Anda di halaman 1dari 23

Oleh : Laili Khairani

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA DI BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM RSUP NTB 2012

Abses leher dalam terbentuk dalam ruang potensial diantara fasia leher dalam sebagai akibat dari penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah, dan leher tergantung ruang mana yang terlibat. Abses parafaring yaitu peradangan yang disertai pembentukan pus pada ruang parafaring.

Secara anatomi leher terdiri dari beberapa fasia dan ruang potensial. Fasia servikal terdiri atas lapisan jaringan fibrosa yang meliputi organ, otot, saraf dan pembuluh darah yang memisahkan area leher menjadi rangkaian ruang-ruang potensial. Fasia ini dibagi atas fasia servikal superfisial dan fasia servikal profunda yang dipisahkan oleh m. platisma.

Ruang potensial leher dalam dibagi menjadi ruang yang melibatkan daerah sepanjang leher, ruangan suprahiod dan ruangan infrahioid.4 1. Ruang yang melibatkan sepanjang leher terdiri dari: Ruang retrofaring Rruang bahaya ( danger space ) ruang prevertebra. 2. Ruang suprahioid terdiri dari: Ruang submandibula Ruang parafaring Ruang parotis Ruang mastikor Ruang peritonsil Ruang temporalis 3. Ruang infrahioida. Ruang pretrakeal

Batas-batas: Anterior : raphe pterygomandibular Posterior : prevertebral fascia Medial : fascia buccofaringeal Lateral : m. pterygoid medial Superior : basis cranii Inferior : os. Hyoid

Kompartemen: - Kompartemen prestyloid o Jaringan lemak o Kelenjar limfe o Medialfossa tonsilaris o Lateralm. pterigoid medial o a. maksila interna o n. alveolar interna, lingual, auriculotemporal - Kompartemen poststyloid o a. karotis o v. jugularis interna o Rantai simpatis o n. IX, X, XI, XII

Definisi => Abses parafaring adalah kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang parafaring.

Di Bagian THT-KL Rumah Sakit dr. M. Djamil Padang selama 1 tahun terakhir (Oktober 2009 sampai September 2010) didapatkan abses leher dalam sebanyak 33 orang, abses peritonsil 11 (32%) kasus, abses submandibula 9 (26%) kasus, abses parafaring 6 (18%) kasus, abses retrofaring 4 (12%) kasus, abses mastikator 3(9%) kasus, abses pretrakeal 1 (3%) kasus.

Ruang parafaring dapat mengalami infeksi dengan cara : Langsung, yaitu akibat tusukan jarum pada saat melakukan tonsilektomi dengan analgesia. Peradangan terjadi karena ujung jarum suntik yang terkontaminasi kuman (aerob dan anaerob) menembus lapisan otot tipis (m. konstriktor faring superior) yang memisahkan ruang parafaring dari fossa tonsilaris. Proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring, hidung, sinus paranasal,mastoid dan vertebra servikal dapat merupakan sumber infeksi untuk terjadinya abses ruang parafaring. Penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring atau submandibula.

Dimulai pada daerah prastiloid sebagai suatu selulitis, jika tidak diobati akan berkembang menjadi suatu thrombosis dari vena jugularis interna. Infeksi dapat menyebar dari anterior ke bagian posterior, dengan perluasan ke bawah sepanjang sarung pembuluh-pembuluh darah besar, disertai oleh trombosis v. jugularis atau suatu mediastinitis.

Gejala dan tanda utama ialah trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar angulus mandibula, demam tinggi, odinofagia, torticollis. Dinding faring lateral akan terdorong ke medial.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, gejala, dan tanda klinik. Foto jaringan lunak leher antero-posterior dan lateral diperoleh gambaran deviasi trakea, udara di daerah subkutis, cairan di dalam jaringan lunak dan pembengkakan daerah jaringan lunak leher.

Keterbatasan pemerikasaan foto polos leher adalah tidak dapat membedakan antara selulitis dan pembentukan abses. Pemeriksaan tomografi komputer dapat membantu menggambarkan lokasi dan perluasan abses. Pemeriksaan kultur dan tes resistensi dilakukan untuk mengetahui jenis kuman dan pemberian anitbiotika yang sesuai.

Parotitis, abses submandibular, dan tumor.

