebab organiknya bisa ditimbulkan akibat gangguan di otak misalnya demensia, sedangkan penyebab psikologiknya dapat disebabkan oleh gangguan disosiasi. Jenis paramnesia : 1. Konfabulasi: adalah ingatan palsu yang muncul untuk mengisi kekosongan memori.

Biasa terjadi pada orang dengan demensia. 2. Deja Vu: adalah suatu ingatan palsu terhadap pengalaman baru. Individu merasa

sangat mengenali suatu situasi baru yang sesungguhnya belum pernah dikenalnya. 3. Jamais Vu: adalah kebalikan dari Deja Vu, yaitu merasa asing terhadap situasi yang

justru pernah dialaminya. 4. Hiperamnesia: adalah ingatan yang mendalam dan berlebihan terhadap suatu

pengalaman 5. Screen memory: adalah secara sadar menutupi ingatan akan pengalaman yang

menyakitkan atau traumatis dengan ingatan yang lebih dapat ditoleransi 6. Letologika: adalah ketidakmampuan yang bersifat sementara dalam menemukan kata

kata yang tepat untuk mendeskripsikan pengalamannya. Lazim terjadi pada proses penuaan atau pada stadium awal dari demensi. c. Berdasarkan rentang waktu Berdasarkan rentang waktu individu kehilangan daya ingatnya, dibedakan menjadi: 1. Memori segera (immediate memory): adalah kemampuan mengingat peristiwa yang

baru saja terjadi, yakni rentang waktu beberapa detik sampai beberapa menit 2. Memori baru (recent memory): adalah ingatan terhadap pengalaman/informasi yang

terjadi dalam beberapa hari terakhir 3. Memori jangka menengah (recent past memory): adalah ingatan terhadap peristiwa

yang terjadi selama beberapa bulan yang lalu. 4. Memori jangka panjang: adalah ingatan terhadap peristiwa yang sudah lama terjadi

(bertahun tahun yang lalu)

6. 6. Bagaimana fisiologi kesadaran? Individu yang sadar adalah seseorang yang terbangun serta waspada terhadap diri dan lingkungannya. Untuk menimbulkan kesadaran yang normal, 2 bagian utama system saraf harus berfungsi aktif (formation retikularis di batang otak dan korteks serebri).

21

Formation retikularis berperan dalam keadaan bangun. Korteks serebri dibutuhkan untuk keadaan waspada, yaitu keadaan yang memungkinkan individu bereaksi terhadap stimulus dan berinteraksi dengan lingkungan.

6. 7. Bagian otak mana yang mengatur pusat kesadaran? Kesadaran diatur oleh 2 komponen otak yaitu Formasio Retikularis dan Korteks Serebri. Formatio retikularis terletak di batang otak dan struktur-struktur di atas batang otak, dari pertengahan pons sampai ke hipotalamus. Formation retikularis merupakan jaringan luas neuron yang saling berhubungan di batang otak dan berjalan ke thalamus. Jaringan ini menerima dan mengintegrasikan semua masukan sinaps. ARAS (ascending reticular activating system) merupakan suatu daerah pada formatio retikularis, membawa informasi sensorik ke korteks serebri. ARAS terletak di bagian rostral formatio reticularis. ARAS berperan sebagai pencetus kesadaran/alertness, sedangkan korteks serebri berfungsi untuk mengatur isi/content kesadaran. Jika ARAS distimulasi, seseorang yang tidur akan terbangun.

6. 8. Bagaimana cara pemeriksaan kesadaran? A. Pengujian Tingkat Kesadaran Secara Kualitatif


1. Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya. 2. Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh. 3. Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak, berteriakteriak, berhalusinasi, kadang berhayal. 4. Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal. 5. Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon terhadap nyeri. 6. Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek muntah, mungkin juga tidak ada respon pupil terhadap cahaya).

22

B. Pengujian Tingkat Kesadaran Secara Kuantitatif dengan GCS ( Glasgow Coma Scale ) 1. Menilai respon membuka mata (E) (4) : spontan (3) : dengan rangsang suara (suruh pasien membuka mata). (2) : dengan rangsang nyeri (berikan rangsangan nyeri, misalnya menekan kuku jari) (1) : tidak ada respon 2. Menilai respon Verbal/respon Bicara (V) (5) : orientasi baik (4) : bingung, berbicara mengacau ( sering bertanya berulang-ulang ) disorientasi tempat dan waktu. (3) : kata-kata saja (berbicara tidak jelas, tapi kata-kata masih jelas, namun tidak dalam satu kalimat. Misalnya aduh, bapak) (2) : suara tanpa arti (mengerang) (1) : tidak ada respon 3. Menilai respon motorik (M) (6) : mengikuti perintah (5) : melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus saat diberi rangsang nyeri) (4) : withdraws (menghindar / menarik extremitas atau tubuh menjauhi stimulus saat diberi rangsang nyeri) (3) : flexi abnormal (tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas dada & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri). (2) : extensi abnormal (tangan satu atau keduanya extensi di sisi tubuh, dengan jari mengepal & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri). (1) : tidak ada respon Hasil pemeriksaan tingkat kesadaran berdasarkan GCS disajikan dalam simbol EVM Selanutnya nilai-nilai dijumlahkan. Nilai GCS yang tertinggi adalah 15 23

yaitu E4V5M6 dan terendah adalah 3 yaitu E1V1M1. Setelah dilakukan scoring maka dapat diambil kesimpulan : Compos Mentis (GCS: 15-14), Apatis (GCS: 13-12), Somnolen(11-10), Delirium (GCS: 9-7), Sporo coma (GCS: 6-4), Coma (GCS: 3). 6. 9. Penyebab penurunan kesadaran? Penurunan kesadaran dapat disebabkan oleh beberapa penyebab seperti faktor penyebab metabolik, kerusakan di batang otak dan kerusakan hemisfer serebri. Faktor metabolik dapat dimulai dari beberapa hal seperti kondisi hipoglikemi maupun hiperglikemi, ketoasidosis, Induksi obat dan penyakit akibat gagal hati. Sedangkan kerusakan batang otak dapat diakibatkan oleh infark maupun perdarahan atau tekanan akibat adanya herniasi. Kerusakan yang terletak pada batang otak dapat mengakibatkan gangguan kesadaran karena pada batang otak terdapat formatio reticularis yang berfungsi untuk mempertahankan mempertahankan kewaspadaan dan koordinasi sistem saraf otonom. Kerusakan pada hemisfer serebri juga dapat menyebabkan penurunan kesadaran. Kerusakan pada hemisfer serebri menyebabkan korteks yang berfungsi untuk mengatur isi kesadaran, dan pengemban kewaspadaan kehilangan fungsinya. Kerusakan pada hemisfer serebri dapat diakibatkan oleh perdarahan intraserebral, infark, infeksi maupun trauma.

6. 10. Bagaimana hubungan kelelahan dan stres terhadap kesadaran? Pada dasarnya aktivitas kerja merupakan pengerahan tenaga dan pemanfaatan organorgan tubuh melalui koordinasi dan perintah oleh pusat syaraf. Besar kecilnya pengerahan tenaga oleh tubuh sangat tergantung dari jenis pekerjaan (fisik atau mental). Secara umum jenis pekerjaan yang bersifat fisik memerlukan pengerahan tenaga yang lebih besar dibandingkan jenis pekerjaan yang bersifat mental. Bekerja mengakibatkan aktivitas persyarafan bertambah, otot-otot menegang, meningkatnya peredaran darah ke organ-organ tubuh yang bekerja, napas menjadi lebih dalam, denyut jantung dan tekanan darah meningkat. Pada kerja fisik, peranan pengerahan tenaga otot lebih menonjol dan untuk kerja mental peranan kerja otak yang lebih dominan. Sumamur menyatakan bahwa bekerja adalah katabolisme yaitu menguraikan atau menggunakan bagian-bagian tubuh yang telah dibangun sebelumnya. Dalam keadaan demikian, sistem saraf utama yang berfungsi adalah komponen simpatis. Maka pada kondisi seperti itu, aktivitas tidak dapat dilakukan secara terus-menerus, melainkan harus diselingi istirahat untuk memberi kesempatan tubuh melakukan pemulihan. Penggunaan energi harus memperhatikan keseimbangan antara kebutuhan energi (untuk bekerja) dengan penggantian 24