Untuk terapi diberi antibiotika dosis tinggi secara perenteral terhadap kuman aerob dan anaerob. Dengan evakuasi bedah: Insisi intraoral dilakukan jika timbul penonjolan ke dalam faring. Dilakukan anestesi sebelum tindakan dan dilanjutkan dengan insisi dan drainase. Insisi ekstranasal dilakukan jika suatu abses menonjol ke luar atau tampak pembengkakan yang jelas.

Drainase dapat dilakukan melalui suatu insisi kecil pada daerah yang berfluktuasi atau diatas bagian yang paling menonjol dari pembengkakan.

Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen atau langsung (per kontinuatatum) ke daerah sekitarnya. Komplikasi yang paling berbahaya dari infeksi spatium faringomaksilaris adalah terkenanya pembuluh darah sekitarnya. Dapat terjadi tromboflebitis septic vena jugularis. Dapat juga terjadi perdarahan masif yang tibatiba akibat dari erosi arteri karotis interna

Abses parafaring terjadi dimana Ruang parafaring dapat mengalami infeksi dengan cara : langsung, yaitu akibat tusukan jarum pada saat melakukan tonsilektomi dengan analgesia. Proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring, hidung, sinus paranasal,mastoid dan vertebra servikal dapat merupakan sumber infeksi untuk terjadinya abses ruang parafaring.

Penatalaksanaan, diberikan antibiotik dosis tinggi secara parenteral terhadap kuman aerob dan anaerob. Jika terdapat pus, tidak ada cara lain kecuali dengan evakuasi bedah. Komplikasi yang paling berbahaya dari infeksi spatium faringomaksilaris adalah terkenanya pembuluh darah sekitarnya.

Meylani, Fitri. Dkk. Referat Abses Parafaring. Departemen Ilmu THT RSPAD Gatot Soebroto Jakarta. 2011. Hal : 7-15. Sari, Diana. Dkk. Abses Leher Dalam, Abses Parafaring. Bagian Departemen Ilmu Penyakit THT-KL, Universitas Sumatera Utara. Hal : 8-13. Snell, Richard S. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran : Anatomi Laring. Edisi keenam. Jakarta : EGC. 2006. Hal. 805-813. Ballenger JJ. Abses Leher Dalam, Aplikasi Klinis Anatomi Dan Fisiologi Faring dan Orofaring. Dalam : Penyakit Telinga Hidung Dan Tenggorokan Dan Leher. Edisi 13. Jilid Satu. Binarupa Aksara. Jakarta; 1994. Hal 295-304 Dorothy F., Richard V. S. Surgical Anatomy of the Pharynx and Esophagus. In: Otolaryngology Basic Science and Clinical Review.Thieme. New York. 2006:pp. 560-561. Soepardi EA, Iskandar N. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala Leher: Disfonia. Edisi keenam. Jakarta : Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2008. Hal: 231-234. Simarmata Filia. Abses Submandibula. Dalam: Makalah Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Riau. Riau; 2011. Halaman : 1-16. Novialdi, Pulungan M.R. Pola Kuman Abses Leher Dalam. Bagian THT-KL FK Univ. Andalas/RS. Dr. M. Djamil Padang. Padang. 2011. pp. 1-25. Huang,T.T. et.al. Deep Neck Infection: Analysis Of 185 Cases. In: Med & Health 2007. Wiley InterScience. 2004: pp. 158-163. Soepardi EA, Iskandar N. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala Leher: Abses Leher Dalam. Edisi keenam. Jakarta : Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2008. Hal: 226-230. Keat Jin Lee. Essential otolaryngology: head & neck surgery. McGraw-Hill Professional. 2003. Hal : 483-490. Ballenger, JJ. Anatomy of the Larynx, In: Diseases of the Nose, Throat, Ear, Head and Neck. 13th ed. Philadelphia: Lea & Febiger. Hal 230-245. Gadre AK, Gadre KC. Infection of the deep Space of the neck. Dalam: Bailley BJ, Jhonson JT, editors. Otolaryngology Head and neck surgery. Edisi ke-4. Philadelphia: JB.Lippincott Company 2006. Hal : 666-681. Adam GL,Boies LR, Higler PA. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Edisi keenam. Jakarta : EGC. Hal : 369-377.

Anda mungkin juga menyukai