kembali sejumlah energi yang telah digunakan (istirahat). Kedua proses tersebut merupakan suatu bagian integral dari kerja otot, kerja jantung dan keseluruhan fungsi biologis tubuh. Kelelahan akibat kerja diatur secara sentral oleh otak. Pada susunan syaraf pusat terdapat sistem aktivasi (bersifat simpatis) dan inhibisi (bersifat parasimpatis). Istilah kelelahan akibat kerja biasanya menunjukkan kondisi yang berbeda-beda dari setiap individu, tetapi semuanya bermuara kepada kehilangan efisiensi dan penurunan kapasitas kerja serta ketahanan tubuh. Menurut Nurmianto perasaan adanya kelelahan akibat kerja ditandai dengan berbagai kondisi, antara lain kelelahan visual (indera penglihatan) disebabkan oleh penerangan dan seringnya akomodasi mata; kelelahan di seluruh tubuh; kelelahan urat syaraf; stres (pikiran tegang) dan rasa malas untuk bekerja (circadianfatigue). Ada beberapa pendapat mengenai tipe kelelahan akibat kerja. Muchinsky menyatakan ada empat tipe kelelahan yakni: a. Kelelahan otot (muscular fatigue), disebabkan oleh aktivitas yang membutuhkan tenaga fisik yang banyak dan berlangsung lama. Tipe ini berhubungan dengan perubahan biokimia tubuh dan dirasakan individu dalam bentuk sakit yang akut pada otot. Kelelahan ini dapat dikurangi dengan mendesain prosedur kerja baru yang melindungi individu dari pekerjaan yang terlalu berat, misalnya dengan mendesain ulang peralatan atau penemuan alat-alat baru serta melakukan sikap kerja yang lebih efisien. b. Kelelahan mental (mental fatigue), berhubungan dengan aktivitas kerja yang monoton. Kelelahan ini dapat membuat individu kehilangan kendali akan pikiran dan perasaan, individu menjadi kurang ramah dalam berinteraksi dengan orang lain, pikiran dan perasaan yang seharusnya ditekan karena dapat menimbulkan konflik dengan individu lain menjadi lebih mudah diungkapkan. Kelelahan ini diatasi dengan mendesain ulang pekerjaan sehingga membuat karyawan lebih bersemangat dan tertantang untuk menyelesaikan pekerjaan. c. Kelelahan emosional (emotional fatigue), dihasilkan dari stres yang hebat dan umumnya ditandai dengan kebosanan. Kelelahan ini berasal dari faktor-faktor luar di tempat kerja, perusahaan dapat mengatasi kelelahan ini dengan memberikan pelayanan konseling bagi karyawan agar kelelahan emosional yang dirasakan karyawan dapat teratasi dan performansi kerja karyawan meningkat. d. Kelelahan ketrampilan (skills fatigue), berhubungan dengan menurunnya perhatian pada tugas-tugas tertentu seperti tugas pilot atau pengontrol lalu lintas udara. Pada kelelahan tipe ini standar akurasi dan penampilan kerja menurun secara progresif. Penurunan ini 25

diperkirakan menjadi penyebab utama terjadinya kecelakaan mobil dan pesawat terbang, sehingga karyawan harus selalu diawasi dan diupayakan agar terhindar dari kelelahan ini dengan pemberian waktu istirahat yang cukup. Pada kondisi kelelahan akan mempengaruhi suplai nutrisi sebagai sumber metabolism dan distribusi oksigen ke berbagai jaringan tubuh. Pada kondisi seperti kelelahan otot suplai nutrisi dan distribusi oksigen akan cendrung meningkat pada jaringan otot sedang pada jaringan lain seperti otak akan menurun. Kondisi yang demikian, yaitu terjadi penurunan suplai nutrisi oleh karena hipoglikemi ataupun distribusi oksigen (hipoksia) pada jaringan otak, jika terjadi pada bagian sistem saraf pusat yang berfungsi sebagai pusat kesadaran maka dapat menimbulkan penurunan kesadaran.

6. 11. Bagaimana patofisologi sinkop? Semakin umum tipe sinkop, semakin sederhana mekanismenya. Sinkop terjadi akibat gangguan metabolisme otak yang tiba-tiba, biasanya disebabkan oleh hipotensi dengan penurunan aliran darah serebral. Beberapa mekanisme mengikuti penyesuaian sirkulasi pada posisi tegak. Hampir dari volume darah sistemik terdapat dalam pembuluh vena, dan setiap gangguan pada venous return dapat menyebabkan penurunan cardiac output. Aliran darah serebral dapat tetap dipertahankan, selama terjadi vasokonstriksi arteri sistemik. Tetapi jika penyesuaian ini gagal, dan terjadi hipotensi serius dengan hipoperfusi serebral sampai kurang dari setengah nilai normal, akan menyebabkan sinkop. Normalnya, pengumpulan darah di bagian tubuh yang terendah dicegah dengan : (1) refleks tekanan yang menginduksi konstriksi arteriol dan venul perifer, (2) refleks percepatan jantung dengan memakai refleks aorta dan karotid, dan (3) perbaikan venous return ke jantung oleh aktivitas otot-otot ekstremitas. Penurunan kesadaran disebabkan oleh gangguan pada korteks secara menyeluruh misalnya pada gangguan metabolik, dan dapat pula disebabkan oleh gangguan ARAS di batang otak, terhadap formasio retikularis di thalamus, hipotalamus maupun mesensefalon. Pada penurunan kesadaran, gangguan terbagi menjadi dua, yakni gangguan derajat (kuantitas, arousal, wakefulness) kesadaran dan gangguan isi (kualitas, awareness, alertness) kesadaran. Adanya lesi yang dapat mengganggu interaksi ARAS dengan korteks serebri, apakah lesi supratentorial, subtentorial dan metabolik akan mengakibatkan menurunnya kesadaran.

26

6.12. Apa saja DD sinkop? 1. Sinkop Vasovagal

Pada sinkop vasovagal didapatkan dua komponen yang berperan, yaitu melambatnya denyut jantung karena pengaruh vagus dan adanya vasodilatasi di otot rangka, organ internal, dan pembuluh darah splanchnik. Namun demikian, pengaruh vasodilatasi, berkurangnya tahanan di pembuluh darah perifer- terutama di otot rangka- yang lebih utama. Sinkop vasovagal yang disebut sebagai sinkop refleks atau sinkop psikogenik atau sinkop neurogenik, paling sering dijumpai. Ia dapat terjadi pada orang sehat. Penyebab atau pencetusnya bermacam-macam, di antaranya dapat disebut: faktor emosional, ketakutan, melihat darah, melihat orang kecelakaan (misalnya ditabrak mobil), rasa nyeri (misalnya mengalami operasi kecil, cabut gigi, suntikan) dan berada di ruangan yang pengap. Bila sinkop berlangsung lama, dapat terjadi kejang klonik di ektremitas, namun hal ini jarang terjadi. Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, dan umumnya tidak dibutuhkan prosedur lainnya. sinkop vasovagal dapat dicegah bila pasien segera berbaring, mengambil posisi horisontal. Bila terasa gejala mual, segera berbaring. Pasien juga perlu menghindari faktor pencetusnya. 2. Sinkop Postural (Hipotensi Ortostatik) Hipotensi ortostatik ditandai gejala: kepala terasa ringan, pandangan menjadi kabur, tinitus, merasa lemah dan dapat diikuti oleh hilangnya kesadaran. Hipotensi ortostatik dapat menyebabkan sinkop jika tekanan darah turun banyak, berdiri lama pada satu sikap (misalnya waktu mengikuti upacara) dapat mengakibatkan sinkop, juga pada orang yang sehat. Bangun dari tempat tidur setelah berbaring berhari-hari karena suatu penyakit, dapat mengakibatkan sinkop. Terjadinya sinkop pada keadaan ini mungkin disebabkan oleh menumpuknya darah di vena ekstremitas bawah, yang biasanya dicegah oleh tonus otot, oleh aksi pompa dari otot yang menolong baliknya darah ke jantung dan oleh penyesuaian vasokontriksi yang terjadi bila badan mengambil sikap berdiri. Obat-obatan dapat pula menyebabkan hipotensi ortostatik , misalnya obat anti hipertensi (ganglion blocking agents dan adrenergic blocking agents) dan obat penenang (tranquilizers) tertentu. Terjadinya hipotensi postural (ortostatik) ialah disebabkan oleh kegagalan regulasi proses vasoadaptasi karena terganggunya sistem simpatis eferen. Hipotensi ortostatik merupakan penyebab sinkop tersering kedua setelah sinkop vasovagal. Terapi hipotensi ortostatik ditujukan kepada penyebabnya. Tindakan yang dapat membantu ialah kaos kaki yang elastis, perut diikat, obat fludrohydrocortisone 0,1 mg/12 jam. 3. Koma Bihemisferik

27

Neuron

merupakan

satuan

fungsional

susunan

saraf.

Berbeda secara

struktur,

metabolisme dan fungsinya dengan sel tubuh lain. Pertama, neuron tidak bermitosis. Kedua, untuk metabolismenya neuron hanya menggunakan O2 dan glukosa saja. Sebab bahan baku seperti protein, lipid, polysaccharide dan zat lain yang biasa digunakan untuk metabolisme sel tidak dapat masuk ke neuron karena terhalang oleh blood brain barrier. Angka pemakaian glukosa ialah 5,5 mg/100 gr jaringan otak/menit. Angka pemakaian O2 ialah 3,3 cc/100 gr jaringan otak/menit. Glukosa yang digunakan oleh neuron 35% untuk proses oksidasi, 50% dipakai untuk sintesis lipid, protein, polysaccharide, dan zat-zat lain yang menyusun infrastruktur neuron, dan 15% untuk fungsi transmisi. Hasil akhir dari proses oksidasi didapatkan CO2 dan H2O serta ATP yang berfungsi mengeluarkan ion Na dari dalam sel dan mempertahankan ion K di dalam sel. Bila metabolisme neuron tersebut terganggu maka infrastruktur dan fungsi neuron akan lenyap, bilamana tidak ada perubahan yang dapat memperbaiki metabolisme. Koma yang bangkit akibat hal ini dikenal juga sebagai Koma Metabolik.Yang dapat membangkitkan koma metabolik antara lain: - Hipoventilasi - Anoksia iskemik. - Anoksia anemik. - Hipoksia atau iskemia difus akut. - Gangguan metabolisme karbohidrat. - Gangguan keseimbangan asam basa. - Uremia. - Koma hepatik - Defisiensi vitamin B. 4. Koma Diensefalik

Koma akibat gangguan fungsi atau lesi struktural formation retikularis di daerah mesensefalon dan diensefalon (pusat penggalak kesadaran). Secara anatomik koma diensefalik dibagi menjadi 2 bagian utama yaitu koma akibat lesi supratentorial dan lesi infratentorial. a. Lesi supratentorial

Proses desak ruang supratentorial, lama kelamaan mendesak hemisferium ke arah foramen magnum, yang merupakan satu-satunya jalan keluaruntuk suatu proses desak didalam ruang tertutup seperti tengkorak. Karena itu batang otak bagian depan (diensefalon) mengalami distorsi dan penekanan. Saraf-saraf otak mengalami penarikan dan menjadi lumpuh dan 28

substansia retikularis mengalami gangguan. Oleh karena itu bangkitlah kelumpuhan saraf otak yang disertai gangguan penurunan derajat kesadaran. Kelumpuhan saraf otak okulomotorius dan trokhlearismerupakan cirri bagi proses desak ruang supratentorial yang sedang menurun ke fossa posterior serebri. Yang dapat menyababkan lesi supratentorial antara lain; tumor serebri, abses dan hematoma intrakranial. b. Lesi infratentorial

Ada 2 macam proses patologik dalam ruang infratentorial (fossa kranii posterior). Pertama, proses diluar batang otak atau serebelum yang mendesak system retikularis. Kedua, proses didalam batang otak yang secara langsung mendesak dan merusak system retikularis batang otak. Proses yang timbul berupa (i).penekanan langsung terhadap tegmentum mesensefalon (formasio retikularis). (ii) herniasi serebellum dan batang otak ke rostral melewati tentorium serebelli yang kemudian menekan formation retikularis di mesensefalon. (iii) herniasi tonsiloserebellum ke bawah melalui foramen magnum dan sekaligus menekan medulla oblongata. Secara klinis, ketiga proses tadi sukar dibedakan. Biasanya berbauran dan tidak ada tahapan yang khas. Penyebab lesi infratentorial biasanya GPDO di batang otak atau serebelum, neoplasma, abses, atau edema

6. 13. Bagaimana tatalaksana yang diberikan pada pasien sinkop? 1. Pelihara jalan napas dengan memposisikan kepala ekstensi dan di miringkan. 2. Oleskan minyak angin pada hidung ataupun tenggorokan untuk merangsang pasien untuk tersadar kembali. 3. Jika pasien tidak dapat bangun secara spontan, maka perlu di bawa ke rumah sakit untuk dirawat inap. Indikasi rawat inap pasien sinkop adalah untuk tujuan terapi dan untuk mencari tau penyebab dari sinkop pasien / tujuan diagnosis. 4. Terapi yang diberikan dapat berupa pemberian cairan tubuh. 5. Kebanyakan kasus sinkop yang memerlukan penanganan khusus adalah sinkop yang disebabkan oleh penyakit vaskuler dan kardia. sehingga diperlukan terapi obat khusus seperti -blocker, agonis- dan pemasangan alat pacu jantung.

6. 14. Apa yang menyebabkan lidah pasien terasa kaku dan tertarik ke belakang? Nervus hipoglosus berinti di nukleus hipoglosus yang terletak di samping bagian dorsal dari fasikulus longitudinalis medialis pada tingkat kaudal medula oblongata. Pada perjalanannya menuju lidah, nervus ini melewati arteria karotis interna dan eksterna. Otot29

otot lidah yang menggerakan lidah terdiri dari muskulus stiloglosus, hipoglosus, genioglosus longitudinalis inferior dan genioglosus longitudinalis superior di persarafi oleh nervus hipoglosus. Lesi nervus hipoglosus sering terletak di perifer, maka atrofi otot cepat terjadi. Pada kelumpuhan paralisis nervus hipoglosus terdapat gejala-gejala berupa sukar menelan dan bicara pelo. Namun bicara pelo juga dapat terjadi walaupun lidah tidak lumpuh tetapi keleluasaannya terbatas karena frenula lingua mengikat lidah sampai ujungnya. Pada disartria hanya pengucapannya saja yang terganggu tetapi tata bahasanya baik. Disartria emeiliki beberapa penyebab. Disartria UMN yang berat timbal akibat lesi UMN bilateral, seperti pada paralisis pseudobulbaris. Di situ lidah sukar dikeluarkan dan umumnya kaku untuk digerakkan ke seluruh jurusan. Lesi UMN lain yang bisa menimbulkan disartria terletak di jaras-jaras yang menghantarkan impuls koordinatif yang bersumber pada serebelum, atau yang menyalurkan impuls ganglio basalis. Pada disartria serebelar, kerjasama otot lidah, vivir, pita suara dan otot-otot yang membuka dan menutup mulut bersimpang siur, sehingga kelancaran dan kontinuitas kalimat yang diucapkan sangat terganggu. Sedangkan pada disartria LMN akan terdengar berbagai macam disartria tergantung pada kelompok otot yang terganggu.

6. 15. Apa itu transcient ischemic attack (TIA)? Merupakan serangan-serangan defisit neurologik yang mendadak dan singkat akibat iskemia otak fokal yang cenderung membaik dengan kecepatan dan tingkat penyembuhan bervariasi tetapi biasanya dalam 24 jam. Serangan-serangan menimbulkan beragam gejala, tergantung pada lokasi jaringan otak yang terkena dan disebabkan oleh gangguan vaskular yang sama dengan yang menyebabkan stroke.TIA merupakan hal penting karena merupakan peringatan-peringatan dini akan kemungkinan infark serebrum di masa mendatang. TIA memerlukan pemeriksaan medis dan neurologis yang lengkap sebab tindakan ini dapat mencegah stroke, karena sering dijumpai penyebab-penyebab yang dapat diobati, seperti fibrilasi atrium. Pemeriksaan klinis yang paling sederhana : Hitung Darah Lengkap (HDL), panel metabolik dasar, faktor pembekuan, elektrokardiogram (EKG) dan pemeriksaan Doppler karotis (non invasif). Identifikasi bagian otak yang terkena TIA tidak mudah dilakukan. Namun, timbulnya kebutaan satu mata dengan atau tanpa kelemahan atau baal kontralateral selalu mengisyaratkan sistem karotis, demikian juga afasia reseptif atau sensorik. Meredup atau hilangnya penglihatan secara transien di satu mata (amaurosis fugaks) disebabkan oleh

30

terhentinya aliran darah melalui arteri oftalmika (yang merupakan cabang dari arteria karotis interna) yang memperdarahi arteri-arteri retina. Stenosis arteri yang disebabkan oleh plak arterosklerotik, mikroembolus dari plak aterosklerotik, atau menurunnya arah jantung dapat menyebabkan kurang adekuatnya perfusi ke otak sehingga timbul gejala-gejala tersebut. Tanda utama keterlibatan sistem vertebrobasilar adalah kelemahan bilateral, gangguan penglihatan, pusing bergoyang, sering jatuh mendadak, rasa baal, atau setiap kombinasinya (misalnya, gangguan traktus sensorik atau motorik secara bilaateral). Semakin sering frekuensi TIA, semakin besar probabilitas terjadinya stroke. Subclavia, Steal Syndrome, suatu bentuk TIA adalah contoh klasik obstruksi di arteri ekstrakranium yang mengganggu aliran darah melalui sistem arteria vertebrobasilaris. Apabila a. Subklavia tersumbat dekat pangkalnya, aliran darah ke a. Vertebralis dapat berbalik sehingga darah mengalir menjauhi (tercuri) dari a. Basilaris dan sirkulus willisi untuk memperdarahi lengan dengan mengorbankan sirkulasi otak. Tempat tersering obstruksi (biasanya disebabkan aterosklerosis adalah di a. Subklavia sinistra, dekat pangkal a. Vertebralis sinistra. Diagnosis dipastikan dengan angiografi dan penyakit ini dapat diperbaiki secara bedah dengan endarterektomi/okulasi pintas.

6. 16. Apa itu Reversible Ischemia Neurology Deficit (RIND)? Reversible Ischemic Neurological Deficit (RIND) merupakan salah satu klasifikasi stroke berdasarkan waktu terjadinya. RIND termasuk dalam stroke iskemik dan merupakan defisit neurologis yang membaik kurang dari 1 minggu. RIND yang kadang-kadang disebut stroke ringan, adalah TIA dengan tanda-tanda yang berlangsung lebih dari 24 jam. RIND disertai pemulihan lengkap nantinya, yang secara tak langsung berarti daerah infark neuron yang kecil dengan recruitment pembentukan saraf nantinya. Sinkop akibat RIND dapat dikarenakan gangguan peredaran darah pada batang otak.

6. 17. Bagaimana proses pemulihan pada Ny. S? TIA atau RIND merupakan salah satu peringatan akan terjadinya stroke. Sekitar 10% pasien akan mengalami stroke untuk 3 bulan ke depannya. Pemulihan yang dilakukan adalah membantu mengurangi faktor resiko yang dapat menyebabkan stroke, yaitu : Berhenti merokok. Menghentikan merokok mengurangi risiko TIA atau stroke.

31

Batasi kolesterol dan lemak. Memotong kembali pada kolesterol dan lemak, khususnya lemak jenuh, dalam diet Anda dapat mengurangi penumpukan plak di arteri Anda. Makan banyak buah-buahan dan sayuran. Makanan ini mengandung zat gizi seperti kalium, folat, dan antioksidan, yang dapat melindungi terhadap TIA atau stroke. Membatasi sodium. Jika Anda memiliki tekanan darah tinggi, menghindari makanan asin dan tidak menambahkan garam pada makanan dapat mengurangi tekanan darah Anda. Menghindari garam tidak dapat mencegah hipertensi, tapi kelebihan natrium dapat meningkatkan tekanan darah pada orang yang sensitif terhadap natrium. Berolahraga secara teratur. Jika Anda memiliki tekanan darah tinggi, olahraga teratur merupakan salah satu cara yang dapat Anda menurunkan tekanan darah Anda tanpa obatobatan. Batasi asupan alkohol. Batas yang dianjurkan adalah tidak lebih dari satu minuman sehari untuk wanita dan dua hari untuk pria. Menjaga berat badan yang sehat. Kelebihan berat badan berkontribusi terhadap faktor risiko lain, seperti tekanan darah tinggi, penyakit jantung dan diabetes. Menurunkan berat badan dengan diet dan olahraga dapat menurunkan tekanan darah dan meningkatkan kadar kolesterol Anda. Tidak menggunakan obat-obatan terlarang. Obat-obatan seperti kokain terkait dengan peningkatan risiko TIA atau stroke. Kontrol diabetes. Anda dapat mengelola diabetes dan tekanan darah tinggi dengan diet, olahraga, kontrol berat badan, dan, bila perlu, obat-obatan.

7. Kesimpulan Ny. S mengalami Reversible Ischemic Neurology Deficit (RIND).

8. Daftar Pustaka Andri. 2011. Konsep Biopsikososial pada Keluhan Psikosomatik. Volum: 61. J Indon Med Assoc. Dewanto, George, et al. 2009. Panduan Praktis Dianosis & Tatalaksana Penyakit Saraf. Jakarta: EGC. Lumbantobing, S.M. 2008. Neurologi Klinik. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 32

Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC. Purwadianto, Agus dan Sampurna, Budi. 2000. Kedaruratan Medik. Jakarta: Binarupa Aksara. Sabiston, David C. 1994. Buku Ajar Bedah. Jakarta: EGC. Sidharta, Priguna dan Mardjono, Mahar. 2008. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat. Weiner, Howard L dan Lawrence P. Levitt. 2001. Buku Saku Neurologi. Jakarta: EGC. http://www.mayoclinic.com/health/transientischemicattack/DS00220/DSECTION=preventio n diakses pada 12 Desember 2012 pukul 16.30.

33

Anda mungkin juga menyukai